1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Setiap bahasa yang ada di dunia ini memiliki sifat atau ciri masing-masing disamping ciri yang dimiliki secara universal. Ciri-ciri yang universal berarti bahwa ada ciri-ciri yang sama yang dimiliki oleh setiap bahasa yang ada di dunia ini. Ciri yang sama merupakan unsur-unsur bahasa yang paling umum, yang bisa dikaitkan dengan ciri-ciri atau sifat-sifat bahasa lain. Bahasa Jepang (disingkat BJ) secara umum memiliki beberapa karakteristik yang menjadi ciri pembeda dengan bahasabahasa yang lain. Adapun ciri-ciri tersebut adalah (1) bahasa Jepang menganut sistem MD. Dalam bahasa Jepang kata yang menerangkan terletak di depan kata yang diterangkan; (2) kata benda dalam bahasa jepang pada umumnya tidak mempunyai bentuk jamak. Kalau penutur menunjuk pada satu televisi (terebi) akan sama dengan menunjuk pada televisi yang lebih dari satu. Biasanya untuk membedakan televisi yang banyak penutur mengucapkan kalimat percakapan selanjutnya, seperti televisi yang mana atau televisi yang seperti apa; (3) terdapat perubahan bentuk dari verba, adjektiva maupun kopula. Adjektiva dalam bahasa Jepang dibagi menjadi dua, yaitu adjektiva „na‟ dan „i‟. Dalam waktu dan kondisi yang berbeda verba, kopula, adjektiva akan mengalami perubahan; (4) predikat terletak pada akhir kalimat; (5) dalam bahasa Jepang terdapat bentuk biasa dan bentuk sopan. Kedua bentuk tersebut berbeda penggunaannya, bentuk sopan dipakai ketika seseorang berbicara dengan
2
atasan atau orang yang lebih dihormati, sedangkan bentuk biasa digunakan dalam pembicaraan kepada teman atau kepada bawahan, dan (6) secara sintaktis bahasa Jepang memiliki sistem pemarkah dan strukturnya berpola S-O-V dengan pemarkah partikel, wa, ga, ni, e, wo, de yang menunjukkan hubungan dan fungsi gramatikal dalam kalimat. Dalam membangun sebuah kalimat, verba sebagai inti proposisi dengan kasus-kasus yang menyertainya, ditandai oleh pemarkah yang berupa partikel. Partikel tidak memiliki makna leksikal, tetapi makna gramatikal. Berkaitan dengan butir keenam di atas, kaum semantik generatif mengatakan bahwa struktur semantik dan struktur sintaktis bersifat homogen dan untuk menghubungkan kedua struktur itu cukup kaidah transformasi saja. Menurut kaum semantik generatif, sudah seharusnya semantik dan sintaktis diselidiki bersama-sama sekaligus karena keduanya adalah satu. Struktur semantik itu serupa dengan struktur logika, yaitu berupa ikatan tidak berkala antara predikat dengan seperangkat argumen dalam suatu proposisi (dikutip dari Chaer, 1994: 368--369; 2002: 18--19). Sintaktis memiliki tataran bawahan yang disebut fungsi gramatikal, kategori gramatikal, dan peran gramatikal. Fungsi gramatikal berupa ”kotak-kotak kosong” yang diberi nama subjek (S), predikat (P), objek (O), dan keterangan (K), sebenarnya tidak ada maksudnya sebab semuanya cuma kotak atau tempat yang kosong. Yang memiliki makna adalah pengisi kotak-kotak itu yang disebut kategori gramatikal seperti nomina, verba, atau ajektiva. Kategori-kategori ini yang sesungguhnya sudah memiliki makna leksikal, dan sebagai pengisi kotak-kotak itu memiliki peran gramatikal seperti peran agentif, pasien, objek, benefaktif, lokatif, instrumental, dan
3
sebagainya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa secara sintaktis verba sebagai predikat mempunyai peranan yang utama dalam membentuk sebuah struktur kalimat yang berterima, sedangkan secara semantis verbalah yang menentukkan ciri-ciri semantis dari setiap argumen yang diperlukannya. Begitu juga halnya dalam bahasa Jepang, verba mempunyai peranan yang sangat penting dalam membentuk sebuah kalimat, karena keseluruhan makna kalimat tersebut melekat pada makna verbanya, makna nomina ataupun segala sesuatu yang berperan sebagai argumen harus bersesuaian dengan makna verbanya. Verba BJ mempunyai karakteristik tersendiri yang membedakannya dengan verba bahasa yang lain. Berdasarkan bentuknya, verba BJ dapat dibedakan menjadi dua macam bentuk, yakni (1) verba dasar atau verba asal yaitu verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks, dalam BJ disebut 自立動詞 jiritsu doushi, dan biasanya berbentuk monomorfemis. Verba semacam ini terutama berasal dari verba BJ asli 和 語動詞 wagodoushi misalnya, 見 miru „melihat‟, 寝る neru „tidur‟, 働くhataraku „bekerja‟. Kemudian (2), verba turunan atau dalam BJ disebut 派生動詞 haseidoushi, adalah verba yang dasarnya adalah dasar bebas atau terikat tetapi memerlukan afiks supaya dapat berfungsi sebagai verba secara sintaksis dalam BJ. Misalnya, verba dasar 食べる taberu „makan‟ jika dilekati sufiks ~saseru akan menjadi verba kausatif yaitu 食べさせる tabesaseru, „membuat (seseorang/sesuatu) menjadi makan (O)‟, verba dasar 進 め る susumeru dibubuhi prefiks 押 し oshi menjadi 押 し 進 め る oshisusumeru „mendorong‟, verba dasar 飲む nomu „minum‟ dibubuhi sufiks ~areru
4
menjadi 飲まれる nomareru „diminum‟. (Muraki, 1996: 27 dan 41). Sedangkan menurut Masuoka dan Takubo (1989: 15), verba dalam bahasa Jepang dapat dibedakan berdasarkan fonem akhirnya ketika harus berkonjugasi ke dalam bentuk lain. Berdasarkan pembagian tersebut verba bahasa Jepang dapat dikelompokkan atas tiga kelompok, yaitu: pertama 子音動詞 shiin doushi (verba konsonan), adalah akar verba yang memiliki fonem yang berakhiran konsonan /s/, /k/, /g/, /m/, /n/, /b/, /t/, /r/, dan /w/ yang bersifat prakategorial dan bila dibubuhi /u/ akan menjadi verba pangkal (Vp). Contohnya, [ akar Vp glos nom + /u/ nomu „minum‟, kak + /u/ kaku „tulis‟, sin + /u/ sinu „mati‟]. Verba jenis ini selanjutnya disebut verba golongan I (五段動詞 /godandoushi). Kedua, 母音動詞 boin doushi (verba vokal), yaitu akar verba yang memiliki fonem yang berakhiran vokal /e/ misalnya tabe dan vokal /i/ misalnya oki, yang bersifat prakategorial dan bila dibubuhi ~ru akan berubah menjadi verba pangkal (Vp). Contohnya, [akar Vp glos [tabe + /ru/ taberu „makan‟ oki + /ru/ okiru „bangun‟]. Verba jenis ini selanjutnya disebut verba golongan II ( 一 段 動 詞 /ichidandoushi). Ketiga, selain verba golongan I dan II, ada pula verba golongan III yang hanya terdiri dari dua verba yaitu, kuru „datang‟, dan suru ‟melakukan‟ yang berkonjugasi tidak teratur tidak seperti verba golongan I (五段動詞/godandoushi), dan golongan II (一段動詞/ichidandoushi), oleh karena itu disebut irregular verb (カ 変動詞/kahendoushi、サ変動詞/sahendoushi).
5
Masuoka (1989: 13) dan Muraki (1996: 16) mengemukakan bahwa verba dalam bahasa Jepang berfungsi utama sebagai predikat selain dapat juga berfungsi lain, seperti contoh berikut ini: 1. 田中 が 手紙 を 書く。 Tanaka ga tegami wo kaku. Tanaka Part surat Part menulis „Tanaka menulis surat.‟ 2. 手紙 を 書く 人 は 田中 です。 Tegami wo kaku hito wa Tanaka desu. surat Part menulis orang Part Tanaka adalah „Orang yang menulis surat itu (adalah) Tanaka‟. 3. 田中 は 太郎 が 書いた 手紙 を やぶれました。 Tanaka wa Taro ga kaita tegami wo yaburemashita. Tanaka Part Taro Part menulis surat Part menyobek „Tanaka menyobek surat yang ditulis Taro‟. Verba 書 く kaku „menulis‟ pada kalimat (1), berfungsi sebagai predikat, karena verba tersebut berposisi di belakang argumen (objek/subjek), sedangkan verba kaku „menulis‟ pada kalimat (2), dan verba kaita pada kalimat (3), tidak berfungsi sebagai predikat melainkan sebagai pewatas nomina (PN) karena verba tersebut berposisi di depan nomina. Fungsi ini berlaku untuk seluruh jenis verba dasar dalam bahasa Jepang, termasuk verba dasar yang telah bergabung dengan sebuah konstruksi kalimat seperti konstruksi kausatif (shieki), pasif (ukemi), dan sebagainya. Secara fungsional, verba sebagai predikat berkaitan dengan kala dan aspek. Kala dan aspek dalam bahasa Jepang merupakan hal yang sulit untuk dipilah-pilah, karena
6
diekspresikan dengan ungkapan yang bentuknya sama. Kedua-duanya berhubungan dengan perbuatan atau kejadian lampau atau selesai, sedang atau masih berlangsung, dan akan atau belum dilakukan yang kebanyakan diekspresikan dengan verba bentuk ~TE IRU atau ~TA. Kala dan aspek dalam bahasa Jepang dinyatakan secara gramatikal dengan perubahan bentuk verba dalam suatu kalimat. Untuk menyatakan kala lampau-sekarang-mendatang 「 過 去 ・ 現 在 ・ 未 来 ’kako-genzai-mirai‟ 」 , hanya digunakan dua bentuk verba saja, yaitu bentuk akan dan bentuk lampau. Verba bentuk lampau di dalamnya mencakup bentuk halus, yakni bentuk ~MASHITA dan ~MASENDESHITA; verba bentuk biasa, yakni bentuk ~TA dan ~NAKATTA. Verba bentuk akan di dalamnya mencakup bentuk kamus (~RU), ~NAI, dan bentuk halusnya seperti bentuk ~MASU dan ~MASEN, bahkan bentuk ~TE IRU pun termasuk ke dalam kategori ini. Jadi, berdasarkan pada bentuk verbanya, kala dalam bahasa Jepang hanya ada dua macam, yaitu kala lampau 「過去‟kako‟」dan kala bukan lampau 「非過去‟hikako‟」. Bentuk kala dalam verba bahasa Jepang, bisa ditemui ketika verba tersebut digunakan sebagai predikat dalam induk kalimat atau dalam kalimat tunggal 「主文‟shubun‟」dan dalam anak kalimat「従属節‟juuzokusetsu‟」. Pada umumnya, verba bentuk ~MASU (~RU) digunakan untuk menyatakan kala mendatang (akan), verba bentuk ~MASHITA (~TA) digunakan untuk menyatakan kala lampau, dan verba bentuk ~TE IRU digunakan untuk menyatakan kala sedang (kini). Selain dari segi bentuk dan fungsinya, verba bahasa Jepang pun dapat dipilah berdasarkan makna aspektual inheren verba yang digabungkan dengan kontruksi て
7
いる/でいる(te/deiru). Namun, pemilahan verba BJ berdasarkan kontruksi ている/ で い る
(te/deiru) terkadang menghasilkan makna yang ambigu dalam
menginterpretasi makna verba tersebut, terutama dalam mengklasifikasikan apakah verba tersebut menyatakan keadaan ataukah proses. Seperti yang tergambar pada contoh kalimat berikut: 4. 田中先生 は 今学期 本 Tanakasensei wa kongakki hon Pak Tanaka Part semester ini buku
を 書いている。 wo kaiteiru. Part menulis
„Pak Tanaka sedang menulis buku di semester ini‟. 5. 田中先生 は もう 本 を 五冊 も 書いている。 Tanakasensei wa mou hon wo gosatsu mo kaiteiru. Pak Tanaka Part telah buku Part lima buah Part menulis „Pak Tanaka telah menulis lima buah buku‟. Frasa Verba hon wo kaku „menulis buku‟ yang dalam kalimat tersebut dalam konstruksi kaiteiru, itu sendiri dapat menghasilkan makna yang ambigu, antara makna progressive dan perfectinterpretation. Pada kalimat (4) terdapat kata kongakki yang
bermakna
„semester
ini‟,
sehingga
makna
kalimat
tersebut
dapat
diinterpretasikan menjadi suatu keadaan yang sedang terjadi atau dilakukan (on-going event/progressive). Sementara kalimat (5) dapat diinterpretasikan menjadi suatu keadaan yang telah terjadi (some event has already happened = perfect interpretation). Perbedaan interpretasi ini diakibatkan karena konstruksi te/deiru berinteraksi dengan unsur-unsur lain dalam frasa verba/verba phrase.
8
Pengklasifikasian verba BJ berdasarkan kontruksi te/deiru menimbulkan makna yang ambigu, seperti contoh kalimat (4-5) di atas. Untuk memperoleh gambaran yang jelas dalam mengkalsifikasikan verba BJ tentu tidak cukup apabila hanya memakai kontruksi te/deiru. Oleh karena itu, maka dalam penelitian ini pengklasifikasian verba BJ dilakukan berdasrkan analisis te/deiru dan juga analisis komponen semantis. Setelah verba BJ diklasifikasikan, selanjutnya dianalisis peran semantis argumen-argumen yang diperlukannya dalam membangun sebuah proposisi atau kalimat. Verba bahasa Jepang sebagai inti proposisi secara semantis membutuhkan nomina sebagai argumen yang diberi peran khusus dalam membangun klausa yang berterima. Hubungan verba sebagai inti proposisi dengan argumen dapat dijelaskan, seperti contoh kalimat berikut: 6. 洗濯物 Sentakumono cucian
が ga Part
乾きました。 kawakimashita. mengering
„Cucian itu mengering‟. 7.田中さん Tanakas-an Tanaka
は wa Part
木村さん Kimura-san Kimura
を wo Part
„Tanaka memukul Kimura‟. 8. 富士山 Fujisan gunung Puji
が ga Part
聳えている。 sobiete imasu. menjulang tinggi
„Gunung Fuji itu menjulang tinggi‟.
なぐった。 nagutta. memukul
9
Verba kawakimashita „mengering‟ pada kalimat (6) secara semantis memiliki satu argumen inti, yaitu sentakumono yang berperan sebagai entitas yang mengalami perubahan dari suatu keadaan tertentu menjadi keadaan yang lain. sentakumono „cucian‟ memiliki ciri benda, ciri basah, dan ciri kering. Verba kawakimashita pada kalimat (6) di atas, memiliki ciri makna proses, yaitu dari sesuatu benda yang basah menjadi sesuatu benda yang kering. Proses perubahan keadaan yang dialami nomina secara implisit ada yang menjadi efektor yaitu, matahari dan angin, tetapi tidak dinyatakan dalam struktur lahir. Verba kawakimashita pada kalimat (6) tersebut, termasuk verba intransitif dalam bahasa Jepang. Verba intransitif dalam bahasa Jepang selalu ditandai dengan kehadiran partikel ‟ga‟. Secara sintaktis partikel ‟ga‟ berfungsi sebagai pemarkah verba intransitif dalam struktur lahir klausa. Berdasarkan ciri-ciri semantisnya, verba kawakimashita termasuk verba proses dengan ciri kasus object (O). Verba nagutta „memukul‟ pada kalimat (7) secara semantis memiliki dua argumen inti, yaitu Tanaka yang berperan sebagai kasus agen (A) dan Kimura berperan sebagai kasus objek (O), yang menjadi sasaran/terkena pengaruh dari suatu tindakan pemukulan. Supaya bersesuaian dengan makna verba nagutta „memukul‟, maka diperlukan dua argumen inti, yaitu Tanaka dan Kimura yang memiliki ciri makna manusia, hal ini disebabkan karena verba nagutta „memukul‟ memerlukan argumen yang berciri mahluk hidup dan bergerak yaitu manusia. Argumen Tanaka berciri makna manusia yang memiliki peran sebagai pelaku/agen, sedangkan Kimura berciri makna manusia yang berperan sebagai kasus objek atau yang terkena
10
pengaruh dari suatu aksi/perbuatan. Kasus Agent pada kalimat di atas ditandai dengan partikel „wa‟, sedangkan kasus Object ditandai dengan partikel „wo‟. Secara sintaktis verba tindakan aktif selalu ditandai dengan partikel „wo‟ yang diletakkan sebelum kasus Object. Berdasarkan ciri semantisnya, verba nagutta „memukul‟ pada kalimat (7) termasuk verba aksi dengan ciri kasus Agent-Object (A, O). Verba sobiete imasu pada kalimat (8) mengikat satu argumen inti, yaitu Fujisan „gunung Fuji‟. Argumen Fujisan „gunung Fuji‟ mengisyaratkan makna bahwa entitas berada dalam suatu keadaan atau kondisi yang dinyatakan oleh verba Sobiete imasu ‟tinggi menjulang‟. Verba sobiete imasu pada kalimat (8) di atas adalah verba keadaan, sedangkan Fujisan „gunung Fuji‟ adalah entitas yang berada dalam kondisi atau keadaan itu. Keadaan yang terjadi berlangsung secara alamiah atau keadaan yang ada disebabkan oleh faktor alam. Partikel „ga‟ berfungsi sebagai penanda dari verba intransitif. Partikel disisipkan dalam struktur lahir klausa untuk memenuhi konstruksi gramatikal. Verba sobiete imasu pada kalimat (8) adalah verba statif dan memiliki ciri kasus objek-statif (Os). Verba merupakan salah satu kelas leksikon utama dalam bahasa (Givon, 1984: 51; Frawley, 1992: 145). Lebih lanjut, Frawley (1992: 140,142) mengatakan bahwa verba merupakan perwujudan dari kejadian/peristiwa atau dapat dikatakan bahwa kategori verba dimotivasi secara semantis dari peristiwa. Sebagai peristiwa, verba mengimplikasikan perubahan yang terjadi dalam waktu dan ruang. Pengklasifikasian verba berdasarkan atas peristiwa dan ciri-ciri semantisnya dilakukan oleh beberapa ahli, seperti, Chafe (1970), Comrie (1981), dan Frawely (1992). Frawley (1992: 140)
11
mengklasifikasikan verba menjadi tindakan (action), keadaan (state), sebab (cause), dan gerakan (motion). Comrie (1981: 13) mengklasifikasikan verba menjadi keadaan, peristiwa, dan proses. Sementara itu, Chafe (1970: 98-100) mengklasifikasikan verba menjadi empat, yaitu keadaan, proses, aksi, dan aksi-proses. Cook memodifikasi pendapat Chafe tersebut dengan menghilangkan verba aksi-proses karena Cook perpendapat bahwa tiap verba aksi memerlukan agen dan objek yang dikenai pengaruh, dan entitas yang dikenai pengaruh aksi tersebut dengan sendirinya akan mengalami suatu proses. Oleh karena itu, Cook mengklasifikasikan tipe semantis verba menjadi tiga tipe, yaitu verba statif, verba proses, dan verba aksi. Chafe (1970) mengatakan bahwa verba sebagai inti proposisi menentukan nomina atau frasa nominal yang harus hadir menemani verba. Verba juga menentukan peran semantis nomina/frasa nominal dan fitur-fitur semantis nomina yang harus hadir menemani verba dalam membangun proposisi. Lebih lanjut, Chafe menjelaskan bahwa struktur semantis didasarkan atas serangkaian hubungan antara verba sebagai inti dan nomina yang diikatnya memiliki hubungan semantis khusus dengan verba yang mengikatnya. Struktur semantis dapat dilihat melalui kerangka kasus dalam Tata Bahasa Kasus, sedangkan kasus adalah peran semantis argumen verba. Struktur semantis verba baru bisa dirumuskan apabila dipahami peran semantisnya. Dalam menganalisis peran semantis yang perlu diperhatikan adalah ciriciri verbanya dan hubungan semantis antara verba sebagai predikat dan argumenargumen yang diikat oleh verba tersebut.
12
Suatu kata dalam konteks kalimat memiliki peran semantis tertentu, seperti pada kalimat berikut. 9.森田さん Moritasan Morita
は wa Part
岡さん okasan istri
を wo Part
待っています。 matte imasu. menunggu
„Morita menunggu istrinya‟. 10.泥簿 Dorobo pencuri
が ga Part
逃げます。 nigemasu. lari
„Pencuri itu lari‟. 11.強盗 Gôtô perampok
が ga Part
死んだ。 shinda. mati
„Perampok itu mati‟. 12.島村さん は 交通事故 Shimamurasan wa koutsūjiko Shimamura Part kecelakaan lalu lintas
を wo Part
見ました。 mimashita. melihat
„Shimamura melihat kecelakaan lalu lintas itu‟. Dari segi peran semantisnya, Moritasan pada kalimat (9) adalah pelaku (agent), yakni orang yang melakukan perbuatan menunggui, sedangkan istrinya adalah sasaran (Object), yakni yang terkena perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Pencuri pada kalimat (10) adalah pelaku yang melakukan perbuatan lari. Akan tetapi, perampok pada kalimat (11) bukan sebagai pelaku karena mati bukanlah perbuatan yang dilakukan, melainkan peristiwa yang terjadi padanya. Oleh karena itu, meskipun wujud sintaktisnya mirip dengan kalimat (10), perampok itu pada kalimat (11) adalah
13
sasaran (Object). Pada kalimat (12), Shimamurasan bukan sebagai pelaku (agent) ataupun sasaran (object). Ada suatu peristiwa, yakni kecelakaan lalu lintas, dan peristiwa itu menjadi rangsangan yang kemudian masuk ke benak Shimamura. Jadi, secara psikologis Shimamura di sini mengalami peristiwa tersebut. Oleh karena itu, peran semantis Shimamura adalah pengalami. Dalam bahasa Jepang peran agen, pengalami, penerima, objek, dan lokatif merupakan kasus bertanda (marked), masing-masing ditandai dengan partikel „ga‟, „wo, dan „ni‟. Partikel „ga‟ (agen/verba intransitif), „wo‟ (pengalam/objek/verba transitif), dan „wa‟ (agen/topik), „ni‟ (penerima/benefaktif, datif). Partikel digunakan sebagai penanda kasus dan dibutuhkan untuk memenuhi fungsi gramatikal. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa partikel merupakan peran semantis gramatikal. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, dapat dipahami bahwa setiap verba memerikan suatu peristiwa, proses, aksi atau keadaan yang melibatkan satu partisipan atau lebih, dengan peran semantis yang berbeda-beda dalam sebuah proposisi. Partisipan itu dinyatakan dengan nomina atau frasa nominal yang memiliki peran tertentu dalam membentuk makna untuk menjadi sebuah kalimat yang berterima. Untuk mengungkapkan peran-peran tersebut, dibutuhkan suatu penelitian ilmiah dengan konsep teoretis yang bersifat universal. Melalui konsep teoretis Teori Tata Bahasa Kasus (TBK) yang dikembangkan oleh Cook (1979), hubungan antara verba sebagai inti proposisi dengan partisipan-partisipan yang diperlukan oleh verba untuk membangun sebuah proposisi dapat dijelaskan.
14
Ada beberapa pertimbangan lain yang dijadikan dasar dalam kajian ini, yaitu (1) bahasa Jepang banyak digunakan oleh orang Indonesia pada berbagai bidang kehidupan, seperti di lembaga pendidikan, pariwisata, dan pemerintahan; (2) semakin banyaknya wisatawan Jepang yang datang ke Indonesia, khususnya Bali, telah ikut meningkatkan minat orang bali belajar bahasa Jepang sehingga Bahasa Jepang dijadikan salah satu bahasa asing yang dimasukan dalam kurikulum inti sebagai mata pelajaran untuk tingkat SMU, dan menjadi mata kuliah jurusan di tingkat Universitas di Indonesia; (3) penelitian tentang verba bahasa Jepang masih kurang, sedangkan kebutuhan terhadap sumber-sumber informasi keilmuan semakin meningkat; (4) buku-buku, tulisan-tulisan atau sumber lain masih terbatas, kalaupun ada biasanya hanya memberikan deskripsi secara sepintas sehingga diperlukan kajian yang lebih mendalam; dan (5) penelitian tentang peran semantis verba bahasa Jepang tentu banyak memberi manfaat dalam memahami makna-makna verba bahasa Jepang serta pembuatan daftar kosakata verba dengan disertai klasifikasi berdasarkan cirri-ciri semantiknya. Selain itu, penelitian ini sangat penting dilakukan untuk bahan masukan dan bahan pelengkap dalam rangka penyususnan bahan ajar khususnya untuk jurusan sastra Jepang.
15
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1) Bagaimanakah klasifikasi verba dalam bahasa Jepang ditinjau dari ciri-ciri semantisnya? 2) Peran semantis argumen apa sajakah yang terdapat pada verba bahasa Jepang? 3) Kasus-kasus argumen apa sajakah yang terdapat pada verba bahasa Jepang?
1. 3 Tujuan Penelitian Sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan di atas, penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Kedua tujuan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
1.3.1 Tujuan Umum Secara umum penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang positif terhadap ilmu linguistik, khususnya bagi yang ingin mendapatkan informasi tentang makna-makna verba bahasa Jepang berdasarkan ciri-ciri semantisnya. Di samping itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah terutama dalam bidang kajian semantik.
16
1.3.2 Tujuan Khusus Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) mendeskripsikan, mengklasifikasikan, dan menganalisis verba bahasa Jepang berdasarkan ciri-ciri semantisnya; 2) menganalisis verba bahasa Jepang berdasarkan ciri-ciri dan peran semantis argumenya; 3) mendeskripsikan, dan menganalisis kasus-kasus argumen yang terdapat pada verba bahasa Jepang.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoretis maupun praktis. Kedua manfaat yang diharapkan tersebut diuraikan di bawah ini.
1.4.1 Manfaat Teoretis Secara teoretis hasil penelitian ini bermanfaat untuk dijadikan salah satu sumber informasi teoretis di bidang linguistik khususnya kajian semantik. Untuk pengajar bahasa Jepang, hasil penelitian ini memberi manfaat berupa pengetahuan teoretis dalam mempelajari makna-makna verba bahasa Jepang. Masih minimnya buku-buku atau hasil penelitian yang mendeskripsikan secara rinci dan jelas tentang makna-makna verba bahasa Jepang sehingga hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk penyediaan bahan ajar dan masukan terutama bagi penulis dan
17
pembelajar bahasa Jepang yang lain. Secara umum hasil penelitian ini juga bermanfaat untuk dijadikan acuan teoretis untuk menganalisis makna-makna verba suatu bahasa atau bahasa yang sedang dipelajari.
1.4.2 Manfaat Praktis Secara praktis hasil penelitian ini akan memudahkan dalam memilih dan menggunakan verba dengan makna yang tepat dalam menyampaikan informasi dalam sebuah kalimat. Dalam bahasa Jepang banyak terdapat verba yang memiliki makna yang mirip sehingga orang asing yang mempelajari bahasa Jepang sangat sulit menggunakan verba secara tepat dan benar apabila tidak memiliki pengetahuan yang baik terhadap makna-makna verba tersebut. Hasil penelitian ini merupakan dokumentasi ilmiah yang dapat dimanfaatkan oleh pengajar sebagai bahan ajar tambahan dan dijadikan buku pelajaran bagi pelajar yang mempelajari bahasa Jepang. Dalam penelitian ini dijelaskan secara rinci tentang klasifikasi dan peran semantis argumen verba bahasa Jepang. Dengan demikian, hasil penelitian ini akan membantu serta meberi kemudahan para pengajar ataupun pembelajar bahasa Jepang dalam memahami makna-makna setiap verba tersebut.
18
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka Pada sub-bab kajian pustaka ditinjau beberapa hasil penelitian yang terkait dan dijadikan acuan dalam penelitian ini. Hasil penelitian yang dimaksud adalah sebagai berikut. Penelitian yang dilakukan oleh Budiasa (2002) adalah tentang struktur semantis verba dengan makna „menyakiti‟ dalam bahasa Bali. Dalam tesisnya Budiasa menjelaskan bahwa dari sudut pandang klasifikasi semantis, verba bahasa Bali dapat dibedakan menjadi tiga kelas, yaitu verba keadaan, verba proses, dan verba tindakan. Klasifikasi ini didasarkan atas dua konsep, yakni (1) konsep verba bahasa Bali sebagai peristiwa, dan (2) konsep kategori gramatikal yang terkait dengan properti temporal. Atas dasar klasifikasi ini, verba yang bermakna „menyakiti‟ dalam bahasa Bali tergolong ke dalam jenis verba tindakan. Teori yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah teori Metabahasa Semantik Alami (MSA) yang dikembangkan oleh Wierzbicka (1996). Teori ini digunakan untuk menentukan makna asali dan struktur semantis verba menyakiti dalam bahasa Bali. Untuk menentukan peran semantisnya digunakan teori Foley dan Van Valin (1984). Berdasarkan analisis yang dilakukan ditemukan bahwa verba yang bermakna „menyakiti‟ dalam bahasa Bali memiliki dua tipe makna asali, yaitu tipe
19
Melakukan dan Mengatakan. Dalam struktur sintaktis MSA, tipe Melakukan berpola “X melakukan sesuatu terhadap Y, dan sesuatu dirasakan oleh Y atau terjadi pada Y”. Sementara itu, tipe Mengatakan memiliki pola sintaktis MSA “X mengatakan sesuatu pada Y dan sesuatu dirasakan oleh Y”. Peran semantis verba yang bermakna Menyakiti dalam bahasa Bali secara umum adalah pelaku sebagai agen dan penderita sebagai pasien. Sementara itu, untuk verba tipe Mengatakan memiliki peran semantis penderita yang sama dengan lokatif. Objek kajian tesis Budiasa sangat terbatas, hanya terorfokus pada struktur dan peran semantis verba dengan makna Menyakiti dengan menggunakan objek bahasa dan kerangka teori yang berbeda dengan kajian ini. Walaupun penelitian yang dilakukan oleh Budiasa secara khusus tidak terkait dengan penelitian ini, secara umum penelitiannya dapat dimanfaatkan karena sama-sama membahas tentang peran semantis verba. Utami (2000) mengkaji tentang peran semantis verba bahasa Bali. Penelitian yang dilakukan oleh Utami menunjukkan bahwa kedua belas tipe semantis verba beserta kerangka kasus sesuai dengan teori TBK Cook (1979) dapat diterapkan dalam bahasa Bali. Dari kedua belas tipe semantis itu, ditemukan peran kasus tak teraga (covert) atau kasus non-inti dan peran kasus teraga (overt) atau kasus inti. Verba statif bahasa Bali memiliki peran sebagai objek dengan kombinasi verba tambahan, yaitu verba pengalam statif, verba benefaktif statif, dan verba lokatif statif yang masing-masing berperan sebagai pengalami-objek, benefaktif-objek, dan objek-lokatif. Peran semantis verba proses adalah sebagai objek dengan kombinasi
20
verba tambahan, yaitu verba pengalam proses, verba benefaktif proses, dan verba lokatif proses. Verba proses memiliki peran semantis pengalami-objek, benefaktifobjek, dan objek-lokatif. Sementara itu, verba aksi memiliki peran agen-objek dengan kombinasi verba tambahan, yaitu verba pengalam aksi, verba benefaktif aksi, dan verba lokatif aksi. Verba aksi memiliki peran agen-pengalami-objek, agen-benefaktifobjek, dan agen-objek-lokatif. Dalam tesisnya Utami membahas struktur dan peran semantis verba bahasa Bali, sedangkan penelitian ini terfokus untuk mengklasifikasi dan menganalisis peran semantis argumen verba bahasa Jepang. Dalam menganalisis peran semantis dari masing-masing verba, Utami hanya berpegangan pada kerangka kasus. Sementara itu, dalam penelitian ini mengklasifikasikan verba bahasa Jepang berdasarkan komponen semantisnya setah itu dianalisis peran semantisnya. Walaupun demikian, penelitian Utami tersebut bermanfaat bagi penelitian ini sehingga dapat dijadikan sebagai perbandingan terutama dalam penerapan teori TBK. Juli (2004) dalam penelitiannya yang berjudul “Peran Semantis Argumen Verba Bahasa Sabu”. Teori yang digunakan adalah Teori Tata Bahasa Kasus, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa: peran semantis verba BS dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu 1) peran semantis argumen verba statif yang meliputi (a) peran semantis argumen verba statif dasar, (b) peran semantis argumen verba statif experiencer, (c) peran semantis argumen verba statif benefaktif, dan (d) peran semantis argumen verba statif lokatif; 2) peran semantis argumen verba proses yang meliputi (a) peran semantis argumen verba proses dasar, (b) peran semantis argumen
21
verba proses experiencer, (c) peran semantis argumen verba proses benefaktif, dan (d) peran semantis argumen verba proses lokatif; 3) peran semantis argumen verba tindakan meliputi (a) peran semantis argumen verba tindakan dasar, (b) peran semantis argumen verba tindakan experiencer, (c) peran semantis argumen verba tindakan benefaktif, (d) peran semantis argumen verba tindakan lokatif. Selain itu ditemukan juga kasus-kasus argumen dan ciri-ciri kasus-kasus argumen yang terdapat dalam verba bahasa Sabu. Hasil penelitian Juli sangat bermanfaat untuk penelitian yang penulis lakukan karena sama-sama membahas masalah peran semantis argumen verba dengan menggunakan teori Tata Bahasa Kasus. Sementara itu, perbedaan antara penelitian Juli dengan penelitian yang penulis lakukan terletak pada pengklasifikasian tipe semantis verbanya. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Juli, pengklasifikasian tipe semantis verba bahasa Sabu dilakukan hanya berdasarkan konsep teori Tata Bahasa Kasus sedangkan dalam penelitian ini penulis mengklasifikasikan tipe semantis verba bahasa Jepang berdasarkan parameter Hopper dan Thompson (1980) yang dikenal dengan parameter ketransitifan dan dikaitkan dengan konsep te/de iru dalam bahasa Jepang. Mulyadi (1998), meneliti struktur semantis verba bahasa Indonesia. Teori yang digunakan dalam penelitian Mulyadi adalah teori Makna Alamiah Metabahasa. Aspek makna yang dikaji adalah klasifikasi, ketransitifan, peran, „makna asali‟, dan struktur. Berdasarkan analisis yang dilakukannya, verba bahasa Indonesia dapat digolongkan atas keadaan, proses, dan tindakan. Verba keadaan mempunyai kelas
22
kognisi, pengetahuan, emosi, dan persepsi; verba proses mempunyai kelas kejadian, proses badaniah, dan gerakan (bukan agentif); verba tindakan memiliki kelas gerakan (agentif), ujaran, dan perpindahan. Berdasarkan analaisis peran semantisnya, verba keadaan pada umumnya memiliki peran lokatif dan lokatif-tema. Pada verba proses, penderita diderivasi menjadi menjadi pasien dan tema. Relasi semantis verba tindakan ialah agen-lokatif, agen-tema, dan agen-pasien. Walaupun penelitian Mulyadi menggunakan teori yang berbeda dengan penelitian ini tetapi penelitian Mulyadi dapat dimanfaatkan terutama cara menentukan keanggotaan setiap verba. Analisis yang dilakukan Mulyadi dalam menentukan keanggotaan setiap verba cukup tajam dan jelas sehingga cara analisisnya bermanfaat apabila dijadikan acuan dalam penelitian ini. Masreng (2003) dalam tesisnya mengkaji tentang struktur dan peran semantis verba dengan makna „emosi‟ dalam bahasa Kei. Teori yang digunakan untuk mengungkapkan karakteristik semantik alamiah bahasa Key adalah teori Metabahasa Semantik Alami (NSM) yang diperkenalkan oleh Wierzbicka (1996) dengan teknik analisis parafrase. Teori lain yang digunakan adalah teori Peran Umum (Foley dan Van Valin, 1984 dan La Pola, 1997), dan teori Peranti Emotif oleh Ullmann (1977). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Masreng menunjukkan bahwa verba emosi bahasa Key memiliki tiga ciri, yaitu yang berbentuk ilokusi, peranti leksikal, dan idiomatik. Berdasarkan ciri-ciri tersebut, verba dengan makna emosi diklasifikasikan menjadi empat domain makna. Keempat domain makna tersebut, yakni verba ilokusi oral, verba emosi rasa fisik, rasa psikis, dan rasa lainnya. Di
23
samping itu, struktur semantis verba emosi memperhatikan kaidah makna bersistem. Artinya, dari makna sederhana menuju ke makna kompleks. Misalnya, suk „suka‟, mayun sangat suka‟, dan ahel „sangat suka/sangat menginginkan‟. Sistem ini berbeda dengan peran semantis verba dengan makna emosi dalam konstruksi klausa. Verbaverba tindak ilokusi oral bergeser dari peran agen ke lokatif dan dari pasien ke tema. Di lain pihak, verba-verba keadaan yang bermakna emosi memiliki ciri peran undergoer dalam struktur logisnya. Misalnya, babuax dalam Ya ya-babuax „saya takut‟ [undergoer], dan I ni mashun „dia bersedih‟ [undergoer]. Kajian yang dilakukan oleh Masreng berfokus pada struktur dan peran semantis verba dengan makna „emosi‟ saja, dan tidak membahas makna verba secara keseluruhan. Oleh karena itu, kajian Masreng belum menggambarkan perilaku verba secara keseluruhan, tetapi penelitiannya memberi kontribusi dalam proses analisis data penelitian ini.
2.2 Konsep Ada beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini. Adapun maksud dijelaskannya konsep tersebut adalah untuk menyamakan persepsi terhadap kata-kata kunci yang digunakan dalam penelitian ini. Konsep-konsep tersebut adalah: (1) klasifikasi semantis, (2) peran semantis, (3) argumen verba, (4) verba statif (5) verba proses, (6) verba aksi, dan (7) proposisi.
24
2.2.1 Klasifikasi Semantis Klasifikasi semantis dalam penelitian ini adalah penggolongan/penjenisan; pembagian verba berdasarkan ciri-ciri semantisnya, yaitu verba Statif, verba Proses, dan verba Aksi.
2.2.2 Peran Semantis Peran semantis adalah hubungan antara predikator dan sebuah nomina dalam proposisi. Hubungan antara predikator dan nomina terjalin dalam hubungan yang saling membutuhkan. Verba sebagai inti proposisi mengendalikan sejumlah argumen dalam struktur logis. Argumen dibutuhkan untuk membangun kalimat atau klausa yang berterima (Kridalaksana, 1983: 17). Peran argumen, seperti agen, pasien, dan lain-lainnya sesungguhnya adalah peran semantis verba karena peran argumen tersebut ditentukan oleh hubungan antara predikat (verba) dan argumen-argumennya (Foley dan Van Valin, 1984: 27).
2.2.3 Argumen Verba Argumen adalah partisipan/nomina yang dibutuhkan oleh predikat untuk membentuk suatu proposisi yang menyatakan kejadian atau keadaan tertentu. Dengan demikin, dapat dipahami bahwa verba di sini sama dengan predikat, sedangkan nomina sama dengan argumen dalam teori semantik generatif. Argumen sebenarnya sama dengan Kasus hanya istilah Argumen dalam teori Tata Bahasa Kasus (TBK) ini
25
diberi label Kasus. Oleh karena itu, untuk menyamakan persepsi maka pengertian kasus dalam penelitian ini dimaknai sebagai Argumen.
2.2.4 Verba Statif Verba Statif mempunyai ciri semantis keadaan. Verba statif menyatakan suatu entitas yang berada dalam keadaan atau kondisis tertentu Cook (1979: 135). Subjek dalam kalimat yang menggunakan verba statif berupa nomina umum yang berada dalam keadaan atau kondisi yang dinyatakan oleh verba tersebut. Verba statif mempunyai ciri semantik statif/stabil atau tidak dinamis [ - dinamis] karena peristiwa yang diekspresikan pada umumnya tidak menerima bentuk progresif [ - progresif]. Tidak menerima bentuk progresif dalam arti bahwa peristiwa yang digambarkan mengekspresikan keadaan yang sudah ada. Ciri yang lain adalah verba statif tidak bisa digunakan dalam kalimat perintah [ - imperatif]. Verba statif mengharuskan hadirnya satu kasus objek dalam struktur logisnya. Objek yang dimaksud adalah entitas yang berada dalam suatu keadaan atau kondisi. Verba statif memiliki komponen semantis [ - sengaja] dan [ - kinesis] karena peristiwa yang digambarkan tidak disengaja oleh subjek. Atau dengan kata lain, subjeknya tidak membentuk atau tidak mengendalikan situasi, tetapi dipengaruhi oleh verbanya. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini dijelaskan beberapa contoh kalimat dalam Bahasa Jepang.
26
2.2.5 Verba Proses Verba proses mempunyai ciri semantis proses. Verba proses mendeskripsikan entitas yang mengalami proses perubahan keadaan atau kondisi (Cook, 1979: 135) menyatakan bahwa verba proses menggambarkan perubahan entitas dari suatu keadaan menjadi keadaan lain. Verba proses menunjukkan kedinamisan [ + dinamis] dan mengijinkan dipakainya bentuk progresif [ + progresif]. Verba proses memiliki komponen semantis [ - sengaja] dan [ - kinesis]. Verba proses memiliki makna bahwa tidak ada kesengajaan atau tidak ada transfer tindakan dari partisipan yang satu ke partisipan yang lainnya. Peristiwa yang terjadi tidak dipengaruhi atau dikontrol oleh subjek, tetapi subjek yang terkena pengaruh dari peristiwa yang dinyatakan oleh verba yang terdapat pada kalimat tersebut. Verba proses tidak dapat dipakai dalam kalimat perintah [ - imperatif], tetapi dapat menjadi jawaban untuk pertanyaan ”Apa yang terjadi pada N”? (N adalah suatu entiti), Chafe (1970:100). Verba proses mengharuskan hadirnya satu kasus objek dalam struktur semantisnya. Verba proses menunjukkan perubahan kondisi objek, yaitu perubahan suatu entitas dari suatu keadaan menjadi keadaan yang lain. Dalam struktur logisnya verba proses memiliki minimal satu argumen inti dan maksimal memiliki dua argumen inti.
2.2.6 Verba Aksi Verba aksi adalah verba yang mempunyai ciri semantis tindakan dan perbuatan. Ciri-cirinya adalah verba aksi dapat dipakai dalam kalimat perintah [ + imperatif] dan dapat digunakan dengan aspek progresif, Cook (1979: 135).
27
Selanjutnya, Cook menyatakan bahwa verba aksi mengharuskan hadirnya kasus agen dan kasus objek dalam struktur semantisnya. Kasus agen menunjukkan pelaku suatu aksi dan kasus objek menunjukkan entitas yang terkena pengaruh suatu aksi atau merupakan hasil dari suatu aksi. Kasus agen biasanya berwujud mahluk hidup, sedangkan kasus objek yang dimaksud di sini adalah entitas yang terkena pengaruh suatu aksi atau merupakan hasil dari suatu aksi. Verba aksi mempunyai komponen semantik tindakan yang bersifat dinamis [ + dinamis]. Verba aksi juga memiliki komponen semantik [ + sengaja] dan [-/+kinesis] dalam artian argumen agenlah yang mengendalikan, membentuk, dan mempengaruhi situasi yang dinyatakan oleh verbanya. Komponen semantis verba aksi juga menunjukkan adanya perubahan pada suatu entitas yang berlangsung pada waktu tertentu; adanya transfer aksi/perbuatan dari satu partisipan ke partisipan yang lain, tetapi tidak selalu, dan peristiwa yang terjadi sengaja dilakukan oleh pelaku/agen.
2.2.7 Proposisi Proposisi adalah istilah yang dipakai untuk menyatakan hubungan struktur semantik dengan struktur logika sebagai ikatan tidak berkala antara predikat dan seperangkat argumen. Dengan kata lain, proposisi menjelaskan hubungan antara verba dengan argumen yang dikehendaki oleh tipe verba yang bersangkutan (Lakoff, dkk. dalam Chaer, 1994: 369). Tampubolon (1987: 11) dan Margono (1981: 5) menjelaskan bahwa kasus proposisi ada dua macam, yaitu (1) kasus proposisi inti, dan (2) kasus proposisi non-
28
inti atau kasus modalitas. Kasus proposisi inti adalah kasus yang ditentukan oleh verba atau terikat pada verba. Kasus proposisi inti meliputi: agen (pelaku), pengalami, pemilik atau yang mengalami kehilangan, objek, lokatif. Kasus modalitas atau kasus non-inti adalah kasus yang tidak ditentukan oleh verba. Kasus non-inti, meliputi: waktu, cara, alat, sebab, maksud, akibat, pemilik luar, dan lokasi luar.
2.3 Landasan Teori Teori yang dipakai sebagai landasan untuk memecahkan permasalahan penelitian ini dapat dijelaskan di bawah ini.
2.3.1 Komponen Semantis (Ketransitifan) Komponen semantis adalah perangkat makna yang terdapat dalam sebuah butir leksikon. Konsep komponen semantis dipahami dalam pengertian yang sama dengan properti semantis, fitur semantis, atau ciri semantis (Mulyadi, 1998: 25). Setiap kata atau unsur leksikal terdiri dari satu atau beberapa unsur yang bersamasama membentuk makna kata atau makna unsur leksikal tersebut. Hopper dan Thomson (1980: 252) memperkenalkan sepuluh komponen semantis verba yang disebutnya parameter ketransitifan (parameter of transitivity). Adapun sepuluh komponen verba tersebut adalah: Tinggi
Rendah
a. partisipan
2 atau lebih partisipan
1 partisipan A dan O
b. kinesis
tindakan
bukan tindakan
29
c. aspek (aspect)
telis
tak telis
d. kepungtualan
pungtual (punctual)
tak pungtual
e. kesengajaan
sengaja (volitional)
tak sengaja
f. afirmasi
afirmatif
negatif
g. modus
realis
tak realis
h. keagenan
A tinggi potensinya
A rendah potensinya
i. keterpengaruhan
O terpengaruh total
O tidak terpengaruh
j. kekhususan
O sangat khusus
O tidak khusus
Verba dalam suatu bahasa dapat dianalisis berdasarkan komponen semantis yang terdapat didalamnya. Dari komponen semantis ini dapat ditemukan maknamakna dasar atau unsur-unsur yang membentuk verba tersebut. Parameter yang diterapkan untuk menentukan klasifikasi verba bahasa Jepang dalam penelitian ini mengacu pada konsep komponen semantis yang dikemukakan oleh Hopper dan Thomson (1980: 252). Komponen yang terdapat dalam tiap parameter di atas tidak semua diterapkan dalam penelitian ini tetapi hanya empat parameter yang diterapkan yaitu, parameter partisipan, kinesis, aspek dan kesengajaan.
2.3.2 Verba dan Klasifikasi Semantisnya Verba adalah istilah yang digunakan dalam klasifikasi gramatikal tentang kata, menunjukkan suatu kelas yang secara tradisisonal didefinisikan sebagai kata yang menunjukkan gerak atau perbuatan/aksi, proses, atau keadaan yang bukan sifat atau kualitas. Secara umum, verba mengandung makna leksikal atau makna dasar
30
perbuatan (aksi), proses atau keadaan yang bukan proses (Moeliono dkk., 1988: 76), sedangkan secara gramatikal makna verba tersebut bergantung pada hubungannya dengan unsur lain dalam satuan-satuan yang lebih besar. Ciri semantis verba cenderung mengkode pengalaman, peristiwa, dan tindakan. Verba dalam struktur semantis sebagai sentral dan nomina sebagai periferal (Chafe, 1970: 96). Lebih lanjut, Chafe (1970: 101) mengemukakan bahwa ada empat tipe verba dasar, yaitu verba statif, verba proses, verba aksi, dan verba aksi-proses. Kemudian Cook memodifikasi pendapat Chafe tersebut dengan menghilangkan verba aksi-proses karena Cook berpendapat bahwa tiap verba aksi dengan sendirinya memerlukan agen dan objek yang dikenai pengaruh aksi dan entitas yang dikenai pengaruh aksi tersebut mengalami proses. Oleh karena itu, Cook mengklasifikasikan tipe semantis verba menjadi tiga, yaitu verba statif, verba proses, dan verba aksi. Fillmore (1971: 37) mengemukakan pengertian verba pada prinsip struktur logika. Ini berarti bahwa semua kata yang berfungsi sebagai predikat dalam kalimat diangap verba dalam struktur semantiknya. Ini berarti bahwa verba yang dimaksud bukan hanya mencakup pengertian verba yang dikenal dalam struktur luar secara tradisional, seperti makan, tidur, dan lain-lain, tetapi juga kata-kata sifat dan kata-kata benda. Dengan kata lain, verba juga dihasilakan oleh proses penurunan semantik. Chafe (1970: 122—132) mengatakan bahwa banyak verba dalam suatu bahasa merupakan bentuk turunan, bentuk yang diderivasi dari adjektiva ataupun nomina. Adjektiva adalah kata yang menerangkan keadaan suatu nomina atau menyipati nomina itu. Dalam bahasa Indonesia sangat sulit untuk membedakan verba keadaan
31
dengan kategori adjektiva. Oleh karena itu banyak orang yang menyatukan kategori ini dalam kelas yang sama. Tampubolon dalam Chaer (1989: 163) menyatakan bahwa perbedaan yang hakiki antara verba keadaan dengan adjektiva adalah terletak pada fungsinya dalam suatu konstruksi. Pada konstruksi predikatif adjektiva cenderung berciri verba sedangkan pada konstruksi atributif berciri adjektiva. Misalnya konstruksi meja baru dan meja itu baru. Pada konstruksi meja baru, leksem baru adalah adjektiva sedangkan pada meja itu baru adalah konstruksi predikatif. Dalam bahasa Jepang tidak sulit untuk membedakan antara verba dengan adjektiva karena sangat jelas perbedaanya. Untuk membedakan kedua kelas kata tersebut cukup dengan cara mengidentifikasi bentuk akhirannya saja. Ciri-ciri verba bahasa Jepang berdasarkan bentuk akhirannya dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu verba grup I/godan-doushi, grup II/ichidan-doushi, dan grup III/henkaku-doushi. Verba grup I/godan-doushi disebut godan doushi karena mengalami perubahan pada lima deretan bunyi. Cirinya yaitu verba yang berakhiran„u-tsu-ru-ku-gu-mu-nu-bu-su’, misalnya: ka-u „membeli‟, ta-tsu „berdiri‟, u-ru „menjual‟, ka-ku „menulis‟, oyo-gu „berenang‟, yo-mu „membaca‟, shi-nu „mati‟, aso-bu „bermain‟, hana-su „berbicara‟. Verba grup II/ichidan-doushi disebut ichidan-doushi karena perubahannya terjadi pada satu deretan bunyi saja. Ciri utama dari verba ini, yaitu yang berakhiran „eru dan iru‟, misalnya: mi-ru „melihat‟, oki-ru „bangun‟, ne-ru „tidur‟, tabe-ru „makan‟, dll. Verba grup III/henkaku-doushi disebut henkaku-doushi karena perubahannya tidak beraturan. Verba grup III hanya ada dua, yaitu suru „melakukan‟ dan kuru „datang‟. Sedangkan adjektiva dalam bahasa Jepang hanya ada dua macam, yaitu I-keiyoushi
32
/adjektiva yang berakhiran (i) dan Na-keiyoushi/ adjektiva yang berakhiran (na) adjektiva yang berakhiran (na). I-keiyoushi semuanya berakhiran dengan -i (setelah bunyi ai, ii, ui dan oi), seperti: chiisai „kecil‟, atsui „panas‟, ookii „besar‟, omoi „berat‟, dll. Sedangkan Na-keyoushi pada umumnya tidak diakhiri dengan bunyi (ai, ii, ui dan oi), seperti: shinsetsu „ramah‟, shizuka „sepi‟, kirei „cantik‟, yuumei „terkenal‟. Khusus untuk kata kirai „benci‟ dan kichigai „sinting‟ walaupun bentuknya adalah Ikeiyoushi tetapi kata ini masuk ke dalam kelompok Na-keiyoushi. Cook (1979: 138) mengatakan bahwa verba keadaan tergolong verba ”paling dasar” dibandingkan dengan verba proses dan verba aksi. Verba proses diderivasi dari verba
keadaan
dengan
derivasi
inkoatif
melalui
operator
(adds
COME
ABOUT ) ”menjadi”, dan verba tindakan diderivasi dari verba proses dengan derivasi kausatif melalui konektif (adds CAUSE) ”menyebabkan”. Struktur batin mendasar dari entri leksikal ketiga tipe verba ini dapat dideskripsikan dalam predikat sederhana seperti BE, COME ABOUT (c.a.), CAUSE. State
be Adj
Process
Os
c.a
be Adj
Action
O
cause
c.a be Adj
A
O
(Cook, 1979: 138) Makna kontras dari predikat ini dapat dilihat pada contoh di bawah ini. a. The window is broken. broken (adj) = BE broken (O) O b. The window broke. break (Vint) = COME ABOUT (BE broken (O)) O
33
c. Max broke the window. break (Vtr) = Cause (A, (COME ABOUT (BE broken (O))). Lebih jauh, Tampubolon (1979: 12) mengatakan penurunan semantik adalah suatu proses semantik yang mengubah tipe kata kerja atau kata benda dasar tertentu menjadi tipe lain. Dalam proses ini ciri atau ciri semantik tertentu ditambahkan pada kata kerja atau kata benda dasar bersangkutan. Adapun proses penurunan semantik yang dimaksud adalah: (1) verba keadaan dapat diubah menjadi verba proses dengan menambahkan ciri [inkhoatif]; (2) verba proses dapat diubah menjadi verba aksi dengan menambahkan ciri [kausatif]; (3) verba aksi dapat diubah menjadi verba proses dengan menambah ciri [deaktivatif]; (4) verba proses dapat diubah menjadi verba keadaan dengan menambahkan ciri [resulatif]. Urutan-urutan proses tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: inkhoatif KK Keadaan
kausatif KK Proses
resulatif
KK Aksi deaktivatif
Penurunan semantik seperti ini juga terjadi dalam bahasa Jepang. Seperti yang terlihat di bawah ini. Bahasa Jepang (1) Verba Keadaan : Ookii
Bahasa Indonesia Besar
Verba Proses
: Ooki + ku + naru (Ookikunaru)
Menjadi besar
Verba Aksi
: Ooki + ku + suru (Ookikusuru)
Membesarkan
34
(2) Verba Keadaan : Ware
Pecahan/Belahan
Verba Proses
: Wareru
Pecah/Belah
Verba Aksi
: Waru
Memecah/Membelah
Penurunan semantik dalam bahasa Jepang dapat dilakukan melalui proses seperti inkhoatif, kausatif, deaktivatif, atau resulatif. Verba keadaan dapat diubah menjadi verba proses dengan menambah ciri inkhoatif, verba proses dapat diubah menjadi verba aksi dengan menambah ciri kausatif, verba aksi dapat diubah menjadi verba proses dengan proses diaktivatif, dan verba proses dapat diubah menjadi verba keadaan dengan menambah ciri resulatif.
2.3.3
Verba dalam Bahasa Jepang Dooshi (verba) adalah salah satu kelas kata dalam bahasa Jepang, sama
dengan adjektiva-i dan adjektiva-na menjadi salah satu jenis yoogen „predikat‟. Kelas kata ini dipakai untuk menyatakan aktivitas, keberadaan, atau keadaan sesuatu. Dooshi dapat mengalami perubahan dan dengan sendirinya dapat menjadi predikat (Nomura, 1992: 158). Seperti contoh kalimat berikut (1) Amirusan wa Nihon e iku. „Amir (akan) pergi ke Jepang‟, (2) Tsukue no ue ni rajio ga aru. „Di atas meja ada radio‟, (3) Indonesia wa shigen ni tondeiru. „Indonesia kaya akan sumber alam‟. Kata iku, aru, dan tomu (=tondeiru) pada kalimat di atas termasuk dooshi. Kata iku pada kalimat (1) menyatakan aktivitas Amir yang akan pergi ke Jepang, kata aru pada kalimat (2) menyatakan keberadaan (eksistensi) radio di atas meja, sedangkan kata tomu (=tondeiru) pada kalimat (3) menyatakan keadaan negara Indonesia yang kaya
35
akan sumber alam. Kata-kata seperti itu dapat mengalami perubahan tergantung pada konteks kalimatnya. Dooshi termasuk jiritsugo, dapat membentuk sebuah bunsetsu walau tanpa bantuan kelas kata yang lain, dan dapat menjadi predikat bahkan dengan sendirinya memiliki potensi untuk menjadi sebuah kalimat. Selain itu, verba juga dapat menjadi keterangan bagi kelas kata lainnya pada sebuah kalimat, dalam bentuk kamus selalu diakhiri vokal /u/, dan memiliki bentuk perintah. Shimizu (2000: 45), mengemukakan tiga jenis dooshi, sebagai berikut (1) Jidooshi (iku „pergi‟, kuru „datang‟, okiru „bangun‟, neru „tidur‟, shimaru „tertutup‟, deru „keluar‟ nagareru „mengalir‟, dan sebagainya). Kata-kata ini menunjukkan kelompok dooshi yang tidak berarti mepengaruhi pihak lain. (2) Tadooshi (okosu „membangunkan‟, nekasu „menidurkan‟, shimeru „menutup‟, dasu „mengeluarkan‟, nagasu „mengalirkan‟, dan sebagainya). Kata-kata ini menunjukkan kelompok dooshi yang menyatakan arti mempengaruhi pihak lain. (3) Shodooshi (mieru „terlihat‟, kikoeru „terdengar‟, iru „perlu‟, niau „sesuai‟, ikeru „dapat pergi‟, kikeru, dan sebagainya).
Dooshi
ini
merupakan
kelompok
dooshi
yang
memasukkan
pertimbangan pembicara, maka tidak dapat diubah ke dalam bentuk pasif dan kausatif. Selain itu, tidak memiliki bentuk perintah dan ungkapan kemauan (ishi hyoogen). Di antara kata-kata yang termasuk kelompok ini, kelompok dooshi yang memiliki makna potensial seperti ikeru dan kikeru disebut kanoo dooshi „verba potensial‟.
36
Muraki (1996:16) mengemukakan mengenai fungsi verba sebagai berikut: 日本語の動詞は、文の中で、文の末尾におかれて述語として文をしめ くくったり(終止用法)、文の途中で述語としてのはたらきを演じると同時 に、さらに他の述語につながっていったり(中止あるいは連用用法)、後続 の名詞を修飾限定したり「連体用法」という多機能をあらわしわけるために、 また、肯定か否定か、断定か推量か、過去か現在・未来かといったさまざま な述べ方をあらわしわけるために、複雑な形を発達させているわけである。 Nihongo no joshi wa, bun no nakade, bun no matsubi ni okarete jutsugo to shite bun wo shimekukuttari (shuushoohoo), bun no tochuu de jutsugo to shite no hataraki wo enjiru to douji ni, sara ni ta no jutsugo ni tsunagatte ittari (chuushi arui wa renyouyoohoo), kouzoku no namae wo shuushoku gentei shitari “rentaiyoohoo” to iu takinou wo arawashi wakeru tame ni, mata, koutei ka, hitei ka, dantei ka, suiryou ka, kako ka, genzai/mirai ka to itta samazama na nobete kata wo arawashi wakeru tame ni, fukuzatsu na katachi wo hattatsu sasete iru wake de aru. Verba dalam bahasa Jepang di dalam kalimat diletakkan di akhir kalimat, dapat berfungsi sebagai predikat di akhir kalimat, atau sebagai predikat di tengah kalimat yang berhubungan dengan predikat lain di akhir kalimat, dan juga sebagai pewatas nomina. Selain sebagai predikat, verba bahasa Jepang juga digunakan dalam menyatakan, negasi, penegasan, dugaan, dan menyatakan kala, yaitu masa lampau, masa kini, atau masa yang akan datang.
2.3.4 Teori Tata Bahasa Kasus Teori Tata Bahasa Kasus (TBK) Cook (1979) ditulis dalam buku yang berjudul Case Grammar: Development of the
Matrix Model (1970-1978). TBK
pertama kali diperkenalkan oleh Fillmore (1968) dalam karangannya yang berjudul The Case for Case yang dimuat dalam suntingan Bach dan Harms dengan judul Universal in Linguistic Theory. Teori ini kemudian direvisi oleh Chafe (1970). Teori kasus Cook (1979) merupakan perpaduan dan pengembangan dari TBK oleh Fillmore (1966, 1968, 1970, 1971), dan TBK Chafe (1970).
37
2.3.4.1 Teori Tata Bahasa Kasus (TBK) Fillmore Kasus proposisi adalah bagian dari kerangka kasus verba. Kasus yang terikat oleh verba sentral dibagi menjadi dua kasus: yang penting untuk kerangka kasus dan yang tidak penting. Kasus yang berhubungan secara langsung dengan kerangka kasus disebut kasus proposisi. Kasus yang bukan bagian dari kerangka kasus disebut kasus modal. Kasus modal selalu opsional terhadap struktur, sedangkan kasus proposisional bersifat wajib atau opsional terhadap kerangka kasus. Fillmore (1969a: 366) membagi kalimat menjadi dua unsur, yaitu unsur modalitas dan unsur proposisi. Unsur modalitas meliputi: negasi, kala, modus, dan aspek. Sementara itu, unsur proposisi terdiri dari sebuah verba sebagai inti proposisi yang disertai sejumlah nomina yang berperan sebagai kasus Agent (A), Experiencer (E), Benefaktive (B), Object (O), dan Locative (L). Hubungan antara verba dan argumen yang menyertainya merupakan hubungan yang terjalin secara semantis, sedangkan hubungan antara verba dan unsur modalitas terjalin secara gramatikal. Modalitas tidak mempengaruhi makna verba sebagai inti proposisi, tetapi mempengaruhi makna verba secara gramatikal. Dalam karangannya yang terbit tahun 1968 Fillmore membagi kalimat atas (1) modalitas, yang bisa berupa unsur negasi, kala, aspek, dan adverbia; dan (2) proposisi yang terdiri dari sebuah verba disertai dengan sejumlah kasus. Hal tersebut dapat dilihat pada diagram 2.1 di bawah ini (dikutip dari Chaer: 1994: 371).
38
Kalimat
modalitas
proposisi
negasi kala
verba
argumen¹
argumen²
argumen³
modus aspek Diagram 2.1: Model struktur logis kalimat
Diagram di atas menunjukkan posisi modalitas dan proposisi dalam sebuah kalimat. Bagan pada bagian sebelah kanan menunjukkan hubungan antara verba sebagai pusat dengan kasus atau argumen yang diperlukan untuk membangun proposisi. Sementara itu, pada bagian sebelah kiri diagram 2.2 menunjukkan unsur modalitas yang bukan merupakan valensi verba. Kalimat
modalitas
proposisi
kala
verba
pelaku
objek
lampau
break
John
window
Diagram 2.2: Model struktur dalam (deep structure) kalimat
instrumen
hammer
39
Model struktur dalam (deep structure) kalimat direalisaikan dalam struktur lahir (surface structure) kalimat. Sebagai contoh, “John broke the window with a hammer” argumen John adalah kasus pelaku, argumen window adalah kasus objek, dan argumen hammer adalah kasus instrumen (alat). Kalimat “John broke the window with a hammer” merupakan realisasi dari perpaduan antara unsur modaliatas dan proposisi. Yang dimaksud dengan kasus dalam teori ini adalah hubungan antara verba dan nomina. Verba di sini sama dengan predikat, sedangkan nomina sama dengan argumen dalam teori semantik generatif. Hanya saja argumen dalam teori ini diberi label kasus.
2.3.4.2 Teori Tata Bahasa Kasus (TBK) Chafe Dalam bukunya Chafe menjelaskan bahwa struktur semantis didasarkan atas serangkaian hubungan antara verba sebagai inti (predikat) dan nomina yang diikatnya memiliki hubungan semantis khusus dengan verba yang mengikatnya. Struktur semantis dapat dilihat melalui kerangka kasus dalam Tata Bahasa Kasus, sedangkan kasus adalah peran semantis argumen verba. Struktur semantis verba baru bisa dirumuskan apabila dipahami peran semantisnya. Dalam menganalisis peran semantis yang perlu diperhatikan adalah ciri-ciri verbanya dan hubungan semantis antara verba sebagai predikat dan argumen-argumen yang diikat oleh verba tersebut. Chafe (1970: 163) mengemukakan adanya tujuh buah kasus, yakni Agent, Experiencer, Benefactive, Patient, Complement, Locative, dan Instrument.
40
2.3.4.3 Teori Tata Bahasa Kasus (TBK) Cook Dalam penelitian ini digunakan TBK Cook (1979), karena teori ini merupakan perpaduan dan modifikasi dari TBK oleh Fillmore (1968), dan TBK oleh Chafe (1970). Dari modifikasi yang dilakukan Cook hanya menggunakan lima kasus, yaitu (1) Agent (A); (2) Experiencer (E); (3) Benefactive (B); (4) Object (O); dan (5) Locative (L) (Cook 1979: 124-125). Dalam sistem verba sebagai pusat dalam proposisi, kasus-kasus sebelumnya ditentukan oleh fitur-fitur yang terdapat di dalam verba. Pengertian kasus dalam hal ini tidak mutlak di dalam penggunaannya, tetapi dalam hubungannya dengan fiturfitur tersebut. Kerangka kasus proposisi dalam kerangka teori ini dapat ditentukan sebagai berikut: Agent:
kasus yang diperlukan oleh verba aksi yang menunjukkan pelaku dari aksi tersebut, dan kasus ini biasanya digunakan untuk makhluk hidup (animate) tetapi tidak selalu.
Experiencer: kasus yang diperlukan oleh verba pengalam yang menunjuk pada makhluk hidup yang mengalami gejala psikologis atau yang berkaitan dengan perasaan, emosi, kognisi. Benefactive:
kasus yang menyatakan kepemilikan, mendapat atau menyatakan kehilangan yang mengacu pada suatu objek.
Object:
hal-hal yang menyatakan: (a) kasus yang diperlukan oleh verba yang menyatakan keadaan objek yang terdapat dalam suatu keadaan; atau
41
(b) kasus yang diperlukan oleh verba proses yang menyebabkan objek pengalam akan mengubah keadaan; (c) kasus yang diperlukan merupakan objek sebagai suatu pengalaman, dan merupakan stimulus yang menyebabkan suatu keadaan; (d) objek merupakan kasus yang menyatakan kepemilikan benda atau benda yang telah ditransfer. Locative:
kasus yang diperlukan oleh verba lokatif yang menyatakan lokasi dari suatu objek atau perubahan dari lokasi suatu objek (Cook, 1979: 52).
Cook menjelaskan bahwa predikat adalah verba dalam pengertian umum dan argumen verba sangat diperlukan untuk menentukan kasus. Model ini disebut Model Matriks Tata Bahasa Kasus. Selanjutnya, Cook mengatakan bahwa dalam menganalisis kasus dalam bahasa harus berpedoman pada persyaratan berikut. (a) Satuan informasi dalam wacana adalah klausa atau kalimat sederhana; dalam satuan informasi ini verba adalah elemen yang sentral. Makna inti dari kalimat tercantum pada makna verba. (b) Yang terkait dalam verba adalah serangkaian peranan kasus, yang argumennya dalam proposisi dicantumkan dalam predikat sentral. Peranan proposisi berbeda dari peranan modal, yang tidak berhubungan dengan verba. (c) Hasil dari konfigurasi kasus disusun dalam dua belas matrix sel. Setiap konfigurasi semantik mempunyai sekurang-kurangnya satu peranan yang
42
dihubungkan dengan verba dan tidak ada konfigurasi lebih dari tiga yang dihubungkan dengan peranan kasus (Cook, 1979: 124-125). Cook menyatakan bahwa dari lima kasus proposisional (AEBOL) tersebut, kemudian dapat disusun menjadi dua belas konfigurasi kerangka kasus dalam formasi semantis yang ditampilkan dalam bentuk matriks, seperti pada tabel di bawah ini. Tabel 2.1: tipe verba menurut model matriks TBK (Cook, 1979: 135).
Tipe Verba
Verba Dasar
Experiencer
Benefactive
Locative
1. Statif
Os
E-Os
B-Os
Os-L
2. Proses
O
E-O
B-O
O-L
3. Aksi
A-O
A-E-O
A-B-O
A-O-L
Dalam tabel 2.1 di atas, Cook membagi verba menjadi tiga tipe utama verba dasar, yaitu verba statif, verba proses, dan verba aksi. Selanjutnya hanya ada tiga tipe tambahan verba dasar, yaitu verba Pengalami (experiencer), verba Benefaktif (benefactive), dan verba Lokatif (locative). Jika dianggap bahwa setiap verba dasar utama tersebut dapat bergabung dengan ketiga verba dasar tambahan karena kasuskasus yang bersangkutan harus hadir, maka akan terdapatlah dua belas tipe verba secara keseluruhan. Adapun ciri-ciri kasus dari kedua belas tipe verba hasil dari proses kombinasi tersebut, dapat dilihat dalam kalimat di bawah ini.
43
1. Verba Statif Verba Statif memiliki ciri kasus sebagai berikut: 1) The lounge bar was empty [Os]. Os 2) She likes the frenchman [E-Os]. E Os 3) I have a bunch of pennies [B-Os]. B Os 4) Her money was in the drawer [Os-L]. Os L
2. Verba proses Verba Proses memiliki ciri kasus sebagai berikut: 1) Her baby died [O]. O 2) I heard about it [E-O]. E O 3) Katharine received her ticket [B-O]. B O 4) The car drove to down town [O-L]. O L
3. Verba Aksi Verba aksi memiliki ciri kasus sebagai berikut: 1) His partner shook his head [A-O] A O 2) The old man told the boy a story [A-E-O]. A E O 3) Captain Alfurd gave her a ring [A-B-O]. A B O 4) Claud put one big foot on the porch step [A-O-L]. A O L
44
Model analisis kerangka kasus ditulis dalam bentuk “+ [___ x-y-z]”, tempat yang kosong menunjukkan posisi dari verba dalam struktur dasar, dan x-y-z adalah argumen-argumen yang dihubungkan dengan verba sebagai sentral. Model analisis dalam kerangka kasus dapat dilihat dalam contoh kalimat berikut: John gave the book to Mary. A O B GIVE, + [ ____ A-O-B] Predikat “give” adalah bentuk abstrak dari kalimat tersebut dan terdaftar di dalam argumen-argumen yang diberi nama sebagai Agent (A), Benefaktive (B), dan Object (O) Lokative (L) (Cook, 1979: 149). Tanda ( __ ) dalam kerangka kasus tersebut menandakan bahwa ada kata kerja tertentu yang dapat dimasukkan dalam kerangka kasus bersangkutan. Tanda ( + ) menyatakan fitur semantik.
2.4 Model Penelitian Penelitian ini mengkaji “klasifikasi dan peran semantis argumen verba bahasa Jepang”. Sesuai dengan tahapan kerja dan strateginya, maka penelitian ini dimulai dari tahap observasi data dari sumber-sumber tertulis yang telah ditentukan. Setelah itu, data dikumpulkan dan diproses berdasarkan metode deskriptif kualitatif. Data yang dimaksud adalah kalimat sederhana atau struktur proposisional. Dengan demikian, kalimat-kalimat kompleks dipecah dan disederhanakan atas proposisiproposisi. Tahap selanjutnya adalah analisis data, teori yang digunakan sebagai
45
tuntunan untuk memecahkan permasalahan dan menganalisis data adalah TBK Cook (1979). Adapun hal-hal yang dianalisis dalam penelitian ini adalah (1) klasifikasi semantis verba bahasa Jepang; (2) peran semantis argumen verba bahasa Jepang; (3) kasus-kasus argumen yang terdapat pada verba bahasa Jepang. Selanjutnya, disajikan temuan sesuai dengan hasil analisis yang didapat. Bagian akhir penelitian ini adalah simpulan, isi dari simpulan tersebut adalah jawaban terhadap permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, maka model penelitian ini diabstraksikan dalam bentuk diagram yang ditampilakan pada halaman berikutnya.
46
Bahasa Jepang
Verba Bahasa Jepang
Konsep
Metode Landasan Teori ……………….………………………………………………….
Metode Deskriptif Kualitatif Data
Analisis Teori Tata Bahasa Kasus
Klasifikasi Semantis Verba Bahasa Jepang
Peran Semantis Argumen Verba Bahasa Jepang
Temuan
Simpulan & Saran Diagram 2.3: Model Penelitian
Kasus Modal & Kasus Tak Teraga
47
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa data tertulis maupun lisan dalam sebuah bahasa. Metode deskriptif ini bertujuan membuat deskripsi mengenai sifat-sifat, keadaan serta hubungan fenomena-fenomena yang diteliti, sehingga didapat gambaran data yang ilmiah, Djajasudarma (1993--8,10). Selanjutnya, dalam upaya memecahkan masalah, ada tiga tahap strategis yang berurutan: penyediaan data, penganalisisan data yang telah disediakan itu, dan penyajian hasil analisis data yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993: 5).
3.2 Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data kualitatif, yaitu berupa data tulisan karena tujuannya ialah mengklasifikasikan dan menentukan peran semantis yang dimainkan oleh setiap argumen yang terdapat pada data tersebut. Pemilihan data tulisan sebagai sumber data didasarkan atas pertimbangan bahwa aneka bentuk verba bahasa Jepang mudah ditemukan dari sumber data tersebut, dan bahasanya telah mencerminkan pemakaian bahasa Jepang dalam berbagai situasi. Sumber data tulisan ini juga dipilih karena telah
48
mempresentasikan penggunaan bahasa Jepang yang alamiah dalam berbagai aspek kehidupan sehingga memungkinkan mendapatkan data yang bervariasi. Data tulisan merupakan jenis data primer yang diperoleh dari novel TottoChan, dan buku Minna no Nihongo I, II, sebagai sumber data utama. Sementara itu, data penunjang diperoleh dari buku-buku linguistik dan buku-buku pelajaran, yaitu buku Nihongo Hand Book, Jurnal bahasa Jepang Nihongo Shimbun, Buku Gramatika Bahasa Jepang Modern, dan buku Dasar-dasar Linguistik Bahasa Jepang. Data yang dipilih berupa kalimat-kalimat kompleks dipecah menjadi kalimat sederhana yang memenuhi struktur proposisi. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari perpustakaan Program S2 Linguistik dan di ruang Jurusan Sastra Jepang Fakultas Sastra Universitas Udayana, yang berlokasi di jalan pulau Nias nomer 13 Sanglah, Denpasar. Kedua tempat tersebut menyediakan banyak buku-buku bacaan yang dapat dijadikan referensi dalam penelitian ini. Disamping itu, karena penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif sehingga untuk memperoleh pengetahuan dan data peneliti mengobservasi data dalam bentuk membaca informasi dari dokumentasi seperti, buku-buku yang membahas tentang teori linguistik secara umum, buku-buku pelajaran linguistik khususnya semantik, buku-buku yang membahas masalah verba, dan berbagai hasil karya tulis ilmiah (tesis). Semua sumber-sumber data tersebut tersedia di perpustakaan Program S2 Linguistik Fakultas Sastra Universits Udayana. Sedangkan untuk sumber-sumber data dalam bahasa Jepang tersedia di ruang jurusan satra Jepang Fakultas Sastra Universitas Udayana.
49
3.3 Instrumen Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, oleh karena itu peneliti sendiri berperan sebagai instrumen utama dalam penelitian ini. Instrumen sangat penting karena segala sesuatu yang berhubungan dengan objek penelitian dapat tersimpan dan dapat direplikan kembali sesuai dengan kebutuhan. Instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti, sehingga instrumenya adalah orang atau manusia (human instrument) (Sugiyono, 2009: 2). Data penelitian ini juga dikumpulkan dengan menggunakan instrumen tambahan, yaitu berupa buku-buku catatan dan laptop/komputer. Data tulisan dipilih berdasarkan kriteria yang telah ditentukan, yaitu data dalam bentuk kalimat-kalimat sederhana yang telah memenuhi struktur proposisi. Data dipilah dengan cara menandai setiap verba yang terdapat dalam kalimat-kalimat dalam sumber data tersebut. Data yang dipilih dicatat dalam buku-buku catatan kemudian diketik dan diolah dalam komputer dan dicetak untuk disusun sehingga menjadi tesis ini.
3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data Data dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan metode simak dan teknik catat. Metode simak dalam penelitian ini dimaknai sebagai metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara menyimak penggunaan bahasa secara tertulis. Metode ini memiliki teknik dasar, yaitu teknik sadap. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka teknik sadap yang dimaksud adalah pengumpulan data dengan cara membaca naskah-naskah tertulis, seperti novel dan data-data tulisan
50
lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Teknik catat adalah teknik lanjutan dari teknik sadap, mencatat dalam hal ini berarti peneliti mencatat penggunaan bahasa dalam bentuk tulisan dari sumber-sumber data tersebut. Setiap kalimat dari sumbersumber tulisan tersebut dicatat dan verba dalam setiap kalimat ditandai. Kalimat yang dimaksud adalah struktur proposisi. Dengan demikian, kalimat-kalimat kompleks dipecah atas proposisi-proposisi, kalimat-kalimat tanya, negatif, dan perintah dipandang dalam bentuk proposisinya. Data-data yang dipilih diketik dalam komputer kemudian ditandai dengan cara menggarisbawahi setiap unsur kalimat sehingga dapat memperjelas proposisi dan argumen-argumen yang membentuk kalimat tersebut.
3.5 Metode dan Teknik Analisis Data Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode padan. Metode padan adalah metode yang alat penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dalam bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993: 13-15). Metode padan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode padan referent (penentunya adalah kenyataan yang ditunjuk oleh bahasa), dan metode padan translasional (menggunakan bahasa lain) yang alat penentunya adalah langue lain dalam hal ini adalah bahasa Indonesia. Metode padan referensial dengan alat penentu referen diterapkan untuk menentukan ciri-ciri semantis verba bahasa Jepang. Misalnya, (1) naguru „memukul‟ ialah kata yang menyatakan tindakan; (2) kawaku „mengering‟ ialah kata yang menyatakan makna proses; (3) kowareru „rusak, pecah‟ ialah kata yang menyatakan
51
makna keadaan. Ketiga kata tersebut merupakan jenis verba, tetapi makna dari ketiga verba tersebut memiliki referen yang berbeda. Selanjutnya, metode padan referensial dengan penentu referen dan metode padan translasional dengan penentu langue lain, secara bersamaan digunakan untuk menentukan peran semantis yang dimainkan oleh nomina-nomina yang diikat oleh verba dalam suatu proposisi. Metode padan referensial digunakan untuk menentukan (sebagai penentu) peran semantis kasus-kasus yang terdapat pada verba, apakah perannya sebagai Agent (A), Experincer (E), Benefaktive (B), Object (O), Locative (L). Metode padan translasional digunakan untuk memahami arti dari data, yang berupa data dalam bahasa Jepang yang dipadankan ke dalam bahasa Indonesia. Satuan lingual yang bersangkutan benar-benar disesuaikan, diselaraskan, atau dipadankan dengan identitas atau kejatian unsur penentunya. Dengan demikian, akan dapat ditentukan antara unsur penentu dengan unsur yang ditentukan.
Contoh: 1.
私 は リーさん に 時計 を 上げます。 Watashi wa Ri-san ni tokei wo agemasu. Agent (A) Benefactive (B) Object (O) \ \ \ \ \ \ \ saya Part Lee Part jam Part memberi Arg1 Arg2 Arg3 Verb „Saya memberi saudara Lee jam‟.
52
2. 菜穂さん は 韓 国 語 が 分かる。 Naho san wa kankoku go ga wakaru. Experiencer (E) Object (O) \ \ \ \ \ Naho Part Korea Bahasa Part mengerti Arg1 Arg2 Verb „Naho mengerti bahasa Korea‟.
Teknik analisis yang diterapkan dalam penelitian ini adalah teknik pilah unsur penentu. Sudaryanto (1993: 23) mengatakan bahwa referen kalimat pada umumnya adalah peristiwa atau kejadian; padahal, setiap peristiwa atau kejadian melibatkan berbagai unsur (tokoh) yang memiliki peran penting di dalamnya; tanpa unsur (tokoh) yang dimaksud tidak mungkin peristiwa itu akan terjadi sebagaimana adanya . Dengan adanya pemilahan dari usur atau peran yang dimainkan oleh setiap kata dalam kalimat, dapat diketahui bahwa ada pelaku (agent), pengalami (experiencer), benefaktif, objek, dan juga lokatif. Berdasarkan jumlah dan jenis unsur yang terlibat dalam suatu proposisi maka peran semantis argumen verba dapat dibedakan antara verba satu dengan verba yang lainnya.
Contoh: 3
父 は 金 が あります。 Chichi wa kane ga arimasu. Benefactive (B) Object (O) \ \ \ \ \ ayah Part uang Part punya/ada Arg1 Arg2 Verb „Ayah punya uang‟.
53
4.
私 は 木村 さん に 傘 を Watashi wa Kimura san ni kasa wo Agent (A) Benefactive (B) Object (O) \ \ \ \ \ saya Part Kimura Part payung Arg1 Arg2 Arg3
貸して あげました。 kashite agemashita. \ \ Part meminjamkan Verb
„Saya meminjamkan payung kepada saudara Kimura‟.
Dengan teknik pemilahan unsur maka kalimat (3) di atas dapat dianalisis sebagai berikut. Chichi „ayah‟ adalah nomina persona yang berperan sebagai kasus benefaktif (B), dan partikel ga sebagai penanda verba statif yang menyatakan makna keadaan. Sementara itu, kane „uang‟ adalah nomina tak bernyawa berperan sebagai kasus objek yang dalam keadaan dimiliki oleh nomina persona chichi „ayah‟ partikel wa digunakan sebagi penanda persona. Klausa (3) di atas memiliki dua argumen inti, yaitu kasus chichi adalah kasus benefaktif (kepemilikan), dan kasus kane adalah kasus objek yang dalam keadaan dimilki. Berdasarkan ciri-ciri kasusnya maka peran semantis argumen verba (3) di atas adalah peran semantis argumen verba benefaktifobjek. Demikian juga dengan kalimat (4) kasus-kasus yang diikat oleh verba sebagai inti proposisi dapat diketahui melalui teknik pilah unsur, yaitu watashi „saya‟ memiliki peran kasus agentif-aktif (A), Kimura-san „Kimura‟ memiliki peran kasus benefaktif (B) (pemanfaat) karena menerima pemberian dari agen, dan kasa „payung‟ memiliki peran objek (O). Peran semantis argumen yang terdapat pada kalimat di atas adalah peran semantis verba aksi-benefaktif-objek.
54
Dalam kaitannya dengan langue lain, teknik pilah unsur dapat digunakan untuk mengetahui sifat dan watak bahasa yang berbeda. Bahasa Jepang memiliki sistem yang berbeda dengan bahasa Indonesia. Sebagai contoh, bahasa Jepang memiliki sistem kebermarkahan, perubahan verba tetapi dalam bahasa Indonesia tidak. Dengan menggunakan metode pilah unsur dan dibantu dengan pemahaman peneliti terhadap kaidah yang berlaku dalam bahasa Jepang, unsur bahasa yang ada dalam bahasa yang berbeda dapat diketahui. Misalnya, dalam bahasa Jepang argumen objek ditandai oleh partikel „wo‟, datif ditandai oleh partikel „ni‟, argumen agen (pelaku) ditandai oleh partikel „ga‟/„wa‟.
3.6 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Metode penyajian analisis data ada dua, yaitu metode formal dan informal Sudaryanto (1993: 144-145). Metode penyajian dalam penelitian ini menggunakan analisis data formal dan informal. Metode formal merupakan analisis data dengan menggunakan tanda-tanda atau lambang linguistik. Tanda-tanda yang dimaksud dalam penelitian ini adalah: tanda {}; tanda *. Metode informal merupakan metode analisis dengan menggunakan serangkaian kalimat atau kata-kata yang disusun menjadi beberapa paragraf sebagai penjelasasan dari hasil analisis data. Hasil yang telah ditemukan kemudian dirumuskan secara sistematis, jelas, dan mudah dipahami.
55
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Klasifikasi Semantis Verba Bahasa Jepang Verba dalam setiap bahasa di dunia merupakan unsur yang sangat penting dalam membentuk suatu kalimat. Dikatakan penting karena keseluruhan makna kalimat tersebut melekat pada makna verbanya. Begitu pun dalam bahasa Jepang, verba merupakan unsur yang tidak dapat dihilangkan dalam pembentukan sebuah kalimat, untuk menunjukkan suatu aktivitas, proses ataukah keadaan yang ditunjukkan oleh verba dalam kalimat tersebut. Sesuai dengan landasan teori dan konsep-konsep yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, dan berdasarkan datadata yang diperoleh, verba bahasa Jepang dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu verba statif, verba proses, dan verba aksi.
4.1.1 Verba Statif Bahasa Jepang Verba statif bahasa Jepang menyatakan suatu entitas yang berada dalam keadaan atau kondisis tertentu. Verba ini mempunyai ciri semantis statif/stabil atau tidak dinamis karena peristiwa yang diekspresikan pada umumnya tidak menerima bentuk progresif dan tidak ada transfer tindakan dari partisipan yang satu ke partisipan yang lainnya. Tidak dapat dipakai dalam kalimat perintah, mengharuskan hadirnya satu kasus objek dalam struktur logisnya. Objek yang dimaksud adalah entitas yang berada dalam suatu keadaan atau kondisi yang dinyatakan verbanya.
56
Verba statif bahasa Jepang tidak memiliki ciri semantis kesengajaan karena peristiwa yang digambarkan tidak disengaja oleh subjek. Dengan kata lain, subjek tidak membentuk atau tidak mengendalikan situasi, tetapi terkena pengaruh dari partisipan lain/subjek dipengaruhi oleh peristiwa yang dinyatakan oleh verbanya, seperti contoh kalimat di bawah ini. 1. 富士山 が Kumo ga awan Part
聳える sobieru . menjulang gunung-gunung
„Gunung Fuji tegak menjulang‟. 2. 川 が Kawa ga sungai Part
低地 を teichi wo dataran rendah Part
流れる。 nagareru. mengalir
„Sungai mengalir di dataran rendah‟. Verba sobieru „menjulang tinggi‟, nagareru „mengalir‟ menyatakan entitas yang berada dalam suatu keadaan atau kondisi tertentu. Keadaan yang digambarkan belum selesai atau tidak memiliki batas akhir. Verba sobieru „menjulang tinggi‟, nagareru „mengalir‟ juga mengekspresikan dimana suatu keadaan bertahan dalam kurun waktu yang lama dan tak terbatas. Verba sobieru „menjulang tinggi‟ dan nagareru „mengalir‟ menggambarkan bahwa keadaan yang terjadi secara alami. 3. a. ここ に Koko ni sini Part
本 hon buku
‟Di sini ada buku‟.
が ga Part
ある。 aru. ada
57
b.* ここ に Koko ni sini Part
本 が hon ga buku Part
あっている。 atteiru ada
(*atteiru =bentuk teiru dari aru).
„Di sini ada buku‟. 4. a. 私 は Watashi wa saya Part
日本語 が できる。 nihongo ga dekiru. bahasa Jepang Part mampu
„Saya mampu berbahasa Jepang‟. b. *私 は 日本語 が Watashi wa nihongo ga saya Part bhs Jepang Part
できている。 dekiteiru (*dekiteiru=bentuk teiru dari dekiru). mampu
„Saya (sedang) mampu berbahasa Jepang‟. 5. a. 仕事 が shigoto ga pekerjaan Part
終わる owaru. selesai
„Pekerjaan selesai‟. b. * 仕事 が Shigoto ga pekerjaan Part
終わっている。 owatteiru. selesai
(*owatteiru=bentuk te iru dari owaru).
„Pekerjaan (sedang) selesai‟.
Tanda (*) yang terdapat dalam contoh kalimat di atas menunjukkan bahwa verba statif dalam Bahasa Jepang mempunyai ciri semantis statif/stabil atau tidak dinamis karena peristiwa yang diekspresikan pada umumnya tidak menerima bentuk progresif. Verba aru „ada‟ dan verba owaru „selesai„ tidak berterima secara gramatikal jika diubah menjadi bentuk (て/でいる te/deiru). Kalimat (3--5 b) tidak berterima secara gramatikal karena akan terasa jangal jika dikatakan seperti itu. Akan
58
tetapi, ada beberapa verba statif dalam bahasa Jepang yang selalu dinyatakan dengan bentuk sedang (te/deiru), seperti yang terlihat dalam kalimat berikut ini. 6. a. 田中 さん Tanaka san Tanaka
の no Part
カメラ は kamera wa kamera Part
もっと 優れている。 motto sugureteiru. unggul
„Kamera Tanaka lebih unggul‟. b. 真由美さん は お母さんに 似ているが、妹さん は お父さん に 似ている。 Mayumisan wa okaasan ni niteiru ga, imoutoosan wa otousan ni niteiru. Mayumi Part ibu Part mirip Part adik perempuan Part ayah Part mirip „Mayumi mirip ibunya, tetapi adik perempuannya mirip bapaknya‟. c. この 道 が Kono michi ga ini jalan Part
曲がっている。 magatteiru. membelok
„Jalan ini membelok‟. Verba sugureteiru „unggul‟, niteiru „mirip‟, magatteiru „berbelok‟ pada kalimat (6a-c) di atas, menyatakan keadaan sesuatu secara khusus, dan selalu dinyatakan dengan bentuk sedang (te/deiru). Bentuk sedang dalam hal ini berarti sesuatu yang sedang dalam suatu keadaan yang stabil/tetap, bukan suatu keadaan yang sedang berlangsung. Jadi verba ini menggambarkan kondisi yang stabil atau tidak akan terjadi perubahan, karena memang sudah menjadi suatu kondisi yang tetap, seperti contoh kalimat di bawah ini. 7. 私 の Watashi no saya Part
時計 が tokei ga jam Part
„Arloji saya hilang‟
なくなった。 nakunatta. hilang
59
8. 彼 は Kare wa dia Part
病気 が byouki ga sakit Part
治った。 naotta. sembuh
‟Dia sakinya sudah sembuh‟. 9. 私 は Watashi wa saya Part
はら が hara ga perut Part
空いた。 suita. lapar
‟Perut saya lapar.‟ 10. 彼 は Kare wa dia Part
インドネシア 語 が Indonesia go ga Indonesia bahasa Part
分かる。 wakaru. mengerti
„Ia mengerti bahasa Indonesia‟. 11. 森本 さん は Morimoto san wa Morimoto Part
交通事故 で koutsuujiko de kecelakaan Part
死んでいる。 shinde iru. meninggal
„Morimoto meninggal akibat kecelakaan lalu-lintas‟. 12. 私 は Watashi wa saya Part
その sono itu
報道 に houdou ni berita Part
驚いた。 odoroita. terkejut
„Saya menerima berita itu dengan rasa terkejut‟. Verba nakunatta „hilang‟, naotta „sembuh‟, wakaru „mengerti‟, shinde iru „meninggal‟, odoroita „terkejut‟. Keenam verba di atas adalah verba keadaan karena subjeknya tidak mengendalikan situasi, tetapi dipengaruhi oleh peristiwa yang dinyatakan oleh makna verbanya.
60
4.1.2 Verba Proses Bahasa Jepang Verba proses bahasa Jepang mempunyai ciri semantis [proses]. Verba ini mendeskripsikan entitas yang mengalami proses perubahan entitas dari suatu keadaan atau kondisi menjadi keadaan lain. Verba proses bahasa Jepang juga menunjukkan perubahan atau kedinamisan, mengijinkan dipakainya bentuk progresif dan tidak dapat dipakai untuk membuat kalimat perintah [ - imperatif]. Memiliki ciri-ciri semantis [ - sengaja] dan [ - kinesis]. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut. 13. 花 が Hana ga bunga Part
きれい に kirei ni cantik Part
咲いている。 saiteiru. berkembang
„Bunga tengah berkembang dengan cantik‟. 14. 湯 が Yu ga air Part
沸いている。 waiteiru mendidih
„Air sudah mendidih‟. 15. 雨 が Ame ga Hujan Part
降っている。 futteiru. turun
„Hujan (sedang) turun. 16. 学生 Gakusei siswa
の no Part
数 が kazu ga jumlah Part
„Jumlah siswa bertambah‟.
高まっている。 takamatteiru. bertambah
61
Verba saiteiru „sedang mekar/berkembang‟, verba waiteiru „mendidih‟, verba futteiru „(sedang) turun‟, takamatteiru „bertambah‟ mengekspresikan adanya suatu perubahan yang sedang berlangsung. Verba bentuk (te/deiru) pada keempat kalimat di atas menunjukkan proses progresif atau ciri kedinamisan yang terjadi pada objek keempat verba tersebut. 17. 彼 の Kare no dia Part
声 koe suara
は wa Part
次第 に shidai ni makin Part
高くなってきた。 takakunattekita. meninggi
„Suaranya makin meninggi‟. 18. 値段 が Nedan ga harga Part
高くなる。 takakunaru. jadi mahal
„Harga jadi mahal‟. 19. テレビ Terebi televisi
の no Part
音 が oto ga suara Part
おきくなる。 okikunaru. jadi besar
„Suara televisi jadi besar‟. 20. 彼 の Kare no dia Part
髪 は kami wa rambut Part
白くなった。 shirokunatta. putih
„Rambutnya sudah memutih‟. Verba takakunattekita „meninggi‟, takakunaru „jadi mahal‟, okikunaru „jadi besar‟, dan verba shirokunatta „memutih‟ tergolong verba proses. Verba proses di atas dibentuk melalui proses derivasi dari kelas kata adjektiva menjadi kelas kata verba. Proses derivasi ini dilakukan dengan cara menghilangkan akhiran yang
62
terdapat pada adjektiva. Misalnya, takai „tinggi‟ dihilangkan akhiran (i) sehingga menjadi taka kemudian ditambahkan dengan morfem ku + -naru menjadi takaku naru „jadi tinggi‟. Setiap kelas kata adjektiva (i) yang diderivasi menjadi kelas kata verba dilakukan dengan cara menghilangkan akhiran yang terdapat pada adjektiva masingmasing. Pada umumnya adjektiva Bahasa Jepang yang dapat diderivasi menjadi verba biasanya berakhiran (~ai, ~oi, ~ui, ~ii) oleh karena itu kata sifat ini disebut kata sifat (i). Sementara itu, akhiran ~te kita yang terdapat dalam kalimat no 17 dan akhiran ~natta pada kalimat no 20 di atas merupakan fungsi gramatikal yang menunjukkan aspek progresif dan kala lampau.
4.1.3 Verba Aksi Bahasa Jepang Verba aksi bahasa Jepang adalah verba yang mempunyai ciri semantis tindakan dan perbuatan, yaitu menyatakan aksi gerakan, ujaran, dan perpindahan. Subjek verba ini adalah nomina yang memiliki ciri semantik [ + bernyawa] yang berperan sebagai pelaku dari suatu aksi/perbuatan. Memiliki komponen semantis [ + dinamis], [ + sengaja], [-/+kinesis], [ + imperatif/perintah ]. Verba aksi bahasa Jepang mengharuskan kehadiran argumen agen sebagai pelaku suatu aksi dan argumen objek yang terkena pengaruh suatu aksi atau merupakan hasil dari suatu aksi . 21. 私 Watashi saya
は wa Part
仕事 を shigoto wo pekerjaan Part
„Saya mencari pekerjaan‟.
探す。 sagasu. mencari
63
22. あなた Anata anda
は wa Part
何 nani apa
を wo Part
飲みます か。 nomimasu ka. minum Part
„Anda mau minum apa?‟ Verba sagasu „mencari‟, nomimasu „minum‟ pada kalimat di atas memiliki dua argumen yaitu argumen agen dan argumen objek. Argumen agen pada kalimat (21) diperankan oleh kata watashi „saya‟, dan kata shigoto „pekerjaan‟ sebagai objeknya. Sementara itu, pada kalimat (22) argumen agen diperankan oleh kata anata „anda‟ dan kata nani „apa‟ sebagai kata ganti objek yang akan dikenai suatu perbuatan. 23. 仕事 を Shigoto wo pekerjaan Part
探してください。 sagashitekudasai. carilah
„Carilah pekerjaan! 24. ジュース Juusu Jus
を wo Part
飲んでください。 nondekudasai. minumlah
„Minumlah jus itu! 25. 御飯 Gohan nasi
を wo Part
食べてください。 tabetekudasai. makanlah
„Makanlah!
Verba aksi bahasa Jepang dapat digunakan untuk membentuk kalimat perintah. Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan contoh kalimat (23-25) di atas. Bentuk ~te
64
kudasai/~nde kudasai adalah salah satu bentuk yang digunakan untuk membuat kalimat perintah. 26. a. 飛行機 Hikouki pesawat
を wo Part
見る。 miru. melihat
„Melihat pesawat‟. b. 飛行機 Hikouki pesawat
が ga Part
見える。 mieru. terlihat
„Terlihat pesawat‟. 27. a. 友達 の Tomodachi no teman Part
家 で uchi de rumah Part
ラジオ rajio radio
を wo Part
聞く。 kiku. mendengarkan
„Mendengarkan radio di rumah teman‟. b. その 言葉 Sono kotoba itu ucapan
は wa Part
彼 の kare no dia Part
耳 に mimi ni telinga Part
美しく 聞こえた。 utsukushiku kikoeta. merdu terdengar
„Ucapan itu terdengar merdu di telinganya‟.
Verba aksi bahasa Jepang juga memiliki ciri semantis [ + sengaja]. Hal ini dapat dibuktikan dengan kalimat (26a), (27a) bahwa argumen agen yang mengendalikan, membentuk, dan mempengaruhi situasi yang dipengaruhi oleh predikatnya. Seperti kalimat di atas, verba miru „melihat‟, kiku „mendengarkan‟ mengindikasikan bahwa pelaku dengan sengaja melakukan aktivitas melihat pesawat dan mendengarkan radio. Berbeda dengan kalimat (26b), (27b) [ - sengaja], pelaku tidak mengendalikan situasi tetapi sebaliknya pelaku dikendalikan atau dipengaruhi
65
oleh makna verbanya. Dengan demikian, verba yang terdapat pada kalimat (26b) dan (27b) tidak termasuk verba aksi. Berdasarkan ciri semantisnya verba (26b) dan (27b) tergolong verba proses. 28. テレビ Terebi televisi
の no Part
音 を oto wo suara Part
小さくする。 chisakusuru. mengecilkan
„Mengecilkan suara radio‟. 29. 値段 Nedan harga
を wo Part
高くする。 takakusuru. menaikkan
„Menaikkan harga‟. 30. 髪 Kami rambut
を wo Part
黒くする。 kurokusuru. menghitamkan
„Menghitamkan rambut‟.
Verba aksi dalam bahasa Jepang bisa juga diturunkan dari kelas adjektiva (i) menjadi verba. Proses penurunan semantik ini dilakukan dengan cara menghilangkan sufiks (i) yang terdapat dalam masing-masing adjektiva-i kemudian ditambahkan ~ku suru.
Verba
chisakusuru
‟mengecilkan‟,
takakusuru
‟menaikkan‟,
dan
kurokusuru ‟menghitamkan‟ pada kalimat (28--30) di atas merupakan hasil proses derivasi dari adjektiva-i menjadi verba aksi.
66
TABEL 4.1 KLASIFIKASI SEMANTIS VERBA BAHASA JEPANG TIPE SEMANTIS
STATIF
PROSES
AKSI
STATIF/STABIL
+
-
-
DINAMIS
-
+
+
SENGAJA
-
-
+
KINESIS
-
-
+
[-/+ ~TE IRU/ ~DE IRU
-/+
+
+
CIRI SEMANTIS
67
4.2 Peran Semantis Verba Bahasa Jepang Kategori kasus (cases) dalam Teori Tata Bahasa Kasus terbagi atas dua bagian, yaitu (1) kasus proposisi, dan (2) kasus modal (modal cases). Kasus proposisi ialah kasus yang merupakan valensi verba atau kasus yang diimplikasikan oleh verba. Dengan kata lain, kehadirannya dalam struktur semantis ditentukan oleh verba. Kasus proposisi ada yang bersifat wajib (wajib hadir) dan ada yang bersifat opsional/pilihan dalam struktur lahir. Kasus proposisi yang kehadirannya bersifat wajib disebut peran proposisi teraga (overt: kasus proposisi yang diimplikasikan oleh verba dan wajib hadir dalam struktur lahir), sedangkan kasus proposisi yang kehadirannya bersifat opsional/pilihan disebut peran proposisi tak teraga (covert: kasus proposisi yang diimplikasikan oleh verba tetapi opsional dalam struktur lahir dan hadir dalam struktur batin atau struktur logika). Cook mengklasifikasikan kasus tak teraga (covert) itu menjadi tiga bagian, yaitu (1) kasus koreferensial, (2) kasus terkandung, dan (3) kasus leksikalisasi. Kasus koreferensial adalah kasus yang menunjuk dua nosi yang mempunyai acuan semantis yang sama. Kasus terkandung (build in) adalah kasus yang tidak muncul pada struktur luar tapi secara intuisi hadir pada struktur logika atau batin. Kasus leksikalisasi adalah kasus yang tidak hadir pada struktur lahir karena kasus itu dileksikalisasi dalam verba. Kasus modal (modal cases: kasus yang tidak diimplikasikan oleh verba dan selalu opsional dalam struktur lahir) ialah kasus yang tidak merupakan valensi verba. Kehadirannya dalam struktur semantis tidak bergantung pada verba (Cook, 1979: 82). Realisasi kasus modal pada struktur luar
68
hanya bersifat opsional (tidak harus), hal ini terjadi untuk memenuhi fungsi gramatikal suatu bahasa. Ada lima kasus proposisi, yaitu Agent (Agen), Experiencer (Pengalami), Benefactive (Benefaktif), Object (Objek), dan Locative (Lokatif). Sementara itu, kasus-kasus modal adalah Time (waktu), Manner (cara), Instrument (Instrumen), Cause (Sebab), Purpose (Maksud). Result (Akibat), Outer Benefactive (Benefaktif luar), dan Outer Locative (Lokatif luar). Yang dimaksud Outer Benefactive (Benefaktif luar) ialah kasus Benefaktif yang tidak bergantung pada verba dalam suatu struktur proposisi. Demikian juga Outer Locative ialah kasus Lokatif yang tidak bergantung pada verba dalam suatu struktur proposisi (Cook 1973:57; 1974:8; 1978:82). Dengan mengunakan landasan teori yang telah dibicarakan dalam bab sebelumnya, maka di bawah ini dijelaskan kasus-kasus proposisi dan kasus modal yang terdapat dalam kalimat bahasa Jepang dengan menampilkan data-data sebagi ilustrasi. Kalimat-kalimat data yang ditampilkan adalah kalimat-kalimat sederhana yang sudah memenuhi struktur proposisi. Pada bab ini membahas peran semantis argumen verba bahasa Jepang, yaitu verba dasar yang terdiri atas verba statif, verba proses, dan verba aksi. Pembahasan dilakukan untuk mengidentifikasi peran semantis argumen verba statif, verba proses, dan verba aksi yang dikombinasikan dengan verba tambahan, yakni verba Pengalami, verba Benefaktif, dan verba Lokatif.
69
4.2.1 Peran Semantis Verba Statif Bahasa Jepang Verba Statif bahasa Jepang mempunyai ciri semantis [keadaan]. Verba statif menyatakan suatu entitas yang berada dalam keadaan atau kondisis tertentu Cook (1979: 135). Subjek dalam kalimat yang menggunakan verba statif bahasa Jepang berupa nomina umum yang berada dalam keadaan atau kondisi yang dinyatakan oleh verba tersebut. Verba ini memiliki minimal satu argumen inti dan maksimal memiliki dua argumen inti.
4.2.1.1 Peran Semantis Verba Statif Dasar Bahasa Jepang Verba statif dasar mengharuskan hadirnya satu kasus Objek dalam struktur semantisnya. Objek ini menyatakan entitas yang berada dalam suatu keadaan atau kondisi. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini dijelaskan beberapa contoh kalimat yang menggunakan verba statif dalam Bahasa Jepang. (1)ともえ が Tomoe ga Os Tomoe Part
焼けた。 yaketa. telah terbakar
„Tomoe telah terbakar‟. (トットちゃん: 264--265) (Tottochan: 173--174) (2)や 腕 が、 がっちりしていて。 ya ude ga gakkarishiteite. Os bahu dan lengan Part kekar “Meskipun tingginya tidak seberapa, bahu dan lengannya kekar”.
70
(トットちゃん:264--265) (Tottochan: 264--265)
(3)この Kono
時計 tokei
は wa
壊れています。 kowarete imasu.
jam
Part
rusak
Os ini
„Jam ini sudah rusak‟. (4) 私 は はら が 空いた。 watashi wa hara ga suita. Os dia Part perut Part lapar „Perut saya lapar.‟ (5) 彼 は 病気 が 治った。 kare wa byouki ga naotta. Os Dia part sakit part sembuh „Dia sakitnya sudah sembuh‟. Verba 焼けた/yaketa „terbakar‟, がっちりしていて/gacchiri shite ite „kekar‟, 壊 れ て い ま す /kowarete imasu „rusak‟, 空 い た /suita „lapar‟, 治 っ た /naotta „sembuh‟. Ketiga verba statif yang terdapat dalam contoh kalimat di atas memiliki satu argumen inti. (1) Argumen verba yaketa „terbakar‟ adalah nomina persona „Tomoe‟ yang kondisinya dalam keadaan terbakar; (2) Argumen verba gacchiri shite
71
ite „kekar‟ adalah nomina ude ‟lengan‟ yang dinyatakan oleh verba bahwa dalam keadaan „kekar‟ (3) Argumen dari verba kowarete imasu adalah nomina yaitu ‟jam ini‟ yang menyatakan bahwa sebuah jam yang dalam keadaan sudah rusak. (4) Peran semantis argumen dari verba suita adalah nomina persona yaitu „saya‟ yang menyatakan bahwa perutnya dalam keadaan lapar. (5) Peran semantis dari verba naotta adalah frase nomina persona yaitu „dia sakitnya‟ dinyatakan bahwa sudah dalam keadaan sembuh. Dalam struktur lahirnya ketiga contoh kalimat di atas direalisasikan dengan penanda partikel, yaitu partikel wa, dan ga. Partikel wa berfungsi sebagai penanda subjek/topik, sedangkan partikel ga berfungsi sebagai penanda verba statif.
4.2.1.2 Peran Semantis Verba Statif Pengalam Bahasa Jepang Verba statif pengalam bahasa Jepang mempunyai ciri-ciri semantis [keadaan/pengalaman] mengharuskan hadirnya satu kasus Pengalami dan satu kasus Objek dalam struktur semantisnya. Subjek dalam kalimat yang menggunakan verba statif pengalam adalah sebuah nomina yang berada dalam keadaan. Pengalami yang dimaksud adalah keadaan kognisi, emosi, sensasi, atau secara psikologis. Contoh: (6)
彼女 は 地震 を 怖がっている。 (Minna: 64) Kanojo wa jishin wo kowagatte iru. E Os dia Part gempa Part takut „Dia (perempuan) merasa takut akan gempa‟.
72
(7)
わたし は ともだち が 欲しいです。 (Minna: 88) Watashi wa tomodachi ga hoshii desu. E Os Saya Part teman Part ingin punya ‟Saya mau teman‟.
(8)
トットちゃん
は
つて
Tottochan wa Tsute
こと
koto
だけ
dake
じゃなくて、
jyanakute,
E Koneksi sesuatu hanya 言葉
を
kotoba wo Os kata-kata Part
tidak
たくさん
知らない
takusan
shiranai
banyak
から kara
tidak tahu karena
“ karena tidak hanya belum bisa berkomunikasi, Tottochan juga belum tahu banyak kata-kata”. (トットちゃん :68) (Totto chan: 46) (9)
私は毎日、 鉛筆 を けずって あげる くらい 好き を ひ と を、なんで、おすもう の 時間 に、 Watashi wa mainichi enpitsu o kezutte ageru kurai suki E wo hito wo nande osumou no jikan ni Os Setiap hari pensil part runcingkan beri kirakira suka part orang part walaupun sumo part waktu part すっかり 忘れている。
73
sukari wasureteiru sama sekali lupa. “tetapi semuanya sudah terlambat. Mengapa aku lupa kalau aku suka dia. Sampai-sampai melemparkannya pada saat bermain sumo”. (トットちゃん: 201--202) (Tottochan: 132--133 ) (10)トットちゃん は、 信じらない Tottochan wa shinjiranai E Tottochan Part tidak percaya
気 ki
が した。 ga shita.
perasaan Part
“ Tottochan merasa tidak percaya”. (トットちゃん: 32--34) (Tottochan: 22--23) Verba statif pengalam 怖がっている/kowagatte iru, ほしい/hoshii, 知らな い/shiranai, 忘れている/ wasurete iru, pada kalimat di atas adalah verba KeadaanPengalaman. Verba yang menyatakan keadaan kognisi pikiran, menyatakan keadaan emosi, atau perasaan (sensasi). Subjek „kanojo, watashi, dan Tottochan‟ yang terdapat pada kalimat (6--10) di atas, mengalami keadaan yang dinyatakan oleh verba kowagatte iru, hoshii, shiranai, wasurete iru, dan ki ga shita. Pada kalimat (6) ‟kanojo‟ adalah subjek yang mengalami keadaan kowagatte iru ‟takut‟, (7) ‟watashi‟ adalah subjek yang mengalami keadaan hoshii „mau/ingin‟, (8) „Tottochan‟ adalah subjek yang mengalami keadaan shiranai ‟belum tahu‟,
74
(9) ‟watashi‟ adalah subjek yang mengalami keadaan wasurete iru „lupa‟, dan (10) „Tottochan‟ adalah subjek yang mengalami keadaan ki ga shita „merasakan‟. Dalam struktur lahir kalimat ditandai oleh partikel wo, wa, ga, ni. Partikel „wo‟ dipakai sebagai penanda objek keadaan, partikel „wa‟ hadir sebagai penanda topik/subjek, partikel „ga‟ sebagai penanda verba statif (sesuatu yang dalam keadaan), partikel „ni ‟ menyatakan suatu keberadaan.
4.2.1.3 Peran Semantis Verba Statif Benefaktif Bahasa Jepang Verba statif benefaktif bahasa Jepang mempunyai ciri-ciri semantis [keadaanbenefaktif], verba ini mengharuskan hadirnya satu kasus benefaktif dan satu objek dalam struktur semantisnya. Subjek verba statif benefaktif menyatakan nomina atau entiti yang memiliki, memperoleh (mendapat), atau kehilangan sesuatu. Entitas yang dimaksud pada dasarnya harus manusia (enimat). Contoh: (11)
わたし は カメラ Watashi wa kamera B Os Saya Part kamera
が ga
あります。 arimasu.
Part
ada/ punya
(Minna: 74)
„Saya punya (ada) kamera‟ (12)
サントスさん は パソコン を 持っています。(Minna: 98) Santosu-san wa pasokon wo motte imasu. B Os Santosu (sdr) Part Personal komputer Part mempunyai „Sodara Santos mempunyai personal komputer‟.
75
(13)
彼 は 今 や、 それぞれ の 道 で 成功しています。 Kare wa ima ya, sorezore no michi de seikou shite imasu. B Os Mereka Part kini Part, masing2 Part bidangnya Part kesuksesan ‟Mereka kini mengalami kesuksesan dalam bidangnya masing-masing‟.
(14)
リトミックを教えに来ている先生がいて、学校のすぐそばに、 Ritomikku o oshie ni kite iru sensei ga ite, gakkou no sugu soba ni, B ダンスのスタジオ を 持っている、 dansu no stujio wo motte iru. Os studio dansa Part mempunyai „Sensei itu mengajarkan senam irama, guru itu mempunyai studio dansa di dekat sekolah‟. (トットちゃん:183--186) (Tottochan: 121-123)
(15) パパ と パパ Papa
to
が それ を
信用して
「徹」 と 決めた。
mama ga sore wo shinyoushite (tooru) to kimeta.
B Papa Part Mama Part hal itu Part mempercayai Tooru part memutuskan
いつ itsu
ため tame
の だから 初めて 子供 を 持つ、 no dakara hajimete kodomo wo motsu, Os kapan untuk Part karena pertama anak Part memiliki
„Papa dan Mama yang menanti memiliki anak pertama begitu mempercayainya lalu memutuskan akan memberi anaknya nama “Tooru”.
76
(トットちゃん:67) (Tottochan: 45) Verba arimasu „punya‟, motte imasu „mempunyai‟, seikou shite imasu „mengalami kesuksesan‟, motte iru „mempunyai‟, dan motsu „memiliki‟ pada kalimat di atas merupakan verba statif benefaktif. Subjek yang terdapat pada (11--15]、わた し„saya‟、サントス„Santosu‟、彼 „mereka„ 先生„guru‟
パパとママ„papa dan
mama‟ adalah nomina persona (subjek) sebagai kasus benefaktif yang dalam keadaan mendapatkan, memiliki sesuatu. Sementara itu, カメラ „kamera‟、パソコンpersonal „komputer‟, 道„bidangnya‟, ダンスのスタジオ„studio dansa‟, 子供‟ anak berperan sebagai kasus objek yang dalam keadaan dimiliki/didapatkan oleh subjek. Dalam struktur lahir kalimat direalisasikan dengan penanda partikel, „wa, ga, wo, no‟ secara sintaktis partikel tersebut berfungsi sebagai pewatas antara argumen satu dengan yang lainnya. Partikel „wa‟ berfungsi sebagai penanda topik, partikel „ga‟ berfungsi sebagai penanda verba statif, partikel „wo‟ berfungsi sebagai penanda kasus objek, dan partikel „no‟ berfungsi untuk menyatakan „kepemilikin‟ dan memiliki fungsi gramatikal sebagai „nominalisator‟.
4.2.1.4 Peran Semantis Verba Statif Lokatif Bahasa Jepang Verba Statif Lokatif bahasa Jepang mempunyai ciri semantis [keadaanlokatif]. Verba ini mengharuskan satu kasus objek dan kasus lokatif dalam struktur
77
semantiknya. Subjek dari kalimat statif lokatif adalah nomina yang dalam keadaan berada disuatu tempat atau lokasi. Contoh: (16)
家族 は ニュ-ヨ-ク Kazoku wa Nyu-yo-ku Os L keluarga (saya) Part New York
に ni
います。 imasu.
Part
(Minna: 68)
ada
‟Keluarga saya ada di New York‟. (17) 聖徳太子 は 574 年 に 奈良 で 生まれました。 (Minna: 197) Shoutokutaishi wa 574 nen ni Nara de umaremashita. Os L shoutokutaishi Part 574 tahun Part Nara Part lahir „Shoutokutaishi lahir pada tahun 574 di Nara‟. (18)
かれ Kare Os Ia
は wa
長いあいだ 東京 に 住んでいます。 nagai aida Toukyou ni sunde imasu. L Part (telah) lama Toukyou Part bermukim
„Ia telah lama bermukim di Toukyou‟. (19) わたし は 日本 に 一年 います。 Watashi wa nihon ni ichinen imasu. Os L Saya Part Jepang Part satu tahun tinggal „Saya tinggal di Jepang selama satu tahun‟.
(Minna: 74)
78
(20) 校長先生 は、お百姓さん先生 の 隣り に 並ぶ と、いっ た。 Kouchou sensei wa ohyakusan sensei no tonari ni narabu to, itta. Os L Kepala sekolah Part petani guru Part sebelah Part berdiri, berkata „Kepala sekolah berdiri di sebelah guru petani itu dan berkata‟. (トットちゃん:188) (Tottochan : 124) Verba „ い ま す /imasu „ada‟ pada kalimat (16-19) 、 生 ま れ ま し た /umaremashita „lahir‟, 住 ん で い ま す /sunde imasu „ada/tinggal‟ 並 ぶ /narabu „berjejer/berdiri‟ yang terdapat dalam contoh kalimat di atas adalah verba statif lokatif karena semua verba tersebut memerlukan argumen yang berciri tempat atau yang menyatakan tempat. Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan argumen lokatif yang diperlukan oleh masing-masing verba tersebut. Verba imasu „ada‟ pada contoh kalimat (1-4) memerlukan argumen lokatif „Nyu-yo-ku‟, Nihon (2) verba umaremashita ‟lahir‟ memerlukan argumen lokatif ‟Nara‟, dan (3) verba sunde imasu ‟bermukim‟ memerlukan argumen lokatif ‟Toukyou‟ untuk menyatakan lokasi dari suatu keadaan (keberadaan) sesuatu, verba narabu ‟berjejer/berdiri‟ yang terdapat pada kalimat (20) memerlukan argumen lokatif yang berupa keterangan penunjuk tempat yaitu kata tonari ‟sebelah‟. Realisasi struktur lahir kalimat di atas ditandai dengan partikel wa, ni, de. Partikel ‟wa‟ yang terdapat dalam kalimat di atas berfungsi sebagai penanda topik, partikel ‟ni‟ berfungsi sebagai penunjuk tempat, partikel ‟de‟ juga berfungsi sebagai penanda tempat atau objek lokatif.
79
4.2.2. Peran Semantis Verba Proses Bahasa Jepang Verba proses bahasa Jepang mempunyai ciri semantis [proses]. Verba proses mendeskripsikan entitas yang mengalami proses perubahan keadaan atau kondisi. Cook (1979: 35) menyatakan bahwa verba proses menggambarkan perubahan entitas dari suatu keadaan menjadi keadaan lain. Verba proses bahasa Jepang memiliki minimal satu argumen inti dan maksimal memiliki dua argumen inti.
4.2.2.1 Peran Semantis Verba Proses Dasar Bahasa Jepang Verba proses dasar bahasa Jepang menunjukkan perubahan kondisi objek, yaitu perubahan suatu entitas dari suatu keadaan menjadi keadaan yang lain. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini dijelaskan beberapa contoh kalimat yang menggunakan verba proses dasar dalam Bahasa Jepang. (21)留学生 が 十 人 に 増えている。 (Mina: 104) Ryuugakusei ga juu nin ni fuete iru. O mahasiswa asing Part sepuluh orang Part bertambah „Mahasiswa asing bertambah sepuluh orang‟ (22)これから、だんだん Korekara dandan mulai sekarang
天気 tenki O udara
が
Part
暑くなります。(Minna: 122) atsuku narimasu. menjadi panas
„Mulai sekarang, lama kelamaan udara menjadi panas‟.
80
(23)今、 Ima,
雨 ame O sekarang hujan
が ga
降っていますか。 futte imasuka.
Part
sedang turun?
(Minna: 95)
„Apakah sekarang hujan sedang turun‟? (24)トモエ の みんな は、宮崎君 と すぐ親しくなった。 Tomoe no Minna wa miyazaki kun to sugu shitashiku natta. O Tomoe Part murid-murid Part, miyazaki Part kemudian menjadi akrab. „Murid-murid di tomoe segera menjadi akrab dengan miyazaki‟. (トットちゃん: 226) (Tottochan: 148) (25)その人
は、 頭
Sonohito
wa
の 毛
atama no
が
。。。ga
薄くなっていって、 usukunatteitte,
O itu orang
Part
kepala Part
Part
menipis
前
の ほう の
歯
が
Mae
no hou
no
ha
ga
atama
Part
gigi
Part
kepala
depan Part
。。。顔
„Orang itu rambutnya sudah menipis, gigi depannya sudah ompong tetapi raut mukanya ramah‟. (トットちゃん: 264--265) (Tottochan: 173--174)
81
Verba pada contoh kalimat (21--25) di atas, adalah verba proses. Verba fuete iru ‟bertambah‟ pada kalimat (21) memiliki makna proses yaitu ditunjukkan oleh kata keterangan 十 人 /juu nin
„sepuluh orang‟ menyatakan jumlah yang sedang
bertambah, berarti ada proses peningkatan yang terjadi pada objek yaitu 留学生 /ryuugakusei „mahasiswa asing‟. Verba proses yang terdapat pada kalimat (22) dapat diidentifikasi dari bentuk verbanya yaitu verba yang terbentuk karena proses derivasi yaitu dari kata sifat atsui „panas‟, kemudian dihilangkan akhiran (i) dan ditambahkan morfem (-ku) dan ditambahkan (suru). Verba „menjadi panas‟ memiliki makna dari kondisi yang dingin/belum panas berubah menjadi panas. Hal ini juga diperkuat dengan adanya kata keterangan „dandan‟ (berangsur-angsur/lama-kelamaan) yang menyatakan adanya perubahan suatu kondisi menjadi kondisi yang lain. Verba proses yang terdapat pada kalimat (23) direalisasikan dalam kalimat pertanyaan hal ini terbukti bersesuaian dengan pendapat yang diungkapkan oleh Chafe (1970:100), yang bahwa verba proses adalah verba yang dapat menjadi jawaban untuk pertanyaan ”Apa yang terjadi pada N”? (N adalah suatu entiti). Sehingga pertanyaan yang terdapat pada kalimat (23) di atas dapat dijawab “…はい、降っています/ Hai, (ame ga) futte imasu”‟...Ya, hujan sedang turun‟ (Minna: 95). Verba proses yang terdapat dalam kalimat (24) subjeknya, yaitu „Tomoe‟ menjadi akrab dengan „Miyazaki‟ dinyatakan bahwa dari tidak akrab menjadi akrab berarti telah terjadi perubahan kondisi. Ciri proses dalam kalimat ini juga dapat diidentifikasi secara gramatikal yaitu pemakaian kata keterangan –shitashhiku naru,
82
di mana verba ini merupakan verba yang diderivasi dari adjektiva (i) menjadi verba yang bermakna proses karena penambahan verba bantu bentuk –ku+natta (menjadi). Verba proses yang terdapat dalam kalimat (25) ditunjukkan oleh frase „rambutnya sudah menipis‟ berarti di sini telah terjadi perubahan kondisi subjek dari tebal berproses menjadi tipis. Hal tersebut juga lebih diperkuat oleh pemakaian bentuk – uttsu ku natte ite yang sama maknanya dengan bentuk –ku+natta yang terdapat pada kalimat (24) di atas.
4.2.2.2 Peran Semantis Verba Proses Pengalam Bahasa Jepang Verba Proses Pengalam bahasa Jepang mempunyai ciri semantis [prosespengalam]. Kasus yang diperlukan oleh verba ini adalah mahluk hidup yang mengalami perubahan gejala psikologis, yakni hal yang berkaitan dengan perasaan emosi, kognisi sehubungan dengan stimulus dari pengalaman yang dinyatakan oleh kasus objek. Argumen verba proses adalah nomina animat (mahluk hidup) yang mengalami/merasakan sesuatu secara fisik atau psikologis. Contoh: (26)私 は 毎日、 漢字 を 六つ 覚えます。 (Minna: 141) Watashi wa mainichi kanji wo muttsu oboemasu. E O saya Part setiap hari huruf kanji Part enam buah menghafal „Setiap hari saya menghafal tujuh buah kanji‟.
83
(27)あなた は 心配しないで、 私 は 元気ですから。(Minna: 112) Anata wa shinpaishinaide, watashi wa genki desukara. E O saya Part sehat karena khawatir tolong jangan „Kamu tidak usah khawatir, saya sehat-sehat saja‟. (28)きのう私はは山 が見ましたが、きょう は 見ません。(Minna: II/15) Kinou watashi wa yama ga mimashita ga, kyou wa mimasen. E O kemarin saya Part gunung Part melihat Part sekarang Part tidak melihat „Kemarin saya melihat gunung, tetapi hari ini tidak ‟. (29)気に帰っても、トットちゃん は、ずっと、このことを考え、感動 していた。 Ki ni kaettemo, Tottochan wa, zutto,kono koto o kangae, kandou shite ita. E O walaupun sudah dirumah, Tottochan Part terus-menerus memikirkannya „Setelah pulang kerumah Totto teringat terus‟. (トットちゃん:183-186) ( Tottochan: 121-123) (30)そしたら、女 の 子 だった の で 少し は 彼 Soshitara, onna no ko datta
は 困ったけど、
node sukoshi wa kare wa komattakedo, E
Tetapi, perempuan Part bingung,
anak
adalah
Part
sedikit Part agak
„Tetapi setelah lahir anaknya adalah perempuan, mereka menjadi agak bingung juga‟.
84
(トットちゃん:67) (Totto chan: 45)
Verba yang terdapat pada contoh kalimat (26--30) di atas, adalah verba proses pengalam. Verba 覚えます/oboemasu „mengingat/menghafal‟ berhubungan dengan kognisi, verba 心 配 し な い で 下 さ い /shinpai shinaide kudasai „tolong jangan khawatir‟ berhubungan dengan emosi, verba 見 え ま し た /miemashita „terlihat‟ berhubungan dengan sensasi, verba 感 動 し て い た /kandou shite ita „memikirkan/ingat‟ berhubungan dengan kognisi, verba 困った/komatta „bingung‟ berhubungan dengan emosi. Sedangkan „watashi/saya, Totto, mereka‟ adalah nomina (subjek) yang mengalami proses itu. Pada kalimat (29-30) verba pengalam proses ditandai secara leksikal oleh kata keterangan 少し/sukoshi „sedikit/agak‟, ずっと /zutto „terus-menerus‟. Kata keterangan sukoshi memiliki ciri makna [ + gradasi], sedangkan kata keterangan zutto memiliki makna [ + progresif], jadi kedua kata keterangan tersebut memiliki ciri makna perubahan sesuatu.
4.2.2.3 Peran Semantis Verba Proses Benefaktif Bahasa Jepang Verba Proses Benefaktif bahasa Jepang mempunyai ciri semantis [prosesbenefaktif]. Verba benefaktif mengharuskan kehadiran satu kasus benefaktif dan kasus objek dalam struktur semantiknya. Subjek dari kalimat yang menggunakan
85
verba proses benefaktif adalah nomina yang mengalami suatu proses atau kejadian memperoleh atau kehilangan (kerugian). Contoh: (31)ミラさん は 漢字 を 読むこと が できます。(Minna: 116) Mira-san wa kanji wo yomu koto ga dekimasu. B O Sdr .Miller Part huruf kanji Part membaca Part dapat „Miller dapat membaca kanji‟. (32)田中さんたち は 成功 を 収めます。 Tanaka-san tachi wa seikou wo osamemasu. B O Tanaka keluarga Part kesuksesan Part mencapai „Keluarga Tanaka mencapai (dapat) kesuksesan‟. (33)きのう の試合は中国と日本とどちらが勝ちましたか。 (Minna: 175) Kinou no shiai wa Chuugoku to nihon to dochira ga kachimashitaka. Kemarin Part pertandingan Part China Part Jepang yangmana menang. 中国 は 試合 が 勝ちました。 Chuugoku wa shiai ga kachimashita. B O China Part pertandingan Part menang „Pertandingan kemarin apakah China atau Jepang yang menang‟? „China yang menang dalam pertandingan itu‟. (34)でも、 トットチャン とうとう、話 が 無くなかった。 demo, Tottochan toutou hanashi ga nakunakatta. B O Tetapi Tottochan akhirnya bicara Part kehabisan. „Tetapi akhirnya Tottochan kehabisan cerita‟.
86
(トットちゃん: 264--265) (Tottochan: 173--174) Verba 出来ます/dekimasu „dapat‟, 収めます/osamemasu „mencapai‟, 勝ち ました/kachimashita ‟menang‟ 無くなった/nakunatta „habis/hilang adalah verba proses benefaktif. ミラさん/Mira-san „Miller‟, 田中さんたち/Tanaka-san tachi „keluarga Tanaka‟, 中国/Chugoku ‟China‟, dan トットチャン/Tottochan adalah nomina yang mengalami peristiwa yang dinyatakan oleh verba tersebut, yaitu proses benefaktif (memperoleh, mendapatkan, memiliki, dan kehilangan atau kehabisan sesuatu).
4.2.2.4 Peran Semantis Verba Proses Lokatif Bahasa Jepang Verba Proses Lokatif bahasa Jepang mempunyai ciri semantis [proses-lokatif], verba proses lokatif mengharuskan kehadiran satu kasus objek dan satu kasus lokatif dalam struktur semantisnya. Subjek dari kalimat yang menggunakan verba proses lokatif berupa nomina yang mengalami suatu proses perubahan tempat (lokasi asal, lokasi lintas atau lokasi tujuan), dan kasus lokatif menyatakan tempat di mana terjadinya proses tersebut (Cook, 1979: 52).
87
Contoh: (35)わたし は 家族 と 日本 Watashi wa kazoku to Nihon O L saya Part keluarga Part Jepang
へ e
来ました。 kimashita.
(Minna: 38)
Part datang
„Saya datang ke Jepang bersama dengan keluarga saya‟. (36)JL107 便 は 何 時 に 到着するか、 調べてください。 (Minna: II/90) JL 107 bin wa nan ji ni touchaku suru ka, shirabete kudasai. O JL 107 pesawat Part berapa jam Part tiba akan, tolong cek „Tolong cek jam berapa pesawat JL 107 akan tiba‟. (37)この バス は 大阪所 に 出かけます。 Kono basu wa Oosakajo ni dekakemasu. O L itu bus Part Oosaka terminal Part berangkat „Bus itu berangkat ke terminal Oosaka‟. (38)みんな、九品仏 の お寺 に Minna, kuhonbutsu no otera ni O Kalian, kuhonbutsu Part kuil Part
散歩 に いくとき、家 の そば を sanpo ni iku toki, ie no soba wo L jalan Part pergi ketika, rumah Part
痛るしゃねえ の? tooru janee no. sebelah „Kalian kan selalu lewat samping rumahku kalau jalan-jalan ke Kuhonbutsu‟.
(トットちゃん:187) (Tottochan: 123)
88
(39)B29 の B29 no B29 PART トモエ Tomoe
飛行機 から、 爆弾 は、 いくつも、いくつも、 hikouki kara, bakudan wa, ikutsumo, ikutsumo, O pesawat dari bom PART banyak, banyak,
の、 電車 no, densha
の no
L Tomoe Part kereta listrik part
上 ue GA
に ni Part atas
Part
落ちた。 ochita. jatuh. „Dari pesawat-pesawat pembom B29, bom-bom pembakar yang tak terhitung banyaknya jatuh di atas kereta listrik yang dijadikan sekolah Tomoe‟.
(トットちゃん: 264--265) (Tottochan: 173--174) Verba 来ました/kimashita „datang‟, 到着する/touchaku suru „tiba‟, 出かけ ます/dekakemasu „berangkat‟, 通る/tooru „lewat‟ 落ちた/ochita „jatuh‟ adalah verba proses-lokatif. Sedangkan わたし/watashi „saya‟, 便/bin „pesawat‟, バスみんな /minna „kalian‟, 爆弾/bakudan „bom‟ adalah nomina yang mengalami perubahan lokasi. Kelima verba ini menyatakan adanya proses perpindahan objek dari suatu tempat ke tempat yang lain. Pada kalimat (35) kasus objek diperankan oleh nomina persona watashi „saya‟ sedangkan untuk kasus lokatif diperankan oleh nomina Nihon „negara Jepang. Pada kalimat (36) kasus objek diperankan oleh nomina bin „pesawat‟ sedangkan kasus lokatif tidak direalisasikan dalam struktur lahir kalimat, tetapi
89
sebenarnya dalam struktur logisnya peran lokatif bisa diperankan oleh nomina hikoukijo „airport‟. Pada kalimat (37) kasus objek diperankan oleh nomina basu „bus‟ sedangkan untuk kasus lokatifnya diperankan oleh frase Oosakajo „terminal Oosaka‟. Kalimat (38) kasus objek diperankan oleh nomina persona minna „kalian‟ sedangkan untuk kasus lokatifnya diperankan oleh diperankan oleh frase nomina uchi no soba „samping rumah‟, kalimat (39) kasus objek diperankan oleh nomina bakudan „bom‟, sedangkan kasus lokatif diperankan oleh nomina densha „kereta listrik‟. Realisasi struktur lahir ketiga kalimat di atas menggunakan partikel (pemarkah) wa, to, e, ni, partikel „wa‟ berfungsi sebagai penanda topik, partikel „to‟ berfungsi sebagai penanda keterangan penyerta, partikel „e‟ menyatakan tujuan/arah suatu gerakan atau perpindahan, dan partikel „ni‟ berfungsi untuk menyatakan tempat tujuan/lokasi dari suatu pergerakan atau perpindahan.
4.2.3 Peran Semantis Verba Aksi Bahasa Jepang Verba aksi bahasa Jepang mempunyai ciri semantis tindakan dan perbuatan, yaitu menyatakan aksi gerakan, ujaran, dan perpindahan. Verba aksi bahasa Jepang mengharuskan kehadiran argumen agen sebagai pelaku suatu aksi dan argumen objek yang kena pengaruh suatu aksi atau merupakan hasil dari suatu aksi. Verba ini memiliki minimal dua argumen inti dan maksimal memiliki tiga argumen inti.
90
4.2.3.1 Peran Semantis Verba Aksi Dasar Bahasa Jepang Verba Aksi Dasar bahasa Jepang memiliki dua argumen inti. Argumen pertama berperan sebagai kasus agen, sedangkan argumen kedua berperan sebagai kasus objek yang mengalami efek atau pengaruh dari suatu aksi. Verba aksi adalah verba yang membutuhkan argumen berupa sebuah nomina yang berciri makna [ + bernyawa]; dan bertindak sebagai penggerak tindakan yang disebutkan oleh verba tersebut. Verba ini mengharuskan hadirnya kasus agen dan kasus objek dalam struktur semantisnya. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini dijelaskan beberapa contoh kalimat yang menggunakan verba aksi dalam Bahasa Jepang. (40)今朝、 Kesa,
父 は 新聞 を 読みました。 (Minna: 32) chichi wa shimbun wo yomimashita. A O tadi pagi, ayah Part koran Part membaca „Tadi pagi ayah sudah baca koran‟.
(41)毎日 日記 を 書くよう に しています。 (Minna: II/66) Mainichi nikki wo kaku you ni shite imasu. O setiap hari catatan harian Part menulis supaya bisa „Saya berusaha menulis catatan harian‟. (42)レポ-ト は 出さ なくてもいいです。 Repo-to wa dasa nakute mo ii desu. O laporan Part menyerahkan tidak perlu „Anda sekalian tidak perlu menyerahkan laporan‟.
(Minna: 110)
91
(43)子供 は Kodomo wa A Seorang anak Part
窓 を 開けます。 mado wo akemasu. O jendela Part membuka
„Seorang anak membuka jendela‟. (44)しかも、話しながら、 手 は 休むことなく雑草を、ひきぬいた。 Shikamo, hanashinagara, te wa yasumu koto naku zoukusa wo hikinuita. A O Herannya, waktu berbicara, tangan Part istirahat rumput liar mencabut „Herannya, waktu berbicara, tangannya tak henti-henti mencabut rumput liar‟. (トットちゃん:188) (Tottochan: 124)
Verba yang terdapat pada contoh kalimat (40--44)di atas, merupakan verba aksi. Kalimat (40) verba 読みました/yomimashita „baca‟ mengikat dua argumen inti yaitu chichi „ayah‟ sebagai peran agen, dan shimbun „koran‟ yang berperan sebagai kasus objek. Kalimat (41) verba 書く/kaku „menulis‟ mengikat dua argumen inti yaitu watashi „saya‟ sebagai agen dan kasus objek diperankan oleh nomina nikki „buku catatan harian‟; kalimat (42) verba 出す/dasu „menyerahkan‟ mengikat dua argumen inti yaitu agen dan objek, tetapi kasus agen tidak direalisasikan di dalam struktur lahir kalimat. Pelesapan satu unsur subjek dalam sebuah kalimat memang biasa dilakukan dalam kalimat bahasa Jepang. Pada kalimat (43) verba 開けます /akemasu „membuka‟ mengikat dua argumen inti yaitu kodomo „seorang anak‟
92
sebagai agen, dan mado „jendela‟ sebagai kasus objek. Pada kalimat (44) verba ひき ぬいた/hikinuita „mencabut‟ mengikat dua argumen inti yaitu te ‟tangan‟ sebagai kasus agen, dan zoukusa „rumput‟ sebagai kasus objek. Kelima kalimat di atas dalam struktur lahirnya, direalisasikan dengan partikel „wa‟ dan partikel „wo‟, partikel „wa‟ secara sintaktis berfungsi sebagai penanda topik/subjek sedangkan secara semantis sebagai penanda kasus agen. Sementara itu, partikel „wo‟ secara sintaktis berfungsi sebagai penanda objek dari kata kerja transitif sedangkan secara semantis sebagai penanda kasus objek yang terkena efek dari suatu aktivitas atau perbuatan. Verba ini memiliki ciri makna [ + transitif].
4.2.3.2 Peran Semantis Verba Aksi Pengalam Bahasa Jepang Verba Aksi Pengalam bahasa Jepang mempunyai ciri semantis [aksipengalam], pelaku dari verba ini adalah nomina berciri makna [ + bernyawa], dan bertindak sebagai pelaku tindakan yang disebutkan oleh verba tersebut serta sekaligus dapat pula sebagai pengalami secara kognisi, emosi, atau sensasi dari tindakan yang dinyatakan oleh verba tersebut. Verba ini mengharuskan kehadiran kasus Agen, kasus Pengalami, dan kasus Objek dalam struktur semantisnya. Verba Pengalam Aksi menyatakan aktivitas berkenaan dengan aspek psikologis pengalam, kognisi, emosi atau sensasi. Kasus Agen menyatakan entitas yaitu mahluk hidup (animat) yang menjadi pelaku suatu aksi/perbuatan. Kasus Pengalami menyatakan mahluk hidup
93
yang mengalami pengalaman psikologis, yaitu kognisi, emosi, atau sensasi. Kasus Objek menyatakan entitas yang merupakan isi dari atau stimulus bagi pengalami. Contoh: (45)トットチちゃん は つくずくと その 先生 Tottochan A=E Tottochan
を
観察した。
wa
tsukuzukuto sono sensei wo kansatsu shita. A=E Part cermat guru itu Part mengamati
„Dengan cermat Tottochan mengamati guru itu‟. (トットちゃん:187) (Tottochan : 123) (46)と to
聞く kiku
と to
必ず、 「トットちゃん!」 と hatarazu, ( Totto chan!)
答えた。
to
kotaeta
Part
menjawab
O Part dengar Part
(Totto chan!)
“Ketika mendengar itu, ia selelalu menjawab Totto chan !” (トットちゃん:68) (Tottochan: 46) (47)ニュ-ス Nyu-su O berita
を wo
聞いて、 kiite
吃驚しました。 bikkuri shimashita.
Part
mendengar terkejut
„Saya terkejut mendengar berita itu‟.
(Minna: 110)
94
(48)わたし は 家族 を 思い出しました。 Watashi wa kazoku wo omoidashi mashita. A=E O saya Part keluarga Part teringat
(Minna: 98)
„Saya teringat keluarga saya‟. (49)ミラ-さんは来週 大阪 へ出張すると言っていました。(Minna/II: 48) Mira-san wa raishuu Oosaka e shutchou suru to itte imashita. A O Sdr. Miler Part minggu depan Oosaka Part dinas Part berkata „Miler berkata kepada saya bahwa dia akan dinas ke Oosaka minggu depan‟. (50)昔、電話がない人は他の人に電報で急ぐ用事を伝えました。 Mukashi, denwa ga nai hito wa hoka no hito ni denpou de isogu youji wo A O dahulu, telepon Part tidak ada orang Part orang lain Part telegram Part tsutaemashita. segera urusan Part menyampaikan „Dahulu karena tidak ada telepon orang memyampaikan keperluannya ke pada orang lain lewat telegram‟.
(Minna/II: 66) Verba 観察した/kansatsu shita „mengamati‟, 答えた/kotaeta „menjawab‟, 聞いて/kiite „mendengar‟, 思い出しました omoidashimashita „teringat‟, 言ってい ました itte imashita „berkata‟, dan 伝えました tsutaemashita „menyammpaikan‟ merupakan verba aksi pengalami. Verba kansatsu shita „mengamati‟, pada kalimat
95
(45) mengikat kasus agen, yaitu Tottochan yang berperan sebagai agen (orang yang melakukan tindakan) sekaligus sebagai pengalami (orang yang mengalaminya), kasus objek diperankan oleh nomina sensei „guru‟. Kalimat (46), verba kotaeta „menjawab‟ mengikat kasus agen yaitu nomina „ia‟ sebagai agen sekaligus sebagai pengalami, sedangkan kata „Tottochan‟ berperan sebagai kasus objek. Pada kalimat (47) Verba kiite „mendengar‟ mengikat kasus agen yaitu watashi „saya‟ yang berperan sebagai kasus agen sekaligus sebagai kasus pengalami, sedangkan kasus objek diperankan oleh frase nyu-su „berita‟. Pada kalimat (48) subjek pada kalimat bahasa Jepang tidak direalisasikan dalam struktur lahir kalimat, hal itu memang sering dilakukan dalam bahasa Jepang. Verba omoidashimashita „teringat‟ pada kalimat (48) mengikat kasus agen yang diperankan oleh nomina persona watashi „saya‟ nomina watashi sekaligus juga berperan sebagai kasus pengalami, sedangkan kasus objek diperankan oleh frase kazoku „keluarga saya‟. Verba itte imashita „berkata‟ yang terdapat pada kalimat (49) peran kasus agen diisi oleh nomina persona, yaitu Miller, kasus pengalami diperankan oleh nomina persona watashi „saya‟, dan kasus objek diperankan oleh frase Oosaka e shutchou suru ‟dinas ke Oosaka‟. Verba tsutaemashita „menyampaikan‟ pada kalimat (50) kasus agen diperankan oleh nomina hito „orang‟, kasus pengalami diperankan oleh frase nomina hoka no hito „orang lain‟, dan kasus objek diperankan oleh nomina youji „keperluan‟.
96
4.2.3.3 Peran Semantis Verba Aksi Benefaktif Bahasa Jepang Verba Aksi Benefaktif bahasa Jepang mempunyai ciri semantis [aksibenefaktif], verba aksi benefaktif adalah verba yang menyatakan tindakan dan pemilikan, mendapatkan keuntungan atau kehilangan. Pelaku verba ini adalah berupa nomina [ + bernyawa] yang bertindak sebagai pelaku tindakan. Pelaku bisa juga berperan sekaligus sebagai pemilik atau yang kehilangan. Verba aksi benefaktif bahasa Jepang mengharuskan kehadiran kasus agen, kasus benefaktif, dan kasus objek dalam struktur semantisnya. Kasus agen adalah entitas yang menyebabkan pemerolehan atau kehilangan sesuatu. Kasus benefaktif adalah entitas yang mendapatkan atau kehilangan sesuatu. Kasus objek adalah entitas yang didapatkan atau yang dihilangkan. Contoh: (51)宮崎君 も毎日いろんな 本 を 学校 に持って来てはお昼休みに読んで くれた。 Miyazaki kun mo mainichi iron na hon wo gakkou ni motte kite wa, A O Miyazaki Part setiap hari macam-macam buku Part sekolah Part ohiru yasumi ni yonde kureta. membawa Part siang istirahat Part membacakan. „Setiap hari miyazaki membawa berbagai buku ke sekolah dan membacakannya untuk teman-teman waktu istirahat‟. (トットちゃん:226) (Tottochan: 148)
97
(52)わたし は 息子 に お菓子 を やりました。(Minna/II: 98) Watashi wa musuko ni okashi wo yarimashita. A B O Saya Part anak Part kue Part memberi „Saya memberi kue kepada anak saya‟. (53)部長 の 奥さん は [わたし に]お茶 Buchou no okusan wa [watashi ni] ocha A B O Kepala bagian Part (saya) Part teh
を 教えてくださいました。 wo oshiete kudasaimashita. Part mengajari
„Istri kepala bagian mengajar saya tatacara minum teh‟.
(Minna/II: 99)
(54)わたし は ワット 先生 に 本 を いただきました。(Minna/II: 96) Watashi wa Watto sensei ni hon wo itadakimashita. B A O saya Part Watto pak part buku Part menerima „Saya menerimabuku dari pak Watt‟. (55)引っ越し の ため に、 [私は] 車 を 借ります。 (Minna/II: 104) Hikkoshi no tame ni, (watashi wa) kuruma wo karimasu. A=B O pindah Part untuk Part, (saya Part) mobil Part meminjam „Untuk pindah, saya meminjam mobil‟. Verba 読 ん で く れ た /yonde kureta „membacakan‟, や り ま し た /yarimashita „memberi‟, 教 え て く だ さ い ま し た /oshiete kudasai mashita „mengajari‟, い た だ き ま し た /itadakimashita „menerima‟, 借 り ま す /karimasu
98
„meminjam‟ secara semantis termasuk verba aksi benefaktif. Kasus benefaktif yang terdapat pada kalimat (51--55) di atas, semuanya „mendapat‟ atau „memperoleh‟ sesuatu, hal tersebut dapat dilihat dari peran kasus yang muncul dari masing-masing kalimat. Nomina persona yang berperan sebagai kasus agen (pemengaruh) dan nomina persona yang berperan sebagai kasus benefaktif (pemanfaat) tergambar dengan jelas. Untuk kalimat (54) nomina persona watashi „saya‟ memiliki dua peran, yaitu sebagai kasus Agen sekaligus berperan sebagai kasus Benefaktif. Struktur lahir keempat verba benefaktif yang terdapat pada kalimat di atas, dimarkahi oleh partikel wa, ni, wo, no partikel „wa‟ secara sintaktis berfungsi sebagai pemarkah topik, sedangkan secara semantis sebagai penanda kasus Agen, partikel „ni‟ secara sintaktis berfungsi sebagai pemarkah datif, sedangkan secara semantis berfungsi sebagai penanda arah suatu aktivitas (perbuatan) „memberi-menerima‟ dan kepada siapa aktivitas „memberi-menerima‟ itu ditujukan. Partikel „wo‟ secara sintaktis berfungsi sebagai pemarkah objek, sedangkan secara semantis berfungsi sebbagai penanda kasus Objek. Partikel „no‟ secara sintaktis berfungsi sebagai pemarkah nominalisator, sedangkan secara semantis tidak memiliki peran apapun karena partikel „no‟ hanya dipakai untuk menghubungkan nomina satu dengan nomina yang lain dalam suatu konteks tertentu.
99
4.2.3.4 Peran Semantis Verba Aksi Lokatif Bahasa Jepang Verba Aksi Lokatif bahasa Jepang mempunyai ciri semantis [aksi-lokatif], verba aksi lokatif memerlukan kasus agen, kasus objek, dan kasus lokatif. Kasus agen berperan sebagai pelaku suatu aksi, kasus objek berperan sebagai entitas yang mengalami perubahan lokasi (lokasi asal, tempat berada atau tempat tujuan). Kasus lokatif berperan sebagai lokasi dari suatu perbuatan atau aksi biasanya berupa nama tempat ataupun frasa yang menyatakan tempat atau lokasi. Pelaku tindakan atau perbuatan berciri makna [ + bernyawa] yang dapat mengalami tindakan itu sendiri maupun tidak. Contoh: (56)お昼 休み に、 宮崎君 が、校長 先生 の 家 の ほう に 行く。 Ohiru yasumi ni miyazaki kun ga kouchou sensei no uchi no hou ni iku. A=O L siang istirahat Part Miyazaki Part kepala sekolah guru Part rumah Part maksud part pergi „Pada waktu istirahat siang miyazaki pergi ke rumah kepala sekolah‟. (トットちゃん:226) (Tottochan: 148)
(57)コ-ヒ- は 佐藤 を 入れないで 飲みます。 Ko-hi- wa satou wo hairenai de nomimasu. O kopi Part gula Part memasukkan tanpa minum „Saya minum kopi tanpa memasukkan gula‟.
(Minna/II: 54)
100
(58)あの 人 が 階段 を 下ります。 Ano hito ga kaidan wo orimasu. A=O L itu orang Part tangga Part turun
(Nihon gogaku no kiso: 127)
„Orang itu menuruni tangga‟. (59)去年 [私 は] 北海道 で 馬 に 乗りました。 (Minna: 124) Kyonen [watashi wa] Hokkaidou de uma ni norimashita. A L O tahun lalu [saya Part] Hokkaidou Part kuda Part naik „Tahun lalu saya naik kuda di Hokkaidou‟. (60)彼 は 辞書 を 机 の 上 に 置きました。 Kare wa jisho wo tsukue no ue ni okimashita. A O L ia Part kamus Part meja Part atas Part meletakkan „Ia meletakkan kamusnya di atas meja‟. Verba 行く/iku „pergi‟, 入れないで/hairenai „memasukkan‟, 降ります orimasu „turun‟, 乗 り ま し た norimashita „naik‟, dan 置 き ま し た okimashita „menaruh termasuk verba Aksi Lokatif. Pada kalimat (56) nomina persona „Miyazaki‟ berperan sebagai pelaku sekaligus sebagai orang yang mengalami tindakan „pergi‟, sedangkan kasus lokatif diperankan oleh frase nomina kochou sensei no uchi „rumah kepala sekolah‟. Pada kalimat (57) nomina persona watashi „saya‟ berperan sebagai kasus Agen sekaligus juga berperan sebagai kasus Lokatif, sedangkan untuk kasus Objek diperankan oleh nmina ko-hi- „kopi‟, pada kalimat (58) nomina hito „orang‟
101
berperan sebagai kasus Agen sekaligus sebagai kasus Objek, sedangkan kasus Lokatif diperankan nomina kaidan „tangga‟. Pada kalimat (59) kasus Agen diperankan oleh nomina persona watashi „saya‟, kasus Objek diperankan oleh nomina uma „kuda‟, kasus Lokatif diperankan oleh keterangan tempat, yaitu Hokkaido. Kalimat (60) kasus Agen diisi oleh nomina persona kare „ia‟, kasus Objek diisi oleh nomina jisho „kamus‟, dan kasus Lokatif diisi oleh nomina tsukue „meja‟.
4.3 Kasus Non-Inti (Modal Cases) Kasus Non-Inti (Modal Cases) ialah kasus yang tidak merupakan valensi verba. Kehadirannya dalam struktur semantik tidak bergantung pada verba. Realisasi kasus Modal pada struktur luar hanya bersifat opsional (tidak harus), hal ini terjadi untuk memenuhi fungsi gramatikal suatu bahasa. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kasus Non-Inti dikategorikan sebagai kasus Modal yang artinya kasus ini berfungsi dalam membangun struktur klausa yang berterima dalam struktur lahir (gramatikal) atau untuk memenuhi fungsi sintaktis suatu bahasa. Kasus-kasus Non-Inti (modal cases) adalah (1) Kasus Non-Inti Time (Waktu); (2) Kasus Non-Inti Manner (Cara); (3) Kasus Non-Inti Instrument (alat); (4) Kasus Non-Inti Cause (Sebab); (5) Kasus Non-Inti Purpose (Maksud); (6) Kasus Non-Inti Result (Akibat); (7) Kasus Non-Inti Outer Benefaktive (Benefaktif Luar); (8) Kasus Non-Inti Outer Locative (Lokatif Luar). Dengan mempergunakan kerangka teori yang telah dibicarakan pada subbab sebelumnya, maka di bawah ini dijelaskan kasus Modal (Modal Cases), yang terdapat
102
dalam kalimat bahasa Jepang dengan menghidangkan data-data berupa kalimat dalam bahasa Jepang sebagi ilustrasi.
4.3.1 Kasus Non-Inti Verba Statif Bahasa Jepang Kasus Non-Inti Verba Statif ialah peran yang yang hadir dalam struktur luar kalimat di mana peran (argumen) tersebut kehadirannya tidak dibutuhkan secara semantis, melainkan secara gramatikal dalam suatu kalimat dengan predikat Verba Statif. Adapun kasus-kasus Non-Inti Verba Statif yang dimaksud adalah: (1) Kasus Non-Inti Time (Waktu) Verba Statif; (2) Kasus Non-Inti Manner (Cara) Verba Statif; (3) Kasus Non-Inti Instrument (alat) Verba Statif; (4) Kasus Non-Inti Cause (Sebab) Verba Statif; (5) Kasus Non-Inti Purpose (Maksud) Verba Statif; (6) Kasus Non-Inti Result (Akibat) Verba Statif; (7) Kasus Non-Inti Outer Benefaktive (Benefaktif Luar) Verba Statif; (8) Kasus Non-Inti Outer Locative (Lokatif Luar) Verba Statif.
4.3.1.1 Kasus Non-Inti Time (Waktu) Verba Statif Bahasa Jepang (1)今日 Kyou Non-Inti W hari ini
は wa Part
空 sora Os langit
が ga
晴れて いる。 harete iru.
Part cerah
„Hari ini langit cerah‟. Verba Statif 晴れて いる/harete iru „cerah‟ yang terdapat dalam kalimat di atas memiliki satu argumen inti yaitu 空 /sora „langit‟. Argumen sora „langit‟
103
berperan sebagai objek yang berada dalam suatu keadaan yang dinyatakan oleh verba harete iru. Sedangkan Kasus Non-Inti Waktu diperankan oleh kata keterangan waktu, yaitu kyou „hari ini‟, kata keterangan waktu kyou „hari ini‟ bukan merupakan valensi verba, tetapi kehadirannya berfungsi untuk memberikan keterangan waktu sehinga kasus ini dikategorikan sebagai kasus Non-Inti di mana kehadirannya hanya bersifat opsional (tidak harus) karena tuntutan fungsi gramatikal. Kasus Non-Inti Waktu tidak terikat secara semantis pada verba statif sebagai inti kalimat (proposisi) tetapi terikat secara gramatikal.
4.3.1.2 Kasus Non-Inti Instrument (Alat)Verba Statif Bahasa Jepang (2)雪さん の 手 は ナイフ で けが を している。 Yukisan no te wa naifu de kega wo shite iru. Os Non-Inti Alt Yuki Part tangan Part pisau Part terluka „Yuki tangannya terluka karena pisau‟. Kalimat di atas memiliki satu argumen inti, yaitu 雪さんの手 „tangannya Yuki‟ yang harus hadir sebagai argumen verba statif けがをしている/kega wo shite iru „terluka‟. Sedangkan argumen Non-Inti, yaitu
ナ イ フ „pisau‟ hadir untuk
memberikan keterangan tambahan atau keterangan alat yang menjadi penyebab terjadinya keaadaan yaitu terluka. Dalam struktur semantisnya verba statif けがをし て い る /kega wo shite iru „terluka‟ hanya membutuhkan satu argumen untuk
104
memenuhi unsur proposisi kehadiran argumen Non-Inti alat disebabkan karena kebutuhan struktur lahir kalimat atau berfungsi untuk memberikan penjelasan tentang alat (yang dalam hal ini adalah pisau yang menyebabkan tangan Yuki terluka).
4.3.1.3 Kasus Non-Inti Result (Akibat) Verba Statif Bahasa Jepang (3)家 は Uchi wa Os rumah Part
メチャクチャ に 壊れた。 mechakucha ni kowareta. Non-Inti R berantakan Part hancur
„Rumah hancur berantakan‟. (4)木村さん は Kimura san wa Os Kimura Part
交通事故 koutsuujiko Non-Inti R kecelakaan
で de
死んだ。 shinda.
Part meningal
„Kimura meningal akibat kecelakaan lalu-lintas‟. Dalam struktur logisnya Verba Statif 壊れ た /kowareta „hancur‟, 死ん だ /sinda „meningal‟ yang terdapat pada kalimat di atas membutuhkan satu argumen inti, yaitu 家/uchi ‟rumah‟ 木村さん/Kimura san „Kimura‟. Sedangkan dalam struktur lahir kedua verba dalam kalimat di atas disertai dengan kasus Non-Inti Akibat, yaitu yang dinyatakan oleh kata keterangan メチャクチャ/mechakucha „berantakan‟, 交 通事故/koutsuujiko „kecelakaan‟ kedua kata keterangan ini bukan merupakan valensi verba kowareta dan verba shinda, tetapi kehadirannya hanya sebagai pelengkap
105
keterangan mengenai keadaan suatu objek yang dinyatakan oleh predikat verba sebagai inti proposisi dan diperlukan karena peran gramatikal.
4.3.1.4 Kasus Non-Inti Outer Locative (Lokatif Luar)Verba Statif Bahasa Jepang (5)この 道 Kono michi Os ini jalan
が ga
右 へ 曲がっている。 migi e magatte iru. Non-Inti OL Part kanan Part belok
„Jalan ini belok ke kanan‟. (6)富士山 が Fujisan ga Os gunung Fuji Part
天 ten Non-Inti OL udara
に ni Part
聳え立っている。 sobietate iru. menjulang
„Gunung Fuji tegak menjulang ke udara‟. Verba 曲がっている/magatte iru „belok‟, 聳え立っている/sobiete iru „menjulang‟ mengharuskan kehadiran satu kasus objek dalam struktur semantiknya. Kasus objek menyatakan entitas yang berada dalam suatu keadaan. Keadaan yang dimaksud adalah keadaan karena kondisi alami atau keadaan yang terjadi secara alami, yaitu keadaan 道/michi „jalan‟ yang „berbelok‟ dan keadaan 富士山/Fujisan „gunung Fuji‟ yang ‟menjulang‟. Kasus Non-Inti outer Locative yang terdapat dalam kalimat di atas, secara gramatikal berfungsi untuk memberikan keterangan lokasi atau arah berkaitan dengan keberadaan argumen Inti.
106
4.3.2 Kasus Non-Inti Verba Proses Kasus Non-Inti (modal cases) Verba Proses ialah kasus yang muncul dalam kalimat dengan predikat verba proses, di mana kasus tersebut bukan merupakan valensi verba proses dan realisasi dalam struktur luar hanya bersifat opsional (tidak harus). Adapun kasus-kasus Non-Inti Verba Proses yang dimaksud adalah: (1) Kasus Non-Inti Time (Waktu) Verba Proses; (2) Kasus Non-Inti Manner (Cara) Verba Proses; (3) Kasus Non-Inti Instrument (alat) Verba Proses; (4) Kasus Non-Inti Cause (Sebab) Verba Proses; (5) Kasus Non-Inti Purpose (Maksud) Verba Proses; (6) Kasus Non-Inti Result (Akibat) Verba Proses; (7) Kasus Non-Inti Outer Benefaktive (Benefaktif Luar) Verba Proses ; (8) Kasus Non-Inti Outer Locative (Lokatif Luar) Verba Proses.
4.3.2.1 Kasus Non-Inti Time (Waktu) Verba Proses Bahasa Jepang (7)去年 Kyounen Non-Inti W tahun lalu
から、 食品 kara shokuhin Part
の no
値段 nedan
O bahan makanan Part harga
が ga
高まっている。 takamatte iru.
Part
meningkat
„Harga bahan makanan meningkat sejak setahun yang lalu‟. (8)わたし Watashi O saya
は wa Part
日本 Nihon L Jepang
に ni Part
一年 います。 ichinen imasu. Non-Inti W satu tahun tinggal
„Saya tinggal di Jepang selama satu tahun‟.
(Minna: 74)
107
(9)そこで、 小林 先生 は、 パリ の こと ダルクローズ の Soko de, Kobayashi sensei wa, Pari no koto Dorukurozu no O L Sampai disini, Kobayashi guru Part Paris Part hal Dalcroze Part 学校 gakko
に ni
sekolah Part リトミック ritomikku ritmik
一年 以上 1 nen ijo Non-Inti W 1 tahun lebih を wo Part
も mo
滞在して、 taizai shite,
Part
tinggal,
身につけた。 mi ni tsuketa mempelajari.
„Sampai disini, guru Kobayashi tinggal di Paris selama kurang lebih 1tahun dan mempelajari tentang ritmik di sekoah Dalcroze‟. (Tottochan)
(10)昨日 の 晩 から 父 の 病気 Kinou no ban kara chichi no byouki Non-Inti W O kemarin Part malam dari ayah Part sakit
は ますます重くなっていた。 wa masumasu omoku natte ita. Part
semakin berat
„Dari kemarin penyakit ayah menjadi semakin berat‟.
Kalimat (7--10) di atas, adalah kalimat yang menggunakan kasus Non-Inti Waktu (Time) dalam kalimat yang menggunakan predikat Verba Proses. Kehadiran kasus Non-Inti Waktu yang terdapat pada setiap kalimat di atas tidak bergantung pada verbanya. Dengan kata lain, tanpa kehadiran kasus-kasus tersebut pun, struktur
108
semantik kalimat bersangkutan sudah sempurna. Kasus Non-Inti Waktu memiliki fungsi gramatikal (peran sintaktis) untuk keterangan waktu.
4.3.2.2 Kasus Non-Inti Manner (Cara) Verba Proses Bahasa Jepang (11)その 言葉 は 彼 の Sono kotoba wa kare no O itu ucapan Part dia Part
耳 mimi
に ni
美しく 聞こえた。 utsukushiku kikoeta. Non-Inti C telinga Part merdu beralun
„Ucapan itu beralun dengan merdu di telinganya‟. (12)大人 Otona
の 人 no hito Non-Inti C orang dewasa Part orang
みたい だったし mitai dattashi O terlihat
„Terlihat berpakaian seperti orang dewasa‟. (トットちゃん: 226) (Tottochan: 147) (13)トットちゃん が 近つく Tottochan ga chikatsuku O Totto Part dekat なつっこそう に nattsukkosou ni Non-Inti C ramah Part も すぐ mo sugu Part selanjutnya
笑った waratta tertawa 笑った。 waratta. tertawa.
と to
高橋君 は Takahashikun wa
Part
Takahashi
だから dakara karena itu
Part
トットちゃん達 Tottochantachi Totto dan teman
人 hito orang
109
„Waktu didekati, Takahashi tersenyum ramah seakan dapat menarik hati sahabat.Totto dan kawan-kawan segera ikut tersenyum‟. (高橋君: 122) (Takahashikun: 82-83) (14)私 は Watashi wa O saya Part
歩いて aruite Non-Inti C berjalan kaki
町 machi
を wo
回っている。 mawatte iru.
kota
Part
berputar
„Saya keliling kota dengan berjalan kaki‟. (15)なに も Nani mo O apapun
かも kamo mo Non-Inti C
が ga
なつかしかった。 natsukashikatta.
Part
rindu
„Segala sesuatu dikenangnya dengan rasa rindu‟. (16)オルガン が 静か に 賛美歌 を 歌っていた。 Orugan ga shizuka ni sanbika wo utatteita. Non-Inti C O organ Part tenang Part kidung Part menyanyikan. „Organ mengalunkan lagu-lagu gereja dengan hikmad‟. (17)そして、最後に、やっとのことで、二人 で 仲良く踊った Soshite, saigo ni, zatto no koto de, futari nakaryouku odotta. O Non-Inti C kemudian, yang terakhir Part, keduanya menari bersama dengan mesra „Mereka berdua menari bersama dengan mesra‟. (トットちゃん:183-186) (Tottochan: 121-123)
110
Kalimat (11--17) di atas, adalah kalimat yang menggunakan kasus Non-Inti Cara (Manner) dalam kalimat yang menggunakan predikat Verba Proses. Kehadiran kasus Non-Inti Cara yang terdapat pada kalimat (1--7) di atas tidak bergantung pada verbanya. Dengan kata lain, tanpa kehadiran kasus-kasus tersebut, struktur semantik kalimat bersangkutan sudah sempurna. Kasus Non-Inti Cara memiliki fungsi gramatikal (peran sintaktis) untuk menjelaskan keterangan (cara). Cara (Manner) yang dimaksud di sini berhubungan dengan cara, gaya, sikap seseorang dalam mengekspresikan/melakukan sesuatu.
4.3.2.3 Kasus Non-Inti Instrument (Alat)Verba Proses Bahasa Jepang (18)列車 で、 6時 ごろ 家 に 着いた。 Ressha de 6 ji goro ie ni tsuita. Non-Inti Alt L kereta api Part 6 jam kira-kira rumah Part tiba „Jam 6 saya samapai di rumah dengan kereta api‟. (19)赤 や 黄色 や ピンク の リリアン に ぶち下かった ハッカ パイプ。 Aka ya kiiro ya pinku no ririan ni buchi shita katta hakka paipu. Non-Inti Alt O merah Part kuning Part pink Part tali rajutan Part hisap permen pipa.
„Ada pipa hisap berisi permen pedas yang digantung dengan tali rajutan berwarna merah, kuning dan pink‟.
111
Kalimat (18-19) di atas, adalah kalimat yang menggunakan kasus Non-Inti Instrument (alat) dalam kalimat yang berpredikat Verba Proses. Kehadiran kasus Non-Inti Alat yang terdapat pada kalimat (18-19) di atas, tidak bergantung pada verbanya. Dengan kata lain, tanpa kehadiran kasus-kasus tersebut pun, struktur semantik kalimat bersangkutan sudah sempurna. Kasus Non-Inti Alat memiliki fungsi gramatikal (peran sintaktis) untuk menunjukkan keterangan alat. Keterangan alat yang dimaksud adalah 列車/ressha „kereta api‟, ピンク の リリアン/pinku no ririan „tali rajutan berwarna merah’ kedua nomina tersebut menyatakan alat. Hal ini juga diperkuat dengan digunakannya partikel で/de, に/ni sebagai pemarkah keterangan alat dalam sintaktis bahasa Jepang.
4.3.2.4 Kasus Non-Inti Cause (Sebab) Verba Proses Bahasa Jepang (20)彼女 の 声 は 感動 で 震えていた。 Kanojo no koe wa kandou de furuete ita. O=E Non-Inti S perempuan Part suara Part haru Part gemetar „Suaranya gemetar karena haru‟. (21)地震 Jishin Non-Inti S gempa
で de
ビル biru O Part gedung
が ga Part
倒れました。 taoremashita. roboh
„Karena gempa bumi, gedung besar itu roboh‟.
(Minna: II/87)
112
(22)病気 Byouki Non-Inti S Sakit
で de
会社 kaisha
を wo
Part kantor Part
休みました。 yasumimashita.
(Minna: II/87)
libur
„Karena sakit, saya tidak masuk kantor‟. (23)トットちゃん の ママ は、パパ 仕事 が ある ので、 Tottochan no mama wa, papa shigoto ga aru node, papa to Tokyo data. Non-Inti S Totto chan part mama part, papa pekerjaan part ada part パパ と 東京 だった papa papa
to
Tokyo L Part Tokyo
„Sehubungan dengan pekerjaan papa, mama tinggal di Tokyo‟. (とっとちゃん:225 ) (Tottochan: 167)
Kalimat (20--23) di atas, adalah kalimat yang menggunakan kasus Non-Inti Sebab (Cause) dalam kalimat yang menggunakan predikat Verba Proses. Kehadiran kasus Non-Inti Sebab yang terdapat pada setiap kalimat di atas tidak bergantung pada verbanya. Dengan kata lain, tanpa kehadiran kasus-kasus tersebut pun, struktur semantik kalimat bersangkutan sudah sempurna. Kasus Non-Inti Sebab memiliki fungsi gramatikal, yaitu membantu memberikan keterangan tambahan pada kalimat. Keterangan „penyebab‟ direalisasikan dalam struktur lahir kalimat dengan digunakannya partikel „de‟ pada kalimat (20--22), sementara itu pada kalimat (23)
113
digunakan partikel „node‟ yang berfungsi untuk menyatakan ‟hubungan sebab akibat‟ dalam bahasa Jepang.
4.3.2.5 Kasus Non-Inti Purpose (Maksud) Verba Proses Bahasa Jepang (24)私 は 早く 泳げるように、毎日 練習しています。 (Minna: II/68) Watashi wa hayaku oyogeruyouni, mainichi renshuu shite imasu. E Non-inti M saya Part hayaku berenang dapat, setiap hari berlatih „Supaya dapat berenang dengan cepat, setiap hari saya berlatih‟. (25)体 が Karada ga E=O Badan Part
高くなるよう に、 よく 運動しています。 takaku naru you ni, yoku undou shite imasu. Non-inti M tinggi menjadi, sering berolahraga
„Saya sering berolahraga agar badan saya menjadi tinggi‟.
Kalimat (24-25) di atas, adalah kalimat yang menggunakan kasus Non-Inti Maksud (Purpose) dalam kalimat yang menggunakan predikat Verba Proses. Kehadiran kasus Non-Inti Maksud yang terdapat pada setiap kalimat di atas tidak bergantung pada verbanya. Dengan kata lain, tanpa kehadiran kasus-kasus tersebut pun, struktur semantik kalimat bersangkutan sudah sempurna. Penambahan kata bantu よ う に /you ni pada verba 泳 げ る /oyogeru „bisa berenang‟ menyebabkan terjadinya penambahan keterangan secara semantis, yaitu menerangkan „maksud‟. Pada kalimat (25) kata bantu ように/you ni ditambahkan pada verba 高くなる
114
/takaku naru „menjadi tinggi‟ memberikan keterangan tambahan dari verba sebagai inti proposisi. Fungsi kata bantu よ う に /you ni adalah memberikan keterangn „maksud‟ terhadap proses yang terjadi pada objek yang dinyatakan oleh verba sebagai inti proposisi.
4.3.2.6 Kasus Non-Inti Result (Akibat) Verba Proses Bahasa Jepang (26)朝寝坊ですから、 Asanebou desukara, Non-inti Akbt bangun kesiangan karena,
私 は 学校 に 遅れました。 watashi wa gakkou ni okuremashita. O L saya Part sekolah Part terlambat
„Karena bangun kesiangan, saya terlambat sampai di sekolah‟. (27)顔色 は Kaoiro wa E=O Warna wajah Part
陽焼けして、 真黒 だった。 hiyakeshite, shinkoku data. Non-inti Akbt terbakar matahari hitam legam
„Wajahnya hitam legam karena terbakar matahari‟.
Kalimat di atas adalah kalimat yang menggunakan kasus Non-Inti Akibat (Result) dalam kalimat yang menggunakan predikat Verba Proses. Kehadiran kasus Non-Inti Akibat yang terdapat pada setiap kalimat di atas tidak bergantung pada verbanya. Dengan kata lain, tanpa kehadiran kasus-kasus tersebut pun, struktur semantik kalimat bersangkutan sudah sempurna.
115
4.3.2.7 Kasus Non-Inti Outer Benefaktive (Benefaktif Luar) Verba Proses Bahasa Jepang (28)田中さん が 結婚 の 祝い に この お皿 を 持ってきました。 Tanakasan ga kekkon no iwai ni kono ozara wo motte kimashita. Non-Inti BL O Tanaka Part nikah Part hadiah Part ini piring Part membawa „Tanaka membawa piring ini untuk hadiah pernikahan saya‟.
Kalimat di atas adalah kalimat yang menggunakan kasus Non-Inti Benefaktif Luar (outer Benefactive) dalam kalimat yang menggunakan predikat Verba Proses. Kasus ini tidak bergantung pada verba benefaktif proses sebagai inti proposisi. Frase 結婚 の 祝い/kekkon no iwai „hadiah pernikahan‟ adalah realisasi kasus Non-Inti Benefaktif luar. Kasus ini dikategorikan sebagai kasus Non-Inti karena kehadirannya hanya bersifat opsional karena kehadiran frase 結婚 の 祝い/kekkon no iwai „hadiah pernikahan‟ yang terdapat dalam struktur kalimat di atas tidak bergantung pada verba 持ってきました/motte kimashita „membawa‟. Dengan kata lain, tanpa kehadiran kasus tersebut pun kalimat di atas sudah sempurna.
4.3.2.8 Kasus Non-Inti Outer Locative (Lokatif Luar) Verba Proses Bahasa Jepang (29)部屋 に ある Heya ni aru Non-Inti LL kamar Part ada
電気 denki O listrik
が ga Part
明るくなりました。 akaruku narimashita. menjadi terang
„Lampu listrik yang ada di kamar menjadi terang‟.
116
Frase 部 屋 に あ る /heya ni aru „yang ada di kamar‟ yang terdapat pada kalimat di atas merupakan realisasi kasus Lokatif Luar. Kehadiran kasus ini tidak bergantung pada verba 明 る く な り ま し た /akaruku narimashita „menjadi lebih terang‟ dikatakan demikian karena tanpa kehadiran kasus tersebut pun, kalimat di atas sudah sempurna. Kasus tersebut hadir hanya bersifat opsional dan berfungsi untuk memberikan keterangan tambahan.
4.3.3 Kasus Non-Inti Verba Aksi Kasus Non-Inti (modal cases) Verba Aksi ialah kasus yang muncul dalam kalimat dengan predikat verba Aksi, di mana kasus tersebut bukan merupakan valensi verba proses dan realisasi dalam struktur luar hanya bersifat opsional (tidak harus). Adapun kasus-kasus Non-Inti Verba Aksi yang dimaksud adalah: (1) Kasus Non-Inti Time (Waktu) Verba Aksi ; (2) Kasus Non-Inti Manner (Cara) Verba Aksi; (3) Kasus Non-Inti Instrument (alat) Verba Aksi; (4) Kasus Non-Inti Cause (Sebab) Verba Aksi ; (5) Kasus Non-Inti Purpose (Maksud) Verba Aksi; (6) Kasus Non-Inti Result (Akibat) Verba Aksi; (7) Kasus Non-Inti Outer Benefaktive (Benefaktif Luar) Verba Aksi ; (8) Kasus Non-Inti Outer Locative (Lokatif Luar) Verba Aksi .
117
4.3.3.1 Kasus Non-Inti Time (Waktu) Verba Aksi Bahasa Jepang (30)あした 私 は 友達 と お花見 を します。(Minna: 44) Ashita watashi wa tomodachi to ohanami wo shimasu. Non-Inti W A O Besok saya Part teman Part bunga Part melihat „Besok saya akan melihat bunga sakura dengan teman‟. (31)校長 Kouchou
先生 は sensei wa
A kepala sekolah guru
Part
朝 校庭 で みんな asa koutei de Minna Non-Inti W pagi halaman Part murid-murid
に ni Part
この 新しい 生徒 を こう紹介した。 kono atarashii seito wo koushoukaishita. O ini baru murid Part memperkenalkan „Tadi pagi, di halaman sekolah, kepala sekolah memperkenalkan murid baru‟. (とっとちゃん:226) (Tottochan: 147)
Kalimat (30&31) di atas adalah kalimat yang menggunakan kasus Non-Inti Waktu (Time) dalam kalimat yang berpredikat Verba Aksi. Kata keterangan waktu あ した/ashita „besok‟, 朝/asa „tadi pagi‟ adalah realisasi kasus Non-Inti Waktu yang hadir bersama kasus Proposisi Inti dalam struktur lahir kalimat. Kasus Non-Inti Waktu pada kalimat di atas secara sintaktis berfungsi untuk menerangkan waktu terjadinya suatu aksi atau aktifitas yang dinyatakan oleh verba kalimat tersebut. Kehadiran kasus Non-Inti Waktu pada kalimat di atas hanya bersifat opsional.
118
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kehadiran kasus Non-Inti Waktu pada kalimat di atas hanya sebagai pelengkap supaya kalimat tersebut berterima secara gramatikal.
4.3.3.2 Kasus Non-Inti Manner (Cara) Verba Aksi Bahasa Jepang (32)トットちゃん は、いそいで、おじぎ をしてから、元気よく聞いた。 Tottochan wa isoide ojigi wo shitekara, genki yoku kiita. A O Non-Inti C Totto Part segera memberi hormat Part setelah riang bertanya „Totto segera menyalami nya dan dengan riang bertanya‟. (トットちゃん: 26) ( Tottochan: 19 ) (33)校長
先生
は 。。。の上
に まるくなって
Kochou sensei wa. . . no ue ni A を 作ろう と いった。 wo tsukurou to itta.
座るように 場所
maruku natte sawaru you ni basho Non-Inti C
„Pak kepala sekolah memerintahkan semuanya duduk melingkar di atas rumput‟. (とっとちゃん:196) (Tottochan: 129)
Kalimat (32-33) di atas, adalah kalimat yang menggunakan kasus Non-Inti Cara (Manner) dalam kalimat yang berpredikat Verba Aksi. Kehadiran kasus Non-
119
Inti Cara yang terdapat pada kalimat (32-33) di atas, tidak bergantung pada verbanya karena kehaadirannya hanya bersifat opsional. Dengan kata lain, tanpa kehadiran kasus-kasus tersebut pun, struktur semantik kalimat bersangkutan sudah sempurna. Kasus Non-Inti Cara dalam kalimat di atas berfungsi untuk memberi penjelasan tentang „cara‟ (manner) ketika suatu aksi atau perbuatan diekspresikan. Hal ini berkaitan dengan cara, gaya, sikap seseorang dalam mengekspresikan/melakukan aksi atau perbuatannya.
4.3.3.3 Kasus Non-Inti Instrument (Alat) Verba Aksi Bahasa Jepang (34)私 は Watashi wa A saya Part
ワ-プロ で 手紙 を 書きます。(Minna: 50) wa-puro de tegami wo kakimasu. Non-inti Alt O mesin tik Part surat Part menulis
„Saya menulis surat dengan menggunakan mesin tik‟. (35)泥簿 は 彼 の 腹 を 竹槍 で 突かれた。 Dorobo wa kare no hara wo take-yari de tsukareta. A O Non-inti Alt rampok Part dia Part perut Part bambu runcing Part menusuk „Rampok menusuk perutnya dengan bambu runcing‟.
Kalimat (34&35) di atas, adalah kalimat yang menggunakan kasus Non-Inti Instrument (alat) dalam kalimat yang berpredikat Verba Aksi. Kehadiran kasus NonInti Alat yang terdapat pada kalimat (34-35) di atas, tidak bergantung pada verbanya.
120
Dengan kata lain, tanpa kehadiran kasus-kasus tersebut pun, struktur semantik kalimat bersangkutan sudah sempurna. Kasus Non-Inti Alat memiliki fungsi gramatikal (peran sintaktis) untuk menunjukkan keterangan alat. Alat yang dimaksud adalah media atau sarana yang dipakai oleh agen dalam melaksanakan aksi/perbuatannya. Kasus Non-Inti Alat yang terdapat dalam kalimat di atas direalisasikan dengan pemakaian partikel で „de‟, partikel で „de‟ secara sintaktis berfungsi sebagai penanda keterangan alat yang dipakai oleh pelaku/agen dalam melakukan aksi/perbuatan. Partikel で ‟de‟ memiliki makna gramatikal „alat‟ dalam kalimat yang berpredikat verba aksi.
4.3.3.4 Kasus Non-Inti Cause (Sebab) Verba Aksi Bahasa Jepang (36)今日 は 妻 の 誕生日な ので、花を買って帰ります。(Minna:II/114) Kyou wa tsuma no tanjoubi na node, hana wo katte kaerimasu. Non-inti S O hari ini Part istri Part ulang tahun Part, bunga Part membeli pulang „Karena hari ini ulang tahun istri, saya akan pulang membelikan istri saya bunga‟. (37)明日 試験 が あります Ashita shiken ga arimasu Non-inti S besok ujian Part ada „Saya tidak menonton televisi
から kara
テレビ を 見ません terebi wo mimasen. O Part televisi Part tidak menonton karena besok ada ujian‟.
Kalimat (36-37) di atas adalah kalimat yang menggunakan kasus Non-Inti Sebab (Cause) dalam kalimat yang menggunakan predikat Verba Aksi. Kehadiran
121
kasus Non-Inti Sebab yang terdapat pada setiap kalimat di atas tidak bergantung pada verbanya. Dengan kata lain, tanpa kehadiran kasus-kasus tersebut, struktur semantik kalimat bersangkutan sudah sempurna. Kasus Non-Inti Sebab pada kalimat (36-37) di atas memiliki fungsi gramatikal, yaitu membantu memberikan keterangan tambahan mengenai „penyebab‟ dilakukannya aksi/perbuatan oleh pelaku/agen. Partikel ので „node‟, から„kara‟ secara sintaktis berfungsi sebagai kata bantu untuk menunjukkan sebab dilakukannya suatu perbuatan/aksi oleh pelaku/agen.
4.3.3.5 Kasus Non-Inti Purpose (Maksud) Verba Aksi Bahasa Jepang (38)歯 に 悪い です から、甘い もの を 食べないようにしています。 Ha ni warui desu kara, amai mono wo tabenai you ni shite imasu. Non-inti M O gigi Part tidak bagus Part, manis makanan Part tidak makan „Karena tidak baik bagi kesehatan gigi, saya berusaha untuk tidak makan makanan yang manis‟. (39)来月 Raigetsu
くるま kuruma O Bulan depan mobil
を wo
買う kau
つもり です。 (Minna: II/32) tsumori desu. Non-inti M Part membeli Part
„Saya bermaksud akan membeli mobil bulan depan‟. (40)トットちゃん は、校長先生 に 。。。みんな が お弁当 Tottochan wa kouchou sensei ni Minna ga obentou A O Totto Part kepala sekolah Part semua Part makan
122
を wo
食べる taberu
Part
makan
こところ を 見に行く koto koro o mi ni iku Non-Inti M Part melihat-lihat
こと に koto ni hal
なった。 natta.
Part
„Kemudian Totto mengantar kepala sekolah untuk melihat-lihat suasana murid-murid bersantap bekal makan siang masing-masing‟. (トットちゃん: 32 ) ( Tottochan: 22 )
Kalimat (38--40) di atas, adalah kalimat yang menggunakan kasus Non-Inti Maksud (Purpose) dalam kalimat yang menggunakan predikat Verba Aksi. Kehadiran kasus Non-Inti Maksud yang terdapat pada setiap kalimat di atas tidak bergantung pada verbanya. Partikel ように„you ni‟ , つもり„tsumori‟, dan 見に „mi‟ „ni‟ adalah kata bantu yang memiliki fungsi gramatikal yang menyatakan maksud/tujuan dari pelaku/agen dalam suatu aksi/perbuatan. Kasus Non-Inti Maksud yang terdapat pada tiga kalimat di atas memiliki peran gramatikal, yaitu memberikan keterangan maksud terhadap argumen inti yang dinyatakan oleh verbanya sebagai inti proposisi. Kasus-kasus ini dikategorikan sebagai kasus Non-Inti karena sifatnya hanya opsional dalam tiga kalimat di atas.
123
4.3.3.6 Kasus Non-Inti Result (Akibat) Verba Aksi Bahasa Jepang (41)授業 に 遅れて、 先生 は 私 Jugyou ni okurete, sensei wa watashi Non-inti Akbt A O kuliah Part terlambat, guru Part saya
を wo
叱りました。 shikarimashita.
Part
memarahi
„Guru memarahi saya karena terlambat kuliah‟. (42)太郎は授業によく出席できないから、試験を受けることが できません。 Taro wa jugyou ni yoku shusseki dekinai kara, shiken wo ukeru koto ga A Non-inti Akbt O Taro Part kuliah Part sering tidak hadir Part, ujian Part mengikuti dekimasen. tidak bisa „Taro tidak bisa mengikuti ujian karena sering tidak ikut kuliah‟.
Kalimat di atas adalah kalimat yang menggunakan kasus Non-Inti Akibat (Result) dalam kalimat yang menggunakan predikat Verba Aksi. Kehadiran kasus Non-Inti Akibat yang terdapat pada setiap kalimat di atas tidak bergantung pada verbanya. Dengan kata lain, tanpa kehadiran kasus-kasus tersebut pun, struktur semantik kalimat bersangkutan sudah sempurna. Kehadiran kasus Non-Inti Akibat dalam kalimat (41) dimarkahi oleh partikel て„te‟ yang memiliki dua fungsi, yaitu sebagai kata sambung sekaligus sebagai kata bantu untuk menyatakan akibat dari suatu perbuatan/aksi. Sementara itu, kehadiran kasus Non-Inti Akibat pada kalimat (42) dimarkahi oleh partikel から„kara‟ partikel ‟kara‟ juga berfungsi sebagai kata bantu penghubung antara klausa pertama dengan klausa kedua. Partikel „te‟ dan „de‟
124
pada kalimat di atas berfungsi sebagai kata bantu yang menyatakan akibat/hasil dari suatu perbuatan/aksi.
4.3.3.7 Kasus Non-Inti Outer Benefactive (Benefaktif Luar) Verba Aksi Bahasa Jepang (43)私 は 息子 に 紙飛行機 を 作りました。 (Minna: II/98) Watashi wa musuko ni kamihikouki wo tsukurimashita. A Non-Inti BL O saya Part anak Part pesawat kertas Part membuat „Saya membuat mainan pesawat terbang dari kertas untuk anak laki-laki saya‟. (44)友達 は お父さん に 新しい 服 を 買いました。 Tomodachi wa otou-san ni atarashii fuku wo kaimashita. A Non-Inti BL O teman Part ayah Part baru pakaian Part membeli „Teman saya membeli baju baru untuk ayahnya‟.
Kalimat di atas adalah kalimat yang menggunakan kasus Non-Inti Benefaktif Luar (outer Benefactive) dalam kalimat yang menggunakan predikat Verba Aksi. Kasus ini tidak bergantung pada verba benefaktif aksi sebagai inti proposisi. Dengan kata lain, tanpa kehadiran kasus tersebut pun kalimat di atas sudah sempurna. Kata 息 子/musuko „anak laki-laki‟ pada kalimat (43) di atas, adalah realisasi kasus Non-Inti benefaktif Luar. Pada kalimat (44) kasus Non-Inti benefaktif Luar dinyatakan oleh kata お父さん/otousan „ayahnya‟. Kehadiran kedua kasus pada kalimat di atas hanya
125
bersifat opsional karena tanpa kehadiran kasus tersebut pun, struktur semantik kedua kalimat di atas sudah sempurna.
4.3.3.8 Kasus Non-Inti Outer Locative (Lokatif Luar) Verba Aksi Bahasa Jepang (45)わたし は Watashi wa A saya Part
駅 で 新聞 を 買います。 (Minna: 44) eki de shimbun wo kaimasu. Non-Inti LL O stasiun Part surat kabar Part membeli
„Saya membeli surat kabar di stasiun‟. (46)ランドセルを、 Randoseru wo O ransel Part
網棚 に amidana ni Non-Inti LL rak barang Part
投げこんだ。 nagekonda. melempar.
„Anak itu melempar ranselnya Part pintu seperti bola basket‟.
(トットちゃん:39) (Tottochan : 27)
Kasus Non-Inti Lokatif Luar yang terdapat pada kalimat (45-46) di atas dinyatakan oleh kata 駅/eki „stasiun‟ 網棚/amidana „rak barang‟ kedua kata ini menunjukkan keterangan tempat/lokasi dilakukannya suatu perbuatan/aksi. Kehadiran keterangan lokasi tersebut bersifat opsional karena tidak bergantung pada verba sebagai inti proposisi sehingga kasus lokatif pada kedua kalimat di atas, dikategorikan sebagai kasus Non-Inti. Realisasi kasus Non-Inti Loktif Luar juga
126
dimarkahi oleh partikel で„de‟ に„ni‟, secara sintaktis kedua partikel ini berfungsi sebagai kata bantu untuk menerangkan tempat/lokasi.
4.4 Kasus Tak Teraga (COVERT) Seperti yang telah dijelaskan pada subbab sebelumya bahwa kasus proposisi ada yang bersifat wajib (wajib hadir) dan ada yang bersifat opsional/pilihan dalam struktur lahir. Kasus proposisi yang kehadirannya bersifat wajib disebut peran proposisi teraga (overt: kasus proposisi yang diimplikasikan oleh verba dan wajib hadir dalam struktur lahir), sedangkan kasus proposisi yang kehadirannya bersifat opsional/pilihan disebut peran proposisi tak teraga (covert: kasus proposisi yang diimplikasikan oleh verba tetapi opsional dalam struktur lahir dan hadir dalam struktur batin atau struktur logika). Kasus proposisi Teraga (overt) telah dijelaskan dan dibahas pada subbab sebelumnya dan pada bab ini dibahas kasus Tak Teraga (covert), yang meliputi (1) kasus koreferensial, (2) kasus terkandung, dan (3) kasus leksikalisasi.
4.4.1 Kasus Koreferensial Kasus koreferensial adalah kasus yang menunjuk dua nosi yang mempunyai acuan semantis yang sama. Kasus koreferensial dalam kerangka kasus (cases frame) harus ditulis dengan tanda bintang ( * asterik). Berikut di bawah ini, contoh kalimat dengan kasus koreferensial dalam bahasa Jepang.
127
(1)彼 Kare A=E Dia
は wa
歌 を 聞いている。 uta wo kiite iru. O Part lagu Part mendengarkan
„Dia sedang mendengarkan musik‟.
+ [ ___ A, *E,O] / A=E
(2)トットちゃん は、泰明ちゃん の Tottochan wa Yasuakichan no A=E O Tottochan Part Yasuakichan Part
事 koto
を、想いだしていた。 wo omoidashita.
hal
Part
mengingat.
„Tottochan mengingat-ingat kembali semua hal tentang Yasuakichan‟.
+ [ ___ A, *P,O] / A=E (とっとちゃん: 237)
(3)そして、 Soshite,
自分
Jibun A=E Kemudian, diri
でも
いい
demo
ii
Part
子
だ と おもっていた。
ko da to omotteita. O bagus anak mengangap.
„Dan ia sendiri pun menganggap dirinya anak yang baik‟.
+ [ ___ A, *E,O] / A=E
(とっとちゃん:198) (Tottochan: 130)
128
(4)小林 は Kobayashi san wa A=B Kobayashi
Part
お父さん otousan
に ni
お金 okane
を wo
ayah
Part
O uang
Part
„Kobayashi menerima uang dari ayahnya‟
貰いました。 moraimashita. menerima
+ [ ___ A, *B,O] / A=B
Pada kaliamt (1--3) di atas, kasus Agen berkoreferensial dengan kasus Pengalami atau argumen Agen mempunyai acuan yang sama dengan argumen Pengalami. Agen atau orang yang melakukan perbuatan/aksi sekaligus berperan menjadi orang yang kena pengaruh oleh perbuatan/aksi tersebut. Sedangkan pada kalimat (4) kasus Agen berkoreferensial dengan kasus Benefaktif atau argumen Agen mempunyai acuan yang sama dengan argumen Benefaktif/Pemanfaat. Nomina persona 小 林
„Kobayashi‟ berperan sebagai agen/pelaku yang melakukan
perbuatan/aksi menerima お金/okane „uang‟ dan dia juga yang memanfaatkan お金 /okane „uang‟ tersebut.
4.4.2 Kasus Terkandung (build in) Kasus Terkandung (build in), ialah kasus yang tidak muncul pada struktur luar tapi secara intuisi hadir pada struktur logika atau batin. Kasus Terkandung dalam kerangka kasus (cases frame) harus ditulis dengan tanda bintang ( * asterik). Berikut di bawah ini, contoh kalimat dengan kasus terkandung dalam bahasa Jepang.
129
(5)アメリカ で 生まれて、育った から日本語 は あまり 上手じゃない Amerika de umarete, sodatta kara Nihongo wa amari jozu janai. L Amerika Part lahir, dibesarkan Bahasa Jepang Part tidak terlalu tidak pintar „Karena lahir dan dibesarkan di amerika jadi kurang pandai berbahasa Jepang‟.
+ [ ___ *O, L] O = kasus terkandung (トットちゃん: ( Tottochan: 147) (6)駅 で 新聞 を 買います。 Eki de shimbun wo kaimasu. L O stasiun Part surat kabar Part membeli „Membeli surat kabar di stasiun‟. (7)わたし Watashi A saya
は wa part
きのう kinou kemarin
‟Kemarin saya belajar‟.
226)
(Minna: 47)
+ [ ___ *A, O,L] A = kasus terkandung
勉強しました。 benkyou shimashita.
(Minna: 32)
belajar
+ [ ___ A, *O] O = kasus terkandung
Kasus terkandung yang terdapat pada kalimat (5) di atas ialah kasus Objek karena kasus ini tidak muncul dalam struktur lahir. Verba 生まれて/umarete „lahir‟ membutuhkan satu kasus Objek dalam struktur logisnya tetapi dalam struktur lahir kalimat tidak hadir, hal ini disebabkan karena adanya kasus terselubung, yaitu kasus Objek. Pada kalimat (6) verba 買 い ま す /kaimasu „membeli‟ secara semantis
130
membutuhkan kasus Agen dan kasus Objek dalam struktur logisnya tetapi pada kalimat (6) di atas tidak hadir kasus Agen dalam struktur lahir kalimat, hal ini disebabkan adanya kasus terselubung, yaitu kasus Agen atau terjadi pelesapan subjek. Pelesapan fungsi subjek dalam kalimat bahasa Jepang memang biasa terjadi mungkin hal ini terjadi karena budaya bahasa jepang itu sendiri. Pada kalimat (7) verba 勉強しました/benkyou shimashita ‟belajar‟ secara semantis membutuhkan satu argumen Agen dan satu argumen Objek tetapi pada kalimat (7) di atas kasus Objek tidak hadir, hal ini disebabkan karena adanya pelesapan fungsi Objek. Dalam kalimat (7) berarti terjadi kasus terkandung, yaitu kasus Objek.
4.4.3 Kasus Leksikalisasi Kasus leksikalisasi adalah kasus yang tidak hadir pada struktur lahir karena kasus itu dileksikalisasi dalam verba. Kasus dileksikalisasi dalam kerangka kasus (cases frame) harus ditulis dengan tanda bintang ( * asterik). Berikut di bawah ini, contoh kalimat dengan kasus leksikalisasi dalam bahasa Jepang. (8) 彼 は 一日 中 Kare wa ichi nichi juu A ia Part sepanjang hari
声 koe suara
が ga Part
出なく 足り。 denaku tari. tidak bersuara
„Lalu sepanjang hari ia tidak bisa bersuara. + [ ___ A,*O] O = dileksikalisasi (とっとちゃん:199) (Tottochan: 131)
131
(9)さかな Sakana A ikan
が ga Part
水中 suichuu dalam air
を wo
泳ぎ回っている。 oyogi mawatte iru.
Part
berenang-renang
„Ikan sedang berenang-renang di dalam air‟. + [ ___ A, *O]O = dileksikalisasi (10)太郎さん Tarou san A Tarou
は wa
毎日 mainichi
Part tiap hari
学校 へ gakkou e
sekolah Part jalan kaki
„Tiap hari Tarou jalan kaki ke sekolah‟. (11)寺田さん は 名古屋 Terada san wa Nagoya A Terada Part Nagoya
歩きます。 arukimasu.
に ni Part
+ [ ___ A, *O] O = dileksikalisasi 引っ越しました。 hikkoshimashita. pindah rumah
„Terada pindah rumah ke Nagoya‟. + [ ___ A, *O] O = dileksikalisasi
Pada kalimat (8--11) di atas, kasus Objek dileksikalisasi ke dalam verba sehingga kasus Objek tidak nampak dalam struktur lahir kalimat. Verba 出なく /denaku „tidak keluar‟, 泳ぎ回っている/oyogi mawatte iru „berenang-renang‟, 歩き ま す /arukimasu „jalan kaki‟ 引 っ 越 し ま し た /hikkoshimashita „pindah rumah‟. Kasus Objek yang dinyatakan oleh keempat verba ini sudah menjadi satu antara kasus Objek dengan verbanya. Secara semantis kasus Objek terkandung dalam verba sebagai inti proposisi.
132
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan Sesuai dengan rumusan masalah, tujuan, dan analisis data yang telah diuraikan pada subbab sebelumnya, maka pada bab ini disimpulkan hasil analisis data. Hasil analisis data menunjukkan: pertama, berdasarkan ciri-ciri semantisnya verba bahasa Jepang dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe verba dasar, yaitu (1) verba statif, (2) verba proses, dan (3) verba aksi. Kedua, terdapat tiga tipe verba tambahan, yaitu (1) verba pengalam (experiencer), (2) verba benefaktif (benefactive), dan (3) verba lokatif (locative). Ketiga, tiga tipe verba dasar bahasa Jepang dapat dikombinasikan dengan tiga tipe verba tambahan sesuai dengan kasus-kasus yang diperlukan oleh verba yang bersangkutan. Dari kombinasi tersebut, maka ditemukan dua belas tipe semantis verba bahasa Jepang secara keseluruhan. Adapun kedua belas tipe semantis verba bahasa Jepang yang dimaksud adalah (1) Peran Semantis Verba Statif Bahasa Jepang, yaitu (a) Peran Semantis Verba Statif Dasar Bahasa Jepang, (b) Peran Semantis verba Statif Pengalam Bahasa Jepang, (c) Peran Semantis Verba Statif Benefaktif Bahasa Jepang, (d) Peran Semantis Verba Statif Lokatif Bahasa Jepang; (2) Peran Semantis Verba Proses Bahasa Jepang, yaitu (a) Peran Semantis Verba Proses Dasar Bahasa Jepang (b) Peran Semantis Verba Proses Pengalam Bahasa Jepang, (c) Peran Semantis Verba Proses Benefaktif Bahasa Jepang, (d) Peran Semantis Verba Proses Lokatif Bahasa Jepang; (3) Peran Semantis Verba Aksi
133
Bahasa Jepang, yaitu (a) Peran Semantis Verba Aksi Dasar Bahasa Jepang (b) Peran Semantis Verba Aksi Pengalam Bahasa Jepang, (c) Peran Semantis Verba Aksi Benefaktif Bahasa Jepang, (d) Peran Semantis Verba Aksi Lokatif Bahasa Jepang . Selain kedua belas tipe semantis verba bahasa Jepang yang telah disebutkan di atas, ditemukan juga Peran Kasus Modal (modal cases roles), dan Peran Kasus Tak Teraga (covert cases roles). Peran Kasus Tak Teraga (covert cases roles) meliputi: (1) Kasus Koreferensial, (2) Kasus Terkandung (build in), dan (3) Kasus Leksikalisasi. Sementara itu, Peran Kasus Modal (modal cases roles) meliputi: (1) Kasus Non-Inti Time (Waktu) Verba Statif, Verba Proses, Verba Aksi; (2) Kasus Non-Inti Manner (Cara ) Verba Statif, Verba Proses, Verba Aksi; (3) Kasus Non-Inti Instrument (alat) Verba Statif, Verba Proses, Verba Aksi; (4) Kasus Non-Inti Cause (Sebab) Verba Statif, Verba Proses, Verba Aksi; (5) Kasus Non-Inti Purpose (Maksud) Verba Statif, Verba Proses, Verba Aksi; (6) Kasus Non-Inti Result (Akibat) Verba Statif, Verba Proses, Verba Aksi; (7) Kasus Non-Inti Outer Benefaktive (Benefaktif Luar) Verba Statif, Verba Proses, Verba Aksi; (8) Kasus Non-Inti Outer Locative (Lokatif Luar) Verba Statif, Verba Proses, Verba Aksi.
5.2 Saran Kajian peran semantis verba bahasa Jepang dalam penelitian ini hanya mendeskripsikan dan mengklasifikasikan verba bahasa Jepang berdasarkan ciri-ciri semantis, peran semantis argumen, dan kasus-kasus argumen yang terdapat pada verba bahasa Jepang, belum dibahas masalah struktur semantisnya. Untuk
134
mendapatkan hasil yang maksimal, perlu dilakukan kajian yang lebih luas dan mendalam terutama masalah struktur semantis verba bahasa Jepang serta implikasiimplikasi semantis verba yang muncul karena aspek-aspek sintaktis maupun aspekaspek morfologis. Penelitian yang berkaitan dengan verba bahasa Jepang dan segala persoalan yang terdapat di dalamnya tidaklah selesai sampai di sini karena hasil penelitian ini hanya menunjukkan bagian kecil dari besarnya masalah yang masih sangat perlu diteliti. Oleh karena itu, penelitian lanjutan sangat penting dilakukan karena masih banyak masalah yang belum dapat diselesaikan atau dijelaskan secara sistematis dan ilmiah.
135
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, Ch. 2003. Dasar-Dasar Linguistik Bahasa Jepang. Bandung: Humaniora Utama Press (HUP). Alwi, H. dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. Budi Utami, L.G. 2000. “Peran Semantis Verba Bahasa Bali” (tesis). Denpasar: Program Magister (S2) Linguistik, Universitas Udayana. Budiasa, I.N. 1995/1996. “Tipe-Tipe Semantik Verba Bahasa Bali”. Denpasar: Balai Penelitian, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Chafe, W.L. 1970. Meaning and the Structure of Language. Chicago and London: The University of Chicago Press. Chaer, A. 2003. Linguistik Umum.Jakarta: Rineka Cipta. Chaer, A. 1995. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta Cook, Walker A. 1969. Introduction of Tagmemic Analysis. Translantic series in Linguistics. New York: Halt, Rinehart&Winsto,Inc. Cook, W. A. 1979. Case Grammer: Development of the Matrix Model Washington, DC: Georgetown University Press. Comrie. B. 1981. Aspect: An Introduction to the Study of Verbal Aspect and Related Problems. Cambridge University Press. Djajasudarma, T.F. 1993a. Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: Eresco. Fillmore, Ch. 1968. “The case for case”. Dalam: Bach, E. dan R.T. Harms (ed.) Universal in Linguistic Theory. New York: Holt, Rinehart Winston, 1-88. Foley, W.A. dan R.D. Van Valin Jr. 1984. Functional Syntax and Universal Grammar. Cambrige: Cambrige University Press. Frawley, W. 1992. Linguistic Semantics. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
136
Givon, T. 1984. Syntax: A Functional-Typological Introduction. Vol. 1. Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins. Juli, L. 2004. “Peran Semantis Argumen Verba Bahasa Sabu” (tesis). Denpasar: Program Studi Magister S2 Linguistik Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. Kridalaksana, H. 1983. Kamus Linguistik. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Kuno, S. 1973. The Structure of the Japanese Language. Cambridge: The MIT Press. Kuroyanagi, T. 1981. Madogiwa no Totto-chan. Japan: Kodansha. Rahmat, Latiefah H, dan Rahmat, N. 1998. Si Gadis Kecil di Tepi Jendela. Jakarta: Penerbit PT. Pantja Simpati. Masreng, R. 2003. “Struktur dan Peran Semantis Verba dengan Makna „Emosi‟ dalam Bahasa Kei” (tesis). Denpasar: Program Studi Magister (S2) Linguistik Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. Mashun, 2007. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Masuoka, T. dan Takubo, Y. 1989 Kiso Nihongo Bunpo. Tokyo: Kuroshio. Mulyadi. 1998. “Struktur Semantis Verba Bahasa Indonesia” (tesis). Denpasar: Program Studi Magister (S2) Linguistik Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. Muraki, S. 1994 Nihongo Doushi no Shosou. Tokyo: Hitsuji Shobou. Ogawa, I. 1998. Mninna no Nihongo. Surabaya: PT. Pustaka Lintas Budaya. Satyawati, S. Made. 1999. “Subjek Akusatif Bahasa Bali” (tesis). Bandung: Program Studi Magister Humaniora Program Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran. Sudjianto dan Dahidi, A. 2004. Pengantar Linguistik Bahasa Jepang. Jakarta: Kesaint Blanc. Sudaryanto. 1993. Metede Dan teknik Analisis Bahasa, Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistik. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Sugiyono. 2009. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit CV Alfabeta.
137
Sunagawa, Y. dkk. 1998. Nihon go Bunkei Jiten. Tokyo; Kuroshi Shuppan. Sutedi, D. 2003. Dasar-dasar Linguistik Bahasa Jepang. Bandung; Humaniora. Takayuki, T. 1993. Bunpou no Kiso Chishiki to Sono Kangaekata: Bonjinsha. Tampubolon, A.D. 1979. Tipe-Tipe Semantik Kata Kerja Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta. Tsujimura, N.1997. An Introduction to Japanese Linguistic. Oxford: Blackwell Publishers. Verhaar, J.W.M. 2002 Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Yoshida, Y. 1996. Japanese for Today (Bahasa Jepang Sehari-Hari). Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.