ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan salah satu bagian dari hukum keluarga. Hukum waris erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat hukum yang selanjutnya timbul dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang adalah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajibankewajiban seseorang yang meninggal dunia itu. Apabila dalam suatu keluarga terjadi kematian, masalah pembagiannya tidak dapat diselesaikan serta menimbulkan sengketa karena rasa ketidakpuasan anggota keluarga yang lain, maka diperlukan lembaga yang mempunyai kekuasaan untuk memaksakan kekuasaannya, yaitu qadha atau peradilan. Di Indonesia, peradilan yang menjalankan ajaran agama secara resmi adalah Peradilan Agama. Kewenangannya pada masalah-masalah seperti yang terdapat pada Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yaitu :
Tesis
a.
Perkawinan;
b.
Waris;
c.
Wasiat;
d.
Hibah;
e.
Wakaf;
MEMFITNAH SEBAGAI PENGHALANG .....
NOOR KHAIRIAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
f.
Zakat;
g.
Infaq;
h.
Shadaqah; dan
i.
Ekonomi syari‟ah.
2
Tentang hukum yang digunakan dalam menyelesaikan urusan kewarisan itu adalah hukum Islam tentang kewarisan atau yang disebut Hukum Kewarisan Islam atau Faraid. Sehingga Hukum Kewarisan Islam merupakan hukum positif bagi umat Islam di Indonesia. Pengertian hukum positif disini adalah hukum yang berlaku dan dilaksanakan oleh Negara melalui lembaga peradilan yang dibentuk oleh Negara. Hukum Kewarisan Islam bukan hukum nasional di Indonesia dalam arti “hukum tertulis yang ditetapkan oleh badan negara yang berlaku dan mengikat untuk seluruh warga Negara”. Hukum Kewarisan Islam yang dinyatakan sebagai hukum positif pada saat itu (sebelum 1991) belum berbentuk perundang-undangan tetapi baru dalam kitab fiqih bab faraid. Hal ini berarti bahwa para hakim dalam memberikan pertimbangan ketika menetapkan keputusan dalam pengadilan merujuk kepada kitab fiqih faraid tersebut.1 Fiqih yang berkembang di Indonesia pada umumnya adalah pengikut mazhab Syafi‟i, tanpa menutup adanya mazhab lain, meskipun kurang dominan. Mazhab Syafi‟i tersebut juga mengalami berbagai perkembangan sehingga menimbulkan perbedaan pendapat. Hal tersebut bukan masalah kalau masih dalam tatanan wacana, tetapi akan menjadi masalah apabila diterapkan dalam putusan 1
Tesis
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Cet. III, Kencana, Jakarta, 2008, h. 326
MEMFITNAH SEBAGAI PENGHALANG .....
NOOR KHAIRIAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
3
pengadilan. Sehingga akan muncul putusan yang berbeda meskipun kasus kewarisannya sama. Hal itulah yang mendorong pemuka negara kita untuk mengumpulkan kitab-kitab fiqih yang dijadikan rujukan pengadilan agama itu untuk dijadikan suatu kesatuan. Setelah melalui proses panjang, Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan peradilan di Indonesia bersama Menteri Agama, dengan melibatkan ulama, pakar fiqih, ahli hukum dan pemuka masyarakat lainnya berhasil mengeluarkan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang
mengatur
urusan
perkawinan,
kewarisan
dan
perwakafan,
dan
disebarluaskan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 yang dikeluarkan pada tanggal 10 Juni 1991. Instruksi Presiden ini diiringi pula oleh Keputusan Menteri Agama Nomor 154 tahun 1991 yang meminta untuk sedapat mungkin menerapkan Kompilasi Hukum Islam itu di peradilan agama yang ada diseluruh Indonesia. Namun demikian, kalaupun Kompilasi Hukum Islam ini sudah diusahakan sedemikian rupa agar benar-benar sederhana, mudah dipahami, jelas dan singkat, namun layaknya sebagai karya manusia tentunya disana-sini masih terdapat kekurangan terutama sekali apabila dikaitkan dengan kaidah-kaidah yang terdapat didalam ketentuan syar’iah Islam.2 Salah satu masalah tersebut diantaranya tentang halangan menjadi ahli waris (Pasal 173 KHI) khususnya huruf b, yaitu “Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan
2
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, Cet. II, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, h. 19
Tesis
MEMFITNAH SEBAGAI PENGHALANG .....
NOOR KHAIRIAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
4
yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat”, menarik untuk dibahas. Terhalangnya seorang ahli waris sebagaimana disebutkan di atas, merupakan perluasan dari ketentuan mawani’ al irs menurut para ulama dalam fiqh mawaris, Ketentuan di atas mirip dengan Pasal 838 Burgerlijk Wetboek (BW) tentang ketentuan orang-orang yang tidak pantas (onwaardig) untuk menerima warisan bagi kelompok ahli waris karena kematian (wettelijk erfrecht).3 Ketentuan lengkapnya yaitu: “Mereka yang dengan putusan Hakim pernah dipersalahkan karena secara fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap si yang meninggal, ialah suatu pengaduan telah melakukan sesuatu kejahatan yang terancam dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat.” Ketentuan tersebut sangat mirip, atau bisa dikatakan sama dengan ketentuan Pasal 173 huruf b KHI. Hal tersebut telah penulis teliti di berbagai macam buku mengenai hukum waris Islam yang penulis ketahui. Dari buku-buku yang penulis teliti tersebut, hanya buku-buku yang terbit setelah keluarnya Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam serta memasukkan ketentuan dalam KHI saja yang mencantumkan memfitnah pewaris sebagai salah satu penghalang seorang ahli waris menerima harta warisan. Di buku-buku lain yang berdasarkan kitab-kitab fiqih, ketentuan tersebut tidak dicantumkan.
3
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cet. 35, Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, h. 223
Tesis
MEMFITNAH SEBAGAI PENGHALANG .....
NOOR KHAIRIAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
5
Meskipun ada buku yang mencantumkan ketentuan Pasal 173 huruf b, tetapi penulis buku tersebut tidak menjelaskan mengenai latar belakang mengapa pembuat atau perancang KHI memasukkan ketentuan yang mirip dengan Pasal 838 Burgerlijk Wetboek (BW) tersebut serta menguraikan dasar-dasar hukum dan alasan-alasan yuridis Islami dari ketentuan tersebut. Suatu hal yang dapat dipastikan bahwa Hukum Kewarisan Islam yang selama ini dikenal sebagai Faraidh dijadikan rujukan atau sumber utama dari Kompilasi Hukum Islam, sehingga ada baiknya jika ketentuan tentang memfitnah tersebut diteliti lebih lanjut dalam kaitannya dengan Faraidh. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut : 1.
Apa makna memfitnah yang menyebabkan ahli waris tidak mendapatkan hak mewarisi dalam Pasal 173 huruf b Kompilasi Hukum Islam?
2.
Apakah secara rasio ketentuan memfitnah dalam Pasal 173 huruf b Kompilasi Hukum Islam sesuai dengan Hukum Islam?
C. Tujuan Penelitian Mengacu kepada judul dan permasalahan dalam penelitian ini, maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : a.
Untuk menganalisis makna memfitnah yang menyebabkan ahli waris tidak mendapatkan hak mewarisi dalam Pasal 173 huruf b Kompilasi Hukum Islam.
Tesis
MEMFITNAH SEBAGAI PENGHALANG .....
NOOR KHAIRIAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
b.
6
Untuk menganalisis secara rasio ketentuan memfitnah dalam Pasal 173 huruf b Kompilasi Hukum Islam dengan Hukum Islam.
D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian adalah merupakan suatu indikasi bahwa suatu penelitian itu berguna atau tidak, mempunyai arti atau tidak, bernilai atau tidak. Berdasarkan hasil dari penelitian ini diharapkan untuk dapat memberikan manfaat berupa : 1. Manfaat Teoritis a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi suatu sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu perundang-undangan dalam bidang Hukum Kewarisan Islam berdasarkan Kompilasi Hukum Islam. b) Hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai salah satu materi mengajar mata kuliah Hukum Waris Islam. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi masyarakat yang menghadapi permasalahan yang sama yaitu tentang makna memfitnah yang menyebabkan ahli waris tidak mendapatkan hak mewarisi dalam Pasal 173 huruf b Kompilasi Hukum Islam dan kesesuaian ketentuan tersebut dengan Hukum Islam. E. Kajian Pustaka 1.
Tesis
Pengertian Hukum Kewarisan Islam
MEMFITNAH SEBAGAI PENGHALANG .....
NOOR KHAIRIAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
7
Dalam Al-Qur‟an, ungkapan yang dipergunakan untuk menunjukkan adanya kewarisan dapat dilihat pada tiga jenis yaitu al-irts, al-faraidh, dan altirkah. Al-irts dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (maksudnya kata benda yang menunjuk kepada peristiwa yang tidak disertai penunjukan waktu) dari kata waritsa, yaritsu, irtsan. Bentuk mashdarnya bukan saja kata irtsan, melainkan termasuk juga kata wirtsan, turatsan, dan wiratsan. Kata-kata itu berasal dari kata asli waritsa, yang berakar kata dari huruf-huruf waw, ra, dan tsa yang bermakna dasar perpindahan harta hak milik, atau perpindahan pusaka.4 Al-Faraidh dalam bahasa Arab adalah bentuk plural dari kata tunggal faradha, yang berakar kata dari huruf-huruf fa, ra, dan dha. Dalam Al-Qur‟an, kata tersebut mengandung beberapa makna dasar, yaitu “suatu ketentuan untuk maskawin” (Al-Baqarah, 2 : 236-237, An-Nisaa‟, 4 : 24), “menurunkan AlQur‟an” (Al-Qasash, 28 : 25), “penjelasan” (At-Tahrim, 66 : 2), “penghalalan” (Al-Ahzab, 33 : 38), “ketetapan yang diwajibkan” (At-Taubah, 9 : 60), “ketetapan yang pasti” (An-Nisaa‟, 4 : 11). Bahkan di ayat lain, ia mengandung makna “tidak tua” (Al-Baqarah, 2 : 68).5 Al-Tirkah dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar dari kata tunggal taraka, yang berakar kata dari huruf-huruf ta, ra, dan ka. Dalam Al-Qur‟an kata tersebut tercatat dalam berbagai konteks kata dan beberapa makna dasar, yaitu “membiarkan” (Al-Baqarah, 2 : 17), “menjadi” (Al-Baqarah, 2 : 264),
4
Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur’an: Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir Tematik, Cet. I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, h. 23 5
Tesis
Ibid, h. 28
MEMFITNAH SEBAGAI PENGHALANG .....
NOOR KHAIRIAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
8
“mengulurkan lidah” (Al-A‟raf, 7 : 176), “meninggalkan agama” (Yusuf, 12 : 37), dan “harta peninggalan” (An-Nisaa‟, 4 : 7, 9, 11, 12, 33, dan 176).6 Hukum Kewarisan Islam dalam ilmu fiqih disebut Fiqih Mawaris. Mawaris secara etimologis adalah bentuk jamak dari kata tunggal miras artinya warisan. Dalam Hukum Islam dikenal adanya ketentuan-ketentuan tentang siapa yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan, dan ahli waris yang tidak berhak menerimanya. Istilah Fiqih Mawaris dimaksudkan ilmu fiqih yang mempelajari siapa-siapa ahli waris yang berhak menerima warisan, siapa yang tidak berhak menerima, serta bagian-bagian tertentu yang diterimanya. Fiqih Mawaris, disebut juga ilmu faraidh bentuk jamak dari kata tunggal faraidh artinya ketentuan-ketentuan bagian ahli waris yang diatur secara rinci didalam AlQur‟an.7 Pengertian hukum kewarisan dalam KHI disebutkan dalam Pasal 171 huruf a : “Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.” Dari definisi di atas, maka hukum kewarisan menurut KHI mencakup ketentuan-ketentuan sebagai berikut : a. Ketentuan yang mengatur siapa pewaris; b. Ketentuan yang mengatur siapa ahli waris; c. Ketentuan yang mengatur tentang harta peninggalan;
Tesis
6
Ibid, h. 30
7
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Cet. I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, h. 1
MEMFITNAH SEBAGAI PENGHALANG .....
NOOR KHAIRIAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
9
d. Ketentuan yang mengatur tentang akibat peralihan harta peninggalan dari pewaris kepada ahli waris; e. Ketentuan yang mengatur tentang bagian masing-masing. Dari definisi ini juga tampak unsur-unsur pewarisan, yaitu; pewaris, ahli waris dan harta warisan atau tirkah. 2.
Hukum Waris Dalam Al-Qur’an Dalam menguraikan prinsip-prinsip hukum waris berdasarkan hukum
Islam, satu-satunya sumber tertinggi dalam kaitan ini adalah Al-Qur‟an dan sebagai pelengkap yang menjabarkannya adalah Sunnah Rasul beserta hasil-hasil ijtihad atau upaya para ahli hukum Islam terkemuka. Berkaitan dengan hal tersebut, di bawah ini akan diuraikan beberapa ayat suci Al-Qur‟an yang merupakan sendi utama pengaturan warisan dalam Islam. Ayat-ayat tersebut secara langsung menegaskan perihal pembagian harta warisan di dalam AlQur‟an, masing-masing tercantum dalam surat An-Nisaa‟ (Q.S. IV), surat AlBaqarah (Q.S. II), dan terdapat pula dalam surat Al-Ahzab (Q.S. XXXIII). Ayat-ayat suci yang berisi ketentuan hukum waris dalam Al-Qur‟an, sebagian besar terdapat dalam surat An-Nisaa‟ (Q.S. IV) di antaranya sebagai berikut: a. Q.S. IV : 7- “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta sepeninggalan IbuBapak, dan kerabatnya, dan bagi wanita ada pula dari harta peninggalan IbuBapak, dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah di tetapkan.”
Tesis
MEMFITNAH SEBAGAI PENGHALANG .....
NOOR KHAIRIAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
10
Dalam ayat ini secara tegas Allah menyebutkan bahwa baik laki-laki maupun perempuan merupakan ahli waris. b. Q.S. IV : 11- “Allah mensyari‟atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu; bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separoh harta. Dan untuk dua orang ibubapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Tentang orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Dari ayat ini dapat diketahui tentang bagian anak, bagian ibu dan bapa, di samping itu juga diatur tentang wasiat dan hutang pewaris. c. Q.S. IV : 12- “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu...” Di dalam ayat ini juga ditentukan secara tegas mengenai bagian duda serta bagian janda. d. Q.S. IV : 33- “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu-bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya....” Secara rinci dalam ayat 11 dan 12 surat An-Nisaa‟ di atas, Allah menentukan ahli waris yang mendapat harta peninggalan dari ibu-bapaknya, ahli
Tesis
MEMFITNAH SEBAGAI PENGHALANG .....
NOOR KHAIRIAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
11
waris yang mendapat peninggalan dari saudara seperjanjian. Selanjutnya Allah memerintahkan agar pembagian itu dilaksanakan. e. Q.S. IV : 176- “...Katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri atas) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” Ayat ini berkaitan dengan masalah pusaka atau harta peninggalan kalalah, yaitu seorang yang meninggal dunia tanpa meninggalkan ayah dan anak. Hazairin juga mengemukakan beberapa hal baru yang merupakan ciri atau spesifikasi sistem Hukum Waris Islam menurut Al-Qur‟an, yaitu sebagai berikut: a. Anak-anak si pewaris bersama-sama dengan orang tua si pewaris serentak sebagai ahli waris. Sedangkan dalam sistem hukum waris di luar Al-Qur‟an hal itu tidak mungkin sebab orang tua baru mungkin menjadi ahli waris jika pewaris meninggal dunia tanpa keturunan; mati punah; b. Jika meninggal dunia tanpa keturunan maka ada kemungkinan saudara-saudara pewaris bertindak bersama-sama sebagai ahli waris dengan orang tuanya, setidak-tidaknya dengan ibunya. Prinsip di atas maksudnya ialah jika orang tua pewaris, dapat berkonkurensi dengan anak-anak pewaris, apabila dengan saudara-saudaranya yang sederajat lebih jauh dari anak-anaknya. Menurut sistem hukum waris di luar Al-Qur‟an hal tersebut tidak mungkin sebab saudara si pewaris tertutup haknya oleh orang tuanya;
Tesis
MEMFITNAH SEBAGAI PENGHALANG .....
NOOR KHAIRIAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
12
c. Bahwa suami-isteri saling mewaris; Artinya, pihak yang hidup paling lama menjadi ahli waris dari pihak lainnya.8 3.
Asas-asas Hukum Kewarisan Islam a. Asas Ijbari Kata ijbari secara leksikal mengandung arti paksaan (compulsory), yaitu melakukan sesuatu diluar kehendak sendiri. Dijalankannya asas ijbari dalam Hukum Kewarisan Islam mengandung arti bahwa peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa tergantung kepada kehendak dari pewaris atau permintaan dari ahli warisnya. Unsur paksaan sesuai dengan arti terminologis tersebut terlihat dari segi bahwa ahli waris terpaksa menerima kenyataan perpindahan harta kepada dirinya sesuai dengan yang telah ditentukan.9 Ijbari dalam Burgerlijk Wetboek (BW), peralihan harta tergantung pada kehendak dan kerelaan ahli waris. Apabila bersedia menerima warisan, berkewajiban menerima konsekwensi membayar utang.10 Asas ijbari dalam Hukum Kewarisan Islam dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu :
8
Hazairin.TT, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an, Tintamas, Jakarta,
9
Amir Syarifuddin, Op.Cit., h. 18
h. 14-15
10
Tesis
Siti Hamidah, Hukum Waris Islam, Bahan Kuliah Hukum Waris Islam, 2011
MEMFITNAH SEBAGAI PENGHALANG .....
NOOR KHAIRIAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
13
1) Dari segi peralihan harta, yang mengandung arti bahwa harta orang yang mati itu beralih dengan sendirinya, bukan dialihkan siapa-siapa kecuali oleh Allah SWT (Al-Qur‟an surah An-Nisaa‟ : 7); 2) Dari segi jumlah, dapat dilihat dari kata “mafrudan” yang secara etimologis berarti “telah ditentukan atau telah diperhitungkan”. Kata-kata tersebut dalam terminologi Ilmu Fiqih berarti sesuatu yang telah diwajibkan Allah kepada hambanya. Dengan menggabungkan kedua kemungkinan pengertian itu, maka maksudnya ialah “sudah ditentukan jumlahnya dan harus dilakukan sedemikian rupa secara mengikat dan memaksa”; 3) Dari segi kepada siapa harta itu beralih, berarti bahwa mereka yang berhak atas harta peninggalan itu sudah ditentukan secara pasti, sehingga tidak ada suatu kekuasaan manusia pun dapat mengubahnya dengan cara memasukkan orang lain atau mengeluarkan orang yang berhak (Al-Qur‟an surah An-Nisaa‟ : 11, 12 dan 176).11 b. Asas Bilateral Asas bilateral dalam kewarisan mengandung arti bahwa harta warisan beralih kepada atau melalui dua arah. Hal ini berarti bahwa setiap orang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis laki-laki dan pihak kerabat garis perempuan. Asas bilateral ini
11
Tesis
Amir Syarifuddin, Op.Cit., h. 18-19
MEMFITNAH SEBAGAI PENGHALANG .....
NOOR KHAIRIAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
14
dapat secara nyata dilihat dalam Al-Qur‟an surah An-Nisaa‟ : 7, 11, 12 dan 176.12 c. Asas Individual Asas individual dalam kewarisan berarti harta warisan dibagi-bagi untuk dimiliki secara perorangan. Sifat individual dalam kewarisan itu dapat dilihat dari aturan-aturan Al-Qur‟an mengenai pembagian harta warisan itu sendiri.13 d. Asas Keadilan Berimbang Dalam hubungannya dengan hak yang menyangkut materi, khususnya menyangkut kewarisan, asas tersebut dapat diartikan keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Perbedaan gender pada dasarnya tidak menentukan hak kewarisan dalam Islam. Ditinjau dari segi jumlah bagian yang diperoleh saat menerima hak, memang terjadi perbedaan. Tetapi itu bukan berarti tidak adil, karena keadilan dalam pandangan Islam tidak hanya diukur dengan jumlah yang didapat saat menerima warisan tetapi juga dikaitkan kepada kegunaan dan kebutuhan. Pria membutuhkan lebih banyak dibandingkan wanita, karena pria dalam ajaran Islam memikul kewajiban ganda yaitu untuk dirinya sendiri dan terhadap keluarganya termasuk para wanita (Al-Qur‟an surah An-Nisaa‟ : 34).14 e. Asas Semata Akibat Kematian
Tesis
12
Ibid, h. 19-20
13
Ibid, h. 21
14
Ibid, h. 24-25
MEMFITNAH SEBAGAI PENGHALANG .....
NOOR KHAIRIAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
15
Asas semata akibat kematian berarti peralihan harta seseorang kepada orang lain dengan menggunakan istilah kewarisan hanya berlaku setelah yang mempunyai harta meninggal dunia. Artinya, harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dengan nama waris selama yang mempunyai masih hidup. Juga berarti bahwa segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup baik secara langsung, maupun terlaksana setelah dia mati, tidak termasuk ke dalam istilah kewarisan menurut Hukum Waris Islam, yang berbeda dengan Hukum Waris Barat yang mengenal istilah waris berdasarkan testamen.15 4.
Kewarisan Islam Dalam KHI Dalam KHI, ketentuan tentang kewarisan diatur dalam Buku II, yang
terdiri dari 23 pasal, dari Pasal 171 sampai dengan Pasal 193. Dalam berbagai ketentuan tersebut terdapat beberapa hal yang tidak ada didalam fiqih klasik, tetapi ada dalam KHI, maupun ketentuan yang seharusnya ada, tetapi tidak dicantumkan dalam KHI. Adapun beberapa ketentuan
yang dimaksud
diantaranya:16 a. Besarnya bagian laki-laki dan perempuan tetap dipertahankan sesuai dengan dalil Al-Qur‟an, yaitu bagian laki-laki dua kali bagian perempuan; b. Adanya prinsip musyawarah dalam pembagian warisan (Pasal 183), bahwa para ahli dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya;
Tesis
15
Ibid, h. 28
16
Ibid
MEMFITNAH SEBAGAI PENGHALANG .....
NOOR KHAIRIAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
16
c. Pembagian waris tidak mesti harus membagikan bendanya secara fisik. Pasal 189 mengatur tentang pembagian warisan yang berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar yang harus dipertahankan dan dimanfaatkan bersama atau dengan membayar harga tanah sehingga tanahnya tetap dipegang oleh seorang ahli waris saja; d. Pasal 187 mengatur tentang tata cara pembagian warisan yang selanjutnya harus dikaitkan dengan ketentuan Pasal 192 dan 193 yang berada di Bab Aul dan Rad, Pasal 190 mengatur tentang pembagian warisan bagi mereka yang mempunyai istri lebih dari satu orang. 5.
Unsur-unsur Pewarisan a. Pewaris Tentang pewaris tercantum dalam Pasal 171 huruf b : “Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.” Dari redaksi di atas tampak bahwa untuk terjadinya pewarisan disyaratkan untuk pewaris adalah telah meninggal dunia, baik secara hakiki maupun hukum. Hal ini sebagaimana telah ditentukan oleh ulama tentang syaratsyarat terjadinya pewarisan antara lain meninggalnya pewaris baik secara hakiki, hukum atau takdir. Selain disyaratkan telah meninggal dunia, pewaris juga disyaratkan beragama Islam dan mempunyai ahli waris serta harta peninggalan. b. Ahli Waris
Tesis
MEMFITNAH SEBAGAI PENGHALANG .....
NOOR KHAIRIAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
17
Pengertian ahli waris dalam KHI disebutkan dalam Pasal 171 huruf c : “Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.” Dari Pasal 174, 181, 182 dan 185 KHI dapat dilihat bahwa ahli waris terdiri atas : 1) Ahli waris laki-laki, ialah ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, kakek dan suami. 2) Ahli waris perempuan, yaitu ibu, anak perempuan, saudara perempuan, nenek dan isteri. 3) Ahli waris yang dimungkinkan sebagai ahli waris pengganti adalah seperti cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki atau perempuan. Dari penjelasan tentang ahli waris menurut KHI ini, dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat sebagai ahli waris adalah; mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan; beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Tentang beragama Islam bagi ahli waris ini lebih lanjut diatur dalam Pasal 172 KHI : “Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.” Di dalam Komplikasi Hukum Islam dapat diketahui, ada tiga macam ahli waris, yaitu : 1.
Tesis
Dzawil Furud,
MEMFITNAH SEBAGAI PENGHALANG .....
NOOR KHAIRIAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
2.
Ashobah,
3.
Mawali.
18
Ahli waris dzawil furud disebutkan dalam Pasal 192 KHI. Kata dzawil furud berarti mempunyai bagian. Dengan kata lain mereka adalah ahli waris yang bagiannya telah ditentukan di dalam syariat, antara lain bagian ayah, ibu, anak perempuan, janda atau duda.17 Anak laki-laki tidak termasuk ke dalam ahli waris dzawil furud, tetapi masuk katagori ahli waris yang kedua, yaitu ahli waris ashobah yang di dalam Kompilasi Hukum Islam disebut oleh Pasal 193. Ahli waris ini mendapat bagian sejumlah sisa harta warisan, setelah bagian para ahli waris dzawil furud diperhitungkan. Ahli waris ashobah terdiri dari tidak kurang dari 19 macam, namun yang sering terjadi adalah :18 1. Anak laki-laki; atau anak perempuan bersama anak laki-laki. 2. Cucu laki-laki; atau cucu perempuan bersama cucu laki-laki. 3. Ayah; 4. Kakek; 5. Saudara laki-laki kandung; atau saudara perempuan kandung bersama saudara laki-laki kandung; 6. Saudara laki-laki seayah; atau saudara perempuan seayah bersama saudara laki-laki seayah.
17
Afdol, Penerapan Hukum Waris Islam Secara Adil, Airlangga University Press, Surabaya, 2003, h. 99 18
Tesis
Ibid
MEMFITNAH SEBAGAI PENGHALANG .....
NOOR KHAIRIAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
19
Macam ahli waris ketiga yaitu mawali atau ahli waris pengganti. Kompilasi Hukum Islam menentukan dalam Pasal 185. 1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173. 2) Bagian dari ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. 19 Secara garis besar golongan ahli waris di dalam Islam dapat dibedakan kedalam 3 (tiga) golongan, yaitu : 1. Ahli waris menurut Al-Qur‟an atau yang sudah ditentukan di dalam AlQur‟an disebut dzul faraa’idh, yang terdiri atas :20 a) Dalam garis ke bawah : 1) Anak perempuan; 2) Anak perempuan dari anak laki-laki (Q.S. IV : 11). b) Dalam garis ke atas : 1) Ayah; 2) Ibu kakek dari garis ayah; 3) Nenek baik dari garis ayah maupun dari garis ibu (Q.S. IV : 11). c) Dalam garis ke samping : 1) Saudara perempuan yang seayah dan seibu dari garis ayah;
Tesis
19
Ibid, h. 99-100
20
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2005, h. 17-18
MEMFITNAH SEBAGAI PENGHALANG .....
NOOR KHAIRIAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
20
2) Saudara perempuan tiri (halfzuster) dari garis ayah; (Q.S. IV : 176) 3) Saudara lelaki tiri (halfbroeder) dari garis ibu; (Q.S. IV : 12) 4) Saudara perempuan tiri (halfzuster) dari garis ibu. (Q.S. IV : 12) d) Duda; e) Janda. (Q.S. IV : 12) 2. Ahli waris yang ditarik dari garis ayah disebut ashabah, yang terdiri atas:21 a) Ashabah binafsihi yaitu ashabah-ashabah yang berhak mendapat semua harta atau semua sisa, yang urutannya sebagai berikut : 1) Anak laki-laki; 2) Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus ke bawah asal saja pertaliannya masih terus laki-laki; 3) Ayah; 4) Kakek dari pihak ayah dan terus ke atas asal saja pertaliannya belum putus dari pihak ayah; 5) Saudara laki-laki sekandung; 6) Saudara laki-laki seayah; 7) Anak Saudara laki-laki sekandung; 8) Anak Saudara laki-laki seayah; 9) Paman yang sekandung dengan ayah; 10) Paman yang seayah dengan ayah; 11) Anak laki-laki Paman yang sekandung dengan ayah; 21
Tesis
Ali Hasan, Hukum Warisan dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, h. 27
MEMFITNAH SEBAGAI PENGHALANG .....
NOOR KHAIRIAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
21
12) Anak laki-laki Paman yang seayah dengan ayah. b) Ashabah bilghairi yaitu ashabah dengan sebab orang lain, yakni seorang wanita yang menjadi ashabah karena ditarik oleh seorang laki-laki, mereka yang termasuk dalam ashabah bilghairi ini adalah sebagai berikut : 1) Anak perempuan yang didampingi oleh anak laki-laki; 2) Saudara perempuan yang didampingi oleh saudara laki-laki. c) Ashabah ma’al ghairi yakni saudara perempuan yang mewaris bersama keturunan dari pewaris, mereka itu adalah : 1) Saudara perempuan sekandung, dan 2) Saudara perempuan seayah. 3. Ahli waris menurut garis ibu, disebut dzul arhaam. Hazairin dalam bukunya “Hukum Kewarisan Bilateral” memberikan perincian mengenai dzul arhaam, yaitu : “semua orang yang bukan dzul faraa’idh dan bukan ashabah, umumnya terdiri atas orang yang termasuk anggota-anggota keluarga patrilineal pihak menantu laki-laki atau anggota pihak menantu laki-laki atau anggota-anggota keluarga pihak ayah dan ibu.”22 c. Tirkah Hal ini berarti jika pewaris tidak meninggalkan tirkah, maka tidak akan terjadi pewarisan. KHI memberi definisi tirkah, yaitu seperti dalam Pasal 171
22
Tesis
Hazairin, Op.Cit., h. 15
MEMFITNAH SEBAGAI PENGHALANG .....
NOOR KHAIRIAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
22
huruf d : “Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.” Sedangkan tentang harta waris dijelaskan pada Pasal 171 huruf e : “Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.” Dari pengertian di atas, dikatakan bahwa secara umum harta peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia adalah berupa : 1) Harta kekayaan yang berwujud dan dapat dinilai dengan uang, termasuk piutang yang akan ditagih; 2) Harta kekayaan yang berupa hutang-hutang dan harus dibayar pada saat seseorang meninggal dunia; 3) Harta kekayaan yang masih bercampur dengan harta bawaan masingmasing; 4) Harta bawaan yang tidak dapat dimiliki langsung oleh suami atau isteri, misal harta pusaka dari suku mereka yang dibawa sebagai modal pertama dalam perkawinan yang harus kembali pada asalnya, yaitu suku tersebut. d. Halangan Untuk Kewarisan Salah satu syarat terjadinya pewarisan adalah tidak adanya halangan pewarisan. Terhalangnya seseorang menjadi ahli waris dalam KHI disebutkan pada Pasal 173, yang berbunyi sebagai berikut : “Seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai ketetapan hukum yang tetap, dihukum karena:
Tesis
MEMFITNAH SEBAGAI PENGHALANG .....
NOOR KHAIRIAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
23
a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris. b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.” Seperti yang telah penulis uraikan dalam latar belakang tulisan ini, mengenai halangan mewaris terdapat perbedaan jumlahnya. Tetapi ketentuan huruf b pada pasal diatas tampaknya masih menjadi kontroversi.
6.
Memfitnah 1.
Pengertian memfitnah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Fitnah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia23, “fitnah ialah perkataan
yang bermaksud menjelekkan orang (seperti menodai nama baik, merugikan kehormatan orang). Memfitnah yaitu menjelekkan nama orang (menodai nama baik, merugikan kehormatan, dan sebagainya).” 2.
Pengertian memfitnah menurut Kamus Hukum
Memfitnah atau pemfitnahan, lasterlijke aanklacht (bahasa Belanda) : Barangsiapa dengan sengaja kepada seorang pejabat resmi secara tertulis mengajukan atau menyuruh menuliskan suatu pengaduan atau pemberitahuan palsu terhadap seorang tertentu, sehingga kehormatan atau nama baik orang tersebut ternoda karenanya, maka ia pun bersalah melakukan tindak pidana: fitnah dengan pengaduan (Pasal 317 KUHP).”24
23
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. III, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, h. 242 24
R. Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Cet. XVI, Pradnya Paramita, Jakarta, 2005, h. 43
Tesis
MEMFITNAH SEBAGAI PENGHALANG .....
NOOR KHAIRIAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
24
Kata “Pejabat resmi” dalam rumusan pasal 317 ayat (1) KUHP merupakan terjemah dari overhead dari bahasa Belanda yang artinya adalah penguasa yang juga diterjemahkan dengan aparat Negara atau aparat pemerintah.25 3. Pengertian fitnah menurut Islam Fitnah (dalam bahasa Arab) berarti ‘membakar’ dan ‘menguji’ ; tetapi kata ini juga sering dianggap sebagai sinonim dari ‘kesalahan’ atau ‘kejahatan’. Dengan demikian secara umum fitnah mengandung konotasi negatif. Setan seringkali diasosiasikan dengan fitnah dan dijuluki sebagai al-fatin atau alfattan, sebab ia selalu menggiring manusia kepada kesalahan dan kejahatan. Seseorang bisa juga disebut al-maftun jika ia menjadi gila atau kesurupan. Secara teknis, fitnah mengandung makna yang lebih luas dari ini dan bisa mengandung variasi sesuai konteks penggunaannya.26 Dalam Al-Qur‟an, fitnah digunakan untuk beberapa makna : (1) ujian, seperti dalam Q.S. 9/ At Taubah : yang menjelaskan bahwa orang-orang munafik diuji setiap tahun, namun tetap tak mau bertaubat; (2) siksaan, seperti dalam Q.S. 37/ As Shaffat : 63, yang menjelaskan bahwa pohon neraka, Zaquum, adalah siksaan bagi mereka yang berbuat jahat; (3) umpan, seperti dalam Q.S. 10/ Yunus : 85, yang menjelaskan bahwa orang yang beriman berdo‟a untuk tidak dijadikan umpan dan sasaran kezaliman para tiran; (4) godaan, seperti dalam Q.S. 8/ Al-Anfal : 28, yang menjelaskan bahwa anak-anak dan harta benda orang yang beriman adalah godaan yang 25
http://qolbu27.blogspot.com
26
Syahrin Harahap dan Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedi Akidah Islam, Cet. I, Kencana, Jakarta, 2003, h. 111
Tesis
MEMFITNAH SEBAGAI PENGHALANG .....
NOOR KHAIRIAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
25
bisa melalaikan mereka dari berbuat baik; (5) kekacauan, seperti dalam Q.S. 2/ Al-Baqarah : 191, dimana orang yang beriman diperintahkan memerangi orang kafir yang telah mengusir mereka dari Mekkah, sebab kekacauan yang mereka timbulkan lebih berbahaya dari pada pembunuhan; (6) penganiayaan, seperti dalam Q.S. 2/ Al-Baqarah : 217, yang bercerita tentang penganiayaan dan penindasan kaum kafir terhadap umat Islam, yang dianggap lebih serius dari pada pembunuhan; (7) kebingungan, seperti dalam Q.S. 9/ At Taubah : 47, yang menegaskan bahwa kalangan orang munafik ikut berperang tetapi justru menimbulkan kebingungan di tengah pasukan muslim. Beberapa penggunaan lain dapat di temukan, tetapi perbedaan hanya terdapat dalam nuansa dengan salah satu makna diatas (lihat misalnya Q.S. 21/ Al-Anbiya : 35; 22/ Al-Hajj : 53 dan 38/ Shaad : 24).27 F. Metode Penelitian Metode penulisan berawal dari pendekatan masalah hingga analisis bahan hukum dengan penjabaran dan penjelasan sebagai berikut : 1.
Tipe Penelitian Tipe penelitian hukum normatif yang digunakan dalam penulisan tesis
ini untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun dokrindoktrin hukum untuk dapat mencari solusi atau jawaban dari isu hukum yang tengah dihadapi. 2.
Pendekatan Masalah
27
Tesis
Ibid
MEMFITNAH SEBAGAI PENGHALANG .....
NOOR KHAIRIAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
26
Pendekatan masalah dilakukan dengan statute approach, conceptual approach. Statute approach yaitu pendekatan masalah yang mengacu pada peraturan perundang-undangan. Sedangkan conceptual approach, yaitu pendekatan masalah yang mengacu pada norma-norma yang ada. Di samping itu juga mengacu pada Al-Qur‟an, Al-Hadist, serta pendapat para sarjana guna membahas permasalahan yang ada. 3. Sumber Bahan Hukum Dalam penelitian ini terdapat bahan hukum primer dan sekunder yang menjadi tumpuan utama dalam penulisan. Bahan hukum primer, terdiri dari Al-Qur‟an dan Al-Hadist serta peraturan perundang-undangan di bidang hukum waris. Sedangkan bahan hukum sekunder diambil dari studi kepustakaan baik berupa buku, artikel, kamus, majalah, dan internet yang berkaitan dengan pokok permasalahan di atas dan pendapat para ulama. 4. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum Bahan hukum primer dan sekunder dalam penelitian ini dikumpulkan dengan studi kepustakaan (library research). Bahan hukum yang diperoleh diinventarisasi, kemudian terhadap bahan hukum yang berkenaan dengan pokok masalah dilakukan identifikasi untuk digunakan sebagai bahan analisa dan diklasifikasi menurut permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini. Kemudian bahan hukum tersebut disusun secara sistematis dalam uraian pembahasan. Berdasarkan penelitian dan analisa yang ada akan ditarik beberapa kesimpulan dan dilengkapi saran-saran yang dipandang bermanfaat bagi masyarakat.
Tesis
MEMFITNAH SEBAGAI PENGHALANG .....
NOOR KHAIRIAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
27
5. Analisa Bahan Hukum Bahan hukum primer dan sekunder yang telah diinventarisasi dilakukan pengolahan dengan langkah-langkah sebagai berikut : a.
Pengolahan Bahan Hukum Dalam mengolah bahan hukum ini maka seluruh bahan hukum, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder yang telah terkumpul disusun, kemudian menghubungkan antara bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder untuk menemukan jawaban dari permasalahan yang diteliti.
b.
Analisis Bahan Hukum Analisis data sekunder dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif yaitu berusaha menggolongkan dan mengidentifikasi bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder berdasarkan persamaan permasalahan yang dimiliki, sehingga akhirnya dapat diambil kesimpulan yang rasional dan dapat dipertanggung jawabkan.
G. Sistematika Penulisan Penulisan tesis ini terdiri dari 4 (empat) bab yang masing-masing terdiri dari beberapa sub-bab yang terangkai dan berhubungan satu dan lainnya sehingga terbentuk suatu uraian-uraian yang sistematis dalam satu kesatuan. Bab I merupakan pendahuluan yang berisi gambaran mengenai hal-hal yang akan dibahas, yang meliputi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Tesis
MEMFITNAH SEBAGAI PENGHALANG .....
NOOR KHAIRIAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
28
Bab II merupakan penjabaran dari pokok permasalahan yang pertama yaitu mengenai makna memfitnah yang menyebabkan ahli waris tidak mendapatkan hak mewarisi dalam Pasal 173 huruf b Kompilasi Hukum Islam. Bab III merupakan pembahasan dari pokok permasalahan yang kedua yaitu mengenai kesesuaian ketentuan memfitnah dalam Pasal 173 huruf b KHI dengan Hukum Islam. Penulisan ini akan diakhiri pada Bab IV tentang Penutup, akan diberikan suatu kesimpulan dan saran-saran yang berkaitan dengan topik yang dibahas pada bab-bab sebelumnya. Kesimpulan adalah jawaban atas persoalan yang dikemukakan dalam perumusan masalah. Hal ini bertumpu pada bab pembahasan yaitu, Bab II dan Bab III. Sedangkan saran ditujukan kepada kesimpulan yang diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat.
Tesis
MEMFITNAH SEBAGAI PENGHALANG .....
NOOR KHAIRIAH