BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Komunikasi adalah suatu kebutuhan yang sangat fundamental bagi seseorang dalam hidup bermasyarakat. Komunikasi juga merupakan prasyarat kehidupan manusia. Kehidupan manusia akan tampak hampa bila tidak ada komunikasi. Jadi pada dasarnya manusia telah melakukan tindakan komunikasi sejak ia lahir ke dunia. Seorang bayi dapat menangis atau merengek kepada ibunya ketika ia merasa haus atau lapar. Secara tidak langsung ia telah menyampaikan pesan melalui tangisan atau rengekannya tersebut. Setelah beranjak dewasa ia ingin mengetahui lingkungan sekitarnya, bahkan ingin mengetahui apa yang terjadi dalam dirinya. Rasa ingin tahu ini memaksa manusia perlu berkomunikasi. Jika orang tidak pernah berkomunikasi dengan orang lain niscaya ia akan merasa terisolasi dari masyarakatnya. Dr. Everett Kleinjan dari East West Center Hawaii, komunikasi sudah merupakan bagian kekal dari kehidupan manusia seperti halnya bernafas, sepanjang manusia ingin hidup maka ia perlu berkomunikasi.
1
Wilbur Schramm menyebut bahwa
komunikasi dan masyarakat adalah dua kata kembar yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, sebab tanpa komunikasi tidak mungkin masyarakat terbentuk, sebaliknya tanpa masyarakat maka manusia tidak mungkin dapat mengembangkan
1
http://izabova.blogspot.com/2010/07/mengapa-manusia-perlu-berkomunikasi.html Kamis Tanggal 11-11-2010 Pukul 08.00 PM
1
Pada Hari
2
komunikasi (Schramm, 1982:47). Sebagai makhluk sosial manusia senantiasa ingin berhubungan dengan manusia lainnya. Menurut teori dasar Biologi manusia ingin berkomunikasi dengan manusia lainnya itu karena adanya dua kebutuhan, yakni kebutuhan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. 2 Dimanapun manusia melakukan proses komunikasi dengan lawan bicaranya baik di lingkungan masyarakat, tempat bekerja, sekolah, keluarga, maupun organisasi. Namun diantara lingkungan yang ada, keluargalah yang sangat
mempengaruhi
kehidupan
seseorang
dikarenakan
intensitas
dan
frekuensinya yang cenderung tetap dan rutin. Keluarga berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari kata
kula dan warga "kulawarga" yang berarti
"anggota" "kelompok kerabat". Keluarga adalah lingkungan di mana beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah. 3 Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang memberikan pengaruh yang sangat besar bagi tumbuh kembangnya remaja. 4 Dengan kata lain, secara ideal perkembangan remaja akan optimal apabila mereka bersama keluarganya. Menurut Departemen Kesehatan RI (1998) : ‖Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala
2
http://cindi_ling.student.fkip.uns.ac.id/komunikasi-efektif/
Pada Hari Kamis Tanggal 11-
11-2010 Pukul 08.00 PM 3
http://id.wikipedia.org/wiki/Keluarga Pada Hari Kamis Tanggal 11-11-2010 Pukul 08.10 PM 4 http://raig-ner07.blog.friendster.com/ Pada Hari Kamis Tanggal 11-11-2010 Pukul 08.10 PM
3
keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan ―.5 Komunikasi dalam keluarga adalah bentuk komunikasi yang paling ideal. Karena hirarki antara orang tua dan anak ada tapi tidak menyebabkan formalitas komunikasi di antara mereka. Perbedaan latar belakang budaya, pendidikan, usia, kebiasaan dan kepribadian antar anggota keluarga khususnya suami istri tidak menjadi penghalang untuk berkomunikasi. Sejak sepasang insan menikah, komunikasi dua keluarga besar dimulai secara intensif. Modal mereka tidak hanya kasih tapi juga platform yang sama, berdasarkan janji nikah. 6 Namun pada kenyataannya, tidak semua keluarga dapat memenuhi gambaran ideal sebuah keluarga yang baik. Perubahan sosial, ekonomi, dan budaya dewasa ini telah banyak memberikan hasil yang menggembirakan dan berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian pada waktu bersamaan, perubahan-perubahan tersebut membawa dampak yang tidak menguntungkan bagi keluarga. Misalnya adanya gejala perubahan cara hidup dan pola hubungan dalam keluarga karena berpisahnya suami, ibu dengan anak dalam waktu yang lama setiap harinya.
7
Kondisi yang demikian ini menyebabkan
komunikasi dan interaksi antara sesama anggota keluarga menjadi kurang intens. Hubungan kekeluargaan yang semula kuat dan erat, cenderung longgar dan rapuh.
5
http://definisi-pengertian.blogspot.com/2009/11/pengertian-keluarga.html Pada Hari Kamis Tanggal 11-11-2010 Pukul 08.15 PM 6 http://risyaf.student.umm.ac.id/Icapunkkomunikasi-dalam-berkeluarga/ Pada Hari Kamis Tanggal 11-11-2010 Pukul 08.17 PM 7 http://etd.eprints.ums.ac.id/4834/1/F100040265.PDF Pada Hari Kamis Tanggal 1111-2010 Pukul 08.20 PM
4
Ambisi karier dan materi yang tidak terkendali, telah mengganggu hubungan interpersonal dalam keluarga. Menurut David K. Berlo, komunikasi adalah proses dimana unsur-unsur yang ada bergerak aktif, dinamis dan tidak statis.
Maka alangkah naif jika kita
berpikir bahwa komunikasi akan otomatis berjalan selalu sama dan sesuai yang kita inginkan. Tiap kali komunikasi terjadi berarti selalu akan terjadi modifikasi. Sehingga masalah komunikasi dalam keluarga haruslah dipahami dalam konteks dinamika keluarga untuk menjalin kebersamaan. 8 Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama bagi anak yang memberi dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Untuk belajar menghormati orang yang lebih tua serta membantu menyelesaikan berbagai masalah yang timbul. Orang tua diharapkan dapat membantu anaknya dalam menyesuaikan diri dengan lingkunganya untuk mengatasi masalahnya secara realistik dan simpati. Oleh karena itu, keluarga sebagai tempat untuk mengkondisikan pemberian nilai positif pada anak. ―Menurut Minuchin, keluarga adalah satu kesatuan (entity) suatu sistem atau organisme. Keluarga bukanlah merupakan kumpulan (collection) atau penjumlahan dari individu-individu. Ibarat amuba, keluarga mempunyai komponen-komponen yang membentuk organisme keluarga tersebut. Apabila ada satu komponen keluarga terganggu atau tidak berfungsi, maka sistem keluarga akan terganggu pula‖. (Willis, 2008:148-149) Rawannya terjadi berbagai konflik antar-komponen keluarga tersebut dapat mempengaruhi keharmonisan dan kenyamanan didalamnya. Hal ini dapat menciptakan kondisi yang sering diberi istilah broken home. Broken home
8
http://risyaf.student.umm.ac.id/Icapunkkomunikasi-dalam-berkeluarga/ Pada Hari Kamis Tanggal 11-11-2010 Pukul 08.17 PM
5
diartikan dengan kondisi keluarga yang tidak harmonis dan tidak berjalan layaknya keluarga yang rukun, damai, dan sejahtera karena sering terjadi keributan serta perselisihan yang menyebabkan pertengkaran dan berakhir pada perceraian. Selain itu broken home bisa disebabkan oleh kurangnya atau putus komunikasi di antara anggota keluarga terutama ayah dan ibu, sikap egosentrisme, masalah
ekonomi,
masalah
kesibukan,
masalah
pendidikan,
masalah
perselingkuhan, jauh dari agama, kebudayaan bisu dalam keluarga, perang dingin dalam keluarga, dan kekerasan dalam rumah tangga. Kondisi ini menimbulkan dampak yang sangat besar terutama bagi anak. Bisa saja anak menjadi murung, sedih yang berkepanjangan, dan malu. Selain itu, anak juga kehilangan pegangan serta panutan dalam masa transisi menuju kedewasaan. Karena orangtua merupakan contoh (role model), panutan, dan teladan bagi perkembangan di masa remaja, terutama pada perkembangan psikis dan emosi, kita perlu pengarahan, kontrol, serta perhatian yang cukup dari mereka. Orangtua merupakan salah satu faktor sangat penting dalam pembentukan karakter kita selain faktor lingkungan, sosial, dan pergaulan. 9 Broken home akhirnya sering dikaitkan dengan krisis keluarga, yaitu kondisi yang sangat labil dalam keluarga, dimana komunikasi dua arah dalam kondisi demokratis sudah tidak ada. (Willis, 2008:13) Sementara, interaksi orang tua dengan anak sangat dibutuhkan oleh anak karena idealnya interaksi antara orang tua dan anak berjalan secara kesinambungan dan rutin terutama pada remaja yang sedang berkembang mereka memerlukan arahan dan bimbingan yang 9
http://www.smallcrab.com/others/85-broken-home / Pada Hari Kamis Tanggal 11-112010 Pukul 08.20 PM
6
biasanya didapatkan dari orang-orang dewasa yang dekat dengan mereka dan bisa mereka percaya salah satu di antaranya adalah orang tua. Batasan usia remaja yang umum digunakan oleh para ahli adalah antara 12 hingga 21 tahun. Rentang waktu usia remaja ini biasanya dibedakan atas tiga, yaitu 12 – 15 tahun = masa remaja awal, 15 – 18 tahun = masa remaja pertengahan, dan 18 – 21 tahun = masa remaja akhir. (Deswita, 2006: 192) Pentingnya interaksi anak dengan orang tua karena dalam interaksi itu didapatkan kasih sayang, rasa aman dan perhatian dari orang tua yang tidak ternilai harganya. Interaksi yang baik antara orang tua dan anak juga harus diimbangi dengan pemenuhan kebutuhan anak, seperti kebutuhan pangan, sandang, dan pendidikan, karena semua itu adalah tanggung jawab orang tua yang telah melahirkannya. Apabila dalam suatu keluarga terjadi suatu perceraian atau keretakan didalamnya, maka sedikit banyak akan mempengaruhi perubahan perhatian dari orang tua terhadap anaknya baik perhatian fisik, seperti sandang, pangan, dan pendidikan maupun perhatian psikis seperti, kasih sayang dan intensitas interaksi. Perubahan ini disebabkan karena kebiasaan hidup yang dilakukan bersama dalam satu rumah, harus berubah menjadi kehidupan sendirisendiri dan timbulnya rasa tidak nyaman akibat adanya konflik dalam keluarga. Awal mula ketertarikan penulis meneliti komunikasi remaja broken home berawal dari semakin banyaknya anak yang harus mengalami situasi sulit dalam keluarga broken home. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya data bahwa jumlah perceraian yang merupakan salah satu penyebab kondisi broken home meningkat setiap tahunnya. Tahun 2005, jumlah perceraian mencapai 1.867 kasus dan terus
7
meningkat pada tahun 2006 hingga angkanya mencapai 1.934 kasus. Angka perceraian menembus angka 2.085 pada tahun 2007. 10 Tahun 2008 kasus yang masuk sebanyak 2.631, sedangkan tahun 2009 sebanyak 3.321 kasus. Ada beberapa alasan yang menjadi penyebab perceraian itu. Mulai dari kekerasan rumah tangga, cacat fisik, tidak ada keharmonisan, selingkuh, namun yang paling besar persentasenya, yakni alasan ekonomi.11 Psikolog anak Steven Pont membenarkan, munculnya berbagai resiko setelah suatu perceraian. Ia pernah bekerja di sebuah rumah penampungan anak-anak yang bermasalah. Hampir semua anak disana berasal dari keluarga yang 'broken home' alias rumah tangga yang berantakan. Lebih lanjut dikatakan oleh Marieke van de Rak, terbukti bahwa anak yang berasal dari broken home lebih besar kemungkinannya akan terjerumus dalam kriminalitas.
12
Perlu disadari bahwa komunikasi memiliki peran yang
sangat penting dalam kehidupan manusia. Begitu banyak dampak atau efek yang diakibatkan oleh kegagalan komunikasi di dalam sebuah keluarga, unit terkecil dari masyarakat yang seharusnya memiliki intensitas dan kualitas komunikasi yang baik. Maka dari itu penulis tertarik untuk lebih meneliti, dan mengkajinya. Dari latar belakang masalah tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah ―Bagaimana Komunikasi Remaja Broken Home dengan Orang Tuanya di Kota Bandung?‖
10
http://m.pikiran-rakyat.com/node/86262 Pada Hari Senin Tanggal 10-01-2011 Pukul 08.20 PM 11 http://bataviase.co.id/detailberita-10550739.html Pada Hari Senin Tanggal 10-01-2011 Pukul 08.10 PM 12 http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/korban-broken-home-jadi-penjahat Pada Hari Senin Tanggal 10-01-2011 Pukul 08.25 PM
8
1.2
Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian latar belakang dan rumusan masalah diatas, maka
peneliti mengidentifikasikan masalah yang akan dibahas sebagai berikut : 1. Bagaimana remaja dan orang tua memaknai pentingnya berkomunikasi di dalam keluarga? 2. Bagaimana kondisi keluarga broken home di kota Bandung ? 3. Bagaimana konsep diri remaja broken home di kota Bandung? 4. Bagaimana realitas remaja broken home di kota Bandung? 5. Bagaimana komunikasi remaja broken home dengan orang tuanya di kota Bandung?
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1
Maksud Penelitian Adapun maksud dari penelitian ini adalah untuk menganalisa dan
mendeskripsikan tentang komunikasi remaja broken home dengan orang tuanya di kota Bandung. 1.3.2
Tujuan Penelitian Agar penelitian ini mencapai hasil yang optimal maka terlebih dahulu
perlu tujuan yang terarah dari penelitian ini. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui remaja dan orang tua memaknai pentingnya berkomunikasi di dalam keluarga.
9
2. Untuk mengetahui kondisi keluarga broken home di kota Bandung. 3. Untuk mengetahui konsep diri remaja broken home di kota Bandung. 4. Untuk mengetahui realitas remaja broken home di kota Bandung. 5. Untuk mengetahui komunikasi remaja broken home dengan orang tuanya di kota Bandung.
1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1
Kegunaan Teoritis Hasil penelitian ini secara teoritis dapat memberikan masukan dan
dapat memperdalam pengetahuan juga teori yang berhubungan dengan studi ilmu komunikasi. Penelitian ini juga lebih membuka wawasan dan pengetahuan baru bagi penulis terhadap gejala atau realitas sosial yang ada di masyarakat dan menarik untuk diteliti. 1.4.2
Kegunaan Praktis Penelitian ini memiliki kegunaan praktis sebagai berikut :
a. Bagi Peneliti Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi peneliti mengenai fenomena keluarga broken home dan komunikasi remaja broken home dan orang tuanya. b. Bagi Unikom Penelitian ini berguna bagi mahasiswa Unikom khususnya bagi program studi ilmu komunikasi sebagai literature bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian pada kajian yang sama.
10
c. Bagi Masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi masyarakat untuk bisa lebih memahami permasalahan mengenai keluarga broken home. Selain itu diharapkan masyarakat khususnya keluarga memahami pentingnya komunikasi dan interaksi yang efektif.
1.5 Kerangka Pemikiran 1.5.1
Kerangka Teoritis Teori adalah suatu pernyataan mengenai apa yang terjadi terhadap
suatu fenomena yang ingin kita pahami. Teori yang berguna adalah teori yang memberikan pencerahan, serta pemahaman yang lebih mendalam terhadap fenomena yang ada di hadapan kita. Akan tetapi perlu dijelaskan sebagai suatu arahan atau pedoman penulis untuk dapat mengungkap fenomena agar lebih terfokus. Sekumpulan teori ini dikembangkan sejalan dengan penelitian itu berlangsung. Hal tersebut didasarkan pada suatu tradisi bahwa fokus atau masalah penelitian diharapkan berkembang sesuai dengan kenyataan di lapangan. Penelitian kualitatif mementingkan perspektif emik, dan bergerak dari fakta, informasi atau peristiwa menuju ke tingkat abstraksi yang lebih tinggi (apakah itu konsep ataukah teori) serta bukan sebaliknya dari teori atau konsep ke data atau informasi. Empat fungsi teori : 1. Menjelaskan atau memberi tafsir baru terhadap fenomena atau data. 2. Memprediksi sesuatu berdasarkan pengamatan.
11
3. Menghubungkan satu studi dengan studi lainnya. 4. Menyediakan kerangka yang lebih terarah dari temuan dan pengamatan bagi kita dan orang lain. Adapun paradigma dan teori yang memberi arahan untuk dapat menjelaskan komunikasi remaja broken home sebagai berikut : fenomenologi, interaksionisme simbolik, dan kostruksi realitas sosial. 1.5.1.1 Fenomenologi Fenomenologi mempelajari struktur pengalaman sadar (dari sudut pandang orang pertama), bersama dengan kondisi-kondisi yang relevan. ―Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani dengan asal suku kata phainomenon yang berarti ―yang menampak‖. Menurut Husserl, dengan fenomenologi, kita dapat mempelajari bentukbentuk pengalaman dari sudut pandang orang yang mengalaminya langsung, seolah-olah kita mengalaminya sendiri‖. (Kuswarno, 2009:10) ―Lebih lanjut dikatakan oleh Alfred Schutz, Salah satu tokoh fenomenologi yang menonjol bahwa inti pemikiran Schutz adalah bagaimana memahami tindakan sosial melalui penafsiran. Schutz meletakan hakikat manusia dalam pengalaman subjektif, terutama ketika mengambil tindakan dan mengambil sikap terhadap dunia kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini Schutz mengikuti pemikiran Husserl, yaitu proses pemahaman aktual kegiatan kita, dan pemberian makna terhadapnya, sehingga ter-refleksi dalam tingkah laku‖. (Kuswarno, 2009:18) Adapun studi fenomenologi bertujuan untuk menggali kesadaran terdalam para subjek mengenai pengalaman beserta maknanya.
Sedangkan
pengertian
fenomena
dalam
Studi
12
Fenomenologi sendiri adalah pengalaman atau peristiwa yang masuk ke dalam kesadaran subjek. Wawasan utama fenomenologi adalah ―pengertian dan penjelasan dari suatu realitas harus dibuahkan dari gejala realitas itu sendiri‖ (Aminuddin, 1990:108). Seperti yang disebutkan dalam buku Metode Penelitian Kualitatif yang ditekankan oleh kaum fenomenologis adalah aspek subjektif dari perilaku orang. Mereka berusaha untuk masuk ke dalam dunia konseptual para subjek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan oleh mereka disekitar peristiwa dan kehidupannya sehari-hari. (Moleong, 2001:9) Keterlibatan subyek peneliti di lapangan dan penghayatan fenomena yang dialami menjadi salah satu ciri utama. Hal tersebut juga seperti dikatakan Moleong bahwa pendekatan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu. (1988:7-8) Mereka berusaha untuk masuk ke dunia konseptual para subyek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang mereka kembangkan di sekitar peristiwa dalam kehidupannya sehari-hari. Makhluk hidup tersedia berbagai cara untuk menginterpretasikan pengalaman melalui
13
interaksi dengan orang lain, dan bahwa pengertian pengalaman kitalah yang membentuk kenyataan. ―Penelitian fenomenologi mencoba menjelaskan atau mengungkap makna konsep atau fenomena pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada beberapa individu. Penelitian ini dilakukan dalam situasi yang alami, sehingga tidak ada batasan dalam memaknai atau memahami fenomena yang dikaji‖. (Creswell, 1998:54). Mulyana menyebutkan pendekatan fenomenologi termasuk pada pendekatan subjektif atau interpretif (Mulyana, 2001:59) Lebih lanjut Marice Natanson mengatakan bahwa istilah fenomenologi dapat digunakan sebagai istilah generik untuk merujuk kepada semua pandangan ilmu sosial yang menempatkan kesadaran manusia dan makna objektifnya sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial (Mulyana, 2001:20-21) Pendekatan fenomenologi menunda semua penilaian tentang sikap yang alami sampai ditemukan dasar tertentu. Penundaan ini biasa disebut epoche (jangka waktu). Konsep epoche adalah membedakan wilayah data (subjek) dengan interpretasi peneliti. Konsep epoche menjadi pusat dimana peneliti menyusun dan mengelompokkan dugaan awal tentang fenomena untuk mengerti tentang apa yang dikatakan oleh responden. Fokus Penelitian Fenomenologi: a. Textural description: apa yang dialami subjek penelitian tentang sebuah fenomena. b. Structural description: bagaimana subjek mengalami dan memaknai pengalamannya.
14
1.5.1.2 Interaksionisme Simbolik Interaksi manusia dimediasi oleh penggunaan simbol-simbol, oleh interpretasi, atau oleh penetapan makna dari tindakan orang lain. Mediasi ini ekuivalen dengan pelibatan proses interpretasi antara stimulus dan respon dalam kasus perilaku manusia. Pendekatan interaksionisme simbolik memberikan banyak penekanan pada individu yang aktif dan kreatif ketimbang pendekatan-pendekatan teoritis lainnya. Pendekatan interaksionisme simbolik berkembang dari sebuah perhatian ke arah dengan bahasa, namun Mead mengembangkan hal itu dalam arah yang berbeda dan cukup unik. Pendekatan interaksionisme simbolik menganggap bahwa segala sesuatu tersebut adalah virtual. Semua interaksi antarindividu manusia melibatkan suatu pertukaran simbol. Ketika kita berinteraksi dengan yang lainnya, kita secara konstan mencari ―petunjuk‖ mengenai tipe perilaku apakah yang
cocok
dalam
konteks
itu
dan
mengenai
bagaimana
menginterpretasikan apa yang dimaksudkan oleh orang lain. Interaksionisme simbolik mengarahkan perhatian kita pada interaksi antarindividu, dan bagaimana hal ini bisa dipergunakan untuk mengerti apa yang orang lain katakan dan lakukan kepada kita sebagai individu.
15
Ralph LaRossa dan Donald C.Reitzes mencatat tujuh asumsi yang mendasari teori interaksionisme simbolik, yang memperlihatkan tiga tema besar, yakni: (1) pentingnya makna bagi perilaku manusia, (2) pentingnya konsep mengenai diri, dan (3) hubungan antara individu dan masyarakat. (West dan Turner, 2007: 96) Tentang relevansi dan urgensi makna, Blumer memiliki asumsi bahwa: a. Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain pada mereka. b. Makna diciptakan dalam interaksi antarmanusia c. Makna dimodifikasi dalam proses interpretif. Interaksi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna yang berasal dari pikiran manusia (Mind) mengenai diri (Self) dan hubungannya ditengah interaksi sosial, dan bertujuan akhir untuk memediasi, dan menginterpretasi makna ditengah masyarakat (Society) dimana individu tersebut menetap. Seperti yang dicatat oleh Douglas dalam Ardianto (2007:136), makna itu berasal dari interaksi, dan tidak ada cara lain untuk membentuk makna, selain dengan membangun hubungan dengan individu lain melalui interaksi. Definisi singkat dari ketiga ide dasar dari interaksi simbolik, antara lain :
16
1. Mind
(pikiran),
yaitu
kemampuan
untuk
menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain. 2. Self (Diri), yaitu kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme simbolik adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the-self) dan dunia luarnya. 3. Society (Masyarakat), yaitu jejaring hubungan yang diciptakan, dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat, dan tiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran ditengah masyarakatnya. Inti dari teori interaksi simbolik adalah teori tentang ‖diri‖ (self) dari George Herbert Mead. Mead menganggap bahwa konsep diri adalah suatu proses yang berasal dari interaksi
sosial
individu
dengan
orang
lain.
Cooley
mendefinisikan diri sebagai sesuatu yang dirujuk dalam
17
pembicaraan biasa melalui kata ganti orang pertama tunggal, yaitu ‖aku‖, ‖daku‖ (me), ‖milikku (mine), dan ‖diriku‖ (myself). Ia mengatakan bahwa segala sesuatu yang dikaitkan dengan diri menciptakan emosi lebih kuat daripada yang tidak dikaitkan dengan diri, bahwa diri dapat dikenal hanya melalui perasaan subjektif.(Mulyana, 2008:73-74) Mead menolak anggapan bahwa seseorang bisa mengetahui siapa dirinya melalui introspeksi. Ia menyatakan bahwa untuk mengetahui siapa diri kita maka kita harus melukis potret diri kita melalui sapuan kuas yang datang dari proses taking the role of the other —membayangkan apa yang dipikirkan orang lain tentang kita. Para interaksionis menyebut gambaran mental ini sebagai the looking glass self dan hal itu dikonstruksi secara sosial. 13 1.5.1.3 Konstruksi Realitas Sosial Konstruksi sosial (social construction) merupakan sebuah teori sosiologi kontemporer yang dicetuskan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Menurut Berger, realitas sosial eksis dengan sendirinya dan struktur dunia social bergantung pada manusia yang menjadi subjeknya (Kuswarno, 2009:111). Sebagaimana yang telah dituangkan dalam buku karangan Engkus Kuswarno yang berjudul Metode Penelitian Komunikasi: Fenomenologi, menyebutkan bahwa Thomas Luckmann beserta
13
http://interaksisimbolik.blogspot.com/ , Pada Hari Jumat Tanggal 12-11-2010 Pukul 11.20 PM
18
Berger menuangkan pikiran tentang konstruksi sosial dalam bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality. Berger dan Luckmann dalam buku tersebut menyebutkan bahwa seseorang hidup dalam kehidupannya mengembangkan suatu perilaku yang repetitif, yang mereka sebut dengan ―kebiasaan‖ (habits) (Kuswarno, 2009:112) Kebiasaan ini memungkinkan seseorang mengatasi suatu situasi secara otomatis. Kebiasaan seseorang ini juga berguna untuk orang lain. Dalam dituasi komunikasi interpersonal, para partisipan saling mengamati dan merespon kebiasaan orang lain, dengan demikian para partisipan saling mengamati dan merespon kebiasaan orang lain tersebut. Dengan kebiasaan tersebut, seseorang dapat membangun komunikasi dengan orang lain yang disesuaikan dengan tipe-tipe seseorang, yang disebut dengan pengkhasan (typication).
1.5.2
Kerangka Praktis
1.5.2.1
Fenomenologi
Seperti yang dikatakan Stephen W. Little John, bahwa: ―fenomenology makes actual lived experience the basic data of reality‖ (1996:204). Jadi fenomenologi menjadikan pengalaman hidup yang sesungguhnya sebagai data dasar dari realita. Oleh sebab itu dalam penelitian ini, penulis mengangkat komunikasi remaja Broken home dengan orang tuanya sebagai bagian dari masalah penelitian.
19
Karena broken home adalah sebuah fakta atau realita dari pengalaman hidup yang sangat memungkinkan di alami oleh sebagian besar keluarga. Studi fenomenologi menurut Creswell (1998:51) Whereas a biography reports the life of a single individual, a phenomenological study describes the meaning of the live experience for several individuals about a concept or the phenomenon. Dengan demikian, studi fenomenologi berupaya untuk menjelaskan makna pengalaman hidup sejumlah orang tentang suatu konsep atau gejala, yang dalam hal ini adalah keluarga broken home. Fenomenologi tidak pernah berusaha mencari pendapat dari informan apakah hal ini benar atau salah, akan tetapi fenomenologi akan berusaha ―mereduksi‖ kesadaran informan dalam memahami fenomena itu. Studi fenomenologi ini digunakan penulis untuk menjelaskan komunikasi remaja broken home dengan orang tuanya, berdasarkan pengalaman mereka sendiri dan hal ini menjadi data penting dalam penelitian. 1.5.2.1 Interaksionisme Simbolik Komunikasi dalam keluarga biasanya berbentuk komunikasi antarpersona (face to face communication) yang pada intinya merupakan komunikasi langsung dimana masing-masing peserta komunikasi dapat beralih fungsi, baik sebagai komunikator dan komunikan. Selain itu, yang lebih penting lagi adalah bahwa reaksi
20
yang diberikan masing-masing peserta komunikasi dapat diperoleh langsung. Pada saat anak dan orang tua berkomunikasi, terjadi pertukaran pesan (yang pada dasarnya terdiri dari simbolisasi-simbolisasi tertentu) kepada pihak lain yang diajak berkomunikasi tersebut. Pertukaran pesan ini tidak hanya dilihat dalam rangka transmisi pesan, tapi juga dilihat pertukaran cara pikir, dan lebih dari itu demi tercapainya suatu proses pemaknaan. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh simbol yang dikeluarkan orang lain, demikian pula perilaku orang lain tersebut. Melalui pemberian isyarat berupa simbol, kita mengutarakan perasaan, pikiran, maksud, dan sebaliknya dengan cara membaca simbol yang ditampilkan orang lain, kita menangkap pikiran, perasaan orang lain tersebut. Interaksi di antara beberapa pihak tersebut akan tetap berjalan lancar tanpa gangguan apa pun manakala simbol yang dikeluarkan oleh masing-masing pihak dimaknakan bersama sehingga semua pihak mampu mengartikannya dengan baik. Hal ini mungkin terjadi karena individu-individu yang terlibat dalam interaksi tersebut berasal dari budaya yang sama, atau sebelumnya telah berhasil memecahkan perbedaan makna di antara mereka. Namun tidak selamanya interaksi berjalan mulus. Ada pihakpihak tertentu yang menggunakan simbol yang tidak signifikan – simbol yang tidak bermakna bagi pihak lain. Akibatnya orang-orang
21
tersebut harus secara terus menerus mencocokan makna dan merencanakan cara tindakan mereka. Begitu juga halnya dengan komunikasi antara anak dan orang tua, sangat memungkinkan didalamnya terjadi kesalahan pemberian simbol oleh komunikator dan pemaknaan simbol tersebut oleh komunikannya sehingga dapat mengakibatkan perbedaan persepsi yang berujung pada kegagalan komunikasi. 1.5.2.3 Konstruksi Realitas Sosial Dalam teori konstruksi sosial Menurut Berger, realitas sosial eksis dengan sendirinya dan struktur dunia sosial bergantung pada manusia yang menjadi subjeknya. Dalam hal ini, broken home adalah suatu keadaan yang timbul akibat keretakan dalam rumah tangga, dan berkembang menjadi suatu proses yang harus di jalani oleh anggota keluarga tersebut. Berger memiliki kecenderungan untuk menggabungkan dua perspektif yang berbeda, yaitu perspektif fungsionalis dan interaksi simbolik, dengan mengatakan bahwa realitas sosial secara objektif memang ada (perspektif fungsionalis), namun maknanya berasal dari dan oleh hubungan subjektif individu dengan dunia objektif (perspektif interaksionis simbolik).(Poloma , 2000:299) Berdasarkan pemaparan di atas, fenomena komunikasi remaja broken home dengan orang tuanya di kota Bandung dapat dijelaskan dengan perspektif teori konstruksi realitas secara sosial. Mengetahui
22
dan mengerti bagaimana proses komunikasi remaja broken home dengan orang tuanya, juga realitas sosial remaja broken home dengan lingkungan eksternalnya.
1.6
Pertanyaan Penelitian 1. Anak dan orang tua memaknai pentingnya berkomunikasi di dalam keluarga a. Bagaimana pendapat anda mengenai komunikasi antara anak dan orang tua terutama ketika keluarga mengalami broken home? b. Apakah menurut anda komunikasi antara orang tua dan anak itu penting? c. Apa yang anda lakukan ketika anda merasa tidak puas dan nyaman dalam berkomunikasi dengan orang tua/anak anda? d. Menurut anda, seperti apa komunikasi yang seharusnya terjalin antara anak dan orang tua? 2. Kondisi keluarga Broken home di kota Bandung a. Sejak kapan keluarga anda mengalami broken home ? b. Bagaimana kehidupan sehari-hari anda dalam keluarga ? c. Didalam keluarga apakah anda diberi perhatian dari orang tua? d. Jika tidak, apa yang biasa anda lakukan untuk menarik perhatian orang tua? e. Apakah ada hal-hal yang anda lakukan untuk mengalihkan perhatian anda?
23
f. Apa yang menyebabkan keluarga anda mengalami broken home ? g. Bagaimana intensitas tatap muka anda dengan orang tua/anak anda? h. Bagaimana komunikasi anda dengan orang tua/anak anda setelah dan sebelum keluarga anda mengalami broken home? apakah ada perbedaan? 3. Konsep diri remaja broken home di kota Bandung a. Apakah anda tahu istilah broken home? b. Bagaimana pendapat anda mengenai keluarga broken home? c. Bagaimana anda menilai kondisi keluarga anda saat ini? d. Apakah anda mendapat kebahagiaan dengan kondisi keluarga seperti ini? e. Apakah anda sering berkomunikasi dengan orang tua/anak anda? f. Seberapa dekat anda dengan orang tua/ anak anda? e. Apa yang anda rasakan ketika anda sulit untuk berkomunikasi dan mendapat perhatian juga dukungan dari orang tua/anak anda? 4. Realitas remaja broken home di kota Bandung a. Bagaimana kehidupan anda dengan anak/orang tua setelah dan sebelum mengalami broken home? b. Bagaimana kehidupan dan lingkungan anda diluar rumah atau masyarakat? c. Bagaimana komunikasi anda diluar rumah atau di masyarakat? 5. Komunikasi remaja broken home dengan orang tuanya di kota Bandung
24
a. Apakah anda merasa nyaman ketika berkomunikasi dengan orang tua/ anak anda? b. Apa yang biasanya dibicarakan ketika anda dan orang tua/anak sedang berkomunikasi? c. Bagaimana bahasa yang anda gunakan ketika berkomunikasi dengan anak orang tua anda? d. Bagaimana intensitas dan frekuensi komunikasi anda dengan orang tua/anak? f. Apakah komunikasi anda dengan orang tua/anak anda sudah sesuai dengan harapan? Jika tidak, jelaskan komunikasi seperti apa yang anda inginkan?
1.7
Subjek Penelitian dan Informan 1.7.1
Subjek Penelitian Subjek penelitian adalah sesuatu, baik orang, benda ataupun lembaga
(organisasi), yang sifat-keadaannya (―attribut‖-nya) akan diteliti. Dengan kata lain subjek penelitian adalah sesuatu yang di dalam dirinya melekat atau terkandung objek penelitian, ―Menurut Webster’s New Collegiate Dictionary, seorang informan adalah seorang pembicara asli yang berbicara dengan mengulang kata-kata, frasa, dan kalimat dalam bahasa atau dialeknya sebagai model imitasi dan sumber informasi‖. (Spradley, 2006:39)
25
1.7.2 Informan Penelitian Informan (narasumber) penelitian adalah seseorang yang, karena memiliki informasi (data) banyak mengenai objek yang sedang diteliti, dimintai informasi mengenai objek penelitian tersebut. Informan dalam penelitian ini yaitu berasal dari wawancara langsung yang disebut sebagai narasumber. Adapun definisi narasumber menurut Bagong Suyatna adalah: ―Peranan informan dalam mengambil data yang akan digali dari orang-orang tertentu yang dinilai menguasai persoalan yang hendak diteliti, mempunyai keahlian dan berwawasan cukup‖ (Suyatna, 2005 :72) Informan dipilih secara purposive (purposive sampling) berdasarkan aktivitas mereka dan kesediaan mereka untuk mengeksplorasi pengalaman mereka secara sadar. Peneliti dapat memilih informan, atau bisa juga informan yang mengajukan secara sukarela. Wawancara dilakukan dengan 8 (delapan) orang yang terdiri dari 3 (tiga) orang remaja broken home sebagai informan kunci, 2 (dua) orang tua, dan 3 (tiga) orang masyarakat sebagai informan pendukung. Data informan tersebut ditampilkan sebagai berikut : Tabel 1.1 Informan Kunci No. 1 2 3
Nama Alan Setiawan Rika Rahmawati Trianeu
Keterangan Mahasiswa Siswi SMP Siswi SMA
Sumber: Data Peneliti, Oktober – November 2010
26
Tabel 1.2 Informan Pendukung No. 1 2 3 4 5
Nama Ibu Mira Ibu Diah Ibu Indra Ilham Arif Johnny Efraim
Keterangan Karyawan PNS Ibu Rumah Tangga Karyawan Karyawan
Sumber: Data Peneliti, Oktober – November 2010
Untuk sebuah studi fenomenologi, kriteria informan yang baik adalah mereka yang mengalami kejadian secara langsung. Jadi lebih tepat memilih informan yang benar-benar berasal dari keluarga broken home yang memang mengalami kondisi tersebut secara nyata.
1.8
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi, sebagaimana diungkapkan oleh Deddy Mulyana yang di kutip dari bukunya ―Metodologi Penelitian Kualitatif‖. ―Metode penelitian kualitatif dalam arti penelitian kualitatif tidak mengandalkan bukti berdasarkan logika matematis, prinsip angka, atau metode statistik. Penelitian kualitatif bertujuan mempertahankan bentuk dan isi perilaku manusia dan menganalisis kualitas-kualitasnya, alih-alih mengubah menjadi entitas-entitas kuantitatif‖. (Mulyana, 2003:150) Furchan (1992:21-22), menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah salah satu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati. Melalui penelitian kualitatif, penulis dapat mengenali subjek dan merasakan apa yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan menurut Miles dan Huberman (1994:6), penelitian kualitatif adalah ―Conducted through an intense and or prolonged
27
contact with a “field” or life situation. These situation are typically “banal” or normal ones, reflective of the everyday life individuals, groups, societies and organizations.”. 14 Maka penelitian kualitatif selalu mengandaikan adanya suatu kegiatan proses berpikir induktif untuk memahami suatu realitas, peneliti yang terlibat langsung dalam situasi dan latar belakang fenomena yang diteliti serta memusatkan perhatian pada suatu peristiwa kehidupan sesuai dengan konteks penelitian. Thomas Lindlof dengan bukunya ―Qualitative communication research methods‖ dalam Kuswarno15 menyebutkan bahwa metode kualitatif dalam penelitian komunikasi dengan paradigma fenomenologi, etnometodologi, interaksi simbolik, etnografi, dan studi budaya, sering disebut sebagai paradigma interpretif. (Lindlof, 1995:27-28). Bagi peneliti kualitatif, satu-satunya realita adalah situasi yang diciptakan oleh individu-individu yang terlibat dalam penelitian. penulis melaporkan realita di lapangan secara jujur dan mengandalkan pada suara dan penafsiran informan. Sebagaimana diungkapkan beberapa ahli (Bogdan dan Taylor, 1975:5; Bogdan dan Biglen, 1990:2; Miles dan Huberman, 1993:15; Brannen, 1997:1) bahwa metode penelitian kualitatif ini sangat bergantung pada pengamatan mendalam terhadap perilaku manusia dan lingkungannya. Orientasi kualitatif penelitian ini berupaya untuk mengungkapkan realitas komukasi anak broken
14
Dalam Basrowi dan Sukidin. 2002. Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro. Surabaya. Insan Cendikia. 15 Kuswarno, Engkus. 2004. Dunia Simbolik Pengemis kota Bandung (Disertasi). Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung.
28
home dengan orang tuanya dan apa yang terjadi serta melatar belakangi keluarga broken home. Pendekatan kualitatif dipandang lebih relevan dan cocok karena bertujuan menggali dan memahami apa yang tersembunyi dibalik fenomena keluarga broken home dan bagaimana komunikasi antara anak broken home dengan orang tuanya. Seperti dikatakan Denzin dan Lincoln (dalam Creswell, 1998:15), bahwa : ―Penelitian kualitatif memiliki fokus pada banyak metode, meliputi pendekatan interpretif dan naturalistic terhadap pokok persoalannya. Ini berarti bahwa para peneliti kualitatif mempelajari segala sesuatu di lingkungannya yang alami, mencoba untuk memahami atau menafsirkan fenomena menurut makna-makna yang diberikan kepada fenomena tersebut oleh orang-orang. Penelitian kualitatif meliputi penggunaan dan pengumpulan berbagai bahan empiris yang diteliti -penelitian kasus, pengalaman pribadi, introspektif, kisah pekerjaan, wawancara, pengamatan, sejarah, interaksi, dan naskah-naskah visual – yang menggambarkan momen-momen problematic dan pekerjaan sehari-hari serta mkana yang ada di dalam pekerjaan individu‖.
1.9 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan peneliti berupa: 1. Wawancara Mendalam (In-depth Interview) Untuk memperoleh informasi secara akurat dari narasumber langsung sebagai data primer, peneliti melakukan metode wawancara. Wawancara adalah cara pengumpulan data yang dalam pelaksanaannya mengadakan Tanya jawab terhadap orang-orang yang erat kaitannya dengan permasalahan, baik secara tertulis maupun lisan guna memperoleh keterangan atas masalah yang diteliti : ―wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu, yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) sebagai
29
orang yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) sebagai orang yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu‖. (Koentjaradiningrat, 1986:136) Wawancara dapat dilakukan beberapa kali untuk memberikan datadata yang benar-benar aktual. Seperti juga dalam metode penelitian lainnya, kualitatif sangat bergantung dari data dilapangan dengan melihat fakta-fakta yang ada. Data yang terus bertambah dimanfaatkan untuk verifikasi teori yang timbul dilapangan, kemudian terus-menerus disempurnakan selama penelitian berlangsung. 2. Studi Literatur Dalam studi literatur ini penulis menganut sistem kepustakaan terbuka dimana dengan mengumpulkan data atau keterangan melalui bahan bacaan mengenai masalah yang diteliti. Dengan teknik kepustakaan ini diharapkan mendapat dukungan teori dalam pembahasan masalah, yaitu dengan mengutip pendapat-pendapat para ahli, hal ini diharapkan akan memeperjelas dan memperkuat pembahasan yang akan diuraikan. 3. Dokumentasi Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumentasi dapat berupa tulisan, gambar atau karya-karya monumental dari seseorang. 4. Penelusuran Data Online Penelusuran data online menurut Burhan Bungin adalah : ―Tata cara melakukan penelusuran data melalui media online seperti internet atau media jaringan lainnya yang menyediakan fasilitas online, sehingga memungkinkan peneliti dapat memanfaatkan data informasi online yang berupa data maupun
30
informasi teori, secepat atau semudah mungkin dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis‖ (Bungin, 2008: 148). Dari pendapat Burhan Bungin yang dikutip diatas, peneliti menggunakan sumber yang online sebagai data pendukung untuk kebutuhan informasi penelitian ini, baik dengan menggunakan jasa ―search engine‖ seperti: google, yahoo, dan blog karena didalam situs ini banyak informasi-informasi yang dibutuhkan untuk kepentingan penelitian ini. Jadi, sudah selayaknya untuk mendapatkan informasi yang berkaitan, yang bisa didapat dari jaringan online untuk umum. 5. Triangulasi Triangulasi diartikan sebagai teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada. Peneliti menggunakan triangulasi sebagai teknik untuk mengecek keabsahan data. Dimana dalam pengertiannya triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara terhadap objek penelitian. (Moloeng, 2004:330)
1.10
Teknik Analisis Data Suatu kegiatan yang mengacu pada penelaahan atau pengujian yang
sistematik mengenai suatu hal dalam rangka mengetahui bagian-bagian, hubungan diantara bagian, dan hubungan bagian dengan keseluruhan. Menurut Bodgan & Biklen bahwa:
31
―Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensistensikannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memmutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain” (Bodgan dan Biklen dalam Moleong, 2005:248) Logika yang dilakukan dalam penarikan kesimpulan penelitian kualitatif bersifat induktif (dari yang khusus kepada yang umum), seperti dikemukakan Faisal (dalam Bungin, 2003: 68-69): ‖Dalam penelitian kualitatif digunakan logika induktif abstraktif. Suatu logika yang bertitik tolak dari ‖khusus ke umum‖; bukan dari ‖umum ke khusus‖ sebagaimana dalam logika deduktif verifikatif. Karenanya, antara kegiatan pengumpulan data dan analisis data menjadi tak mungkin dipisahkan satu sama lain. Keduanya berlangsung secara simultan atau berlangsung serempak. Prosesnya berbentuk siklus, bukan linier. Huberman dan Miles melukiskan siklusnya seperti terlihat pada gambar berikut ini‖ : Gambar 1.1 Komponen-Komponen Analisa Data Model Kualitatif DATA COLLECTION
DATA DISPLAY
DATA REDUCTION CONCLUTION DRAWING, & VERIFYING (sumber: Faisal (dalam Bungin, 2003: 69)
Data yang diperoleh dari lapangan dilakukan analisis melalui tahap-tahap sebagai berikut:
32
1. Reduksi Data ( Data reduction ) : Kategorisasi dan mereduksi data, yaitu melakukan pengumpulan terhadap informasi penting yang terkait dengan masalah penelitian, selanjutnya data dikelompokkan sesuai topik masalah. 2. Pengumpulan Data ( Data collection ): Data yang dikelompokkan selanjutnya disusun dalam bentuk narasi-narasi, sehingga berbentuk rangkaian informasi yang bermakna sesuai dengan masalah penelitian. 3. Penyajian Data ( Data Display ): Melakukan interpretasi data yaitu menginterpretasikan apa yang telah diinterpretasikan informan terhadap masalah yang diteliti. 4. Penarikan Kesimpulan (Conclusion Drawing/verification): Pengambilan kesimpulan berdasarkan susunan narasi yang telah disusun pada tahap ketiga, sehingga dapat memberi jawaban atas masalah penelitian. 5. Evaluasi: Melakukan verifikasi hasil analisis data dengan informan, yang didasarkan pada kesimpulan tahap keempat. Tahap ini dimaksudkan untuk menghindari kesalahan interpretasi dari hasil wawancara dengan sejumlah informan yang dapat mengaburkan makna persoalan sebenarnya dari fokus penelitian. Dari kelima tahap analisis data diatas setiap bagian-bagian yang ada di dalamnya berkaitan satu sama lainnya, sehingga saling berhubungan antara tahap yang satu dengan tahap yang lainnya. Analisis dilakukan secara kontinu dari pertama sampai akhir penelitian, untuk mengetahui komunikasi remaja broken home dengan orang tuanya di Kota Bandung.
33
Mengingat
penelitian
ini
menggunakan
―pisau
analisis‖
yaitu
fenomenologi, maka dalam menganalisis data, penulis juga merujuk pada tahaptahap analisis yang dikemukakan oleh Creswell (Creswell, 1998:147-150) sebagai berikut : 1. Penulis
memulai
dengan
mendeskripsikan
secara
menyeluruh
pengalamannya. 2. Penulis kemudian menemukan pernyataan (dalam wawancara) tentang bagaimana orang-orang memahami topik, rincian pernyataan-pernyataan tersebut (horisonalisasi data) dan perlakukan setiap pernyataan memiliki nilai yang setara, serta kembangkan rincian tersebut dengan tidak melakukan pengulangan atau tumpang tindih. 3. Pernyataan-pernyataan tersebut kemudian dikelompokkan ke dalam unitunit bermakna (meaning unit), penulis merinci unit-unit tersebut dan melukiskan sebuah
penjelasan teks (textural
decription)
tentang
pengalamannya, termasuk contoh-contohnya secara seksama. 4. Penulis merefleksikan pemikirannya dan menggunakan variasi imajinatif atau deskripsi struktural, mencari keseluruhan makna yang memungkinkan dan melalui perspektif yang divergen, mempertimbangkan kerangka rujukan atas fenomena dan mengkonstruksikan bagaimana fenomena tersebut dialami. 5. Penulis kemudian mengkonstruksikan seluruh penjelasannya tentang makna dan esensi pengalamannya.
34
6. Proses tersebut merupakan langkah awal penulis mengungkapkan pengalamannya, dan kemudian diikuti oleh seluruh pengalaman partisipan. Setelah semua itu dilakukan, kemudian tulislah deskripsi gabungannya. (Kuswarno, 2004:100-101).
1.11
Lokasi dan Waktu Penelitian 1.11.1
Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan di kota Bandung. Penelitian yang
dilakukan tidak terfokus pada satu tempat, tetapi dilakukan berdasarkan kesepakatan antara peneliti dan informan. 1.11.2
Waktu Penelitian Waktu yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini kurang lebih
selama 4 bulan, yaitu mulai dari bulan Oktober 2010 sampai dengan bulan Januari 2011. Adapun wktu penelitian ditampilkan dalam tabel: Tabel 1.3 Waktu dan Kegiatan Penelitian No
Kegiatan
September
November
Desember
Januari
Februari
2010
2010
2010
2011
2011
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 1
Pengajuan judul
2
Penulisan Bab 1 Bimbingan
3 4
35
3
Seminar UP
4
Penulisan Bab II Bimbingan
5
Penulisan
Bab
III Bimbingan 6
Pengumpulan Data Wawancara Bimbingan
7
Pengolahan Data Penulisan
Bab
IV Bimbingan 8
Penulisan
Bab
V Bimbingan 9
Penyusunan Bab
10
Sidang kelulusan
Sumber : Peneliti, Oktober 2010
36
1.12
Sistematika Penulisan Untuk memberikan gambaran tentang penulisan dari skripsi ini, maka
ringkasan secara sistematis dijelaskan pada beberapa bab yang akan dibuat sebagai berikut: BAB I
: PENDAHULUAN Berisikan latar belakang penelitian, identifikasi masalah, maksud dan tujuan penelitian, kegunaan penelitian (kegunaan teoritis dan kegunaan praktis), kerangka pemikiran, pertanyaan penelitian, metode penelitian dan teknik pengumpulan data, subjek dan informan, teknik analisis data, sistematika penulisan, lokasi dan waktu penelitian.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Berisi teori-teori yang mendukung penelitian serta kaitannya dengan permasalahan yang diangkat. Dalam hal ini tinjauan tentang fenomenologi, penjelasan tentang interaksi simbolik, konsep diri serta teori penunjang lainnya dalam memecahkan masalah pada penelitian ini. BAB III : OBJEK PENELITIAN Bab ini menguraikan secara singkat mengenai awal mulanya tercipta kondisi keluarga broken home. BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berisikan tentang uraian dari hasil penelitian berdasarkan wawancara data yang terkumpul, yang meliputi analisis deskriptif, identitas respon dan analisis deskriptif hasil penelitian dan rangkuman.
37
BAB V:
KESIMPULAN DAN SARAN Berisikan kesimpulan dari hasil pembahasan yang ada pada identifikasi masalah dan juga saran-saran pada perusahaan dan peneliti berikutnya.
38