BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Ditengah iklim persaingan usaha yang semakin ketat menuntut perusahaan untuk selalu bisa beradaptasi dalam menghadapi situasi perekonomian yang tidak menentu dan selalu berubah sehingga menuntut perusahaan untuk mampu beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi dengan cara restrukturisasi, merger, atau pengurangan tenaga kerja. Ketidakpastian akan kondisi perekonomian dan situasi di perusahaan pada akhirnya menimbulkan perasaan job insecurity pada karyawan. Job
insecurity
adalah
persepsi
ketidakberdayaan
seseorang
untuk
tetap
mempertahankan keberlangsungan pekerjaan di dalam situasi yang mengancam (Greenhalgh & Rosenblatt, 1984). Job insecurity pada umumnya pada umumnya bersifat individual dan subjektif karena berdasarkan interpretasi atas situasi yang terjadi di tempat kerja. Menurut van Vuuren & Klandermans (1999) dalam De Witte (2005), job insecurity terbagi menjadi subjektif dan objektif. Job insecurity subjektif mengacu pada proses persepsi dan pengalaman pribadi dari konsekuensi negatif yang dapat terjadi dari suatu peristiwa. Sedangkan job insecurity objektif mengacu pada peristiwa yang dapat mengancam situasi kerja seperti ketidakstabilan perekonomian negara, downsizing, outsourcing, atau perubahan dalam struktur organisasi. Hellgren et al (1999) membedakannya antara job insecurity kuantitatif (kecemasan akan hilangnya sebuah pekerjaan itu sendiri) dan job insecurity kualitatif (kecemasan akan hilangnya fitur-fitur pekerjaaan). Job insecurity kuantitatif mirip dengan 1
konseptualisasi secara menyeluruh mengenai kepastian kehilangan pekerjaan, sedangkan job insecurity kualitatif berhubungan dengan persepsi kehilangan fitur pekerjaan seperti situasi kerja yang tidak kondusif, kehilangan status jabatan, demosi, ketidakpastian jenjang karir, berkurangnya gaji, dan ketidakcocokan dengan tempat kerja baru. Job insecurity dapat dikategorikan sebagai salah satu stressor (Sverke et al, 2002). Reaksi stres atau strain adalah sebuah konsekuensi dari stressor terhadap keadaan psikologi seseorang.Hal tersebut dikarenakan ketidakpastian dan ancaman kehilangan pekerjaan diasosiasikan sebagai sebuah strain. Dalam penelitian De Witte (1999) menyatakan bahwa job insecurity lebih menyebabkan stres dibandingkan dengan kehilangan pekerjaan itu sendiri yang akan berdampak negatif terhadap komitmen organisasi seseorang. Perasaan tidak aman inilahyang pada akhirnya akan memicu depresi, stres kerja, kecemasan, perasaan tidak berharga, putus asa, berkurangnyarasa percaya diri, serta mengganggu kualitas mental para pekerja yang dapat mempengaruhi kinerja karyawan. Komitmen organisasional diartikan sebagai sebuah tingkat dimana individu mengidentifikasi dan terlibat dengan organisasi dan tidak berkeinginan untuk meninggalkan organisasi (Greenberg & Baron, 2003). Konsep komitmen organisasional yang dikemukakan oleh Mowday et al (1974) adalah: a) sebagai sebuah keyakinan dan penerimaan yang kuat akan tujuan dan nilai-nilai organisasi; b) kerelaan untuk memberikan yang terbaik untuk organisasi; c) keinginan untuk tetap menjadi bagian dari organisasi. Sedangkan Meyer & Allen (1991) menjelaskan komitmen organisasional menjadi tiga komponen, yaitu: a) Affective commitment yang merefleksikan keinginan untuk berada di organisasi sebagai hasil dari pengalaman yang menciptakan rasa nyaman; b) Continuance commitment yang merefleksikan kebutuhan untuk berada di organisasi sebagai hasil dari evaluasi atas biaya yang dikorbankan apabila meninggalkan organisasi;
2
c) Normative commitmentmerefleksikan kewajiban untuk berada di organisasi sebagai hasil dari norma-norma yang terinternalisasi dan balas budi. Komitmen dipengaruhi oleh kebutuhan individu dan ekspektasi terhadap perusahaan dengan hasil yang diperoleh pada kenyataannya. Menurut Salancik (1977) dalam Cohen (2007), faktor utama komitmen afektif adalah karakteristik pekerjaan serta lingkungan kerja yang dapat meningkatkan rasa tanggung jawab karyawan. Faktor keadilan (fairness) dalam organisasi juga menjadi salah satu faktor yang berpengaruh pada komitmen afektif sebagai upaya mengatasi ketidakpastianatas akibat yang ditimbulkan oleh job insecurity (Silla et al, 2010 dalam Yasadiputra & Putra, 2014). Pengalaman kerja yang positif terbukti mempengaruhi komitmen karyawan yang pada akhirnya berkontribusi keinginan untuk tetap berada di organisasi (Meyer et al, 1998, Steers, 1977). Apabila karyawan memiliki merasa nyaman bekerja di perusahaan sebagai hasil dari pengalaman kerja yang positif maka komitmen akan semakin meningkat (Meyer & Allen, 1990). Karyawan yang memiliki komitmen terhadap organisasi memiliki perasaan memiliki yang kuat (sense of belonging) yang kuat kepada organisasi dan rela untuk memberikan usaha yang maksimal untuk organisasi; bahkan mengutamakan kepentingan organisasi di atas kepentingan pribadi (Balfour & Wechsler, 1991). Bateman & Strasser (1984) menemukan bahwa individu yang memiliki tingkat komitmen yang tinggi memiliki kemampuan beradaptasi yang lebih baik, turnover yang rendah, rendahnya tingkat absensi dan keterlambatan, serta kinerja yang lebih baik. Tinggi rendahnya job insecurity serta komitmen organisasi memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kinerja karyawan. Kinerja sendiri diartikan sebagai sebuah perilaku atau tindakan yang relevan dengan tujuan organisasi (Campbell, 1990 dalam Koopmans et al, 2011). Sedangkan menurut Griffin (2004) dalam Abrivianto et al (2014) kinerja merupakan perilaku keseluruhan yang berhubungan dengan pekerjaan yang 3
diharapkan oleh organisasi untuk ditampilkan oleh individu. Borman
& Motowidlo
(1993) dalam Viswesvaran & Ones (2000) menjelaskan dua dimensi dari kinerja, yaitu: (1) task performance, yang merujuk pada kontribusi karyawan kepada organisasi dimana hal tersebut merupakan bagian dari sistem reward dan tertulis di dalam deskripsi pekerjaan; (2) contextual performance, merupakan perilaku yang tidak secara langsung berkontribusi dalam kinerja organisasi melainkan sebagai pendukung. Contextual performance berbeda dari task performance karena tindakan yang dilakukan tidak tertulis secara formal di dalam deskripsi pekerjaan. Karyawan dengan job insecurity yang tinggi maka komitmen organisasinya akan semakin rendah. Komitmen organisasional memiliki pengaruh positif terhadap kinerja karyawan (Riketta, 2002). Apabila komitmen organisasi karyawan rendah maka aspek yang langsung terpengaruh adalah kinerja karyawan yang menurun. Job insecurity berdampak pada kinerja apabila komitmen karyawan juga menurun (Ashford et al, 1989; Staufenbiel & Konig, 2010, Rosenblatt & Ruvio, 1996).
1.2 RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah yang ditulis sebelumnya, penulis bermaksud untuk menganalisis pengaruh job insecurity terhadap kinerja karyawan dengan komitmen organisasional sebagai variabel pemediasi. Secara rinci pokok masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah job insecurity mempengaruhi kinerja karyawan? 2. Apakah komitmen organisasional memediasi pengaruh antara job insecurity terhadap kinerja karyawan?
4
1.3 TUJUAN PENELITIAN Sesuai dengan perumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui pengaruh job insecurity terhadap kinerja karyawan 2. Untuk mengetahui pengaruh mediasi komitmen organisasional dalam hubungan antara job insecurity dengan kinerja karyawan
1.4 MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi: 1. Perusahaan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan evaluasi, masukan, maupun pertimbangan dalam mengelola sumber daya manusia sehingga dapat menciptakan loyalitas kepada perusahaan. 2. Penulis Dapat menambah pengetahuan di bidang manajemen sumber daya manusia, khususnya yang berkaitan dengan job insecurity dankomitmen organisasional serta dampaknya terhadap karyawan. 3. Akademisi Memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu, khusunya di bidang sumber daya manusia dan dapat menjadi acuan dalam penelitian-penelitian selanjutnya
5