1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara-negara di dunia saat ini semakin menyadari kontribusi pertumbuhan sektor pariwisata yang ada di wilayahnya. United Nations World Tourism Organization (UNWTO) mengungkapkan fenomena menarik tentang pariwisata, di mana satu dari sebelas penduduk dunia bekerja pada sektor tersebut. Data yang diungkapkan oleh UNWTO mengindikasikan betapa menjanjikannya kegiatan pariwisata dari segi perekonomian. Asia tenggara sendiri, memiliki tren pertumbuhan wisatawan yang tertinggi apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya (UNWTO: 2014). Sayangnya, tren pertumbuhan wisatawan yang ada di kawasan tersebut sementara ini masih didominasi oleh Thailand dan Malaysia. Keduanya memiliki arus masuk wisatawan yang berjumlah 26,547 juta dan 25,175 juta. Sedangkan Indonesia berada di posisi keempat setelah Singapura dengan jumlah wisatawan yang mencapai 8,802 juta wisatawan (UNWTO: 2014). Secara ekonomi, selama kurun waktu 6 tahun ini perkembangan sektor pariwisata di Indonesia mampu memberikan kontribusi yang cukup besar. Berdasarkan data “estimasi sumbangan devisa negara” sektor pariwisata memberikan kontribusi sebesar US$10,054 (Juta). Hal tersebut menjadikan pendapatan ekspor sektor pariwisata berada pada posisi ke-empat setelah minyak-gas bumi, batubara dan minyak
2
kelapa sawit1. Lebih lanjut, nilai tersebut apabila ditinjau dari pengeluaran wisatawan selama perjalanan menghasilkan pengeluaran rata-rata perhari sebesar US$ 149,31 (Kementerian Parekraf). Undang-undang tentang kepariwisataan nomor 10 tahun 2009 sebagai landasan strategis pariwisata di Indonesia masih belum mencukupi dalam mengembangkan sektor pariwisata. Dengan sistem yang terdesentralisasi dibutuhkan dukungan daerah sehingga potensi pariwisata terus dapat bertumbuh dan memunculkan inovasi-inovasi yang baru. Agar destinasi wisata dapat menggabungkan antara kehidupan masyarakat lokal serta potensi daya tarik yang dimiliki maka diperlukan bentuk pariwisata yang juga mampu untuk mengakomodasi kebutuhan tersebut. Desa wisata merupakan sebuah pengembangan ekonomi dan sosial pada kawasan pedesaan. Desa yang selama ini telah lama dikenal dengan kehidupan pertanian dan peternakan kemudian berkembang memunculkan peluang di sektor pariwisata. Banyak negara di dunia yang telah menuju tahapan desa wisata sebagai alternatif pengembangan baru. Basis-basis sejarah yang kuat, budaya lokal dan keunggulan sumberdaya alam yang tidak dimiliki oleh destinasi perkotaan menjadikannya memiliki ciri yang berbeda.
1
Data ranking devisa pariwisata tahun 2009-2013 diunduh dari (http://www.parekraf.go.id/asp/detil.asp?c=117&id=1198) pada tanggal 4-5-2015 pukul 09:02
3
Pengembangan kawasan desa dalam bentuk desa wisata dapat ditinjau melalui berbagai negara di dunia. Negara China misalnya, kawasan yang memiliki latar belakang historis jalur sutra adalah wilayah tua yang telah lama ditinggalkan dan kembali menjadi kawasan ramai pengunjung. Pemerintah menggabungkan potensi sumber daya alam, kebudayaan masyarakat lokal dan jejak sejarah perdagangan untuk tujuan pariwisata (Parhad, De-Gang dan Xiao-Li: 2005). Selain itu, penelitian juga mencatat bahwa di negara Jerman aktivitas pariwisata pedesaan sudah tumbuh pada tahun 70-an. Sektor pariwisata mulai muncul sejak adanya insentif liburan yang diberikan kepada pekerja kelas menengah. Wisatawan yang berasal dari kelas sosial tersebut memilih mencari kawasan pedesaan untuk menghabiskan waktu liburannya (Oppermann: 1996). Adanya pengembangan pariwisata di level pedesaan mampu memberikan dampak yang cukup berarti. Sebagaimana hasil telaah penelitian sebelumnya, dampak keberadaan desa wisata juga dapat memberikan lapangan pekerjaan baru, mengurangi arus urbanisasi, dan sebagai alternatif pekerjaan di sektor pertanian (de la Tore, Hedalgo dan Fuentes: 2014). Negara-negara Uni-Eropa membaca besarnya peluang pengembangan pariwisata berbasis pedesaan kemudian memulai proyek yang diberi nama supporting and promoting integrated tourism in Europe’s lagging rural region (SPRITE). Proyek tersebut melibatkan berbagai negara seperti Republik Ceko, Perancis, Yunani, Irlandia, Spanyol dan Britania. Tujuan utama dari proyek tersebut
4
adalah mengembangkan kawasan pedesaan yang terbelakang sedangkan pariwisata menjadi salah satu harapan dalam melakukannya (Clark dan Chabrel: 2007). Semakin berkembangnya kegiatan pariwisata di level pedesaan, belakangan memunculkan pola-pola baru dalam aktivitasnya. Randinelli, Romei dan Tortora (2014), mengkonstruksikannya sebagai evolutionary process. Pengertian dari konsep tersebut dapat dipahami sebagai terintegrasinya destinasi-destinasi yang berevolusi dari tingkat yang paling kecil sampai menjadi lebih besar. Tahapan pencapaiannya terjadi dari lingkup antar desa, lintas regional dan bahkan lintas negara yang menjadikan pariwisata di tingkat desa tidak lagi dianggap memberikan efek yang berdiri sendiri. Hal tersebut juga berkaitan dengan penelitian Weidenfield (2013) yang mengungkapkan bahwa konektivitas dan inovasi antar wilayah, tidak terlepas dari kondisi sosial-kultural dan legitimasi yang membentuknya. Fenomena desa wisata dari berbagai negara yang telah disebutkan di atas juga mulai berkembang di Indonesia. Provinsi D.I. Yogyakarta yang telah dikenal sebagai destinasi wisata, juga menyimpan potensi cukup besar terkait desa wisata. Pada tahun 2015 provinsi D.I.Y. telah memiliki 112 desa wisata.
Fenomena tersebut dapat
dipahami sebagai antusiasme dan pasar untuk pariwisata sampai level pedesaan begitu tinggi. Potensi pariwisata berupa obyek wisata yang telah dikenal, seperti bangunan budaya dan destinasi alam, kehadiran desa-desa wisata diharapkan mampu memperkuat citra pariwisata dan menumbuhkan alternatif pasar wisata.
5
Adanya potensi yang besar juga memiliki tantangan tersediri dalam pengelolaannya. Dharmawan et. al (2014) menjelaskan bahwa tumbuhnya jumlah desa wisata memunculkan tantangan persaingan pasar pariwisata di sebuah wilayah. Hal tersebut terjadi apabila satu desa wisata hanya berfokus untuk mendapatkan wisatawan dan memajukan daerahnya masing-masing. Meskipun juga tidak dapat dihindarkan bahwa pengelolaan desa wisata menggunakan pendekatan pasar layaknya organisasi bisnis lainnya. Artinya persaingan merupakan hal alami dan keuntungan adalah timbal balik atas usaha dan kreativitas komunitas dalam memajukan pariwisata lokal. Pemerintah daerah dalam merespon pengelolaan desa wisata selanjutnya memetakan potensi tersebut untuk langkah pengembangan lebih lanjut. Komitmen tersebut dituangkan dalam perencanaan dokumen peraturan yaitu Rencana Induk Pengembangan Kepariwisataan Daerah 2012-2025. Terdapat beberapa strategi yang dikonsepkan dalam mengembangkan pariwisata di kawasan pedesaan. Wilayahwilayah tersebut meliputi desa-desa di sekitaran gunung Merapi, yaitu GodeanMoyudan sebagai wisata kerajinan, Wukirsari sebagai basis desa pengrajin, Kebonagung, dan berbagai wilayah lainnya yang tersebar di kabupaten dalam provinsi D.I. Yogyakarta.
6
1.2 Masalah Penelitian Tingginya tingkat kunjungan ke provinsi D.I.Y. dapat dilihat melalui hasil olah data yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Data kunjungan wisatawan ke provinsi D.I. Yogyakarta pada tahun 2014 mengungkapkan bahwa terdapat 3.603.370 wisatawan lokal dan 207.280 wisatawan asing2. Tren tersebut terus mengalami pertumbuhan jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Adanya keunggulan pertumbuhan jumlah wisatawan dan perkembangan destinasi wisata sampai tingkat desa nyatanya tidak sejalan dengan data lama tinggal wisatawan yang datang. Lama tinggal wisatawan mengindikasikan bahwa menariknya sebuah wilayah dan mampu membuat wisatawan tinggal lebih lama. Berdasarkan data yang juga didapatkan dari BPS bahwa rata-rata lama tinggal wisatawan di provinsi D.I. Yogyakarta masih sebesar 2,3 hari (BPS: 2014). Lebih lanjut, selama kurun waktu tiga tahun sebelumnya lama tinggal wisatawan masih berada pada angka 2. Sementara jika dibandingkan dengan data survei dari kementerian pariwisata dan ekonomi kreatif yang dilakukan di bandara utama di Indonesia. Maka didapati bahwa rata-rata lama tinggal wisatawan dari berbagai negara di Provinsi D.I.Y adalah sebesar 5,16 hari. Angka tersebut masih terpaut signifikan dari NTB, NTT, Bali dan Maluku Utara yakni masing-masing sebesar 6,39 hari, 6,85 hari, 8,14 hari,dan 28,00 hari (Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif: Passenger Exit Survey, 2014).
2
http://yogyakarta.bps.go.id/index.php?r=arc/view_flipbook&id=32#/71/zoomed
7
Kehadiran desa wisata sebagai alternatif baru diharapkan mampu memberikan kontribusi yang berarti bagi perkembangan pariwisata. Desa wisata merupakan salah satu destinasi wisata yang dikategorikan oleh pemerintah provinsi D.I. Yogyakarta sebagai wisata minat khusus. Di kabupaten Sleman sendiri saat ini sudah terdapat 38 desa wisata. Jumlah itu setara dengan 41 persen dari populasi desa yang ada di kabupaten Sleman. Pertumbuhan yang cukup pesat dan dipandang sebagai alternatif baru untuk mengembangkan komunitas lokal pada kenyataannya belum dapat memberikan kontribusi nyata secara signifikan. Dinas Pariwisata Kabupaten Sleman mencatat hanya terdapat 23,3% desa yang masuk dalam kategori mandiri. Sedangkan sisanya 30% kategori berkembang dan 47% dalam kategori tumbuh (Dinas pariwisata dan kebudayaan kabupaten Sleman: 2015). Observasi peneliti di lapangan memperoleh gambaran tentang bagaimana kualitas desa wisata dalam kategori mandiri, berkembang dan tumbuh mengalami ketimpangan. Desa wisata yang tergolong mandiri seperti Pentingsari, mampu memperoleh pendapatan mencapai 1 Milyar Rupiah selama satu tahun pada tahun 2015. Sedangkan di desa wisata Pancoh misalnya, hanya terdapat kurang lebih satu sampai tiga kali kunjungan pertahun. Jumlah kunjungan yang terbatas tersebut jika dikonversikan kedalam rupiah, hanya menghasilkan nilai 1-2 juta rupiah pertahun (data primer, hasil wawancara dengan pengelola desa wisata Pancoh).
8
Berbagai upaya telah dilakukan oleh desa-desa wisata untuk meningkatkan dan mengembangkan wilayahnya. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sleman juga mengadakan berbagai pelatihan guna meningkatkan kapasitas pengelola. Tetapi ketimpangan jumlah kunjungan dan pendapatan antar destinasi terjadi dilapangan. Berdasarkan hasil survei “Pemetaan Sosial Desa Wisata di provinsi D.I.Y.” dapat diketahui bahwa jawaban dari 38 desa dan kampung wisata yang ada di provinsi D.I.Y tersebut masing-masing sebesar 27% mengalami kesulitan promosi dan 26% untuk peningkatan infrastruktur. Haven-Tang dan Sedgeley (2014) terkait hal tersebut menjelaskan bahwa desa wisata adalah sebagai destinasi yang berskala kecil dan sering mengalami kesulitan dalam hal promosi wisata. Menurut hasil penelitian keduanya, desa-desa wisata yang bekerjasama dengan desa wisata lain mampu memperkuat branding. Pendapat lainnya juga disajikan melalui penelitian Hong et. Al (2015) terkait partnership antar desa wisata. Mereka menunjukkan bahwa dengan adanya kerjasama antar wilayah dapat mengurangi persaingan antar pihak dan meningkatkan arus masuk wisatawan. Berbagai penelitian yang mengungkapkan tentang kerjasama antar desa wisata banyak diulas belakangan ini. Salah satunya adalah Ma dan Hassink (2013), mereka juga mengungkapkan tentang path dependence antar destinasi yang terjalin akibat interaksi diantaranya. Interaksi disebabkan oleh adanya kebutuhan yang dapat dipenuhi melalui destinasi wisata lainnya.
9
Kegiatan pariwisata di Provinsi D.I. Yogyakarta sendiri yang menjalin kerjasama antar destinasi pernah terjadi dalam bentuk aktivitas berbasiskan kegiatan (event-based
tourism).
Salah
satunya
adalah
kegiatan
Ngayog-Jazz
yang
diselenggarakan di berbagai desa wisata. Kelurahan Pendowoharjo, Kabupaten Sleman, pernah dipilih sebagai lokasi acara tersebut. Setelah sebelumnya pada tahun 2012, 2014 dan pada tahun 2015 kembali diselenggarakan di kelurahan yang sama. Event tersebut diperkirakan dikunjungi kurang lebih 10 ribu orang dari berbagai wilayah di Indonesia dan mendapat perhatian wisatawan mancanegara3. Kolaborasi dan partnerships yang baik menghasilkan sebuah capaian berbasiskan event sehingga menarik banyak pengunjung pada kegiatan di tingkat pedesaan. Berdasarkan observasi dari peneliti, elemen-elemen yang terlibat didalam kegiatan ngayogjazz cukup kompleks. Mulai dari pemerintah tingkat desa, kelurahan sampai kabupaten. Selain itu masyarakat sekitar, pengusaha-pengusaha lokal, pengelola antar desa wisata dan pengisi acara juga mengambil peran penting di dalamnya. Pertanyaan yang muncul adalah “apakah partnerships antar pihak yang berkecimpung dalam desa wisata tersebut juga terjadi di wilayah lainnya dan memberikan dampak pada desa wisata?” Kemudian berdasarkan model yang telah ada seperti NgaYogjazz dapat dikembangkan lebih jauh sehingga menjadi bentuk dari pengembangan desa wisata.
3
http://www.wartajazz.com/news/2014/11/21/ngayogjazz-kembali-hadir-dengan-tung-tak-tungjazz-di-desa-brayut-Sleman
10
Kondisi yang telah disebutkan diatas kemudian memunculkan pertanyaan mengenai bagaimana upaya antar desa wisata untuk bekerjasama satu dengan yang lainnya? Bagaimana konektivitas dalam lingkup desa wisata yang saling berdekatan tersebut? Apa permasalahan yang muncul dalam terjalinnya partnerships antar desa wisata? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut belum dipahami secara lengkap terutama dalam konteks desa wisata di Indonesia, meskipun cukup berkembang dari catatan penelitian yang ada. Alasan dalam menyajikan partnerships antar desa wisata di Indonesia juga dipengaruhi oleh pendapat Saarinen dan Lenao (2014). Mewujudkan pariwisata yang terintegrasi antar wilayah, sebagaimana terjadi di Eropa, tidaklah mudah dilakukan. Studi dari Saarinen dan Lenao tersebut didasarkan atas pengalaman yang secara umum berlaku di negara-negara berkembang. Pengembangan program yang dilakukan di negara-negara utara (Eropa) tidak selalu mudah dilakukan di negara berkembang. Penyebab-penyebab kendala yang dihadapi diantaranya adalah perbedaan sosial dan kultural, kemampuan pengelolaan serta kemampuan masyarakatnya dalam beradaptasi terhadap perubahan (Saarinen dan Lenao, 2014). Berdasarkan data yang ada, meskipun kabupaten Sleman memiliki jumlah desa wisata terbanyak di provinsi D.I.Y namun kualitas desa wisatanya masih perlu mendapatkan perbaikan. Adanya perkembangan konseptual dan situasi sosial yang telah disebutkan di atas belum didukung informasi yang memadai dalam memahami partnership antar
11
desa wisata. Pertama sebagai basis desa wisata yang berjumlah 112 unit di Provinsi D.I.Y dan 38 desa wisata di Kabupaten Sleman, memiliki potensi yang besar dalam mengembangkan kerjasama antar destinasi. Hal tersebut dilakukan untuk menjawab tantangan pengelolaan dan promosi desa wisata. Kerjasama antar desa wisata pernah dilakukan dalam event “ngayogjazz” yang juga terjadi peningkatan kunjungan cukup signifikan. Namun demikian masih sedikit informasi yang diperoleh dalam menjelaskan bentuk-bentuk kerjasama lainnya. Misalnya terkait pemenuhan kebutuhan pasar dan pengembangan daya tarik wisata. Selain menggambarkan bentuk kerjasama, penelitian ini juga ingin mengungkapkan faktor penyebab dan rekomendasi terkait pengembangan konsep tersebut agar menjadi sumbangan tersendiri bagi pengelolaan desa wisata.
12
1.3 Rumusan Masalah 1. Apa bentuk kegiatan yang dilakukan oleh aktor-aktor pariwisata dalam menjalin kerjasama antar desa wisata di kawasan Cangkringan? 2. Apa yang menyebabkan keberhasilan atau kegagalan dalam menjalin kerjasama antar desa wisata di wilayah tersebut? 3. Apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah dalam rangka pengembangan partnerships antar desa wisata tersebut?
1.4 Keaslian Penelitian Keaslian penelitian yang dilakukan dapat ditinjau dari hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya. Agar mempermudah dalam memahami penelitian terdahulu maka ditampilkan tabel sebagai berikut:
13
Tabel 1.1 Keaslian penelitian No.
1.
2.
3.
Nama dan Tahun Penelitian Verohanitra, Adriambolanor., 2015
Judul Penelitian
Metode
Fokus Penelitian
Community Participation Mix Towards Partnerships methode Programs for Community Based Tourism Development: Case of Accor Group at Candran Village
Menggambarkan tentang kerjasama yang dijalin antar komunitas pariwisata di desa wisata candran Yulianto, Tri, S., Modal Sosial Masyarakat Kualitatif Mengkomparasi 2015 Dalam Pengembangan kan modal sosial Pariwisata Di Desa Wisata yang dimiliki Pentingsari Dan Sambi oleh desa wisata Kabupaten Sleman penting sari dan desa wisata Sambi Dewi, Martha. Daya Lenting Desa Wisata Kuantitatif Menghitung dan K, 2015 Penting Sari Akibat Multi menganalisa Bencana mengenai kerugian yang terjadi pada desa wisata penting sari akibat bencana alam
Berdasarkan telaah penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, Ada perbedaan yang signifikan dengan yang dilakukan oleh peneliti. Pertama didapati bahwa penelitian yang berfokus pada konsep partnerships yang pernah ada hanya berfokus untuk pengembangan kawasan satu desa. Kedua partnerships yang terjadi adalah bagian dari pengembangan ekonomi atas pemulihan pasca bencana. Selain itu dalam konteks locus penelitian yang pernah dilakukan di kawasan cangkringan (desa
14
wisata Pentingsari, Sambi dan Kaliurang Timur) fokus yang dipilih adalah mengenai modal sosial.
1.5 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang sejauh mana pengelola desa wisata dalam menjalin kerjasama antar desa wisata. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk mendeskripsikan mengenai faktor-faktor pendukung atau penghambat terjadinya kerjasama antar desa wisata yang telah terjalin. Pada akhirnya penelitian ini juga menyajikan solusi terkait permasalahan pengembangan kerjasama antar desa wisata.
1.6 Manfaat Penelitian Berdasarkan tinjauan dari latar belakang masalah dan rumusan masalah, penelitian ini dapat memberikan manfaat diantaranya sebagai berikut. Manfaat praktis:
Hasil penelitian ini mampu dimanfaatkan oleh pelaku desa wisata dalam pengembangan pariwisata didaerahnya berbasiskan partnerships antar wilayah.
15
Dari hasil penelitian ini dapat membantu pemerintah dalam memfasilitasi kerjasama antar desa wisata melalui informasi terkait faktor-faktor penyebab dalam pengembangan partnerships antar desa wisata.
Selain itu penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk solusi terkait pengelolaan desa wisata yang semakin tumbuh dan tersebar di wilayah yang saling berdekatan dengan sudut pandang kerjasama antar desa wisata.
Manfaat teoritis:
manfaat dari penelitian ini secara teoritis adalah dapat memberikan sumbangan tentang terbentuknya partnerships antar desa wisata dengan berbasiskan pada proses deliberatif komunitas dan dukungan kebijakan.
selain itu, juga mendeskripsikan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan partnerships antar desa wisata serta langkah perbaikan secara top-down dan bottom-up dalam prosesnya.