Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang Sejarah pertelevisian di Indonesia boleh dibilang belum terlalu panjang; mulai beroperasi tahun 1962 bertepatan dengan pembukaan Asian Games (pesta olah raga negara-negara Asia) keempat di Jakarta oleh Presiden Soekarno. Lalu empat belas tahun kemudian, tepatnya tanggal 17 Agustus 1976, bertepatan dengan peresmian pemakaian Satelit Palapa oleh Presiden Soeharto, daya jangkau siarannya diperluas mencakup hampir seluruh wilayah kesatuan Republik Indonesia. Perkembangan televisi di Indonesia memasuki era baru ketika pada tahun 1989 RCTI sebagai televisi swasta pertama di Indonesia beroperasi, dengan akses terbatas untuk para pemakai decoder yang membayar iuran bulanan. Dua tahun kemudian keharusan memakai decoder dicabut sehingga masyarakat umum bisa mengaksesnya secara bebas. RCTI sepenuhnya tergantung pada iklan. Setelah itu berturut-turut SCTV dan TPI diijinkan beroperasi. Loncatan mahabesar dalam perkembangan televisi di Indonesia ketika Orde Baru jatuh, monopoli pemerintah atas sumber informasi dihapus. Puncaknya, pada awal masa reformasi Departemen Penerangan dibubarkan, sehingga lahirlah kebebasan pers dengan antara lain ditandai tidak ada lagi kewajiban Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Akibatnya media massa termasuk televisi tumbuh dengan pesat. Hingga sekarang, di luar TVRI, di Indonesia beroperasi tidak kurang dari 10 televisi swasta1; RCTI, SCTV, TPI, Indosiar, ANTV, Metro TV, Trans TV, TV 7, Lativi, dan Global TV. Belum terhitung TV kabel dan stasiun-stasiun televisi asing yang bisa ditangkap dengan antena 1
Bandingkan dengan negara-negara yang secara ekonomi jauh lebih maju seperti Australia yang “hanya” lima stasiun dan Singapura enam stasiun.
1
parabola2. Belum juga stasiun-stasiun televisi di daerah-daerah. Bisa dikatakan siaran acara televisi telah menjadi konsumsi sehari-hari sebagian besar masyarakat Indonesia. Perkembangan ini pada satu sisi jelas positif, masyarakat jadi memiliki lebih banyak pilihan. Tapi sisi negatifnya adalah, pertama, karena tidak dapat tidak televisi mewakili kepentingan tertentu. Tidak ada televisi yang sama sekali netral. Televisi bisa menjadi alat propaganda dari sebuah kepentingan ideologis — seperti ketika Jendral Purn. Wiranto, mantan Pangab di zaman Soeharto, membeli jam tayang seluruh televisi swasta secara serentak. Lewat wawancara yang beberapa hari sebelumnya diiklankan secara gencar sebagai acara eksklusif, Wiranto kemudian menjelaskan segala sesuatu mengenai kiprahnya3 — Televisi juga bisa menjadi alat propaganda ekonomi kapitalis; dalam bentuk iklan-iklan, sinetron-sinetron, dan acara-acara lainnya yang menawarkan dunia gemerlap, dunia mimpi; gaya hidup hedonis dan materialistis, ditambah budaya konsumtif. Kedua, tidak dapat disangkal bahwa televisi sangat powerful dalam membentuk nilai-nilai masyarakat4. Lebih jauh, televisi adalah alat kontrol sosial yang sangat ampuh5. Citra-citra dan tanda-tanda ditampilkan secara terus-menerus dan sangat memikat dapat menggiring masyarakat pada opini, value, perilaku dan worldview tertentu. Sebagai contoh, citra masyarakat tentang wanita cantik: berkulit putih dan berambut lurus panjang, atau kebahagiaan hidup identik dengan memiliki mobil tertentu, rumah tertentu, kartu kredit tertentu, dan pria gagah, macho, percaya diri identik dengan rokok tertentu, sangat dipengaruhi oleh pencitraan yang ditampilkan 2
3
4 5
Indonesia terkesan “lost control” dalam pengaturan soal televisi. Negara-negara seperti Singapura dan Malaysia membatasi kepemilikan antena parabola, di Indonesia siapa pun bebas memilikinya asal bisa membeli. Ketika itu Wiranto punya kepentingan untuk membersihkan namanya dari berbagai sorotan publik berkenaan dengan goro-goro Mei 1998 Ratna Noviani, Jalan Tengah Memahami Iklan, (Yogyakarta, 2002), p. 70. Yasraf Amir Piliang, Realitas-realitas Semu Masyarakat Konsumer: Estetika Hiperealitas dan Politik Konsumerisme, Idi Subandy Ibrahim, Lifestyle Ecstasy, Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia, (Yogyakarta, 2005), p. 181
2
dalam siaran televisi (simulation games). Melalui simulation games, manusia dijebak dalam suatu ruang yang disadarinya sebagai “nyata”, meskipun sesungguhnya “semu” atau khayalan belaka6. Siaran televisi terbagi dalam beberapa jenis, antara lain film, termasuk sinema elektronik (sinetron) dan telenovela, berita, quiz-quiz hiburan termasuk reality show, dan iklan. Setiap jenis acara memiliki pengaruh sendiri-sendiri. Dalam tesis yang akan disoroti adalah siaran iklan komersial (Inggris: advertising). Istilah advertising yang digunakan di Amerika dan Inggris, berasal dari bahasa latin ad-vere yang berarti mengoperkan pikiran dan gagasan kepada pihak lain. Di Perancis, kata yang digunakan adalah reclamare yang berarti meneriakkan sesuatu secara berulang-ulang. Di Belanda di sebut advertentie, dan di Arab di kenal dengan sebutan I’lan7. Kata I’lan atau i’lanun (artinya: pemberitahuan), secara operasional didefinisikan sebagai informasi. Dari istilah itulah, kata “iklan” diserap. Kata tersebut diperkenalkan oleh Soedardjo Tjokrosisworo, seorang tokoh pers nasional, pada tahun 1951, untuk menggantikan istilah “advertentie” (Belanda) dan “advertising” (Inggris) 8. Phillip Kotler, seorang ahli pemasaran terkemuka, mengartikan iklan sebagai semua bentuk penyajian non personal, promosi ide-ide, promosi barang produk atau jasa yang dilakukan oleh sponsor tertentu yang dibayar9. Iklan sendiri sebetulnya memiliki sejarah yang panjang. Sejak zaman Yunani kuno dan Romawi kuno iklan sudah ada, yaitu dalam bentuk pesan berantai (the word of mouth)10. Fungsi iklan pada waktu itu juga sangat “sederhana” yaitu untuk memperlancar penjualan. Seiring
dengan perkembangan teknologi; ditemukannya
6
Yasraf Amir Piliang, Realitas-Realitas Semu Masyarakat Konsumer: Estetika Hiperealitas dan Politik Konsumerisme, Idi Subandy Ibrahim, Lifestyle Ecstasy, Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia, p. 172. 7 Rendra Widyatama, Pengantar Periklanan, (Jakarta, 2005), p. 13-14 8 Budi Setiyono, Ed., Cakap Kecap (1972-2003), (Yogyakarta, 2004), p 39-40. 9 Phillip Kotler, Manajemen Pemasaran, Analisis, Perencanaan & Pengendalian (Jakarta, 1990), p.237 10 Ratna Noviani, Jalan Tengah Memahami Iklan, p. 2.
3
kertas di Cina dan mesin cetak oleh Johann Gutenberg di Jerman, iklan pun mengalami perkembangan. Pada era ini mulai dikenal iklan dalam bentuk cetakan tulisan dan gambar. Seni beriklan pun mulai mendapat perhatian.
B. Perumusan Masalah Ketika peradaban manusia dalam bidang ekonomi meningkat dari ekonomi subsistem ke ekonomi kapitalis – dimana produksi guna memenuhi kebutuhan lokal bertolak pada ekonomi keluarga, digeser dengan produksi kapitalis – yaitu produksi massal yang tujuannya mencari laba, timbul desakan untuk memasarkan hasil produksi yang berlebih. Bisa dimengerti, mengingat produksi massal tentunya membutuhkan konsumsi massal pula. Tanpa itu barang-barang produksi akan menumpuk, pengusaha bisa merugi. Untuk mengatasi desakan ini diperlukan cara-cara pemasaran yang masif dan efektif, salah satu cara paling ampuh adalah dengan iklan. Sehingga jadilah iklan sebagai motor penggerak ekonomi kapitalis. Dengan tujuan menarik pembeli sebanyak mungkin, sehingga laba sebesar-besarnya dapat diraih. Oleh karena iklan komersial dibuat dengan tujuan mendorong masyarakat supaya membeli produk yang diiklankan, maka seringkali yang lebih dipentingkan adalah kemasan dan bukan isinya. Jadi yang penting pemirsa tertarik dan terdorong untuk membeli, apakah kualitas produk tersebut tidak sesuai dengan yang diiklankan menjadi urusan belakangan. Menarik apa yang dikatakan Eka Darmaputera11: “Otak manusia modern dewasa ini, dijejali bukan terutama dengan “disinformasi”, atau informasi yang salah, melainkan oleh “mis-informasi”, atau informasi yang setengah benar. Oleh kebenaran yang telah dibengkokkan, telah “ditukangi”, atau tidak disajikan seutuhnya. Ada bagian yang ditutup-tutupi. Iklan-iklan dan setiap propaganda (termasuk propaganda agama!) pada hakekatnya berisi kebenaran jenis ini.”
11
Eka Darmaputera, Khotbah Yesus Di Bukit, (Yogyakarta, 2002), p. 118
4
Sebagai sebuah produk kreativitas manusia, seperti juga karya seni lainnya, iklan tentunya perlu diapresiasi. Pada satu sisi, secara material, iklan juga telah menjadi sebuah industri yang adalah sumber nafkah bagi banyak orang. Iklan yang bagus juga bisa menjadi sarana hiburan. Dalam hal-hal tersebut kita tidak bisa menutup mata terhadap positifnya iklan. Akan tetapi berkenaan dengan pengaruh terhadap nilai-nilai, world view, gaya hidup, perilaku, kita tidak bisa membutakan diri, bahwa iklan memberi pengaruh buruk terhadap masyarakat. Ini yang harus diwaspadai. Beberapa hal buruk ditimbulkan oleh iklan. Secara material, iklan turut memiliki andil terhadap terpelihara dan tersemainya kemiskinan manusia. Sebab iklan menggiring masyarakat ke arah pola hidup konsumtif sesuai keinginan produsen. Bukan memenuhi kebutuhan, tetapi justru menciptakan kebutuhan. Orang pun lantas dikondisikan untuk merasa butuh, padahal sesungguhnya tidak butuh, hanya kebutuhan fantasi. Seperti diungkapkan oleh Adorno, iklan dapat menghilangkan batasan antara kebutuhan sejati (real needs) dan kebutuhan fantasi atau kebutuhan palsu (false needs) 12. Data menunjukkan di Indonesia, tahun 2002 saja anggaran belanja iklan adalah sebesar Rp. 4,9 trilyun13. Sebuah jumlah yang besar. Darimana anggaran belanja sebanyak itu berasal? Dari mana lagi kalau bukan dari masyarakat konsumen. Produsen tentunya sudah memperhitungkan biaya untuk iklan sebagai cost dari produknya, dan dibebankan kepada konsumen14. Selain itu iklan juga mempunyai andil tidak kalah besar dalam menanamkan nilai-nilai miskin dan dangkal kemanusiaan. Nilai-nilai luhur seperti ketekunan dan
12 13 14
Theodor W. Adorno, The Culture Industry, Selected Essays on Mass Culture, (London, 1991), p. 61. Ratna Noviani, Jalan Tengah Memahami Iklan, p. 40. Dulu ketika stasiun televisi masih satu, TVRI, pernah menyiarkan acara iklan “Mana Suka Siaran Niaga”. Acara tersebut kemudian dilarang oleh pemerintah; TVRI tidak boleh beriklan, karena ditenggarai dengan adanya acara iklan televisi jumlah tabungan masyarakat yang ada di bank berkurang drastis; masyakarat lebih senang belanja daripada menabung.
5
kesabaran diganti dengan “keserbainstanan” dan “keserbamudahan” (sakit batuk atau flu segera sembuh karena minum obat anu, gampang punya rumah dan gampang dapat uang banyak karena memakai produk anu, tubuh gemuk segera langsing karena minum jamu anu); dan kesederhanaan diganti dengan kemewahan dan gengsi (handphone model terbaru, mobil bergengsi, credit card, makan di restoran fast food sebagai simbol kelas sosial). Bahkan nilai cinta kasih antara pria dan wanita pun direduksi menjadi sebatas material; wanita akan dicintai pria kalau ia berambut hitam lurus panjang, berkulit putih, muka halus tidak berjerawat, bertubuh langsing; sedang pria akan dicintai wanita kalau ia berbadan tegap dan wangi pula, berpenampilan macho. Begitu juga nilai kebahagiaan; orang dianggap akan berbahagia kalau mempunyai rumah mewah, mobil mewah, uang melimpah ruah, kemana-mana menggunakan kartu kredit strata gold. Boleh dikatakan iklan jelas menuntut harga yang sangat “mahal”, baik secara material, maupun secara non-material. Nilai-nilai tersebut sangat bertentangan dengan “spirit” yang diajarkan oleh Yesus, khususnya dalam Khotbah Di Bukit. Dalam ucapan bahagia Matius 5:1-12, misalnya. Yesus mengungkapkan bahwa kebahagiaan bukan terletak di luar diri orang seperti pada benda-benda mewah tertentu ataupun status sosial tertentu. Kebahagiaan terletak di dalam diri orang, pada hati yang lemah lembut, yang hidup mengandalkan Tuhan, yang murah dan suci hati. Lalu Matius 5:13-16, panggilan hidup manusia yang luhur bukan berorientasi pada diri sendiri, tetapi pada dunia di sekitar. Sukses tidak diukur dengan capaian milik atau jabatan, tapi seberapa jauh menjadi berkat bagi dunia; yaitu dengan menjadi garam dan terang dunia.
6
Intinya, bagi Yesus keutamaan hidup manusia tidak terletak pada apa-apa yang dimilikinya; barang-barang mewah, tubuh yang indah, wajah yang cantik. Keutamaan manusia terletak pada ketulusan, kasih sayang, kerelaan untuk memaafkan, rasa cukup disertai ungkapan syukur, kerendahan hati, sikap hidup yang mengutamakan kehendak Allah. Semua itu sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai yang ditampilkan oleh iklan komersial televisi. Iklan ada dimana-mana. Di zaman sekarang, bahkan telah menjadi bagian dari keseharian manusia. Tidak ada lagi lingkungan yang benar-benar bebas iklan. Iklan menjadi hal yang tidak dapat dihindari, walaupun dengan cara ekstrim seperti mematikan televisi sekalipun. Karena iklan bisa hadir dalam bentuk, kemasan dan media yang lain, seperti radio, media cetak, ataupun papan reklame. Sementara, di satu sisi, iklan pun merupakan sebuah entitas yang tidak bebas nilai. Iklan selalu mewakili kepentingan tertentu, dalam hal ini pengusaha atau produsen sebuah produk. Iklan memiliki tujuan semata-mata agar apa yang diiklankan dibeli masyarakat, apakah itu barang ataupun sekadar ide. Tujuannya pun jelas, sebagai alat untuk mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya. Masalahnya, iklan memiliki dampak buruk yaitu membawa nilai-nilai materialisme dan memiliki kemampuan untuk mempengaruhi dan membentuk cara pandang serta polah konsumsi orang. Jadi, bagaimana menghadapi dampak buruk iklan tersebut? Bagaimana mengambil jarak dari iklan, dengan mengandalkan pada pemahaman kebutuhan riil? Bagaimana memandang fenomena sekuler seperti iklan komersial televisi dari kacamata ajaran Yesus, dalam hal ini Khotbah di Bukit (Matius 5-7)? Mungkinkah dibangun jembatan antara materialisme iklan komersial televisi dan spritualitas yang Yesus ajarkan? Dimana, apa dan bagaimana, posisi serta peran gereja dalam menyikapi dampak negatif iklan?
7
Judul Tesis:
MATERIALISME VERSUS SPIRITUALITAS YESUS (TELAAH TEOLOGIS TERHADAP IKLAN KOMERSIAL TELEVISI)
C. Kerangka Teori Iklan komersial merupakan bagian dari proses ekonomi, dengan demikian arah pemikirannya adalah pemikiran komersial yang berlandaskan konsep ekonomi. Ada pun kerangka pemikiran yang dipergunakan untuk menelaah iklan komersial televisi dalam tesis ini ialah pemikiran yang menganalisa interaksi antara komunikasi, ekonomi, dan budaya pada masyarakat modern yang berkembang pada kelompok Mazhab Frankfurt atau Frankfurt School, yang pemikirannya dikenal sebagai Teori Kritis atau Critical Theory. Teori Kritis bersandar pada asumsi, bahwa untuk memahami dan menjelaskan kenyataan sosial, tidak dapat tidak kita harus mengevaluasi dan mengkritisi pemahaman masyarakat itu atas dirinya sendiri. Teori ini timbul salah satunya sebagai reaksi atas kegagalan penganut Marxis untuk menjelaskan mengapa ramalan Marx tentang revolusi yang akan muncul dalam masyarakat kapitalis ternyata tidak terbukti. Malah kelas yang dieksploitasi dalam masyarakat kapitalis ternyata (tampaknya) puas hidup dalam naungan ideologi yang berkuasa15. Critical Theory dari Mazhab Frankfurt adalah kritik atas masyarakat modern; mengupas mekanisme penindasan dan eksploitasi. Pada masyarakat modern mekanisme ini tersembunyi dan bertahap, bahkan orang tidak sadar mengenai kebebasannya yang hilang karena proses manipulasi atas individu melalui media massa. Bisa dikatakan media massa mengakibatkan degradasi dan reduksi semua jenis nilai estetika dan 15
Sim Stuart and Borin van Loon, Introducing Critical theory, (UK, 2001), p.91.
8
budaya intelektual, dan itu dimanfaatkan betul oleh birokrasi dan dunia usaha untuk memanipulasi dan mendistorsi kesadaran sosial dan politik masyarakat. Yang dianggap sebagai kebajikan tertinggi adalah kemakmuran material, bukan kesejahateraan dalam arti menyeluruh16. Tokoh kelompok Mazhab Frankfurt antara lain Herbert Marcuse, Theodor W. Adorno, Jurgen Habermas, Marx Horkheimer, dan Walter Benyamin. Tesis akan lebih memfokuskan pada pemikiran Herbert Marcuse dan Theodor W. Adorno, karena relevansi pemikiran keduanya yang mengena langsung dengan iklan sebagai salah satu ujung tombak industri budaya. Dalam bukunya yang terkenal One Dimensional Man (1964), Marcuse menyatakan, bahwa warga negara dalam masyarakat kapitalis tidak lagi merupakan individu merdeka, tetapi merupakan obyek yang telah dimanipulasi oleh iklan. Mereka tidak berdaya karena kepuasan sesaat yang telah dipenuhi. Marcuse berkesimpulan bahwa masyarakat seperti ini tidaklah bebas melainkan diperbudak oleh kekuatan dunia usaha17. Marcuse menyatakan bahwa masyarakat modern, telah kehilangan identitas dan kebebasan individu. Penghilangan identitas dan kebebasan individu ini terjadi karena dominasi masyarakat oleh kaum kapitalis (sebagai pemilik modal) melalui iklan media massa. Iklan menciptakan trend-trend baru dan fashion baru. Individu-individu anggota masyarakat digiring untuk mengikuti trend atau fashion tersebut. Sehingga perbedaan antara kebutuhan individu dengan kebutuhan masyarakat menjadi tidak jelas. Dalam hal ini sulit membedakan fungsi media massa, apakah sebagai instrumen informasi dan hiburan, atau sebagai alat manipulasi dan indoktrinasi 18.
16 17
18
Thomas Mautner, The Penguin Dictionary of Philosophy, (London, 1997), p. 36. Herbert Marcuse, One Dimensional Man, Studies in the Ideology of Advanced Industrial Society, (Boston, 1964), p. 52. Ibid, p. 10
9
Ciri lebih jauh dari masyarakat modern menurut Marcuse, ialah kemampuannya untuk menampilkan sesuatu yang irasional menjadi rasional, kebutuhan yang semu menjadi kebutuhan yang nyata. Hal itu dapat terjadi karena kekuatan membentuk kebutuhan baru melalui berbagai iklan dalam media massa. Keadaan ini memunculkan pendapat baru, bahwa sebuah produk menciptakan pasarnya sendiri, supply creates its own demand. Hal ini menyebabkan manusia teralienasi dari masyarakatnya, bahkan dari dirinya sendiri, sebab manusia kemudian mengidentifikasikan dirinya pada barangbarang yang dimilikinya; jiwa dan pikiran mereka melekat pada mobil yang dimilikinya, perangkat hi-fi, rumah bertingkat dan peralatan dapur. Mekanisme dasar yang mengikat manusia pada masyarakatnya pun berganti pada pengendalian sosial yang justru terikat pada kebutuhan-kebutuhan baru yang diciptakannya19. Pengamatan Marcuse dalam bukunya One Dimensional Man tersebut sungguh sangat relevan untuk menganalisis budaya industri yang berkembang di masyarakat sekarang. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kurun waktu sekitar 40 tahun terakhir perkembangan teknologi sangat luar biasa cepat dan pesatnya. Bahkan dalam bidang Teknologi Informatika tiap komputer yang dihasilkan, diperkirakan akan menjadi kuno dalam waktu enam bulan20. Pada waktu Marcuse menulis bukunya tahun 1964, gambaran mengenai adanya sistim komunikasi seperti internet masih belum terbayangkan. Sekarang masyarakat internasional sudah dapat melihat dan merasakan pengaruh internet pada segala bidang kehidupan. Begitu juga, masyarakat Indonesia tidak lepas pula dari arus perkembangan tersebut. Penggunaan e-mail untuk mengirimkan berbagai pesan tertulis sudah mulai menggeser peranan pos tradisional.
19 20
Herbert Marcuse, One Dimensional Man, Studies in the Ideology of Advanced Industrial Society, p. 11 Majalah Swa-Sembada No.22/XX/28 Oktober – 6 November 2004, p. 76
10
Bagi masyarakat yang hidup di negara berkembang seperti Indonesia, pengaruh perkembangan teknologi, terutama teknologi komunikasi sungguh bagaikan gelombang besar tsunami yang menerpa seluruh lapisan kehidupan. Contoh yang paling jelas pula adalah penggunaan telepon seluler yang beberapa tahun lalu masih merupakan barang mewah, kini sudah menjadi kebutuhan dasar bagi banyak lapisan masyarakat. Begitu juga perkembangan SMS (short message service) yang secara nyata sudah menggeser peranan kartu ucapan selamat hari raya atau selamat ulang tahun. Bahkan pemerintah juga menggunakan SMS untuk kepentingan penyebaran kebijaksanaannya. Berbagai kemudahan ditawarkan oleh operator penyedia jasa seluler. Di samping itu, kapasitas telepon seluler pun terus meningkat dengan cepat; membuat foto, mendengarkan musik, membuat video, tak lama lagi menonton televisi, dan lain-lain. Begitu merasuknya penggunaan komunikasi melalui telepon seluler ini kiranya dapat terlihat pada pameo yang populer di masyarakat kini yaitu “Hari gini nggak punya HP?” Bagi masyarakat industri, adanya pasar untuk menampung hasil produksinya adalah suatu kebutuhan mutlak sebab tanpa pasar maka industri akan mati. Pada awal abad ke 19, ketika industri kapitalistis di Eropa Barat mulai tumbuh pesat, mereka harus mencari pasar untuk menampung hasil produksinya karena pasar dalam negeri mereka tidak dapat menampung lagi. Jalan yang terbuka adalah daerah di luar Eropa. Dari sini dimulailah sejarah kolonialisme di Asia dan Afrika. Bahkan kemudian Asia dan Afrika bukan hanya menjadi pasar penampung produksi, tapi juga menjadi sumber untuk menggali bahan baku industri, sehingga Eropa Barat lantas berkembang menjadi negara industri modern abad 20. Sedang pada abad mutakhir dewasa ini, kebutuhan negara industri memasarkan produk sudah berbeda dengan kebutuhan industri kapitalis di awal pertumbuhannya pada abad 19. Zaman sekarang pemasaran sebuah produk industri tidak lagi melalui
11
penguasaan wilayah, tapi melalui penguasaan media massa. Satu aspek paling penting dari media massa dalam memasarkan suatu produk industri adalah iklan. Maka iklan pun tak lagi dilihat sebagai ongkos produksi yang tidak produktif, tetapi sebagai unsur dasar dari biaya produksi21. Selanjutnya menurut Marcuse pula, ciri lain dari masyarakat industri adalah komodifikasi; dimana segala sesuatu dalam setiap aspek kehidupan manusia dibuat menjadi komoditi atau sesuatu yang memilki nilai pasar dan bisa dijual. Termasuk hal yang menyangkut masalah seksualitas dan tubuh manusia22. Tidak dapat disangkal peranan industri periklanan sangat dominan berkenaan dengan masalah seksualitas dan tubuh manusia. Industri periklanan, terutama iklan komersial televisi, pun menentukan tubuh bagaimana yang mempunyai nilai untuk ditampilkan dalam sebuah iklan. Pada gilirannya bentuk atau penampilan tubuh yang demikian itu menjadi ikon yang digandrungi para pemirsa. Pengaruh dalam bidang ini tentu saja luar biasa. Sebagai contoh, jika industri kosmetik mulai melancarkan produk cream untuk memutihkan kulit, maka yang tampil di iklan televisi adalah gadis-gadis menarik yang berkulit putih. Warna kulit putih lalu menjadi warna yang ideal bagi para wanita, dan mereka menyadari bahwa yang ideal ini dapat dicapai melalui cream pemutih kulit yang diproduksi oleh industri kosmetik tersebut. Melalui iklan, standar estetika kecantikan wanita seakan-akan dikendalikan. Atau bahkan dapat dikatakan, standar kecantikan wanita di masyarakat sebenarnya merupakan hasil konstruksi dari iklan. Pengendalian yang mampu dilakukan oleh iklan, merambah pada berbagai hal lain seperti norma, gaya hidup, standar etis, dan estetika lainnya. Standar-standar baru
21 22
Herbert Marcuse, One Dimensional Man, Studies in the Ideology of Advanced Industrial Society, p. 53 Ibid, p. 78
12
yang dibentuk oleh “sihir iklan” cenderung seragam. Sehingga di tengah masyarakat cenderung terjadi penyeragaman budaya23. Manusia pun lalu kehilangan kebebasan untuk menentukan apa yang ideal baginya. Manusia kehilangan individualitasnya dan menjadi bagian massa konsumen yang dikendalikan oleh para produsen. Dalam tahap ini manusia sudah tidak berpikir lagi, mereka digiring oleh budaya massa. Tetapi mereka tidak merasakan itu sebagai bentuk penindasan atas mereka, karena merasa itu sebagai kebutuhannya. Padahal sebetulnya itu adalah kebutuhan semu (false need) 24. Sedang Adorno dalam bukunya The Culture Industry menekankan penelitiannya pada masalah budaya di tengah masyarakat modern. Pemikiran Adorno bertolak dari kegagalan ramalan skema evolusi klasik Marxis mengenai perkembangan sejarah. Bagi Adorno keyakinan kaum Marxis, bahwa kekuatan produksi kapitalis jika dilepaskan dari hubungan kapital dengan produksi akan menghasilkan suatu masyarakat bebas hanyalah ilusi. Kapital tidak mempunyai kemampuan untuk emansipasi, perkembangan kapitalis tidaklah menuju kepada kebebasan tetapi bergerak lebih jauh ke arah integrasi dan dominasi 25. Dalam hubungannya dengan iklan, khususnya iklan komersial televisi, Adorno mengemukakan tiga tahapan perkembangan dominasi atas kebutuhan; pertama diawali dengan iklan, kemudian iklan meningkat menjadi informasi, dan pada akhirnya informasi meningkat pula menjadi perintah. Menurutnya, iklan berubah menjadi informasi jika orang tidak dapat memilih yang lain atau tidak mempunyai pilihan lagi,
23
Rendra Widyatama, Pengantar Periklanan, p. 166. Hal ini menjelaskan apa yang diungkapakan Marcuse dalam buku One Dimensional Man, bahwa perbedaan antara kebutuhan masyarkat dan kebutuhan individu menjadi kabur. Orang seakan tidak “bebas” lagi untuk menentukan keinginan, standar etis dan etika, serta gaya hidupnya, karena semua sudah diarahkan oleh iklan. Sudah dikonstruksi oleh iklan. 25 Theodor W. Adorno, The Culture Industry, Selected Essays on Mass Culture, p.3. 24
13
yaitu ketika pengenalan akan merek (brand names) mengambil alih pilihan seseorang26. Pada waktu bersamaan, “kekuatan totalitas” pun kemudian memaksa mereka yang tetap ingin bertahan untuk secara sadar ikut serta dalam proses yang terjadi di bawah monopoli budaya massa 27. Seperti Marcuse, Adorno juga membahas masalah budaya yang pada masyarakat modern sudah menjadi benda. Hasil-hasil kesenian dan kebudayaan sudah kehilangan nilainya, dan menjadi semata-mata barang dagangan atau komoditi (dalam hal ini terjadi proses komodifikasi). Dalam bukunya The Culture Industry, Adorno memperjelas penguasaan dunia usaha atas seni dan budaya melalui proses komodifikasi ini dengan mengutip pendapat Andreas Huyssen dalam karyanya yang terkenal After the Great Divide: Modernism, Mass Culture and Postmodernism (1986): Just as art works become commodities and are enjoyed as such, the commodity it self in consumer society has become image, representation, spectacle. Use value has been replaced by a packaging and advertising. The commodification of art ends up in the aesthetication of the commodity. The siren song of the commodity has displaced the promesse de bonheur once held by bourgeois art, and consumer Odysseus blissfully plunges into the sea of commodities, hoping to find gratification but finding none 28. Menurut Adorno pada masyarakat modern, perbedaan antara budaya yang memiliki nilai estetis dengan tindakan sehari-hari menjadi kabur. Hal ini disebabkan oleh karena kemampuan iklan komersial untuk menghilangkan batas antara keduanya. Menurut Adorno, sifat komersial dari budaya menyebabkan perbedaan antara budaya dan kehidupan praktis menjadi hilang. Kemiripan estetis berubah menjadi kemilau yang oleh iklan komersial dituangkan kepada barang yang diiklankan yang kemudian 26
27
28
Iklan menjadi informasi, karena dengan membombardir masyarakat dengan iklan akan merek tertentu, maka ketika seseorang ingin membeli produk misalnya televisi, top of mind-nya adalah merek televisi yang paling sering dilihatnya dalam iklan-iklan. Hal ini juga bisa dilihat dari bagaimana orang mengkonotasikan mi instan dengan supermi, atau air mineral dengan aqua. Theodor W. Adorno, The Culture Industry, Selected Essays on Mass Culture, p.85. Masyarakat tidak menyadari bahwa iklan yang telah berubah bentuk menjadi informasi, kemudian juga mendorong orang untuk mengambil keputusan, berdasarkan pengetahuan yang sebenarnya diimplankan oleh iklan. Informasi ini kemudian mendorong orang untuk sampai pada keputusan membeli sebuah produk tertentu. Informasi yang telah berubah bentuk menjadi perintah tanpa disadari. Theodor W. Adorno, The Culture Industry, Selected Essays on Mass Culture, p. 24
14
menyerap kemilau tersebut. Tetapi saat yang sama, kebebasan yang secara khusus dipegang oleh filosofi berdasarkan kemiripan estetis, hilang dalam proses tersebut. Pada semua sisi, batasan antara budaya dan realitas empiris menjadi makin sukar dibedakan29.
D. Kerangka Telaah Teologis Iklan komersial melihat manusia sekadar mahluk material. Nilai keutamaan hanya diukur dengan hal-hal yang bersifat materi atau yang tampak secara lahiriah saja. Iklan juga mengabaikan nilai-nilai kekekalan dan lebih menekankan kesementaraan; hidup manusia seolah-olah berhenti hanya sampai di dunia ini saja, karena itu segala apa yang bisa kita hirup, alami, miliki, rasakan, dan nikmati di dunia ini menjadi segalagalanya, pertama, dan utama. Iklan komersial pada dasarnya bertujuan untuk menginformasikan sesuatu. Informasi itu bertujuan untuk mempersuasi orang hingga sampai pada keinginan untuk memiliki sesuatu. Tidak pelak lagi, iklan menjadi sarana yang ampuh untuk mengusung isu-isu tersebut di atas sampai kepada konsumen. Ini sangat bertentangan dengan spiritualitas yang Yesus ajarkan, terutama yang tertuang dalam Khotbah Di Bukit (Matius 5-7), yang selanjutnya akan menjadi fokus pemikiran teologis dalam tesis ini. Makna dan nilai-nilai yang terkandung dalam Khotbah di Bukit akan digunakan untuk menyoroti nilai-nilai yang dilahirkan oleh iklan komersial televisi. Para ahli umumnya sepakat, bahwa di dalam Khotbah Di Bukit terdapat esensi ajaran Yesus kepada para murid-Nya30. Lebih dari itu, Khotbah Di Bukit sekaligus merupakan nilai-nilai dan norma-norma kehidupan pribadi Yesus sendiri, yang sudah
29 30
Theodor W. Adorno, The Culture Industry, Selected Essays on Mass Culture, p. 61 Wiliam Barclay, Pemahaman Alkitab Sehari-hari, (Jakarta, 2003), p. 138
15
semestinya pula menjadi nilai-nilai dan norma-norma pribadi para pengikut-Nya di sepanjang zaman31. Khotbah Di Bukit merupakan penjungkirbalikan nilai-nilai yang selama ini dianggap mapan dan lazim, yang justru sekarang pun terus menerus disuarakan dalam iklan komersial televisi. Misalnya, berkenaan dengan hal keutamaan dan kebahagiaan hidup, Yesus menyatakan, bahwa keutamaan dan kebahagiaan hidup tidak terletak pada hal-hal yang bersifat material dan sementara. ”Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur. Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi. Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan. Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan. Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah. Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah. Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu.”(Matius 5:3-12). Yesus juga mengajak pengikut-Nya untuk hidup dengan tidak berorientasi pada diri sendiri; egoistis dan egosentris. Sebab Kualitas hidup manusia tidak terletak pada kepemilikan materi; atau pada apa yang didapatkannya, tapi terletak pada makna positif yang dirasakan oleh lingkungan sekitar; atau pada apa yang diberikannya. “Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang. Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu. Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.” (Matius 5:13-16)32.
31 32
Eka Darmaputera, Khotbah Yesus Di Bukit, p. 20 Mengenai metafora garam dan terang ini, Barclay memaknai demikian: Garam dan Matahari di Palestina adalah dua benda yang sangat berguna. Metafora tersebut hendak menunjukkan panggilan bagi para pengikut Kristus untuk juga menjadi berguna bagi dunia ini. Wiliam Barclay, Pemahaman Alkitab Sehari-hari, p. 198-204.
16
Selanjutnya Yesus sangat menekankan mengenai nilai-nilai ketulusan, sepi ing pamrih; baik dalam relasi sosial (6:1-4), maupun dalam menjalankan tugas keagamaan (6:5-8, 16-18). Sedang berkenaan dengan harta benda sikap Yesus: “Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya. Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada. Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu. Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.” (Matius 6:19-24). Bisa dikatakan inti Khotbah Di Bukit adalah Kerajaan Allah. “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” (Matius 6:33). Eka Darmaputera menyebutnya sebagai “magna charta Kerajaan Allah”33. Melihat penjelasan ini, mungkin orang kemudian menganggap betapa ajaran Yesus tentang Khotbah di Bukit berisi ajaran yang keras. Itupun yang dilihat oleh pembahasan-pembahasan tentang Khotbah di Bukit selama ini. Ada tiga ironi yang terkandung dalam pemaparan dan pemahaman orang tentang Khotbah di Bukit. Pertama, banyak orang menganggap bahwa betapa idealnya ajaran Yesus tersebut. Terlalu tingi dan sulit untuk diikuti. Permintaan Yesus terasa mustahil. Sehingga dicari jalan untuk menghindarinya dengan mengikuti pengajaran lain yang lebih etis pragmatis. Kedua, akibat penghindaran ini, yang terjadi adalah pengaburan makna ajaran Yesus. Semua ajaran Yesus diberikan untuk ditaati dan diikuti secara keseluruhan dan tidak separuh-separuh. Tidak hanya bagian yang dianggap cocok. Ketiga, adanya pemahaman dari kalangan Kristen tertentu yang menganggap bahwa Khotbah di Bukit
33
Eka Darmaputera, Khotbah Yesus Di Bukit, p. 19.
17
hanya bisa dilakukan oleh kaum kristen “super”, para orang suci dan orang terpilih. Hanya untuk perorangan dan tidak dapat diaplikasikan dalam berbagai segi kehidupan seperti hubungan sosial, politik dan ekonomi. 34 Padahal Khotbah di Bukit tidaklah berisi sebuah ajaran yang mustahil untuk dilakukan dan tidak praktis. Inti ajaran Yesus dalam Khotbah di Bukit justru menyentuh hal-hal keseharian manusia. Sesuatu yang setiap hari kita temui dan hadapi. Yesus memberikan ajaran dan petunjuk yang tidak saja berisi perintah untuk dilaksanakan tetapi, lebih dari itu, Yesus memberikan solusinya. Khotbah di Bukit bukan berisi ajaran mengenai upaya manusia untuk mencapai standar hidup ideal Yesus, tetapi lebih berisi transformasi inisiatif Allah untuk membebaskan manusia dari lingkaran setan yang memenjarakannya. Khotbah di Bukit memiliki pandangan yang realistik tentang dunia ini : pembunuhan, amarah, perceraian, perzinahan, nafsu jahat, ketidakjujuran, permusuhan, nabi palsu. Itu berisi metodemetode praktis untuk berpartisipasi dalam anugerah pembebasan Allah. Allah yang berinisiatif, sementara manusia diajak untuk ikut serta dalam apa yang dilakukan Allah, meniru inisiatif Allah.35 Dengan berangkat dari pemahaman itulah, Khotbah di Bukit akan diangkat sebagai panduan untuk memandang nilai-nilai yang terkandung dalam iklan komersial televisi dan untuk memerangi dampaknya.
E. Metode Penelitian Penelitian pertama berangkat dari analisis isi terhadap sejumlah iklan komersial televisi secara random. Kemudian penelitian literatur, yaitu penggalian dan telaah pada
34 35
Glen H. Stassen, Just Peacemaking, (Kentucky, USA, 1992), p. 33-34 Ibid, p. 37-38
18
sumber-sumber tertulis baik dari buku, majalah, koran, dan internet. Selanjutnya telaah teologis berangkat dari buku-buku teologi.
F. Sistematika Penulisan Bab I. Pendahuluan. Memaparkan mengenai latar belakang topik, perumusan masalah, kerangka teori (konseptual), kerangka telaah teologis, dan metode yang digunakan, serta sistematika penulisan. Tujuan: memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai apa, mengapa dan kemana arah pembahasan tesis. Bab II. Perkembangan Iklan Komersial Televisi Di Indonesia. Memaparkan perkembangan periklanan khususnya iklan televisi di Indonesia sejak zaman kolonialisme Belanda sampai sekarang. Tujuan: memberikan gambaran yang utuh dan menyeluruh mengenai sejarah periklanan di Indonesia, khususnya iklan komersial televisi. Melalui pelacakan sejarahnya, diharapkan dapat diperoleh pemahaman mengenai latar belakang dan peranan iklan komersial televisi di masa sekarang. Bab III. Tinjauan Kedudukan Iklan Komersial Televisi Dari Aspek Yuridis, Sosial, dan Budaya. Memaparkan telaah iklan komersial televisi secara yuridis, sosial, dan budaya. Juga dampaknya dalam kehidupan masyarakat. Tujuan: memberikan pemahaman yang menyeluruh mengenai kedudukan dan pengaruh iklan komesial televisi secara yuridis, sosial, dan budaya. Sehingga melalui pemahaman tersebut diperoleh pula pengertian mengenai dampak iklan komersial televisi dalam kehidupan masyarakat.
19
Bab IV. Spiritualitas Yesus dalam Khotbah Di Bukit. Memaparkan spiritualitas Yesus melalui penafsiran dan penggalian terhadap Khotbah Di Bukit (Matius 5-7). Tujuan: melalui pemaparannya diperoleh gambaran mengenai titiktitik kontra antara nilai-nilai iklan komersial televisi dengan semangat dan nilai-nilai yang Yesus ajarkan. Bab V. Penutup Kesimpulan dan saran. Memaparkan kesimpulan yang didapat dari semua pembahasan dalam tesis ini. Selain itu, juga berisi saran-saran praktis setelah mendapat gambaran menyeluruh mengenai iklan komersial televisi dalam kaitannya dengan nilai-nilai dan hidup orang Kristen di tengah masyarakat.
20