1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Sejak tahun anggaran 2013, kewenangan atas pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) beralih dari Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPB) kepada Direktorat Jenderal Anggaran (DJA). Pengalihan kewenangan tersebut didasarkan pada Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 293/KMK.01/2012 tentang Pelimpahan Wewenang Kepada Direktur Jenderal Anggaran Untuk dan Atas Nama Menteri Keuangan Mengesahkan Dokumen Pelaksanaan Anggaran. Keputusan tersebut dilatarbelakangi oleh alasan efisiensi dan efektivitas, agar dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada para stakeholder. Pada praktek pengesahan DIPA sebelum adanya kebijakan ini, satuan kerja (satker) harus berhubungan dengan dua unit organisasi Eselon I yang berbeda. Pertama, satker harus ke DJA untuk menyelesaikan pembahasan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA K/L). Hasil penelaahan RKA K/L tersebut akan dijadikan dasar dalam penyusunan Rancangan Undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN), yang selanjutnya akan diajukan dan dibahas secara bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kedua, satker harus menyusun DIPA berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) tentang Rincian Anggaran Belanja Pemerintah Pusat, untuk selanjutnya disampaikan kepada DJPB guna memperoleh pengesahan. Proses tersebut
2
dianggap tidak efisien karena data-data yang ada dalam Keppres itu pada dasarnya diambil dari data-data RKA K/L yang telah mendapat persetujuan DPR. Dengan pengalihan kewenangan tersebut, praktek pengesahan DIPA yang semula dilayani dua pintu (dua eselon 1, yakni DJA dan DJPB) kini diselesaikan di satu pintu saja, yakni di DJA. Setelah menyampaikan RKA K/L, satker tinggal menunggu DIPA diterbitkan oleh DJA dan tidak perlu lagi menyusun DIPA sebagaimana pada praktek sebelumnya. Penyusunan DIPA kini hanya diwakili oleh unit Eselon I masing-masing, sementara DIPA satker ditransfer dari datadata aplikasi RKA K/L. Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk meningkatkan kualitas layanan kepada stakeholder, sebagai respons terhadap keluhan petugas satuan kerja terkait lamanya waktu yang dibutuhkan dalam proses pengesahan DIPA. Diharapkan dengan kebijakan tersebut juga akan berdampak pada penajaman fokus dari peran dan fungsi DJPB serta bermuara pada percepatan proses realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Usulan atas kebijakan tersebut diawali dengan kajian dari DJA terhadap Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 dan Undang-undang nomor 1 Tahun 2004. Dalam kajian tersebut disimpulkan bahwa Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN)-lah yang akan mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran. Namun kemudian DJA mempertanyakan direktorat jenderal manakah yang dimaksud sebagai Kuasa BUN, karena dalam kedua UU tersebut tidak disebutkan dengan jelas apakah DJA atau DJPB. Oleh sebab itu, DJA mengusulkan kebijakan agar kewenangan pengesahan DIPA berada di DJA
3
sebagai wujud respons terhadap keluhan satker melalui peringkasan alur birokrasi. Sementara itu, kajian yang dilakukan oleh Rudy (2004) menyimpulkan bahwa usulan kebijakan tersebut tidak sesuai dengan semangat reformasi kelembagaan yang pada saat itu ditempuh melalui pola pemisahan fungsi, yakni fungsi perencanaan dan fungsi pelaksanaan anggaran. Penjelasannya didasarkan pada ulasan tentang bagaimana mekanisme dan siklus APBN. Perencanaan APBN diawali dengan penyampaian pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka makro ekonomi kepada DPR sebagai dasar acuan bagi Kementerian/Lembaga (K/L) dalam mengajukan rencana kerja. Selanjutnya, rencana kerja dari semua K/L akan dikompilasi oleh koordinator yang ditunjuk oleh Presiden selaku kepala pemerintahan. Untuk keperluan tersebut, Presiden menguasakannya kepada Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal. Menteri Keuangan bersama Kementerian/Lembaga pada sisi yang sama akan berhadapan dengan DPR pada sisi yang berbeda, mengajukan Rancangan UU APBN untuk selanjutnya dibahas. Dalam tahap ini, Menteri Keuangan berperan dalam perencanaan anggaran pemerintah, yang diwakili oleh DJA. Dengan demikian, DJA berperan mulai dari anggaran dirancang sampai dengan persetujuan oleh DPR. Jadi, batasan perencanaan dalam hal ini adalah pada proses pembicaraan politis antara pihak eksekutif dengan legislatif sampai dengan penetapan Undang-undang APBN dan rincian UU APBN pada tataran teknis. Agar UU APBN tersebut dapat dilaksanakan oleh K/L, maka pimpinan lembaga eksekutif menerbitkan dokumen pelaksanaan anggaran. Dalam masa
4
pelaksanaan anggaran ini, Menteri Keuangan tidak lagi berada dalam sisi yang sama dengan K/L seperti pada fase perencanaan, namun Menteri Keuangan berada pada sisi yang berhadapan dengan K/L. Dalam tahap ini, Menteri Keuangan akan berperan sebagai Bendahara Umum Negara, sedangkan para Menteri atau Pimpinan Lembaga berperan sebagai Pengguna Anggaran. Dari uraian siklus anggaran tersebut, tampak perbedaan status Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal dalam fase perencanaan dengan status Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara dalam fase pelaksanaan anggaran. Kebijakan pengalihan kewenangan pengesahan DIPA dari DJPB kepada DJA kiranya juga perlu memperhatikan pemikiran yang terjadi dalam masa reformasi kelembagaan Departemen Keuangan, khususnya dalam proses pemisahan antara kedua ditjen. Hal ini penting agar dipahami dengan jernih, makna dari pemisahan kedua instansi tersebut dari sisi fungsi dan tugas pokoknya masing-masing. Dengan pemisahan fungsi perencanaan dengan fungsi pelaksanaan anggaran tersebut, diharapkan DJA tidak lagi menjadi direktorat yang memiliki kewenangan yang super, sehingga dapat mendukung terwujudnya tujuan utama dari reformasi kelembagaan, yakni menciptakan tata kelola keuangan negara yang bersih. Pemisahan tersebut akan meningkatkan kualitas mekanisme saling uji (check and balance) anggaran. Hal ini menyusul adanya suatu keyakinan bahwa kasus kebocoran anggaran yang terjadi selama ini disinyalir disebabkan oleh bersatunya peran perencana dan pelaksana. Memperhatikan
pemikiran
konsepsi
yang
menjadi
dasar
dari
dilaksanakannya reorganisasi Departemen Keuangan pada masa itu, maka esensi
5
keberadaan DJA dan DJPB adalah dalam rangka pemisahan fungsi perencanaan dan fungsi pelaksanaan anggaran. Sejalan dengan itu, apabila diperhatikan dari sisi pengartian dalam berbagai regulasi yang telah ditetapkan Menteri Keuangan sebelumnya, penelaahan dan pengesahan DIPA sendiri sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.02/2012, dimaknai sebagai bagian dari pelaksanaan anggaran. Dengan demikian, kebijakan pengalihan kewenangan pengesahan DIPA dari DJPB kepada DJA dapat diartikan sebagai langkah penggabungan kembali fungsi perencanaan dengan sebagian fungsi pelaksanaan anggaran. Padahal, menurut Kansil & Kansil (2008:141) pola pemisahan kewenangan merupakan salah satu kaidah yang baik dalam pengelolaan keuangan negara dan harus dilakukan secara konsisten untuk mencegah dan/atau meminimalisir terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara. Selain itu, terdapat potensi munculnya permasalahan lain di tataran pelaksanaan anggaran, khususnya dalam mekanisme pembayaran dan pencairan dana APBN yang disebabkan oleh adanya prasyarat in-line yang harus dipenuhi antara unit yang melakukan penelaahan dan pengesahan DIPA dengan kantor yang akan melakukan pencairan dana terutama dalam hal kesesuaian DIPA dengan prinsip pembayaran/pencairan dana dan Standar Akuntansi Pemerintah. Hal tersebut sangat dimungkinkan terjadi karena keduanya berada pada unit Eselon I yang berbeda, baik kewenangan pengaturan kebijakan pelaksanaan anggaran maupun dalam teknis koordinasi di lapangan.
6
Dari aspek kelembagaan, DJA tidak memiliki kantor di daerah dan selama ini hanya fokus kepada RKA K/L saja. Untuk itu Menteri Keuangan pada saat itu mengarahkan bahwa harus ada pelimpahan wewenang dari DJA kepada kanwil DJPB di daerah untuk membantu kerja DJA di daerah. Jadi, pada konteks tataran teknis, kanwil DJPB sebagai unit vertikal DJPB tetap melaksanakan sebagian fungsi DJA. Kebijakan pengalihan kewenangan pengesahan DIPA ini seakanakan mengaburkan esensi dari fungsi kedua Ditjen. Di level puncak kewenangan pengesahan DIPA menjadi milik DJA, namun pada level bawah dikerjakan oleh DJPB. Namun, di luar daripada itu ada hal yang tidak kalah pentingnya, yakni tentang bagaimana hasil kebijakan. Pun tanpa mempermasalahkan letak kewenangan pengesahan DIPA, kebijakan-kebijakan menyangkut pelaksanaan APBN pada akhirnya dirancang untuk menjadikan pencairan anggaran lebih cepat dan proporsional, manajemen kas menjadi lebih baik, dan pertanggungjawaban menjadi lebih transparan sehingga program-program pemerintah memperoleh hasil (outcome) sesuai yang diharapkan. Penting untuk mengkaji bagaimana kualitas pelayanan dari aspek akuntabilitas, transparansi dan responsivitas setelah kebijakan pengalihan kewenangan pengesahan DIPA tersebut. Akuntabilitas berkaitan dengan apakah proses dan hasil kebijakan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan peraturan yang berlaku, serta apakah proses yang ada tidak membuka peluang terhadap praktek yang menyalahi norma yang berlaku di masyarakat. Transparansi berkaitan dengan apakah informasi mengenai proses pengesahan DIPA dapat diakses oleh pihak-pihak yang
7
berkepentingan, yang dapat mendukung kelancaran proses tersebut. Sementara responsivitas berkaitan dengan sejauh mana daya tanggap penyelenggara proses pengesahan DIPA, dalam hal ini DJA dan Kanwil DJPB, terhadap keluhan dan harapan dari para stakeholders. Dengan mekanisme alur koordinasi dan pendelegasian kewenangan secara lintas Eselon I, apakah DJA dan Kanwil DJPB dapat memberikan pelayanan yang lebih cepat terhadap setiap permasalahan yang dihadapi oleh para satuan kerja. Sebagai gambaran awal hasil kebijakan dari sisi percepatan realisasi anggaran, di bawah ini disajikan grafik realisasi pagu APBN lingkup Kanwil DJPB Provinsi D.I.Yogyakarta untuk tahun 2011 hingga tahun 2014 berdasarkan data yang diolah dari aplikasi monev pelaksanaan anggaran, yang ternyata tidak menunjukkan adanya perbaikan yang berarti. Hal ini dapat berarti bahwa kebijakan pengalihan kewenangan pengesahan DIPA belum berdampak pada percepatan realisasi anggaran pada dua tahun pertama implementasi kebijakan. Gambar 1.1. Grafik Realisasi Pagu APBN lingkup Kanwil DJPB Prov.DIY realisasi pagu APBN (%)
120.00 100.00 80.00
2011
60.00
2012 2013
40.00
2014
20.00 0.00 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12 bulan
Sumber: Aplikasi Monev Pelaksanaan Anggaran (diolah) Selain
itu,
Halim
(2014:105)
mengemukakan
bahwa
rendahnya
penyerapan anggaran disebabkan oleh empat hal, yaitu (1) terhalang oleh proses
8
lelang dan pengadaan barang dan jasa; (2) ketakutan Pejabat Pembuat Komitmen atas ancaman hukum apabila terjadi kerugian negara dan kesalahan administrasi; (3) perencanaan anggaran yang buruk; dan (4) adanya mekanisme blokir yang diberlakukan oleh DPR dan/atau DJA. Hal ini menjadi menarik karena ternyata mekanisme revisi DIPA tidak masuk ke dalam penyebab rendahnya penyerapan anggaran. Memperhatikan hasil kajian dari DJA dan hasil kajian yang dilakukan oleh Rudy, serta mengamati grafik realisasi pagu APBN di atas, membuat peneliti tertarik untuk mengkaji bagaimana perbandingan implementasi kebijakan antara praktek pengesahan DIPA pada saat dilaksanakan oleh DJPB dan pada saat dilaksanakan oleh DJA.
1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan pemaparan di atas, maka masalah penelitian yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana implementasi kebijakan pengalihan kewenangan pengesahan DIPA dari DJPB kepada DJA? Implementasi kebijakan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah proses implementasi (process) dan hasil implementasi (result) dikaitkan dengan tujuan kebijakan yang telah ditetapkan, yakni peningkatan kualitas pelayanan kepada satuan kerja. Hasil implementasi tersebut bukan ditujukan untuk menilai hasil akhir dari kebijakan, namun lebih kepada sejauh mana pencapaian tujuan kebijakan yang diperoleh dari proses implementasi tadi. Hasil kebijakan kemudian difokuskan pada tiga variabel yang dapat menggambarkan kualitas
9
pelayanan pengesahan DIPA, yakni akuntabilitas, transparansi dan responsivitas. Dalam konsep efektivitas implementasi, suatu implementasi dapat dikatakan efektif apabila terjadi efektivitas pada tingkat prosedural dan juga pada tingkat tujuan/hasil yang hendak dicapai (Sumaryadi, 2005:112). Untuk menilai apakah terjadi peningkatan kualitas layanan sebagaimana yang ditetapkan sebagai tujuan kebijakan, maka perlu membandingkan antara proses dan hasil pada saat kewenangan pengesahan DIPA berada pada DJPB dan pada saat kewenangan tersebut telah dialihkan kepada DJA. Oleh karena itu, rumusan masalah tersebut di atas dijabarkan ke dalam dua pertanyaan penelitian sebagai berikut. 1. Bagaimana perbandingan proses pengesahan DIPA antara praktek pada saat pengesahan DIPA masih dilaksanakan oleh DJPB dan pada saat dilaksanakan oleh DJA, dan apa saja kendalanya? 2. Bagaimana hasil kebijakan yang dicapai dari implementasi kebijakan tersebut jika dibandingkan dengan pada saat pengesahan DIPA masih dilaksanakan oleh DJPB?
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk mendalami implementasi kebijakan pengalihan kewenangan pengesahan DIPA dari DJPB kepada DJA, di mana Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Kanwil DJPB Prov.DIY) sebagai objek penelitian. Kajian ini membandingkan mekanisme pengesahan DIPA antara praktek pada saat masih dilaksanakan oleh DJPB dan pada saat dilaksanakan oleh DJA, meliputi
10
kesesuaian
implementasi,
kendala-kendala
yang
ditemui
dalam
proses
implementasi, serta sejauh mana pencapaian sementara tujuan kebijakan yang diperoleh dari proses implementasi tersebut. Penilaian terhadap hasil menjadi penting karena suatu kebijakan mungkin telah diimplementasikan secara efektif, tetapi gagal memperoleh dampak substansial karena kebijakan tidak disusun dengan baik atau karena keadaan-keadaan lainnya (Winarno, 2008:151). Adapun hasil kebijakan yang dikaji difokuskan pada tiga aspek yang dapat menggambarkan kualitas pelayanan, yakni akuntabilitas, transparansi dan responsivitas. Secara khusus, tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk: 1. Mengkaji perbandingan proses pengesahan DIPA antara mekanisme pada saat pengesahan DIPA masih dilaksanakan oleh DJPB dan pada saat mekanisme pengesahan DIPA dilaksanakan oleh DJA, beserta kendala-kendalanya. 2. Mengkaji hasil dari implementasi kebijakan tersebut, jika dibandingkan dengan hasil pada saat pengesahan DIPA masih dilaksanakan oleh DJPB.
1.4. Manfaat Penelitian Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan menambah referensi kajian implementasi kebijakan, khususnya untuk kasus kebijakan yang menyangkut kewenangan lintas organisasi (eselon I). Secara praktis, Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan bagi pembuat kebijakan di Kementerian Keuangan dalam rangka mengevaluasi implementasi kebijakan pengalihan
11
kewenangan pengesahan DIPA dari Direktorat Jenderal Perbendaharaan kepada Direktorat Jenderal Anggaran.