BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak berakhirnya Perang Dingin, konsep keamanan tentang hubungan internasional telah berevolusi.Seiring runtuhnya rezim Uni Soviet, percaturan politik internasional bergeser dari hard politics ke arena soft politics.Keamanan tidak lagi bicara soal militerisme melainkan mengarah pada area yang lebih hakiki yakni keamanan manusia (human security). United Nations Development Program (UNDP) melaporkan melaluiHuman Development Report 1994, bahwa konsep keamanan bukan lagi terbatas pada kekuatan dan keseimbangan militer namun juga termasuk konsep keamanan dan keselamatan dari ancaman kronis, seperti kelaparan, penyebaran penyakit, represi serta perlindungan dari bahaya atau gangguan dalam kehidupan sehari-hari.1Konsep keamanan manusia mempunyai 2 dimensi kunci yaitu, “Freedom from fear” and “Freedom from want” yang artinya terbebas dari rasa takut akibat kekerasan secara fisik dan kebebasan untuk mendapatkan sesuatu yang merupakan kebutuhan dasar. Berikut 7 komponen yang menjadi ancaman terhadap keamanan manusia: keamanan ekonomi, keamanan pangan, keamanan kesehatan, keamanan lingkungan hidup, keamanan politik, keamanan komunitas dan keamanan personal.2 Menurut Johan Galtung bentuk-bentuk ancaman bisa berupa secara fisik (direct violence) maupun kekerasan secara tidak langsung (structural violence).3Ancaman secara langsung dapat
1
S. Tadjbakhsh & A.M. Chenoy, Human Security Concepts and Implications, Routledge USA and Canada 2007, p.15. 2 UNDP, Human Development Report 1994,Oxford University Press,UK,pp. 23-25 3 J.Johansen, „Non Violence: More than the Absence of Violence‟ dalam J. Galtung & C.Webel The Handbook of Peace and Conflict Studies, Routledge, USA 2007, p.151. 1
mudah sekali diidentifikasi seperti kekerasan dalam bentuk fisik yang merupakan bagian dari ancaman personal.Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa kekerasan akibat dari kelalaian pemerintah dalam mengambil kebijakan dalam menangani sebuah isyu dapat mengakibatkan kekerasan struktural atau kekerasan yang tidak terlihat secara nyata namun berdampak langsung kepada masyarakat.Hal ini bisa terjadi kepada siapa termasuk kelompok masyarakat yang paling rentan, yakni mereka yang belum berusia 18 tahun, yaitu anak-anak di seluruh dunia yang menjadi korban child trafficking. Kondisi child trafficking di dunia bisa dikatakan cukup menghawatirkan, terdapat 250 juta anak-anak dipekerjakan dan 60% berada di wilayah Asia.4 Estimasi dari International Labour Organization (ILO) menunjukan terdapat sekitar 1,2 juta anak-anak di dunia setiap tahunnya diperdagangkan termasuk Indonesia.5Trafficking, termasukchild trafficking bisa dikatakan sebagai „modern day slavery‟ atau perbudakan manusia modern yang mencakup eksploitasi dalam pekerjaan komersil secara sukarela maupun secara paksa seperti prostitusi, pornografi, perbudakan domestik di dalam maupun luar negeri, pernikahan dini, dan penjualan organ vital yang merupakan ancaman bagi setiap individu. Trafficking adalah sebuah bisnis besar yang sangat menjanjikan, PBB melaporkan bahwa kejahatan trafficking termasuk anak dan perempuan yang diperjualbelikan untuk tujuan eksploitasi seksual merupakan salah satu sindikat kriminal terbesar dunia yang menghasilkan US$ 9,5 juta.6 Indonesia bukan saja sumber trafficking namun juga menjadi tempat transit dan negara tujuan baik domestik maupun internasional.7 UNICEF memperkirakann bahwa 100.000 4
„Trafficking in Children in Asia; a regional overview’, oleh K.C. Tumlin,
,diaksespada 20 Februari 2011. 5 International Labour Organization, Forced Labour Statistics Factsheet, 2007. 6 „Senjata Menumpas Trafiking dan Payung Hukum bagi Korban Trafiking.2010, ,diakses pada 16 Februari 2011. 7 International Organization for Migration (IOM), Annual Report 2009. 2
anak-anak dan perempuan Indonesia menjadi korban trafficking setiap tahunnya untuk tujuan komersial di dalam negeri maupun negara-negara lainnya.8 Anak-anak menjadi hal yang menarik untuk diteliti karena anak-anak merupakan kelompok yang paling rentan dan tidak berdaya yang membutuhkan perlindungan khusus. Anakanak cenderung bergantung kepada orang-orang di sekitar terutama orang tua, ketika orang terdekat merelakan dan melepaskan mereka untuk dipekerjakan, dipindahtangankan atau dijual, anak-anak tidak diikutsertakan dalam pengambilan keputusan dan merekapuntidak memahami ancaman atau bahaya apa yang akan dihadapi sehingga mereka tidak banyak melawan. Selain itu seperti yang diatur dalam Konvensi Hak Anak (KHA) bahwa anak-anak dijamin dan dilindungi haknya oleh Negara dengan prinsip non-diskriminasi; kepentingan terbaik untuk anak; hak hidup, kelangsungan dan perkembangan; penghargaan terhadap pendapat anak. Anak juga mempunyai hak atas atas lingkungan keluarga; kesehatan dan kesejahteraan dasar; pendidikan, waktu luang dan kegiatan budaya; perlindungan khusus dan kebebasan sipil. Lebih daripada itu sesuai dengan Pasal 37 bahwa Negara harus memastikan bahwa tidak ada seorang anakpun yang mengalami siksaan, atau kekejaman lainnya dan perlakuan yang menurunkan martabat. 9 Hal ini tentu sangat bertentangan dengan kondisi anak-anak yang telah menjadi korban child trafficking. Sekitar 30% dari pekerja seks komersil (PSK) wanita adalah anak-anak di bawah 18 tahun.10 Anak-anak Indonesia kerap diperdagangkan dan dikirimkan ke Malaysia, Arab Sad, Singapura, Jepang, Kuwait dan Irak yang berasal dari daerah Jawa, Kalimantan Barat, Lampung, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan.11 Modus child trafficking lintas batas biasa dilakukan 8
„Unicef Indonesia Child Trafficking Fact Sheet‟,,diakses pada 17 Februari 2011. 9 Disarikan dari Konvensi Hak Anak, Perserikatan Bangsa-Bangsa. 10 „Unicef Indonesia Child Trafficking Fact Sheet‟, , diakses pada 17 Februari 2011. 11 United States Department of State, Trafficking in Persons Report 2010 – Indonesia, , diakses pada 1 Maret 2011. 3
dengan memalsukan identitas korban untuk dapat mengelabuhi petugas imigrasi, hal ini terjadi akibat tidak mempunyai akta kelahiran yang jelas.12 Begitupun sebaliknya Indonesia menjadi tempat transit dan tujuan pelaku trafficking internasional dalam menjalankan bisnisnya terutama dari China, Thailand, Hongkong, Uzbekistan dan Singapura.13 Mereka biasanya masuk ke Indonesia dengan visa kunjungan wisata atau kunjungan usaha yang berlaku selama 6 bulan, tetapi sesampainya di Indonesia mereka menjadi PSK di rumah-rumah bordil atau hotel. Selain itu, rentannya kondisi Indonesia akan bencana alam seperti tsunami, gempa, longsor, dan lainnya juga memicu maraknya orang-orang tidak bertanggung jawab untuk melakukan kejahatan tersebut. Sebanyak 2.000 anak menjadi yatim piatu akibat dari tsunami di Aceh dan tercatat setidaknya 20 anak yatim piatu dikabarkan menjadi korban child trafficking.14 Indonesia disebutkan pernah menjadi negara terburuk ke-3 di dunia dalam penanganan trafficking karena lemahnya supremasi hukum dan kurangnya kesadaran dan tindakan yang nyata dari pemerintah maupun dari masyarakatnya.15 Walaupun tidak ada hukum yang mengatur mengenai child trafficking secara khusus namun dalam perjalanannya pemerintah Indonesia berusaha memperlihatkan kepeduliannya dalam menangani isyu trafficking dengan meratifikasi konvensi internasional melalui pembuatan kebijakan dan regulasi nasional yang membuat Indonesia saat ini berada pada Tier 2, naik peringkat dari Tier 3 (2001). Hal ini menunjukan progres dalam standar Trafficking Victims Protection Act’s (TVPA) dalam kebijakan pemerintahnya, walaupun Indonesia tidak sepenuhnya memenuhi standar minimum TVPA menurut laporan yang dikeluarkan oleh The Department of State's Office to Monitor and Combat 12
R.Rosenberg, „Trafficking of Women and Children in Indonesia’, USAID and Agency for International Department, p.25. 13 „Indonesia‟,, diakses pada 18 Februari 2011. 14 ‘At Least 20 Tsunami Orphans Victim of Child Trafficking’.2005, diakses 18 Februari 2011. 15 „Indonesia third worst in women, child trafficking’, Jakarta Post. 2003, , diakses pada 17 Februari 2011. 4
Trafficking in Persons.16 Namun hal ini bukan berarti isyu trafficking atau lebih spesifik child trafficking di Indonesia sudah diatasi dan tidak mengancam keamanan manusia. Belum ada data yang jelas mengenai jumlah korban trafficking di Indonesia dikarenakan terbatasnya data dari instasi pemerintahan.17Sebagai contoh data Bareskrim POLRI melaporkan terdapat penurunan angka kasus child trafficking sejak tahun 2007. Tabel 1.1 Data Korban Perdagangan Orang Bareskrim POLRI (2007 -2011) Korban Perdagangan Orang Tahun
Jumlah kasus
Korban Dewasa
Korban Anak-anak
Perempuan
Laki-laki
Perempuan
Laki-Laki
Total
2007
123
207
3
69
2
281
2008
210
212
307
75
13
607
2009
142
145
63
66
1
275
2010
94
70
10
50
2
132
2011
77
94
23
34
0
151
646
728
406
294
18
646
Total
Namun dari wawancara yang dilakukan penulis dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) anak, Yayasan SAMIN di Yogyakartapenurunan jumlah korban child trafficking di Indonesia pada tahun 2009 bukan jadi patokan keberhasilan pemerintah, karena data yang masuk hanya berdasarkan korban yang melapor, bukan jumlah korban yang terjadi sesungguhnya.18 Berbagai macam bentuk perlindungan hukum bagi anak-anak sudah dilakukan oleh pemerintah dalam tingkat nasional, regional dan internasional. Pemerintah sudah meratifikasi 16
‘Trafficking in Persons Report 2012‟, the Department of State's Office to Monitor and Combat Trafficking in Persons, p.187. 17 F.David, „ASEAN and Trafficking in Persons: Using Data as a Tool to Combat Trafficking in Persons‟, 2006. Switzerland: International Organization for Migration Publisher, p.41. 18 Wawancara dengan Fathudin, Pekerja Sosial Yayasan Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (SAMIN), Yogyakarta, 28 Februari 2011. 5
Deklarasi PBB mengenai KHA dan Protokol Palermo mengenai Pencegahan, Pemberatasan dan Hukuman terhadap kejahatan trafficking, bahkan dalam tahun 2012 saja Pemerintah Indonesia telah meratifikasi 3 konvensi sekaligus, yaitu Konvensi mengenak Hak-hak Buruh Migran dan Keluarganya; Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi Anak dan Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak mengenai Anak Dalam Konflik Bersenjata. Selain itu dalam tingkat regional terlihat keseriusan Indonesia bersama ASEAN dalam melawan trafficking dengan membentuk deklarasi ”ASEAN Declaration Against Trafficking in Persons Particularly Women and Children.” Dalam ASEAN Declaration yang ditetapkan pada 2004 yang mendesak dan melakukan pendekatan regional yang komprehensif untuk mencegah dan memberantas kejahatan trafficking terutama perempuan dan anak-anak.19 Selain itu terdapat perjanjian-perjanjian yang dilakukan secara bilateral maupun sekelompok negara yang peduli kepada isyu tersebut. Walaupun belum ada regulasi yang mengatur khusus mengenai child trafficking namun dalam tingkat nasional, Indonesia sudah memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur larangan kejahatan trafficking yang cukup komprehensif. Penetapan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UUPTPPO) adalah salah satu respon pemerintah terhadap tekanan dunia internasional dan masyarakat madani untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat. Selain itu, ada pula perundang-undangan yang mendukung seperti Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA), dan beberapa perundangan yang saling melengkapi. Sebagai bagian dari turunan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, Presiden juga turut 19
‘Protecting Children Against Trafficking: Southeast Asian Guidelines‟, 2006,, diakses pada 17 Februari 2011. 6
memasukan instrumen kebijakan Rencana Aksi Nasional (RAN) untuk memberantas perdagangan orang terhadap perempuan dan anak (2002-2007) melalui Keputusan Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 yang kemudian diperbaharui dengan RAN Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Eksploitasi Seksual Anak melalui Keputusan Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2008untuk membentuk Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang.RAN kini menjadi fondasi dan pedoman pemerintah sekaligus masyarakat sipil dalam mengimplementasikan penanganan traffickingterhadap wanita dan anak-anak yang dijalankan selama periode 5 tahun.20 Dengan pembentukan undang-undang nasional dan kebijakan-kebijakan terkait meratifikasi perjanjian internasional dan turut menjadi bagian dan bersama-sama dengan masyarakat internasional memberantas trafficking tapi pada kenyataanya kejahatan child trafficking belum dapat benar-benar dituntaskan. Dari penjabaran yang telah disampaikan, penulis mencoba menganalisa bahwa pemerintah telah mengarah pada respon yang positif
terhadap kasus child trafficking di
Indonesia, dengan mengeluarkan kebijakan yang cukup komprehensif, namun yang menarik adalah, kebijakan tersebut tidak dapat mencegah lajunya ancaman kejahatan trafficking khsusnyachild trafficking. Hal ini dapat menjadi indikator bahwa implementasi kebijakan yang dilakukan tidak sejalan dengan komitmen pemerintah secara tertulis. Hal ini sangat memprihatinkan, jika kita melihat inti dari konsep keamanan manusia yang menyebutkan bahwa setiap individu harus terlepas dari ancaman yang bentuknya berupa direct violence maupun structural violencesudah menjaditanggung jawab pemerintah sebagai aktor yang melindungi warga negara seperti dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45). Walau demikiantetap saja kebijakan-kebijakan dari pemerintah masih belum dapat melindungi anakanak dari ancaman bahaya tersebut.Oleh karena itu penulis ingin mengeksplorasi dan mengetahui 20
R. Rosenberg, Trafficking of Women and Children in Indonesia, p.219. 7
lebih jauh bagaimana penanganan child trafficking di Indonesia dan mengapa child trafficking belum bisa diatasi?
1.2 Rumusan Masalah “Bagaimana penanganan child trafficking di Indonesia dan mengapa child trafficking belum bisa diatasi?”
1.3 Tujuan Penelitian 1. Mengetahui bentuk-bentuk dan kondisi child trafficking di Indonesia; 2. Mengetahui regulasi pemerintah dalam upaya pencegahan dan penanganan child trafficking; 3. Mengetahui kelemahan kebijakan pemerintah sesuai dengan konsep keamanan manusia.
1.4 Tinjauan Pustaka Sebagai pedoman dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan beberapa pustaka untuk memperkuat dan menjabarkan keseluruhan isi dari tesis ini. Berikut adalah nama-nama buku yang menjadi tinjauan pustaka penulis: “Human Trafficking, Human Misery : The Global Trade in Human Beings” buku oleh seorang peneliti United Nations Interregional Crime and Justice Institute, Alexis A. Aronowitz, adalah buku yang ditulis pada tahun 2009 menceritakan bagaimana trafficking menjadi sebuah kejahatan global dan merupakan sebuah bentuk perbudakan modern “modern day slavery”. Alexis memaparkan penderitaan korban-korban trafficking dan menjabarkan sudut dan celah
8
praktik kejahatannya berdasarkan pengalamannya di lapangan. Buku ini secara spesifik membahas sindikat trafficking dan menjelaskan bagaimana dan mengapa kejahatan terjadi sekaligus menjelaskan bagaimana kejahatan indapat tumbuh subur sebagai peluang pasar baru akibatperkembangan internet, perjalanan internasional, operasi militer dan berbagai peristiwa bencana alam.Peran-peran penegak hukum dan pihak-pihak berkepentingan untuk mencegah terjadinya trafficking dan bentuk-bentuknya juga dibahas dalam tulisan ini. Penulis melihat bahwa tulisan ini masih belum manjabarkan secara terperinci apa yang terjadi kepada korban child trafficking secara khusus karena penelitian masih terlalu luas. Selain itu tidak dijelaskan ancaman-ancaman seperti apa yang mereka terima sebagai seorang individu. “Trafficking of Children in Indonesia a Preliminary Description of the Situation” adalah sebuah penelitian yang dilakukan oleh International Labour Organization (ILO) dan Fakultas Sosial dan Politik Universitas Indonesia tahun 2000 yang menjabarkan tentang ancaman child trafficking sebagai isyu global, membahas mengenai kecenderungan pola child trafficking yang terjadi di Indonesia terutama wilayah Jakarta, Batam dan Bali. Penulis memaparkan kebijakankebijakan pemerintah dan menilai kapasitas mitra yang berpotensi diajak bekerjsama dalam memberantas child trafficking.Penulis melihat ada satu aspek pendekatan yang belum dibahas pada penelitian tersebut, yakni keamanan manusia, bagaimana pemerintah dapat mengancam masyarakat yang notabennya harus dilindungi. Kemudian kebijakan apa yang harus dan belum dilakukan oleh pemerintah mengacu pada jumlah korban child traffickingyang belum dapat diatasi dalam kacamata keamanan manusia. Terakhir penelitian yang disunting oleh Ruth Rosenberg “Trafficking of Women and Children in Indonesia” pada tahun 2003, yakni pemaparan tentang kasus trafficking perempuan dan anak yang terjadi di Indonesia termasuk faktor pemicu, bagaimana melawan
9
traffickingsecara terperinci yang mencakup wilayah yang rentan di Indonesia, melakukan reviu terhadap hukum yang diberlakukan pemerintah dan membahas perjanjian internasional serta aksi nasional untuk mengurangi trafficking perempuan dan anak. Namum penelitian tidak fokus membahas masalah anak-anak selain itu pembahasan secara komprehensif mengenai pendekatan keamanan manusia tidak dielaborasi.
1.5 Kerangka Pemikiran dan Konsep 1.5.1 Konsep Child Trafficking Sebelum masuk pada definisi dan konsep child trafficking secara spesifik, kita kupas terlebih dulu apa definisi trafficking secara luas. Ketentuan hukum tentang trafficking in persons diatur secara internasional oleh badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), United Nations Office on Drugs and Crimes (UNDOC), dalam konvensi melawan kejahatan transnasional yang terorganisir termasuk di dalamnya Protokol Palermo yang mengatur tentang pencegahan, pemberantasan, dan hukuman terhadap pelaku kejahatan trafficking kepada individu terutama wanita dan perempuan. Dalam Protokol Palermo yang telah diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 2009, mendefinisikan kejahahatan trafficking sebagai berikut:21 Trafficking in persons shall mean the recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of persons, by means of the threat or use of force or other forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulnerability or of the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purpose of exploitation. Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or other forms of sexual exploitation, forced labour or services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of organs.22 21
Adalah sebuah Protokol yang dibentuk oleh United Nations Convention Against Tansnational Organized Crime tentang trafficking in persons. 22 UNDOC, „United Nations Convention Against Transnational Organized Crime and the Protocols Thereto,’, diakses pada 25 Agustus 2010. 10
Tabel 1.2 Flow Chart Pengidentifikasian Korban untuk Orang Dewasa23
Flow Chart Pengidentifikasian Korban Untuk Orang Dewasa (18 tahun atau lebih) Cara Ancaman atau penggunaan kekerasan
Proses
Eksploitasi Paksaan Kerja atau layanan paksa
Pengrekrutan Penculikan
Perbudakan atau praktek serupa
Pemindahan/ Transportasi Pemalsuan Transfer / Pemindahan tangan
untuk tujuan
dengan cara
Menjadikan pembantu secara paksa
Penipuan Pengambilan organ tubuh
Penyembunyian Penyalahgunaan Wewenang
Prostitusi atau bentuk eksploitasi seksual lainnya
Penerimaan Penyalahgunaan posisi yang rentan
Memberikan atau menerima pembayaran atau manfaat untuk mendapatkan persetujuan seseorang yang memiliki kendali atas manusia lain
Dalam Protokol Palermo disebutkan bahwa trafficking adalah segala bentuk aktifitas kegiatan yang merekrut, pengangkutan, memindahkan, penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penjeratan hutang, penyalahgunaan kekuasaan orang-orang yang rentan untuk tujuan eksploitasi dan mengurangi nilai-nilai kemanusiaan seseorang. Eksploitasi ini bisa dalam berbagai bentuk seperti eksploitasi seksual (prostitusi dan pornografi), buruh paksa, perbudakan, praktik serupa perbudakan, pelayanan paksa dan perdagangan organ tubuh. 23
Data bersumber dari presentasi „Apa itu Perdagangan Orang?‟ yang dibawakan oleh IOM pada 22 Mei 2013 dalam Lokakarya Strategi Penanggulangan Imigrain Ilegal di Indonesia. 11
Wawancara yang dilakukan oleh penulis dengan Yayasan SAMIN, Yogyakarta, disebutkan bahwa Protokol Palermo dengan tegas menyebutkan bahwa apapun kegiatan yang melibatkan salah satu dalam setiap unsur yang disebut di atas adalah bentuk dari kejahatan trafficking. Bukan hanya jika pelaku kejahatan melakukan semua kegiatan dalam setiap unsur di atas baru mereka disebut pelaku trafficking.24 Sedangkan definisi child trafficking menurut United Nations of Children’s Fund (UNICEF) adalah sebagai berikut: A child has been trafficked if he or she has been moved within a country, or across borders, whe-ther by force or not, with the purpose of exploiting the child.25
UNICEF kemudian menjelaskannya secara lebih komprehensif sebagai berikut: Jika seseorang berusia di bawah 18 tahun dan dipindahkan secara paksa maupun tidak di dalam atau melewati lintas batas negara dengan tujuan mengeksploitasi dan dimana seseorang mendapatkan keuntungan darinya maka hal tersebut dikatakan child trafficking. Seseorang yang dapat masuk ke dalam kategori pelaku trafficking adalah mereka yang memindahkan dan terlibat langsung dalam upaya eksploitasi anak seperti perekrut, penadah, penyedia dokumen palsu, penyedia transportasi, oknum pejabat, sponsor dan pelaku eksploitasi. Sementara menurut UNICEF, jika seseorang itu membawa pergi anak keluar di dalam atau ke luar negeri atau menyeberangi perbatasan tapi tidak untuk niat eksploitasi dan memperdagangkan, berarti dia bukan dikategorikan sebagai pelaku trafficking. Sedangkan dalam Protokol Palermo dijelaskan secara terperinci, bahwa yang dimaksud dengan child trafficking, yaitu:
24
Wawancara dengan Fathudin, Pekerja Sosial Yayasan Sekretariat Anak Merdeka Indonesia Indonesia (SAMIN), Yogyakarta, 28 Februari 2011. 25 UNICEF. ‟Note on the Definition of Child Trafficking’, , diakses pada 25 Agustus 2011. 12
Trafficking in children shall mean the recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of a child for the purpose of exploitation. Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or other forms of sexual exploitation, forced labour or services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of organs. Tabel 1.3 Flow Chart Pengidentifikasian Korban untuk Anak26
Flow Chart Pengidentifikasian Korban Untuk Anak (dibawah usia 18) Proses
Eksploitasi
Pengrekrutan
Kerja atau layanan paksa
Pemindahan/ Transportasi
Perbudakan atau praktek serupa
Transfer / Pemindahan tangan
untuk tujuan
Menjadikan pembantu secara paksa
Penyembunyian
Pengambilan organ tubuh
Penerimaan
Prostitusi atau bentuk eksploitasi seksual lainnya
Definisi yang disampaikan Protokol Palermo pada dasarnya punya esensi yang sama dengan pengertian trafficking secara umum namun yang membedakan adalah salah satu unsur yakni bagaimana cara korban memasuki proses trafficking diabaikan. Djailani menjelaskan bahwa ancaman atau penggunanan kekerasan, penculikan, pemalsuan, dan penipuan tidak perlu digunakan untuk membuktikan ada/tidaknya trafficking, karena tidak peduli caranya seperti apa,
26
Data bersumber dari presentasi „Apa itu Perdagangan Orang?‟ yang dibawakan oleh IOM pada 22 Mei 2013 dalam Lokakarya Strategi Penanggulangan Imigran Ilegal di Indonesia. 13
walaupun cara dilakukan secara sukarela dan mendapatkan persetujuan korban pelaku tetap bisa dijerat secara hukum.27 Saat ini sudah terdapat kemajuan penting untuk menyiapkan amunisi perang global untuk mengakhiri praktik child trafficking di Indonesia. Yakni dengan diratifikasinya The United Nations Convention on the Rights of the Child(KHA) pada 1989 yang mengatur mengenai hakhak sipil, politik, serta sosial, budaya, dan ekonomi anak-anak. Konvensi ini adalah alat yang disahkan secara hukum pertama kali dalam usaha mewujudkan hak-hak asasi manusia.Para pemimpin dunia memutuskan bahwa anak-anak memerlukan konvensi yang mengatur khusus mengenai mereka. Anak-anak di bawah usia 18 tahun memerlukan tindakan dan perlindungan khusus yang sering kali tidak diperlukan oleh orang dewasa. Para pemimpin tersebut juga ingin menegaskan bahwa anak-anak juga memiliki hak asasi.28 Begitupun dengan diratifikasinya Konvensi Melawan Kejahatan Transnasional yang Terorganisir, Protokol Palermo oleh Indonesia pada tahun 2009 merupakan angin segar bagi terciptanya keadilan bagi anak-anak di Indonesia. Dalam hukum Indonesia sendiri definisi “child trafficking” mengundang banyak kritik dari kalangan masyarakat madani karena tidak dibedakan dengan definisi trafficking secara umum dan tidak menyesuaikan dengan Protokol Palermo, menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007, dapat diartikan sebagai: tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dan orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang
27
Wawancara dengan M. Djailani, Koordinator Presidium Indonesia against Child Trafficking (Indonesia ACT), Jakarta, 08 April 2011. 28 UNICEF.„Convention on the Rights of the Child, , diakses pada 24 Agustus 2010 . 14
dilakukan di dalam Negara maupun antar Negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.29 Penjelasan eksplotasi juga dijabarkan dengan Undang-Undang yang sama Pasal 1 Ayat (7) dijabarkan sebagai tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh untuk memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.30
1.5.2 Konsep Keamanan Manusia Sejak berakhirnya Perang Dingin konsep keamanan pada hubungan internasional telah berevolusi.Dua kekuatan adidaya yang selama empat dasawarsa telah mendominasi percaturan politik dunia dan hubungan internasional pada high politics telah berubah.Kini, seiring runtuhnya rezim Uni Soviet, konsep keamanan itu sendiri mulai bergeser ke arena soft politics.Keamanan tidak lagi bicara soal militerisme melainkan mengarah pada area yang lebih hakiki, yakni keamanan manusia (human security). Pada tahun 1994 the United Nations Development Program (UNDP) dalam laporannya, Human Development Report, menyatakan bahwa konsep keamanan tradisonal bukan lagi terbatas pada kekuatan dan keseimbangan militer namun juga termasuk konsep keamanan dan
29
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2007, , diakses pada 19 Februari 2011. 30 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2007, , diakses pada 19 Februari 2011. 15
keselamatan dari ancaman kronis seperti kelaparan, penyebaran penyakit, represi serta perlindungan dari bahaya atau gangguan dalam kehidupan sehari-hari31. Dalam laporan UNDP 1994 dijelaskan bahwa konsep keamanan manusia mencakup, antara lain : keamanan ekonomi, keamanan pangan, keamanan kesehatan, keamanan lingkungan hidup, keamanan personal, keamanan komunitas, dan keamanan politik. Ketujuh hal tersebut diidentifikasikan menjadi komponen utama dari keamanan manusia yaitu “Freedom from fear” dan “Freedom from want” yang bertujuan untuk menciptakan dunia yang menghargai hak dan martabat manusia, yang dilandasi oleh adanya aturan hukum dan pemerintahan yang baik.32 Terdapat 4 karaktersitik yang membangun asumsi dasar pembentukan keamanan manusia, yakni pertama, keamanan manusia bersifat universal. Kedua, karakter interdependen, dimana ketika sebuah fenomena keamanan manusia terjadi maka akan berpengaruh pada manusia di belahan dunia lainnya. Ketiga, untuk mengatasi ancaman terhadap manusia lebih optimal jika dilakukan dalam bentuk pencegahan bukan intervensi ketika sudah terjadi.Keempat, keamanan manusia berorientasi kepada manusia (people-centered) hal ini menyangkut persoalan bagaimana seorang manusia dapat menentukan pilihan, mempunyai akses pada pasar dan peluang sosial.33 Konsep keamanan manusia digunakan oleh penulis karena konsep inidinilai mampu menjelaskan mengapa kebijakan yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah belum mampu mengatasi masalah child trafficking di Indonesia, yang notabene merupakan salah satu bentuk tanggung jawab negara dalam melindungi warga negaranya.Sebagai catatan bahwa setiap
31
Tadjbakhsh, p.20. Tadjbakhsh, p.15. 33 UNDP Reports 1994, p.23. 32
16
ancaman bersifat interdependensi yang berdampak pada dimensi keamanan lainnya dan ancaman tersebut dapat melintasi batas negara dan berimbas pada keamanan global. Konsep keamanan manusia sendiri tidak mempunyai definisi yang universal karena setiap negara dan akademisi mempunyai definisi masing-masing, seperti halnya Kanada yang menyatakan bahwa konsep keamanan manusia terlalu luas dan ambisius sehingga mereka hanya fokus kepada perlindungan terhadap kekerasan yang sifatnya langsung, sedangkan Jepang malah meluaskan definisinya dengan konsep “live in dignity” dimana tujuan utamanya adalah melindungi manusia dari kehidupan, mata pencaharian dan martabatnya sebagai manusia.34 Keamanan Ekonomi Basis yang mendasari keamanan ekonomi adalah tingkat pendapatan.Akan tetapi hanya seperempat dari jumlah orang di dunia yang merasa aman secara ekonomi.Banyak masyarakat di negara kaya yang merasa tidak aman, karena sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan dan mempertahankannya.Banyak dari kalangan generasi muda yang pengangguran.Orang yang bekerjapun banyak yang merasa tidak aman, karena sifatnya hanya sementara. Tantangan terbesar negara berkembang adalah pengangguran.Selain itu banyak diantara para pekerja yang diperlakukan dibawah standar pelayanan pekerja, seperti tidak adanya jaminan kesehatan.Namun untuk tetap bertahan hidup mereka terpaksa bekerja untuk sesuatu yang tidak produktif dan dibayar di bawah standar. Ketidakamanan pendapatan sangat dirasakan melanda negara-negara industri.Rendahnya pendapatan hingga menimbulkan rasa tidak aman membuat masyarakat meminta bantuan kepada pemerintah.Namun upaya mereka sia-sia, persoalan anggaran di negara-negara industri tidak
34
B.V. Tigerstrom, Human security and International Law: Prospects and Problems, Oxford and Portland, Oregon: USA 2007, pp.28-29. 17
dapat diuraikan dalam jaring-jaring sosial.Kondisi ini berdampak pada peningkatan kemiskinan, dan dampak ketidakamanan ekonomi yang paling parah adalah tidak memiliki tempat tinggal.35
Keamanan Komunitas Banyak orang memperoleh keamanan model ini dari keanggotaan mereka dari suatu keluarga, komunitas, organisasi dan kelompok etnis tertentu yang dicirikan dengan identitas kebudayaan dan diyakini sebagai seperangkat nilai yang bisa menentramkan. Namun disisi lain praktik kekerasan, pekerjaan paksa, perbudakan, dan memperlakukan wanita secara kasar bisa menjadi suatu kekerasan yang bersifat abadi dalam suatu komunitas tradisional. Dalam suatu komunitas tradisional ada kalanya terjadi situasi dimana kelompok etnis tertentu sering kali mendapatkan ancaman dari sesama kelompok etnis.Kelompok indigenous seringkali kehilangan kebebasan tradisional mereka untuk bergerak dan berpindah.Indigenous people juga seringkali menghadapi spiral kekerasan yang sangat luas.36Dan dalam penelitian ini penulis ingin memberikan paparan data dan analisa bahwa unsur budaya dan sosial juga menjadi pembentuk ancaman komunitas.
Keamanan Personal Ancaman terhadap keamanan personal bisa berasal dari persepsi individu terhadap rasa takut, contohnya: takut akan kehilangan akses makanan karena kurangnya daya beli, pelayanan kesehatan dalam proses perubahan jaminan kesehatan, atau ketakutan akan kehilangan pekerjaan dalam proses restrukturisasi, hingga membentuk persepsi yang berkontribusi terhadap ketidakamanan personal.
35 36
UNDP Report 1994, Chapter 2, „Economic Security‟, p.25. UNDP Report 1994, Chapter 2, „Community Security‟, p.31. 18
Dalam laporan UNDP Tahun 1994 disebutkan bahwa ancaman keamanan yang paling vital bagi personal itu adalah ancaman dari kekerasan fisik, yang bisa datang secara tiba-tiba. Terlihat bahwa tingkat kekerasan di beberapa negara baik di negara kaya ataupun di negara miskin menunjukkan peningkatan yang cukup memprihatinkan. Ancaman bisa muncul dalam beberapa bentuk:37
Ancaman dari negara (kekerasan fisik) : kekerasan dan penyiksaan fisik yang dilakukan oleh aparat polisi ataupun militer terhadap personal yang melakukan tindak kriminal.
Ancaman dari negara lain (perang).
Ancaman dari kelompok masyarakat (konflik etnis).
Ancaman dari individu atau geng yang saling bermusuhan dengan individu atau geng yang lainnya (kriminal dan kekerasan jalanan).
Ancaman secara langsung terhadap wanita (perkosaan, kekerasan domestik).
Ancaman terhadap anak-anak yang masih rapuh dan tidak mandiri (kekerasan terhadap anak).
Ancaman pada diri sendiri (penggunaan obat-obatan terlarang dan bunuh diri). Diantara berbagai sumber ancaman tersebut di atas, selain perempuan yang sangat rentan
menjadi korban kekerasan karena kultur masyarakat di dunia yang menempatkan perempuan dalam posisi yang subordinat dari laki-laki, anak-anak juga merupakan “personal” yang sangat rentan menjadi korban kekerasan karena merekasering mengalami kekerasan fisik serta pelecehan seksual. Banyak dari mereka dieksploitasi dan dapat mengancam keamanan personal mereka seperti apa yang terjadi pada anak-anak korban trafficking.
37
UNDP Report 1994, Chapter 2 „New Dimension of Human Security‟, p.30. 19
Konsep keamanan manusia tidak perlu menggantikan konsep keamanan negara melainkan dapat melengkapi keamanan negara.38Oleh karena itu negara memegang peranan penting
dan
merupakan
pihak
yang
bertanggung
jawab
terhadap
keamanan
“manusia”nya.Sebagaimana,yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (UUD 45).Tingginya tingkat kemiskinan dan rendahnya kualitas pendidikan masyarakat Indonesia merupakan bentuk kegagalan pemerintah dalam memberikan jaminan keamanan manusia bagi warganya. Hobbes menawarkan solusi terhadap persoalan keamanan personal dengan cara membangun kedaulatan negara untuk melindungi masyarakatnya.39 Disisi lain disebutkan bahwa dalam aspek personal security, ancaman juga bisa berasal dari negara. Negara bisa menjadi penghalang tercapainya cita-cita keamanan manusia apabila negara tersebut gagal atau tidak mampu dalam memberikan jaminan keamanan pada manusianya dalam berbagai bidang. Otoritas legitimate yang dimiliki oleh negara yang tidak bertanggungjawab bisa digunakan untuk melakukan kekerasan terhadap personal. Dalam konteks keamanan personal, tidak hanya negara yang bertanggungjawab untuk melindungi keamanan masyarakatnya secara personal, melainkan juga “individu” itu sendiri.Individu diharapkan tidak hanya menjadi seseorang yang pasif, yang hanya menerima jaminan keamanan dari negara dan menjadi korban jika jaminan keemanan itu tidak ada.Akan tetapi, personal itu harus menjadi aktor yang aktif yang bisa berkontribusi secara langsung dalam mengidentifikasi dan mengimplementasikan solusi terhadap dilema insecurity.
38
Presentasi oleh Muhadi Sugiono mengenai Keamanan Manusia dan Perdagangan Manusia, Jakarta, 2012. Tadjbakhsh, p.167.
39
20
1.6 Argumen Utama
Terkait dengan permasalahan di atas, penulis berargumen bahwa child trafficking di Indonesia belum teratasi karena, pemerintah Indonesia belum menganggap isyu child trafficking sebagai bentuk ancaman negara, hal ini dapat dilihat dari kebijakan yang ditetapkan bukan dilandasi oleh kepentingan individu (people-centered) melainkan hanya kepentingan negara (state-centered). Hal itu diperburuk dengan kompleksitas aspek ancaman yang saling mempengaruhi yang berdampak pada sulitnya memberantas kejahatan child trafficking.
1.7 Metodologi Metode penelitian merupakan suatu prosedur atau cara yang dipergunakan dalam penelitian yang mempunyai langkah-langkah sistematis. Dalam melakukan penelitian, penulis mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan masalah yang ada.Desain penelitian merupakan metode yang mampu memberikan gambaran secara menyeluruh tentang hasil penelitian yang ingin dicapai. Desain penelitian adalah semua proses yang diperlukan dalam penemuan dan pelaksanaan penelitian. Berikut adalah metodologi yang akan digunakan: 1.7.1 Metode Penelitian Dalan penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif eksplanatif yaitu suatu penelitan yang menggambarkan secara spesifik suatu situasi seting sosial, ataupun suatu hubungan dan menganalisa keterkaitan suatu objek penelitian terhadap objek penelitian lainnya. Penelitian deskriptif hanya menggunakan suatu variable yang akan diteliti dan dianalisa.
21
1.7.2 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan (library research) dan wawancara mendalam sebagai data pendukung. Studi pustaka dilakukan dengan pengumpulan data yang berhubungan dengan penelitian melalui bahan-bahan pustaka seperti buku, jurnal, artikel, koran, majalah, laporan penelitian sebelumnya serta bahan pustaka penunjang lainnya serta melalui internet. Selain itu penulis melakukan wawancara mendalam dengan beberapa intansi pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; Kementerian Sosial; Badan Reserse Kriminal, Kepolisian Republik Indonesia; International Organization for Migration Jakarta, Indonesia Against Child Trafficking (ACT), Yayasan SAMIN Yogyakarta dan beberapa pihak-pihak yang terkait.
1.8 Sistematika Penulisan
Penulisan ini terbagi dari lima bab, dengan sistematika penulisan sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN, adalah pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka pemikiran yang terdiri dari, penjelasan tentang konsep child trafficking, konsep keamanan manusia, argumen utama, metodologi penelitian yang terdiri dari metode penelitian, teknik penggumpulan data dan sistematika penelitian.
BAB II CHILD TRAFFICKING DI INDONESIA, menceritakan kondisi child trafficking di Indonesia secara umum yang terdiri dari bentuk-bentuk, modus operandi, faktor yang mengakibatkan child trafficking, dan hierarki regulasi Pemerintah Indonesia terkait dengan child trafficking.
22
BAB III, PENANGANAN CHILD TRAFFICKING DI INDONESIA, menjabarkan kebijakan pemerintah dalam menjawab isyu child trafficking pada tingkat internasional maupun nasional seperti meratifikasi konvensi internasional, pembuatan undang-undang nasional serta peraturan presiden dan peraturan tingkat pemerintahan daerah lainnya; implementasi kebijakan yang sudah ada; dan menganalisa unsur-unsur kepentingan eksternal dan internal faktor dalam penanganan child trafficking di Indonesia.
BAB IV KELEMAHAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENANGANI CHILDTRAFFICKING, membahas bagaimana kelemahan kebijakan pemerintah yang dilihat engan dimensi keamanan manusia yang dapat menimbulkan ancaman child trafficking dan implikasinya terhadap individu untuk memperlihatkan kelemahan dari kebijakan pemerintah dalam mengatasi isyu tersebut. Adapun dimensi ancaman yang dimaksud adalah ancaman ekonomi berupa kemiskinan; ancaman personal berupa bentuk kekerasan secara langsung maupun tidak langsung; dan ancaman komunitas berupa ancaman sosial dan budaya.
BAB V KESIMPULAN, menarik kesimpulan mengenai keseluruhan tesis. Memaparkan ulang secara ringkas ancaman yang ditimbulkan dari tindak kejahatan child trafficking terhadap individu dan pendapat penulis bagaimana pemerintah telah melaksanakan kewajibannya dan menawarkan beberapa rekomendasi untuk menjadi pertimbangan pemerintah dalam menangani child trafficking.
23