BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Association of South-East Asian Nations (ASEAN) merupakan salah satu bentuk dari implikasi perubahan perspektif keamanan internasional yang terjadi pasca-Perang Dunia II.1 Pembentukan ASEAN ini tak terlepas dari konteks upaya mencegah terjadinya perang besar. Mohtar Mas’oed menyebutkan bahwa ASEAN adalah salah satu organisasi fungsional regional, yang berarti organisasi ini menerapkan kerja sama bidang non-politik dan diharapkan dengan berjalannya waktu akan “melimpah” (spillover) ke bidang-bidang yang mendorong integrasi politik (Mas'oed, 1989: 174). Hal ini dikarenakan ASEAN merupakan organisasi regional dengan fungsi politik lebih luas, yang agenda kerja dan kompetensinya tidak hanya menangani manajemen konflik saja. Akan tetapi, prediksi dan harapan untuk menjadikan ASEAN sebagai contoh yang baik bagi organisasi fungsional regional ini terganjal oleh perbedaan dan sejarah negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Anthony Reid (2004) menyebut Asia Tenggara sebagai kawasan yang memiliki karakteristik “keberagaman dan keterbukaan terhadap pengaruh luar yang paling menonjol.” Kawasan ini pernah menjadi arena bagi persaingan ideologis kedua negara adikuasa sewaktu Perang Dingin berlangsung, sementara negara-negara dalam kawasan ini berupaya untuk mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diraih dari penjajah dan mulai melakukan state-building. Selain itu, berbagai kelompok mencoba untuk melakukan pemberontakan dalam wilayah di masing-masing negara (Buzan, 2003; Tan, 2007). Menurut Andrew Tan, pemberontakan terjadi 1
Pasca-Perang Dunia I, gagasan Woodrow Wilson tentang jaminan keamanan kolektif internasional yang termanifestasikan dalam bentuk Liga Bangsa-Bangsa, gagal membendung nasionalisme sempit dari negara-bangsa sehingga terjadi Perang Dunia II. Sejak Perang Dunia II berakhir, perspektif hubungan internasional mulai membentuk pola baru yang mengarahkan perhatiannya kepada lingkup geografik yang lebih luas daripada negara bangsa tetapi lebih sempit dari dunia, yaitu dalam bentuk lembaga-lembaga regional. Hal ini terjadi karena asumsi bahwa negara-negara yang berada dalam satu kawasan cenderung memiliki lebih banyak kemiripan tradisi kultural dan kesamaan kepentingan daripada dengan negara di luar kawasan itu. (Lihat Mohtar Mas’oed. 1989. Studi Hubungan Internasional: Tingkat Analisis dan Teorisasi.)
1
dalam dua bentuk: aksi teror yang yang digunakan untuk menekan etnis atau pemeluk agama tertentu, dan perang gerilya yang bertujuan untuk melawan pemerintah pusat. Sehingga dapat dikatakan bahwa sedari awal proses statebuilding, negara-negara di Asia Tenggara sudah berada dalam kompleksitas permasalahan keamanan pada tingkat domestik negara individual, sub-regional, dan tarik-menarik antara persaingan ideologis negara-negara adikuasa. Dilatari
berbagai
pengalaman
terkait
kompleksitas
permasalahan
keamanan domestik negara-negara inilah, Deklarasi Bangkok—sebagai piagam pendirian ASEAN, menyatakan bahwa negara-negara Asia Tenggara ‘menentukan untuk memelihara stabilitas dan keamanan mereka dari campur tangan asing dalam segala bentuk atau manifestasi.’2 Kesepakatan ini bukan hanya dimaksudkan pada campur tangan kekuatan luar kawasan saja, melainkan juga berlaku di antara negara-negara Asia Tenggara juga. Sejak terbentuk pada 8 Agustus 1967, ASEAN berupaya untuk memegang teguh prinsip noninterference. Prinsip non-interference kembali dipertegas dalam Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC), yang disepakati pada 24 Februari 1976 di Bali. Prinsip-prinsip yang tercantum dalam Article 2 TAC memuat beberapa prinsip dasar, meliputi: saling menghormati kedaulatan dan keutuhan wilayah dan identitas nasional semua bangsa, non-interference dalam urusan domestik satu sama lain, penyelesaian sengketa secara damai, dan menolak ancaman dan penggunaan kekuatan bersenjata.3 TAC menjadi batasan-batasan interaksi regional yang secara tegas ditentukan oleh kedaulatan negara-negara anggota ASEAN. Dalam konsiderans akta pembentukannya, ASEAN menyadari bahwa organisasi regional ini terbentuk di tengah dunia yang saling tergantung (interdependence) antara negara satu dengan negara lainnya. Ironis bagi 2
The Asean Declaration (Bangkok Declaration) Bangkok, 8 August 1967, diakses dari http://www.asean.org/news/item/the-asean-declaration-bangkok-declaration pada 12 Oktober 2013 pukul 01.16 WIB 3 Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia Indonesia, 24 February 1976 diakses dari http://www.asean.org/news/item/treaty-of-amity-and-cooperation-in-southeast-asia-indonesia-24february-1976-3 pada 12 Oktober 2013 pukul 01.16 WIB.
2
organisasi yang bersikukuh pada prinsip non-interference ini, para teoritisi berpendapat bahwa interdependence dapat 'mengurangi' otonomi negara (Folker, 2002; Nye, 2007).4 Terkait interdependence ini, Joseph Nye mengajukan pertanyaan hipotetis: Apa jadinya dunia jika tiga asumsi kunci dari realisme dibalik?5 Nye menjawab pertanyaan itu dengan kondisi ideal dari complex interdependence, yaitu: 1.) Negara bukanlah satu-satunya aktor signifikan, melainkan aktor-aktor transnasional yang melintasi batas-batas negara juga punya peranan penting; 2.) kekuatan militer bukanlah satu-satunya instrumen utama, tetapi manipulasi kondisi ekonomi dan institusi internasional juga merupakan instrumen dominan; 3.) kesejahteraan menjadi tujuan dominan, menggantikan isu keamanan. Complex interdependence ini merupakan posisi kontras dari realisme. Kondisi
anti-realis
complex
interdependence
ini
bukanlah
satu-satunya
‘penantang’ prinsip non-interference. Selain complex interdependence, masih ada beberapa isu yang dianggap menantang konsep non-interference—yang bersumber pada konsep kedaulatan ini, seperti: hak asasi manusia, globalisasi, demokrasi, dan teknologi informasi (Krasner, 1999; Keohane, 2002; Cameron, et al., 2006; Nye, 2007; Turku, 2009). Dari sekian ‘penantang’, praktik transnasional merupakan tantangan signifikan bagi prinsip non-interference terkait isu keamanan pasca-Perang Dingin. Di masa Perang Dingin, perang dapat dicegah dengan strategi penangkalan (deterrence)—suatu negara tidak akan tergoda untuk menyerang negara lain jika negara itu mempunyai sistem pertahanan yang kuat. Strategi tersebut berhasil manakala negara sebagai aktor rasional menjadi satu-satunya sumber ancaman. Akan tetapi, strategi ini tidak lagi bisa memadai ketika berhadapan dengan aktor non-negara yang beroperasi melintas batas nasional di 4
Robert O. Keohane dan Joseph S. Nye memperkenalkan konsep sensitivity dan vulnerability yang merupakan kemungkinan kerugian dalam interdependence. Kedua konsep itu merupakan kemungkinan konsekuensi interdependence pada suatu negara, yang akan terpengaruh dan bereaksi terhadap suatu peristiwa atau tekanan yang terjadi di tempat lain (Lihat Mohtar Mas’oed, ibid.: 212; James N. Rosenau dan Ernst-Otto Czempiel (eds.), 1992, Governance Without Government: Order and Change in World Politics: 188; Joseph S. Nye, 2007, Understanding International Conflicts: An Introduction to Theory and History 6th edition: 213-215). 5 Tiga asumsi realisme ini adalah: negara sebagai satu-satunya aktor signifikan, kekuatan militer adalah instrumen dominan, dan keamanan merupakan tujuan dominan (Lihat Joseph S. Nye, ibid.: 222).
3
beberapa negara secara serentak. Aktor transnasional ini mengerjakan hal-hal berbeda dan berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan berbeda dari yang dilakukan oleh pemerintah tempat mereka beroperasi (Mas’oed, 1989: 215). Perkembangan teknologi dan globalisasi ekonomi membawa kecenderungan pada gencarnya interaksi dari para individu dan kelompok yang melintasi batas tradisional negara ini. Sejalan dengan tumbuhnya ancaman yang bersifat transnasional, negara-negara tak hanya mulai mempertanyakan kedaulatan negara—yang jelas membedakan antara yang domestik dan yang internasional, tetapi negara-negara juga akan memperluas konsep mereka tentang keamanan dan pertahanan (Nye, 2007: 273). Salah satu ancaman nyata dari praktik transnasional adalah terorisme. Pasca peristiwa 9/11, isu terorisme menjadi wacana utama yang diusung Amerika Serikat ke dunia internasional dalam bidang keamanan. Terorisme menjadi ancaman non-militer dominan di antara ancaman lainnya. Tak ada satu pun negara yang dapat menangani isu praktik transnasional terorisme ini sendirian (Nye, 2007). Jaringan teroris melakukan operasi, perputaran uang dan materialnya secara lintas batas negara dan memanfaatkan celah-celah ekonomi global. Dalam mengupayakan aksi kolektif negara-negara untuk melawan terorisme, mekanisme internasional saat ini memang komprehensif tetapi belum otoritatif (Jones, et al., 2009). Dua minggu pasca-peristiwa 9/11, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan Resolusi 1373 yang mewajibkan anggotanya untuk membuat peraturan, memperketat perbatasan, berkoordinasi, dan meningkatkan kerja sama dalam memerangi terorisme. Pada tahun 2003, Amerika mendorong G-8 untuk membentuk Counter-Terrorism Action Group (CTAG) setelah tak puas dengan hasil yang tak begitu konkrit dari Security Council’s Counter-Terrorism Committee—yang dibentuk berdasarkan Resolusi 1373. CTAG mempunyai fungsi untuk mengkoordinasikan anggaran pendanaan kontra-terorisme dari negara-negara donor. Meskipun CTAG bertindak secara konkrit, CTAG tak mempunyai kewenangan untuk mendorong koordinasi global, multilateral, dan mengupayakan kontra-terorisme di dunia belahan selatan (Jones, et al., 2009).
4
Sementara di dunia belahan selatan, khususnya kawasan Asia Tenggara, tak berapa lama setelah kejadian mengenaskan 9/11 itu, Asia Tenggara segera menjadi perhatian masyarakat internasional. Perhatian tersebut muncul setelah aparat berwenang di tiga negara Asia Tenggara (Singapura, Malaysia, dan Filipina) menangkap sejumlah militan Islam yang dikaitkan dengan Jama’ah Islamiyyah. Bagi negara-negara anggota ASEAN, isu terorisme pasca-9/11 ini bukan hanya berbahaya bagi penduduk yang tak bersalah, tetapi juga merupakan ancaman bagi kondisi negara-negara tersebut. Tindakan yang dilakukan para teroris berpengaruh pada industri pariwisata dan kepercayaan investor. Akan tetapi, perbedaan mengenai persepsi ancaman dan kondisi domestik negara satu sama lain menjadikan kehendak pemerintah dan kapasitas menangani persoalan ini bervariasi. Pertimbangan utama bagi negara-negara kawasan Asia Tenggara dalam isu perang atas terorisme global yang dilancarkan oleh Amerika Serikat adalah kekhawatiran akan penduduk Muslim yang makin tak simpatik. Seperti telah disampaikan di awal, aksi teror bukanlah hal baru bagi negara-negara anggota ASEAN. Akan tetapi, permasalahan terorisme pasca-9/11 bukan hanya urusan domestik negara-negara dalam kawasan Asia Tenggara saja, melainkan sudah terbukti merupakan persoalan transnasional kawasan Asia Tenggara bahkan lintas kawasan. Negara-negara anggota ASEAN bahkan telah membuat Declaration on Transnational Crime pada tahun 1997, yang di dalamnya dengan jelas menyebut terorisme. Berdasarkan deklarasi tersebut ASEAN membentuk ASEAN Centre on Transnational Crime (ACOT), yang berfungsi untuk mengkoordinasikan penanganan tindak kejahatan dan untuk mengadakan
pertukaran
mengkoordinasikan
operasi
informasi,
harmonisasi
penanganan.
Meskipun
kebijakan, kerangka
dan
kebijakan
penanganan kejahatan transnasional—yang termuat isu terorisme di dalamnya— telah dibuat, pelaksanaan kerangka kebijakan tersebut masih tergantung pada prinsip non-interference yang melandasi ASEAN.
5
B. Rumusan Masalah Rumusan masalah yang ingin dijawab dalam skripsi ini adalah: Bagaimanakah implikasi prinsip non-interference ASEAN dalam penanganan isu terorisme di kawasan Asia Tenggara? C. Kerangka Berpikir Telah disebutkan sebelumnya, TAC merupakan kerangka formal yang mendasari hubungan antar-anggota ASEAN. Article 2 TAC memuat beberapa prinsip dasar, meliputi: saling menghormati kedaulatan dan keutuhan wilayah dan identitas nasional semua bangsa, non-interference dalam urusan domestik satu sama lain, penyelesaian sengketa secara damai, dan menolak ancaman dan penggunaan kekuatan bersenjata. ASEAN selalu setia memenuhi prinsip-prinsip ini guna menghormati negara-negara anggotanya. Prinsip-prinsip tersebut bersumber pada prinsip kedaulatan. Konsep kedaulatan ini memiliki rujukan awal dari Traktat Westphalia (1648). Sejak traktat itu disepakati, Perang 30 Tahun di Eropa berakhir. Salah satu hasilnya adalah negara diakui sebagai pengampu kekuasaan tertinggi dalam batasbatas wilayahnya. Sejak itu, kedaulatan dimaknai sebagai sumber utama dari hukum, baik peraturan sosial maupun pemerintah. Kedaulatan menentukan batasan berlakunya hukum (yurisdiksi); hukum suatu negara berlaku hanya jika berada dalam batas wilayah negara tersebut. Dengan demikian kedaulatan menentukan karakter mendasar dari hubungan antar-negara, yaitu: tidak ada satu negara pun yang berhak memerintah negara lain, begitu juga tak ada keharusan untuk mematuhi negara lain (K.J. Holsti, 2004: 114). Sehingga terdapat batasan dalam berprilaku, yaitu larangan atas bentuk prilaku turut campur dalam urusan dalam negeri negara lain (non-interference). Kedaulatan merupakan konsep vital dalam sistem internasional Westphalia. Prinsip kedaulatan ini kembali dinyatakan dalam Kovenan Liga Bangsa-Bangsa dan Piagam PBB. Konsep kedaulatan ini berlaku absolut dalam hal teritori; tetapi secara de facto, pemerintah mengelola wilayah negaranya dengan derajat kedaulatan tertentu (Nye, 2007). Dalam Sovereignty: Organized Hypocrisy (1999), Stephen D. Krasner memaparkan bahwa kedaulatan ini digunakan dalam empat cara.
6
Pertama, international legal sovereignty, mengacu pada praktik saling memberi pengakuan—biasanya pada entitas teritorial negara merdeka lainnya. Kedua, Westphalian sovereignty, mengacu kepada otonomi yang berlaku penuh atas otoritas politik tanpa pengaruh pihak asing. Ketiga, domestic sovereignty, mengacu pada organisasi formal yang memiliki otoritas politik dan kemampuan untuk mengatur publik dalam mengelola wilayah berdasarkan kebijakannya. Keempat, interdependence sovereignty, mengacu pada kemampuan pemerintah dalam mengatur aliran informasi, gagasan, barang, orang, polutan, dan modal yang melewati batas negaranya. Kedaulatan merupakan inti dari perdebatan tentang sah tidaknya suatu negara dapat turut campur dalam urusan dalam negeri negara lain. Dalam definisi umum, interference berarti tindakan suatu negara yang memengaruhi urusan dalam negeri negara berdaulat lainnya. Namun ada juga definisi yang lebih terbatas, yaitu yang mengacu pada upaya campur tangan yang melibatkan paksaan (forcible interference) dalam urusan dalam negeri negara lain. Definisi terbatas ini digunakan Joseph S. Nye untuk membuat spektrum level interference dari tingkat koersi rendah hingga tingkat koersi tinggi.
Speeches
Broadcasts
Economic aid
Military advisers
Support opposition
Blockade
Low coersion (high local choice)
Limited military action
Military invasion
High coersion (low local choice)
Tabel 1.1. Tingkat Interference (Sumber: Joseph S. Nye, 2007: 162)
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, prinsip non-interference negara ini ditantang oleh isu keamanan pasca-Perang Dingin, terutama oleh terorisme yang menjadi ancaman nyata sejak Amerika Serikat mewacanakan isu terorisme ke dunia internasional dalam bidang keamanan pasca-peristiwa 9/11. Seolah menjadi gong yang menggaungkan kecenderungan baru bagi tindakan terorisme, peristiwa 9/11 menegaskan sifat transnasional dan mematikan yang disandang terorisme pasca-Perang Dingin. Dalam tulisan ini, istilah terorisme yang digunakan oleh 7
penulis mengambil definisi baru dalam terorisme, yaitu terorisme yang memiliki kecenderungan transnasional dalam operasinya. Sebagaimana yang Ian O. Lesser sebutkan, para ahli terorisme makin tak sepakat dengan pembedaan tradisional antara teror domestik dan internasional di era komunikasi global dan terorisme berjaringan ini (Lesser, 1999). Selai itu, sebagai rekomendasi bagi US Air Force, Lesser mengingatkan bahwa ancaman serius terorisme bagi keamanan nasional Amerika Serikat mempunyai dimensi transnasional. John Arquilla, et. al. mengemukakan bahwa di era informasi ini terorisme menyesuaikan bentuknya dalam tiga hal (Arquilla, Ronfeldt, & Zanini, 1999). Pertama, pola organisasi yang bergeser dari bentuk hierarkis ke bentuk jaringan. Upaya yang dilakukan adalah dengan membangun kelompok-kelompok simpul jaringan transnasional yang saling terhubung satu sama lain daripada membuat kelompok-kelompok yang bisa berdiri sendiri. Kedua, perubahan doktrin dan strategi yang beralih pada paradigma perang. Serangan-serangan yang dilakukan akan tertuju pada kekuatan dan aset militer, bersamaan dengan gangguan yang dilakukan terhadap sistem informasi. Ketiga, para teroris cenderung semakin pandai dalam menggunakan teknologi informasi untuk tujuan menyerang maupun bertahan, dan untuk menopang struktur organisasinya. Sementara itu, Bruce Hoffman memaparkan alasan mengapa aksi terorisme makin mematikan.6 Pertama, para teroris melihat bahwa aksinya makin tak mendapatkan perhatian publik dan media. Kedua, para teroris makin berpengalaman dan mahir dalam melakukan aksi pembunuhan. Ketiga, terkait dengan keahlian membunuh, peranan aktif dilakukan oleh negara-negara dalam mendukung dan membiayai kelompok-kelompok teroris. Keempat, terjadi peningkatan jumlah insiden terorisme yang termotivasikan oleh selubung perintah agama. Kelima, meningkatnya keterlibatan pelaku amatir—yang tanpa otoritas komando terpusat, dalam melakukan aksi terorisme. Pelaku amatir ini dapat belajar pembuatan bom dari sumber mana pun sehngga sulit dilacak dan diantisipasi. 6
Lihat Hoffman, B. (1999). Terrorism Trends and Prospects, dalam I. O. Lesser (Ed.), Countering the New Terrorism (pp. 7-38). Santa Monica: RAND.
8
Ersel Aydinli memaparkan beberapa sifat transnasional dalam terorisme yang membarui definisi terorisme ini (Aydinli, 2010). Pertama, karakteristik penting dalam terorisme baru ini adalah pada struktur organisasinya—yang semula mempunyai hierarki top-down yang kaku, terorisme kini mempunyai model struktur yang berjaringan dan terdesentralisasi. Secara spasial, unit ataupun sel organisasi tidaklah terkait secara organis dengan daerah yang ditempatinya; unit atau sel tersebut dapat terhubung dari jarak jauh lewat teknologi informasi. Struktur jaringan organisasi ini merupakan indikator yang paling nyata bagi orientasi transnasional dari terorisme jenis baru ini. Kedua, teknologi informasi digunakan sebagai sarana komunikasi kelompok-kelompok teroris, baik untuk hubungan eksternal maupun internal. Secara eksternal, mereka gunakan teknologi informasi untuk menyampaikan pesan kepada musuh sekaligus untuk merekrut anggota baru. Secara internal, internet digunakan untuk diskusi antar-anggota dalam mengevaluasi, melakukan penyesuaian, dan mengadaptasi strategi dan wacana internal mereka. Berkat sarana teknologi informasi ini juga, mereka bisa melakukan cyber-terrorism—yang dapat berdampak fatal kepada fasilitas transportasi ataupun energi yang mengandalkan operasinya pada komputer. Karenanya, serangan dapat dilakukan dari mana pun. Ketiga, tujuan global dicapai dengan strategi lokal. Secara bertahap, mereka berupaya untuk memenangkan pemerintahan lokal, lalu berangsur ke daerah lain hingga mencapai pemerintahan nasional, untuk kemudian menyebar ke wilayah lain. Dengan demikian, metode dan strategi yang mereka gunakan terbatas dan tertuju pada konstruksi lokal dan nasional. Keempat, trend yang mengemuka belakangan adalah motif agama. Agama merupakan konsep yang pemahamannya tersebar secara transnasional. Dengan membaca kitab yang sama dan cara beribadah yang sama, kelompokkelompok teroris dapat memanfaatkan pemahaman yang beririsan dengan kelompok-kelompok lain dan individu-individu pemeluk agama yang sama. Kelima, terorisme baru cenderung mandiri dan tak terkait dengan dukungan negara. Kemandirian ini dibangun atas pola jaringan organisasi dan komunikasi yang telah disebutkan sebelumnya.
9
D. Argumen Pokok Prinsip ASEAN dengan dasar non-interference-nya menjadi acuan bagi negara-negara anggota ASEAN untuk melakukan ‘perang melawan terorisme’. Dengan demikian, kebijakan yang diambil oleh negara-negara anggota ASEAN adalah kerja sama bilateral. Sehingga dapat dikatakan bahwa kebijakan melawan terorisme merupakan kebijakan negara-negara individual anggota ASEAN, bukan merupakan kebijakan multilateral yang terintegrasi di Asia Tenggara. E. Metode Penelitian Dalam meneliti prinsip non-interference ASEAN dalam penanganan isu terorisme di kawasan Asia Tenggara, penulis menggunakan metode kualitatif. Penelitian menggunakan referensi data sekunder dari buku, surat kabar, jurnal, majalah, dan situs-situs internet. Fokus penelitian ini adalah mengidentifikasi dan menganalisis ASEAN dalam menangani isu terorisme. F. Organisasi Penulisan Penulis berencana membagi tulisan ini ke dalam tiga bagian, yaitu: 1. Bagian pertama, penulis akan membahas fenomena terorisme di Asia Tenggara
pasca-peristiwa
9/11
dan
penanganannya
secara
kelembagaan ASEAN; 2. Bagian kedua, membahas tentang analisis penerapan prinsip noninterference
ASEAN dalam penanganan isu terorisme di kawasan
Asia Tenggara; 3. Bagian terakhir yaitu kesimpulan dari semua bagian-bagian di atas.
10