BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Majunya perdagangan dunia ini, di satu sisi memang memberikan dampak positif, namun di sisi lain dapat menimbulkan perbedaan paham, perselisihan pendapat maupun pertentangan atau sengketa sebagai akibat adanya salah satu pihak yang melakukan wanprestasi terhadap kontrak dagang tersebut. Perbedaan paham, perselisihan pendapat, pertentangan maupun sengketa tersebut tidak boleh dibiarkan berlarut-larut dan harus diselesaikan secara memuaskan bagi semua pihak. Meskipun tiap-tiap masyarakat memiliki cara sendiri-sendiri untuk menyelesaikan perselisihan tersebut, namun demikian perkembangan dunia usaha yang berkembang secara universal dan global mulai mengenal bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang homogen, ”menguntungkan” dan memberikan rasa “aman” dan keadilan bagi para pihak, salah satu yang paling populer dan banyak diminati dewasa ini adalah cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Menurut Gary Goodpasker dalam “Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa” dalam buku "Arbitrase di Indonesia", setiap masyarakat memiliki berbagai macam cara untuk memperoleh kesepakatan dalam proses perkara atau untuk menyelesaikan sengketa dan konflik. Cara yang dipakai pada suatu sengketa tertentu jelas memiliki konsekuensi, baik bagi para pihak yang bersengketa maupun masyarakat dalam arti seluas-luasnya. Karena adanya
1
2
konsekuensi itu, maka sangat diperlukan untuk menyalurkan sengketasengketa tertentu kepada suatu mekanisme penyelesaian sengketa yang paling tepat bagi mereka.1 Seperti telah kita maklumi, berperkara melalui pengadilan biasa (Nasional suatu Negara) telah umum dianggap tidak efektif bagi kalangan pengusaha. Masalah penangguhan perkara, belum lagi kalau ada kongesti (tunggakan perkara yang harus diselesaikan), yang berarti tertunda-tundanya keputusan yang hendak dikeluarkan, dan masalah biaya adalah salah satu alasan mengapa kebanyakan pengusaha atau masyarakat bisnis agak enggan berproses perkara melalui pengadilan.2 Karena berbagai kelemahan yang melekat pada badan pengadilan dalam menyelesaikan sengketa, baik kelemahan yang dapat diperbaiki ataupun tidak, maka banyak kalangan yang ingin mencari cara lain atau institusi lain dalam menyelesaikan sengketa diluar badan-badan pengadilan. Dan model penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang sangat populer adalah apa yang disebut dengan arbitrase.3 Ada beberapa alasan mengapa pihak-pihak yang bersengketa itu memilih arbitrase dalam penyelesaian sengketa mereka. Alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut:
1 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase (Seri Hukum Bisnis), Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001, hlm. 1-3. 2 Huala Adolf, Arbitrase Komersial Indonesia(Edisi Revisi), Jakarta ; Radja Grafindo persada, 1991,hkm. 13 3 Munir Fuady, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa), Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003, hlm. 33.
3
¾ Kesepakatan pihak-pihak Kesepakatan pihak-pihak yang tercantum dalam klausula perjanjian yang mereka buat merupakan dasar penyelesaian melalui arbitrase. Jadi sudah ditetapkan lebih dahulu dasar formalnya. ¾ Arbiter adalah ahli (pakar) Orang-orang yang ditunjuk mereka menjadi arbiter itu adalah orangorang ahli (pakar) dan berpengalaman dalam soal-soal yang menjadi pokok sengketa. Karena itu putusan yang ditetapkan oleh arbitrase obyektif dan tepat. ¾ Proses penyelesaian lebih cepat Proses penyelesaian melalui arbitrase lebih cepat, tidak bertele-tele sehingga lebih cepat pula diperoleh kepastian hukum mengenai pokok sengketa. Pihak-pihak tidak direpotkan oleh penyelesaian yang lama yang menghambat kemajuan perusahaan. ¾ Peradilan tingkat pertama dan terakhir Arbitrase adalah peradilan tingkat pertama dan terakhir, yang dilakukan secara tertutup, dengan teliti dan hati-hati sesuai dengan keahlian pengalaman arbiter. Dengan demikian, dijamin ketepatan waktu, obyektifitas, dan rahasia pihak-pihak karena tidak dipublikasikan.4 Landasan hukum arbitrase adalah bertitik tolak dari pasal 377 HIR atau pasal 705 RBG yang berbunyi :
4
Abdul Kadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995, hlm. 309-310
4
“Jika orang Indonesia dan orang timur asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh para pihak maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa” Pasal 377 HIR di ataslah yang menjadi landasan titik tolak keberadaan arbitrase dalam kehidupan dan praktek hukum.5 Arbitrase merupakan suatu pengadilan swasta, yang sering juga disebut dengan “Pengadilan Wasit”. Dalam suatu sumber, arbitrase dimaksudkan : Memeriksa sesuatu, atau mengambil keputusan mengenai faedahnya, proses yang oleh suatu perselisihan antara dua pihak yang bertentangan diserahkan kepada satu pihak atau lebih yang tidak berkepentingan untuk mengadakan pemeriksaan dan mengambil suatu keputusan terakhir. Pihak yang tidak berkepentingan atau arbitrator tersebut, dapat dipilih oleh pihak-pihak itu sendiri atau boleh ditunjuk oleh suatu badan yang lebih tinggi yang kekuasaannya diakui oleh pihak-pihak itu. Dalam prosedur arbitrase kedua belah pihak yang bertentangan itu sebelumnya telah mengetahui akan menerima keputusan arbitrator.6 Kemudian menurut pasal 1 ayat 1 Undang-undang No 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, yang dimaksud dengan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.7
5
M. Yahya Harahap, SH, Arbitrase, Jakarta, Sinar Grafika, 2001, Hlm 1. Munir Fuady, Op Cit, Hlm. 12 7 Sudargo Gautama, Undang-Undang Arbitrase Baru, Bandung : Citra Aditya Bakti,1999, hlm 35. 6
5
Dalam BAB III undang-undang arbitrase 1999 ini diatur tiga masalah yaitu pertama mengenai syarat arbitrase, bagian kedua mengenai syarat pengangkatan arbiter, dan ketiga mengenai hak ingkar. Bagian pertama mengenai syarat dari arbitrase, mulai dengan pasal 7 yang berbunyi : “Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase” Menurut syarat utama untuk dapat dilakukan arbitrase adalah suatu perjanjian untuk berarbitrase ini (pactum arbitrii). Hal ini adalah sesuai dengan apa yang telah dirumuskan dalam pasal 1 nomor 1 Undang-undang arbitrase 1999 dengan memberikan interpretasi dari istilah arbitrase.8 Menurut Prof. Sudargo Gautama, cara penyelesaian melalui arbitrase ini logis lebih banyak dipakai penyebabnya, adalah karena pihak asing umumnya kurang agak menyetujui dan akan merasa kuatir jika persoalan yang timbul dari kontrak bersangkutan akan diputuskan oleh hakim negeri lain. Hal ini disebabkan karena ia sebagai pengusaha asing agak kurang paham akan formalitas-formalitas berperkara.9 Arbitrase yang dalam literatur hukum Islam disebut dengan tahkim mempunyai akar sejarah sebelum datangnya agama Islam, lembaga tahkim sebagai adat diterima dan dijamin kelangsungannya dalam Islam karena mengandung nilai-nilai yang konstruktif. Apa sebab hukum Islam melembagakan tahkim (arbitrase) sebagai tatanan yang positif atau dengan kata lain apa sebabnya maka Rasulullah
8 9
Ibid, hlm 57 Huala Adolf, Op Cit, hlm. 48.
6
SAW dapat menerima tindakan Abu Syureih menjadi arbiter terhadap kaumnya yang sedang berselisih.10 Jawabannya adalah karena kasus tahkim/arbitrase itu mengandung nilai-nilai positif dan konstruktif antara lain kedua belah pihak menyadari sepenuhnya perlunya penyelesaian yang terhormat dan bertanggung jawab, secara suka rela mereka akan melaksanakan putusan dari arbitrator, sebagai konsekuensi atas kesepakatan mereka mengangkat arbitrator. Kesepakatan mengandung janji, dan janji itu harus ditepati.11 Sayyidina umar ibnu khottab12 mengatakan bahwa: "Tolaklah permusuhan hingga mereka berdamai, karena pemutusan perkara melalui pengadilan akan mengembangkan kedengkian diantara mereka" Q S. An-Nisa 35 :
ﺍﻳﺮِﻳﺪ ﺎ ِﺇ ﹾﻥﻫِﻠﻬ ﻦ ﹶﺃ ﺎ ِﻣﺣ ﹶﻜﻤ ﻭ ﻫِﻠ ِﻪ ﻦ ﹶﺃ ﺎ ِﻣﺣ ﹶﻜﻤ ﻌﺜﹸﻮﺍ ﺑﺎ ﻓﹶﺎﻴِﻨ ِﻬﻤﺑ ﻕ ﻢ ِﺷﻘﹶﺎ ﺘﻭِﺇ ﹾﻥ ِﺧ ﹾﻔ ﺍﺧِﺒﲑ ﺎﻋﻠِﻴﻤ ﻪ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﺎ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻬﻤ ﻨﻴﺑ ﻪ ﻮﱢﻓ ِﻖ ﺍﻟﱠﻠ ﺎ ﻳﺻﻠﹶﺎﺣ ِﺇ "Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimkanlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan, jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi Taufik kepada suami istri itu, sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal"13 10
Lihat: Fathurrahman Djamil, Arbitrase Dalam Perspektif Hukum Islam, Arbitrase Islam di Indonesia, Jakarta ; BAMUI, 1994, hlm. 23. Kasus terhadap tahkim (arbitrase) secara eksplisit dinyatakan oleh Rasulullah SAW dalam dialognya dengan Abu Syureih (nama aslinya Hani) yang secara singkat dapat dituturkan sebagai berikut: Abu Syureih berkata kepada Nabi bahwa rakyatnya ketika sedang terjadi persengketaan diantara mereka, mereka mendatangi Abu Syureih untuk bertahkim mencari penyelesaian secara suka rela. Dalam hal ini Abu Syureih dapat memberikan penyelesaian yang menyejukkan hati mereka yang bersengketa hingga diterima oleh kedua belah pihak dengan perasaan yang lega. Kemudian Rasululloh memberikan jawaban alangkah baiknya hal itu, dengan kata lain jawaban Rasul itu dapat diartikan sebagai persetujuan. 11 A. Wasit Aulawi, Arbitrase Dalam Perspektif Hukum Islam, Loc Cit, hlm. 45. 12 Suhrawardi K Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2000, hlm. 179. 13 Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Semarang : Toha Putra, 1989, hlm. 123.
7
Dan di dalam pengertian sunnah : Tirmidzi dari Umar Bin Auf Al Muzani R A.
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﳊﺴﻦ ﺑﻦ ﻋﻠﻲ ﺍﳋﻼﻝ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﻋﺎﻣﺮ ﺍﻟﻌﻘﺪﻱ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻛﺜﲑ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﻋﻤﺮﻭ ﺑﻦ ﻋﻮﻑ ﺍﳌﺰﱐ ﻋﻦ ﺃﺑﻴﻪ ﻋﻦ ﺟﺪﻩ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺼﻠﺢ ﺟﺎﺋﺰ ﺑﲔ ﺍﳌﺴﻠﻤﲔ ﺇﻻ ﺻﻠﺤﺎ ﺣﺮﻡ ﺣﻼﻻ ﺃﻭ ﺃﺣﻞ ﺣﺮﺍﻣﺎ ﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ.ﻭﺍﳌﺴﻠﻤﻮﻥ ﻋﻠﻰ ﺷﺮﻭﻃﻬﻢ ﺇﻻ ﺷﺮﻃﺎ ﺣﺮﻡ ﺣﻼﻻ ﺃﻭ ﺃﺣﻞ ﺣﺮﺍﻣﺎ .ﻋﻴﺴﻰ ﻫﺬﺍ ﺣﺪﻳﺚ ﺣﺴﻦ ﺻﺤﻴﺢ 14
“Hasan bin 'Ali al-Khalal menceritakan kepada kami, Abu 'Amir al'Aqadiy menceritakan kepada kami, Katsir bin Abdillah bin Amru bin Auf al-Muzanniy menceritakan kepada kami dari ayahnya, dari kakeknya bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: Perjanjian antara orang-orang muslim itu boleh, kecuali perjanjian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal dan (muamalah) orangorang muslim itu berdasarkan syarat-syarat mereka kecuali syarat itu mengharamkan yang halal datau menghalalkan yang haram. Abu Isa berkata bahwa hadits ini hasan shahih.” Lembaga perdamaian merupakan salah satu lembaga yang sampai sekarang dalam praktek pengadilan telah banyak mendatangkan keuntungan baik bagi hakim maupun bagi pihak-pihak yang berperkara. Keuntungan bagi hakim, dengan adanya perdamaian itu berarti para pihak yang bersengketa telah ikut menunjang terlaksananya asas peradilan, cepat, sederhana dan biaya ringan. Keuntungan bagi pihak yang bersengketa adalah dengan terjadinya perdamaian itu berarti menghemat ongkos berperkara, mempercepat penyelesaian
dan
menghindari
putusan
yang
bertentangan.
Apabila
penyelesaian perkara berakhir dengan perdamaian maka akan menambah jalinan hubungan antara pihak-pihak yang bersengketa, hubungan yang sudah
14
At-Turmudzi, Sunan at-Turmudzi: Kitab al-Ahkam 'An Rasulillah, dalam Mausu'at alHadits al-Syarif, Global Islamic Software Company, 2000, Versi II, Hadits no. 1272
8
retak dapat terjalin kembali seperti sedia kala, bahkan mungkin akan bertambah akrab persaudaraannya.15 Pada dasarnya obyek sengketa menjadi terhenti karena terjadinya perdamaian adalah persengketaan. Yang berkaitan dengan hukum kebendaan (zaken recht). Dengan demikian akta perdamaian yang dibuat oleh para pihak dalam persidangan mempunyai kekuatan eksekutorial apabila salah satu pihak tidak berkenan melaksanakan isi akta perdamaian yang telah mereka buat.16 Dalam ketentuan hukum Indonesia, perjanjian perdamaian itu hanya sebatas persoalan yang menyangkut hubungan keperdataan (hubungan yang menyangkut hubungan individu dengan individu lain) sedangkan terhadap persoalan-persoalan yang melanggar ketentuan hukum pidana (seperti pencurian, pembunuhan) tidak dapat diadakan perjanjian perdamaian, karena hal itu merupakan kewenangan publik/masyarakat. Jadi, kalaupun diadakan perdamaian tidak berarti hapus atau berakhirnya penuntutan.17 B. Perumusan Masalah Permasalahan yang hendak penulis angkat dalam skripsi ini adalah: "Bagaimana persyaratan arbitrase dalam pasal 7-11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 jika dilihat dari konsep Ash Shulhu dalam Hukum Islam?" C. Tujuan Kajian Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah:
15
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta : Kencana, 2005, hlm. 152 16 Ibid, hlm 165 17 Suhrawardi K Lubis, Op Cit, hlm. 182
9
"Untuk mengetahui secara komprehensif mengenai relevansi antara syarat arbitrase dalam pasal 7-11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang arbitase dan alternatif penyelesaian sengketa dengan konsep Ash Shulhu dalam Hukum Islam dalam penyelesaian sengketa bisnis." D. Telaah Pustaka Untuk memperlancar dan mempermudah penelitian ini penulis akan mempergunakan buku-buku penelitian yang membahas mengenai arbitrase yang di dalamnya membahas tentang syarat arbitrase yang dikemukakan oleh para ahli sebagai referensi. Sesuai informasi yang terbatas pada kemampuan penulis dalam mengamati karya-karya mengenai arbitrase telah ditemukan beberapa penelitian dengan topik yang sama secara umum mengenai arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa yang didalamnya membahas tentang syarat arbitrase, diantaranya adalah sebagai berikut : Sudargo Gautama, dalam bukunya “Undang-Undang Arbitrase Baru Tahun 1999”, 1999, Mengatakan bahwa syarat arbitrase dalam pasal 7 dapat disepakati antara kedua belah pihak yakni sebelum terjadi sengketa atau sesudah terjadi sengketa..18 Munir
Fuady,
dalam
bukunya
"Arbitrase
Nasional,
Alternatif
Penyelesaian Sengketa", 2003, Mengatakan bahwa cikal bakal lembaga arbitrase su dah ada sejak zaman Yunani kuno, terus berkembang pada zaman Romawi dan Yahudi, seterusnya di negara-negara Eropa seperti Inggris dan
18
Bakti,1999.
Sudargo Gautama, Undang-Undang Arbitrase Baru, Bandung : Citra Aditya
10
Belanda kemudian ke Perancis(1250), Scotlandia(1695), Irlandia(1700), Denmark(1795), dan USA(1870).19 Rahmat Rosyadi dan Ngatimo,dalam bukunya "Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif" (2002). Mengatakan bahwa sumber hukum ash shulhu adalah surat al-Hujurat:9, dan surat an-Nisa:35 dan sunah Rasul, serata ijma ulama sebagai yurisprudensi hokum islam.20 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani,dalam bukunya "Hukum Arbitrase", (2001) mengatakan ntentang pengertian dan uraian mengenai arbitrase menurut undang-undang nomor 30 tahun 1999, serta menguraikan tentang penyelengaraan pemerikasaan arbitrase oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dengan berbagai perbandingan dengan lembaga arbitrase di luar negeri.21 Mengenai arbitrase dalam bentuk skripsi, sebenarnya sudah ada yang mengangkatnya, namun skripsi yang ditulis oleh saudara Iwan Fuadi, S.HI angkatan 2000 ini mengkaji arbitrase dari segi perjanjiannya (pasal 1 ayat 3 Undang-undang No 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa). Sesungguhnya apabila sengketa bisnis yang melibatkan para pihak tidak segera diselesaikan dengan cara cepat, sederhana dan biaya murah, dapat mengakibatkan kemunduran bagi dunia usaha. Dengan demikian, diperlukan suatu 19
lembaga/badan
penyelesaian
sengketa
bisnis
yang
mampu
Munir Fuady, Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003 20 Rahmat Rosyadi dan Ngatimo, Arbitrase Dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002 21 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op Cit.
11
mengantisipasinya. Permasalahan yang akan penulis kaji yaitu STUDI ANALISIS TERHADAP SYARAT ARBITRASE DALAM PASAL 7-11 UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA RELEVANSINYA DENGAN KONSEP ASH SHULHU DALAM HUKUM ISLAM belum ada yang membahasnya, sehingga penulis tertarik untuk mengkajinya. E. Metode Kajian Metode Kajian yang digunakan dalam skripsi ini adalah kajian komparatif. Dengan melihat pokok permasalahan dan tujuan penulisan, maka agar dalam penulisan dalam suatu pembahasan dapat terarah dan mengena pada permasalahan, maka penulisan skripsi ini memakai kajian komparatif (perbandingan) yaitu suatu kajian dengan cara membandingkan data yang satu dengan data yang lain.22 Metode ini penulis gunakan untuk membandingkan antara syarat arbitrase dalam undang-undang nomor 30 Tahun 1999 dengan syarat yang ada dalam konsep ash shulhu dalam islam, dimaksudkan agar nantinya dapat diketahui denga jelas kedudukannya dalam hukum islam. F. Sistematika Penulisan Sebelum menuju kepada pembahasan secara terperinci dari bab ke bab dan dari halaman ke halaman lain, ada baiknya jika penulis memberikan gambaran singkat sistematika penulisan yang akan disajikan sebab dengan
22
Rony Hanihjo, Soemitro, Metodologi Penelitian Hokum Dan Jurimetri, Jakarta, Ghalia Indonesia, hlm 30
12
demikian diharapkan dapat membantu pembaca untuk menangkap cakupan materi yang ada didalamnya secara integral. Pembahasan secara keseluruhan dalam skripsi ini terbagi dalam lima bab, masing-masing bab memiliki kaitan antara satu dengan yang lainnya dalam memaparkan skripsi ini. Maka kami akan menyampaikan sistematika penulisan sebagai berikut: BAB I
: PENDAHULUAN Pada bab ini meliputi : latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisannya. Dari
bab
ini
melatarbelakangi
dapat
diketahui
perlunya
apa
pembahasan
yang
sebenarnya
penelitian
ini.
Selanjutnya dapat diketahui batasan dan rumusan masalah yang relevan untuk dikaji serta tujuan dan kegunaan yang hendak dicapai, disamping itu dapat dicermati metode dan pendekatan apa yang digunakan dalam penelitian ini serta sistematika penulisannya. BAB II
: KONSEP ASH SHULHU DALAM ISLAM Dalam menjelaskan landasan teori yang akan dibahas yaitu pengertian ash shulhu, dasar hukum ash shulhu, syarat dan rukun ash shulhu, macam-macam ash shulhu dalam hukum Islam.
13
BAB III
: KETENTUAN SYARAT ARBITRASE DALAM PASAL 7-11 UNDANG-UNDANG NO 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE
DAN
ALTERNATIF
PENYELESAIAN
SENGKETA Meliputi: latar belakang dan proses pembentukan Undangundang no 30 tahun 1999, materi undang-undang, karakteristik undang-undang, ketentuan syarat arbitrase dalam Undangundang nomor 30 tahun 1999. BAB IV
: ANALISIS TERHADAP SYARAT ARBITRASE DALAM PASAL 7-11 UNDANG-UNDANG NO 30 TAHUN 1999 TENTANG
ARBITRASE
DAN
ALTERNATIF
PENYELESAIAN SENGKETA Dimulai dengan menganalisis bagaimana syarat arbitrase, dan selanjutnya menganalisis bagaimana pandangan hukum Islam terhadap arbitrase BAB V
: PENUTUP Berisi tentang kesimpulan saran-saran dan penutup yang merupakan bab terakhir dari penulisan ini.