BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Media massa adalah corong yang tanpanya suatu peristiwa hanya menjadi sebuah cerita dengan jumlah pendengar yang terbatas. Media massa juga bisa mempertajam efek psikologis suatu peristiwa jauh melebihi apa yang sebenarnya terjadi. Di sinilah media massa memainkan peran terbesarnya dalam percepatan sebuah topik menjadi kesadaran maupun kepentingan suatu pihak.1 Mereka melakukannya melalui pemilihan angle pemberitaan, penambahan ataupun pengurangan foto serta gambar, dan lain-lain. Dalam hal ini, konflik kekerasan adalah salah satu jenis peristiwa yang sering dimuat dalam media massa karena memiliki nilai berita yang tinggi.2 Informasi tentang konflik memang sangat menarik perhatian khalayak karena mengandung sensasi dan tragedi. Sensasi dan tragedi itulah yang ternyata justru menjadi hiburan bagi sejumlah kalangan. Karenanya, tidak heran jika berita di media massa diwarnai oleh liputan-liputan tentang tawuran pelajar, kerusuhan yang dilakukan oleh geng motor, kekerasan dalam Masa Orientasi Siswa (MOS), serangan roket, perang etnis, perkelahian antarsuporter, konflik kepentingan terkait partai politik (parpol), penculikan, pembunuhan, pengangkapan terkait narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba), serta pencurian.
1
Philip J. Tichenor, et. al., 1980, Community Conflict and The Press, (London: Sage Publications), hal. 119. 2 Julian Harris, et. al., 1985, The Complete Reporter: Fundamentals of News Gathering, Writing, and Editing, Complete with Exercises (New York: MacMillan Publishing Company).
1
2
Jika tidak ditangani dengan layak, berita-berita tentang konflik kekerasan ini akan berdampak negatif bagi masyarakat. Berita-berita yang provokatif justru membuat permasalahan menjadi lebih keruh dan tentu kontraproduktif dengan upaya-upaya penanganannya. Konflik kekerasan pun menjadi berlarut-larut. Dalam konteks Indonesia, keberadaan media massa dan konflik kekerasan menjadi makin menarik untuk dicermati, terlebih setelah mundurnya Soeharto dari jabatannya sebagai presiden. Peristiwa ini telah menandai babak baru dalam kehidupan berekspresi masyarakat Indonesia. Berbagai komunitas yang tidak tampak dan dilarang berdiri pada masa pemerintahan Soeharto, kini mulai menampakkan dirinya di ruang publik. Keran kebebasan berekspresi yang lebih terbuka menjadi justifikasi bagi maraknya komunitas-komunitas ini dalam masyarakat. Salah satu konflik kekerasan yang sering diangkat oleh media massa adalah yang terkait dengan keberadaan Ahmadiyah.3 Dalam beberapa tahun terakhir, memang terjadi serangkaian konflik kekerasan yang melibatkan aliran ini. Pada 2002, warga Ahmadiyah di Kota Selong, Lombok Timur, harus mengungsi lantaran diserang kelompok muslim lain.4 Tahun berikutnya, Masjid Ahmadiyah di Desa Manis Lor, Kuningan, Jawa Barat (Jabar), diserbu massa.5 Puncaknya adalah ketika Kampus Mubarak-Bogor milik Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) diserang pada Juli 2005 oleh ribuan massa. Begitu markas besar berhasil dilumpuhkan, Ahmadiyah kian sering mengalami kekerasan. Beberapa bulan
3
The Wahid Institute, 2010, Annual Report Kebebasan Beragama dan Kehidupan Keagamaan di Indonesia Tahun 2009, (Jakarta: The Wahid Institute, 2010), hlm. 5 – 7. 4 “Warga Serang Anggota Ahmadiyah Lombok Timur,” Tempo Interaktif, 15 September 2002. 5 “Belasan Rumah Ahmadiyah Dibakar”, gatra.com, 14 Februari 2003.
3
kemudian, tepatnya pada Februari 2006, sejumlah rumah warga dibakar dan masjid milik warga Ahmadiyah di Desa Segerongan, Lombok Barat dirusak. Warga Ahmadiyah di wilayah itu pun terpaksa mengungsi, tapi tak mendapat perlindungan cukup dari pemerintah.6 Jawa Pos dipilih karena menjadi salah satu koran yang berpengaruh di Indonesia. Ketika jumlah pembaca koran dinilai semakin menurun, hal yang sama tidak terjadi pada Jawa Pos.7 Ini disebabkan oleh keberhasilan koran tersebut dalam menggaet pembaca muda. Kesuksesan regenerasi pembaca inilah yang membuat keberadaan koran ini menjadi layak diperhitungkan pada masa mendatang. 1.2 Rumusan Masalah Apakah prinsip jurnalisme perdamaian diterapkan oleh Jawa Pos dalam menyajikan liputan tentang konflik kekerasan terhadap Ahmadiyah di Cikeusik pada Februari 2011? 1.3 Tujuan Penelitian Pemilihan rumusan masalah di atas bertujuan untuk melihat penggunaan prinsipprinsip jurnalisme perdamaian, khususnya oleh Jawa Pos dalam menyajikan liputan tentang konflik kekerasan terhadap Ahmadiyah di Cikeusik pada Februari 2011. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian tentang bagaimana pemberitaan Jawa Pos atas konflik Ahmadiyah di Cikeusik pada Februari 2011 jika dikaitkan dengan jurnalisme 6 7
“Polisi Tak Menjamin Keamanan Anggota Ahmadiyah”, Tempo Interaktif, 6 Februari 2006. Enciety Business Consult, 2009, Media Habits.
4
perdamaian merupakan langkah awal untuk menentukan tindakan yang sebaiknya diambil dalam kaitannya dengan media massa. Jika Jawa Pos menerapkan prinsip jurnalisme perdamaian dalam pemberitaannya untuk kasus ini, maka penelitian selanjutnya bisa mencari tahu faktor-faktor apa saja yang mendukungnya. Koran ini bisa dijadikan contoh bagi surat kabar-surat kabar lain dalam memberitakan konflik kekerasan. Sebaliknya, jika prinsip itu tidak diterapkan oleh koran ini, maka langkah selanjutnya adalah mencari tahu penyebabnya. Ini merupakan langkah
lanjutan
untuk
mengupayakan
alternatif-alternatif
solusi
guna
menghadapi kendala-kendala itu. I.5 Landasan Konseptual Dalam hal ini, cara Jawa Pos menyajikan liputan tentang konflik kekerasan yang menimpa komunitas Ahmadiyah di Cikeusik pada Februari 2011 bisa dianalisa dengan prinsip jurnalisme perdamaian. Jurnalisme perdamaian menekankan pada sikap editor dan reporter dalam menentukan pilihan tentang apa yang diberitakan dan bagaimana melaporkannya. Awak redaksi yang berpegang pada prinsip jurnalisme perdamaian akan menyajikan berita-berita yang memberikan peluang kepada masyarakat sebagai konsumen media massa untuk mempertimbangkan penggunaan upaya-upaya nirkekerasan saat berada pada situasi konflik. Namun, jika masyarakat memilih untuk menggunakan cara-cara kekerasan dalam konflik, maka itu sudah bukan tanggung jawab media massa lagi bila mereka telah menjalankan prinsip jurnalisme perdamaian.8
8
Jake Lynch and Annabel McGoldrick, 2005, Peace Journalism, Hawthorn Press.
5
Prinsip-prinsip jurnalisme perdamaian berbeda dengan pemberitaan yang selama ini sering dijumpai di media massa saat melaporkan konflik kekerasan.9 Prinsip-prinsip tersebut adalah: 1. tidak hanya memberitakan dua kubu yang bertikai, tapi juga pihak-pihak yang terkait dalam konflik kekerasan, permasalahan yang menyertai, dan berorientasi pada opsi “menang-menang”. Untuk itu, diperlukan alat bantu analisis yang disebut pemetaan konflik. Pemetaaan adalah teknik yang digunakan untuk menggambarkan konflik secara grafis. Jadi, bagan pemetaan ini menunjukkan aktor-aktor utama yang berkonflik serta hubungannya dengan pihak-pihak lain yang berkepentingan di dalam konflik itu sekaligus memperlihatkan masalah-masalah
yang menyertainya. Alat ini bisa
menggambarkan letak kekuasaan dan pihak-pihak potensial yang bisa diajak kerja sama untuk mulai membangun upaya perdamaian. Sementara itu, opsi menang-menang adalah sebuah alternatif solusi penanganan konflik di mana masing-masing pihak mendapat kebutuhannya masing-masing. Dalam konflik, yang terlihat adalah posisi, bukan kebutuhan Posisi adalah apa yang terlihat di depan umum. Sedangkan kebutuhan adalah apa yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak. Dalam situasi konfliktual di mana tingkat kepercayaan masing-masing pihak tentu sangat rendah, kebutuhan apa yang sebenarnya harus dipenuhi oleh seseorang atau sekelompok orang sulit terungkap. Bagi beberapa orang, mengungkapkan kebutuhan dalam konflik dikhawatirkan akan menunjukkan
9
The Peace Journalism Option, 1998, (London: Transcend Peace and Development Network).
6
kelemahan dan itu bisa melemahkan posisi tawar mereka. Karenanya, rasa saling percaya harus dibangun terlebih dahulu agar tercipta komunikasi yang efektif sehingga bisa menumbuhkan empati. Empati inilah yang bisa mengungkap apa sebenarnya kebutuhan suatu pihak dalam konflik tanpa mereka perlu ungkapkan secara langsung.10 Contoh sederhana penerapan opsi menang-menang adalah dua orang yang berebut sebuah jeruk. Yang haus mendapat daging jeruk. Yang sedang membuat mainan mendapat kulit jeruk. Jadi, dalam opsi menang-menang, perolehan masing-masing pihak yang berkonflik tidak harus sama rata. 2. mencari sebab konflik kekerasan dalam perspektif sejarah Jurnalisme perdamaian tidak menentukan penyebab pecahnya konflik kekerasan hanya dengan melihat siapa yang menyerang lebih dulu. Jurnalisme
ini
lebih
menggarisbawahi
struktur
dan
kultur
yang
melatarbelakangi meletusnya konflik kekerasan tersebut. Ini sesuai dengan segitiga kekerasan Galtung. Segitiga ini memuat tiga tipe kekerasan, yaitu langsung, struktural, dan kultural.11 Pada aspek kultural, jurnalis harus mempertanyakan beberapa nilai, seperti militerisme, nasionalisme, dan etnosentrisme,
yang
menopang
berlangsungnya
konflik
kekerasan.12
Sedangkan pada sisi struktural, sang wartawan membahas kebijakan,
10
Simon Fisher et. al. (eds.), S. N. Kartikasari, dkk (terj.), 2000, Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak, (Jakarta: The British Council Indonesia), hal. 27. 11 Johan Galtung, “Cultural Violence,” Journal of Peace Research, Volume 27, Issue 3, Aug. 1990, p. 291 – 305. 12 Wilhelm Kempf, 2003, “Constructive Conflict Coverage: A Social-Psychological Research and Development Program,” Conflict and Communication Online (2) 2,
, 6 Mei 2013.
7
penentuan distribusi sumber daya, pemegang otoritas, dan hubungan antaraktor yang juga berpengaruh pada pecahnya konflik kekerasan.13 3. melihat aspek humanisasi di semua pihak Berita yang ditampilkan tidak memilahkan “kita” dan “mereka”. Dalam hal ini, ada banyak implikasi pada penyajian berita ketika dalam memberitakan suatu konflik kekerasan, jurnalis telah membuat dikotomi antara “kita” dan “mereka”. Jika dikotomi itu sudah tertanam dalam benak jurnalis, maka liputan yang dimuat cenderung hanya menekankan humanisasi bagi “kita” dan selalu melakukan dehumanisasi di pihak “mereka”. Inilah yang mengesankan pihak “mereka” sebagai kumpulan orang yang tidak bisa diajak bernegosiasi.14 Padahal, pemberitaan seperti itulah yang dihindari dalam jurnalisme perdamaian. Jurnalisme perdamaian tidak hanya membeberkan kesalahan dari pihak “mereka” dan menutup-nutupi ketidakbenaran kubu “kita”. Dalam hal ini, yang diberitakan adalah kesalahan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bersinggungan dalam konflik kekerasan. Jika hanya membeberkan kesalahan dari kubu “mereka”, maka publik cenderung berpandangan bahwa problem yang harus diatasi adalah salah satu pihak yang bertikai. Ini tidak sesuai dengan prinsip jurnalisme perdamaian yang ingin menempatkan konflik kekerasan sebagai masalah yang harus dikelola, bukannya salah satu pihak 13
Johan Galtung, “Violence, Peace, and Peace Research,” Journal of Peace Research, Vol. 6, No. 3, 1969, p. 291 – 305. 14 Ross Howard, 2004, Conflict Sensitive Journalism Handbook, (Vancouver: Institute for Media, Policy and Civil Society), , 24 Maret 2013.
8
yang menjadi sumber problem. Jurnalisme perdamaian juga tidak akan fokus pada penderitaan pihak “kita”. Jurnalisme ini menekankan pada penderitaan yang dialami semua lapisan masyarakat akibat konflik kekerasan, terutama wanita, anak-anak, dan orang-orang lanjut usia (lansia). 4. fokus pada dampak nonfisik konflik kekerasan Jurnalisme perdamaian menekankan pemberitaan pada efek nonfisik konflik kekerasan, seperti trauma serta kerusakan pada struktur dan budaya masyarakat, misalnya hilangnya rasa saling percaya dan rusaknya sistem pendidikan. Jadi, yang ditampilkan tidak hanya dampak fisiknya, misalnya korban jiwa dan luka-luka ataupun kerugian material lainnya, seperti rusaknya rumah serta hancurnya fasilitas publik lain. 5. Fokus pada para pegiat perdamaian di tingkat akar rumput Jurnalis tidak hanya memberitakan insiatif perdamaian yang digagas oleh kalangan
elit.
Karenanya,
jurnalisme
perdamaian
tidak
terlalu
menitikberatkan pada pakta dan lembaga yang mengontrol gencatan senjata saja sebab perjanjian-perjanjian damai semacam ini umumnya hanya melibatkan kalangan elit. Euforia perdamaian yang hanya terjadi di level elit dalam lingkup gencatan senjata ini justru kontraproduktif jika tidak diimbangi dengan upaya-upaya untuk memperbaiki struktur sosial, budaya, dan politik masyarakat di tingkat akar rumput.15 Karenanya, jurnalisme ini fokus pada para pegiat perdamaian di tingkat akar rumput sebab merekalah yang berhubungan langsung dengan masyarakat 15
D. Bar-Tal dan D. Antebi, 1992, “Beliefs about Negative Intentions of The World: A Study of The Israeli Siege Mentality,” Journal of Political Psychology, 13 (4), p. 633 – 45.
9
dalam kehidupan sehari-hari. Mereka ini antara lain kepala organisasi nonpemerintah di tingkat akar rumput, tenaga kesehatan lokal, dan pengelola kamp pengungsian.16 Dalam hal ini, masyarakatlah yang menyaksikan dan merasakan secara langsung konflik kekerasan yang terjadi beserta trauma yang menyertainya. Karena lebih mengenal kondisi setempat, ide-ide penting dan upaya praktis sering muncul pada tingkat akar rumput.17 Oleh sebab itu, peran organisasi-organisasi tingkat akar rumput, seperti asosiasi perempuan dan kelompok-kelompok religius, juga mendapat porsi pemberitaan yang cukup. Mereka inilah yang perlahan-lahan bisa mengubah sikap masyarakat yang hidup dalam kondisi pascakonflik kekerasan melalui beragam kegiatannya. 6. Perdamaian dimaknai secara positif dari aspek kultural dan struktural Fokus pada gerakan akar rumput ini merupakan langkah tepat untuk mengakhiri konflik kekerasan yang berorientasi jangka panjang dengan membangun perdamaian positif yang lebih menekankan pada struktur dan budaya masyarakat yang damai,18 termasuk bagaimana menghadapi konflik sehari-hari dengan cara nirkekerasan. Perdamaian dan aksi nirkekerasan adalah sesuatu yang mewarnai keseharian yang meliputi interaksi dengan orang lain, pilihan-pilihan yang dibuat seseorang, serta bagaimana manusia melihat dunianya.
16
John Paul Lederach, 1997, Building Peace: Sustainable Reconciliation in Divided Societies, (Washington DC: United States Institute od Peace), p. 39. 17 Ibid, p. 52. 18 Galtung, “Violence, Peace, and Peace Research,” op. cit., p. 296.
10
Beberapa indikator yang menjadi tolak ukur perdamaian positif terbagi dalam tujuh kategori.19 Kategori pertama adalah kesehatan fisik dan psikologis yang memuat lima indikator, yaitu rendahnya tingkat kematian penduduk – terutama yang terkait dengan kecelakaan lalu lintas (lalin) dan senjata –, tingginya
status
gizi
masyarakat,
serta
partisipasi
dalam
kegiatan
kemasyarakatan. Kategori kedua berhubungan dengan lingkungan yang meliputi kebersamaan di antara kelompok-kelompok masyarakat dalam pengelolaan dan pembagian Sumber Daya Alam (SDA). Kategori berikutnya adalah keamanan yang terdiri dari dua indikator. Pertama, penolakan terhadap godaan untuk melakukan kekerasan. Kedua, dapat berlangsungnya pertemuan publik dengan bebas dan bertanggung jawab tanpa rasa takut. Bidang sosial adalah kategori berikutnya. Indikator pertamanya adalah jaminan akan kebebasan berpikir, berspiritual, dan berbicara. Kebebasan pers merupakan indikator kedua. Indikator berikutnya adalah tinggi dan variatifnya tipe interaksi sosial yang konstruktif. Jaminan akan perkawinan campuran merupakan indikator terakhir. Dalam bidang politik, indikator yang dipakai adalah keanggotaan partai politik (parpol) yang berasal dari berbagai kelompok masyarakat dan pemilu yang bersih. Sedangkan di bidang peradilan, kesetaraan hukum dan penolakan terhadap peraturan yang diskriminatif menjadi indikatornya. Sementara itu, di bidang ekonomi, indikator perdamaian positif yang dipakai adalah penurunan
19
Fisher, op. cit., hal. 164.
11
tingkat kemiskinan dan pengangguran. Indikator lain yang digunakan adalah kemajuan dalam mengatasi kesulitan ekonomi. Ini berkaitan dengan bagaimana seseorang atau sekelompok orang menyesuaikan diri dengan kemampuan ekonominya yang mungkin terbatas. Jadi, perdamaian tidak hanya dipandang sebatas gencatan senjata, apalagi dimaknai sebagai kemenangan di salah satu pihak saja. Jika perdamaian hanya dimaknai sebagai kemenangan di salah satu pihak, maka inisiatifinisiatif damai dari kalangan akar rumput akan disembunyikan jika kubu “kita” belum menang. 7. Ada proses rekonstruksi pascakonflik Sebagai konsekuensi dari semangat untuk membangun perdamaian positif, maka harus ada proses rekonstruksi pascakonflik. Ini dilakukan untuk menghindari meletusnya konflik kekerasan lanjutan. Dalam hal ini, prosesproses itulah yang berpotensi menciptakan kondisi yang kondusif dalam masyarakat pascakonflik. Jika tidak ditangani dengan baik, luka-luka lama dalam trauma inilah yang juga dapat menggerakkan mereka untuk bertempur lagi bila ada pemicu. Karenanya, rekonstruksi pascakonflik mendapat porsi pemberitaan lebih pada jurnalisme perdamaian. Rekonstruksi
pascakonflik
mengidentifikasi
serta
adalah
mendukung
upaya-upaya struktur
guna
menyeluruh
untuk
mengonsolidasikan
perdamaian. Rekonstruksi ini bisa dalam segi prasarana fisik maupun nonfisik. Rekonstruksi ini bisa dilakukan dengan:
12
a.
melucuti senjata pihak-pihak yang bertikai dan menghancurkannya bila perlu;
b.
reintegrasi prajurit milisi dalam kehidupan masyarakat sipil, termasuk melibatkan mereka dalam pentas politik parlementer;20
c.
membantu pengungsi maupun mantan prajurit milisi untuk kembali hidup layak melalui pembangunan di bidang sosial dan ekonomi21 dengan mendirikan infrastruktur fisik22 ataupun mengelola distribusi sumber secara adil23;
d.
melatih dan mengawasi aparat keamanan;
e.
memonitor pemilihan umum (pemilu);
f.
memperkuat institusi pemerintahan;
g.
mengurangi insentif bagi mereka yang diuntungkan oleh konflik kekerasan yang berlarut-larut24; serta
h.
mempromosikan partisipasi politik yang formal maupun informal.25
Rekonstruksi nonfisik disebut juga rekonsiliasi. Rekonsiliasi adalah suatu proses untuk mempertemukan konsep-konsep keadilan, kebenaran, belas 20
Stephan Stedman, "Implementing Peace Agreements in Civil Wars: Lessons and Recommendations for Policy Makers," International Peace Academy Policy Papers Series on Peace Agreements, May 2001, New York, p. 750 – 1. 21 Nicole Ball, 2001, “The Challenge of Rebuilding War-Torn Societies,” Chester A. Crocker, Fen Oster Hampson, Pamela Aall, Turbulent Peace: The Challenges of Managing International Conflict, (Washington D. C.: United States of Peace Press). 22 Peirce dan Paul Arthur Stubbs, 2000, 'Peacebuilding, Hegemony and Integrated Social Development: the UNDP in Travnik, BiH,” dalam M. Pugh, (ed.), Regeneration of War-torn Societies, Macmillan, p.158 23 M. Duffield, S. Lautze, dan B. Jones, 1998, Strategic Humanitarian Coordination in the Great Lake Region 1996 – 1997, (New York: United Nations Office for the Coordinaton of Humanitarian Affairs). 24 Mark Duffield, 2000, “Globalization, Transborder Trade, and War Economies,” dalam Mats Berdal dan David M. Malone (eds.), Greed and Grievance: Economic Agendas in Civil Wars, (Boulder dan London: Lynner Rienner Publishers), p. 75. 25 Boutros Boutros-Ghali, 1995, An Agenda for Peace: with the New Supplement and Related UN Documents, United Nations
13
kasihan, dan perdamaian positif. Kebenaran dibedakan menjadi empat macam, yaitu forensik, pribadi dan naratif, sosial, serta penyembuhan dan pemulihan.26 Kebenaran forensik adalah yang secara legal atau ilmiah didapatkan berdasarkan informasi faktual yang didukung oleh bukti. Info ini diperoleh dengan cara-cara yang bisa dipercaya dan obyektif sehingga dapat mengurangi kemungkinan tersebarnya berita-berita yang belum jelas kebenarannya dalam ruang publik. Kebenaran pribadi diperoleh dari keterangan korban maupun pelaku kekerasan yang mengungkapkan arti dari berbagai pengalaman mereka selama terlibat konflik. Sementara itu, kebenaran sosial dikembangkan melalui interaksi, khususnya dalam bentuk diskusi.27 Interaksi tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai sarana untuk mencari tahu perspektif dan motivasi yang kompleks yang melatarbelakangi tindakan pihak-pihak yang terlibat konflik kekerasan. Sedangkan kebenaran pemulihan berfungsi menempatkan fakta-fakta dan bagaimana hal itu dimaknai dalam konteks hubungan antarmanusia. Jadi yang ditekankan dalam kebenaran ini bukanlah pengetahuan tentang fakta-fakta itu, tapi pengakuan bahwa realitas itu menyakitkan bagi pihak-pihak yang terlibat konflik kekerasan. Pengakuan bahwa fakta itu menyakitkanlah yang seharusnya mendapat perhatian lebih dan merupakan pangkal dari pemulihan atas martabat korban. Belas kasihan adalah kemampuan orang-orang yang telah menjadi korban kekerasan untuk mengampuni, menghargai sesama, dan mengakui bahwa 26
Asmal dan Roberts, 1996, Reconciliation through Truth, Cape Town. Albie Sachs dalam Alex Boraine dan Janet Levy (eds.), 1995, Healing of a Nations, (Cape Town: Justice in Transition), p. 105. 27
14
mereka harus membagi tanggung jawab bersama atas apa yang terjadi pada masa lalu serta untuk memiliki visi yang sama tentang hari depan. Sikap ini harus diusahakan meskipun masih ada kemarahan, ketakutan, rasa bersalah, dan kecurigaan yang melekat dengan kejadian yang dulu. Kadang proses ini diawali dari sistem peradilan atau dengar pendapat yang mempertimbangkan tindakan seseorang atau sekelompok orang pada masa lalu dan memutuskan apakah mereka akan dikenakan hukuman pidana ataukah diberi amnesti. Sedangkan keadilan dalam rekonsiliasi tidak hanya menyangkut individu, tapi juga kehidupan sosial masyarakat. Jadi, keadilan tidak hanya dipandang sebagai ganti rugi atau sekedar kemampuan untuk mengampuni. Keadilan dalam kaitannya dengan kehidupan sosial dalam masyarakat harus mempertimbangkan ketidakadilan yang terjadi pada masa lalu. Jadi, ketidakadilan yang dimaksud bukan hanya yang terjadi ketika konflik kekerasan berlangsung, tetapi juga yang menjadi akar permasalahan penyebab pertikaian sosial itu. Keadilan sosial juga melibatkan rekonstruksi fisik maupun nonfisik serta pembagian sumber daya secara adil.28 Dalam hal ini, ada bentuk segitiga yang lain yang juga digunakan pada jurnalisme perdamaian. Yang dimaksud di sini adalah segitiga konflik yang masing-masing sisinya terdiri dari perilaku, sikap, dan situasi.29 Aspek situasi menjelaskan kondisi dalam masyarakat yang melatari konflik kekerasan. Dimensi ini bisa bersumber dari struktur dan nilai sosial. Aspek ini juga meliputi perbedaan, kelangkaan, dan perubahan. Sedangkan aspek sikap membahas 28 29
Fisher, op. cit., p.135. Christopher R. Mitchell, 1981, The Structure of International Conflict, (London: Macmillan).
15
persepsi pihak-pihak yang terlibat dalam konflik kekerasan. Ini menyangkut bagaimana persepsi itu terbentuk dan dipertahankan. Dimensi sikap ini juga meliputi aspek-aspek kognisi dan emosi. Aspek kognisi tampak dalam konstruksi musuh. Sementara sisi emosi diwakili oleh perasaan benci, marah, kecewa, curiga, dan dendam. Dalam segitiga konflik tersebut, prinsip-prinsip jurnalisme perdamaian terbagi seperti di bawah ini:30 Jurnalis mengupayakan tindakan-tindakan proaktif sebelum konflik kekerasan meletus. Jika konflik kekerasan sudah pecah, tindakan-tindakan proaktif ini diharapkan bisa membuatnya menjadi tidak berlarut-larut. Singkatnya, jurnalis mengupayakan tindakan-tindakan tersebut agar publik mempunyai alternatif lain dalam menangani konflik, yaitu secara nirkekerasan, bukannya kekerasan.
1. Penyebab konflik kekerasan dari sisi sejarah 2. Pihak-pihak yang berhubungan dengan konflik kekerasan, tidak hanya mereka yang secara langsung terlibat sengketa.
1. Empati 2. Menghindari dikotomi “kita” vs “mereka. 3. Melihat konflik kekerasan sebagai problem yang harus ditangani bersama, bukannya pihak “mereka” sebagai masalah yang mesti dihancurkan. 4. Fokus pada dampak nonfisik 30 Samuel Peleg, “Peace Journalism through The Lense of Conflict Theory: Analysis and seperti Practice,” Conflict and Communication Online, Vol.konflik 5 No. 2, kekerasan, 2006, , 22 Maret 2013. kepercayaan, yang bisa menjadi bahan bakar meletusnya perselisihan baru jika tidak ditangani dengan baik.
16
I.6 Tinjauan Pustaka Praktisi jurnalisme perdamaian telah memberikan contoh bagaimana penerapannya dalam peliputan beberapa peliputan peristiwa konflik kekerasan, di antaranya: 1. Pengeboman saat Hari Kasih Sayang di Filipina pada 200531 Liputannya diawali dengan menceritakan pengebom yang menyerang sebuah komuter di Manila serta dua kota lain di Filipina Selatan, yaitu Davao dan General Santos. Tim medis pun segera menolong mereka yang mengalami luka-luka dan menangani korban tewas. Korban tewas dalam kejadian ini berjumlah sebelas orang. Keterangan saksi mata yang mendengar ledakan keras yang membuat benda-benda di sekitarnya berhamburan sesaat sebelum dia pingsan juga ditampilkan. Beritanya juga menyebutkan tentang klaim Abu Sayyaf sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pengeboman itu. Pengeboman tersebut merupakan bentuk balas dendam kelompok itu atas banyaknya korban tewas dari kalangan sipil dalam serangkaian peristiwa yang mereka sebut sebagai “serangan militer” di Filipina Selatan. Untuk menyikapi tindakan militer di Filipina Selatan itu, para aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dan kelompokkelompok oposisi meminta pemerintah untuk menarik pasukannya dan menginvestigasi pelanggaran-pelanggaran yang dituduhkan. Reporter juga melaporkan kondisi Richard Bulane, salah satu korban pengeboman tersebut. Bulane dirawat di rumah sakit dan tim dokter tengah 31
Jake Lynch dan Annabel McGoldrick, 2007, The “War on Terrorism” and The Philippines: A Peace Journalism Video, (Oxford: Golden Vision Media).
17
berupaya menyelamatkan lengan kanannya. Bulane juga telah kehilangan tiga anggota keluarganya dalam serangan terencana yang dilakukan oleh tentara Filipina di Mindanao. Menurut pengakuan Bulane, serangan itu terjadi secara tiba-tiba. Di sisi lain, pihak militer menuduh Bulane sebagai teroris yang juga komunis, kelompok yang selama ini mereka hadapi. Selanjutnya, jurnalis juga menginformasikan adanya peringatan dari polisi terkait makin banyaknya serangan yang menargetkan fasilitas umum, seperti terminal dan taman kota. Meski Presiden Arroyo telah memulai negosiasi dengan separatis Islam di Mindanao, namun tidak sedikit analisis yang mengingatkan bahwa banyaknya serangan yang tidak tertangani dengan baik itu akan menghambat proses membangun perdamaian. Seranganserangan yang berkelanjutan ini membuat rakyat Filipina terjebak dalam siklus kekerasan di mana tiap insiden hanya akan menambah ketakutan warga. Apalagi jika serangan tersebut juga ditanggapi pemerintah dengan pendekatan militer yang merupakan salah satu strategi yang digunakan dalam kebijakan perang melawan terorisme. Bahkan, dari penuturan Bulane di atas, tampak bahwa kebijakan perang melawan terorisme justru digunakan untuk membenarkan kekerasan yang dilakukan oleh tentara pemerintah dalam melawan rakyat sipil. 2. Invasi Amerika Serikat (AS) ke Irak32 Jurnalisme perdamaian menunjukkan perspektif yang lebih luas dalam melihat suatu konflik. Dalam kasus ini, pemberitaan tidak hanya fokus pada 32
Marianne Perez, Paper No. 10 Peace Journalism Case Study: US Media Coverage of the War in Iraq, Transcend Research Institute, p. 12 -
18
George Walker Bush dan Saddam Hussein. Liputan yang ditampilkan juga harus mempertimbangkan peran beragam kelompok dan orang-orang yang berhubungan dengan pemerintahan mereka, seperti aliansi militer dan politik, kompleks industri militer, minoritas Kurdi di Irak, inspektor senjata dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), kepala negara Perancis serta Jerman, juga orang-orang yang menentang invasi tersebut. Jurnalisme perdamaian juga menganalisis tujuan yang ingin dicapai pihak-pihak yang terlibat dalam konflik kekerasan, tidak hanya aktor-aktor utama dalam perang saja. meski mempertimbangkan keberadaan pihak-pihak lain dalam invasi, namun pada konteks ini, tujuan yang ingin dicapai Bush dan Saddam-lah yang mendapat perhatian khusus. Dari sisi Bush, yang harus ditelisik lebih lanjut adalah apakah kebijakan invasi Presiden AS ini benarbenar dilakukan untuk menangani ancaman senjata pemusnah massal ataukah demi mengamankan suplai minyak bagi perusahaan-perusahaan Paman Sam sekaligus membangun basis militer yang berorientasi jangka panjang bagi negara itu di Timur Tengah (Timteng). Selain itu, tragedi 11 September 2001 juga menyisakan ketakutan yang turut memengaruhi diambilnya kebijakan ini. Sementara itu, tujuan yang ingin dicapai Saddam tentu terkait dengan pengamanan cadangan minyak dan kontrolnya atas Irak. Selain Bush dan Saddam, keberadaan pihak-pihak lain yang terlibat dalam kebijakan ini juga harus diperhatikan. Dalam hal ini, jurnalisme perdamaian justru menyoroti penolakan Jerman dan Perancis atas invasi Irak. Penolakan dua negara itulah
19
yang jarang diekspos oleh kebanyakan media massa. Inisiatif damai dari PBB juga diberi tempat yang cukup banyak dalam pemberitaannya. Jurnalisme perdamaian juga harus menyoroti kebijakan AS atas Irak, terutama sejak Perang Teluk 1991. Dampak Perang Teluk yang dirasakan oleh rakyat Irak selama lebih dari 1 dekade juga diberi porsi pemberitaan yang cukup. Laporan inilah yang memberikan perspektif yang lebih luas terkait penyebab invasi dari sisi sejarah di luar rumor keberadaan senjata pemusnah massal. Berikutnya terkait dengan semangat jurnalisme perdamaian yang ingin memberikan kesempatan berbicara bagi semua pihak terkait serta dari berbagai kalangan yang selama ini kurang diperhatikan oleh media massa pada umumnya. Padahal, merekalah yang selama ini menjadi korban perang. Karenanya, jurnalisme ini memberitakan bagaimana dampak perang pada warga Baghdad, penggunaan fosfor putih oleh militer AS dalam serangannya ke Fallujah beserta dampak negatifnya bagi masyarakat daerah itu, serta kesaksian para veteran perang negeri Paman Sam. Pemberitaannya pun tidak sebatas pada data statistik tentang berapa korban yang kakinya diamputasi atau jumlah tentara AS yang ditarik pulang, tapi juga menyangkut dampak nonfisik perang terhadap mereka, seperti efek trauma dan akibatnya pada kehidupan sehari-hari keluarga. Perasaan orang tua yang kehilangan anaknya
20
akibat Perang Irak serta kesulitan remaja wanita Baghdad untuk keluar rumah sendirian juga diekspos dalam liputannya.33 Sejalan dengan semangat untuk mendengarkan suara dari kalangan yang selama ini kurang diekspos, jurnalisme perdamaian juga memberikan porsi yang cukup bagi upaya-upaya kalangan akar rumput dalam menolak perang. Demonstrasi menentang perang yang diadakan secara besar-besaran di seluruh dunia pada 15 Februari 2003 menjadi salah satu yang ditampilkan dalam pemberitaan. Demonstrasi ini diikuti oleh delapan hingga 30 juta orang. Aktivis perdamaian lain yang juga diliput adalah para anggota Christian Peacemakers Team, Muslim Peacemakers Team, Women for A Free Iraq, dan Iraqi Organization for The Defense of Journalists sekaligus apa saja yang mereka lakukan untuk mengakhiri perang. I.7 Metodologi Penelitian Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah analisis pembingkaian atau framing. Analisis ini berasumsi bahwa setiap berita mempunyai frame atau bingkai yang berfungsi sebagai pusat organisasi ide. Bingkai merupakan suatu ide yang dihubungkan dengan elemen yang berbeda dalam teks berita, seperti kutipan sumber serta pemakaian kata atau kalimat tertentu. Posisi berita – apakah liputan itu diletakkan di halaman depan atau tidak – dalam tata letak suatu surat kabar juga dipertimbangkan.34 Ini sesuai dengan prinsip-prinsip jurnalisme perdamaian
33
Somini Sengupta, “The Reach of War: The Occupation for Iraqi Girls, Changing Land Narrow Lives,” The New York Times, June 27th, 2004, , 24 Maret 2013. 34 Ana Nadya Abrar, 1995, Penulisan Berita, (Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta).
21
yang juga memberi perhatian pada siapa yang memberi informasi serta kalimat seperti apa yang ditampilkan.35 Sedangkan data yang dianalisis adalah seluruh pemberitaan Jawa Pos yang membahas konflik Ahmadiyah di Cikeusik yang meletus pada Februari 2011. I.8 Sistematika Penulisan Bab I telah dibuka dengan latar belakang masalah yang menampilkan sesuatu yang menarik dari permasalahan yang akan dibahas. Dalam hal ini, disinggung sedikit praktik jurnalisme yang umum terjadi di masyarakat, terutama terkait konflik kekerasan, serta dampak pemberitaan itu pada khalayak dan efeknya bagi pertikaian itu sendiri. Jawa Pos dipilih sebagai obyek penelitian karena merupakan salah satu surat kabar yang cukup berpengaruh di Indonesia. Sedangkan konflik Ahmadiyah di Cikeusik dipilih karena di antara kelompokkelompok keagamaan yang lain, minoritas ini sering terlibat pertikaian yang dihubungkan dengan agama. Maka dari itu, rumusan masalah yang diangkat adalah: apakah prinsip jurnalisme perdamaian diterapkan oleh Jawa Pos dalam menyajikan liputan tentang konflik kekerasan terhadap Ahmadiyah di Cikeusik pada Februari 2011. Rumusan masalah seperti itu ditujukan untuk mencari tahu bagaimana pemberitaan Jawa Pos atas kasus ini jika dianalisa dari kacamata jurnalisme perdamaian. Hasil penelitian ini merupakan langkah awal untuk menentukan tindakan yang sebaiknya diambil terkait pemberitaan sebuah media massa atas suatu konflik. Dengan rumusan masalah seperti itu, maka digunakanlah konsep jurnalisme perdamaian guna menganalisis pemberitaan Jawa 35
Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki, “Framing Analysis: An Approach to News Discourse,” Political Communication, 10, (1, 1993)
22
Pos dalam konflik Ahmadiyah di Cikeusik. Untuk memperjelas beberapa konsep yang dipegang oleh jurnalisme ini, maka di dalam landasan konseptual juga diuraikan tentang pemetaan konflik, para pegiat perdamaian di tingkat akar rumput, indikator perdamaian positif, dan rekonstruksi pasca konflik. Penyajian berita mengenai bom hari kasih sayang di Filipina pada 2005 dan invasi AS ke Irak oleh pegiat jurnalisme perdamaian diuraikan dalam subbab tinjauan pustaka. Metode penelitian yang dipakai untuk menganalisis pemberitaan Jawa Pos terhadap konflik Ahmadiyah di Cikeusik pada Februari 2011 adalah analisis pembingkaian atau framing. Elemen-elemen dalam analisis framing ini sesuai dengan yang digunakan oleh prinsip-prinsip jurnalisme perdamaian, seperti pemilihan kalimat dan sumber informasi. Bab II menjelaskan penyebab konflik Ahmadiyah di Cikeusik dari kacamata historis. Selanjutnya, akan dipaparkan pula kronologis konflik tersebut. Analisis historis dan kronologi konflik tersebut digunakan untuk mengetahui pihak-pihak mana saja yang terlibat, baik secara langsung maupun tidak, dalam insiden itu. Bab III menguraikan bagaimana pemberitaan Jawa Pos terhadap konflik itu. Analisis tentang cara koran itu menyajikan berita mengenai konflik Ahmadiyah di Cikeusik dari kacamata jurnalisme perdamaian akan dibahas di bab IV. Sedangkan bab V berisi kesimpulan dan saran untuk penelitian lanjutan.