BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian Sebelum dikenalnya berbagai produk asing dan berkembangnya dualisme sistem perekomian dalam perekonomian Indonesia,1 sistem perekonomian Indonesia adalah sistem ekonomi kerakyatan, yaitu sistem ekonomi yang dibangun di atas kedaulatan rakyat dengan berdasarkan pada asas kekeluargaan. Di dalam kajian mengenai “pasar”, hal tersebut bisa dilihat dari keberpihakan pemerintah terhadap pengembangan produk UKM lokal, yaitu produk atau barang dan jasa yang dihasilkan oleh Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di sebuah wilayah yang masuk ke dalam kategori lokal. Di bidang ekonomi, terutama dalam kajian-kajian ekonomi kontemporer. Produk UKM lokal memiliki eksistensi yang patut untuk diperhatikan, karena peran-sertanya yang begitu besar bagi pertumbuhan ekonomi daerah. Di DIY, hingga kini setidaknya masih ada beberapa produk UKM lokal yang dikenal secara internasional.2 Antara lain seperti, batik, kopi merapi dari Kaliurang, geplak dari Bantul, kopi moka menoreh, geblek dan gula semut dari Kulon Progo, serta berbagai produk UKM lainnya.
1
Dualisme sistem perekonomian adalah sistem perekonomian yang berpihak kepada rakyat dan kapitalisme global (Pro-rakyat dan neoliberalisme). Sistem perekonomian ini mengakibatkan adanya keberpihakan pemerintah kepada produsen luar negeri yang memproduksi barang-barang asing (neoliberalisme) dan produsen lokal yang memproduksi hasil olahan barang-barang lokal (pro-rakyat). Secara teoritis hal ini kelihatan baik, namun praktek di lapangan system ekonomi dualism ini seringkali menyebabkan tergerusnya produk UKM lokal oleh produk-produk asing, karena produk UKM lokal kalah bersaing di pasaran.
1
Walaupun eksistensi produk UKM lokal patut untuk diperhitungkan di dalam pengembangan perekonomian daerah, perjalanan produk UKM lokal menghadapi berbagai persolan serius. Eksistensi dari produk UKM lokal itu sendiri, mulai terancam karena omzet penjualannya terus mengalami penurunan yang begitu tajam di pasar domestik. Karena tergerus oleh banyaknya penjualan produk-produk asing dan produk pabrikan besar (yang berafiliasi dengan modal asing) di dalam daerah.3 Apabila persoalan ini dirunut ke belakang, sebenarnya persoalan ini kira-kira dimulai pada masa pemerintahan Orde Reformasi, yaitu pada saat pemerintah Orde reformasi kembali mengadopsi ideologi developmentalism (pembangunanisme) ke dalam sektor perekonomian. Tepatnya pada saat dibukanya pintu masuk bagi para peritel asing, sebagaimana Keputusan Presiden No. 118/2000 yang telah mengeluarkan bisnis ritel dari daftar negatif (negative list) bagi penanaman modal asing (PMA). Sejak itu ritel asing mulai marak masuk ke Indonesia (Apipudin, 2013). Pada tahun 2000, pada saat pemerintah memutuskan untuk mengeluarkan bisnis ritel modern dari daftar negatif penanaman modal asing (PMA), pertumbuhan ritel modern menjadi sangat pesat. Keran investasi asing di sektor ritel modern dibuka secara besar-besaran. Tujuannya adalah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di dalam negeri. Sehingga Indonesia menjadi sebuah negara maju, selayaknya negara-negara Barat. Sesuai dengan desakan IMF. Hal ini diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia, Rudy Sumampouw. Menurut Rudy, “memang sebelum tahun 2000, pemerintah sangat membatasi pertumbuhan dan
3
Hal ini juga terjadi akibat dari dampak negatif sistem perekonomian dualisme yang diusung oleh Pemerintah.
2
ruang gerak ritel modern. Akan tetapi, atas desakan IMF, pemerintah pada tahun 2000 membuka kran masuknya pengusaha ritel asing ke Indonesia…” (Rudy, 2010). Ide tersebut ternyata membawa dampak negatif yang begitu besar, terutama bagi pemasaran berbagai produk UKM lokal. Besarnya investasi asing yang masuk, berbanding lurus dengan pesatnya perkembangan berbagai ritel modern, seperti Indomaret, Alfamart, Circle-K dan lain sebagainya. Sedangkan perkembangan ritel modern yang begitu pesat, diikuti oleh berkembangnya berbagai produk asing dan pabrikan besar (yang sebagian besar berafiliasi dengan modal yang berasal dari luar negeri).4 Fenomena inilah yang menyebabkan pemasaran berbagai produk UKM lokal di pasar domestik menjadi semakin tertekan. Persoalan ini juga terjadi di Samigaluh, Kulonprogo. Menurut salah satu tokoh masyarakat di Samigaluh, Pak Misidal, kehadiran toko ritel modern di Samigaluh telah mematikan toko-toko (eceran) tradisional milik masyarakat. Pasar tradisional, baik yang berbentuk pasar biasa ataupun Waserba (pedagang kelontong dan pedagang eceran), kini menjadi sepi, omzet mereka turun drastis, selayaknya omzet pedagang di Sleman dan Kota Yogyakarta. Bahkan, menurut Pak Misidal, beberapa pedagang eceran dan kelontong terpaksa gulung tikar, akibat menderita kerugian. Sehingga para pedagang tidak lagi mampu memasarkan berbagai produk UKM lokal. Berikut merupakan kutipan hasil wawancara yang beliau sampaikan: “… Seperti Alfamart itu juga.. Itu yang merusak pasaran (di Samigaluh).. (Alfamart) itu kan egoistis… Tidak punya rasa solidaritas... Nggak punya solusi apapun bagi (persoalan) kemiskinan di Samigaluh. Bakul kecil-kecil yang kasihan. Jadi yang buat bakul-bakul (pedagang kelontong dan pedagang eceran) mati, itu Alfamart. Bakul-bakul di pasar itu pun sekarang sepi. Yaa itu akibatnya, mereka (pedagang kelontong dan pedagang eceran) 4
Menurut DEKOPIN, ritel modern yang berafiliasi dengan modal asing tersebut kini dikenal dalam bentuk seperti Hypermarket (Carefour, Giant), Minimarket (Indomaret, Alfamart, Alfamidi, Alfa Express, Seven Eleven, Ceria Mart, K-Circle) dan berbagai jenis ritel lainnya. Dalam http://dekopin.coop/berita/detail/28 diakses pada 7 Februari 2014.
3
tidak lagi bisa memasarkan produk-produk UKM lokal yang kita (masyarakat) hasilkan..”. (Pak Misidal, Ketua UKM Mart Al-Amin) Pernyataan Pak Misidal ini juga didukung oleh sebuah data yang dilansir Serikat Pedagang Pasar Indonesia (SPPI) dan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (PUSTEK), UGM. Menurut sebuah data yang dilansir oleh SPPI, setidaknya hingga kini ada 1.625 juta pedagang pasar tradisional yang terpaksa gulung tikar akibat menjamurnya pasar modern, minimarket dan hypermarket di Indonesia. Pada tahun 2007 hingga 2008, dalam kurun waktu 1 tahun terjadi penurunan sebanyak 1.625.000 pedagang yang berjualan di pasar tradisional akibat tergerus oleh kemunculan pasar modern (SPPI, 2009). Hal ini berarti, pemasaran berbagi produk UKM lokal menjadi semakin layu, akibat banyaknya pedagang di pasar tradisional yang gulung tikar. Padahal para pedagang di pasar tradisional tersebut adalah garda depan bagi pemasaran berbagai produk UKM lokal. Sedangkan menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh PUSTEK UGM dan Lembaga Ombudsman DIY, menjamurnya produk pabrikan besar dan produk asing di DIY berimbas pada terjadinya penurunan omzet penjualan produk UKM lokal. Menurut PUSTEK UGM, industri batik rumahan di Gulurejo, Kulon Progo terancam bangkrut, dari 200 pengrajin sekarang tinggal 20 orang saja. Industri kecap desa pun bernasib serupa (Awan Santosa, 2012). Hingga saat ini ktidak banyak lagi industri rumahan (home indusrty) di DIY yang memproduksi berbagai produk UKM lokal. Sebagian besar telah digantikan oleh dominasi produk pabrikan swasta dari luar desa, bahkan sebagian besar dari luar negeri (Awan Santosa, 2012). Melihat permasalahan ini, Pemerintah Kabupaten Kulonprogo mengeluarkan kebijakan untuk melindungi eksistensi produk lokal. Di DIY. Di Kulon Progo perbelanjaan modern yang berupa toko dan pasar modern diwajibkan untuk menerima/ memasarkan produk-produk usaha kecil menengah (UKM). Kewajiban tersebut dituangkan dalam Peraturan Bupati Kulon Progo 4
Nomor 25 Tahun 2011 tentang Penataan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Akan tetapi implementasi Peraturan Bupati ini dinilai masih jauh dari harapan. Pada umumnya, produk UKM lokal terkendala masalah standar kualitas dan sistem pembayaran yang diterapkan toko modern atau pasar modern, sehingga daya tawar mereka sangat rendah. Melihat fenomena ini, pada tahun 2012 Ketua KADIN DIY menyatakan bahwa “sudah saatnya pertumbuhan pasar modern di DIY di-stop, karena jumlahnya sudah terlalu banyak, dan kebanyakan toko modern yang beroperasi itu tidak memprioritaskan menjual produk daerah atau lokal yang ada di DIY” (Nur Achmadi, 2012). Pertumbuhan pasar modern yang begitu pesat, dikhawatirkan akan membuat produk UKM lokal menjadi terpuruk. Akan tetapi fenomena yang terjadi di tahun 2013 justru sebaliknya, pasar modern semakin menjamur. Toko-toko ritel modern tersebut sama sekali tidak memprioritaskan penjualan produk UKM lokal. Menurut Awan Santosa, sistem perekonomian di DIY sendiri telah mengarah kepada free fight liberalism (Awan Santosa, 2012). Sehingga, metode-metode konvensional tidak lagi ampuh untuk memberikan perlindungan secara menyeluruh terhadap keberadaan produk UKM lokal. Oleh karena itu, para pakar harus mencari sebuah mekanisme yang jauh lebih baik untuk melindungi produk UKM lokal. Hal tersebut harus dilakukan mengingat UMKM di Kulon Progo berperan besar dalam menumbuhkan sector ekonomi kerakyatan di pedesaan. Dalam sebuah bukunya yang terkenal, yaitu “Exploring Post-development Theory and Practice, Problems and Perspectives”, Aram Zai dan Sally Matthews menyatakan bahwa “sebuah ideologi tentu harus dilawan dengan ideologi, agar mereka mampu bersaing dengan seimbang” (Aram Zai, 2007). Begitu pula dengan pergerakan ideologi developmentalism/ neoliberalisme yang terselip rapi di balik pesatnya perkembangan produk asing di pasar
5
domestik, tentu harus dilawan dengan gerakan post-development (post-development social movement) di level aksiologis. Berbicara mengenai gerakan post-developmentalism (post-development social movement), seperti yang disampaikan oleh Aram Zai dan Sally Matthews di atas, sebenarnya Indonesia memiliki modal dasar pergerakan yang kuat, yaitu konsep ekonomi kerakyatan yang merupakan manifestasi dari Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan di level praktis, founding fathers Negara Indonesia telah mempersiapkan sebuah konsep kelembagaan yang sangat bagus. Lembaga yang bertugas melindungi golongan ekonomi lemah, terutama mereka yang bergerak di sektor UKM. Lembaga tersebut dikenal dengan “koperasi”.5 Koperasi yang menjalankan sebuah gerakan post-developmentalism tersebut, ada di dalam kelahiran salah satu koperasi baru di Kulon Progo.6 Koperasi tersebut dikenal dengan nama UKM Mart Al-Amin. UKM Mart Al-Amin adalah toko ritel modern berbasis koperasi. UKM
5
Pergerakan post-developmentalism di dalam koperasi ini mengacu pada sebuah jurnal The Social and Solidarity Economy: Towards an “Alternative” Globalisation yang ditulis oleh Nancy Neamtan. Menurut Nancy, sebagai sebuah gerakan post-developmentalism, koperasi terbukti bisa diandalkan untuk melindungi golongan ekonomi lemah. Terutama untuk mereka yang bergerak di sektor tradisional seperti UKM. Nancy menyatakan bahwa di Quebec, Canada, ada sebuah koperasi yang digerakan untuk mengimbangi arus neoliberalisme. Koperasi bergerak di dalam sebuah kelompok lokal dan membentuk sebuah jaringan kerjasama, yang dibangun berdasarkan nilai-nilai lokal. Melalui koperasi ini, masyarakat setempat percaya bahwa gerakan solidarity economy bisa menjadi sebuah alternatif untuk menekan neoliberalisme di era globalisasi. Belajar dari Koperasi di Quebec, dapat diketahui bahwa sebenarnya neoliberalisme dan tergerusnya berbagai produk UKM lokal, bisa ditekan melalui sebuah gerakan post-developmentalism dalam koperasi. Dari sini berbagai kalangan mulai belajar bahwa sebenarnya keberadaan “koperasi” bisa diharapkan kembali, terutama untuk melindungi eksistensi produk UKM di level lokal (Christina A. Clamp, 2003). Untuk itulah koperasi perlu direvitalisasi agar mampu menjalankan gerakan post-developmentalism. 6
Dalam kacamata studi pembangunan, upaya revitalisasi koperasi untuk melindungi eksistensi produk UKM lokal ini bisa dilihat sebagai salah satu bentuk pergerakan post-developmentalism. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Escobar dalam sebuah artikelnya yang berjudul: “Imagining a Post-Development Era? Critical Thought, Development and Social Movements”. Menurut Escobar, gerakan post-development adalah “semua gerakan perlawanan di level grassroot untuk melawan intervensi yang terlalu dominan”. Salah satunya adalah intervensi pasar modern (toko ritel modern) yang terlalu dominan di dalam perekonomian Indonesia.
6
Mart Al-Amin ini dibentuk oleh masyarakat untuk melindungi berbagai produk UKM lokal di Samigaluh, Kulonprogo dari gerusan berbagai produk asing di pasar domestik.7 Dengan menggunakan kacamata studi post-developmentalism, koperasi UKM Mart Al-Amin ternyata mempunyai keunggulan komparatif tersendiri dibanding dengan koperasi konvensional pada umumnya. UKM Mart Al-Amin mempunyai konsep pergerakan yang sangat bagus dan aplikatif. Koperasi UKM Mart tersebut menjalankan gerakan solidaritas ekonomi (solidarity economy) yang mengadopsi konsep mix-marketing di dalam inovasi pergerakannya. Padahal, mix-marketing adalah konsep yang digunakan oleh pesaing UKM Mart, yaitu Alfamart. 8 Hal inilah yang dituturkan oleh Staf Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten Kulon Progo, Pak Mujianto. Menurut Pak Mujianto, “UKM Mart Al-Amin itu kan koperasi yang dibuat menjadi koperasi ritel modern. Modern dari sisi pengelolaannya, dari sisi managerialnya, juga dari sisi tampilannya. Selayaknya toko-toko ritel modern”. (Pak Mujianto, Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten Kulon Progo). Perubahan/ inovasi gerakan post-developmentalism di dalam UKM Mart sebagai sebuah koperasi ini nampaknya menjadi sebuah hal yang menarik untuk diteliti. Hal ini terjadi karena, post-developmentalism yang dijalankan oleh UKM Mart Al-Amin adalah jenis postdevelopmentalism gaya baru (new post-developmentalism) yang menjalankan proses manipulasi terhadap konsep mix-marketing (yang notabene digunakan oleh toko ritel modern saingan UKM Mart). Sehingga mampu mengimbangi gerakan developmentalism di level aksiologis, yaitu
7
Menurut Kementerian Koperasi dan UMKM, Kementerian Koperasi dan UMKM ingin menjadikan UKM Mart sebagai ajang untuk membangun jaringan distribusi antara koperasi dan UKM di Indonesia. Bahkan ada kemungkinan UKM Mart bisa menyaingi jaringan distribusi peritel modern di Indonesia saat ini. 8
Mix-marketing di dalam UKM Mart Al-Amin tersebut nampak dari begitu diperhatikannya konsep mengenai product, price, place, promotion, people, process dan physical evidence.
7
mampu bersaing dengan ritel-ritel modern lainnya yang notabene menjual berbagai produk pabrikan besar dan asing.9 Walaupun gerakan post-developmentalism di UKM Mart ini dipandang sebagai sebuah pergerakan yang bagus. Akan tetapi dari kacamata studi kebijakan, ada indikasi pendekatan topdown dalam pembentukan UKM Mart. Ada unsur intervensi dari berbagai kalangan nonmasyarakat untuk melindungi produk UKM lokal. Salah satunya adalah kerjasama antara Pemerintah dengan NGO lain. Sebagai sebuah kebijakan top-down, kajian mengenai aspek keberlanjutan (sustainability) koperasi UKM Mart menjadi penting. Oleh karena itu, kajian mengenai pelibatan/partisipasi dan penguatan kapasitas masyarakat di dalam UKM Mart menjadi penting untuk dilihat lebih mendalam. Khususnya agar aspek keberlanjutan UKM Mart bisa terus terjaga dengan baik.
9
Kajian mengenai inovasi gerakan post-developmentalism di dalam koperasi UKM Mart ini, menjadi lebih menarik, ketika dikaitkan dengan isu perdagangan bebas Asean Economic Community (AEC) di tahun 2015. Isu tersebut dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap eksistensi produk UKM lokal di D.I. Yogyakarta.
8
1.2 Rumusan Masalah a) Bagaimana pengembangan inovasi gerakan post-development di koperasi UKM Mart AlAmin? Rumusan masalah ini diturunkan menjadi dua pertanyaan penelitian yang lebih detail sebagai berikut:
Apakah gerakan yang dilakukan oleh UKM Mart Al-Amin merupakan representasi dari gerakan post-developmentalism?
Apakah inovasi gerakan post-development UKM Mart Al-Amin mampu melindungi eksistensi produk UKM lokal? Pertanyaan ini diturunkan menjadi pertanyaan seperti: Inovasi-inovasi apa saja yang dilakukan oleh UKM Mart Al-Amin? Bagaimana mekanisme perlindungan produk UKM lokal itu terjadi? Hambatan-hambatan apa saja, (baik dari internal ataupun eksternal) yang dihadapi oleh UKM Mart Al-Amin?
b) Bagaimana partisipasi dan penguatan kapasitas anggota dilakukan di dalam Koperasi UKM Mart Al-Amin? c) Bagaimana
koperasi
UKM
Mart
Al-Amin
mampu
mempengaruhi/mengubah
pragmatisme anggota, baik dari pendiri, konsumen dan produsen (penjual) untuk memperjuangkan eksistensi produk UKM lokal?
9
1.3 Tujuan Penelitian Mengetahui pengembangan inovasi gerakan Post-developmentalism di koperasi UKM Mart AlAmin. Hal itu dilakukan dengan dua cara, yaitu: a) Mengidentifikasi gerakan post-developmentalism di dalam UKM Mart Al-Amin, b) Mengetahui sejauh mana inovasi gerakan post-developmentalism itu mampu melindungi eksistensi produk UKM lokal. Hal ini dilakukan dengan mengetahui bentuk-bentuk inovasi pergerakan, mekanisme perlindungan produk UKM lokal dan melihat faktor penghambat yang dihadapi oleh UKM Mart Al-Amin. c) Mengetahui seberapa besar penguatan kapasitas dan partisipasi anggota yang dilakukan UKM Mart Al-Amin untuk menjamin aspek keberlanjutan (sustainability) koperasi. d) Mengetahui strategi yang diterapkan oleh koperasi UKM Mart Al-Amin untuk mengubah pragmatisme anggota, untuk melindungi eksistensi produk UKM lokal.
10
1.4 Manfaat Penelitian a) Secara akademik, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan kajian teoritis ilmiah yang lebih mendalam tentang inovasi pergerakan post-developmentalism dalam revitalisasi koperasi. Sehingga dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan disiplin Ilmu Administrasi Negara/ Manajemen dan Kebijakan Publik. b) Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai masukan dan sumbangan pemikiran, khususnya bagi berbagai pihak yang memiliki konsen terhadap persoalan revitalisasi koperasi sebagai upaya memecahkan masalah yang berkaitan dengan kebijakan perlindungan terhadap produk UKM lokal pada masa yang akan datang.
11