BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Energi adalah isu global yang terus menjadi topik perbincangan publik
sebagai salah satu aspek kunci ketahanan negara, kemampuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Energi memegang peranan penting bagi masyarakat untuk tumbuh dan berkembang di zaman modern. Tak terkecuali Indonesia sebagai negara berkembang, energi menjadi sumber tenaga penggerak berbagai aktivitas ekonomi. Seperti negara lain pada umumnya, Indonesia menggunakan minyak bumi sebagai sumber energi utama. Gambar 1.1. menyajikan pangsa kebutuhan energi Indonesia tahun 2013.
Gambar 1.1. Pangsa Kebutuhan Energi Indonesia menurut Jenisnya Tahun 2013
12%
4%
14%
13% 5% 52%
Gas
BBM
BBN&EBT lain
Batubara
LPG
Listrik
Sumber: Dewan Energi Nasional (2014) 1
Tak bisa dipungkiri, ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap Bahan Bakar Minyak (BBM) masih sangat tinggi, 51% kebutuhan energi Indonesia bergantung pada BBM, 14% menggunakan LPG, 13% Batubara, dan 12% bergantung dari listrik yang notabene menggunakan Solar sebagai salah satu produk BBM. Indonesia bergantung pada Pertamina dalam hal penyediaan kebutuhan BBM (Indirasardjana, 2014). BBM adalah salah satu klasifikasi produk hasil pengolahan minyak di kilang (unit pengolahan) Pertamina. Pertamina mengelompokkan produk minyaknya menjadi dua : Produk BBM seperti Premium, Avtur, Kerosene, dan Produk Non-BBM seperti LPG, Minarex, Bitumen, Aspal, dll. Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mengklasifikasikan BBM sebagai komoditas produk minyak yang terdiri atas Avtur, Gasoline/Bensin (Premium, Pertamax, Pertamax Plus), Solar, Avgas, Biodiesel, dll. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tahun 2011 menyebutkan, sebagian besar komoditas BBM digunakan untuk sektor transportasi (65%), pembangkit listrik (16%), industri (10%), rumah tangga (2%), komersial (1%), dan sektor lain (6%). Selama kurun waktu 2000-2012, sektor transportasi mengalami pertumbuhan tertinggi dalam hal konsumsi BBM sebesar 6,92%, diikuti sektor komersial (4,58%), dan sektor industri (2,51%). Tingginya kebutuhan masyarakat Indonesia akan BBM
membuat
komoditas ini menjadi isu sensitif dan menarik perhatian publik untuk dipantau pengelolaannya. Fenomena kelangkaan BBM di daerah perbatasan dan Indonesia Timur seringkali terjadi karena rumitnya manajemen rantai pasokan dan distribusi BBM di Indonesia. Tren naiknya harga seringkali tidak diterima masyarakat yang
2
mempertanyakan besar „ambil untung‟ pemerintah dan proses pengolahan minyak Pertamina yang dinilai tidak efisien. Inefisiensi produksi kerap dikaitkan dengan rataan usia kilang Pertamina sebagai unit pengolahan minyak yang cukup tua. Pemerintah dan Pertamina berdalih terbatasnya alokasi dana investasi dari APBN dan rendahnya return (margin kilang) untuk investor menjadi alasan minimnya pengembangan industri pengolahan minyak di Indonesia. Margin kilang menjadi indikator yang berguna bagi kilang sebagai bahan pertimbangan dalam proses pengambilan keputusan meningkatkan/menurunkan tingkat produksi dan memberi insentif bagi kilang untuk memproses lebih banyak minyak mentah menjadi produk jadi (Lubiantara, 2012). Pertamina dan perusahaan minyak lain biasa menggunakan margin kilang sebagai salah satu indikator pengukuran kinerja pada unit pengolahan minyak. Salah satu masalah yang dialami Pertamina di sektor pengolahan adalah rendahnya keuntungan yang disebabkan oleh penurunan produktivitas dan efisiensi untuk menghasilkan produk minyak yang ditentukan. Tuntutan penyediaan Public Service Obligation (PSO) yakni Premium (Gasoline RON 88) sebagai komoditas BBM bernilai rendah menjadi alasan lain terbatasnya ruang bagi unit pengolahan minyak Pertamina untuk menghasilkan keuntungan optimal. Yield/return produk minyak menjadi salah satu variabel yang digunakan untuk menghitung margin kilang (Energy Information Administration, 1996). Kilang adalah manufaktur kompleks yang terdiri dari banyak pabrik yang terhubung dengan pipa dan tangki (Princeton University, 1983). Kilang minyak adalah unit manufaktur yang didesain untuk mengubah minyak mentah, baik dari dalam negeri maupun minyak impor menjadi berbagai macam produk minyak
3
(Energy Institute, 2012). Setiap pabrik memiliki fungsi tersendiri dan setiap kilang dibangun untuk memproses minyak mentah dengan spesifikasi tertentu untuk dikonversi menjadi produk minyak sesuai dengan kebutuhan pasar. Proses pengolahan minyak mentah menjadi produk minyak melalui beberapa tahapan proses fisik dan kimia untuk menghasilkan produk yang bernilai lebih tinggi. Proses pengolahan minyak di kilang bertujuan untuk memaksimalkan konversi minyak mentah menjadi produk minyak yang ditentukan (Dunbar, 2014). Masingmasing kilang memiliki karakteristik tersendiri dalam hal ukuran, kompleksitas pengolahan, dan kemampuan memproduksi minyak mentah dengan spesifikasi yang berbeda. Proses kilang sederhana (simple refinery) menghasilkan LPG, Bensin, Diesel, Aspal, dan klasifikasi produk BBM dan non-BBM lain. Proses kilang kompleks menghasilkan produk BBM, non-BBM, serta produk petrokimia. Secara umum, produk olahan kilang terbagi menjadi dua, produk primer/dasar (gasoline, solar, jet fuel ) dan produk sekunder/terolah (kerosene, LPG, Asphalt/Aspal, Sulfur, Waxes, dll.). Produk olahan kilang di Indonesia terdiri atas 3 klasifikasi besar yaitu produk BBM (Bensin, Kerosene, Avtur, LPG, Diesel, Fuel Oil), Non-BBM (Lube-Base, Aspal, Slack Wax, Parafinic, Minarex), dan produk petrokimia (Benzene, Paraxylene, Heavy Aromate, Sulfur). Karakteristik kilang sebagai manufaktur yang dapat memproduksi banyak produk menjadi daya tarik tersendiri untuk mengetahui kapasitas produksi dan kemampuan kilang mengolah minyak mentah menjadi produk yang bernilai tinggi (high valuable product). Optimalisasi menjadi kata kunci untuk menjaga volume produksi.
4
Optimalisasi menghasilkan peningkatan utilisasi peralatan, tenaga manusia, dan bahan baku (Lasdon et al. , 1989). Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari aktivitas rantai nilai industri perminyakan, unit pengolahan minyak memiliki peran penting sebagai salah satu unit yang menghasilkan keuntungan. Keuntungan pada unit pengolahan menunjukkan kinerja positif dan mencerminkan produktivitas kilang. Keuntungan pada kilang sebagai bagian dari aktivitas pengolahan minyak juga mencerminkan aspek positif dari suatu bisnis untuk upgrading (perbaruan) kilang atau daya tarik investasi kilang baru. Dunbar (2014) menyebutkan ada empat faktor yang mempengaruhi profitabilitas kilang yakni kos bahan baku dan masukan lain (harga minyak mentah dan ketersediaan produk intermedia (campuran), konfigurasi kilang (kompleksitas, fleksibilitas minyak, produk bernilai tinggi, keterbatasan unit), reliabilitas dan efisiensi (ukuran, kapasitas kilang, biaya operasi, investasi modal), serta nilai produk (lokasi, persaingan, nilai persediaan, keseimbangan produk). Optimalisasi menjadi hal yang harus dilakukan untuk meningkatkan kinerja kilang, dengan mendorong aktivitas operasi kilang mencapai keuntungan optimal. Perencanaan menjadi hal paling krusial dalam aktivitas operasional kilang, untuk mencapai keuntungan maksimal dan memenuhi permintaan pasar (Dunham, 2009). Salah satu bagian penting dari aktivitas perencanaan adalah pemilihan strategi bauran produk, menentukan produk sesuai permintaan pasar dengan memperhatikan kapasitas produksi untuk mencapai keuntungan maksimal.
5
Pemilihan strategi bauran produk ini menjadi hal yang sangat krusial, khususnya pada proses blending untuk mencampurkan komponen dengan Octane Number (ON) tinggi dengan Naptha yang memiliki ON rendah, serta komponen lain yaitu High Octane Mogas Component (HOMC) untuk memperoleh kuantitas produksi Gasoline yang optimal. Gasoline (Premium dan Pertamax) memegang peranan penting sebagai salah satu produk kilang paling menguntungkan dengan 60%-70% kontribusi keuntungan (Li, 2011). Penelitian ini menganalisis keputusan bauran produk pengolahan minyak Pertamina dengan adanya rekomendasi kebijakan alih produksi PremiumPertamax untuk mencapai keuntungan optimal. Analisis bauran produk difokuskan pada produk BBM, khususnya Premium dan Pertamax sebagai salah satu produk hasil distilasi minyak dengan komponen minyak mentah, dengan input (masukan) Platformat I dan Platformat II output proses Platforming (pembentukan komponen gasoline beroktan tinggi), HOMC 95 impor sebagai campuran untuk menghasilkan minyak berkualitas tinggi, dan Naptha sebagai produk distilasi beroktan rendah untuk menghasilkan produk minyak berkualitas tinggi dalam jumlah optimal. Penelitian ini bersifat analisis kasus dengan mengambil objek penelitian Pertamina RU (Refinery Unit ) IV Cilacap sebagai salah satu unit pengolahan dengan kapasitas produksi terbesar dengan jumlah produksi Premium terbesar di Indonesia.
6
1.2.
Rumusan Masalah Pergantian kepemimpinan dari Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono
(SBY-Boediono)
ke Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) menghadirkan
sejumlah inisiatif baru terkait pengelolaan migas. Selain menghapus subsidi BBM untuk Premium dan menetapkan subsidi tetap untuk Solar, Jokowi membentuk Tim Reformasi Tata Kelola Migas beranggotakan akademisi dan praktisi migas di Indonesia dengan tugas: (1) meninjau dan mengkaji ulang seluruh proses perizinan dari hulu hingga hilir; (2) menata ulang kelembagaan di sektor migas; (3) mempercepat revisi UU Migas dengan substansi yang relevan dengan konstitusi dengan keberpihakan kuat pada kepentingan rakyat; dan (4) mendorong lahirnya iklim industri migas yang bebas dari tangan pemburu rente/mafia migas. Satu bulan berjalan, Tim Reformasi Tata Kelola Migas menghasilkan beberapa rekomendasi kebijakan, yaitu: (1) menghentikan impor Premium dan Gasoil 0,35% sulfur dan menggantikannya masing-masing dengan impor Mogas 92 (Pertamax) dan Gasoil 0,25% sulfur ; (2) meningkatkan kualitas produksi minyak solar oleh kilang di dalam negeri hingga setara dengan Gasoil 0,25% sulfur; (3) mengalihkan produksi kilang domestik dari Premium menjadi Pertamax (Gasoline RON 92); (4) memberlakukan kebijakan subsidi tetap pada Pertamax, misalkan sebesar Rp 500/liter; (5) memperhatikan kebutuhan minyak solar untuk transportasi dan angkutan barang untuk kepentingan umum dengan menetapkan kebijakan subsidi menggunakan pola penetapan harga, serta; (6) menetapkan beberapa pilihan kebijakan terkait pengalihan produksi kilang domestik sehingga dapat memproduksi Pertamax seluruhnya dengan melakukan perbaruan kilang
7
domestik dengan masa transisi selama waktu tertentu atau menyerahkan pengelolaan fasilitas kilang TPPI (Trans Pacific Petrochemical Indonesia) sepenuhnya kepada Pertamina untuk memungkinkan peningkatan produksi Pertamax secara maksimal. Salah satu poin penting rekomendasi kebijakan adalah mengalihkan produksi kilang domestik dari Premium menjadi Pertamax. Selain untuk membatasi ruang gerak mafia migas dengan permainan harga dan mengurangi emisi bahan bakar dengan kualitas rendah, kebijakan alih produksi PremiumPertamax dinilai lebih menguntungkan karena memberi ruang lebih bagi Pertamina memproduksi produk minyak bernilai tinggi. Meski begitu, ada sejumlah keraguan akan kesiapan kilang Pertamina yang muncul dari sebagian pakar dan praktisi yang berkecimpung di dunia migas. Alasannya, rataan usia kilang di Indonesia sudah cukup tua sehingga kebijakan ini hanya akan memperparah
inefisiensi produksi sehingga menyebabkan kuantitas produksi
BBM yang dihasilkan tidak maksimal. Tuntutan produksi komoditas BBM berkualitas tinggi seperti Pertamax dikhawatirkan menambah beban Pertamina dengan adanya peningkatan impor minyak dengan peningkatan kebutuhan HOMC 95 (High Octane Mogas Component) sebagai komponen tambahan untuk menghasilkan minyak berkualitas (beroktan tinggi) dalam jumlah optimal. Kebijakan alih produksi ini dianggap beberapa pihak menghancurkan product valuable kilang karena keterbatasan kilang memproduksi Pertamax sehingga menyebabkan kenaikan angka impor Pertamax jadi untuk memenuhi kebutuhan BBM Nasional.
8
Pemerintah berupaya menjawab keraguan dengan kebijakan pembangunan infrastruktur energi seperti rencana pembangunan kilang baru dan inventarisir kilang yang tidak beroperasi milik PT TPPI dan PT Saratoga Sadaya Investama. Pertamina juga melakukan aktivitas ekspansi dan perbaruan kilang melalui konsep Refining Development Master Plan bekerjasama dengan Saudi Aramco, Nippon Oil&Energy Corporation, dan China Petroleum&Chemical Corporation untuk meningkatkan kapasitas dan teknologi produksi kilang. Pertanyaannya sekarang, apakah Pemerintah melalui Pertamina mampu megimplementasikan kebijakan alih produksi Premium-Pertamax? Bagaimana Pertamina menerapkan strategi bauran produk, menentukan kuantitas HOMC 95 untuk menghasilkan produk berkualitas tinggi dalam jumlah optimal? Keputusan bauran produk mana yang harus diambil pada proses blending minyak menjadi gasoline agar menghasilkan keuntungan optimal?
1.3.
Pertanyaan Penelitian Berdasarkan hal tersebut, rumusan masalah penelitian disajikan sebagai
berikut: 1. Berapakah jumlah HOMC 95 (High Octane Mogas Component) impor yang ditambahkan dan besar
peningkatan biaya yang ditimbulkan
dengan pemberlakuan kebijakan alih produksi Premium ke Pertamax untuk menghasilkan jumlah Pertamax yang optimal? 2. Keputusan bauran produk manakah yang harus diambil pada proses blending minyak yang menghasilkan keuntungan optimal?
9
1.4.
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan pokok yang telah
dirumuskan, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Menganalisis jumlah HOMC 95 (High Octane Mogas Component) impor yang harus ditambahkan dan besar peningkatan biaya yang ditimbulkan dengan pemberlakuan kebijakan alih produksi Premium ke Pertamax untuk menghasilkan jumlah Pertamax yang optimal. 2. Menganalisis besaran biaya-manfaat yang diperoleh dari masing-masing bauran produk proses blending minyak untuk kemudian diambil keputusan yang memberikan keuntungan yang paling optimal.
1.5.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran dan
manfaat untuk: 1. Lingkungan Akademis Sebagai
bahan
referensi
terkait
Akuntansi
Perminyakan
khususnya di sektor hilir (pengolahan) untuk membuka cakrawala baru pengembangan ilmu Akuntansi selain di sektor hulu migas. Memberikan
pemahaman
terkait
pendekatan
Akuntansi
Manajemen dalam Industri Perminyakan, khususnya dalam melakukan analisis bauran produk dalam perusahaan manufaktur untuk mencapai laba optimal.
10
2. PT Pertamina RU IV Cilacap Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi Pertamina RU IV Cilacap dalam menyusun kajian terkait keputusan bauran produk pengolahan minyak pasca pemberlakuan kebijakan alih produksi Premium-Pertamax untuk mencapai margin kilang optimal.
1.6.
Batasan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis kasus yang dihadapi
Pertamina RU IV Cilacap terkait rekomendasi kebijakan alih produksi PremiumPertamax. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan kepada Pertamina RU IV Cilacap dalam menindaklanjuti rekomendasi kebijakan dari Tim Reformasi Tata Kelola Migas. Penelitian ini juga memberi pertimbangan dan kalkulasi awal peningkatan biaya yang timbul dari
HOMC 95 impor sebagai komponen
tambahan untuk menghasilkan bahan bakar minyak berkualitas tinggi. Fokus penelitian ini adalah bagaimana mencapai keuntungan kilang optimal melalui keputusan bauran produk BBM, khususnya gasoline yang dihasilkan PT Pertamina RU IV Cilacap dengan adanya kebijakan alih produksi Premium ke Pertamax. Penelitian menggunakan Platformat I dengan Octane Number (ON) 91, Platformat II dengan ON 96, Naptha (ON 70), dan HOMC 95 sebagai batasan sumber daya (Resource Constraint) untuk menghasilkan Pertamax dalam jumlah optimal. Analisis bauran produk berfokus pada dua produk, yakni Premium dan Pertamax dengan Naptha tidak terolah sebagai produk sampingan dari hasil produksi gasoline. Tren permintaan Pertamax dan Premium satu tahun terakhir
11
serta kapasitas produksi kilang menghasilkan Gasoline saat ini menjadi informasi yang digunakan untuk menentukan batasan produksi Pertamax dan Premium. Hasil Penelitian ini diharapkan memberikan kalkulasi awal jumlah komponen HOMC 95 yang harus diimpor untuk menghasilkan Pertamax dalam jumlah optimal dan keputusan bauran produk apa yang harus diambil Pertamina RU IV Cilacap untuk menghasilkan keuntungan optimal. Selain hasil perhitungan untuk menjawab pertanyaan penelitian, hasil observasi rencana jangka panjang produksi perusahaan dan wawancara dengan bagian produksi Pertamina RU IV Cilacap diharapkan dapat memberikan referensi tambahan untuk menghasilkan rekomendasi keputusan bauran produk pengolahan minyak ke depannya.
1.7.
Sistematika Penulisan Penelitian ini terdiri dari enam bagian, dengan susunan atau sistematika
penulisan sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Pendahuluan menjelaskan latar belakang permasalahan, rumusan masalah penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian
dan
sistematika penulisan. Bab ini lebih banyak menguraikan cerita konteks dari masalah yang akan diteliti dan esensi dari penelitian studi kasus yang akan diambil. BAB II LANDASAN TEORI Landasan teori menjelaskan dasar ilmu yang mendasari penelitian ini, terdiri atas telaah teoritis dan konsep lain yang relevan dengan penelitian analisis kasus ini.
12
Profil korporasi dan bagan alir proses produksi di Pertamina RU IV Cilacap akan diuraikan sebagai dasar pemahaman dalam memecahkan masalah dan menjawab pertanyaan penelitian. Gambaran proses bisnis, definisi optimalisasi keuntungan, serta batasan operasional kilang menjadi kerangka teori lain sebagai dasar pemahaman dalam melakukan analisis keputusan bauran produk pengolahan minyak di Pertamina RU IV Cilacap. BAB III METODE RISET Pada bab ini akan dijelaskan metode riset yang akan digunakan dalam penelitian, terdiri atas desain riset yang telah dirancang, kerangka pemikiran penelitian, objek penelitian, jenis data, jenis penelitian, teknik pengumpulan dan analisis data. Bab ini akan lebih banyak menjelaskan metode penelitian untuk menjabarkan dan menganalisis kasus yang dialami Pertamina RU IV Cilacap pasca rekomendasi kebijakan alih produksi Premium-Pertamax. BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Bab IV menjelaskan uraian hasil temuan penelitian. Hasil temuan penelitian adalah jawaban atas seluruh pertanyaan penelitian yang telah disebutkan di Bab I. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini berisi kesimpulan dan saran sebagai ikhtisar dan rekomendasi dari hasil analisis penelitian di Bab IV. DAFTAR PUSTAKA DAN LAMPIRAN Bagian akhir terdiri atas daftar pustaka menjadi referensi bagi penulis, dan lampiran berisi daftar pertanyaan wawancara dan data perusahaan sebagai referensi analisis penelitia
13