BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sebagai pelajar pemula pada disiplin ilmu antropologi, saya sangat terobsesi untuk melakukan suatu observasi dan penelitian lapangan pada suatu komunitas masyarakat yang bermukim di daerah pedalaman di suatu tempat tertentu, yang jauh dari pusat kota-dengan corak hidup yang sederhana dan tradisional. Harapan ini didasari oleh keinginan untuk memahami dan belajar secara langsung bagaimana sistem dan cara-hidup sehari-hari dikelola, berjalan dan berubah mengikuti arus zaman yang terus bergerak. Obsesi itu boleh dibilang model atau cara-pandang yang klasik dalam ilmu antropologi-romantik (Amri Marzali 2002). Bak gayung bersambut-melalui beasiswa riset REDD+ saya mendapatkan kesempatan untuk mewujudkan harapan tersebut.1 Desa Banggaiba merupakan salah satu desa administratif dalam wilayah adat To Tobaku (penjelasan tentang Tobaku pada bab II). Desa ini dipilih sebagai lokasi penelitian karena dua alasan utama, yakni : pertama, karena wilayah adat mereka
1
REDD+ atau Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation plus adalah mekanisme pengurangan emisi yang khusus membahas deforestasi dan degradasi hutan. Berupa insentif dari negara maju kepada negara berkembang agar melindungi hutan sehingga mampu mengurangi emisi gas rumah kaca, perlindungan pengelolaan hutan yang berkelanjutan, dan peningkatan jumlah cadangan karbon terutama reforestasi, aforestasi dan perkebunan. Skema perdagangan karbon dalam REDD+ dikenal sebagai carbon off set (REDD Indonesia 2011).
1
masuk dalam zonasi rencana pembentukan kesatuan pengelolaan hutan (KPH).2 Di Sulawesi Tengah, implementasi REDD+ dioperasikan dalam kesatuan pengelolaan hutan (KPH) sebagai pelaksana di tingkat tapak. Keputusan itu tertuang dalam dokumen strategi daerah (strada) Pokja REDD+ dengan 21 KPH yang telah ditetapkan sebelumnya oleh kementerian kehutanan dalam Surat Keputusan Kemenhut No. 79/Menhut-II/2010. Selain itu, Pokja UN-REDD+ berhasil mengajak lima kabupaten untuk dijadikan sebagai Demonstrative Activities (DA) implementasi REDD+, yakni : Kabupaten Sigi, Kabupaten Donggala, Kabupaten Parigi Moutong, Kabupetan Tojo Una-Una dan Kabupaten Tolitoli.3
Baru pada tanggal 13 April 2014 dilakukan
penandatanganan MoU antara BP REDD dengan Gubernur Sulawesi Tengah beserta lima Bupati lokasi DA REDD+. Namun, dari 5 kabupaten yang telah menandatangani MoU dengan BP REDD itu, hanya dua daerah yaitu Kabupaten Donggala dan Kabupten Sigi yang mendapat perhatian secara serius untuk dijadikan lokasi implementasi.4
2
Kesatuan Pengelolaan Hutan atau KPH adalah skema konservasi oleh Negara yang didasarkan oleh peraturan menteri kehutanan No. P.6/Menhut-II/2009. Wilayah Tobaku masuk kedalam KPHL unit VIII (Balai Pemantapan Kawasan Hutan Palu, 2015). 3 Penetapan lima kabupaten sebagai DA melalui keputusan Gubernur Sulawesi Tengah Nomor: 522/330/DISHUTDA-G.ST/2012 pada tanggal 8 Mei 2012 (Lih. Juga Laporan hasil penelitian, Yudanto, 2014) 4 Wawancara dengan Ir. Syaiful Jalal (eks ketua pokja REDD+ bidang Demonstrative Aktivities (DA) Dengan alasan alokasi dana dari UN-REDD hanya cukup untuk membiayai 2 daerah saja. Sementara 2 kabupaten yang dipilih itu karena kab. Donggala memiliki KPH Model DampelasTinombo dan kab. Sigi dipilih karena daerah itu tengah dipersiapkan menjadi kabupaten konservasi.
2
Menurut pemerintah provinsi Sulawesi Tengah, kabupaten Sigi dipilih sebagai salah satu lokasi implementasi REDD+ karena bertalian dengan rencana dipersiapkannya Kab. Sigi untuk menjadi kabupaten konservasi. Rencana tersebut dimungkinkan juga oleh beberapa praktek konservasi sebelumnya, seperti Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), Hutan lindung dan kawasan cagar alam. Seperti tertuang dalam dokumen RPJPD Sigi 2025: Adapun proporsi penggunaan lahan di Kabupaten Sigi berdasarkan Peta Tutupan Lahan Wilayah Sungai Palu Lariang didominasi lahan kawasan lindung berupa hutan lindung dan suaka alam. Di Kabupaten Sigi terdapat TNLL yang masuk areal di Kecamatan Lindu, Gumbasa, Kulawi Selatan, Nokilalaki, Tanambulava, Palolo, Kulawi, dan Sigi Biromaru. Luas hutan lindung di Kabupaten Sigi adalah sebesar 136.910,91Ha atau 26,35% dari total wilayah Kabupaten Sigi tahun 2003, namun menurun menjadi 132.148,86Ha atau 25,43%tahun 2009, sedangkan luas TNLL sebesar 22,26% dari luas Kabupaten Sigi. Selain kawasan lindung pada Kabupaten Sigi juga terdapat hutan produksi terbatas dengan luas 123.787,58 Ha atau 24% dari luas wilayah tahun 2003 meningkat menjadi 129.521,91 Ha atau 24,93%tahun 2007. Luas lahan yang dominan lainnya adalah areal penggunaan lahan berupa lahan permukiman, lahan pertanian dan tegalan dengan luas lebih kurang 124.829,25 Ha pada tahun 2003 meningkat menjadi 126.973,12 tahun 2009 atau 24,44%. Alasan Kedua, adalah karena institusi keagamaan Gereja Bala Keselamatan (BK)5 melalui lembaga Agro Bisnisnya juga tengah mewacanakan untuk melakukan investasi guna membuka perkebunan sawit di desa tersebut. Rencana pembukaan perkebunan sawit tersebut akan beroperasi melalui lembaga sayap BK bernama 5
Bala Keselamatan (Salvation Army) adalah sekte keagamaan Kristen Protestan. Bala Keselamatan mulai masuk di Sulteng pada tanggal 15 September 1913 (lih. Brower : 1977). Misi BK seiring dengan misi kolonial Belanda untuk menghapus kepercayaan lama dan menggantinya dengan agama Kristen (Aragon, 2000). Hingga saat ini di Tobaku mayoritas penduduknya adalah jemaat BK.
3
“Agro Bisnis” juga tengah diwacanakan agar bisa masuk berinvestasi di desa. Lembaga Agro Bisnis ini juga sebelumnya sudah beroperasi sebagai badan usaha jemaat untuk membeli biji-biji kakao petani di wilayah Gimpu dan Kulawi (Rangi : 2013). Berdasarkan hasil penelitian singkat itu, ditemukan banyak sekali penyimpangan dan kecurangan dalam praktiknya. Seperti, permainan harga dan penggelapan dana ummat. Dalam menjalankan bisnis, lembaga ini memakai pendekatan agama sebagai mekanisme kultural untuk mengikat petani dalam rerantai perdagangan lokal, juga sebagai alat demi memuluskan persaingan dengan pedagang lain. Melihat celah ekonomi dengan hadirnya komoditas baru menjadi salah satu pemicu Agro Bisnis untuk berinvestasi dalam mengupayakan perkebunan sawit, dan salah satu wilayah yang potensial menurut mereka adalah wilayah Tobaku.6 Sementara di desa tampak dengan kasat mata, kebun-kebun buah kakao mulai matang tengah dipanen oleh petani. Petak-petak kebun kakao yang ditanam di pekarangan dan hamparan kebun kakao yang tak jauh dari pemukiman itu juga menampilkan pemandangan yang serupa. Berpijak pada objek visual tersebut, akan memberikan kesimpulan bahwa sebagian besar penduduk desa pasti menggantungkan hidupnya pada komoditas dagang ini. Akan tetapi, ada satu fenomena yang menarik perhatian saya. Ada beberapa keluarga tani yang mulai melakukan pembibitan sawit di pekarangan rumahnya, tetapi dengan jumlah yang masih sangat kecil dan mereka
6
Wawancara pribadi dengan seorang peneliti-aktivis Ornop yang menolak wacana sawit masuk
ke desa.
4
tergolong kelas petani kaya. Setelah ditelusuri, mereka ternyata mendapatkan bibit sawit dengan cara membeli di perusahaan yang berada jauh di desa tetangga. Pembibitan dan perawatan yang masih berlangsung secara mandiri, dalam arti diusahakan sendiri oleh keluarga tani. Belum nampak-pula ada gejala investasi dari pihak perusahaan atau instansi manapun untuk perkebunan sawit disitu. Melihat fenomena itu dengan segera nalar saya bekerja untuk menemukan jawaban kenapa atau logika seperti apa yang mendasari mereka untuk mengusahakan menanam sawit di tengah kondisi yang marjinal, minimnya infrastruktur jalan, penerangan, dan juga terbatasnya pengalaman dan pengetahuan tentang tanaman komoditi global seperti itu. Lantas bagaimana nanti hasil panen tandan buah sawit (CPO) itu dijual, kemana dan menggunakan apa?. Sifat mendasar dari tanaman monokultur semacam kakao dan terutama sawit adalah rakus lahan dan sumber air (Saragih, 2011:62). Di sebuah desa dengan populasi yang terbilang kecil dan ketersediaan lahan beserta hutan, ditambah melimpahnya aliran air sungai Lariang yang mengalir membelah pemukiman dengan ladang, kebun dan hutan, hadir sebagai sumber layanan alam untuk memenuhi prasyarat untuk segala jenis crash crop bisa dibudidayakan. Diuntungkan pula cuaca dan bentang alam dengan topografi tanah landai dan berbukit-bukit menjadi sangat ideal untuk mencoba peruntungan ala petani pegunungan mendulang keuntungan dari „emas hijau‟ tersebut.
5
Pada ranah pengalaman dan pengetahuan petani selama ini dalam membudidayakan tanaman kakao juga bisa menjadi faktor internal yang mendasari mereka berspekulasi atas komoditi baru. Ditambah juga semakin menurunnya hasil produksi tanaman kakao dari waktu ke waktu akibat serangan hama dan penyakit penggerek buah. Kondisi aktual tersebut semakin mendorong petani untuk menemukan peluang-peluang pasar baru yang tentu saja bisa menguntungkan dan menjadi sumber ekonomi baru bagi kelangsungan hidup keluarga. Pada kisaran tahun 2007, muncul satu kegiatan pembalakan kayu hutan atau disebut basenso. Praktek komodifikasi hasil hutan berupa kayu ini langsung menyedot perhatian warga karena menjanjikan penghasilan yang tinggi-„uang cash‟. Perlahan-lahan alat-alat produksi berubah dari parang menjadi mesin senso (chainsaw) yang juga mengubah sistem kerja karena relasi produksi dan pembagian kerja yang semakin mengukuhkan sistem upahan. Pola produksi ekstraktif ini menyisakan perempuan dan orang-orang tua untuk mengurus kebun kakao, sehingga cara produksi tidak hanya makin maskulin (menyingkirkan perempuan) tapi semakin mencerabut petani dari basis produksi pertanian. Narasi di atas adalah suatu fenomena di pedesaan dataran tinggi yang secara dinamis bergerak maju seiring dengan perkembangan dan pengetahuan petani yang terus bersinggungan dengan pasar. Obsesi saya diawal perlahan-lahan mulai luntur setelah melihat sendiri bagaimana dinamika petani pegunungan di daerah pedalaman Tobaku itu beroperasi mencari celah diantara gerak zaman yang terus berubah.
6
Bertolak dari deskripsi singkat diatas, tulisan ini akan berusaha untuk melihat petani Tobaku yang telah terbentuk dan sangat adaptif terhadap tarikan-tarikan pasar terutama melalui kehadiran berbagai introduksi komoditas dagang. Pilihan-pilihan rasional petani dalam merespon tarikan-tarikan pasar merupakan titik berangkat dalam melihat apa yang tetap bertahan dan apa yang berubah seiring juga dengan perubahan relasi-relasi sosial sebagai implikasi atas semakin terhubungnya sistem pertanian dengan ekonomi pasar (Li 2014). Sistem padi ladang (subsistensi) sedikit-banyak juga mendapatkan imbas dari proses penyesuaian dengan hadirnya komoditas dan sumber-sumber ekonomi baru yang lebih menjanjikan secara material bagi keluarga petani. Namun, disisi lain mengancam kedaulatan pangan yang dulu semua kebutuhan dasar bisa diproduksi langsung. Saat ini hanya tinggal padi, jagung dan sayur-mayur yang diproduksi untuk dikonsumsi. Bahkan, beberapa keluarga yang tidak memiliki angkatan kerja keluarga yang bisa dieksploitasi tenaganya, sudah berhitung secara ekonomis untuk lebih melakukan akumulasi modal di sektor lain agar kebutuhan dasar bisa diakses dengan cara membeli. Pada konteks ini, dengan beragam kerja-kerja produktif yang beroperasi seperti basenso sebagai kegiatan produksi eksraktif dalam memperdagangkan hasil hutan berupa kayu-kayu bernilai tinggi (komodifikasi hasil hutan) menggantikan curahan waktu dan tenaga pada produksi pertanian kakao. Oleh sebab itu, padi ladang yang masih diproduksi setiap musim tanam sifatnya menjadi produksi sampingan.
7
Namun, hubungan beragam cara produksi tersebut berlangsung secara dialektis karena akumulasi modal pada cara produksi dominan digunakan untuk produksi pangan padi ladang dan reproduksi tenaga kerja untuk menjamin produksi utama terus berlangsung. Kondisi pada basis-produksi ini menggambarkan formasi sosial dengan ciri utama beroperasinya beragam cara produksi dalam masyarakat (Wolf 1983 ; Terray 1975). Problemnya kemudian adalah sebagaimana penjelasan diawal bahwa REDD+ dengan agenda konservasi plus pengelolaan hutan berkelanjutan yang rencananya beroperasi melalui program KPH akan berhadapan dengan situasi penolakan (resistensi) jika dalam praktek model KPH membatasi akses petani dalam hutan. Dalam sistem penggunaan lahan Tau Tobaku, ladang padi mereka, kebun-kebun kakao dan bisnis komodifikasi hasil hutan (logging) bisa saja berada di areal hutan yang akan diklaim oleh KPH. Lantas kemudian, dengan gambaran cara produksi masyarakat diatas, bagaimana KPH atau REDD+ mampu meyakinkan petani Tobaku yang sejak lama telah memiliki relasi kuat dengan alam (hutan) terutama dalam sistem padi ladang yang berarti aktivitas membakar (baparas) dan berpindah-pindah (rotasi lahan) itu harus dirubah atau bahkan dihentikan? Dengan cara pandang itu, proses yang bisa saja terjadi dengan adanya agendaagenda membatasi akses petani (eksklusi) pada sarana produksi akan mendorong mereka bertransformasi kepada cara produksi baru dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Saya tidak sedang berandai-andai, tetapi dengan melihat
8
dinamika beserta relasi sosial yang tengah terbentuk di Tobaku sangat mengindikasikan hal tersebut. Artinya, subsistensi petani dalam mengolah kebutuhan pangan akan sangat terdampak dengan cara negara mengatur tata kelola kehutanan dengan masyarakat yang hidup disekitarnya. Tidak hanya itu, corak produksi dominan yang berorientasi pasar sebagai pondasi ekonomi utama petani akan semakin kompetitif seiring dengan pengkerutan area kelola pertanian, yang juga berarti menajamkan pola penguasaan lahan di antara petani penggarap. Pada wilayah inilah, sesat pikir dan abainya lensa pengamatan rezim kekuasaan model konservasi biasanya berulang kali terjadi. Ironinya adalah disatu sisi model pemberdayaan dengan pelibatan petani dalam mengurus hutan melalui insentif dana karbon (carbon offset-REDD+) digalakkan, namun menciptakan ruang kompetitif dalam tarikantarikan pasar dan petani yang lapar tanah semakin besar disisi lain. Disaat bersamaan pula, absennya negara dalam peri-kehidupan petani pegunungan sangat terasa. Terutama pada upaya meningkatkan kehidupan yang lebih baik seperti pendidikan yang layak bagi anak-anak, akses jalan dan penerangan yang memadai, serta kebutuhan sekunder dan tersier lainnya.7 Seperti yang mereka saksikan sendiri lewat layar kaca atau pengalaman hidup sehari-hari mereka ketika melakukan interaksi dengan desa tetangga yang lebih maju. Dengan kata lain, dimensi kultural petani pegunungan dengan pandangan romantik-ekonomi moral 7
Pola pertanian ladang petani pegunungan memberi kesan terbelakang dan miskin di mata pemerintah dan orang kota. Sehingga corak produksi alami dan ramah lingkungan itu cenderung dianggap sebagai alasan kemiskinan dan penghambat petani pegunungan untuk sejahtera (Lih. Shcrauwers 2002:199,.Li 2002b: 421).
9
(Geertz 1983, Scott 1981 ), sepertinya sudah tidak relevan lagi mengambarkan secara aktual kehidupan petani pegunungan. Oleh sebab itu, penelitian ini akan menampilkan petani Tobaku yang masih memproduksi kebutuhan pangan hanya untuk dikonsumsi (subsistensi), tetapi dalam ruang dan waktu yang sama, mereka telah terbentuk menjadi suatu kelas petani penghasil komoditi kecil- kecilan yang tengah tergerus ke dalam arena pertarungan pasar yang bekerja dengan nalar untung-rugi. Memakai kerangka analitik ekonomi politik agraria, fokus pada dinamika perubahan agraria dengan memotret karakteristik masyarakat yang didalamnya bekerja beragam kekuatan-kekuatan produktif. Dengan demikian,Tulisan ini juga akan menunjukkan suatu dominasi yang mengarah kepada proses transformasi cara produksi petani di dataran tinggi. Sehingga pilihan-pilihan mereka terhadap sumber-sumber ekonomi baru yang lebih menjanjikan akan peningkatan kesejahteraan memiliki akar penjelas secara material dan historis. Akan tetapi perubahan sosial-kultural (basis produksi) itu ternyata juga memberikan implikasi kepada pola-pola relasi produksi-distribusi, pada imajinasi kesejahteraan dan pranata sosial pedesaan. Namun, yang terpenting dan menjadi ciri utama adalah pada bentuk relasi-relasi sosial yang terperikan dengan semangat akumulatif dan transaksional (kapitalistik).
10
B. TINJAUAN PUSTAKA Topik utama tesis ini adalah studi tentang perubahan cara petani pegunungan memproduksi dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup di pedesaan, khususnya pada petani pegunungan Sulawesi Tengah. Ada banyak studi, penelitian yang membahas tentang transformasi sosio-kultural dengan berbagai macam kerangka analitik dan fokus studi. Pengkategorian wilayah penelitian dari dataran tinggi dan rendah, pegunungan, pedesaan, atau wilayah lembah juga menghiasi keragaman kajian pustaka tentang Sulawesi Tengah. Literatur-literatur yang saya bahas dibawah ini adalah yang mempunyai koherensi dengan riset yang saya lakukan, yang tidak hanya senada pada pilihan lokasi, kerangka analitik dan fokus kajiannya, tetapi juga memiliki pertalian dengan tatanan sosial, cara produksi, bahkan situasi kontemporer masyarakatnya. Tentu saja, ada perbedaan kasus yang signifikan dan bersifat lokal. Penelitian Albert Schrauwers (2000: 163-200) pada masyarakat To Pamona menekankan rasionalitas ekonomi masyarakat yang beroperasi pada kategori ekonomi moral petani pegunungan. Artinya, pada model ekonomi moral yang cenderung antiPasar, maka yang berlaku adalah moda subsistensi. Karena sistem ini terkadang merasa terancam jika hasil (surplus) pertanian menjadi barang dagangan (Artwood, 1997:1149). Sementara dalam penyelidikan yang mendalam melalui hubunganhubungan kekerabatan atau posintuwu, menunjukkan suatu ciri moral petani dalam mengatasi masalah keterbatasan penguasaan tanah (diferensiasi tanah) bagi petani skala kecil. Menurut Schrauwers, sistem kekerabatan itu ternyata adalah pilihan yang
11
cukup rasional, karena hal tersebut adalah tindakan praktis dalam pengaturan tenaga kerja yang tidak dikomodifikasi. Mereka tergolong petani skala kecil yang memanfaatkan sarana produksi „Cuma-Cuma‟ dari bentuk kekerabatan posintuwu. Poin pentingnya adalah strategi moral petani Pamona dalam membendung tekanan pasar yang berlangsung dalam skema dagang (untung-rugi), juga termasuk komodifikasi atas sarana produksi utama yakni tanah dan tenaga kerja, termanifestasi pada relasi reproduksi posintuwu cukup berfungsi sebagai sarana untuk membantu kerabat yang lebih miskin dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan reproduksi sosial dan seremonial. Pada buku Kopi, Adat dan Modal (2013) karya antropolog Claudia D‟ Andrea juga menyajikan satu kisah yang hampir sama, dengan fokus kajian yang berbeda. Orang Katu sebagai subjek kajian digambarkan dengan ciri petani adat yang mampu memenangkan klaim dalam bentuk pengakuan atas penguasaan tanah ulayatnya dari Rezim Taman Nasional Lore Lindu. Paska pengakuan itu, petani Katu yang secara ekonomi juga telah terhubung dengan pasar melalui komoditi kopi dan kakao mengartikulasikan dinamika identitas dan penguasaan tanah adat (teritorial) dalam beragam rangkaian perjuangan yang berbeda dengan bentuk perjuangan petani di tempat lain. Perjuangan mereka dalam memberikan tafsir baru atas masyarakat adat adalah cerita dan kajian penting dalam studi D‟ Andrea ini. Praktek kehidupan petani Katu
12
yang juga turut serta dalam usaha mengakumulasi modal dan mencari cara demi sumber-sumber ekonomi yang menguntungkan dan mensejahterakan, hal demikian akan sangat ganjil jika dilihat dalam kerangka perjuangan masyarakat „adat‟ yang romantik. Pada ranah ini keunikan perjuangan petani adat Katu sangat mencolok. Aturan-aturan adat yang baru diproduksi tidak dalam usaha melestarikan sistem „tradisional‟, malah yang terjadi adalah sebaliknya, dalam artian bahwa artikulasi perjuangan petani adat dalam bentuk supremasi aturan-aturan adat yang baru juga mengakomodir aspirasi modernitas lewat praktek laku-hidup yang adaptif merespon kehadiran pasar global melalui tanaman komoditas pasar. Cerita di atas menambah wawasan kita akan tipologi petani saat ini. Imajinasi dan harapan yang sering dikaitkan pada petani pegunungan bahwa mereka tetap melestarikan tradisi agar bisa bertahan dalam hentakan badai ekonomi yang berorientasi pasar, sepertinya harus direfleksikan kembali. Seperti juga yang ditunjukkan oleh Tania Li dalam buku “Land‟s End; Capital Relations on an Indigenous Frontier” (2014), secara etnografi menarasikan tentang orang Lauje yang mengalami proletarianisasi. Transformasi agraria terjadi bukan dalam skema akumulasi primitif ataupun lewat perampasan (accumulation by disposition), melainkan berlangsung dengan cara yang meminjam istilah Ben White „Kumulatif dan permanen‟ (Li 2002 : 417). Orang Lauje secara aktif dan pilihan sadar ikut dalam sistem baru yang ditawarkan oleh komoditas kakao. Tanaman kakao menggantikan moda subsistensi
13
ladang, rotan, tanaman bawang karena komoditas pasar ini memberikan harapan baru secara ekonomis dan merubah citra mereka sebagai petani miskin dan terbelakang. Implikasinya, perebutan akan hak-hak tanah waris marak terjadi antara kerabat yang saling mengklaim hak atas penguasaan tanah tersebut. Selanjutnya, tanah-tanah produktif akan terkomodifikasi dalam skema jual-beli ketika mereka terdesak oleh kebutuhan akan uang tunai, seperti untuk biaya sekolah anak, anggota keluarga yang sakit atau demi biaya pernikahan. Dengan demikian, menurut Tania Li, situasi demikian menggambarkan situasi secara konjungtural pada orang Lauje yang dicirikan oleh model “capitalism from below”. Sulawesi‟s upland farmers are not the hapless victims of market forces; if they have lost land it is not because they have been displaced by large-scale plantations or agribusiness schemes; nor have they been obliged to plant cocoa by the government. They have entered into cocoa production for their own, complex reasons — but not under conditions of their own choosing. To understand the attractions of cocoa, and the processes through which it was adopted, it is necessary to place the question of agency in the context of local histories of landscape, livelihood and government. So too with the unintended consequences of cocoa: the displacement of customary landholders and the concentration of land ownership in fewer hands was the unplanned, perverse outcome of popular initiatives aimed to improve economic well-being (Li 2002).
Booming kakao di Sulawesi Tengah memang merupakan suatu penanda perubahan besar dalam proses transisi masyarakatnya. Lompatan besar yang dicirikan pada transformasi agraria yang turut disertai oleh pembentukan formasi kelas sosial, sebagaimana studi tentang komunitas tani di Kec. Kulawi dan Palolo di Sulawesi
14
Tengah oleh Laksmi A. Savitri
(2007). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa
perubahan agraria tidak hanya berimplikasi pada perubahan relasi dan praktek sosial pada level produksi, tetapi juga menyebabkan dominasi pengetahuan disisi yang lain. Dalam prakteknya, disparitas sosio-kultural itu terkonfigurasi secara etnisitas dan Gender. Misalnya, pada konteks komunitas masyarakat yang homogen, pengetahuan tentang padi dikuasai oleh perempuan, sementara laki-laki pada tanaman kakao (maskulinitas corak produksi). Pada ranah lain, secara etnisitas pendatangkhususnya Bugis, mendominasi segala hal-ikhwal tentang komoditas kakao. Dengan kata lain, disertasi ini menampilkan suatu proses transformasi agraria yang didorong oleh momen „revolusi kakao‟ di Sulawesi Tengah, itu tidak hanya mengubah pola penguasaan tanah, formasi sosial masyarakat (diferensiasi kelas), sistem kerja-relasi sosial produksi tetapi juga menciptakan ketimpangan pengetahuan sehingga menguntungkan satu pihak dan mengeleminasi pihak lain. Sedikit berbeda dengan kajian-kajian pustaka diatas, buku yang membahas dengan spesifik to Tobaku adalah karya Lorraine Aragorn. Lewat buku „Fields of the Lord‟: Animism, Christian Minorities, and State Development in Indonesia (2000). Penelitian Aragorn dalam rangka untuk melihat perubahan mendasar pada kebudayaan To Tobaku paska hadirnya agama baru yaitu Bala keselamatan (Salvation Army). Peralihan dari kepercayaan lokal (animisme) ke Protestan (BK) membawa relasi baru antara manusia dengan alamnya. Terutama pada praktik pertanian ladang dengan ritual penyembelihan binatang, ayam, babi, kerbau yang dipersembahkan untuk penguasa alam yang sesungguhnya-Pue. 15
Penelitian Meillassoux (1963) pada Komunitas Gouro yang menjadi subjek penelitiannya di Afrika, dengan melihat corak produksi pengolah lahan yang menjalin relasi dengan corak produksi lainnya dalam bentuk pertukaran antar komunitas. Yang ditukarkan tentu saja berbeda, orang Gouro yang memproduksi kola untuk kebutuhan konsumsi sekunder, kemudian surplus produksi kola dibarter dengan barang-barang konsumsi yang tidak mereka produksi seperti cawat atau garam yang diproduksi oleh komunitas lain. Meski
artikulasi
melalui
berbagai
bentuk
pertukaran
barang
tidak
mentransformasi tatanan sosial orang Gouro, namun intensifikasi pertukaran tersebut menjadi prakondisi bagi terbentuknya kesadaran akan nilai komoditas, yakni barang yang diproduksi khusus untuk dipertukarkan dengan uang. Fase kolonialisme Prancis di Afrika menjadikan babak baru untuk menandai transformasi bagi tatanan sosial orang Gouro, melalui pasar produk-produk perkebunan kolonial yakni komoditi kopi dan kola menyebabkan komodifikasi atas hasil produksi orang-orang Gouro juga semakin terintegrasi dengan permintaan pasar (Meillassoux dalam Mulyanto 2014). Intensifikasi lahan untuk tanaman komoditi tersebut kemudian menjadi babakan sejarah proses terinkorporasinya para pengolah lahan yang subsistensi menjadi semakin terikat dengan mekanisme pasar melalui komoditi dagang. Secara garis besar kajian, studi, dan penelitian yang telah saya paparkan diatas merupakan kajian terhadap transformasi sosial masyarakat, khususnya perubahan agraria dengan fokus, waktu dan tempat yang tidak jauh berbeda. Jika dirunut secara
16
lebih spesifik lagi, sebagai benang merah adalah proses identifikasi pada kategori petani dataran tinggi yang berada dalam pusaran arus besar perubahan akibat kekuatan pasar yang bekerja mengubah corak produksi hingga relasi sosial produksi, yang juga turut membentuk perubahan pada sisi sosial dan kultural. Melihat gejala perubahan sosial pada petani dataran tinggi didorong oleh suatu proses yang oleh Tania Li disebut proses “kapitalisme dari bawah”. Tulisan pada tesis ini juga akan berjalan dengan irama yang sama dengan uraian-uraian di muka. Pada konteks program REDD+ di Sulawesi Tengah tampil dengan jubah baru tapi dengan wajah yang lama, artinya REDD+ sebagai proyek konservasi hutan bukanlah hal baru. Logika pada rezim TNLL sangat paralel dengan agenda tersebut. Seperti yang dihasilkan oleh riset-riset sebelumnya, bahwa di awal perjalanan program ini sudah banyak mengalami kendala. Seperti penolakan program dari masyarakat setempat karena REDD+ diyakini sebagai cara baru negara merampas lahan dalam bentuk pemasangan pal batas-batas diatas kebun-kebun petani yang selama ini sudah menjadi sumber penghidupan utama mereka (Cristy, 2013). Penelitian Latifah (2012) juga memperlihatkan polemik dan intrik internal antar pengelola REDD+ yang diwakili oleh berbagai unsur-unsur dari masyarakat sipil dan pemerintahan dalam skema pelibatan multipihak sebagai prasyarat sebelum program ini diimplementasikan.
17
Friksi tersebut menyibak tabir kepentingan diantara elemen-elemen yang ada dalam kelompok kerja (Pokja) REDD+, dan yang paling kentara menurut Latifah adalah kepentingan pemerintah untuk meneguhkan kontrol atas hutan dan benefit program REDD+. Agenda „cuci tangan‟ Negara-negara industri yang tampil secara implisit dari program REDD+ justru menjadi sumber hegemoni baru bagi petani pegunungan yang selama ini sudah menjadi korban agenda-agenda konservasi, seperti orang Dodolo yang terusir dan tercerabut dari tanah dan corak produksi dengan caracara tipu muslihat hingga cara kekerasan yang telah berlangsung sejak masa kolonial dan orde baru lewat program resettlement, perang pemberontakan Permesta-DI/TII hingga penetapan kawasan Taman Nasional Lore Lindu, juga rencana program REDD+
yang akan melarang mereka mengakses hutan, tempat petani Dodolo
menggantungkan hidupnya (Rangi, 2013). Logika yang demikian juga diadopsi oleh program REDD+ lewat skema KPH yang tengah berjalan di beberapa daerah. Untuk konteks Kulawi dan Tobaku khususnya, KPH masih tahap rencana, REDD+ juga belum beroperasi secara langsung. Dengan demikian tesis ini tidak akan mengulas implementasi REDD+ secara praktik tetapi akan melihat nalar yang bekerja dalam rezim konservasi lingkungan yang cenderung disikapi dengan penolakan dari masyarakat yang tinggal di kawasan sekitar hutan dan menjadikan hutan sebagai ruang hidup bersama.
18
C. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan ulasan diatas, bahwa kekuatan dari luar sebagai skenario negara yang mewujud dalam agenda konservasi salah satunya REDD+ atau KPH tengah dirancang untuk di implementasikan pada masyarakat yang sebagian besar ruang hidupnya sangat dekat dengan hutan. Kearifan dan kebudayaan ala petani pegunungan yang relasinya dengan hutan terjalin erat, seringkali diabaikan dalam perumusan kebijakan tata kelola hutan. Maka dari itu, untuk melihat relevan tidaknya agenda besar tersebut adalah dengan memeriksa secara mendalam bagaimana relasi masyarakat baik secara kultural dan sosial dengan hutan sebagai ruang hidupnya. Dalam konteks ini, penyelidikan relasi kultural dan sosial To Tobaku atas hutan mestinya dengan pendalaman kajian atas basis produksi utama mereka. Pada dasarnya sistem ekonomi-sosial, biasanya merupakan kombinasi berbagai cara produksi yang salah satunya bersifat dominan, yakni mengatur relasi dasar masyarakat secara keseluruhan (Terray, 1969). Maka pertautan antar beragamnya cara produksi dalam masyarakat yang mencirikan suatu bentuk formasi sosial tertentu akan merepresentasikan hal-ihwal masyarakat tersebut. Secara historis, petani Tobaku sebagai suatu komunitas tani tengah mengalami transformasi, perubahan itu dimungkinkan oleh beroperasinya suatu cara produksi dominan yang berorientasi pasar menggerus cara produksi sampingan yang bertujuan subsistensi. Oleh karena itu, permasalahan utamanya adalah bagaimana proses transformasi cara produksi
19
tersebut seiring dengan peralihan-peralihan tanaman komoditi? Untuk menguraikan lebih rinci rumusan masalah utama ini, maka yang harus dikaji adalah: 1. Mengapa petani Tobaku sangat adaptif terhadap peralihan komoditi? 2. Bagaimana implikasi sosio-kulturalnya?
D. KERANGKA PEMIKIRAN Tujuan utama dari tesis ini adalah melihat dinamika perubahan agraria petani pegunungan di Tobaku, yang berlangsung dalam latar ruang dan waktu yang sangat dipengaruhi oleh introduksi tanaman komoditi. Penelitian Tania Li di Lauje menunjukkan bahwa transformasi atas pengaturan lahan yang memunculkan kepemilikan pribadi dan menciptakan hubungan sosial berdasar prinsip kerja upahan menggeser relasi sebelumnya yang ditandai oleh ikatan kekerabatan dengan prinsip resiprokal dimungkinkan oleh kehadiran produksi kakao (Li dalam Darmanto 2015 : 114). Dalam riset selama dua dekade (1990-2009) ini, Tania Li juga mengembangkan argumen penting bahwa kapitalisme adalah hubungan sosial (Li 2014: 116), yang juga merupakan suatu gagasan mendasar dari kajian ekonomi politik agraria (Berstein 2015 : 1). Lebih lanjut Berstein menjelaskan bahwa studi mengenai perubahan agraria (agrarian change) adalah suatu kegiatan penyelidikan atas relasi sosial dan dinamika produksi dan reproduksi, properti dan kekuasaan dalam struktur kelas agraria dan
20
proses-proses perubahannya secara historis maupun kontemporer, dengan terutama memahami bentuk kapitalisme serta perkembangannya. Selain itu, pendekatan ekonomi politik agraria ini tidak hanya memakai kacamata Marxian, tetapi juga menawarkan satu kerangka analitik yang relevan untuk menjelaskan proses terbentuknya kelas petani produsen komoditi skala kecil di satu sisi tetapi tetap memproduksi kebutuhan pangan (subsisten) disisi yang lain. Studi ini menempatkan petani atau kaum tani pedesaan sebagai subjek kajian utama, yang dalam studi antropologi ekonomi diskursus „Peasant‟ terbagi dalam tiga aliran utama, yakni : aliran formalis, substantif dan Marxis (Sairin dkk 2002:84). Silang pendapat dari ketiga pandangan ini melahirkan beberapa teori yang jamak dioperasikan dalam membedah masyarakat tradisional dan komunitas tani pedesaan di Indonesia. Diantara pendekatan-pendekatan itu, dan seringgkali dipakai sebagai kerangka analitik dalam membedah masyarakat-kaum tani adalah studi klasik dari James Scott „moral ekonomi petani‟ (1981) dengan point penting dalam konsep ini adalah bahwa masyarakat tani enggan mengambil resiko dalam usaha peningkatan skala produksi dalam rumah tangga. Masuknya investasi pada produksi baru dianggap sangat rentan terhadap basis ekonomi rumah tangga terutama mereka yang tergolong petani skala kecil. Sehingga pilihan-pilihan ekonomi mereka akan tetap berlangsung dalam etika subsisten dengan prinsip dahulukan selamat. Dengan moralitas ekonomi ini, kecenderungan melakukan resistensi atas desakan-desakan pasar (eksternal) karena
21
ancaman yang akan merubah cara produksi dan pranata sosial yang semangatnya komunalitas. Teori diatas menurut Samuel Popkin (1986) melihat masyarakat tani dalam perspektif yang sangat romantis, artinya kehidupan petani desa masih berlangsung dengan stabil dan tertutup. Pendekatan ekonomi moral adalah seperangkat buah pikiran tentang desa-desa, hubungan patron-klien, dan aktifitas pasar yang didasarkan pada asumsi-asumsi tentang tujuan-tujuan petani dan perilakunya (Popkin 1986:3). Sebagai bantahannya, Popkin mengajukan pendekatan ekonomi politik dengan penekanan pada pengambilan keputusan individual dan interaksi strategis guna menjelaskan pilihan-pilihan ekonomi petani itu dilakukan karena potensi petani untuk melakukan pilihan-pilihan secara rasional. Berdasarkan studi lapangan di Vietnam, Popkin melihat bahwa pergerakan petani disana menantang interpretasi ekonomi moral terjadi dalam tiga bentuk : “Pertama, pergerakan-pergerakan itu anti feudal, tidak restorative. Mereka berusaha bukan untuk memulihkan kembali praktek-praktek dan lembagalembaga tradisional, juga mereka berusaha untuk menghancurkan ekonomi pasar, tetapi untuk menjinakkan kapitalisme. Kedua, tidak ada hubungan jelas antara ancaman atau penurunan terhadap subsistensi dan respon kolektif. Ketiga, masalahnya bukan pada besarnya ancaman terhadap suatu kelas, tapi resiko terhadap partisispan-partisipan individual-dan ada perbedaan nyata antara rasionalitas individual dengan rasionalitas kelompok atau kelas” (Popkin 1986 : 197). Akan tetapi, petani rasional dalam gambaran Popkin sudah menjadi tidak relevan lagi saat ini. Terdapat beberapa kelemahan dari teori ini jika digunakan untuk
22
menganalisis tipe masyarakat pegunungan atau dataran tinggi yang dari waktu ke waktu telah terdisiplinkan secara halus, pelan tapi pasti oleh kekuatan-kekuatan pasar, yang termanifestasi pada nalar hingga kepada pilihan-pilihan ekonomis mereka. Menurut Schrauwers petani rasional secara konseptual tidak mengakomodasi kerangka historis dan cenderung abai dengan struktur agraria seperti: kondisi apa yang melatari pilihan-pilihan rasional petani? Oleh karena itu, dinamika dalam transformasi petani dalam setting ruang apapun dan dimanapun, akan terasa kurang memadai jika tidak melakukan penyelidikan pada struktur agraria dan implikasinya atas relasi sosial-produksi. Kritik atas pandangan petani rasional juga datang dari ilmuwan lain, seperti Bernstein yang memakai istilah „subsistensi plus‟ untuk menyebut konsep Popkin diatas. Menurut Bernstein (2015 : 122), anggapan bahwa model subsistensi petani dan terintegrasinya mereka kedalam sistem pasar sebagai kemandirian dan kebebasan memilih untuk mengamankan produksi subsistensi merupakan suatu pandangan yang cukup menyesatkan. Bisa demikian karena ketika keluarga tani telah tergerus kedalam relasi-relasi komoditas, mereka pun pasti tunduk pada dinamika dan keterpaksaan yang ditimbulkan dari proses komodifikasi yang diinternalisasikan dalam relasi dan praktek produktif mereka. Pengamatan saya pada masyarakat Tobaku sebagai petani ladang musiman, juga membudidayakan komoditi kakao sebagai tanaman tahunan (termasuk kelapa
23
sawit) dan juga menjadi tenaga kerja dalam bisnis logging-basenso, cukup relevan dengan teori Bernstein diatas. Bahwasanya, untuk menjelaskan beragamnya corak produksi yang beroperasi tersebut ditambah kehadiran sumber-sumber ekonomi lainnya saya meminjam konsep yang oleh Bernstein disebut “Komodifikasi Subsistensi” yang merupakan pemerian atas dinamika sentral dalam perkembangan kapitalisme. Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa seiring perkembangan kapitalisme, karakter sosial usaha tani skala kecil berubah. Pertama, petani menjadi produsen komoditas berskala kecil yang harus memproduksi kebutuhan hidup (subsistensi) dengan jalan bergabung dalam struktur pembagian kerja yang lebih luas dan terintegrasi ke pasar. Kedua, produsen komoditas berskala kecil ini harus tunduk pada proses diferensiasi kelas yang mungkin saja terpilah-pilah menjadi kelas-kelas petani kapitalis skala kecil, produsen komoditas berskala kecil yang sukses, dan buruh tani (Bernstein 2015: 4-5). Komodifikasi adalah proses yang dilalui agar elemen-elemen produksi dan reproduksi sosial bisa dihasilkan untuk, dan diperoleh dari, pertukaran pasar dan elemen-elemen itu tunduk pada disiplin dan desakan pasar. Dalam kapitalisme, proses komodifikasi didasari oleh kemunculan dan pembentukan historis hubungan sosial mendasar antara kapital dan buruh upahan. Kecenderungan utama
kapitalisme
terhadap generalisasi produksi komoditas tidak berarti bahwa semua elemen sosial memang perlu, dan secara keseluruhan dikomodifikasikan. Kecenderungan itu lebih menunjuk pada komodifikasi subsistensi: bahwa reproduksi itu tidak bisa
24
berlangsung di luar relasi-relasi komoditas dan diluar disiplin yang diberlakukan oleh relasi-relasi komoditas lain (yaitu „paksaan samar dari kekuatan-kekuatan ekonomi‟ menurut Marx). Komodifikasi
atas
tanaman
(yang
biasanya
terjadi
sebagai
akibat
diberlakukannya „komersialisasi paksa‟ untuk memulai komodifikasi selanjutnya), lantas dilakukanlah komodifikasi atas sarana konsumsi, lalu terjadilah komodifikasi atas peralatan dan alat kerja lain, kemudian kerja itu sendiri pun dikomodifikasikan dan terakhir komodifikasi tanah yang merupakan sasaran kerja (Bernstein 2015:120121). Akar penjelasan utama dari komodifikasi itu berasal dari argumen teoritis Marx yang diuraikan oleh O‟Laughlin (2015) bahwasanya penentuan dialektis atas surplus oleh daya-daya dan hubungan produksi berlaku baik di dalam cara produksi prakapitalis maupun kapitalis. Namun, ketika tidak ada akumulasi terjadi, ketika kerja (dalam perbudakan) maupun tenaga kerja (di dalam kapitalisme) belum menjadi komoditi, dan ketika pekerja tidak terpisahkan dari sarana produksi mereka, surplus menjadi hal yang sulit untuk dijelaskan (hal. 61). Komodifikasi dimungkinkan jika barang-barang yang diproduksi sebagai komoditi. Komoditi adalah produk yang didalamnya terdapat curahan kerja manusia. Lalu komoditi adalah objek dan objek mengandaikan adanya subjek. Komoditi selalu terkait dengan manusia sebagai subjek sehingga komoditi berperan untuk memenuhi
25
kebutuhan tertentu manusia, entah itu bersifat fisik atau non-fisik. Komoditi bukan hanya objek dari kebutuhan tertentu dan tidak semua yang bisa memenuhi kebutuhan manusia disebut komoditi. Harus terdapat curahan kerja manusia didalamnya untuk bisa disebut komoditi (Marx 2004 : 3).8 Terdapat tiga kategori (syarat) utama untuk bisa membedakan antara bendabenda untuk pemenuhan kebutuhan tertentu manusia atau komoditi dan yang bukan komoditi. Pertama, terdapat curahan tenaga kerja didalamnya. Kedua, dibuat atau diproduksi untuk dipertukarkan, jadi benda yang diproduksi untuk dikonsumsi sendiri bukanlah komoditi. Dan ketiga, pasar atau lembaga pertukaran yang menggunakan uang sebagai sarana tukarnya. Dalam perdebatan para antropolog Marxis terkait upaya untuk menerapkan kerangka analitik dalam menjelaskan cara produksi dalam masyarakat prakapitalis, sebagaimana dilakukan oleh Terray (1972) yang menguraikan cara-cara produksi rangkap formasi prakapitalis di Afrika. Melalui amatan pada formasi sosial masyarakat prakapitalis, Terray mengajukan suatu urutan analisis atas formasi sosial mengikuti analisis cara produksi : “Pertama-tama, beragam cara produksi yang mewujud di dalam formasiformasi ini mesti didaftar dan digunakan sebagai panduan sensus bentukbentuk kerjasama yang dipraktikkan. Inilah yang coba saya kerjakan terhadap Guro. Langkah berikutnya ialah membangun teori cara-cara 8
Misalnya udara dan air yang dibutuhkan manusia, tetapi karena udara dan air tidak diproduksi oleh manusia ataukah selama ini belum mengalami perubahan lewat pencurahan tenaga kerja manusia, maka udara dan air bukan komoditi.
26
produksi yang telah diketahui; masing-masing formasi sosio-ekonomi lantas akan tampak tersusun atas gabungan cara-cara produksi yang di dalamnya satu atau lainnya berperan dominan. Ibarat molekul kimiawi, suatu formasi sosio-ekonomi lantas akan didefenisikan oleh strukturnya, oleh watak unsurunsur pembentuknya sebagaimana juga oleh cara mereka diorganisasi di dalam keseluruhannya” (Terray 1972: 179 dalam O‟laughlin 2015). Terdapat jurang konseptual diantara antropolog Marxis dalam upanya menerapkan konsep formasi sosial dan cara produksi dalam masyarakat prakapitalis, karena analisis dilakukan dengan mengisolasi struktur masyarakat prakapitalis di dalam struktur otonom dan terpisah dengan daya-daya beserta hubungan-hubungan produksi yang lebih dominan. Sebagaimana kritik O‟laughlin bahwa dalam analisis seperti itu, ada kecenderungan mengandaikan konsep formasi sosial digambarkan sekedar suatu gabungan unsur-unsur cara produksi yang mencakup basis maupun suprastruktur. Di dalam alur penalaran ini, konsep formasi sosial akan punya makna analitis hanya apabila terdapat lebih dari satu cara produksi (ibid hal. : 54). Untuk menjembatani jurang konseptual tersebut, lebih lanjut O‟Laughlin menawarkan dua kerangka konseptual yakni : a). bisa jadi perlu menceritakan pertautan lebih dari satu cara produksi dalam basis; b). kita bisa berharap membincangkan ihwal hubungan produksi dominan dan sampingan ( ibid, hal. 64). Rumusan konseptual antropolog Marxis diatas, menurut tafsiran saya senada dengan analisis ekonomi politiknya Bernstein tentang proses komodifikasi subsistensi sebagaimana telah saya paparkan sebelumnya. Artikulasi konseptual ini menjadi alat analitik dalam memerikan formasi sosial pada komunitas tani di Tobaku.
27
Sebagai tambahan analitis, saya mengikuti argument penting Tania Li bahwa kapitalisme adalah hubungan sosial (relasi sosial- produksi). Asumsi Li ini adalah hasil elaborasi kritis dan pengembangan pemikiran dari pemikir Marxis Ellen M. Wood yang memandang relasi kapitalistik merupakan kondisi dimana hubungan antar elemen-elemen sosial-produksi bergeser dari pasar sebagai peluang (market as opportunity) menjadi paksaan pasar (market as compulsion) (Li 2014 : 6). Yang dalam kasus orang Lauje untuk bertahan hidup, tidak ada jalan kembali bagi mereka untuk menanam tanaman subsisten atau berproduksi di luar pasar, mau tak mau mereka harus terlibat dalam produksi tanaman komoditi pasar baik sebagai pemilik atau pekerja. Kondisi tersebut tidak jauh berbeda dengan pengalaman langsung orang Tobaku dalam pilihan terhadap tanaman komoditi kakao-bisnis pembalakan-basenso yang kompetitif dan mengubah cara produksi, alat-alat produksi dan juga relasi sosial-produksi mereka.
E. METODE PENELITIAN Sulawesi Tengah dipilih sebagai lokasi penelitian karena implementasi program REDD+ tengah di gagas, disosialisasikan dan dalam prakteknya di lapangan rencana tersebut akan diintegrasikan dalam Kesatuan Pengelolaan Kehutanan (KPH). Selama sebulan (awal Maret-April 2015) mengumpulkan informasi di kota Palu untuk bahan penelitian. Berdiskusi dengan banyak orang dengan latar-belakang sosial yang berbeda, dari aktivis dan akademisi kampus, aktivis OMS (organisasi
28
masyarakat sipil) hingga Pejabat dan pegawai Instansi pemerintahan. Dari proses itu saya mendapatkan gambaran awal kemana penelitian ini akan menuju, sampai akhirnya saya memutuskan lokasi penelitian di wilayah Tobaku Kec. Kulawi. Seperti yang sudah saya paparkan sebelumnya, bahwa Banggaiba dipilih sebagai tempat penelitian karena adanya rencana teritorialisasi melalui KPH (kesatuan pengelolaan hutan) dan rencana investasi bisnis oleh institusi Agro BisnisBK (Bala Keselamatan) di desa tersebut. Berdasarkan kedua sumber itu saya akhirnya memutuskan untuk datang melakukan observasi awal ke desa. Pengamatan awal saya tertuju pada cara produksi apa yang bekerja dan dominan saat ini di desa. Langkah ini saya tempuh guna memahami masyarakat seperti apa yang tengah diwacanakan dan diimajinasikan oleh „wali-wali masyarakat‟ dalam membentuk dua agenda berbeda diatas. Hal tersebut juga untuk memastikan kesalahan konseptual yang seringkali menghinggapi para pemangku kepentingan dalam merumuskan kebijakan yang selalu saja merugikan kelompok-kelompok rentan (masyarakat adat/lokal, petani dan buruh), salah satunya lewat wacana perubahan iklim melalui skema REDD+. Setelah menempuh perjalanan darat yang sangat melelahkan selama hampir sehari penuh memakai jasa ojek motor, dengan kondisi kaki masih gemetaran dan badan yang serasa remuk redam akhirnya saya bisa menjejalkan kaki di desa yang dituju. Perjalanan yang bernyali dan memicu adrenalin ini menjadi pengalaman pertama saya, dengan menyusuri jalan setapak yang becek, kadang membuat ban motor jadi terpeleset. Jalan tanah yang jadi jalur transportasi utama itu diterabas
29
dengan hati-hati dan langkah yang pasti oleh rombongan motor ojek yang mengangkut penumpang dan barang. Melalui rute yang membelah hutan rimba, melewati punggung-punggung gunung dengan jurang disisi kiri-kanan seolah mampu ditaklukkan oleh raung-raung motor dan kokohnya fisik-mental para jokinya. Medan yang telah saya lalui seperti cerita diatas, tentu saja bukan sebuah perjalanan wisata, tapi satu proses untuk mencapai lokasi penelitian lapangan yang saya lakukan pada akhir bulan April 2015. Penelitian lapangan ini berlangsung selama bulan Maret hingga Juli 2015, dari rentang waktu itu saya lebih banyak menetap di desa (sejak April sampai pertengahan Juli). Dengan menggunakan metode etnografi, dimana inti dari etnografi adalah usaha untuk mengamati dan memahami subjek yang diteliti, demi menemukan sistem makna yang bekerja dan membentuk kebudayaan mereka. Untuk itu, proses pengumpulan data yang saya lakukan adalah dengan terlibat langsung dengan aktivitas keseharian, seperti berkebun, minum saguer, bermain kartu remi dengan bertaruh rokok, dan bekerja bakti pembangunan jalan atau rumah ibadah. Dari usaha yang saya lakukan ini, bisa melihat bagaimana relasi-relasi yang ada, terutama untuk membedakan mana relasi produksi dan mana model patronase? Di dalam pergumulan langsung itu, saya banyak menggali informasi dengan bertanya, hampir selama penelitian ini berlangsung di desa saya tidak pernah melakukan proses wawancara secara formal kepada warga, semuanya berlangsung dengan cara yang non-formal, dalam arti setiap proses penggalian data dilakukan
30
dengan mengobrol sambil bekerja, atau duduk-duduk santai sembari menyeruput kopi hitam (partisipatoris). Wawancara yang saya lakukan berlangsung dengan proses tanya-jawab dikemas dengan obrolan ringan-santai. Tetapi memang terkadang saya menjumpai narasumber itu sedikit kurang nyaman dengan banyaknya pertanyaan yang saya ajukan, terlalu banyak bertanya (dari orang asing) membuat situasi mungkin menjadi kurang biasa buat mereka, yang juga mungkin karena mereka tidak terbiasa dengan orang asing yang ngobrol sambil banyak bertanya macam yang saya lakukan itu, pekerjaan itu hanya biasa dilakukan oleh petugas sensus atau polisi. Saya hampir tidak menemukan kendala atau hambatan selama proses pencarian data berlangsung. Namun, bukan berarti tidak ada kerumitan yang saya temui. Salah satunya adalah bahasa lokal, tetapi secara umum subjek penelitian (informan) yang saya temui menggunakan bahasa Indonesia sehingga tidak menjadi kendala utama. Kerumitan lainnya tentang sulitnya menemukan sumber-sumber sekunder (data administrative desa) karena arsip-arsip tersebut tidak berada di kantor desa, karena disimpan dirumah sekertaris desa yang tinggal di luar desa (di Kulawi) karena kantor desanya juga tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Selain itu, tidak ada pemuktahiran data terutama jumlah populasi dan penggunaan lahan oleh warga, sehingga data-data sekunder yang tersedia dan bisa diakses hanya berupa dokumen RPJMDes 2011-2015 dan profil desa dan kelurahan tahun 2007, yang menurut saya sudah sangat tidak relevan lagi dengan perkembangan desa dan pertumbuhan populasinya.
31