1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum. Negara hukum Indonesia sudah berdiri sejak lebih dari enam puluh sembilan tahun lamanya. Kualifikasi sebagai negara hukum tersebut terbaca dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam penjelasan mengenai “Sistem Pemerintahan Negara” dikatakan “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (Rechtsstaat)”. Selanjutnya di bawahnya dijelaskan, “Negara Indonesia berdasar atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtsstaat)”. Konsep tersebut lebih dipertegas melalui amandemen keempat dan dimasukkan ke dalam batang tubuh konstitusi, yaitu Bab I tentang ”Bentuk dan Kedaulatan”. Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), ditulis “Negara Indonesia adalah negara hukum”.1 Prinsip yang dimuat di atas mengandung arti bahwa kekuasaan tertinggi di dalam negara Indonesia adalah hukum yang dibuat oleh rakyat melalui wakil-wakilnya. Dalam praktik ketatanegaraan, sistem pemerintahan negara atau cara penyelenggaraan negara memerlukan kekuasaan, tetapi kekuasaan tersebut dibatasi oleh hukum.2
1
Satjipto Rahardjo, 2009, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya, Genta Publishing, Yogyakarta, hlm. 1-2. 2 Azhary, 1995, Negara Hukum Indonesia, UI Press, Jakarta, hlm. 145.
2
Dalam konteks politik hukum jelas bahwa hukum merupakan alat yang bekerja dalam sistem hukum tertentu untuk mencapai tujuan negara atau citacita masyarakat Indonesia. Pada umumnya dikatakan bahwa tujuan bangsa Indonesia adalah membentuk masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Di luar rumusan yang populer dan biasanya disebut sebagai tujuan bangsa itu, tujuan Negara Indonesia secara definitif tertuang di dalam alinea keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang meliputi:3 1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; 2. Memajukan kesejahteraan umum; 3. Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan 4. Mewujudkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Tujuan negara tersebut harus diraih oleh negara sebagai organisasi tertinggi bangsa Indonesia yang penyelenggaraannya didasarkan pada lima dasar negara (Pancasila) yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.4 Untuk mewujudkan tujuan negara tersebut salah satu faktor pendukungnya adalah aspek pertahanan. Pertahanan merupakan salah satu fungsi yang melekat pada negara dan merupakan salah satu fungsi awal yang telah ada sejak berdirinya negara. 3
Moh. Mahfud MD, 2010, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm.17. 4 Ibid.
3
Pertahanan merupakan faktor yang sangat hakiki dalam kehidupan bernegara, yaitu dalam menjamin kelangsungan hidup negara khususnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tanpa kemampuan mempertahankan diri terhadap ancaman dari luar negeri dan/atau dari dalam negeri, Negara Indonesia tidak akan dapat mempertahankan eksistensinya yang diperlukan dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Pertahanan negara memiliki tujuan untuk menjaga dan melindungi kedaulatan dan keutuhan wilayah bangsa Indonesia dari segala bentuk ancaman. Di Indonesia salah satu alat negara yang dapat memberikan perlindungan terhadap keutuhan bangsa, kedaulatan rakyat dan perlindungan terhadap warga negara dari segala ancaman dan mempunyai peran dan tugas penting dalam rangka penyelenggaraan sistem pertahanan negara adalah militer, dalam hal ini Tentara Nasional Indonesia. Hal tersebut sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 30 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, bahwa Tentara Nasional Indonesia terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. 5 Militer sebagai manusia tidak lepas dari pelanggaran hukum bahkan kadang-kadang melakukan tindak pidana. Tidak sedikit anggota militer diproses atas tindak pidana yang dilakukannya ke pengadilan. Pada dasarnya militer juga merupakan sebagai Warga Negara Republik Indonesia. Militer 5
Lihat Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Kedua.
4
bukan merupakan kelas tersendiri, karena setiap anggota militer adalah juga sebagai anggota masyarakat biasa, sehingga bagi militer yang melakukan tindak pidana akan diperlakukan sama seperti halnya warga negara yang melakukan tindak pidana. Hal tersebut sebagaimana yang diamanatkan dalam Konstitusi Negara Indonesia mengatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya (Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945). Dengan demikian, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam menjalankan pemerintahan tidak boleh ada warga negara yang mempunyai keistimewaan, termasuk militer. Semua warga negara harus tunduk dan patuh kepada keputusan hukum dan diperlakukan sama apabila melakukan pelanggaran norma-norma hukum atau tindak pidana sebagaimana yang telah dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan. Tindak pidana yang dilakukan oleh militer dan mendapat perhatian dari masyarakat dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) adalah penembakan di Lapas Cebongan yang terjadi pada 23 Maret 2013, oleh sekelompok anggota militer Komando Pasukan Khusus (KOPASSUS) yang mengakibatkan empat orang tahanan tewas.6 Putusan Pengadilan Militer II-11Yogyakarta yang dibacakan pada hari Kamis, 05 September 2013 oleh hakim Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta, menyatakan bahwa Serda Ucok beserta 2 orang terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah bersama-sama melakukan pembunuhan berencana 6
Luthvi Febrika Nola, “Proses Hukum Terhadap Penyerangan Lembaga Pemasyarakatan Cebongan”, http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/info_singkat/Info%20Singkat-V-7-I-P3DIApril-2013-40.pdf, diakses 16 Januari 2015.
5
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hakim Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta memutuskan dalam Putusan Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta Nomor : 46-K/PM II11/AD/VI/2013
Tahun
2013,
Ucok
Tigor
Simbolon
CS
2
Orang/Serda/31960350790677, memidana para terdakwa dengan menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa-1 Serda Ucok Tigor Simbolon dengan pidana penjara selama 11 tahun dikurangi masa penahanan dan dipecat dari dinas militer, Terdakwa-2 Serda Sugeng Sumaryanto dengan pidana penjara selama 8 tahun dikurangi masa penahanan dan dipecat dari dinas militer, Terdakwa-3 Koptu Kodik dengan pidana penjara selama 6 tahun penjara dikurangi masa penahanan dan dipecat dari dinas militer.7 Tindak pidana yang dilakukan oleh militer tidak berhenti di situ saja. Terdapat kasus tindak pidana lainnya yang melibatkan anggota militer, diantaranya tindak pidana turut serta melakukan perzinahan yang dilakukan oleh Pratu Ahmad Jayadi. Majelis hakim Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta memutuskan bahwa Ahmad Jayadi secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan perzinahan dalam Pasal 284 ayat (1) ke-2 huruf a KUHP. Majelis hakim Pengadilan Militer II-11 Yoryakarta dalam putusannya Nomor: PUT/ 18 - K/PM II-11/AU/III/2014
7
Direktorat Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/downloadpdf/bbbcd96c132fb8bc395b225b0af5d80b /pdf, diakses 7 Maret 2015.
6
memidana terdakwa dengan pidana pokok penjara selama 6 bulan dan pidana tambahan dipecat dari militer.8 Tindak pidana berikutnya dilakukan oleh Kopda M. Amin Rumakur, yaitu melakukan tindak pidana membantu melakukan penyelundupan manusia sebagaimana diatur dan diancam dengan pidana menurut Pasal 120 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian Jo Pasal 56 ke-1 KUHP. Dalam putusannya hakim Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta Nomor: 49-K/PM.II-11/AD/V/2012 tanggal 5 Desember 2012 menyatakan bahwa terdakwa M. Amin Rumakur, Kopda NRP. 31970236370875 terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana membantu melakukan penyelundupan manusia, sehingga hakim Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta memidana terdakwa dengan pidana pokok penjara selama 5 (lima) tahun, menetapkan selama terdakwa menjalani penahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan dan denda Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) subsidair kurungan 3 (tiga) bulan serta pidana tambahan dipecat dari dinas militer.9 Berdasarkan uraian fakta kasus dan putusan pengadilan militer di atas terkait tindak pidana yang dilakukan oleh anggota militer, ada hal menarik jika diperhatikan terkait tindak pidana dan pidana yang dijatuhkan oleh hakim pengadilan militer. Dalam kasus penembakan terhadap 4 tahanan Lapas
8
Direktorat Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/downloadpdf/633f7f691b9606d106882d9d21620fb9 /pdf, diakses 7 Maret 2015. 9 Direktorat Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/downloadpdf/8c48daa23c5b8884f984906e4b80a22 8/pdf, diakses 7 Maret 2015.
7
Cebongan dan tindak pidana turut serta melakukan perzinahan oleh Pratu Ahmad Jayadi serta tindak pidana membantu melakukan penyelundupan manusia oleh Kopda M. Amin Rumakur, hakim menyatakan bahwa terhadap ketiga kasus tersebut secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Hukum Pidana Umum (KUHP) dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Selain itu juga, majelis hakim militer dalam putusannya menjatuhkan pidana pemecatan terhadap anggota militer pelaku tindak pidana umum. Padahal dalam ketentuan KUHP yang mengatur tentang tindak pidana umum khususnya dalam ketentuan Pasal 10 KUHP tidak mengenal pidana pemecatan, bahkan dalam rumusan pasal yang dilanggar sebagaimana yang diputus oleh hakim militer baik pada kasus penembakan yang terjadi di Lapas Cebongan, tindak pidana turut serta melakukan perzinahan oleh Pratu Ahmad Jayadi maupun tindak pidana membantu melakukan penyelundupan manusia oleh Kopda M. Amin Rumakur tidak ada satupun menyebutkan jenis pidana pemecatan di dalamnya. Penjatuhan pidana pemecatan oleh
hakim militer terhadap pelaku
tindak pidana umum menimbulkan persoalan. Masalah yang muncul ketika militer melakukan tindak pidana umum sebagaimana yang diatur dalam hukum pidana umum (KUHP) dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian dijatuhi pidana yang tidak diatur sama sekali di dalam KUHP. Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap anggota militer seharusnya memperhatikan ketentuan Pasal 10 KUHP yang menjadi aturan
8
dasar dalam penjatuhan pidana pelaku tindak pidana umum. Terkait persoalan di atas, perlu dikaji secara mendalam sehingga mampu memberikan suatu gambaran mengenai landasan pemikiran yang digunakan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana pemecatan terhadap militer pelaku tindak pidana umum. Berdasarkan uraian latar belakang sebagaimana yang dikemukakan di atas, penulis tertarik untuk mengkajinya dalam penelitian tesis yang berjudul “PENJATUHAN PIDANA PEMECATAN TERHADAP MILITER PELAKU TINDAK PIDANA UMUM”.
B. Rumusan Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagi berikut: 1. Bagaimanakah pengaturan pidana pemecatan terhadap militer yang melakukan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan selama ini ? 2. Apa landasan pemikiran yang digunakan oleh hakim peradilan militer dalam menjatuhkan pidana pemecatan terhadap militer yang melakukan tindak pidana umum ?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Obyektif a. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, menganalisis, menelaah, dan memahami pengaturan pidana pemecatan terhadap militer yang
9
melakukan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan selama ini. b. Mengetahui, menganalisis, menelaah, dan memahami landasan pemikiran yang digunakan oleh hakim peradilan militer dalam menjatuhkan pidana pemecatan terhadap militer yang melakukan tindak pidana umum. 2. Tujuan Subyektif Penelitian ini dilaksanakan dalam rangka penyusunan tesis sebagai syarat akademis untuk memperoleh gelas Master Hukum (M.H.) pada Program Magister Ilmu Hukum, Klaster Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan, lebih khusus bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum khususnya politik hukum pidana berkaitan dengan penjatuhan pidana pemecatan terhadap militer pelaku tindak pidana umum. 2. Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para hakim militer dalam menerapkan hukum atau sebagai bahan masukan hakim militer khususnya terkait dengan dasar pertimbangan hakim militer
10
dalam menjatuhkan pidana pemecatan terhadap militer pelaku tindak pidana umum. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan bahan pertimbangan bagi pembentuk undang-undang dalam menetapkan dan merumuskan hukum pidana militer dalam perundangundangan sebagai bahan penyempurnaan atau penyusunan kembali ketentuan pidana pemecatan di masa yang akan datang dalam rangka pembaharuan hukum pidana militer (KUHPM) di Indonesia.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran yang penulis lakukan di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta maupun penelusuran melalui internet terdapat beberapa karya tulis baik berupa skripsi maupun tesis yang berkaitan dengan hukum pidana militer. Beberapa karya tulis ilmiah tersebut adalah : 1. Karya tulis ilmiah dengan judul “Politik Penegakan Hukum Pidana Militer Dalam Peradilan Militer”. Karya tulis ini merupakan tesis yang dibuat pada tahun 2014 oleh Zulkarnain Baso Hakim, Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 10 Adapun tujuan penelitian hukum tersebut yaitu, untuk mengetahui, menganalisis dan menjelaskan alasan-alasan yang menyebabkan belum dilakukannya revisi terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dan kelanjutan arah politik hukum pidana yang 10
Zulkarnain Baso Hakim, 2014, “Politik Penegakan Hukum Pidana Militer Dalam Peradilan Militer”, Tesis, Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
11
tercantum di dalam Tap MPR No. VII/MPR/2000 dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia serta pengaturan penegakan hukum terhadap tindak pidana yang melibatkan militer di masa yang akan datang. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan
yaitu:
(1)
Alasan-alasan
yang
menyebabkan
belum
dilakukannya revisi terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yaitu pertama, selalu munculnya deadlock atau jalan buntu dalam pembahasan RUU peradilan militer, yang dimaksud disini adalah tidak adanya titik temu antara pemerintah dan DPR dalam hal penentuan yuridiksi peradilan militer itu sendiri dan kedua, pemerintah tetap tegas pada posisi awal dan tidak mau berkompromi agar peradilan militer berwenang mengadili setiap tindak pidana (tindak pidana umum dan tindak pidana militer) yang dilakukan oleh militer. (2) Paradigma reformasi dan arah politik hukum pidana yang tercantum di dalam Tap MPR No. VII/MPR/2000 dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia berjalan ditempat. (3) Pengaturan penegakan hukum terhadap tindak pidana yang melibatkan militer di masa yang akan datang yaitu yuridiksi peradilan militer bagi kalangan militer dimasa yang akan datang tidak lagi didasarkan pada subyek pelaku melainkan dilihat dari jenis tindak pidana atau perbuatan pidana yang dilakukan oleh militer tersebut, tindak pidana militer harus dititikberatkan pada tindak pidana militer saja, dan peranan komandan sebagai Ankum dan Papera tidak boleh dikesampingkan dalam proses penyelesaian
12
perkara pidana di peradilan militer serta penyidikan dan persidangan bagi militer dalam proses peradilan umum dibuat perpaduan antara unsur polisi militer dan unsur kepolisian. 2. Karya tulis ilmiah dengan judul “Kebijakan Legislatif Mengenai Hukum Pidana Militer Di Indonesia”. Karya tulis ini merupakan tesis yang dibuat pada tahun 2003 oleh Supriyadi, Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang. 11Adapun tujuan penelitian hukum tersebut yaitu, untuk mengetahui ide dasar yang melatarbelakangi adanya perlakuan khusus mengenai hukum pidana terhadap anggota militer dan kebijakan legislatif mengenai hukum pidana militer dirumuskan dalam hukum positif di Indonesia saat ini serta sebaiknya kebijakan legislatif dalam merumuskan hukum pidana militer di masa mendatang. Berdasarkan penelitian diperoleh kesimpulan yaitu: (1) Pada prinsipnya ide dasar yang melatarbelakangi adanya perlakuan khusus mengenai hukum pidana bagi anggota militer dilandasi beberapa pokok pemikiran. Pertama, adanya tugas khusus yang menjadi tanggung jawab anggota militer dalam suatu negara dan kekhususan-kekhususan yang melekat pada kehidupan militer.Kedua, kecenderungan dunia internasional yang memasukan hukum (pidana) militer sebagai bagian dari tata hukum negara yang bersangkutan. Ketiga, hukum pidana militer merupakan hukum pidana khusus yang telah dikenal dan diakui dalam lapangan hukum pidana; (2) Kebijakan legislatif mengenai hukum pidana militer 11
Supriyadi (a), 2003, “Kebijakan Legislatif Mengenai Hukum Pidana Militer Di Indonesia”, Tesis, Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang.
13
dalam hukum positif di Indonesia saat ini diatur dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana Militer (KUHPM). Ruang lingkup tindak pidana dalam KUHPM dapat diklasifikasikan menjadi tindak pidana militer murni dan tindak pidana campuran; (3) kebijakan legislatif mengenai hukum pidana militer di Indonesia yang akan datang adalah terpisah dari hukum pidana umum. 3. Karya tulis ilmiah dengan judul “Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Perzinahan yang dilakukan Prajurit TNI Di Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta”. Karya tulis ini merupakan skripsi yang dibuat pada tahun 2008 oleh Tera Kumalasari, Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.12Adapun
penelitian
hukum
tersebut
bertujuan
untuk
mengetahui dan mengkaji permasalahan mengenai penyelesaian perkara tindak pidana perzinahan yang dilakukan prajurit TNI di Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta dan pelaksanaan hukuman administrasi/hukum disiplin terhadap pelanggar tindak pidana perzinahan yang dilakukan oleh anggota TNI serta hambatan dan permasalahan dalam penyelesaian perkara perzinahan. Berdasarkan penelitian diperoleh kesimpulan yaitu : (1) Penyelesaian perkara tindak pidana perzinahan di Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta. Pada dasarnya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari suami/istri yang dirugikan, karena perzinahan merupakan delik aduan yaitu pasal 284 KUHP. Bagi prajurit TNI yang melakukan perzinahan berlaku ketentuan tersebut. Dalam persidangan perkara perzinahan 12
Tera Kumalasari, 2008, “Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Perzinahan yang dilakukan Prajurit TNI Di Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta”, Skripsi, Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
14
berdasarkan pertimbangan hakim dalam putusan pengadilan, terdakwa yang telah melanggar ketentuan pasal 284 ayat (1) ke-2a KUHP oleh hakim Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta dijatuhi pidana penjara selama 6 (enam) bulan dan dipecat dari dinas kemiliteran; (2) Dalam hal pelaksanaan sanksi disiplin/administrasi bagi pelanggar yang telah melakukan tindak pidana perzinahan, terpidana disamping dikenakan sanksi pidana penjara juga diproses, dalam hal ini pemecatan atau sanksi administrasi lainnya; (3) Hambatan atau permasalahan penyelesaian perkara perzinahan apabila adanya pencabutan pengaduan sehingga perkara tersebut dikembalikan kepada atasannya atau Papera (Perwira Penyerah Perkara) untuk diproses hukuman pemecatan atau hukuman lainnya. Berdasarkan uraian beberapa karya tulis ilmiah di atas meskipun terdapat beberapa karya tulis ilmiah yang mengkaji tentang hukum pidana militer, namun penelitian ini memiliki obyek penelitian yang berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh penulis secara khusus mengkaji penjatuhan pidana pemecatan terhadap militer pelaku tindak pidana umum dan yang menjadi fokus penelitian hukum ini yaitu tentang landasan pemikiran hakim militer dalam menjatuhkan pidana pemecatan terhadap militer pelaku tindak pidana umum. Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian ini memiliki perbedaan-perbedaan dengan penelitian terdahulu atau penulisan karya ilmiah sebelumnya.