BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pertumbuhan dan perkembangan mengalami peningkatan yang pesat pada usia dini, yaitu dari 0 sampai 5 tahun. Masa ini sering juga disebut sebagai fase ”Golden Age”. Golden age merupakan masa yang sangat penting untuk memperhatikan tumbuh kembang anak secara cermat agar sedini mungkin dapat terdeteksi apabila terjadi kelainan. Selain itu, penanganan kelainan yang sesuai pada masa golden age dapat meminimalisir kelainan pertumbuhan dan perkembangan anak sehingga kelaianan yang bersifat permanen dapat dicegah (Nutrisiani, 2010). Usia 0-24 bulan merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat, sehingga kerap diistilahkan sebagai periode emas sekaligus periode kritis. Periode emas dapat diwujudkan apabila pada masa ini bayi dan anak memperoleh asupan gizi yang sesuai untuk tumbuh kembang optimal. Sebaliknya apabila bayi dan anak pada masa ini tidak memperoleh makanan sesuai kebutuhan gizinya, maka periode emas akan berubah menjadi periode kritis yang akan mengganggu tumbuh kembang bayi dan anak, baik pada saat ini maupun masa selanjutnya (Nutrisiani, 2010). Masa bayi dan anak adalah masa mereka mengalami masa pertumbuhan dan perkembangan yang cepat dan sangat penting, dimana nantinya merupakan landasan yang menentukan kualitas penerus generasi
1
2
bangsa. Masa kritis anak pada usia 6–24 bulan, karena kelompok umur merupakan saat periode pertumbuhan kritis dan kegagalan tumbuh (growth failure) mulai terlihat (Alatas, 2007). Keberhasilan pembangunan suatu bangsa berkaitan erat dengan kualitas SDM yang baik. Pembentukan kualitas SDM yang optimal, baik sehat secara fisik maupun psikologis sangat bergantung dari proses tumbuh kembang anak pada usia dini (Alatas, 2007). Soetjiningsih dalam Barus (2005) menyebutkan bahwa perkembangan anak meliputi perkembangan fisik, kognitif, emosi, bahasa, motorik (kasar dan halus), personal sosial dan adaptif. Pemantauan perkembangan anak berguna untuk menemukan penyimpangan/ hambatan perkembangan anak sejak dini, sehingga upaya pencegahan, upaya stimulasi dan upaya penyembuhan serta upaya pemulihan dapat diberikan dengan indikasi yang jelas sedini mungkin pada masa-masa kritis tumbuh kembang anak. Salah satu proses kemampuan motorik anak adalah kemampuan motorik kasar yang berkaitan dengan gerakan yang dipengaruhi oleh gerakan otot-otot besar (Alatas, 2007). Program EECD merupakan program pengembangan anak terpadu yang menggabungkan unsur-unsur mulai dari stimulasi bayi, kesehatan dan gizi, pendidikan anak usia dini, pengembangan masyarakat, pengembangan gender, penghargaan terhadap lingkungan, dll. EECD mencakup seluruh dukungan yang dibutuhkan oleh setiap anak agar menyadari bahwa anak mempunyai hak untuk hidup,
mendapatkan
3
perlindungan dan pengasuhan yang akan menjamin perkembangan yang optimal dari lahir hingga mencapai usia 8 tahun (Nutrisiani, 2010). Pengaruh asupan zat gizi terhadap ganguan perkembangan anak menurut Brown dan Pollit (1996) melalui terlebih dahulu menurunnya status gizi. Status gizi yang kurang tersebut akan menimbulkan kerusakan otak, letargi, sakit, dan penurunan pertumbuhan fisik. Keempat keadaan ini akan berpengaruh terhadap perkembangan intelektual. Gangguan perkembangan yang tidak normal antara lain ditandai dengan lambatnya kematangan sel-sel syaraf, lambatnya gerakan motorik, kurangnya kecerdasan dan lambatnya respon sosial (Barus, 2005). Berdasarkan hasil wawancara sementara di Wilayah Kerja Puksesmas Blang Bintang, terdapat 20 orang ibu yang memiliki anak berusia 0-24 bulan, 13 orang dari 20 orang yang memiliki pengetahuan kurang ditinjau dari jawaban ibu yang tidak banyak mengetahui tentang cara menstimulasi anak usia 0-24 tahun. 9 orang dari 20 orang memiliki pengalaman kurang, dikarenakan ini merupakan anak pertamanya jadi ibu tersebut kurang mengetahui mengenai cara menstimulasi anak usia 0-24 tahun. 14 orang dari 20 orang kurang mendapatkan dukungan keluarga dikarenakan ayah dari anakanak tersebut bekerja dan sebagian besar bekerja diluar daerah jadi ibu dan anak kurang mendapatkan dukungan secara langsung dari ayahnya. Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti melakukan penelitian tentang “faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku ibu dalam menstimulasi
4
perkembangan anak usia 0-24 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Blang Bintang”
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti menemukan masalah yaitu “Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku ibu dalam menstimulasi perkembangan anak usia 0-24 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Blang Bintang?”
C. Tujuan 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku ibu dalam mentsimulasi perkembangan anak usia 0-24 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Blang Bintang 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui pengaruh pengetahuan ibu terhadap perilaku ibu dalam menstimulasi perkembangan anak usia 0-24 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Blang Bintang b. Untuk mengetahui pengaruh pengalaman terhadap perilaku ibu dalam menstimulasi perkembangan anak usia 0-24 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Blang Bintang c. Untuk mengetahui pengaruh dukungan keluarga terhadap perilaku ibu dalam menstimulasi perkembangan anak usia 0-24 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Blang Bintang
5
D. Manfaat 1. Bagi Tempat Penelitian Agar ibu-ibu yang memiliki anak usia 0-24 bulan dapat menstimulasi anaknya dengan baik. 2. Bagi Responden Agar dapat memberikan tambahan pengetahuan bagi ibu yang memiliki anak usia 0-24 bulan mengenai stimulasi anak yang baik. 3. Bagi Peneliti Sebagai
sarana
pembelajaran
melakukan
penelitian
sekaligus
mengaplikasikan ilmu yang sudah didapat selama perkuliahan dan semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi penelitian selanjutnya.
E. Keaslian Penelitian Penelitian ini sebelumnya pernah di teliti oleh Rahayu dengan judul faktor-faktor yang mempengaruhi Stimulasi Perkembangan Anak 0 – 5 tahun di Kecamatan Mangunredjo tahun 2009. Populasi yang digunakan yaitu orang tua yang memiliki balita di kecamatan Mangunredjo, sampel yang digunakan sebanyak 69 responden. Sampel yang digunakan menggunakan teknik accidental sampling. Perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh Rahayu dan penulis adalah populasi dalam penelitian Rahayu sebanyak 74 orang dan sampel yang digunakan sebanyak 43 orang, pada penelitian ini populasinya sebanyak 550 orang dan sampel yang digunakan sebanyak 42 orang.
BAB II TINJAUAN TEORITIS
A. Konsep Perilaku 1. Perilaku dari pandangan psikologi Perkembangan psikologi sebagai dasar ilmu perilaku telah mengalami beberapa perubahan yang mendasar atau dapat dikatakan suatu revolusi, yakni munculnya aliran-aliran psikologi. Perubahan yang pertama adalah timbulnya aliran ilmu jiwa dalam (depth pschyology). Dari aliran psikologi ini muncul juga aliran lagi yang disebut psikoanalisis. Perubahan yang kedua munculnya aliran atau konsep behaviorisme, yang lebih menekankan prilaku manusia lebih dipandang dari fenomena yang tampak dari luar diri manusia. Sedangkan yang ketiga adalah munculnya konsep psikologi kognitif,
dan
yang
terakhir
adalah
konsep
humanistik
(Notoatmodjo, 2010). 2. Perilaku kesehatan Sejalan dengan batasan perilaku menurut Skiner, maka perilaku kesehatan (health behavior) adalah respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat-sakit penyakit, dan faktor-faktor yang mempengaruhi sehat-sakit (kesehatan) seperti lingkungan, makanan, minuman, dan pelayanan kesehatan. Dengan perkataan lain perilaku kesehatan adalah sebuah aktivitas atau kegiatan seseorang, baik yang dapat diamati (observable) maupun yang tidak dapat diamati (unobservable) yang
6
7
berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Pemeliharaan kesehatan ini mencakup, mencegah dan melindungi diri dari penyakit dan masalah lain, meningkatkan kesehatan, dan mencari penyembuhan apabila sakit atau terkena masalah kesehatan. Oleh sebab itu perilaku kesehatan ini pada garis besarnya dikelompokkan menjadi dua, yakni : a. Perilaku orang yang sehat agar tetap sehat dan meningkat. Oleh sebab itu, perilaku ini disebut perilaku sehat (healthy behavior), yang mencakup perilaku-perilaku (overt dan covert behavior) dalam mencegah atau menghindari dari penyakit dan penyebab penyakit atau masalah atau penyebab masalah kesehatan (perilaku preventif), dan perilaku dalam mengupayakan meningkatnya kesehatan (perilaku promotif). b. Perilaku orang yang sakit atau telah terkena masalah kesehatan, untuk memperoleh penyembuhan atau pemecahan masalah kesehatannya. Oleh sebab itu perilaku ini disebut perilaku pencarian pelayanan kesehatan (health seeking behavior). Perilaku ini mencakup tindakan-tindakan yang diambil seseorang atau anaknya bila sakit atau terkena masalah kesehatan untuk memperoleh kesembuhan atau terlepasnya dari masalah kesehatan untuk memperoleh kesembuhan atau terlepasnya dari masalah kesehatan tersebut. tempat pencarian kesembuhan ini adalah tempat atau fasilitas pelayanan kesehatan baik fasilitas atau pelayanan kesehatan tradisional (dukun, since atau paranormal) maupun modern atau profesional (rumah sakit, puskesmas, poliklinik, dan sebagainya) (Notoatmodjo, 2010).
8
3. Teori perilaku Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi karena perilaku merupakan resultan dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal (lingkungan). Dari berbagai determinan perilaku manusia, banyak ahli telah merumuskan teori-teori atau model-model terbentuknya perilaku. Masing-masing teori, konsep atau model tersebut dapat diuraikan dibawah ini. Berdasarkan pengalaman empiris dilapangan, perilaku manusia dapat dilihat dari 3 aspek, yakni aspek fisik, aspek psikis, aspek sosial. Akan tetapi dari ketiga aspek tersebut sulit untuk ditarik garis yang tegas dalam mempengaruhi perilaku manusia. Dari berbagai teori dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku manusia sebenarnya merupakan refleksi dari gejala kejiwaan seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010). Namun demikian, sulit untuk dibedakan atau disimpulkan gejala kejiwaan yang mana menentukan perilaku seseorang. Apabila ditelusuri lebih lanjut, gejala kejiwaan tersebut ditentukan atau dipengaruhi oleh berbagai faktor lain, diantaranya adalah faktor pengalaman, keyakinan, lingkungan fisik, utamanya sarana dan prasarana, sosio-budaya masyarakat yang terdiri dari kebiasaan, tradisi, adat istiadat, dan sebagainya. Selanjutnya faktor-faktor tersebut akan menimbulkan pengetahuan, sikap, persepsi, keinginan, kehendak, dan motivasi yang pada gilirannya akan membentuk perilaku manusia (Notoatmodjo, 2010).
9
Skiner (1938) seorang ahli psikologi merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Dengan demikian perilaku manusia terjadi melalui proses : Stimulus
Organisme
Respons, sehingga teori Skiner ini
disebut teori “S-O-R” (stimulus-organisme-respons). Selanjutnya teori Skiner menjelaskan adanya dua jenis respon, yakni : a. Respondent respons atau reflexive, yakni respons yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu yang disebut
eliciting
stimulus, karena menimbulkan respons-respons yang relatif tetap. b. Operant respons atau instrumentals respons, yakni respons yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau rangsangan yang lain. Perangsang yang terakhir isi disebut reinforcing stimuli atau reinforce, karena berfungsi untuk memperkuat respons. Berdasarkan teori “S – O – R” tersebut, maka perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni : a. Perilaku tertutup (covert behavior) Perilaku tertutup terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut masih belum dapat belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respons seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan. Bentuk “unobservable behavior” atau “covert behavior” yang dapat diukur adalah pengetahuan dan sikap.
10
b. Perilaku terbuka (overt behavior) Perilaku terbuka ini terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut sudah berupa tindakan atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar atau “observable behavior”.
B. Stimulasi Perkembangan Anak 1. Pengertian Tumbuh Kembang Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah masa balita. Karena pada masa ini pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya. Pada masa balita ini perkembangan kemampuan berbahasa, kreativitas, kesadaran sosial, emosional dan intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan landasan perkembangan berikutnya (Hidayat, 2011). Masyarakat pada umumnya beranggapan bahwa pertumbuhan dan perkembangan mempunyai pengertian sama, tetapi sebenarnya berbeda. Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran fisik sedangkan perkembangan adalah bertambahnya kemampuan struktur tubuh. Perkembangan merupakan hasil interaksi antara kematangan susunan syaraf pusat dengan organ yang dipengaruhinya, sehingga perkembangan ini berperan penting dalam kehidupan. Meskipun pertumbuhan dan perkembangan mempunyai arti yang berbeda namun keduanya saling mempengaruhi dan berjalan secara simultan (bersamaan). Pertumbuhan ukuran fisik akan disertai dengan pertambahan kemampuan atau perkembangan anak (Pujiastuti, 2007).
11
Istilah tumbuh kembang sebenarnya mencakup dua peristiwa yang sifatnya berbeda tetapi saling berkaitan dan sulit dipisahkan, yaitu pertumbuhan dan perkembangan. Sedangkan pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan pertumbuhan dan perkembangan per definisi adalah sebagai berikut (Nutrisiani, 2010): a. Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran fisik (anatomi) dan struktur tubuh dalam arti sebagian atau seluruhnya karena adanya multiplikasi (bertambah banyak) sel-sel tubuh dan juga karena bertambah besarnya sel. b. Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dan struktur/fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur, dapat diperkirakan, dan diramalkan sebagai hasil dari proses diferensiasi sel, jaringan tubuh, organ-organ dan sistemnya yang terorganisasi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan mempunyai dampak terhadap aspek fisik, sedangkan perkembangan berkaitan dengan pematangan fungsi organ/individu. Walaupun demikian, kedua peristiwa itu terjadi secara sinkron pada setiap individu (Hidayat, 2011). Meskipun pertumbuhan dan perkembangan mempunyai arti yang berbeda, namun keduanya saling mempengaruhi dan berjalan secara bersamaan. Pertambahan ukuran fisik akan disertai dengan pertambahan kemampuan anak (Pujiastuti, 2007). Frankenburg, dkk (1981) melalui DDST (Denver Development Screening Test) yang dikutip oleh Hidayat (2011) dalam Pengantar Ilmu
12
Kesehatan Anak Untuk Pendidikan Kebidanan, mengemukakan 4 parameter perkembangan yang dipakai dalam menilai perkembangan anak balita, yaitu: a. Personal
social
(kepribadian/tingkah
laku
sosial).
Aspek
yang
berhubungan dengan kemampuan mandiri, bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. b. Fine motor adaptive (gerakan motorik halus). Aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan otototot kecil, tetapi memerlukan kondisi yang cermat. Misalnya kemampuan untuk menggambar, memegang sesuatu benda, dll. c. Language (bahasa). Kemampuan untuk memberikan respon terhadap suara, mengikuti perintah dan berbicara spontan. d. Gross motor (perkembangan motorik kasar). Aspek yang berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh. Ada juga yang membagi perkembangan balita ini menjadi 7 aspek perkembangan seperti pada buku petunjuk program BKB (Bina Keluarga dan Balita) yaitu perkembangan (Hidayat, 2011): a. Tingkah laku sosial b. Menolong diri sendiri c. Intelektual d. Gerakan motorik halus e. Komunikasi pasif
13
f. Komunikasi aktif g. Gerakan motorik kasar Perkembangan
pada
anak
meliputi
berbagai
aspek
yaitu
perkembangan kognitif, bahasa, emosi, sosial dan motorik. Perkembangan motorik yang menjadi salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan ini dapat ditinjau dari motorik halus dan kasar yang bisa dilihat sejak neonatus (Dewi, 2012). Menurut Frankerburg (1981) yang dikutip oleh Hidayat (2011), motorik kasar (gross motor), yaitu aspek yang berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh yang melibatkan sebagian besar tubuh karena dilakukan oleh otot-otot yang lebih besar sehingga memerlukan cukup tenaga, misalnya berjalan dan berlari. Banyak “milestone” perkembangan anak yang penting dalam mengetahui taraf perkembangan seorang anak (yang dimaksud dengan “milestone” perkembangan adalah tingkat perkembangan yang harus dicapai anak pada umur tertentu), misalnya (Pujiastuti, 2007): a. 4-6 minggu : tersenyum spontan, dapat mengeluarkan suara 1-2 minggu kemudian b. 12-16 minggu: menegakkan kepala, tengkurap sendiri menoleh ke arah suara memegang benda yang ditaruh di tangannya c. 20 minggu : meraih benda yang didekatkan kepadanya
14
d. 26 minggu : Dapat memindahkan benda dari satu tangan ke tangan lainnya. Duduk, dengan bantuan kedua tangannya ke depan. Dan Makan biskuit sendiri e. 9-10 bulan : Menunjuk dengan jari telunjuk. Memegang benda dengan ibu jari dan telunjuk. Merangkak. Bersuara da… da… f. 13 bulan : berjalan tanpa bantuan. Mengucapkan kata-kata tunggal Dengan mengetahui berbagai “milestone”, maka dapat diketahui apakah seorang anak perkembangannya terlambat ataukah masih dalam batas-batas normal. 2. Perkembangan Anak Usia 0-24 bulan a. Bayi 0 - 3 bulan. Berikan rasa nyaman, aman dan menyenangkan, memeluk, menggendong, menatap mata bayi, mengajak tersenyum, berbicara, membunyikan berbagai suara atau musik bergantian, menggantung dan menggerakkan benda berwarna mencolok (lingkaran atau kotak-kotak hitam-putih), benda-benda berbunyi, menggulingkan bayi ke kanan-kiri, tengkurap-telentang, dirangsang untuk meraih dan memegang mainan. b. Bayi 3 - 6 bulan. Umur 3-6 bulan ditambah dengan bermain ’cilukba,’ melihat wajah bayi bersama orangtuanya di cermin, dirangsang untuk tengkurap, telentang bolak-balik, dan duduk. c. Bayi 6 - 9 bulan. Keraplah panggil namanya, mengajak bersalaman, tepuk tangan, membacakan dongeng, merangsang duduk, dilatih berdiri sambil berpegangan.
15
d. Bayi 9 - 12 bulan. Rangsang dengan mengulang-ulang menyebutkan mama-papa, kakak; memasukkan mainan ke dalam wadah; minum dari gelas; menggelindingkan bola; dilatih berdiri; dan berjalan dengan berpegangan. e. Umur 12-18 bulan. Latihan mencoret-coret menggunakan pensil warna, menyusun kubus, balok-balok, potongan gambar sederhana (puzzle), memasukkan dan mengeluarkan benda-benda kecil dari wadahnya, bermain dengan boneka, sendok, piring, gelas, teko, sapu, atau lap. Latihlah berjalan tanpa berpegangan, berjalan mundur, memanjat tangga, menendang bola, melepas celana, mengerti dan melakukan perintahperintah sederhana (“Mana bola?, “Ayo pegang ini,” “Masukkan itu,” “Ambil itu.”), menyebutkan nama atau menunjukkan benda-benda. f. Umur 18 - 24 bulan. Mintalah anak untuk menanyakan, menyebutkan dan menunjukkan bagian-bagian tubuh (mana mata?, hidung?, mulut?, dll), menanyakan gambar atau menyebutkan nama binatang dan bendabenda di sekitar rumah, mengajak bicara tentang kegiatan sehari-hari (makan, minum, mandi, main, minta, dll), latihan menggambar garisgaris, mencuci tangan, memakai celana-baju, bermain melempar bola, melompat (Pujiastuti, 2007) 3. Masalah Tumbuh Kembang Dalam buku Pedoman Pembinaan Perkembangan Anak Di Keluarga yang disusun oleh Direktorat Bina Kesehatan Keluarga, masalahmasalah/gangguan pada masa kecil atau kelainan yang dibawa sejak lahir
16
sering mengakibatkan hambatan pada perkembangan anak. Masalah tumbuh kembang yang sering timbul (Pujiastuti, 2007): a. Gangguan pertumbuhan fisik. Untuk mengetahui masalah tumbuh kembang fisik pada anak, perlu pemantauan yang kontinyu. Dengan pemantauan berat badan, tinggi badan, lingkar kepala, umur tulang dan pertumbuhan gigi, maka dapat diketahui adanya suatu kelainan tumbuh kembang fisik seorang anak seperti: obesitas atau kelainan hormonal, perawakan pendek akibat kelainan endokrin dan kurang gizi, pertumbuhan/erupsi gigi terlambat yang disebabkan oleh hipotiroid, hipoparatiroid, keturunan dan idiopatik serta gangguan penglihatan dan pendengaran. b. Gangguan perkembangan motorik Perkembangn motorik yang lambat dapat disebabkan oleh : 1) Faktor keturunan 2) Faktor lingkungan 3) Faktor kepribadian 4) Retardasi mental 5) Kelainan tonus otot 6) Obesitas 7) Penyakit neuromuscular 8) Buta
17
c. Gangguan perkembangan bahasa. Gangguan perkembangan bahasa pada anak dapat diakibatkan berbagai faktor yaitu adanya faktor genetik, gangguan pendengaran, intelegensi rendah, kurangnya interaksi anak dengan lingkungan, maturasi yang terlambat, faktor keluarga, kembar, psikosis, gangguan lateralisasi, masalah-masalah yang berhubungan dengan disleksia dan afasia. d. Gangguan fungsi vegetatif. 1) Gangguan makan 2) Gangguan fungsi eliminasi 3) Gangguan tidur 4) Gangguan kebiasaan 5) Kecemasan Kecemasan
pada
umumnya
merupakan
bagian
dari
perkembangan. Tetapi bila kecemasan ini berlebihan sehingga mempunyai efek terhadap interaksi sosial dan perkembangan anak, maka merupakan hal yang patologis yang memerlukan suatu intervensi. e. Gangguan suasana hati (mood disorders). Gangguan tersebut antara lain adalah major depression yang ditandai dengan disforia, kehilangan minat, sukar tidur, sukar konsentrasi dan nafsu makan yang terganggu.
18
f. Bunuh diri dan percobaan bunuh diri. Bunuh diri sering merupakan penyelesaian masalah psikologi dan lingkungan bagi remaja. g. Gangguan kepribadian yang terpecah (disruptive behavioural disorders). Kelainan ini mungkin sebagai akibat dari frustasi dan kemarahan. h. Gangguan perilaku seksual. Gangguan perilaku seksual antara lain transseksualisme, transventisme dan homoseksual (Barus, 2005). i. Gangguan perkembangan pervasif dan psikosis pada anak. Meliputi autisme (gangguan komunikasi verbal dan non verbal, gangguan perilaku dan interaksi sosial), Asperger (gangguan interaksi sosial, perilaku yang terbatas dan diulang-ulang, obsesif), childhood disintegrative disorder (demensia heller), dan kelainan Rett (kelainan xlinked dominan pada anak perempuan). j. Disfungsi neurodevelopmental pada anak usia sekolah. Disfungsi
susunan
saraf
pusat
sering
disertai
dengan
kemampuan akademik yang di bawah normal, kelainan perilaku dan masalah dalam interaksi sosial. k. Kelainan saraf dan psikiatrik akibat dari trauma otak. Trauma otak meningkatkan resiko gangguan intelektual maupun psikiatris, terutama bila trauma berat.
19
l. Penyakit psikosomatik. Konflik psikologik yang dapat memberikan gejala somatik disebut
psikosomatik.
Contohnya
adalah
kelainan
konversi,
hipokondriasis, sindrom Munchausen by proxy, reflex sympathetic dystrophy (Hidayat, 2011). Salah satu penyebab keterlambatan motorik kasar anak yaitu keadaan anak yang kekurangan gizi sehingga otot-otot tubuhnya tidak berkembang dengan baik dan ia tidak memiliki tenaga yang cukup untuk melakukan aktivitas (Dewi, 2012). Pada masa balita terutama pada masa kritis perkembangan selain dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan seperti gizi, perkembangan juga dipengaruhi oleh stimulasi atau rangsangan. Stimulasi diperlukan agar potensi anak, yang secara alami memang sudah ada di dalam dirinya dapat lebih berkembang (Irianto, 2008). Stimulasi adalah perangsangan yang datang dari lingkungan luar anak. Stimulasi merupakan hal yang penting dalam tumbuh kembang anak. Anak yang mendapat stimulasi yang terarah dan teratur akan lebih cepat berkembang diandingkan dengan anak yang kurang atau tidak mendapat stimulasi (Pujiastuti, 2007). Hurlock
(1984)
mengemukakan
bahwa
lingkungan
yang
merangsang merupakan salah satu faktor pendorong perkembangan anak. Lingkungan yang merangsang mendorong perkembangan fisik dan mental
20
yang baik, sedangkan lingkungan yang tidak merangsang menyebabkan perkembangan anak di bawah kemampuannya (Alatas, 2007). Pemberian stimulasi pada anak usia dini akan lebih efektif apabila memperhatikan
kebutuhan-kebutuhan
anak
sesuai
dengan
tahap
perkembangannya. Pada awal perkembangan kognitif, anak berbeda dalam tahap sensori motorik. Pada tahap ini keadaan kognitif anak akan memperlihatkan aktifitas-aktifitas motorik, yang merupakan hasil dari stimulasi sensorik (Pujiastuti, 2007). Kegiatan stimulasi meliputi berbagai kegiatan untuk merangsang perkembangan anak seperti latihan gerak, bicara, berpikir, mandiri serta bergaul. Kegiatan stimulasi ini dapat dilakukan oleh orang tua atau keluarga setiap ada kesempatan atau sehari-hari (Rimawati, 2005).
C. Perilaku Ibu Dalam Mestimulasi Perkembangan Anak Bermain sangat membantu dan merangsang perkembangan anak, salah satunya perkembangan otak anak. Bermain atau menstimulasi anak dengan permainan sederhana yang kaya makna antara lain : 1. Main senyum, cium, dan suara (0-3 bulan) Pada periode yang sangat awal ini, rangsang penglihat, peraba, pencium, dan pendengar penting untuk perkembangan otak atau kognisi bayi. Stimulasi seperti mendaratkan ciuman ke kening, pipi, mata, atau bagian tubuh yang lain, mengelus-elus, memberikan senyuman terindah, mengajak bicara, dan mendengarkan musik, membantu si buah hati belajar sense of sensations, sensasi. Hasilnya, bayi mampu memberikan senyum
21
balasan di umur
6 atau 8
minggu.
Otak
bayi diajak
belajar
menginterpretasikan berbagai hal seperti ekspresi wajah atau suara dan membantu mengembangkan ukuran otaknya dua kali lipat. Bayi akan mengurangi perhatian pada rangsang yang berulang dan akan menambah perhatiannya saat rangsang itu berubah. Diskusikan pada dokter bila bayi Anda belum menyambut senyuman maupun stimulasi lain dari Anda. Bila bayi Anda prematur, tanyakan pada dokter apakah perkembangannya yang lambat masih tergolong untuknya. 2. Main gerak dan tebak (Usia 3-6 bulan) Di usia 4 bulan, bayi mulai mengenal dan menjalani rutinitas seperti bangun, tidur, atau makan. Anda dapat mengenalkan rutinitas lain yang membantu perkembangan otaknya seperti mengikuti aktivitas bermain sambil gym atau aktivitas motorik. Kegiatan ini membantu bayi belajar sebab-akibat, misalnya ia dapat menggapai mainan yang terjuntai di atasnya bila ia duduk dan merentangkan tangannya ke atas. Selain itu, bermain belajar mengenal anggota tubuh dari cermin juga seru. Anda menunjuk lalu mengucapkan bagian tubuh apa secara jelas dan perlahan. Misalnya “Ini apa? (sambil menyentuh matanya) Ini mata.” Meski ia masih dalam tahap bergumam atau bubble, perlahan ia belajar mengucap satu akhiran kata, misalnya “ta” dari “ma-ta”. Bayi pun bisa memperlajari anggota tubuh dan belajar bicara. Diskusikan pada dokter ketika ia belum bisa bubble dan tidak mau kontak mata dengan Anda atau perkembangannya tak ada perubahan hingga usianya 6 bulan.
22
3. Main “Petak Umpet”(Usia 6-9 bulan) Pencapaian kekonstanan atau objek permanen sebuah benda bisa diraih pada periode usia ini. Maksud dari konstan yaitu pemahaman bahwa benda sebenarnya tetap ada walaupun tidak terlihat. Umumnya, bayi akan berusaha
terus
mencari,
menemukan
benda
yang
disembunyikan.
Berhubung dia sedang belajar merangkak, tentu bayi akan mencari dengan cara merangkak. Biarkan ia merangkak sesukanya. Aktivitas ini dapat menstimulasi koordinasi otak kiri dan kanannya. Bermain Cilukba, menutup benda dengan sapu tangan, atau sembunyi di bawah selimut bisa menjadi permainan sederhana yang menstimulasi otak bayi untuk pemahaman objek permanen. Diskusikan pada dokter ketika usianya 9 bulan tidak pernah merespon Anda, tidak mengeluarkan suara seperti “d-d-d” atau “m-m-m”, bahkan tidak tertarik sama sekali dengan mainan apa pun. 4. Bermain kreatif (Usia 9 – 12 bulan) Dalam periode usia ini terjadi peningkatan mobilitas dan pengenalan lingkungan sekitar. Ia semakin aktif dan cenderung mencoba memberikan stimulus pada orang lain. Misalnya ia mulai menarik perhatian Anda dengan menarik-narik pakaian Anda, menggapai dan mengambil barang-barang di sekitarnya, atau meniru suara Anda. Ia paham situasi yang ia rasakan. Kalau ia merasa sedang tidak mendapat perhatian Anda, langsung ia mencari perhatian! Idenya sangat fantastis. Memanfaatkan situasi
ini,
Anda
bisa
mengajaknya
bermain
yang
menstimulasi
kreativitasnya serta mengenalkan perintah-perintah sederhana. Misalnya
23
meminta dia menyusun balok kemudian meruntuhkannya, menaruh barang di tempatnya, atau bermain tepuk-tepuk tangan sambil bernyanyi. Kira-kira bangunan seperti apa yang dibuatnya atau bagaimana ritme tepukannya? Diskusikan pada dokter ketika bayi Anda tidak menoleh atau merespon saat Anda memanggil namanya, tidak mengerti perintah sederhana Anda, dan tidak menjawab pertanyaan Anda (Ayahbunda, 2013)
D. Pengetahuan 1. Pengertian Pengetahuan merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2003). Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (2002), Pengetahuan (knowledge) adalah merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu obyek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (over behavior). Suatu perbuatan yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perbuatan yang tidak didasari oleh pengetahuan, dan orang yang
24
mengadopsi perbuatan dalam diri seseorang tersebut akan terjadi proses sebagai berikut : a. Kesadaran (Awareness) dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap obyek (stimulus). b. Merasa tertarik (Interest) terhadap stimulus atau obyek tertentu. Disini sikap subyek sudah mulai timbul. c. Menimbang-nimbang (evaluation) terhadap baik dan tidaknya terhadap stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah tidak baik lagi. d. Trial, dimana subyek mulai melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus. e. Adopsi (adoption), dimana subyek telah berprilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus (Notoatmodjo, 2007). 2. Tingkatan Pengetahuan Pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yaitu: a. Tahu (Know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh
25
sebab itu, “tahu” ini adalah merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. b. Memahami (Comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara
benar
tentang
obyek
yang
diketahui
dan
dapat
menginterprestasikan materi tersebut secara benar. c. Aplikasi (Application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi rill (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, adanya prinsip terhadap obyek yang dipelajari. d. Analisis (Analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau obyek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lainnya. e. Sintesis (Synthesis) Sintesis menunjukan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dalam kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.
26
f. Evaluasi (Evaluation) Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan suatu justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek (Notoatmodjo, 2007). Penentuan kategori penelitian menurut Arikunto (2004) sebagai berikut : 1) 76-100%, jika pertanyaan yang benar dijawab oleh responden adalah kategori baik. 2) 61-75%, pertanyaan yang dijawab benar oleh responden adalah Kategori Cukup. 3) < 60%, jika pertanyaan yang dijawab benar oleh responden adalah kategori kurang. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan Menurut Masbied (2008), pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya meliputi : a. Umur Bertambahnya
umur
seseorang
dapat
berpengaruh
pada
pertambahan pengetahuan yang diperolehnya, akan tetapi pada umurumur tertentu atau menjelang usia lanjut kemampuan menerima atau mengingat suatu pengetahuan akan berkurang. b. Intelegensi Intelegensi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk belajar dan berfikir abstrak guna menyesuaikan diri secara mental dalam situasi baru.
27
Intelegensi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hasil dari proses belajar. Intelegensi bagi seseorang merupakan salah satu modal untuk berfikir dan mengolah berbagai informasi secara terarah sehingga ia mampu menguasai lingkungan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perbedaan intelegensi dari seseorang akan berpengaruh pula terhadap tingkat pengetahuan. c. Lingkungan Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang. Lingkungan memberikan pengaruh pertama bagi seseorang, dimana seseorang dapat mempelajari hal-hal yang baik dan juga hal-hal buruk tergantung pada sifat kelompoknya. Dalam lingkungan seseorang akan memperoleh pengalaman yang akan berpengaruh pada cara berfikir seseorang. d. Sosial Budaya Sosial mempunyai pengaruh pada pengetahuan seseorang. Seseorang memperoleh suatu kebudayaan dalam berhubungan dengan orang lain. Karena hubungan ini seseorang mengalami suatu proses belajar dan memperoleh suatu pengetahuan. e. Pendidikan Menurut Notoatmodjo (2003), pendidikan adalah suatu kegiatan atau proses pembelajaran untuk mengembangkan atau meningkatkan kemampuan tertentu sehingga sasaran pendidikan itu dapat berdiri sendiri.
Menurut
Harry (2006),
menyebutkan
bahwa
tingkatan
28
pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan yang mereka peroleh, pada umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang semakin baik pula pengetahuannya. f. Informasi Menurut Harry (2006), informasi akan memberikan pengaruh pada pengetahuan seseorang. Meskipun seseorang memiliki pendidikan yang rendah tetapi jika ia mendapatkan informasi yang baik dari berbagai media misalnya TV, radio atau surat kabar maka hal itu akan dapat meningkatkan pengetahuan seseorang.
E. Pengalaman Pengalaman merupakan guru terbaik. Pepatah tersebut dapat diartikan
bahwa
pengalaman
merupakan
sumber
pengetahuan,
atau
pengalaman itu suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Oleh karena itu pengalaman pribadi pun dapat digunakan sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi masa lalu (Notoatnodjo, 2007). Pengalaman yang dituturkan oleh Ken Adams berikut untuk menstimulasi anak agar menjadi anak yang pintar. 1. Dapat Menstimulasi Sejak usia dini, bayi dapat mengartikan ekspresi wajah, gerakan bibir, lidah, dan suara yang diucapkan ibunya. Berbicara dengan bayi,
29
bahkan mengulangi kata "Halo" berulang kali, dapat menstimulasi proses belajar dan membangun keterampilan emosional (Adams, 2009). Begitu pun pengenalan terhadap pola dan bentuk. Bayi yang baru lahir dapat mengenali perbedaan terang dan gelap, serta dapat melihat benda-benda yang dekat dengannya. "Stimulasi bayi dengan memberikan barang yang beragam bentuknya, dan pilihlah mainan berwarna terang dan bertekstur," (Adams, 2009). Dalam perkembangannya, bayi usia 0-12 bulan mengalami beberapa fase, yaitu menggapai, menggenggam, berguling, duduk, merangkak, dan melakukan langkah berjalan pertama. Untuk mendorong kemampuannya, cara yang bisa ditempuh antara lain melalui nyanyian atau aneka mainan seperti gelas plastik, mainan yang berbunyi, cincin untuk pertumbuhan gigi, atau menggantungkan mainan yang bisa bergerak di atas boks bayi (Adams, 2009). "Salah satu langkah penting mendorong bayi berkomunikasi adalah dengan mengusahakan agar dia menunjuk suatu benda, berjalan ke arah benda itu, atau bahkan mengucapkan nama benda yang dia inginkan," ungkap Ken Adams. Menginjak usia 1-2 tahun, ketika bayi mulai aktif bergerak, ibu bisa memilihkan balok mainan untuk memudahkan pengajaran konsep ukuran, bentuk, dan warna (Adams, 2009). Dari satu jenis mainan ini saja, anak bisa diajari aktivitas menyortir berdasarkan ukuran dan warna, atau meminta anak menyusunnya. Pelajaran berhitung juga bisa dimulai dengan hal paling sederhana seperti menghitung
30
jari, melangkah sambil berhitung, atau menggunakan sajak dan lagu tentang angka dan kegiatan berhitung. Selain itu, beberapa aktivitas permainan kreatif seperti melukis dengan krayon, melukis jari, menempel bentukbentuk, serta bermain peran, juga bisa menjadi alternatif aktivitas menyenangkan bagi anak (Adams, 2009). "Aktivitas kreatif memberikan kesempatan mengekspresikan pikiran dan perasaan serta kesempatan untuk mencoba dan menguji batasbatas dalam dunia balita. Mereka juga bisa mengeksplorasi fantasi dan mengembangkan imajinasinya melalui permainan dan bermain peran," papar (Adams, 2009). 2. Pola Pengasuhan Pola pengasuhan juga berpengaruh pada kecerdasan, kreativitas dan perilaku anak. Pola otoritatif (demokratik) dinilai paling baik dan membuat anak lebih percaya diri, mandiri dan kreatif. Pasalnya, tipe pengasuhan ini dilakukan penuh kasih sayang, kehangatan dan kegembiraan. Alhasil, anak pun merasa nyaman, aman dan dilindungi (Adams, 2009). Orangtua juga peka pada isyarat bayi atau anaknya yang menyatakan minat, keinginan, dan pendapat. Dalam belajar, anak dibantu, didorong, dihargai dan diberi contoh bukannya dipaksa. Ketika ada kesalahan, dilakukan koreksi, bukan ancaman atau hukuman. Hal ini berbeda dengan pola asuh otoriter atau diktator yang serba melarang dan membatasi, tidak mau mendengarkan minat atau pendapat anak, dan sering menghukum (Adams, 2009).
31
Efeknya, anak kurang inisiatif dan kreativitas, serta kurang komunikatif. Begitu pun sebaliknya, pengasuhan yang serba boleh (permisif) dan kurang kendali akan merugikan perkembangan mental-sosial anak. Lebih ironis lagi adalah pola pengasuhan yang menelantarkan atau tidak memedulikan anak, yang berakibat si anak punya kemampuan rendah (Adams, 2009).
F. Dukungan Keluarga Jika perkembangan seorang anak manusia diibaratkan dengan membangun sebuah rumah, maka fondasi rumah sangat menentukan kekuatan dari tiang-tiang penopang rumah. Fondasi rumah adalah suatu keadaan di mana seorang anak masih berstatus usia dini. Usia dini biasa disebut dengan usia emas. Usia dini menurut definisi global adalah anak-anak usia 0 – 8 tahun. Namun, konsep ini direduksi oleh Pemerintah Indonesia menjadi usia 0 – 6 tahun. Anak usia dini adalah setiap anak mulai dari dalam kandungan atau rahim ibu hingga anak yang berusia 6 tahun. Pada masa usia dini, tingkat pertumbuhan dan perkembangan otak sangat pesat, miliaran sel otak akan saling berangkai satu sama lain bila orang tua memberikan stimulasi yang tepat guna menunjang perkembangan syaraf otak. Jika salah menstimulasi maka akan mempengaruhi perkembangan seorang anak selanjutnya. Karena itu, sejak anak masih berada dalam kandungan, orang tua sudah memiliki tanggung jawab terhadap anak. Seorang anak diibaratkan juga sebagai gelas kosong. Ia belum berisi apapun dan ia siap menerima segala sesuatu yang akan dituangkan kepadanya. Oleh karena itu, orang tualah yang memiliki peran besar untuk
32
mendidik anak, yaitu, mulai dari yang sebelumnya belum tahu menjadi tahu. Jika sebelumnya anak belum bisa dihararapkan akan menjadi bisa (Nusa, 2011). Untuk mendorong anak menjadi bisa dari yang sebelumnya belum bisa, maka yang perlu diperhatikan adalah pendidikan anak harus dimulai sejak dini, karena usia dua tahun pertama bagi anak merupakan usia yang sangat menentukan. Menurut Amini, pada masa itu kepribadian anak belum terbentuk. Anak siap menerima segala macam bentuk pendidikan. Menurutnya, pada periode ini, seorang anak berada dalam pelukan kasih sayang ibu dan pengawasan ayah. Selain itu, pada masa ini, berbagai potensi yang dimiliki anak mulai berkembang di bawah pengaruh perilaku dan ucapan orang tuanya. Dengan kata lain, perkembangan potensi anak pada usia itu berada di bawah bimbingan orang tua. Seperti apa pendidikan yang diberikan orang tua pada anak di usia ini akan menentukan kepribadian anak di masa depan (Nusa, 2011). Hal yang harus selalu diingat ketika mendidik anak adalah pengertian bahwa mendidik seorang anak bukan merupakan pekerjaan yang menghabiskan waktu. Terkadang para orang tua yang memiliki kesibukan ekstra dalam hal pekerjaan akan merasa kesulitan. Tidak jarang orang tua merasa bahwa kegiatan mendidik dan membesarkan hanya menjadi penghambat rutinitas. Pengertian itu harus dihilangkan. Keluhan-keluhan dalam mendidik anak tidak akan terjadi jika orang tua mampu membuat kegiatan tersebut sebagai kegiatan yang menyenangkan (Nusa, 2011).
33
Selanjutnya, Fauzia Azwin, menyatakan, antara orang tua dan anak perlu dibina suatu hubungan yang erat. Hubungan yang erat antara anak dan orang tua sangat dibutuhkan setiap anak untuk mengoptimalkan perkembangan cognitive modifiability, yaitu hubungan antara pengasuh (orang tua) dan anak dapat menjadi usaha untuk meningkatkan kemampuan kognitif anak. Maksud dari mengoptimalkan perkembangan cognitive modifiablity dalah sebagai berikut; Pertama, memperhatikan seluruh perkembanganyang ada pada anak. Catatlah keunikan-keunikan dan aspek-aspek yang tidak sesuai dengan perkembangan anak pada umumnya. Selain itu, cermati juga perkembangannya secara umum, cara bicara, cara bertingkah, cara berpikir dan sebagainya. Kedua, mengamati hambatan yang dialami anak dalam perkembangannya. Ketiga, jangan segan untuk mendiskusikan masalah anak dengan orang yang lebih tua dan berpengalaman, yakni dengan guru atau pendamping anak anda di sekolah. Keempat, konsultasikan dengan pakar, dokter anak, atau orang yang terpercaya dan dianggap memahami persoalan anak (Nusa, 2011). Di dalam rumah, orang tua juga harus berperan sebagai model bagi anak. Pada usia dua dan tiga tahun, anak melakukan upaya-upaya peniruan tingkah laku. Peniruan tersebut dilakukan anak dengan melihat model yang ada di sekelilingnya. Orang tua yang merupakan orang terdekat bagi anak, merupakan contoh yang akan ditiru oleh anak. Dalam proses psikologis, peniruan ini disebut dengan identifikasi. Orang tua dapat menjadikan rumah sebagai tempat pembelajaran yang efektf. Selain dengan meniru perilaku orang tua, anak juga bisa memperoleh pembelajaran dari hal-hal lain. Orang tua dapat
34
memberikan pelajaran hidup dengan cara menceritakan sesuatu pengalaman hidup yang bermanfaat pada anak. Orang tua juga dapat mengajak anak untuk menyelesaikan suatu kegiatan bersama-sama. Dengan adanya interaksi antara orang tua dengan anak, maka akan terjalin suatu hubungan harmonis di dalam keluarga. Sebisa mungkin, orang tua harus menciptakan iklim yang positif dan ramah. Dalam studi ilmiah yang diungkapkan Dr. Malak Jurjis, suasana rumah sangat berpengaruh terhadap gejolak emosional anak dan tingkah laku anak. Orang tua memiliki peranan besar dalam membentuk perasaan anak. Menurutnya, orang tua yang tempramental secara tidak langsung telah mendidik anak untuk mudah emosi dan bersikap sembrono. Sementara itu, orang tua yang berjiwa tenang akan mampu mengajari anak menghadapi hidup dengan indah tanpa emosi yang berlebihan. Lebih lanjut, Dr. Malak Jurjis, menyatakan, bahwa gejolak emosional anak merupakan perilaku yang didapat atau dipelajari dari orang tuanya. Semua gejolak emosional anak menunjukan bahwa mereka merupakan korban perlakuan orang tua dan pengaruh tempat mereka tumbuh (Nusa, 2011). Periode usia balita, merupakan masa yang sangat menentukan bagi pembentukan kecerdasan anak. Masa usia ini biasa disebut dengan istilah golden years period atau golden age yang artinya usia emas. Orang tua diharapkan dapat memanfaatkan masa usia ini dengan sebaik-baiknya. Yaitu, dengan cara membantu perkembangan seluruh potensi yang dimiliki anak. Belajar pada usia dini dapat dilakukan dengan cara yang menyenangkan. Mengingat usia anak masih dini, maka kegiatan belajar pada usia ini sebaiknya
35
dilakukan melalui permainan. Hal itu tidak terlepas dari segi keamanan dan kenyamanan anak. Selain itu, belajar sejak dini, jiga bisa dilakukan dengan cara menceritakan segala sesuatu yang ada di lingkungan sekitar. Tema cerita dibuat sesederhana mungkin agar anak lebih mudah memahami. Di sela-sela cerita, biarkan anak mengajukan pertanyaan tentang hal-hal yang menarik perhatiannya. Tanya jawab antara anak dengan orang tua merupakan sebuah interaksi yang sangat baik bagi perkembangan anak (Nusa, 2011). Belajar sejak dini juga bisa dilakukan dengan cara membuat hasil karya sederhana. Jika anak mampu menyelesaikan hasil karyanya, hendaknya orang tua memberikan apresiasi. Hal itu akan menumbuhkan rasa percaya diri anak. Di samping itu, yang perlu diperhatikan adalah perlunya menstimulasi rangsangan sejak dini. Dalam hal menstimulasi, orang tua harus menyadari perannya sebagai pendidik. Sebagai pendidik, orang tua didorong untuk mengembangkan kemampuan bayinya untuk berbicara. Hal ini membutuhkan cara dan pendekatan tersendiri karena tidak semua orang tua bisa mengetahui cara pengasuhan yang baik yang diberikan kepada anaknya. Untuk mendorong setiap orang tua menyadari perannya tersebut maka sangat penting dilakukan pendidikan keorangtuaan atau yang biasa disebut dengan Pendidikan Pengasuhan sebagaimana yang akhir-akhir ini dilakukan oleh Plan Indonesia. Melalui Pendidikan Pengasuhan atau Parenting ini, orang tua bayi balita di setiap posyandu melakukan diskusi atau sharing pengalaman bagaimana mengasuh anak sejak dalam kandungan hingga berusia 6 tahun bahkan hingga 18 tahun. Karena kualitas atau mutu anak sangat ditentukan oleh seberapa
36
besar kwalitas pengasuhan di rumah. Melalui Program Parenting ini, orang tua bayi balita usia 0 – 6 tahun saling berdiskusi tentang pola asuh yang bisa mendukung anak untuk sukses di sekolah dan kehidupan selanjutnya karena pada dasarnya anak adalah anugerah dari sang pencipta. Orang tua yang melahirkan anak harus bertangung jawab terutama dalam soal mendidiknya, baik ayah sebagai kepala keluarga maupun ibu sebagai pengurus rumah tangga. Keikutsertaan orang tua dalam mendidik anak merupakan awal keberhasilan orang tua dalam keluarganya apabila sang anak menuruti perintah orang tuanya terlebih lagi sang anak menjalani didikan sesuai dengan perintah agama dan adat (Nusa, 2011). Kita juga tidak semestinya membedakan buah hati mereka, baik dalam mendidik maupun memberikan perhatian kepada sang anak. Harus ada rasa keadilan, tidak boleh pilih kasih, karena akan menimbulkan kecemburuan diantara anak. Yang ditakutkan nanti akan membuat anak menjadi rusak, bahkan berpikir kalau mereka tidak disayangi lagi, bahkan ada anak yang beranggapan kalau mereka itu bukan anak dari orang tua mereka sendiri, karena selalu dibeda-bedakan dengan yang lainnya (Nusa, 2011). Orang tua tidak seharusnya memperlihatkan emosi yang negatif kepada anak-ananya. Ketidakmampuan setiap orang tua dalam mengontrol emosi membuat anak menjadi temperamental dan mempunyai sifat maupun sikap yang buruk yaitu mudah emosional. Akibatnya orang tua yang demikian tidak bisa menjadi model atau peran yang baik untuk anak-anaknya dalam mengontrol anak dan mengasuh buah hatinya. Tujuan orang tua sebenarnya
37
untuk mengkomunikasikan kepada buah hatinya bahwa mereka memiliki hak untuk merasakan apapun yang mereka rasakan, Mengajari sang buah hati untuk menghargai dan menikmati setiap saat dalam kehidupan sehingga mampu memberi motivasi kepada anak dalam mencegah serta menghadapi masalah yang mereka hadapi kedepan (Nusa, 2011). Terkadang orang tua sering lupa untuk berinteraksi dengan anakanaknya. Ada diantara mereka yang lebih mementingkan pekerjaan dari pada melakukan hal itu. Bagi mereka hal itu tidak perlu dilakukan. Mereka beranggapan bahwa materi yang dibutuhkan anak, Padahal seorang anak tidak hanya membutuhkan materi namun juga perhatian dan interaksi dengan orangtuanya. Mereka membutuhkan komunikasi dengan orang tuanya, mereka juga ingin bertukar pikiran dengan orang tuanya. Mereka ingin menceritakan pegalaman apa yang mereka rasakan sehari-hari baik itu pangalaman yang baik maupun pengalaman yang buruk (Nusa, 2011).
G. Kerangka Konsep Karakteristik adalah ciri-ciri khusus yang mempunyai sifat yang khas sesuai dengan perwatakan yang dimiliki. Banyak faktor yang dapat menyebabkan masyarakat kita belum mengadopsi ini sebagian sebuah perilaku kesehatan. Bisa karena pengetahuan yang kurang tentang hal tersebut dan dampaknya, budaya. akses kesehatan yang sulit, sosial ekonomi yang rendah ataupun faktor lainnya (Notoatmodjo, 2003) Katakteristik dan perilaku masyarakat meliputi umur, pendidikan, pekerjaan, sosial ekonomi, pengetahuna, sikap dan tindakan (Arikunto,2004).
38
Oleh karena keterbatasan waktu dan tenaga, maka peneliti hanya meneliti 3 Variabel saja, yaitu : V. Independen
V. Dependen
Pengetahuan Perilaku Ibu dalam menstimulasi anak usia 0-24 bulan
Pengalaman
Dukungan Keluarga Gambar 3.1 Kerangka Konsep H. Hipotesa Dari kerangka konsep diatas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah : 1. Ha
: Ada pengaruh pengetahuan ibu terhadap perilaku ibu dalam
menstimulasi perkembangan anak usia 0-24 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Blang Bintang 2. Ha
: Ada pengaruh pengalaman ibu terhadap perilaku ibu dalam
menstimulasi perkembangan anak usia 0-24 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Blang Bintang 3. Ha
: Ada pengaruh pengetahuan ibu terhadap perilaku ibu dalam
menstimulasi perkembangan anak usia 0-24 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Blang Bintang
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian Metode yang digunakan analitik dengan pendekatan Cross Sectional (Notoatmodjo, 2010). Pendekatan ini dimaksudkan untuk melihat pengaruh antara variabel independen dengan variabel dependen. Adapun variabel independennya yaitu pengetahuan, pengalaman dan dukungan keluarga sedangkan variabel dependennya yaitu stimulasi anak usia 0-24 bulan.
B. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti. Berdasarkan pendapat di atas maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak usia 0-24 bulan pada bulan Mei Tahun 2013 di Wilayah Kerja Puskesmas Blang Bintang sebanyak 550 orang. 2. Sampel Menurut Notoatmodjo, (2010) Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi. Dengan menggunakan rumus slovin (Notoatmodjo, 2010), sebagai berikut:
39
40
n=
N 1 + N (d2) Keterangan : N : Besar Populasi n : Besar Sampel d : Tingkat Kepercayaan (ketepatan yang diinginkan) sebesar 85%
n=
N 1 + N (d2)
n=
550 1 + 550 (0,152)
n=
550 1 + 550 (0,0225)
n=
550 1 + 12,38
n=
550 13,38
n = 41,10 Jadi jumlah sampel dibulatkan menjadi 42 orang. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik proportional stratified sampling adalah pengambilan sampel dilakukan berdasarkan pertimbangan antara jumlah anggota populasi berdasarkan masing-masing strata/kelas (Notoatmodjo, 2010). SPI = n x JS N Keterangan : SPI
= Jumlah sampel pada tiap-tiap subpopulasi
n
= Jumlah responden dalam subpopulasi
41
N
= Jumlah responden dalam populasi
JS
= Jumlah sampel yang dibutuhkan
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Desa
Lamsiem Cot Puklat Melayo Lamme Cot Gandret Lam Sidom Cot Monraya Cot Madhi Paya Ue Kampung Blang Cot Rumpun Cot Melangen Cot Nambak Cot Leot Cot Bagie Teping Bate Bung Page Empe Baya Data Makmur Cot Hoho Cot Jambo Cot Mancang Kayee Kunyet Cot Malem Cot Karieng Cot Sayun Total
Jumlah Responden dalam subpopulasi 11 20 19 15 24 10 15 15 20 33 15 23 22 12 24 14 26 25 37 13 21 23 35 33 28 18 550
Jumlah sampel yang dibutuhkan 1 1 1 1 2 1 1 1 1 2 1 2 2 1 2 1 2 2 3 1 2 2 3 2 3 1 42
Apabila suatu populasi terdiri dari unit yang mempunyai karakteristik yang berbeda-beda atau heterogen, maka tekhnik pengambilan sampel yang tepat digunakan adalah stratified sampling. Hal ini dilakukan dengan cara mengidentifikasi karakteristik umum dari anggota populasi kemudian
42
menentukan strata atau lapisan dari jenis karakteristik unit-unit tersebut (Notoatmodjo, 2010). C. Tempat dan Waktu 1. Tempat Penelitian ini telah dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Blang Bintang. 2. Waktu Penelitian dilakukan pada tanggal 19 – 25 Agustus 2013.
D. Teknik Pengumpulan Data 1. Data Primer Data primer di peroleh dengan cara memberikan kuisioner kepada responden. 2. Data Sekunder Data sekunder diperoleh dari Dinas Kesehatan dan Instansi terkait lainnya yang berhubungan dengan penelitian.
E. Definisi Operasional Tabel 1. Definisi Operasional No
Variabel
1 Variabel Depenen 1. Perilaku ibu dalam menstimulasi anak usia 024 bulan
Definisi Operasional 2
Cara ukur
Sikap Ibu dalam memberikan rangsangan yang dilakukan pada anak
Membagikan kuisioner pada ibu yang terdiri dari 5 pertanyaan chek list dengan
3
Alat Ukur 4
Skala Ukur
Hasil Ukur
5
6
Kuisioner
Ordinal
- Ada rangsangan - Tidak ada rangsangan
43
usia 0-24 bulan
kriteria Ada rangsangan, jika jawaban benar x ≥ 3,6 Tidak ada rangsangan, jika jawaban benar x < 3,6
Variabel Independen 1. Pengetahuan Pengetahuan ibu dalam menstimulasi anak usia 024 bulan
2.
Pengalaman
Pengalaman ibu dalam mentsimulasi anak usia 024 bulan
Membagikan kuisioner pada ibu yang terdiri dari 10 pertanyaan dengan kriteria Tinggi, jika jawaban benar x ≥ 5,6 Rendah, jika jawaban benar x < 5,6 Membagikan kuisioner pada ibu yang terdiri dari 5 pertanyaan dengan kriteria Ada, jika jawaban benar x ≥ 3,7
Kuisioner
Ordinal
-Tinggi -Rendah
Kuisioner
Ordinal
-Ada -Tidak
Tidak, jika jawaban benar x < 3,7 3.
Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga dan suami ibu dalam menstimulasi anak usia 024 bulan
Membagikan kuisioner pada ibu yang terdiri dari 5 pertanyaan dengan kriteria Mendukung, jika jawaban benar x ≥ 3,6 Tidak Mendukung,
Kuisioner
Ordinal
-Mendukung -Tidak Mendukung
44
jika jawaban benar x < 3,6
F. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang berisikan 25 pertanyaan. Variabel stimulasi anak usia 0-24 bulan sebanyak 5 pertanyaan dengan jawaban ya-tidak, variabel pengetahuan sebanyak 10 pertanyaan dengan jawaban setuju-tidak setuju, pengalaman 5 pertanyaan dengan jawaban terpimpin, dan 5 pertanyaan untuk dukungan keluarga dengan jawaban ya-tidak.
G. Pengolahan dan Analisa Data 1. Pengolahan Data Setelah data terkumpul melalui angket atau kuisioner, maka dilakukan pengolahan data yang melalui berupa tahapan sebagai berikut: a. Seleksi data (Editing) Dimana penulis akan melakukan penelitian terhadap data yang diperoleh dan diteliti apakah terdapat kekeliruan atau tidak dalam penelitian. b. Pemberian kode (Coding) Setelah dilakukan editing, selanjutnya penulis memberikan kode tertentu pada tiap-tiap data sehingga memudahkan dalam melakukan analisis data.
45
c. Pengelompokkan data (Tabulating) Pada tahap
ini,
jawaban-jawaban responden yang
sama
dikelompokkan dengan teliti dan teratur lalu dihitung dan dijumlahkan, kemudian dituliskan dalam bentuk tabel-tabel (Budiarto, 2002). 2. Analisa Data a. Analisa Univariat Analisa univariat dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian. Pada umumnya dalam analisa hanya menghasilkan distribusi dari tiap variabel (Arikunto, 2004). Selanjutnya data dimasukkan dalam tabel data frekuensi, analisis ini menggunakan rumus sebagai berikut: P
f x100% n
Keterangan : P = Persentase f = frekuensi yang diamati n = jumlah responden yang menjadi sampel (Notoatmodjo, 2010). b. Analisa Bivariat Analisa bivariat merupakan analisa hasil dari variabel-variabel bebas yang diduga mempunyai hubungan dengan variabel terkait. Analisa data yang digunakan adalah tabel silang. Untuk menguji hipotesa dilakukan analisa statistik dengan menggunakan uji Khi Kuadrat (ChiSquare) pada tingkat kemaknaan 95% (p < 0,05) sehingga dapat diketahui ada tidaknya hubungan yang bermakna secara statistik
46
menggunakan program SPSS for windows versi 16.00. Melalui perhitungan Khi Kuadrat (Chi-square) tes selanjutnya ditarik kesimpulan bila P lebih kecil dari alpha (P < 0,05), maka Ho ditolak dan Ha diterima, yang menunjukkan adanya hubungan bermakna antara variable dependen dan independen dan jika P lebih besar dari alpha (P > 0.05) maka Ho diterima dan Ha ditolak yang menunjukkan tidak adanya hubungan bermakna antara variable dependen dan independen. Aturan yang berlaku untuk uji Khi Kuadrat (Chi-square), untuk program komputerisasi seperti SPSS adalah sebagai berikut : 1) Bila pada tabel contingency 2x2 dijumpai nilai e (harapan) kurang dari 5, maka hasil yang digunakan adalah Fisher Exact Test. 2) Bia pada tabel Contingency 2x2 tidak dijumpai nilai e (harapan) kurang dari 5, maka hasil yang digunakan adalah Continuity Correction. 3) Bila tabel Contingency yang lebih dari 2x2 misalnya 3x2, 3x3 dan lain-lain, maka hasil yang digunakan adalah Pearson Chi-Square. 4) Bila pada tabel Contingency 3x2 ada sel dengan nilai frekuensi harapan (e) kurang dari 5, maka akan dilakukan meger sehingga menjadi table Contingency 2x2
47
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Puskesmas Blang Bintang menempati areal seluas 70,51 m2, terletak pada garis lintang -3,7861 dan garis bujur 119,625, ketinggian < 500 meter diatas permukaan laut dengan jumlah penduduk sebanyak 10.645 jiwa yang terdiri dari 5.426 laki-laki dan 5.226 perempuan. Jumlah KK sebanyak 3.028. Puskesmas Blang Bintang Berbatasan dengan : 1. Bagian Utara berbatasan dengan Kecamatan Kuta Baro 2. Bagian Selatan berbatasan dengan Kecamatan Montasik 3. Bagian Timur berbatasan dengan Masjid Raya 4. Bagian Barat berbatasan dengan Kec. Ingin Jaya
B. Hasil Penelitian Penelitian dilakukan pada tanggal 19 – 25 Agustus 2013. Dari data yang dikumpulkan terdapat 42 responden yang dijadikan sampel dari seluruh populasi ibu yang memiliki anak usia 0-24 bulan pada bulan Mei Tahun 2013 di Wilayah Kerja Puskesmas Blang Bintang sebanyak 550 orang. Data dikumpulkan melaui kuesioner, data dari hasil penelitian ini akan disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi sebagai berikut :
48
49
1. Analisa Univariat a. Perilaku Ibu dalam Menstimulasi Perkembangan anak usia 0 – 24 bulan Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Perilaku Ibu dalam Menstimulasi Anak Usia 0 – 24 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Blang Bintang
No
Perilaku Ibu dalam Frekuensi Menstimulasi Perkembangan anak usia 0 – 24 bulan 1. Ada 15 2. Tidak Ada 27 Jumlah 42 Sumber : Data Primer diolah Tahun 2013
(%)
35,7 64,3 100,0
Berdasarkan tabel 4.1 diatas maka dapat dilihat bahwa dari 42 responden yang diteliti ditemukan mayoritas ibu tidak menstimulasi anaknya yaitu sebanyak 27 responden (64,3%). b. Pengetahuan Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Pengetahuan di Wilayah Kerja Puskesmas Blang Bintang
No 1. 2.
Pengetahuan Frekuensi Tinggi 16 Rendah 26 Jumlah 42 Sumber : Data Primer diolah Tahun 2013
(%) 38,1 61,9 100,0
Berdasarkan tabel 4.2 diatas maka dapat dilihat bahwa dari 42 responden yang diteliti ditemukan mayoritas ibu memiliki pengetahuan rendah yaitu sebanyak 26 responden (61,9%).
50
c. Pengalaman Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Pengalaman di Wilayah Kerja Puskesmas Blang Bintang
No 1. 2.
Pengalaman Frekuensi Ada 17 Tidak ada 25 Jumlah 42 Sumber : Data Primer diolah Tahun 2013
(%) 40,5 59,5 100,0
Berdasarkan tabel 4.3 diatas maka dapat dilihat bahwa dari 42 responden yang diteliti ditemukan mayoritas ibu tidak mempunyai pengalaman yaitu sebanyak 25 responden (59,5%). d. Dukungan Keluarga Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Dukungan Keluarga di Wilayah Kerja Puskesmas Blang Bintang
No 1. 2.
Dukungan Keluarga Frekuensi Mendukung 14 Tidak Mendukung 28 Jumlah 42 Sumber : Data Primer diolah Tahun 2013
(%) 33,3 66,7 100,0
Berdasarkan tabel 4.4 diatas maka dapat dilihat bahwa dari 42 responden yang diteliti ditemukan mayoritas ibu tidak mendapatkan dukungan keluarga yaitu sebanyak 28 responden (66,7%).
51
2. Analisa Bivariat a. Pengaruh Pengetahuan terhadap Perilaku Ibu dalam Menstimulasi Perkembangan Anak Usia 0 – 24 bulan Tabel 4.5 Pengaruh Pengetahuan terhadap Perilaku Ibu dalam Menstimulasi Perkembangan Anak Usia 0 – 24 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Blang Bintang
N o
1. 2.
Pengetahuan
Tinggi Rendah Jumlah Signifikasi : P > 0,05
Perilaku Ibu dalam Menstimulasi Perkembangan Anak Usia 0 – 24 Bulan Ada Tidak Ada f % f % 10 62,5 6 37,5 5 19,2 21 80,8 15 35,7 27 64,3
Jumlah
f 16 26 42
% 100 100 100
Uji Statistik
p-value 0,008
Berdasarkan tabel 4.5 diatas, diketahui dari 16 responden yang memiliki pengetahuan tinggi terdapat 10 responden (62,5%) yang menstimulasi anaknya Dari 26 responden yang memiliki pengetahuan rendah terdapat 21 responden (80,8%) yang tidak menstimulasi anaknya. Setelah dilakukan uji statistik dengan menggunakan uji chisquare dengan tingkat kepercayaan 95% diperoleh nilai p-value 0,008 yang berarti lebih kecil dari α-value (0,05). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa ada pengaruh pengetahuan terhadap perilaku ibu dalam menstimulasi perkembangan anak usia 0 – 24 bulan di wilayah kerja puskesmas blang bintang.
52
b. Pengaruh Pengalaman terhadap Perilaku Ibu dalam Menstimulasi Perkembangan Anak Usia 0 – 24 bulan Tabel 4.6 Pengaruh Pengalaman terhadap Perilaku Ibu dalam Menstimulasi Perkembangan Anak Usia 0 – 24 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Blang Bintang
N o
Pengalaman
1. 2.
Ada Tidak Ada Jumlah Signifikasi : P > 0, 05
Perilaku Ibu dalam Menstimulasi Perkembangan Anak Usia 0 – 24 Bulan Ada Tidak Ada f % f % 12 70,6 5 29,4 3 12,0 22 88,0 15 35,7 27 64,3
Jumlah
f 17 25 42
% 100 100 100
Uji Statistik
p-value 0,000
Berdasarkan tabel 4.6 diatas, dari 17 responden yang ada pengalaman
terdapat
12
responden
(70,6%)
yang
menstimulasi
perkembangan anaknya. Dari 25 responden yang tidak ada pengalaman terdapat 22 responden (88,0%) yang tidak menstimulasi anaknya. Setelah dilakukan uji statistik dengan menggunakan uji chisquare dengan tingkat kepercayaan 95% diperoleh nilai p-value 0,000 yang berarti lebih kecil dari α-value (0,05). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa ada pengaruh pengalaman terhadap perilaku ibu dalam menstimulasi perkembangan anak usia 0 – 24 bulan di wilayah kerja puskesmas blang bintang.
53
c. Pengaruh Dukungan Keluarga terhadap Perilaku Ibu dalam Menstimulasi Perkembangan Anak Usia 0 – 24 bulan Tabel 4.7 Pengaruh Dukungan Keluarga terhadap Perilaku Ibu dalam Menstimulasi Perkembangan Anak Usia 0 – 24 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Blang Bintang
N o
1.
Dukungan Keluarga
Mendukung
Perilaku Ibu dalam Menstimulasi Perkembangan Anak Usia 0 – 24 Bulan Ada Tidak Ada f % f % 11 78,6 3 21,4
Jumlah
f 14
% 100
4
14,3
24
85,7
28
100
15
35,7
27
64,3
42
100
Uji Statistik
p-value 0,001
2.
Tidak Mendukung Jumlah Signifikasi : P > 0,05
Berdasarkan tabel 4.7 diatas, dari 14 responden yang mendapat dukungan keluarga terdapat 11 responden (78,6%) yang menstimulasi perkembangan anaknya. Dari 28 responden yang tidak mendapat dukungan keluarga terdapat 24 responden (85,7%) yang tidak menstimulasi perkembangan anaknya. Setelah dilakukan uji statistik dengan menggunakan uji chi-square dengan tingkat kepercayaan 95% diperoleh nilai p-value 0,001 yang berarti lebih kecil dari α-value (0,05). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa ada pengaruh pengalaman
terhadap perilaku ibu dalam menstimulasi
perkembangan anak usia 0 – 24 bulan di wilayah kerja puskesmas blang bintang.
54
C. Pembahasan 1. Pengaruh Pengetahuan terhadap Perilaku Ibu dalam Menstimulasi Perkembangan Anak Usia 0 – 24 bulan Berdasarkan hasil penelitian diatas dapat diketahui bahwa pengetahuan merupakah salah satu factor yang mempengaruhi perilaku ibu dalam menstimulasi perkembangan anak usia 0 – 24 bulan. Hal ini dapat dilihat dari tabel 4.5 diatas, dari 16 responden yang memiliki pengetahuan tinggi terdapat 10 responden (62,5%) yang menstimulasi anaknya dan 6 responden (37,5%) yang tidak menstimulasi anaknya. Dari 26 responden yang memiliki pengetahuan rendah terdapat 5 responden (19,2%) yang menstimulasi anaknya dan 21 responden (80,8%) yang tidak menstimulasi anaknya. Setelah dilakukan uji statistik dengan menggunakan uji chi-square dengan tingkat kepercayaan 95% diperoleh nilai p-value 0,008 yang berarti lebih kecil dari α-value (0,05). Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa ada pengaruh pengetahuan terhadap perilaku ibu dalam menstimulasi perkembangan anak usia 0 – 24 bulan di wilayah kerja puskesmas blang bintang. Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi karena perilaku merupakan resultan dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal (lingkungan). Dari berbagai determinan perilaku manusia, banyak ahli telah merumuskan teori-teori atau model-model terbentuknya perilaku. Masing-masing teori, konsep atau model tersebut
55
dapat diuraikan dibawah ini. Berdasarkan pengalaman empiris dilapangan, perilaku manusia dapat dilihat dari 3 aspek, yakni aspek fisik, aspek psikis, aspek sosial. Akan tetapi dari ketiga aspek tersebut sulit untuk ditarik garis yang tegas dalam mempengaruhi perilaku manusia. Dari berbagai teori dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku manusia sebenarnya merupakan refleksi dari gejala kejiwaan seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010). Namun demikian, sulit untuk dibedakan atau disimpulkan gejala kejiwaan yang mana menentukan perilaku seseorang. Apabila ditelusuri lebih lanjut, gejala kejiwaan tersebut ditentukan atau dipengaruhi oleh berbagai faktor lain, diantaranya adalah faktor pengalaman, keyakinan, lingkungan fisik, utamanya sarana dan prasarana, sosio-budaya masyarakat yang terdiri dari kebiasaan, tradisi, adat istiadat, dan sebagainya. Selanjutnya faktor-faktor tersebut akan menimbulkan pengetahuan, sikap, persepsi, keinginan, kehendak, dan motivasi yang pada gilirannya akan membentuk perilaku manusia (Notoatmodjo, 2010). Sedangkan pengetahuan adalah hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui
panca
indera
manusia
yakni
indera
penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh dari indera mata dan telinga pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang atau dengan arti lain bahwa pengetahuan mempunyai pengaruh
56
sebagai motivasi awal bagi seseorang dalam berperilaku. (Notoatmodjo, 2003). Penelitian yang dilakukan oleh Farah Azzuhra (2011) tentang pengaruh pengetahuan, pendidikan dan paritas terhadap sikap ibu dalam menstimulasi anak usia 0 – 12 bulan. Penelitian ini menunjukkan bahwa pengetahuan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sikap ibu dalam menstimulasi anak usia 0 – 12 bulan. Nilai p-value 0,005 (p < 0,01). Dari literatur dan hasil penelitian yang ditemui, peneliti berasumsi bahwa pengetahuan mempengaruhi perilaku ibu dalam menstimulasi perkembangan anak usia 0 – 24 bulan. Pada penelitian ini ditemukan masalah terdapat 6 responden yang memiliki pengetahuan tinggi namun tidak menstimulasi perkembangan anaknya, hal tersebut disebabkan oleh pengetahuan yang di dapat ibu tentang stimulasi perkembangan anak hanya sampai pada tingkat memahami saja tidak langsung diaplikasikan kepada anaknya, misalnya karena ibu bekerja dan tidak sempat memperhatikan perkembangan anaknya. 2. Pengaruh Pengalaman terhadap Perilaku Ibu dalam Menstimulasi Perkembangan Anak Usia 0 – 24 bulan Berdasarkan hasil penelitian diatas dapat diketahui bahwa pengetahuan merupakah salah satu factor yang mempengaruhi perilaku ibu dalam menstimulasi perkembangan anak usia 0 – 24 bulan. Hal ini dapat dilihat dari tabel 4.6 diatas, dari 17 responden yang ada pengalaman terdapat 12 responden (70,6%) yang menstimulasi perkembangan anaknya dan 5
57
responden (29,4%) yang tidak menstimulasi perkembangan anaknya. Dari 25 responden yang tidak ada pengalaman terdapat 3 responden (12,0%) yang menstimulasi perkembangan anaknya dan 22 responden (88,0%) yang tidak menstimulasi anaknya. Setelah dilakukan uji statistik dengan menggunakan uji chi-square dengan tingkat kepercayaan 95% diperoleh nilai p-value 0,000 yang berarti lebih kecil dari α-value (0,05). Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa ada pengaruh pengalaman terhadap perilaku ibu dalam menstimulasi perkembangan anak usia 0 – 24 bulan di wilayah kerja puskesmas blang bintang. Pengalaman merupakan guru terbaik. Pepatah tersebut dapat diartikan bahwa pengalaman merupakan sumber pengetahuan, atau pengalaman itu suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Oleh karena itu pengalaman pribadi pun dapat digunakan sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi masa lalu (Notoatnodjo, 2007). Begitu pun pengenalan terhadap pola dan bentuk. Bayi yang baru lahir dapat mengenali perbedaan terang dan gelap, serta dapat melihat benda-benda yang dekat dengannya. "Stimulasi bayi dengan memberikan barang yang beragam bentuknya, dan pilihlah mainan berwarna terang dan bertekstur," (Adams, 2009).
58
Dalam perkembangannya, bayi usia 0-12 bulan mengalami beberapa fase, yaitu menggapai, menggenggam, berguling, duduk, merangkak, dan melakukan langkah berjalan pertama. Untuk mendorong kemampuannya, cara yang bisa ditempuh antara lain melalui nyanyian atau aneka mainan seperti gelas plastik, mainan yang berbunyi, cincin untuk pertumbuhan gigi, atau menggantungkan mainan yang bisa bergerak di atas boks bayi (Adams, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Nurani Safitri (2011) tentang pengaruh pengetahuan, pendidikan dan pengalaman terhadap perilaku ibu dalam menstimulasi perkembangan anak usia 0 – 5 tahun. Penelitian ini menunjukkan bahwa pengalaman merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku ibu dalam menstimulasi perkembangan anak usia 0 – 5 tahun . Nilai p-value 0,000 (p < 0,01). Dari Literatur dan hasil penelitian yang ditemui, peneliti berasumsi bahwa
pengalaman
ibu
akan
mempengaruhi
perilaku
ibu
dalam
menstimulasi perkembangan anaknya. Pada penelitian ini ditemukan masalah yaitu terdapat 5 responden yang memiliki pengalaman namun tiidak menstimulasi perkembangan anaknya, hal ini terjadi karena pada saat mengulang kembali pengalaman
yang diperoleh ibu tidak dapat
memecahkan permasalahan yang dihadapi di masa lalu. Misalnya pada anak yang sebelumnya ibu tidak peka terhadap isyarat bayi atau anaknya yang menyatakan minat dan pada saat anak selanjutnya ibu masih tidak peka terhadap isyarat bayi atau anaknya.
59
3. Pengaruh
Dukungan
Keluarga
terhadap
Perilaku
Ibu
dalam
Menstimulasi Perkembangan Anak Usia 0 – 24 bulan Berdasarkan hasil penelitian diatas dapat diketahui bahwa pengetahuan merupakah salah satu factor yang mempengaruhi perilaku ibu dalam menstimulasi perkembangan anak usia 0 – 24 bulan. Hal ini dapat dilihat dari tabel 4.7 diatas, dari 14 responden yang mendapat dukungan keluarga terdapat 11 responden (78,6%) yang menstimulasi perkembangan anaknya dan 3 responden (21,4%) yang tidak menstimulasi perkembangan anaknya. Dari 28 responden yang tidak mendapat dukungan keluarga terdapat 4 responden (14,3%) yang menstimulasi perkembangan anaknya dan
24 responden (85,7%) yang tidak menstimulasi perkembangan
anaknya. Setelah dilakukan uji statistik dengan menggunakan uji chi-square dengan tingkat kepercayaan 95% diperoleh nilai p-value 0,001 yang berarti lebih kecil dari α-value (0,05). Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa ada pengaruh pengalaman terhadap perilaku ibu dalam menstimulasi perkembangan anak usia 0 – 24 bulan di wilayah kerja puskesmas blang bintang. Jika perkembangan seorang anak manusia diibaratkan dengan membangun sebuah rumah, maka fondasi rumah sangat menentukan kekuatan dari tiang-tiang penopang rumah. Fondasi rumah adalah suatu keadaan di mana seorang anak masih berstatus usia dini. Usia dini biasa
60
disebut dengan usia emas. Usia dini menurut definisi global adalah anakanak usia 0 – 8 tahun. Namun, konsep ini direduksi oleh Pemerintah Indonesia menjadi usia 0 – 6 tahun (Nusa, 2011). Hal yang harus selalu diingat ketika mendidik anak adalah pengertian bahwa mendidik seorang anak bukan merupakan pekerjaan yang menghabiskan waktu. Terkadang para orang tua yang memiliki kesibukan ekstra dalam hal pekerjaan akan merasa kesulitan. Tidak jarang orang tua merasa bahwa kegiatan mendidik dan membesarkan hanya menjadi penghambat rutinitas. Pengertian itu harus dihilangkan. Keluhan-keluhan dalam mendidik anak tidak akan terjadi jika orang tua mampu membuat kegiatan tersebut sebagai kegiatan yang menyenangkan (Nusa, 2011). Selanjutnya, Fauzia Azwin, menyatakan, antara orang tua dan anak perlu dibina suatu hubungan yang erat. Hubungan yang erat antara anak dan orang tua sangat
dibutuhkan setiap anak untuk mengoptimalkan
perkembangan cognitive modifiability, yaitu hubungan antara pengasuh (orang tua) dan anak dapat menjadi usaha untuk meningkatkan kemampuan kognitif anak. Maksud dari mengoptimalkan perkembangan cognitive modifiablity dalah sebagai berikut; Pertama, memperhatikan seluruh perkembanganyang ada pada anak. Catatlah keunikan-keunikan dan aspekaspek yang tidak sesuai dengan perkembangan anak pada umumnya. Selain itu, cermati juga perkembangannya secara umum, cara bicara, cara bertingkah, cara berpikir dan sebagainya. Kedua, mengamati hambatan yang dialami anak dalam perkembangannya. Ketiga, jangan segan untuk
61
mendiskusikan masalah anak dengan orang yang lebih tua dan berpengalaman, yakni dengan guru atau pendamping anak anda di sekolah. Keempat, konsultasikan dengan pakar, dokter anak, atau orang yang terpercaya dan dianggap memahami persoalan anak (Nusa, 2011). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tasya Amanda (2010), tentang faktor yang mempengaruhi perilaku ibu dalam menstimulasi anak pertama usia 0 – 24 bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dukungan keluarga, pendidikan dan pengetahuan mempengaruhi perilaku ibu dalam menstimulasi anak pertamanya. Nilai p-value yang diperoleh adalah p=0,002 (p < 0,01). Dari literatur dan hasil penelitian yang peneliti temui, peneliti berasumsi bahwa dukungan keluarga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku ibu dalam menstimulasi anak. Pada penelitian ini ditemukan masalah yaitu terdapat 3 responden yang mendapat dukungan keluaga namun tidak menstimulasi perkembangan anaknya, hal tersebut dikarenakan orang tua hanya memantau perkembangan anaknya tanpa diberikan stimulasi, dan orang tua lebih memanjakan anak bungsu dibandingkan dengan kakaknya (pilih kasih).
62
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan data dan hasil penelitian pada BAB sebelumnya, peneliti membuat beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Ada pengaruh pengetahuan ibu terhadap perilaku ibu dalam menstimulasi perkembangan anak usia 0-24 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Blang Bintang, ditandai dengan nilai p-value (0,008) < α-value (0,05). 2. Ada pengaruh pengalaman terhadap perilaku ibu dalam menstimulasi perkembangan anak usia 0-24 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Blang Bintang, ditandai dengan nilai p-value (0,000) < α-value (0,05). 3. Ada pengaruh dukungan keluarga terhadap perilaku ibu dalam menstimulasi perkembangan anak usia 0-24 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Blang Bintang, ditandai dengan nilai p-value (0,001) < α-value (0,05).
B. Saran 1. Bagi Tempat Penelitian Agar ibu-ibu yang memiliki anak usia 0-24 bulan dapat menstimulasi anaknya dengan baik. 2. Bagi Responden Agar dapat memberikan tambahan pengetahuan bagi ibu yang memiliki anak usia 0-24 bulan mengenai stimulasi anak yang baik.
63
64
3. Bagi Peneliti Sebagai sarana pembelajaran melakukan penelitian sekaligus mengaplikasikan ilmu yang sudah didapat selama perkuliahan dan semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi penelitian selanjutnya.