BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan tata kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia dewasa ini mengalami dinamika yang mengagumkan. Semangat perubahan terjadi sebagai bentuk kesadaran anak bangsa untuk mencapai sebuah Negara-Bangsa yang bermartabat dalam penyelenggaraan dan pengelolaan kehidupan bernegara yang demokratis dan berkeadilan. Perubahan ini diperlukan agar Indonesia mendapatkan pengakuan sebagai pionir demokrasi oleh bangsa-bangsa seluruh Negara di dunia. Maka bangsa Indonesia dengan semangat reformasi terus berupaya menata tata pergaulan dan penglolaan, serta penyelenggaraan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berlandaskan pada hukum. Namun demikian, untuk mencapai pada sasaran itu, bangsa Indonesia dalam rentang sejarah yang panjang atas realitas kehidupan kenegaraan selama tiga dasawarsa yang lalu membuktikan terjadinya inkonsistensi dan diviasi dari konsep dasar citacita seluruh bangsa Indonesia.1 Konsep dasar dalam kehidupan kenegaraan terutama berkaitan dengan system tata kelola pemerintahan yang seharusnya berlandaskan hukum tertinggi dan menjungjung tinggi prinsip “good governance”, terutama dalam hal ini terjadinya penghianatan dalam pelaksanaan konstitusi Negara yang justru melenceng jauh dari ketetntuan amanah UUD 1945 sebagai landasan Negara.2
1
Mokhammad Najih dan Soimin, 2012, Pengantar Hukum Indonesia, Cet. I, Setara Press, Malang, h.1. 2 Ibid.
1
2
Negara Indonesia sebagai Negara yang berkeadilan, maju dan sejahtera, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia yang mandiri, berahlak, cinta tanah air, berkesadaran hukum, dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satunya pendukung stabilitas nasional yaitu dengan mewujudkan kepastian dan ketertiban hukum yang dimana menjunjung tinggi dharma hukum yaitu kebenaran dan keadilan, sehingga hukum di dalam masyarakat dapat menjadi pedoman yang mengayomi masyarakat seperti memberi rasa aman dan nyaman dalam masyarakat. Maka dari itu perlu penyempurnaan hukum nasional melalui pembaharuan hukum sesuai dengan zaman yang semakin berkembang pada abad ke – 21 ini. Hukum diperlukan bagi kehidupan masyarakat, minimal ada 4 (empat) hal yang mendasarinya yaitu: menjaga keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat, terutama mengenai pelaksanaan dan pemenuhan hak-hak pribadi; menjaga agar tidak terjadi konflik antar anggota masyarakat, sehingga keseimbangan hidup bermasyarakat dapat tercapai; hukum diciptakan untuk menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi agar kondisi sosial yang tidak seimbang dapat dipulihkan kembali; menjamin terciptanya suasana aman, tertib dan damai, agar untuk mendukung tercapainya tujuan hidup bersama yaitu keadilan dan kesejahteraan. 3
3
Ibid, h. 2.
3
Dinamika kehidupan masyarakat Negara kita yang sedang mengalami perkembangan, proses perkembangan selain mempunyai pengaruh yang baik, disisi lain dapat mengundang timbulnya suatu kejahatan sebagai yang merupakan akibat
dari
pembangunan
yang
belum
merata
dan
kehidupan
sosial
kemasyarakatan yang masih terdapat kesenjangan dalam bidang perekonomian. Dari adanya kesenjangan tersebut maka akan berakibat kecemburuan sosial yang mengarah kepada suatu kejahatan Adalah suatu kenyataan bahwa antara pembangunan dan kejahatan atau pelanggaran hukum ada hubungan yang erat, oleh karena itu perencanaan pembangunan harus juga meliputi perencanaan perlindungan masyarakat terhadap pelanggaran hukum.4 Perkembangan saat ini sering terlihat terjadi penistaan terhadap agama baik di dunia nyata maupun dunia maya yang dapat berupa perkataan, perilaku, ataupun tulisan bermuatan provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang berhubungan dengan unsur SARA yang dapat menimbulkan rasa kebencian. Dalam hal ini kasus penistaan terhadap agama yang terjadi di dunia maya telah terjadi di Bali. Dimana pada hari raya nyepi tahun baru saka 1937 baru saja dilaksanakan oleh umat hindu pada hari sabtu tanggal 21 Maret 2015 kesucian dari pelaksanaan nyepi tersebut harus dinodai oleh Nando Irwansyah M’Ali yang membuat postingan penghinaan terhadap pelaksanaan hari raya nyepi, hanya karena dirinya tak bisa menyaksikan siaran televisi dimana pada saat itu Nando Irwansyah tidak bisa menyaksikan laga Arsenal. Kekesalannya ia curahkan di media sosial yang trend saat ini adalah Facebook yang menyatakan
4
Sudarto. 1983, Hukum dan Hukum Pidana. Alumni. Bandung, h. 111.
4
“bener 2 fuck nyepi sialan se goblok ne, q jadi gak bisa nonton ARSENAL maen,, q sumpahin acara gila nyepi semoga tahun depan pasa ogoh-ogoh terbakar semua yang merayakan,, fuck you hindu”.5
Penistaan agama dalam hukum positif di Indonesia di atur dalam Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi: Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan : a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dapat diketahui unsur-unsur tindak pidana pertama yang diatur dalam Pasal 156a huruf a KUHP antara lain : unsur subjektif : dengan sengaja dan unsur objektif : didepan umum; mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan; dan yang bersifat bermusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Sedangkan unsur-unsur tindak pidana kedua yang diatur dalam Pasal 156a huruf b KUHP antara lain : unsur subjektif : dengan sengaja; dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa dan unsur objektif : di depan umum; mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan. Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa terdapat norma kabur dalam ketentuan Pasal 156a huruf a KUHP karena dalam pasal tersebut memiliki rumusan norma yang begitu luas dan menimbulkan multitafsir. Rumusan norma 5
http://www.dewatanews.com/2015/03/lecehkan-umat-hindu-nando-resmi.html?m=0, diakses tanggal 9 Desember 2015, pukul 13.28 WITA.
5
dalam Pasal 156a KUHP tidak memiliki tolak ukur dan tidak memiliki parameter yang jelas bilamana seseorang dapat dikenakan pasal tersebut. Bahwa unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 156a huruf a KUHP tidak memiliki kejelasan apa itu yang dimaksud permusuhan, penyalahgunaan dan penodaan sehingga siapa saja yang mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan di muka umum terlebih-lebih manakala perspektif berpikirya berbeda dengan perspektif berpikir mayoritas masyarakat di mana dia tinggal sehingga kapan saja dapat dikenai tuduhan penodaan, pencemaran dan penistaan terhadap suatu agama dengan berdasarkan pasal tersebut. Sementara di sisi yang lain, UUD 1945 menjamin kebebasan beragama dan beribadat menurut agamanya, berserikat dan berkumpul, serta mengeluarkan pendapat dengan lisan atau tulisan sehingga Pasal 156a huruf a KUHP mengandung ketidakpastian hukum. Undang-Undang 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juga mengatur mengenai penistaan agama. yang tercantum dalam Pasal 28 ayat ayat (2) menyatakan bahwa: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)” Pasal tersebut mengandung unsur-unsur sebagai berikut : unsur subjektif : dengan sengaja dan unsur objektif : menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok
6
masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Pasal 28 ayat 2 UU ITE terdapat norma kabur. Hal ini dikarenakan pasal tersebut memiliki definisi yang terlalu luas untuk mengartikan menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian. Padahal harusnya yang dimaksud penyebaran kebencian itu bisa dirinci seperti hasutan tersebut bisa melalui pamflet, berita, pidato ataupun siaran yang berisi kebencian. Hate speech umumnya bersifat menyerang kelompok atau individu yang dianggap sebagai lawan. Yang terjadi sekarang, Pasal 28 ayat 2 UU ITE ini malah digunakan untuk menjerat orang yang mengaku berbeda keyakinan dan agama dengan anggapan pernyataannya itu dianggap sebagai kebencian kepada agama tertentu. Penistaan agama diatur dalam Undang-Undang Nomor 1/ PNPS Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama. Mengenai penistaan agama dapat dilihat pada Pasal 1 yang berbunyi : Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatankegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas dapat diketahui bahwa kedua pasal tersebut jelas terdapat norma kabur. Dalam hal ini yang menjadi permasalahan adalah Pasal 156a huruf a KUHP dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku penistaan agama. Hal
7
inilah yang menjadi perhatian penulis untuk diangkat menjadi skripsi dengan judul: “Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Penistaan Agama Dalam Media Sosial Berdasarkan Hukum Positif Di Indonesia”.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1.
Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku penistaan agama dalam hukum positif di Indonesia ?
2.
Bagaimanakah sebaliknya pengaturan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku pernistaan agama dalam hukum pidana di masa datang ?
1.3 Ruang Lingkup Masalah Untuk mendapatkan uraian yang lebih tepat dan baik kiranya perlu diadakan pembatasan pembahasan terhadap permasalahan tersebut. Dalam hal ini untuk menghindari kemungkinan adanya pembahasan yang menyimpang dari permasalahan yang dikemukakan. Adapun yang menjadi pokok pembahasannya adalah mengenai Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Penistaan Agama dalam Media Sosial Berdasarkan Hukum Positif di Indonesia.
1.4 Orisinalitas Penelitian Berdasarkan penelusuran atas judul penelitian kal ini, penulis akan menampilkan satu skripsi terdahulu yang pembahasannya berkaitan dengan “Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Penistaan Agama Dalam Media Sosial
8
Berdasarkan Hukum Positif Di Indonesia”. Dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiat di dalam dunia pendidikan di Indonesia, maka mahasiswa diwajibkan untuk menunjukkan orisinalitas dari penelitian yang sedang ditulis dengan menampilkan penelititan skripsi terdahulu sebagai pendamping. NNo 1.
Judul
Penulis
Pertanggungjawaban Muhammad Andri
Rumusan Masalah 1. Bagaimana
pengaturan
Pidana Terhadap
Fauzan Lubis,
penistaan agama melalui
Pelaku Tindak
NIM 090200055,
jejaring sosial ?
Pidana Penistaan
Fakultas Hukum
Agama Melalui
Universitas
pertanggungjawaban
Jejaring Sosial
Sumatera Utara
pelaku penistaan agama
Dikaitkan Dengan
Medan 2013.
melalui jejaring sosial ?
Undang-Undang No
2. Bagaimana
3. Bagaimana
upaya
11 Tahun 2008
dapat
Tentang Informasi
menanggulangi
dan Transaksi
agama di jejaring sosial ?
Elektronik.
dilakukan
yang untuk
penistaan
9
2.
Analisa Pidana
Ismuhadi, NIM
Hukum Dan
1203005065,
menjadi
Kriminologi
Fakultas Hukum
terjadinya Tindak pidana
Terhadap Tindak
Universitas
Penistaan
Pidana Penistaan
Sumatera Utara
Indonesia dan bagaimana
Agama Di
Medan 2008.
cara penanggulangannya ?
Indonesia.
1. Apakah faktor-faktor yang penyebab
agama
di
2. Bagaimanakah pengaturan hukum
terhadap
tindak
pidana penistaan agama di dalam
peraturan
perundang-undangan
1.5 Tujuan Penelitian 1.5.1 Tujuan Umum. 1). Memberikan pengetahuan secara umum mengenai Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Penistaan Agama dalam Media Sosial Berdasarkan Hukum Positif di Indonesia 1.5.2 Tujuan Khusus. 1.
Untuk mengetahui bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku penistaan agama dalam hukum positif di Indonesia.
2.
Untuk mengetahui bagaimanakah sebaiknya pengaturan terhadap pelaku penistaan agama dalam hukum pidana di masa mendatang.
10
1.6 Manfaat Penelitian 1.6.1 Manfaat Teoritis. 1). Pada hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat positif bagi perkembangan ilmu hukum khususnya hukum pidana. 2). Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan pedoman dalam penelitian hukum yang lain yang sesuai dengan bidang penelitian yang penulis teliti. 1.6.2 Manfaat Praktis. 1).
Diharapkan dapat bermanfaat sebagai pedoman bagi masyarakat atau praktisi hukum dan instansi yang terkait tentang bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku penistaan agama dalam media sosial berdasarkan hukum positif di Indonesia.
2).
Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi masyarakat dan praktisi hukum
tentang pertanggungjawaban pidana pelaku
penistaan agama dalam media sosial berdasarkan hukum positif di Indonesia.
1.7 Landasan Teoritis 1.
Teori Kepastian Hukum Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah system norma. Norma adalah
pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberative. Undang-Undang yang berisi
11
aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungannya dengan masyarakat. Dalam bukunya Peter Mahmud Marzuki mengenai teori kepastian hukum adalah : Teori Kepastian Hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya aliran yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah diputuskan.6 Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran yuridis-dogmatik yang didasarkan pada aliran pemikiran positivis di dunia hukum, yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri karena bagi penganut pemikiran ini, hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian. 2. Teori Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing di sebut sebagai toereken-
6
baarheid,
criminal
responsibility,
atau
criminal
liability.
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, h. 158.
12
Pertanggungjawaban pidana disini dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak terhadap tindakan yang dilakukannya itu.7 Perbuatan pidana hanya menunjuk pada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu ancaman pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan kemudian dijatuhi pidana, tergantung kepada apakah dalam melakukan perbuatan
itu
orang
tersebut
memiliki
kesalahan.8
Dengan
demikian
membicarakan pertanggungjawaban pidana mau tidak mau harus didahului penjelasan tentang perbuatan pidana. Sebab seorang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana tanpa terlebih dahulu ia melakukan perbuatan pidana. Dirasakan tidak adil jika tiba-tiba seorang harus bertanggungjawab atas suatu tindakan, sedang ia sendiri tidak melakukan perbuatan tersebut. 9 Dimana dasar dari pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan yang terdapat 4 unsur unsurnya yaitu melakukan perbuatan, mampu bertanggungjawab, dengan kesengajaan atau kealpaan dan tidak ada alasan pemaaf.
3. Teori Pemidanaan Mengenai teori pemidanaan, pada umumnya dapat dikelompokkan dalam tiga golongan besar, yaitu teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings
7
S.R Sianturi,1996, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Cet. IV, Alumni, Jakarta, h. 245. 8 Moejatno,2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Cet. VIII, Rineka Cipta, Jakarta, , h. 165. 9 Roeslan Saleh,1983, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana; Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, Cet. III, Aksara Baru, Jakarta, h. 20-23.
13
theorien), teori relatif atau teori tujuan (doel theorien), dan teori menggabungkan (verenigings theorien).10 a.
Teori Pembalasan atau Teori Absolut Menurut teori ini pidana dijatuhkan karena orang telah melakukan kejahatan. Pidana sebagai akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan
kepada
orang
yang
melakukan
kejahatan.
Jadi
dasar
pembenarannya terletak pada adanya kejahatan itu sendiri. Seperti dikemukakan Johanes Andenaes bahwa tujuan primer dari pidana menurut teori absolut ialah untuk memuaskan tuntutan keadilan. Sedang pengaruh yang menguntungkan adalah sekunder. Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat dari pendapat Imanuel Kant dalam bukunya Filosophy of Law, bahwa pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat. 11 b.
Teori Tujuan atau Teori Relatif Teori relatif atau teori tujuan juga disebut teori utilitarian, lahir sebagai reaksi terhadap teori absolut. Secara garis besar, tujuan pidana menurut teori relatif bukanlah sekedar pembalasan, akan tetapi untuk mewujudkan ketertiban di dalam masyarakat. Sebagaimana dikemukakan Koeswadji bahwa tujuan pokok dari pemidanaan yaitu : 1. Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat; 10
E. Utrecht,1958, Hukum Pidana I, Universitas Jakarta, Jakarta, h. 157 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, h. 11 11
14
2. Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat dari terjadinya kejahatan. (het herstel van het doer de misdaad onstane maatschappelijke nadeel); 3. Untuk memperbaiki si penjahat (verbetering vande dader); 4. Untuk membinasakan si penjahat (onschadelijk maken van de misdadiger); 5. Untuk mencegah kejahatan (tervoorkonning van de misdaad).12 Tentang teori relatif ini Muladi dan Barda Nawawi Arief menjelaskan, bahwa: Pidana bukan sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuantujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori ini pun sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory). Jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang membuat kejahatan) melainkan “nepeccetur” (supaya orang jangan melakukan kejahatan).13 Jadi tujuan pidana menurut teori relatif adalah untuk mencegah agar ketertiban di dalam masyarakat tidak terganggu. Dengan kata lain, pidana yang dijatuhkan kepada si pelaku kejahatan bukanlah untuk membalas kejahatannya, melainkan untuk mempertahankan ketertiban umum. c.
Teori Gabungan Menurut teori gabungan bahwa tujuan pidana itu selain membalas kesalahan penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat, dengan mewujudkan ketertiban. Teori ini menggunakan kedua teori tersebut di atas (teori absolut dan teori relatif) sebagai dasar pemidanaan, dengan pertimbangan bahwa kedua teori tersebut memiliki kelemahan-kelemahan yaitu : 12
Koeswadji, 1995, Perkembangan Macam-macam Pidana Pembangunan Hukum Pidana, Cet. I, Citra Aditya Bhakti,Bandung, h. 12. 13 Ibid, h. 16.
Dalam
Rangka
15
1. Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidakadilan karena dalam penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan bukti-bukti yang ada dan pembalasan yang dimaksud tidak harus negara yang melaksanakan. 2. Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan karena pelaku tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukum berat; kepuasan masyarakat diabaikan jika tujuannya untuk memperbaiki masyarakat; dan mencegah kejahatan dengan menakut-nakuti sulit dilaksanakan.14 walaupun terdapat perbedaan pendapat di kalangan sarjana mengenai tujuan pidana itu, namun ada satu hal yang tidak dapat dibantah, yaitu bahwa pidana itu merupakan salah satu sarana untuk mencegah kejahatan serta memperbaiki narapidana. Dengan demikian pada hakikatnya pidana adalah merupakan perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan terhadap perbuatan melanggar hukum. Di samping itu Roeslan Saleh juga mengemukakan bahwa pidana mengandung hal-hal lain, yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat.15 4 . Teori Harmonisasi Hukum Harmonisasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai upaya mencari keselarasan.16 Kata harmonisasi sendiri berasal dari kata harmoni yang dalam bahasa Indonesia berarti pernyataan rasa, aksi, gagasan, dan minat: keselarasan, keserasian. Sedangkan dalam Bahasa Inggris, harmoni dapat diartikan dengan harmonize, dalam bahasa Perancis disebut dengan Harmonie,
14
Ibid, h. 11-12. Djoko Prakoso dan Nurwachid,1984, Studi Tentang Pendapat-pendapat Mengenai Efektifitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 24.5. 16 Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h.64. 15
16
dan dalam bahasa yunani disebut Harmonia. Harmonize dalam buku Jean.L diartikan sebagai “a fitting together, agreement, to exist in peace and friendship as individuals or families (1) combination of parts into an orderly or proportionate whole (2) agreement in feeling, idea, action,interest, etc”.17
Berdasarkan penjabaran diatas ditarik kesimpulan bahwa harmonisasi peraturan perundang-undangan adalah upaya untuk menselaraskan peraturan perundang-undangan agar menjadi proposional dan bermanfaat bagi kepentingan bersama atau masyarakat. Badan Pembinaan Hukum Nasional dalam buku yang disusun oleh Moh. Hasan Wargakusumah dan kawan-kawan, menyatakan bahwa harmonisasi hukum adalah kegiatan ilmiah untuk menuju proses pengharmonisan tertulis yang mengacu baik pada nilai-nilai filosofis, sosiologis, ekonomis, maupun yuridis.18 Nilai filosofis adalah ketika suatu kaedah hukum sejalan dengan cita-cita hukum. Sedangkan Nilai yuridisnya adalah persyaratan formal terbentuknya peraturan perundang-undangan telah tercapai. Nilai sosiologis yaitu efektivitas atau hasil guna peraturan perundang-undangan dalam kehidupan masyarakat.19 Dan nilai 17
Jean L. McKechnie, 1983, Websters New Twentieth Century Dictionary Unabridge, Second Edition, Page. 828, dikutip dari Dessy Lina Oktaviani Suendra, Thesis Pertanggungjawaban Pidana Koperasi Dalam Tindak Pidana Perbankan Tanpa Ijin, Universitas Udayana, 2015, h. 23. 18 Moh. Hasan Wargakusumah, dkk, 1996, Perumusan Harmonisasi Hukum tentang Metodelogi Harmonisasi Hukum, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, h.2 19 Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, h. 109
17
ekonominya adalah substansi peraturan perundang-undangan hendaknya dibuat dengan memperhatikan efisiensi dalam pelaksanaannya. 1.8 Metode Penelitian 1.8.1 Jenis Penelitian. Jenis penilitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang mendekati masalah dan norma hukum yang berlaku. yang di dukung bahan-bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Menurut Abdulkadir Muhammad, penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang, serta bahasa hukum yang digunakan, tetapi tidak mengkaji aspek terapan atau pelaksanaan.20 1.8.2. Jenis Pendekatan. Dalam penelitian ini digunakan pendekatan perundang-undangan ( The Statute Approach), pendekatan analisis konsep hukum (Anallitical & Conseptual Approach) dan pendekatan perbandingan (Comparative Approach). Pendekatan perundang-undangan adalah Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Pendekatan perundang-undangan
20
Abdulkadir Muhammad, 1992, Hukum Perikatan, Citra Aditya, Bandung, h. 102.
18
dalam penelitian hukum normatif memiliki kegunaan baik secara praktis maupun akademis.21 Pendekatan Analisis Konsep Hukum adalah pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum, dengan mempelajari pandang-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, penulis akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi.22 Pendekatan Perbandingan adalah Pendekatan yang dilakukan dengan mempelajari
beberapa
sistem
hukum
Negara
asing
untuk
kemudian
diperbandingkan. Pendekatan perbandingan dalam penelitian hukum normative memiliki kegunaan secara teoritis dan praktis. 1.8.3 Bahan Hukum. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer terdiri dari Asas dan Kaidah Hukum Asas yang digunakan dalam penelitian ini teori-teori yang digunakan
dalam
penelitian
ini
Teori
Kepastian
Hukum,
teori
pertanggungjawaban pidana, teori pemidanaan dan teori harmonisasi hukum. Selian asas dan teori digunakan juga peraturan perundang-undangan yaitu Kitab
21 22
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Cet. XI, Kencana., Jakarta, h. 93. Ibid, h. 94.
19
Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Bahan hukum sekunder yang terdiri dari : Buku - buku hukum (text book); Jurnal; jurnal hukum; Karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa; Kamus dan ensiklopedi hukum (beberapa penulis hukum menggolongkan kamus dan ensiklopedi hukum ke dalam bahan hukum tersier); dan Internet dengan menyebut nama situsnya 1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan yaitu dengan membaca dan mencatat literature-literatur yang terkait dengan permasalahan yang akan diteliti dengan system kartu. Dalam System kartu ini bahan hukum yang telah dikumpulkan dicatat nama penulis, tahun terbit, judul bahan hukum, penerbit, halaman. Kartu-kartu tersebut kemudian akan di gunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini. 1.8.5 Teknik Analisis. Teknik analisis bahan hukum dalam penelitian ini adalah setelah semua bahan hukum terkumpul baik dari bahan hukum primer dan sekunder kemudian diklasifikasikan secara kualitatif sesuai dengan permasalahan. Bahan hukum tersebut dianalisa dengan teori-teori dan asas kemudian disimpulkan untuk menjawab permasalahan yang ada. Teknik yang digunakan untuk menganalisis yaitu : a. Teknik Deskripsi
20
Teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum. b. Teknik Evaluasi Penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan perumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan primer maupun dalam bahan hukum sekunder. c. Teknik Argumentasi Tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alas an-alasan yang bersifat penalaran hukum. Dalam pembahasan permasalahan hukum makin banyak argumen makin menunjukkan kedalaman penalaran hukum.