BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Kehadirannya yang berkelindan dengan realitas menempatkan karya sastra pada ruang yang dekat dan dianggap mampu merepresentasikan kenyataan. Dalam banyak pendapat, karya sastra sebagai produk sosial menjadi pilihan penting untuk memotret fenomena sejaman dan bahkan lintas jaman –berselisih ruang dan waktu1. Oleh karena itu, pandangan bahwa karya sastra lahir hanya sebagai produk imajinasi manusia menjadi tidak relevan ketika keadaan masyarakat tertentu dapat diukur berdasarkan karya yang hadir pada saat itu. Novel, sebagai salah satu bentuk karya sastra, mampu menyajikan detil yang lebih daripada karya sastra–karya sastra yang lain. Dalam novel pembaca mudah memahami premis melalui struktur intrinsiknya. Pengarang berperan sebagai subyek yang jeli dan peka dalam mencermati kejadian-kejadian untuk kemudian merekam dan menceritakan kembali melalui karyanya 2. Dengan
1
Swingewood dalam Faruk (2002:110) mengemukakan bahwa novel merupakan genre sastra yang cenderung realistik karena novel mampu merepresentasikan gambaran realistik sosial. Beberapa tokoh terkemuka sosiologi sastra lainnya, misalkan Lucien Goldmann (genetic structuralism) juga berpandangan bahwa karya sastra memiliki keterkaitan khusus dengan kondisi jaman ia diciptakan yang berisi pandangan dunia novel tersebut. Taine juga menyebutkan bahwa novel bertujuan menggambarkan kehidupan nyata, deskripsi karakter, sugesti tindakan, dan memberi penilaian terhadap motif tindakan. 2 Dharma (1983:52) menyatakan bahwa karya sastra, khususnya novel, diciptakan pengarang untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan tanpa melupakan bahwa karya sastra sebenarnya merupakan bagian pengungkapan masalah hidup, filsafat, dan ilmu jiwa. Lebih lanjut Van Zoest (1993) menyatakan bahwa manusia adalah homo semiotic yang memiliki kemampuan untuk
2
demikian, jelas dipahami bahwa novel menjadi alat komunikasi antara pengarang terhadap pembaca. Akan tetapi, sebagai hasil rekaman personal karya sastra tidak dapat lepas dari pandangan subyektif pengarang, sehingga hal tersebut memungkinkan pembaca untuk bebas memaknai karya sastra tersebut. Pada proses ini, makna yang ditangkap oleh pembaca mungkin berbeda dengan apa yang dimaksudkan oleh pengarang. Perbedaan pemaknaan tersebut bukan berarti keluar dari batasan-batasan interpretasi. Karya sastra ditulis berdasarkan pengalaman seseorang yang sebenarnya juga berada dalam konvensi yang sama dengan seseorang lainnya. Pun apabila karya sastra dibaca orang yang tidak memiliki kaitan historis partikular, setidaknya keterhubungannya dapat dimediasi oleh hal-hal yang bersifat universal atau berlaku umum. Dalam hubungannya dengan tanda, Noth (1990: 3) menjelaskan bahwa bidang kajian semiotika meliputi segala sesuatu yang dapat dipandang sebagai tanda. Senada dengan hal tersebut Culler (1977: 5) mengatakan bahwa karya sastra tersusun dari seperangkat sistem simbol –bagian dari tanda, sedangkan simbol memiliki arti apabila ia dapat dijelaskan darimana ia berasal dan untuk siapa ia dimanfaatkan. Artinya, karya sastra memiliki fungsi penting sebagai aktus komunikasional dalam memunculkan kenyataan yang lain dari suatu keadaan. Lebih lanjut Eco (1976: 8) mengatakan bahwa hal pokok yang dikaji dalam
menciptakan tanda. Ia dapat mengirimkan tanda dan ia dapat sepakat mengenai arti tanda tersebut dengan sesamanya.
3
seniotika adalah proses kultural sebagai komunikasi berlandaskan sistem signifikansi. Dari pembahasan di atas, novel berpeluang merepresentasikan kondisi sosial masyarakat tertentu melalui pengamatan seorang pengarang, dalam hal ini adalah John Steinbeck. John Steinbeck adalah seorang pengarang kenamaan Amerika yang sebagian besar karyanya terinspirasi dari kejadian-kejadian nyata. Karyanya yang danggap sebagai modern parable terhadap kondisi Amerika pada saat itu adalah The Pearl. Sebagai negara besar yang terdiri dari beraneka ragam etnis, Amerika Serikat dapat dikatakan potensial terhadap munculnya konflik-konflik perbedaan tersebut. Menyadari akan hal itu, para negarawan mensiasati bagaimana menjadi ‘Amerika’ menjadi sebuah negara kuasa yang berserikat dan berusaha melindungi hak-hak keberagaman mereka yang ada di dalamnya. Konsep tersebut nyata dikemukakan dalam prinsip dasar Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang berbunyi ”all men are created equal” and that they are “endowed by their Creator with certain inalienable Rights” including “Life, Liberty, and the pursuit of Happiness.”. Dari kalimat ini, dengan mengatakan bahwa semua manusia diciptakan sama dan memiliki kesempatan yang sama dalam hak-hak dasarnya, seharusnya potensi konflik dari singgungan keberagaman tersebut dapat dihilangkan. Lebih jauh Amerika juga memegang pandangan American Dream3
3
Konsep American Dream dinyatakan pertama kali oleh James Truslow Adams pada tahun 1931 dalam bukunya yang berjudul Epic of America, “The American Dream, that is lured tens of millions of all nations to our shores in the past century has not been a dream of material plenty, though that has doubtlessly counted heavily. It has been a dream of being able to grow fullest development as a man and woman, unhampered by the barriers which had slowly been erected in
4
sebagai semangat atau etos bahwa dalam kebebasan terdapat kemakmuran dan kebebasan. Seiring dengan perkembangan jaman, pemaknaan American Dream berkembang menjadi sebuah kesempatan untuk tumbuh, menerima pendidikan, hak-hak hukum, dan pilihan-pilihan tanpa membatasi latar belakang agama, ras, atau etnis/budaya. Dalam kenyataannya, praktik-praktik diskriminasi terhadap etnis atau kelompok tertentu oleh kelompok dominan masih sering terjadi, dalam hal ini diskriminasi terhadap Indian Amerika oleh orang-orang kulit putih. Sejarah berpindahnya orang-orang Eropa ke Amerika yang pada saat itu didiami suku pribumi, Indian, memiliki rentetan efek yang panjang. Pola penguasaan tanah dan kolonialisasi bangsa Eropa ke Amerika dimulai sejak tahun 1600-an. Ketika koloni Eropa menyadari bahwa Amerika adalah daratan yang sangat potensial, sejak saat itu pula muncul pola-pola penguasaan tanah dan lahan dari penduduk pribumi. Suku Indian sebagai yang menempatkan diri sebagai tuan rumah menyambut para pendatang dengan ramah. Mereka digambarkan sebagai orang-orang yang baik, sopan, bersahaja, dan ramah (Berkhoefer via Trimble, 1988: 182). Dengan semakin banyaknya koloni-koloni yang datang maka kebutuhan tanah dan lahan semakin besar. Melihat hal itu, strategi penguasaan tanah mulai dilakukan. Daya intelektualitas ke-Eropa-an yang sudah lebih maju tidak sebanding dengan pandangan masyarakat Indian yang ‘primitif’ dan masih mempraktekkan pola-pola tradisional. Melihat hal tersebut, orang-orang Eropa the older civilization, unpressed by social orders which had developed for the benefit of classes rather than for the simple human being of any and every class” (1931).
5
mulai memasang pancang-pancang pada tanah yang mereka kehendaki secara sepihak sebagai bukti perpindahan klaim kepemilikan (Trimble, 1988: 183). Peristiwa ini adalah awal mula penjajahan yang akhirnya melembaga, bahkan ketika para koloni itu membuat suatu tujuan bersama untuk membentuk sebuah negara ternyata hanya berpihak pada koloni tersebut. Pada saat Amerika sudah menjadi negara modern pun, yang mana mengagung-agungkan semboyan kesetaraan sebagai hak dasar manusia ternyata masih melakukan pembiaran terjadinya praktik-praktik diskriminatif terhadap masyarakat Indian. Ada banyak pendapat yang mengindikasikan diskriminasi rasial bahwa ras kulit putih merasa lebih tinggi daripada ras Indian, salah satunya dilontarkan oleh seorang pengembara Virginia bernama Samuel Purchas, ...note that Indians were more brutish than the beast they hunt, more wild and unmanly than the wild country... captivated also to Satan’s Tyranny in foolish pieties, mad impieties, wicked idleness, busie, and bloudy wickednesse (Berkhoefer via Trimble 1978:21). Pendapat ini mencerminkan realitas bahwa posisi ras Indian di Amerika tidak berada dalam posisi setara. Lebih jauh, secara institusional muncul banyak kebijakan yang sangat berpihak terhadap para penguasa baru tersebut. Trimble mengemukakan satu temuan tentang munculnya kebijakan-kebijakan mulai eksterminasi, relokasi, bahkan hingga isolasi; The informal and insidious policy of extermination was replaced with a more formalized policy of relocation ans isolation. And beginning 1830, large umbers of Indians were “forced” to leave their ancestral homes for reserved land set aside for settlement west of Mississipi. Never mind the treaties. Relocation and isolation meant that the Indian problem would be
6
out of the way for a while. And as coloialism prevailed, the minority Indians had no power, no status, and little support. (Trimble, 1988: 184). Kebijakan ‘mengusir’ sang tuan dari tanah sendiri tersebut merampas hak-hak dasar ras Indian yang dikemudian hari bermanifestasi dalam berbagai bentuk diskriminasi terhadap anak cucu mereka, di antaranya hak untuk mendapatkan pendidikan, status sosial, isolasi, dan kesempatan mendapatkan pekerjaan dan lain-lain4. The Pearl, adalah sebuah novel pendek karangan John Steinbeck. Steinbeck merupakan seorang sastrawan Amerika yang peka dalam merespon peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Hal ini terbukti dari bagaimana ia merespon terjadinya resesi sebagai akibat dari The Great Depression. Steinbeck adalah salah seorang warga Amrika Serikat yang menjadi saksi hidup atas terjadinya The Great Depression. Sebagai seorang muda yang memiliki kepekaan tinggi terhadap segala fenomena, Steinbeck terpanggil untuk menyikapi segala kegetiran yang dialaminya sebagai imbas dari kemerosotan perekonomian tersebut. Dengan menggunakan keahlian estetisnya, Steinbeck secara profesional menggunakan kesadaran individualnya menjadikan peristiwa tersebut sebagai inspirasi untuk merefleksikan kondisi Amerika dengan cara yang santun, yakni dengan menulis novel-novel. Jay Parini dalam bukunya John Steinbeck: A Biography (1995) mendeskripisikan bagaimana seorang Steinbeck menggali dan menuangkan segala ide kreatifnya untuk mewujudkan keterpanggilannya sebagai seorang warga negara menjadi pemerhati keterpurukan ekonomi di Amerika.
4
Lihat Stereotypical Images, American Indians, and Prejudice. Department of Psychology, Western Washington University, Bellingham, Washington.
7
Produktivitas Steinbeck telah menuntutnya untuk mencermati segala kejadian untuk kemudian ia jadikan modal menulis karya-karya yang hampir semua di antaranya merefleksikan Amerika, tidak hanya permasalahan ekonomi melainkan juga permasalah-permasalah sosial yang masih acap terjadi pada masa itu. Steinbeck dapat dikatakan sebagai seorang sastrawan Amerika tulen yang sangat profesional dalam menghubungkan fakta dan estetika dalam kepengarangannya. Keberadaan Steinbeck sebagai seorang pengarang, sebagaimana yang telah disinggung di atas, adalah keterlibatan personalnya dengan segala fenomena. Steinbek dilahirkan di sebuah kota kecil di California, yaitu kota Salinas. Secara geografis, Salinas terpisah dari kota-kota lain di California, dengan kata lain Salinas adalah sebuah kota kecil yang terpencil. Mata pencaharian utama penduduk yang bersumber dari pertanian dan peternakan menjadi bagian hidup dari Steinbeck. Di kota tersebut, Steinbeck mengamati bagaimana kehidupan para imigran yang hidup sebagai buruh ranch (pertanian dan peternakan) yang terbuang, sebatang kara, tidak memiliki kerabat, bahkan tidak mengenal isntitusi perikahan dan rumah tangga. Pengamatan-pengamatan tersebut kemudian memantik insting kreatifnya untuk menulis novel Of Mice and Men (1937) yang secara mendalam mengulas tentang berbagai bentuk interaksi para buruh (ranch) yang nomaden dengan tuan tanahnya, yang secara vulgar mengungkap sisi-sisi buruk kehidupan mereka dalam berinteraksi, bersosialisasi dalam upaya mempertahankan eksistensi kehidupan mereka (Parini, 14-19) Dalam interaksi individu, sebagaimana yang diceritakan oleh Parini, tekanan-tekanan mental terjadi tidak hanya dialami oleh para buruh, namun juga
8
oleh sang tuan tanah. Secara psikologis mereka mengalami keterpaksaan untuk melakukan tindakan-tindakan yang secara logika sebenarnya dipahami sebagai sesuatu yang melebihi kapasitas dan kemampuan pribadi seorang manusia. Namun, walaupun manusia selalu berusaha melakukan usaha untuk menghindari hal-hal yang membahayakan dirinya, baik dalam internal maupun eksternal dirinya, ada satu kekuatan kodrati yang tidak dapat ditolaknya, yaitu takdir. Akibat dari hal ini adalah munculnya perlawanan-perlawanan dalam internal diri mereka, sehingga akhirnya mengutamakan hasrat dan ambisi demi kepuasan batin dan lahirnya, meskipun akan ada kekecewaan dan penyesalan setelah mereka melakukannya (Parini, 1995: 54). Dalam masa kekaryaannya, Steinbeck berada dalam trend naturalisme yang sangat mendominasi segenap aliran seni di Amerika. Naturalisme sendiri merupakan sebuah aliran puncak dari gerakan sastra sebagai hasil perkembangan dari realisme yang marak dan menyolok di akhir abad ke-19 di Eropa. Hal ini terjadi karena para sastrawan tersebut dipengaruhi oleh Teori Evolusi Charles Darwin. Teori ini mengasumsikan bahwa pengaruh keturunan (hereditas) dan lingkungan (environment) memiliki kontribusi yang besar dalam perkembangan kepribadian seseorang. Sebagaimana realisme, naturalisme juga mengamini penentuan nilai substansi subyek sebagimana adanya, yakni berdasarka ‘subject’s action’. Kedua aliran ini tentu saja sangat bertentangan dengan aliran romantisme yang mengemukakan bahwa subyek akan menerima simbolisme tinggi, idealis, dan bahkan perlakuan yang supernatural yang tidak hanya membebaskan ciptaan
9
dari keterbatasan kodratnya, melainkan juga mengangkatnya ke tingkatan hidup baru yang memungkinkan mengatasi kodratnya sendiri. Karya sastra naturalisme seringkali menampilkan bahasa yang vulgar dan kasar, atau mengambil latar kondisi yang kumuh sebagai bagian penting dari cerita. Emile Zola, pencetus naturalisme dalam sastra, secara terang-terangan menggunakan pesimisme yang dipadukan dengan kejujuran (baca: vulgar) dan seksualitas secara terang-terangan untuk menceritakan keadaan dunia yang sebenarnya. Penganut naturalisme juga mengadopsi penjabaran secara detail bagaimana ketegangan-ketegangan konflik dibangun dalam suatu narasi. Walcutt (1956: 24) mengemukakan pendapat bahwa dalam naturalisme yang diterapkan pada sastra, manusia dan alam adalah (tanpa rasio) merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, sangat kompleks, sehingga tidak ada suatu cara untuk memahami makhluk-makhluk ini dalam keadaannya baik secara utuh maupun bagian-bagian, termasuk juga tidak ada cara untuk memahami dalam hubungannya dengan alam dan sekitarnya sebagai wujud materi. Naturalisme diakui sebagai cerminan dalam materialisme. Materialisme memandang bahwa hakekat yang sebenarnya itu bersifat wujud atau benda (physic). Naturalisme secara lugas menyuguhkan gambaran pemandangan alam beserta penghuninya dalam prinsip realitasnya. Dalam perkembangan dari prisnsip tersebut, kemudian lahirlah pola pengetahuan yang hanya mengakui kenyataan sebagai prinsip kebenaran hakiki, yang kemudian disebut sebagai realisme.
10
Selanjutnya Walcutt mempertegas definisi dari realisme sebagai suatu aliran yang berpendirian bahwa pengetahuan manusia itu adalah gambaran yang baik dan tepat dalam kaca pandang kebenaran pengetahuan yang baik, sehingga kebenaran dapat tergambarkan seperti yang sesungguh-sungguh keberadaannya (Walcutt, 1956: 11-6). Dalam pengertian ini, prinsip alam mewakili eksistensi kebendaan yang dapat dikenali secara alamiah oleh daya tangkap yang melekat pada kemampuan pancaindera manusia. Dalam genre sastra, muatan fenomena lingkungan alam yang menjadi latar ditampilkan dengan penuh rasa estetika oleh manusia (pshyce) yang memuja keberadaannya. Semua pengertian akan dikorelasikan denga realitas yang ada dalam rangka memberikan penghargaan terhadap alam yang dianggap memiliki kontribusi besar dalam kehidupan transendetal manusia. Hal ini menjelaskan pola bahwa manusia tidak akan pernah lepas dari problematika yang disebabkan oleh alam, meskipun manusia juga memiliki kemampuan dan kekuatan untuk mempertahankan, mengatasi alam. Satu yang tidak dapat dilakukan oleh manusia adalah mengendalikan alam. Keterbatasan kapasitas manusia karena ketidakabadian (immortality) jasmani yang melingkupinya kadang menimbulkan unsur skeptis terhadap apa yang membahagiakan dan indah dalam hidup karena ketidakmampuan mewujudkannya, yakni naturalisme (Walcutt, 1956:11- 6) Materialisme dikatakan sebagai suatu hasil alami dari pengingkaran terhadap roh manusia yang sadar. Hal ini memperjelas bahwa fakta dalam jagat fisik dalam kesejarahan manusia secara mutlak bergantung dan dikendalikan oleh
11
hal-hal yang bersifat fisik dan memiliki relasi dengan hal-hal eksternal/sosial. Locke beranggapan bahwa budi manusia adalah “tabula rasa” yang tidak memiliki hakekat keberadaannya sendiri. Hal tersebut kemudian berfungsi sebagai bahan baku bagu kekuatan-kekuatan ekonomi dan sosial yang tentu saja dapat dibentuk dan direkayasa. Darwin, Marx, Santayana, Watson, Huxley, Gould, Dawkins, dll menegaskan bahwa manusia ditentukan oleh lingkungannya yang kemudian menjadi faktor-faktor kuat di luar kontrol kesadarannya. Semua ini sangat bertentangan dengan pandangan yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang bertanggungjawab, yang mana pertanggungjawabannya akan dilakukan di hadapan Tuhan (Li, 1996: 44). Penulis yang menganut aliran naturalisme biasanya menekankan prinsip alamiah, yaitu pemikiran yang dipengaruhi oleh ideologi darwinian untuk menunjukkan asal mula manusia. Dalam Darwin dikatakan bahwa manusia adalah puncak pencapaian metamorfose binatang yang dihasilkan dari interaksinya dengan alam. Primata, nenek moyang manusia (menurut Darwin), memiliki insting mempertahankan hidup (survival) dengan melakukan adaptasi terhadap lingkungan di mana ia berada. Primata tersebut selanjutnya mengalami tahap perkembangan perilaku yang tidak hanya mampu bertahan hidup, namun juga mengelola dan bahkan mengendalikan hidupnya. Inilah yang kemudian oleh Darwin disebut sebagai manusia. Para naturalis, selanjutnya, juga menyikapi sisi kehidupan yang lain, misalkan kekacauan, kebingungan, ketidakberdayaan, dan hal-hal yang buruk dalam hidup dengan memberikan gambaran-bambaran nyata kodrati manusia. Mereka memandang manusia sebagai makhluk yang dapat
12
dikontrol dan didominasi oleh faktor-faktor eksternal, sehingga akhirnya mudah jatuh ke jurang kenistaan dan mustahil untuk bertobat atau memperbaiki diri. Hal yang demikian seringkali memposisikan manusia sebagai makhluk yang skeptis. Kisah-kisah yang diulas para naturalis tersebut memperlihatkan bahwa manusia semakin jauh dari cita-cita mulia karena keterbatasan dan kelemahannya (Mitchell: 25-35). Dengan demikian dapat dipahami bahwa naturalisme merupakan suatu aliran yang di dalamnya meragukan atau bahkan pesimis kemampuan manusia untuk melakukan perlawanan terhadap apa yang terjadi pada dirinya. Ketidakberdayaan dan keputusasaan adalah sesuatu yang akan terjadi dalam kehidupan manusia. Pandangan tersebut memiliki pengaruh yang besar dalam kekaryaan Steinbeck. Cerita-cerita yang diangkat selalu menggambarkan kenyataan yang sesungguhnya kondisi masyarakat Amerika pasca The Great Depression. Rekaman-rekaman peristiwa yang ia alami dikomunikasikan ke dalam kisah-kisah dengan kedalaman pemaknaan yang sukses menasbihkan dia sebagai salah seorang sastrawan naturalis terkemuka di Amerika. The Pearl adalah salah satu karya Stinbeck yang inspirasinya diambil dari sebuah dongeng rakyat di California yang didengarnya semasa kecil. Novel The Pearl menceritakan problematika hidup nelayan pencari mutiara Indian miskin bernama Kino. Kino memahami konsep hidup bersama alam sebagaimana yang dipegang oleh leluhur Indian. Permasalahan dimulai ketika anak Kino, Coyotito, tersengat kalajengking dan terancam tewas. Kino berusaha mencari pertolongan
13
kepada seorang dokter dari ras kulit putih. Stereotipikal masyarakat Indian yang diwakili oleh Kino membawanya pada serangkaian peristiwa diskriminatif. Kino yang putus asa berharap menemukan mutiara (sebagai upaya satu-satunya) dan menjualnya untuk mendapatkan uang supaya anaknya mendapatkan pengobatan. Tidak disangka, Kino menemukan mutiara dengan ukuran yang sangat besar, The Pearl of The Ocean”, yang kemudian menjadi harapan terbesarnya untuk melepaskan diri dari ketertindasan dan diskriminasi tersebut. Dari kilasan singkat tentang isi novel tersebut, The Pearl merupakan karya yang ‘tidak biasa’ dari karya-karya Steinbeck sebelumnya. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, Steinbeck adalah seorang sastrawan naturalis Amerika yang terkemuka. Apabila disandingkan dengan novel-novelnya yang lain, penggunaan kata pearl atau mutiara jelas berbeda dengan tulisan-tulisan Steinbeck yang sebelumnya yang lebih identik dengan penggunaan sisi negatif manusia sebagai cerminan aturalisme. In Dubious Battle misalkan, Steinbeck menceritakan perjuangan seorang Jim dalam mengorganisasi dan menggerakkan pemogokan para pemetik apel di California sebagai protes atas pemotongan upah dan buruknya jaminan kesejahteraan bagi kaum buruh tersebut. Hingga kematian Jim, penindasan dari sang majikan terhadap kaum buruh ini masih tetap berlangsung. Dalam The Grape of Wrath mengisahkan tentang perjalanan Tom Joad setelah keluar dari penjara, keluarganya telah pergi karena mereka tidak mampu membayar hutang kepada bank. Tom Joad akhirnya memutuskan untuk mencari tempat tinggal yang baru. Namun, di tempat baru tersebut ia menemukan
14
kenyataan bahwa kehidupan yang lebih baik sebagaimana harapannya malah menjelaskan kengerian-kengerian. Tempat baru tersebut sudah dipenuhi oleh pekerja migran. Kelangkaan makanan dan lowongan kerja menimbulkan konflik permusuhan antara penduduk lokal dan pendatang. Novel ini bahkan pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Amarah5. Dalam Of Mice and Men, karakter dua tokoh yang sangat kontras antara George Milton yang berperawakan kecil memiliki kecerdasan luar biasa dan Lennie Small yang tinggi besar namun berpemikiran selayaknya anak kecil, diramu menjadi sebuah cerita perjalanan mencari kebahagiaan yang juga tidak memiliki akhir yang happy ending. Novel ini juga menceritakan sisi-sisi kebinatangan yang sebenarnya menjadi bagian alamiah manusia. Berbeda dengan novel-novel tersebut, Steinbeck menggunakan pearl atau mutiara sebagai judul yang memungkinkannya menjadi penanda utama. Sebagaimana diketahui, mutiara adalah benda yang dapat diartikan sebagai simbol kemewahan atau kesejahteraan. Kepemilikan mutiara melekat pada orang-orang yang berkelimpahan materi dan bergelimangan harta. Adalah menarik untuk meneliti novel ini mengingat bukan ciri Steinbeck untuk menggunakan metafor yang berkaitan atau identik sesuatu yang bersifat materi. Dengan demikian, penelitian ini dimungkinkan dapat melihat lebih jauh kesetiaan Steinbeck terhadap aliran naturalisme yang sudah melekat dalam dirinya.
5
The Grape of Wrath diterjemahkan oleh Sapardi Djoko Damono ke dalam Bahasa Indonesia oleh Sapardi Djoko Damono menjadi dua buku berjudul Amarah 1 dan Amarah 2. Terjemahan ini diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia tahun 1999.
15
1.2 Rumusan Masalah Berdasar pada penjelasan pada latar belakang, novel The Pearl tidak selesai sebagai teks estetis yang hanya merepresentasikan pengalaman-pengalaman estetis imajinatif, namun juga merupakan wujud komunikasi pengarang melalui tanda. Keberbedaan The Pearl dengan novel-novel Steinveck sebelumnya menarik untuk dikaji dan diteliti. Dengan menggunakan latar peristiwa tegaangan konflik antara ras Indian dan kulit putih pada novel The Pearl, pernyataan penelitian yang akan dikaji adalah sebagai berikut: 1. Makna tanda-tanda diskriminasi dalam novel The Pearl sebagai refleksi dari naturalisme. 2. Posisi novel The Pearl dalam naturalisme di Amerika
1.3 Tujuan penelitian Setiap penelitian ilmiah diharapkan mampu membawa perubahan, setidaknya pengetahuan baru sebagai capaian. Penelitian ini menempatkan karya sastra sebagai obyek yang dapat diteliti secara ilmiah dan metodologis. Oleh karena itu penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu tujuan praktis dan tujuan teoretis. Tujuan teoretis penelitian ini adalah untuk memahami terapan keilmuan teori semiotika Umberto Eco terhadap karya sastra. Teori ini dipilih dengan pertimbangan sebagai alat yang paling tepat untuk menelaah kedalaman obyek material, yaitu Novel The Pearl. Adapun tujuan praktis dari penelitian ini adalah memberikan pengayaan pemahaman bahwa novel The Pearl sebagai produk
16
estetis ternyata juga mampu memediasi komunikasi pengarang dan pembaca sehingga berkaitan dengan pesan yang terkandung di dalamnya.
1.4 Tinjauan Pustaka Sebuah penelitian seharusnya dilakukan setelah melakukan pembacaan terhadap penelitian-penelitian sebelumnya yang berkaitan, baik secara formal maupun material. John Ernst Steinbeck adalah seorang penulis besar Amerika yang karyanya memiliki kedalaman dalam menangkap fenomena-fenomena dalam masyarakat. Oleh karena itu, karyanya sangat diminati oleh berbagai kalangan dengan beragam penelitian. Sejauh pembacaan yang dapat dijangkau, ada beberapa penelitian yang telah dilakukan terhadap novel The Pearl karya John Steinbeck. Tesis berjudul “Men and Wealth In John Steinbeck’s Tortilla Flat And The Pearl” yang ditulis oleh Uus Martinus Kamajaya Al Katuuk (UGM 1991) melakukan perbandingan terhadap dua novel Steinbeck sebagaimana tercantum dalam judul penelitiannya. Penelitian ini berfokus pada pencarian keterhubungan ide Steinbeck dengan kedua karya tersebut. Dengan menelusuri latar belakang kesejarahan Steinbeck, Katuuk menganalisis narasi kedua novel tersebut menggunakan dua teori dasar penelitian sastra yang dikemukakan oleh Abrams dalam bukunya Glossary of Literary Terms, yakni sociological approach dan psychological approach. Dalam kesimpulannya, Katuuk menguraikan temuan tentang kematian tokoh Dany dalam Tortilla Flat sebagai sebuah keputusasaan tokoh Danny yang secara mental tidak berterima dengan perubahan kondisinya
17
dari miskin menjadi kaya. Ia mengatakan bahwa kekayaan tersebut telah memenjarakan kebebasan Danny, “wealth makes him lose his freedom” (Katuuk: 1991). Dalam The Pearl, Katuuk menyimpulkan bahwa kekayaan memiliki kekuatan. Penelitiannya terhadap perilaku tokoh dalam novel tersebut menemukan bahwa kekayaan memiliki kaitan dengan apapun yang bersifat materi, bahwa kekayaan mampu menjadi racun dalam kehidupan siapapun. Dari kedua perbandingan tersebut, Katuuk bersepakat bahwa hero dalam novel Steinbeck digambarkan menjadi korban dari antagonisme yang ternyata berkuasa lebih dominan. Penelitian kedua terhadap novel The Pearl dilakukan oleh Anna Sriastuti (UNDIP, dengan judul Pemaknaan Mutiara Dalam Novel The Pearl Karya John Steinbeck: Sebuah Pendekatan Semiotika. Dalam penlitian ini, Sriastuti menggunakan konsep semiotika dan sosiologi sastra untuk menemukan keterhubungan mutiara dengan perubahan sosial masyarakat dalam novel tersebut. Dalam kesimpulannya Sriastuti mengatakan bahwa mutiara tersebut menjadi awal dari semua konflik yang terjadi dalam novel The Pearl. Temuan ketiga adalah skripsi yang ditulis oleh Rahmi Mona Putri (Unand, 2008) yang berjudul Commodification By Bourgeeoisie as Seen In John Steinbeck’s The Pearl: A Marxist Study. Penulis dalam penelitian ini membedah tentang sejenis aksi dalam bidang ekonomi yang dalam kajian Marxisme dikenal dengan istilah komodifikasi yang merupakan salah satu dampak dari sistem kapitalisme di Meksiko pada tahun 1930an. Tahun 1930 masih dipengaruhi oleh
18
periode realisme di mana para penulis lebih cenderung terbuka dan blak-blakan dalam merefleksikan keadaan dan situasi yang sebenarnya kedalam karya sastra, salah satunya di bidang ekonomi. Dalam hal ini, penulis lebih memfokuskan analisa dalam sudut pandang Marxisme dengan membahas komodifikasi (tindakan menilai suatu barang bahkan manusia berdasarkan nilai tukar yang dimilikinya) yang dilakukan oleh kaum borjuis terhadap kaum proletar (pekerja) yang terefleksi di dalam novel The Pearl karya John Steinbeck. Penulis menggunakan metode kepustakaan dengan mengumpulkan informasi dan data dari berbagai buku dan jurnal. Analisa penulisan tesis ini menggunakan metode kualitatif yang diuraikan secara deskriptif. Dalam menganalisa dampak kapitalisme di dalam novel, penulis menggunakan pendekatan kritik sastra Marxisme dengan memakai terminologi komodifikasi. Akhirnya penulis menemukan adanya hal-hal terselubung dibalik proses komodifikasi yang memberikan dampak negatif terhadap kaum proletar, dalam hal ini masyarakat Indian. Hal-hal tersebut adalah determinasi ekonomi dan ideologi kapitalis . Kedua hal ini memacu tindakan komodifikasi dan menyebabkan adanya pemujaan terhadap komoditi secara berlebihan. Selain itu, kaum proletar sebagai kaum tertindas sebagaimana yang terefleksikan di dalam novel hanya bisa menyerah pada keaadaan ketidakadilan dalam masyarakat yang mereka alami di bawah kekuasaan kaum borjuis. Penelitian berikutnya adalah skripsi tentang analisis tokoh dalam novelnovel karya Steinbeck oleh Zita A. Iswarini W (UI) berjudul Penokohan dalam novel 'The Grapes of wrath', 'Of mice and men', dan 'The Pearl' menunjang Steinbeck dalam mengeritik masyarakat Amerika tahun 1920-an dan 1930-an.
19
Skripsi ini menunjukkan bahwa Steinbeck menggunakan tokoh-tokoh dengan penokohan-penokohan tertentu untuk mengkritik masyarakat Amerika tahun 1920-an dan 1930-an. Tiga buah novel dari sejumlah novel Steinbeck yang dipilih sebagai data adalah The Grapes of Wrath, Of Mice and Men, dan The Pearl. Analisis dilakukan dengan menggunakan pendekatan intrinsik dengan meneliti unsur tokoh dan pendekatan ekstrinsikdengan pendekatan sosiologis. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa tokoh-tokoh yang terdapat dalam ketiga novel tersebut di atas selain digunakan untuk menyampaikan kritik Steinbeck terhadap masyarakat Amerika tahun 1920-an dan 1930-an juga merupakan perwujudan dari masyarakat Amerika saat itu. Temuan berikutnya adalah artikel dalam sebuah jurnal online berjudul A Portrayal Of Functions Of “Have” In John Steinbeck’s Novel “The Pearl”6. Artikel ini membahas fungsi “Have” yang bertujuan untuk mengklasifikasi jenisjenis fungsi penggunaan “Have” dalam pembentukan kalimat pada novel tersebut, seperti Full verb, Auxiliary verb, Causative verb, Special usage yang mencakup Inversion, noun, idiom, dll. Penelitian ini kemudian menjelaskan cara memahami arti dari kata “Have” yang memiliki lebih dari satu arti misalnya mempunyai atau memiliki, jika, sudah, harus, meminta atau menyuruh, melahirkan, sakit atau menderita, dan makan. Penulis mengoptimalkan penelusuran internet dan
6
(A Portrayal Of Functions Of “Have” In John Steinbeck’s Novel “The Pearl” research Gate. Available from: http://www.researchgate.net/publication/42354880 A Portrayal Of Functions Of Have In John Steinbecks Novel The Pearl [diakses pada tanggal 8 Agustus 2015].)
20
pencarian data-data dari perpustakaan untuk mendapatkan informasi seputar pembahasan tersebut. Tulisan dalam sebuah jurnal internasional berjudul Steinbeck’s The Pearl as Marxist Critique of Capitalism (International Journal of Humanities and Social Science Vol. 2 No. 4 [Special Issue - February 2012] merupakan tinjauan pustaka selanjutnya. Dalam jurnal ini dikatakan bahwa sejak awal penciptaan hingga berakhirnya dunia, manusia telah dibagi dalam kelas-kelas yang berbeda. Perkembangan intelektualitas adalah cerminan jaman pada saat mereka hidup, meskipun dapat dianggapkan bahwa akan selalu ada dua dikotomi, yakni optimis dan pesimis. Pada kenyataannya, meskipun ada dua hal ini manusia harus bersepakat dan mengakui bahwa mereka akan membangun suatu peradaban tertentu bersama-sama. Lebih lanjut dikatakan bahwa pada peradaban jaman batu, konflik kelas sudah mulai muncul melalui perbedaan ketersediaan puing batuan yang akan disusun menjadi rumah tinggal. Yang berkuasa akan mendapatkan puing atau runtuhan batu yang lebih bagus daripada yang tersubordinasi. Hal ini melahirkan konflik kelas. Pola ini selanjutnya diarahkan ke dalam terma yang lebih mutakhir dengan pernyataan bahwa dunia kapitalis tidak memberikan nilai apapun kecuali harta. Perbedaan posisi karena tidak dapat menempati lahan yang sama, mengalami persoalan yang berbeda mengarahkan adanya pola-pola kapitalis meskipun masih sangat tradisional dan tidak terukur. Novel The Pearl karangan John Steinbeck selanjutnya dikatakan sebagai kritik terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat kecil La Paz yang terletak di ujung Semenanjung Baja. Seluruh cerita dari novel ini menjelaskan perbedaan
21
antara si kaya dan si miskin. Secara singkat digambarkan kenyataan bagaimana sekelompok kecil masyarakat kapitalis (kaya) melakukan kontrol dan eksploitasi masyarakat miskin dengan menerapkan sistem kapitalisme sosial, bahwa semuanya bisa dinegosiasikan jika ada materi. Dengan menyandingkan kedua kelas yang berbeda tersebut, ciri utama konflik kelas adalah ciri utama dari kapitalisme. Lebih lanjut dikatakan bahwa Marxisme lahir sebagai penjembatan ketidakseimbangan kelas dalam masyarakat tersebut. Dalam kesimpulannya, The Pearl adalah novel Steinbeck kritik kapitalisme Marxis. Steinbeck yang pernah meraih penghargaan nobel sastra menjajarkan dua kelas kontrastif, kapitalis dan proletar dalam novel tersebut di mana kaum kapitalis menggunakan kuasa materialnya untuk mengeksploitasi si miskin; pertama kaum miskin tidak sadar kalau mereka dieksploitasi, kedua pola itu diterima sebagai sesuatu yang lumrah dan mentradisi, ketiga kemiskinan membuat mereka berada dalam ketidakberdayaan. Dalam kesimpulan paling akhir, dijelaskan bahwa pertentangan ini akan bermuara pada dua pilihan; ekploitasi akan terhenti sebagai sebuah keberhasilan dan masyarakat miskin akan lenyap atau hilang sebagai bentuk kegagalan. Selain temuan penelitian terhadap novel The Pearl, berikut akan dipaparkan penelitian-penelitian yang dilakukan dengaan menggunakan objek formal semiotika Umberto Eco.
Temuan pertama adalah tesis berjudul Film
Musikal Generasi Biru: sebuah Tinjauan Semiotika Umberto Eco oleh Raras (UGM, 2010). Penelitian ini membahasa wujud tanda-tanda, makna tanda, dan pesan dalam film Generasi Biru. Penelitian ini menguraikan temuan tanda-tanda
22
yang berwujud tulisan-tulisan, ilustrasi musik, dan segala perilaku berupa olah tubuh.
Dalam kesimpulannya Raras mengungkapkan makna film ini sebagai
harapan-harapan masyarakat Indonesia untuk keluar dari keterpurukan, sementara pesannya adalah bahwa film Generasi Biru adalah pesan penyemangat dan pesan moral. Penelitian kedua adalah “Iluminasi Naskah Melalui Karya M. Bakir Koleksi PNRI: Tinjauan Semiotika Umberto Eco” oleh Chalida Nuraulia Aisyanarni (UGM 2013). Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana ragam iluminasi, dan makna motif iluminasi dalam naskah koleksi M. Bakir tersebut. Untuk menjawab permasalahnnya, Aisyanarni menempatkan semiotika Umberto Eco untuk mengungkap makna motif dalam iluminasi naskah tersebut yang (menurutnya) non-verbal. Dalam kesimpulannya, ia menjelaskan ringkasan dari makna-makna motif tersebut dalam ranah filologis. Penelitian ketiga adalah Makna Beragam Tanda dalam “The Great Gastby” Karya F. Scott Fitzgerald: Kajian Semotika Umberto Eco oleh Maria Vincentia Eka Mulatsih (UGM, 2013). Penelitian ini berfokus pada analisis tandatanda konsumerisme dalam novel The Great Gatsby. Mulatsih menggambarkan dampak indistrialisasi di Amerika telah menyebabkan meknanisasi efisiensi guna mengurangi biaya produksi. Pekerja dikurangi dan jam kerja ditaambah sehingga ada dari mereka yang kehilaangaan pekerjaan dan ada pula yang mendapatkan bayaran yang lebih. Masalah ini kemudian menimbulkan surplus produksi sehingga perusahaan melakukan sistem pengiklanan secara luas dan menerapkan sistem bayar kredit. Hal ini memicu terjadinya konsumsi secara masal.
23
Pola konsumsi ini memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pola hidup masyarakat Amerika kala itu, mereka menjadi boros dan sangat konsumeris. Mencermati struktur novel The Great Gatsby, Mulatsih menyimpulkan bahwa konsumerisme yang ada dalam novel tersebut memiliki makna lain yang tidak hanya dimaknai secara permukaan semata, akan tetapi mencerminkan sikap Fitzgerald dalam mengkritisi pola konsumerisme yang seolah menjadi ideologi di negaranya, yakni Amerika. Penelitian selanjutnya adalah kajian filologis terhadap sebuah ritual dengan judul “Makna Tradisi Ritual Dhammong: Sebuah Tinjauan makna Berdasarkan Konsep Semiotika Umberto Eco”. Dalam penelitian ini, ritual Dhammong (sebuah upacara adat Madura) diposisikan sebagai satu bentuk yang terdiri dari persenyawaan tanda-tanda yang memiliki keterikatan makna. Nurhasannah berpendapat bahwa ketika diposisikan sebagai entitas tunggal, ritual ini memiliki eksistensi dalam unit kulturalnya. Di akhir penelitiannya, Ritual Dhammong dipilah menjadi tiga tahap pemaknaan berdasarkan bentuk, yaitu: teks, gerakan, dan sesajen. Dari beragam tinjauan di atas, jelas diketahui bahwa kajian ini berbeda dengan kajian-kajian yang telah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini membahas keragaman tanda dalam novel The Pearl sebagai alat komunikasi berdasarkan kerangka semiotika Umberto Eco.
24
1.5 Landasan Teori: Semiotika Umberto Eco Dengan menempatkan bahwa bidang kajian semiotika meliputi segala sesuatu yang dapat dipandang sebagai tanda (Eco, 1976: 7), maka novel adalah salah satu hasil pemikiran dalam suatu kebudayaan tertentu yang dapat diteliti sebagai obyek semiotika. Eco menjelaskan bahwa tanda adalah segala sesuatu yang dapat dipakai secara signifikan sebagai pengganti sesuatu yang lain (1976: 7). Hal pokok yang dikaji dalam semiotika adalah proses kultural sebagai proses komunikasi yang berlandaskan sistem signifikansi (Eco, 76:8). Lebih lanjut, proses komunikasi adalah perpindahan sebuah sinyal dari sumber ke tujuan. Ketika tujuan tersebut adalah manusia sebagai penerima yang merangsang respon interpretatif dalam diri manusia tersebut, terjadilah proses signifikansi (Eco, 1976:8). Dari penjelasan di atas, karya satra menjadi media komunikasi antara pengarang dengan pembaca melalui kalimat-kalimat yang digunakan dalam narasinya. Dalam proses pemaknaannya, pembaca melakukan proses signifikasi dengan menangkap frasa atau kata sebagai suatu kode. Kode menurut Eco adalah seperangkat aturan atau konvensi (kesepakatan) bersama yang di dalamnya tandatanda
dapat
dikombinasikan,
sehingga
memungkinkan
pesan
dapat
dikomunikasikan dari seseorang kepada yang lain (Eco, 1979). Semiotika signifikansi tidak terikat dengan semiotika komunikasi, dan sebaliknya semiotika komunikasi tidak mungkin lahir jika tidak ada semiotika signifikansi (Eco, 1979: 70). Dalam hal ini Steinbeck mengkomunikasikan maksudnya melalui kata-kata
25
dan kalimat-kalimat yang harus diperlakukan sebagai kode untuk diinterpretasi dengan melakukan proses signifikansi. Eco menjelaskan tentang kode dengan menggunakan simulasi tanda bahaya dalam air di waduk. Dengan menempatkan suatu sensor tertentu di waduk, ketika air mencapai level bahaya maka sensor tersebut berfungsi sebagai alat pengirim sinyal informasi yang kemudian diterima oleh suatu alat tertentu yang akan mengubahnya menjadi elemen-elemen berbentuk garis dan kemudian bermakna pesan bagi sang penerima. Di sini waduk berfungsi sebagai sumber informasi. Dalam proses pengiriman pesan dari sumber ke penerima/tujuan, serangkaian proses yang dimulai dari pengirim hingga tujuan disebut sebagai kode. Lebih lanjut Eco mengatakan bahwa ketika sebuah kode membagi elemenelemen sistem penyampaiannya menjadi elemen-elemen sistem yang ia sampaikan, yang pertama akan menjadi ekspresi dari yang kedua dan yang kedua akan menjadi isi yang pertama: A
B
Ekspresi
Isi
Ketika sebuah ekspresi dikaitkan dengan sebuah sebuah isi, maka lahirlah apa yang disebut sebagai fungsi tanda. Dengan demikian isi tidak akan ada jika tidak ada sesuatu yang mewakilinya, yaitu ekspresi. Secara spesifik Hjemselv mengatakan bahwa tanda digunakan sebagai nama unik yang terdiri dari bentukisi (content-form) dan bentuk ekspresi (form-expression) dan terbentuk kesalingterkaitan yang dapat disebut sebagai fungsi tanda (Eco, 1976: 70).
26
Dengan masih menggunakan model pintu air, Eco menjelaskan bahwa penelitian harus memiliki batasan pengamatan yakni pengamatan internal. Hal ini dimaksudkan bahwa sang peneriman harus memiliki pengetahuan yang tepat sehingga pemahaman tentang kode tidak berubah. Tawaran telaah tanda-tanda yang digunakan adalah dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. Kontinum (rangkaian) kemungkinan-kemungkinan fisik sebagai bahan baku yang menjadi sumber berbagai elemen yang dapat digunakan sebagai alat ekpresif b. Sarana-sarana ekspresif berupa token-token yang merepresentasikan a. c. Suatu sistem posisi-posisi kosong, suatu struktur yang menjadi dasar bagi token utuk memperoleh sifat posisional dan oposisionalnya d. Token dan posisi-posisi/struktur kosong tersebut dipilih sebagai bidang ekspresif dari suatu bidang isi Dalam model ini, kondisi faktual Amerika menjadi sumber informasi yang kemudian dipilah-pilah informasinya yang bersesuaian dengan fakta-fakta yang muncul dalam novel The Pearl sebagai kemungkinan poin a) atau poin b). Dengan demikian, maka (a) sebuah kode membentuk korelasi antara suatu bidang ekspresif (dalam aspek yang formal dan sistematis) dan suatu bidang isi (b) suatu fungsi tanda mengkorelasikan elemen abstrak dengan sistem ekspresi dan elemen abstrak sistem isi (c) dengan cara ini, suatu kode membentuk tipe-tipe umum, dan oleh karena itu, memproduksi kaidah yang melahirkan token-token konkret, yaitu tanda-tanda seperti yang biasanya muncul dalam proses komunikasi
27
(d) kedua kontinum tersebut merepresentasikan elemen-elemen yang mendahului korelasi semiotik (eco, 67:178). Dengan menandai bahwa suatu kode tertentu menjadi titik tolak ranah interpretasi signifikansi, transformasi penandaan dalam model transmisi kode pada pola pintu air tadi, suatu signifikansi muncul dari signifikansi sebelumnya, yakni dari A menjadi A’ meskipun masih tetap bersandar pada A. Dalam hal ini terjadilah apa yang dinamakan sebagau keterangkatan kode yang oleh Hjemselv disebut sebagai semiotika konotatif (Eco, 1979: 79). Semiotika konotatif akan ada manakala ada semiotika yang bidang ekspresifnya adalah semiotika yang lain. Yang membentuk sebuah konotasi adalah kode konotatif yang mendasarinya; sedangkan ciri kode konotatif adalah fakta bahwa signifikansi kedua dan seterusnya secara konvensional bersandar pada signifikansi pertama. Dengan demikian, konotasi bukanlah sesuatu yang menyimpang atau tak berdasar sama sekali, melainkan ia merujuk pada signifikansi pertama, yakni makna denotatifnya. (79) Secara tegas Eco mengatakan adanya tingkatan pemaknaan denotasi maupun konotasi; The difference between denotation and connotation is not (as many authors maintain) the difference between ‘univocal’ and ‘vague’ signification, or between ‘referential’ and ‘emotional’ communication,and so on. What constitutes a connotation as such is the connotative code which establishes it; characteristic of a connotative code is the fact that the further signification conventionally relies on a primary one (Eco, 1976: 55). Dengan demikian dapat dipahami bahwa yang membentuk konotasi adalah kode konotasinya. Ciri kode konotatif adalah bahwa signifikansi kedua dan
28
seterusnya secara konvensional bersandar pada signifikansi pertama. Jelas bahwa menurut Eco konotasi bukanlah sesuatu yang kabur, namun berlandaskan signifikansi pertama atau makna denotatif. Lebih lanjut Eco menjabarkan denotasi-konotasi sebagai berikut; a. Sebuah denotasi adalah sebuah unit kultural atau properti semantis dari ebuah sememe yang pada saat bersamaan juga merupakan properti dari referen-referen yang sudah dikenali secara kultural; b. Sebuah konotasi adalah unit kultural atau properti semantis dari sebuah sememe yang disampaikan oleh denotasinya dan belum tentu berkorespondensi dengan referennya yang dikenali secara kultural. Berdasarkan
pembacaan
tersebut,
pemaknaan
atau
signifikansi
pertama/denotasi wajib dilakukan unutk menemukan pemaknaan selanjutnya, yakni konotasi. Berkaitan dengan posisi kode sebagai dasar untuk melakukan proses signifikansi, pluralitas kode dapat bekerja secara vertikal dan horizontal. Horizontal adalah ketika penerima mendekode keseluruhan ungkapan dengan merujuk pada suatu kode, dan kemudian mendekode paruh kedua ungkapan tersebut pada kode lain. Vertikal adalah ketika adanya penambahan sejumlah level signifikansi pada kode pertama yang menjadi dasar (Eco, 1976: 57-58). Ada empat fenomena dalam kode tersebut yakni; a. Sistem sintaksis: sekumpulan sinyal yang diatur oleh hukum kombinasi internalnya sendiri b. Sistem semantik; serangkaian pengertian (notions) atau isi, c. Serangkaian respon-respon behavioral yang mungkin di pihak tujuan.
29
d. Sistem kaidah penggabungan beberapa item di sistem a) dengan beberapa item di sistem b) atau c) (Eco, 1976:36-37) Pemaknaan denotatif terkait isi dilakukan secara internal dengan kondisi faktual sebagai sumber informasi yang bersesuaian dengan tanda-tanda dalam novel The Pearl yang merupakan aplikasi dari poin a) dan poin b). Sitem kode tersusun dari serangkaian elemen terbatas yang disusun secara berlawanan dan dibentuk berdasarkan kaidah kombinasional yang dapat melahirkan rangkaianrangkaian elemen ini secara terbatas maupun tidak terbatas. Dalam disiplindisiplin ilmu sosial, sistem tersebut nyaris selalu dianggap atau dipakai dalam rangka menunjukkan bagaimana satu sistem dapat memberitahukan seluruh atau sebagian sistem lain yang setipe dengannya yang hingga pada titik terakhir berkaitan dengan yang pertama dan sebaliknya, membentuk salah satu ranah fungsi korelasional) disebut kode (Eco, 1976: 36-37). Denotasi adalah dasar dari sebuah wahana-tanda yang dapat dipahami sebagaimana yang dimaksudkan pengirim. Namun konotasi-konotasi yang berbeda-beda dapat dilekatkan pada wahana-tanda itu karena si penerima mengikuti jalan lain di pohon komposisional yang dirujuk si pengirim (Eco, 76:139). Informasi pesan ini hanya direduksi oleh si penerima ketika dia sudah memilih suatu intrepretasi tertentu (Eco, 76:139). Jika keadaan membantu peneliti untuk memilih subkode-subkode mana yang dapat digunakan untuk menjernihkan pesan, ini berarti bahwa peneliti dapat mengubah isi pesan tersebut dengan bertindak dalam keadaan tempat di mana pesan tersebut dapat diterima.
30
Eco mengungkapkan bahwa denotasi menjelaskan hubungan ekspresi dan isi bersifat langsung, mengacu pada realitas. Sementara itu konotasi menjelaskan hubungan antara ekspresi dan isi yang bermakna tidak langsung, bersandar pada signifikansi pertama. Eco (1976: 70) mengasumsikan bahwa setiap denotasi sebuah wahana-tanda (unit semantis yang ditempatkan di sebuah ruang tertentu dalam sebuah sistem semantik) sudah pasti merupakan interpretannya, suatu konotasi adalah interpretan denotasi yang mendasarinya, dan konotasi selanjutnya adalah interpretan konotasi yang mendasarinya pula. Ilustrasi penjelasan tersebut adalah sebagai berikut; kata /mawar/ interpretan pertamanya adalah ‘bunga mawar’. Interpretan /mawar/ adalah denotasi berupa definisi ilmiah, yaitu ‘tanaman perdu beraneka ragam berwarna warni, seperti merah, putih, merah jambu, merah tua, dan lain-lain’. Selanjutnya makna konotasi definisi itu adalah ‘indah’, yang dapat memunculkan makna konotasi berikutnya misalnya ‘cinta’. Makna yang terakhir tersebut dibatasi oleh konteks budaya masyarakat bahwa mawar identik dengan keindahan dan pengungkapan perasaan cinta. Hubungan komunikatif, dalam hal ini novel, lebih mengarah pada pesan estetis yang disampaikan pengarang sebagai proses pengkodean bahwa kode estetis merupakan hasil dari kode konvensional dan pesan inovatif. Pesan baru dapat menciptakan kode estteis yang baru dan dapat menegasikan kode umum yang telah ada. Suatu karya dapat melengkapi dan mentransformasi kode: Eco describes the aesthetic code as the resut of a dialectics between the (conventional) code and the innovative message (1968: 162-166). By their innovative character, aesthetic messages infringe the rules of their genre and thus negate the code. But at the same time, the new messaeg creates a
31
new aesthetic code: “Every work [of art] upsets the code but at the same time strengthens it, too: [...] by violating it, the work comletes and transforms the code” (ibid.:163) (Noth, 90:427). Mengenai teks estetis sebagai tindak berkomunikasi, Eco menyebutkan bahwa membaca sebuah produk artistik berarti: (i) menginduksi, yaitu menarik kaidah umum dari kasus-kasus individual; sekaligus mengabduksi (ii), yaitu mengecek kode yang lama dan yang baru menggunakan hipotesis; sekaligus berarti (iii) mendeduksi, yaitu mengecek apakah yang telah diketahui pada satu level dapat menentukan peristiwa artistik lain di level yang lain. Maka di seluruh bentuk inferensi ini bekerja serentak (Eco, 76:275). Pemahaman teks estetis guna menguak tanda lebih jauh dijabarkan oleh Eco bahwa pemahaman tersebut didasarkan pada dialektika antara penerimaan dan pengingkaran kode-kode pengirim di satu sisi dan pengenalan penolakan atas kode-kode personal di lain sisi (76:275). Hal ini memungkinkan terjadinya tegangan sebagai proses negosiasi makna antara pengarang dengan pembaca berdasarkan pengetahuan personalnya. Mesipun begitu, ada satu landasan konvensi yang sama sehingga meskipun terjadi perbedaan, interpretasi pembaca meskipun berbeda bukan berarti melawan maksud pengarang sepenuhnya. Penerima mencoba mengira-ngira dengan data-data estetisnya (yang mungkin sama
dengan
yang
dimiliki
pengarang)
sehingga
ia
mendapatkan
interpretasi/penafsiran yang hampir benar dengan apa yang dimaksudkan pengarang, sehingga terjadilah dalam pembacaan interpretatif apa yang disebut dialektika antara kepatuhan dan kebebasan inventif (Eco, 76:412). Definisi
32
semiotik sebuah teks estetis memberikan model yang telah terstruktur pada sebuah proses komunikasi yang belum terstruktur (Eco,76:276). Pembacaan konsep teori Eco ini kemudian diekstraksi menjadi pokokpokok acuan yang akan digunakan dalam membedah novel The Pearl, yaitu: pertama, konsep keterhubungan antara konotasi terhadap denotasi adalah jelas dan bukan sesuatu yang kabur. Kedua, sistem kode merupakan serangkaian elemen terbatas menanungi satu topik yang dapat dikorelasikan sehingga penerima dapat mengaitkan pemaknaan antar tanda secara lebih dinamis, dan ketiga adalah bahwa dialektika penerimaan kode-kode pengirim memungkinkan adanya interpretasi-interpretasi.
1.6 Metode Penelitian Poedjawinata (dalam Faruk, 2012:23) menyatakan bahwa pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang sesuai dengan kenyataan, cara perolehan pengetahuan atau metode penelitian itu harus sesuai dengan kenyataan adanya obyek yang bersangkutan, sesuai dengan apa yang disebut sebagai kodrat keberadaan obyek itu. Kenyataan adanya obyek itu dinyatakan oleh konsep, teori, dan pengertian-pengertian yang terkandung di dalam hipotesis dan juga variabelvariabel yang ditentukan atas dasarnya. Lebih lanjut Faruk (2012: 22) mengatakan bahwa untuk menguji hipotesis yang merupakan hasil deduksi teoretik, diperlukan data-data empirik yang diperoleh secara induktif yang kemudian harus dianalisis sehingga ditemukan hubungan antar-data yang dianggap merepresentasikan hubungan antar-fakta sebagaimana dinyatakan dalam teori dan hipotesis. Oleh
33
karena itu, dua tahap yang harus dilakukan dalam penelitian ini adalah pengumpulan data dan analisis data. 1.6.1. Metode Pengumpulan Data. Data dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Metode kualitatif dalam pengumpulan data ini diartikan sebagai suatu metode penelitian yang tidak mengadakan perhitungan (Moleong, 1989:2). Bodgan dan Taylor (melalui Meleong, 1989:3) mendefinisikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan. Penelitian dengan menggunakan data kuantitatif adalah penelitian yang berlandaskan fenomenologi dan paradigma konstruktivisme dalam mengembangkan ilmu pengetahuan (Ikbar, 2012:146). Dalam penelitian kualitatif, sebagaimana yang dijelaskan oleh Moleong (dalam Ikbar, 2012: 146) terdapat sebelas karakteristik, yaitu: menggunakan latar ilmiah, menggunakan manusia sebagai instrumen utama, menggunakan metode kualitatif (pengamatan, wawancara, atau studi dokumen) untuk menjaring data, menganalisis secara induktif, menyusun teori. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pengumpulan data kualitatif dengan mengadakan studi dokumen. Pada pengumpulan data, data yang digunakan berupa data primer dan sekunder. Data primer berupa kalimat-kalimat yang ada dalam novel The Pearl yang diperoleh dengan menggunakan pembacaan dekat terhadap objek material. Selain tu, penulis juga akan menggunakan data sekunder berupa sumber-sumber referensi tertulis (buku, makalah, jurnal, laporan penelitian, skripsi, dan lain
34
sebagainya) yang memiliki kaitan dengan novel The Pearl secara keseluruhan yang dapat membantu mencapai tujuan penelitian ini. 1.6.2 Metode Analisis Data Setelah melakukan pengumpulan data, penulis akan melakukan analisis data dengan menggunakan cara kerja teori Umberto Eco, dengan konsep analsis revisian. Eco menjelaskan bahwa denotasi adalah isi dari sebuah ekspresi dan konotasi adalah isi dari fungsi tanda. Kode dimaknai sebagai seperangkat aturan atau konvensi (kesepakatan) bersama yang di dalamnya tanda-tanda bisa dikombinasikan, sehingga memungkinkan pesan dapat dikomunikasikan dari seseorang kepada yang lain (Eco, 1979). Mengenai teori kode, Eco (2009: 81) selanjutnya menegaskan bahwa teori kode semestinya lebih banyak berurusan dengan bagaimana menentukan sampai manakah keterangkatan kode konotasi bia dimungkinkan. Dengan kata lain bahwa sebuah fungsi-tanda terus berpotensi untuk menghasilkan konotasi-konotasi lain. Untuk sampai pada makna konotasi tersebut, penulis menggunakan analisis revisian. Model revisian ini bertujuan untuk memasukkan seluruh konotasi yang telah terkodekan dan bergantung pada denotasi serta terkait pada seleksi kontekstual dan keadaan dalam representasi semantis. Setelah
melakukan
tahapan
analisis
konotatif,
peneliti
akan
menghubungkan konotasi tersebut dengan pemaknaan baru dari kode utama, dalam hal ini mutiara, untuk menemukan arti dari teks yang sudah diinterpretasi. Dengan demikian diharapkan lamngkah kerja teori ini mampu menjawab
35
pertanyaan penelitian. Sehingga, terapan teori Umberto Eco tepat untuk diterapkan dalam penelitian ini.
1.7 Sistematika Penyajian Untuk mempermudah pemahaman, penelitian ini dibagi menjadi empat bab dengan titik fokus tersendiri. Bab I, sebagaimana tulisan ilmiah lainnya, merupakan awalan yang berisi pendahuluan. Adapun pendahuluan membicarakan pembahasan kritis dan topikal tentang posisi karya sastra dikaitkan dengan fenomena yang terjadi di Amerika. Hal tersebut menjadi permulaan munculnya rumusan masalah berupa pertanyaan penelitian berkaitan dengan kebaruan dan pemilihan teori dan metodologi yang tepat untuk mencapai tujua penelitian. Bab II, sesuai dengan ancangan penelitian akan membahas naturalisme dalam sastra Amerika, dan prinsip kesetaraan sebagai dasar filosofi. Fenomena terjadinya praktik-praktik diksriminatif di Amerika juga akan dipaparkan di sini untuk dijadikan sebagai marka denotatif sesuai dengan tuntutan teori yang digunakan, yakni Teori Semiotika Umberto Eco. Bab III merupakan analisis kritis terhadap semua data yang berkaitan dengan fenomena dalam novel
The Pearl. Bab ini akan membahas makna
denotasi dan makna konotasi yang direpresentasikan oleh novel The Pearl sekaligus membuktikan asumsi tentang pesimisme yang dimaksudkan oleh John Steinbeck. Bab terakhir adalah Bab IV yang akan memberikan kesimpulan sebagai hasil akhir penelitian. Bab ini akan menegaskan kembali hasil-hasil analisis dalam bab pembahasan. Dalam bab ini juga akan disajikan catatan-catatan kritis
36
berdasarkan temuan-temuan sebelumnya. Catatan tersebut diharapkan mampu memberikan kontribusi pemikiran dalam memahami teori maupun karya yang berkaitan.