BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Santri merupakan sebutan untuk murid yang bertempat tinggal di suatu pondok pesantren. Sebagian besar dari jumlah santri merupakan usia remaja. Menurut Soetjiningsih (2010), masa remaja adalah masa transisi antara masa anak dan dewasa, dimana terjadi pacu tumbuh (growth spurt), timbul ciri-ciri seks sekunder, tercapai fertilitas dan terjadi perubahan-perubahan psikologik serta kognitif. Pertumbuhan pada masa remaja menuntut kebutuhan nutrisi yang tinggi agar tercapai potensi pertumbuhan secara maksimal, tidak terpenuhinya kebutuhan nutrisi pada masa ini dapat berakibat terlambatnya pematangan seksual dan hambatan pertumbuhan linear seperti tinggi badan. Gizi memiliki peran besar dalam daur kehidupan. Setiap orang membutuhkan nutrien yang sama, namun dalam jumlah yang berbeda. Kebutuhan akan nutrien berubah sepanjang daur kehidupan, dan erat kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangan seseorang dalam masa hidupnya (Kusharisupeni, 2010). Begitu juga
dengan
nutrisi
yang
dibutuhkan
santri
untuk
pertumbuhan
dan
perkembangannya selama usia remaja. Terpenuhinya nutrisi pada masa remaja juga berperan penting mencegah terjadinya penyakit kronik yang terkait nutrisi pada masa dewasa, seperti penyakit kardiovaskular, diabetes, kanker dan osteoporosis. Gizi remaja merupakan salah satu faktor terpenting dan penentu utama perkembangan dan pertumbuhan santri, karena pada masa remaja terjadi perubahan hormonal yang menyebabkan pertumbuhan berlangsung cepat dari fase 1
2
lain dalam kehidupan kecuali tahun pertama kehidupan (Kusharisupeni, 2010). Pertumbuhan selama masa remaja bervariasi antar individu, pada wanita dimulai saat usia 10,5-11 tahun dan puncaknya pada usia 12 tahun dan akan berlangsung sampai 2 tahun. Beberapa faktor yang mempengaruhi gizi seseorang salah satunya adalah ketidakseimbangan antara asupan dan keluaran, kemampuan daya beli keluarga yang berakibat dengan ketersediaan pangan, dan pengetahuan tentang gizi. Rendahnya pengetahuan santri mengenai gizi menyebabkan rendahnya asupan makanan yang sesuai dengan kebutuhan tubuh dalam masa pertumbuhan (Budiyanto, 2009). Santri cenderung memenuhi asupan makanan dengan jenis makanan yang disukai tanpa memperhitungkan kebutuhan zat gizi yang dibutuhkan. Semakin baik tingkat pengetahuan gizi, maka seseorang akan cenderung memperhatikan asupan makanan yang dikonsumsi setiap hari. Tidak adanya pengawasan langsung oleh orang tua terhadap makanan yang dikonsumsi anak juga dapat menyebabkan asupan makanan tidak terkontrol. Rendahnya pengawasan ini juga terjadi pada santri yang bertempat tinggal di suatu asrama atau pondok pesantren. Jumlah penghuni asrama yang banyak menyebabkan pengawasan pada santri mengenai makanan yang dikonsumsi kurang. Dalam kesehariannya, santri cenderung hanya memenuhi kebutuhan makannya dengan jajanan yang mengandung karbohidrat tinggi, seperti bakso, cireng, mie, batagor, cilok, dan lain-lain, sehingga dikhawatirkan kebutuhan gizi seperti protein, kalsium, vitamin C, dan zat besi kurang. Hasil penelitian yang dilakukan Suharnanik (2002) di Pondok Pesantren Darul Hikmah Mojokerto menunjukkan bahwa 55,5% santri mengalami kecukupan energi yang buruk.
3
Penelitian lain yang dilakukan di Pondok Pesantren Al-Islam Nganjuk, diperoleh hasil bahwa 92,5% santriwati memiliki kecukupan energi defisit, 94,0% dari responden mengalami defisit protein, dan sebanyak 97,0% defisit zat besi (Dewi, 2011). Penelitian lain yang dilakukan di perkotaan Negara Kamerun, diketahui bahwa lebih dari 35% remaja perempuan usia 12-16 tahun jauh lebih besar mengalami risiko kekurangan mikro nutrien, khususnya vitamin B1, vitamin B3, dan zat besi (Dapi et al., 2010) Data Riskesdas Jawa Timur tahun 2010 menunjukkan bahwa, prevalensi status gizi remaja usia 13-14 tahun dilihat dari IMT/U (Indeks Massa Tubuh menurut umur) diperoleh data sebesar, 2,5% sangat kurus, 7,3% kurus, 88,2% normal, dan 2,0% gemuk. Data lain menyebutkan bahwa status gizi anak usia 13-15 tahun dilihat dari TB/U (Tinggi badan menurut umur) di Jawa Timur adalah 10,5% sangat pendek, 20,2% pendek (Riskesdas, 2010). Pada penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2011) di Pondok Pesantren Al-Islam Sukomoro Nganjuk, diperoleh data bahwa status gizi santri 88,1% baik, 10,4% kurang, dan 1,5% lainnya memiliki status gizi lebih (obesitas). Penelitian lain di Pondok Pesantren Sidosermo Surabaya, diperoleh hasil bahwa 57,5% santri status gizinya kurus (Aisyah, 2011). Jumlah pondok pesantren di Indonesia berdasarkan laporan Departemen Agama RI tahun 2001 mencapai 12.312 pondok. Pada tahun 2009 di Jawa Timur, terdapat 6017 pondok dengan jumlah santri putra 511.149 dan santri putri 455.807 orang (anonim, 2011). Jumlah tersebut terus bertambah setiap tahunnnya, sehingga
perhatian
khusus
mengenai
pemeliharaan
penyelenggaraan makanan penting untuk dilakukan.
kesehatan
dan
4
Penyelenggaraan makan di asrama atau pondok pesantren umumnya kurang variatif. Sumber daya atau petugas yang memasak dan menyiapkan makan di sebuah asrama umumnya belum pernah mendapatkan pelatihan atau pengetahuan khusus sebelumnya dibidang gizi dan makanan, sehingga dalam proses pengolahannya kurang dapat memenuhi kebutuhan gizi santri seperti, asupan kalori dalam sehari, protein, vitamin, zat besi dan lain sebagainya. Pengawasan intake makanan santri menjadi salah satu hal terpenting yang perlu diperhatikan agar kebutuhan energi, protein, dan zat gizi makro maupun mikro lainya dapat terpenuhi. Kurangnya beberapa jenis zat gizi disebabkan oleh kebiasaan makan yang salah dan pola makan yang tidak seimbang. Pola makan yang seimbang tidak hanya dilihat dari keteraturan jadwal makan seseorang tetapi juga kualitas dari makanan yang dikonsumsi, sehingga keseimbangan antara konsumsi gizi dan penyerapan zat gizi tubuh terjaga dan seimbang (Soedioetama, 2008). Monitoring orang dewasa yang kurang, menyebabkan banyaknya santri mengalami kelebihan atau kekurangan satu atau lebih zat gizi. Tidak adanya perhatian lebih oleh pihak pondok pesantren mengenai pentingnya penyediaan pangan pada santri dapat menurunkan kualitas sumber daya yang dimiliki oleh santri tersebut. Peningkatan kualitas terhadap kesehatan perlu dilakukan dengan perbaikan gizi yang terpadu pada kelompok masyarakat yang terorganisir agar jumlah dan mutu gizinya terjamin, serta aman dari pencemaran sumber penyakit. Hal ini dapat dilakukan di pondok pesantren dengan memberi perhatian khusus dalam penyelenggaraan pemenuhan kebutuhan pangan pada santri.
5
1.2 Identifikasi Penyebab Masalah Pada usia remaja awal, yaitu usia 12-15 merupakan usia puncak pertumbuhan seseorang dan dipengaruhi secara hormonal. Pada remaja putri usia 12 tahun, kebutuhan intake kalori meningkat dan mencapai titik tertinggi yaitu 2350 kkal/hari dan menurun hingga usia 18 tahun. Selain kebutuhan kalori, masa remaja juga membutuhkan protein dan zat gizi mikro lainnya untuk mendukung masa pertumbuhan. Pada masa puncak pertumbuhan, remaja membutuhkan nutrisi dua kali lebih banyak dari pada tahun-tahun yang lain (Kusharisupeni, 2010). Bagi remaja yang bertempat tinggal di sebuah asrama atau pondok pesantren, orang tua tidak dapat memberikan pengawasan secara pribadi dan terus-menerus, khususnya dalam hal makanan. Rendahnya pengawasan orang tua dikarenakan jarak tempat tinggal yang berjauhan. Seringkali makanan yang dikonsumsi merupakan makanan jajanan yang jauh dari menu seimbang. Banyaknya santri yang tinggal di pondok pesantren menyebabkan monitoring terhadap asupan makanan para santri tidak dapat dipantau dengan ketat, sehingga perlu mendapat perhatian khusus agar makanan yang dikonsumsi memenuhi standar gizi dalam masa pertumbuhannya. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Pondok Pesantren Darul ‘Ulum Peterongan Jombang, sebagian besar santri merupakan usia remaja, yang memiliki perbedaan dengan remaja pada umumnya. Salah satu perbedaan dapat dilihat dari jenis kegiatan sehari-hari, diawali dengan sekolah formal pagi hingga sore hari (full day school). Kegiatan selanjutnya yaitu sekolah diniyah, yaitu sekolah informal yang khusus mempelajari tentang agama mulai jam 18.30-20.30 WIB, kemudian jam wajib belajar hingga jam 22.00 WIB. Waktu istirahat dimulai pukul
6
22-00-04.00 WIB. Kegiatan pagi diawali dengan sholat subuh kemudian mengaji Al-qur’an hingga jam 06.00 dan dilanjutkan dengan sekolah formal. Selain aktifitas yang tinggi, santri dituntut untuk menguasai dua bidang sekaligus, yaitu pengetahuan umum dan agama, sehingga diperlukan keadaan gizi yang baik untuk mendapatkan hasil belajar yang maksimal. Beberapa Asrama di Pondok Pesantren Darul Ulum memenuhi kebutuhan makan sehari-hari dengan memasak sendiri, yang dilakukan oleh beberapa pengurus asrama. Dalam satu hari, santri diberi jatah makan 2 kali. Waktu makan bervariatif setiap asrama, ada yang jadwal makannya pagi dan sore hari, ada yang siang dan malam hari. Menu yang disajikan setiap minggunya sama atau menggunakan siklus menu makan satu minggu, contohnya pada Hari Sabtu sore menu makannya sayur sop, perkedel, dan tempe, maka Hari Sabtu sore berikutnya menunya sama. Selain menu makan yang kurang variatif, tenaga yang memasak juga belum pernah mendapatkan pelatihan cara mengolah makanan yang baik dan sehat. Seseorang yang memiliki pengetahuan yang baik mengenai gizi akan cenderung berusaha untuk memenuhi kebutuhan gizinya dengan baik dan sehat, sehingga terpenuhi zat-zat gizi yang dibutuhkan tubuh untuk pertumbuhan dan perkembangan. Hal ini didukung dengan daya beli makanan yang tercermin dalam uang saku santri tiap bulannya, uang saku yang diperoleh dapat berguna untuk membeli makanan penunjang selain yang diberikan oleh pihak asrama, sehingga diperlukan penelitian mengenai hubungan pengetahuan gizi dan asupan makanan dengan status gizi pada santri putri Asrama 2 “Al-khodijah” Pondok Pesantren
7
Darul Ulum Peterongan Jombang, dan diharapkan agar para santri memiliki status gizi dan kecukupan zat gizi yang baik meskipun bertempat tinggal di asrama.
1.3 Pembatasan dan Rumusan Masalah Permasalahan yang akan diteliti dibatasi pada santri putri Asrama 2 “AlKhodijah” Pondok Pesantren Darul Ulum kelas 1 dan 2 SMP/MTs, dengan melihat hubungan pengetahuan gizi dan asupan makanan dengan status gizi santri. Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut, apakah ada hubungan antara pengetahuan gizi dan asupan makanan dengan status gizi santri?
1.4 Tujuan 1.4.1 Tujuan Umum Menganalisis hubungan pengetahuan gizi dan asupan makanan dengan status gizi santri putri Asrama 2 “Al-Khodijah” Pondok Pesantren Darul ‘Ulum. 1.4.2 Tujuan Khusus 1. Mempelajari karakteristik responden meliputi, umur, uang saku perbulan, dan pengetahuan gizi. 2. Mempelajari karakteristik orang tua responden, meliputi tingkat pendidikan orang tua, pekerjaan, dan penghasilan orang tua. 3. Mempelajari tingkat kecukupan zat gizi. 4. Mempelajari status gizi. 5. Menganalisis hubungan uang saku responden dengan penghasilan orang tua. 6. Menganalasis hubungan uang saku dengan asupan zat gizi.
8
7. Menganalisis hubungan pengetahuan gizi dengan status gizi santri. 8. Menganalisis hubungan asupan zat gizi dengan status gizi santri
1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Bagi Peneliti Untuk mengaplikasikan ilmu yang didapat selama berada di bangku perkuliahan dan memperoleh pengalaman pada saat penelitian. 1.5.2 Bagi Asrama 2 “Al-Khodijah” Pondok Pesantren Darul ‘Ulum Sebagai bahan pertimbangan Asrama 2 “Al-Khodijah” khususnya, dan Pondok Pesantren Darul Ulum Peterongan Jombang umumnya, untuk dapat meningkatkan mutu penyelenggaraan makan di asrama sehingga dapat memenuhi kebutuhan gizi santri. 1.5.3 Bagi Fakultas Kesehatan Masyarakat Diharapkan dapat menjadi tambahan referensi penelitian tentang status gizi di institusi atau di Pondok Pesantren. 1.5.4 Bagi Dinas Kesehatan, Departemen Keagamaan dan Dinas Sosial Lain Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan masukan untuk memperbaiki sistem penyelenggaraan makan di suatu institusi atau pondok pesantren.