BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan Masyarakat Indonesia merupakan sebuah masyarakat yang majemuk yang terdiri dari berbagai sukubangsa dan budaya. Dengan penduduk lebih dari 210 (dua ratus sepuluh) juta jiwa yang mendiami lebih dari 700 (tujuh ratus) pulau-pulau yang tersebar di nusantara, masyarakat Indonesia terbagai ke dalam suku-suku seperti Baduy, Betawi, Jawa, Lampung, Padang, Palembang, Batak, Sunda, Bali, Bugis, Dayak, Ambon, Sasak dan lain sebagainya. “Keanekaragaman sukubangsa tersebut memunculkan suatu kebiasaankebiasaan yang berlaku dan mengikat bagi kumpulan orang-orang (masyarakat dan kelompok-kelompok masyarakat) yang hidup dalam suatu daerah tertentu yang disebut dengan adat. Apabila adat yang sudah memiliki sanksi tersebut lambat laun diterima masyarakat, maka menjadi hukum (adat) yang dilaksanakan oleh masyarakat yang bersangkutan. 1 “ Hukum adat merupakan keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu sisi mempunyai sanksi (karena merupakan hukum) dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasi (karena merupakan adat). 2 Sebagai sebuah hukum yang tidak terkodifikasi, hukum adat memiliki cakupan yang sangat
1
Hilman Hadikusuma, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Cetakan Kedua, Madar Maju, Bandung, hlm. 1. 2 Imam Sudiyat, 2010, Asas-asas Hukum Adat: Bekal Pengantar, Edisi Kelima, Cetakan Kelima, Liberty, Yogyakarta, hlm. 5.
2
luas dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat yang dapat dibagi atau dikelompokan menjadi 3 (tiga), yaitu: 3 1. Hukum Adat Ketatanegaraan, yang menguraikan tentang tata susunan atau persekutuan masyarakat, susunan alat perlengkapan, pejabat dan jabatan adat kerapatan adat dan peradilan adat. 2. Hukum
Adat
Kewargaan,
yang
menguraikan
tentang
hubungan
kekerabatan (pertalian sanak), perkawinan dan pewarisan, harta kekayaan (hak-hak dan transaksi tanah), dan hukum perhutangan (transaksi kebendaan selain tanah dan jasa). 3. Hukum Adat Delik (pelanggaran), yang menguraikan berbagai delik adat dan reaksi masyarakat atas pelanggaran itu serta cara menyelesaikannya. Berdasarkan pembagian tersebut, pewarisan merupakan salah salah satu persoalan yang tercakup dalam Hukum Adat, yang termasuk dalam Hukum Adat Kewargaan yang dalam Ilmu Pengetahuan Hukum Adat pengaturannya dikenal dengan Hukum Waris Adat. Menurut Hilman Hadikusuma, “Pengertian Hukum Waris Adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan waris, serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada waris.” 4 Persoalan hukum waris tak terlepas dari sistem kekerabatan dan bentuk perkawinan yang dianut oleh suatu masyarakat, sebagaimana ungkapan oleh 3
Hilman Hadikusuma, Op.cit., hlm. 53. Hilman Hadikusuma, 2003, Hukum Waris Adat, Cetakan Ketujuh, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 7. 4
3
Hazairin yang menyebutkan bahwa Hukum Waris Adat mempunyai corak tersendiri yang berasal dari alam pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya yang berbeda-beda. Dalam bentuk kekerabatan yang sama, belum tentu berlaku sistem kewarisan yang sama. 5 Sistem kekerabatan masyarakat adat secara umum terbagi dalam 3 (tiga) bentuk yaitu: 6 1. Sistem Patrilineal, yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari pihak nenek moyang laki-laki. 2. Sistem Matrilineal, yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari pihak nenek moyang perempuan, dan 3. Sistem Parental atau bilateral, yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari dua sisi, baik dari pihak ayah maupun ibu. Dilihat dari bentuk perkawinannya, dikenal beberapa bentuk perkawinan diantaranya adalah : a). Perkawinan jujur Perkawinan jujur adalah perkawinan yang dilakukan dengan pemberian (pembayaran) “uang jujur” yang dilakukan oleh pihak kerabat (marga atau suku) calon suami kepada pihak kerabat calon isteri. Dengan diterimanya
5
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al Quran, hlm. 9, dikutip dari Hilman Hadikusuma, Op.cit, Pengantar.. hlm. 211. 6 Eman Suparman, 2007, Hukum Waris Indonesia Dalam Prespektif Islam, Adat dan BW, Cetakan Kedua, PT. Refika Aditama, Bandung, hlm. 41-42.
4
uang jujur ini, maka mempelai wanita akan melepaskan kedudukan dirinya dari kerabat asal dan masuk atau menjadi anggota kerabat pihak laki-laki. 7 b). Perkawinan semenda Perkawinan semanda merupakan kebalikan dari sistem perkawinan jujur, dimana dalam perkawinan semenda, calon mempelai laki-laki dan/atau kerabatnya tidak melakukan pemberian (pembayaran) uang jujur kepada pihak perempuan, bahkan sebaliknya di beberapa masyarakat hukum adat tertentu, misalnya di Minangkabau berlaku adat pelamaran dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki. Perkawinan ini umumnya berlaku dalam lingkungan masyarakat adat yang menganut
sistem
kekerabatan
matrilineal
dan
dilakukan
untuk
mempertahankan garis keturunan pihak ibu (perempuan). Konsekuensi dari bentuk perkawinan ini adalah setelah perkawinan terjadi, maka pihak suami berada dibawah kekuasaan isteri dan kedudukan hukumnya bergantung pada bentuk perkawinan yang berlaku. 8 c). Perkawinan bebas (mandiri) Perkawinan bebas atau perkawinan mandiri adalah salah satu bentuk perkawinan dimana pihak kerabat tidak banyak campur tangan dalam keluarga atau rumah tangga. Perkawinan ini pada umumnya berlaku di lingkungan
masyarakat
adat
yang
bersifat
patrilineal/bilateral
(keorangtuaan/kebapak-ibuan). 9
7
I Gede A.B Wiranata, 2003, Hukum Adat Indonesia Perkembangannya Dari Masa ke Masa, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 279. 8 Hilman Hadikusuma, Op.cit., Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, 2003, hlm. 184-185. 9 Ibid., hlm. 186.
5
Dalam perkawinan ini, setelah perkawinan suami dan isteri memisah dari kekuasaan keluarga dan orang tua masing-masing dengan membangun rumah tangga atau keluarga sendiri dan hidup mandiri. Perkawinan model inilah yang diisyaratkan oleh undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, dimana kedudukan dan hak suami dan isteri sama (seimbang). 10 Sistem kekerabatan dan bentuk perkawinan di atas memiliki pengaruh terhadap bentuk pengaturan hukum waris adat yang diterapkan, tertutama terhadap penetapan ahli waris dan bagian harta peninggalan yang diwariskan, dimana dalam sistem pewarisan adat dikenal 3 (tiga) bentuk/sistem pewarisan, yakni: a). Sistem individual Pewarisan dengan sistem individual adalah sistem pewarisan dimana setiap waris mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan/atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. 11 b). Sistem kolektif Sistem pewarisan kolektif adalah sistem pewarisan dimana harta peninggalan diteruskan dan dialihkan pemilikannya dari pewaris kepada waris sebagai kesatuan yang tidak terbagi-bagi penguasaan dan pemilikannya. 12 Menurut sistem ini para ahli waris tidak boleh memiliki harta peninggalan secara pribadi, tetapi diperbolehkan untuk memakai,
10
Ibid., hlm. 186-187. Hilman Hadikusuma, Op.cit., Hukum Waris Adat, 2003, hlm. 24. 12 Ibid., hlm. 26. 11
6
mengusahakan atau mengolah dan menikmati hasil harta peninggalan tersebut. 13 c). Sistem mayorat Sistem pewarisan mayorat adalah sistem pewarisan yang menentukan bahwa harta peninggalan pewaris diwariskan kepada seorang anak. 14 Sistem pewarisan mayorat ini sesungguhnya merupakan sistem pewarisan kolektif, hanya penerusan dan pengalihan hak penguasaan atas harta yang tidak terbagi-bagi tersebut dilimpahkan kepada seorang anak, yakni anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin rumah tangga atau kepala keluarga menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala keluarga. 15 Salah satu keanekaragaman masyarakat hukum adat yang ada di Indonesia dan menarik untuk dipelajari adalah masyarakat hukum adat Pepadun di Propinsi Lampung. Masyarakat Pepadun yang terdiri dari suku masyarakat dan/atau marga Abung, Tulang Bawang, Pubian, Bunga Mayang dan Way Kanan yang tersebar di berbagai beberapa wilayah Lampung, termasuk di Kecamatan Gedongtataan, Kabupaten Pasawaran. 16 Masyarakat adat Pepadun dikenal sebagai masyarakat yang memegang teguh prinsip-prinsip adat dan menerapkan hukum adat secara konsisten (turun-temurun). Namun di tengah kondisi dan perkembangan masyarakat saat ini sebagian anggota masyarakat telah berpikir modern dan menyebabkan terjadinya pergeseran dalam pola-pola kehidupan masyarakat.
13
Hilman Hadikusuma, Op.cit., Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesiahlm. 212. Eman Suparman, Op.cit., hlm. 43. 15 Hilman Hadikusuma, Op.cit., Hukum ... hlm. 28. 16 http://www.wikipedia.org., diakses Sabtu 1 Mei 2010, pukul 21.10 WIB. 14
7
Ditinjau secara historis keberadaan suku Pepadun tak terlepas dari sejarah Islam, dimana Islam memiliki pengaruh dan peran penting dalam perjalanan sejarah terbentuknya masyarakat hukum adat ini. 17 Apabila dikaitkan dengan teori receptio in complexu yang dikemukakan oleh Van Den Berg dan Salmon Keyzer, yang menyimpulkan bahwa adat istiadat dan hukum (adat) suatu golongan masyarakat adalah hasil penerimaaan bulat-bulat dari hukum agama yang dianut oleh golongan masyarakat tersebut, 18 maka Islam mempunyai pengaruh yang kuat dalam kehidupan dan pembentukan hukum adat masyarakat Pepadun. Meskipun secara umum teori ini ditentang keras oleh Snouck Hurgronje dan Van Vollenhoven, namun keduanya tetap mengakui bahwa bagian dari hukum adat yang sifatnya sangat pribadi dan berkaitan erat dengan kepercayaan dan kehidupan batin tetap diakui sebagai penerimaan dari hukum agama, misalnya Hukum Adat Keluarga, Perkawinan dan Hukum Adat Waris. 19 Ditengah kompleksitas dan kondisi masyarakat Lampung yang semakin berkembang saat ini, peran dan fungsi notaris semakin terbuka dalam berbagai bidang seiring dengan kebutuhan hukum masyarakat, termasuk dalam pelaksanaan pewarisan. Salah satunya dalam pembuatan surat keterangan waris (SKW) untuk kepentingan atau kepastian hukum para pihak (ahli waris) yang menghadapnya.
17
Balaputradewa, “Selayang Pandang Suku Lampung”, artikel dalam http://www. skyscrapercity.com., diakses Minggu 2 Mei 2010, pukul 14.45 WIB. 18 Imam Sudiyat, Op.cit., hlm. 3. 19 Loc.cit.
8
SKW merupakan akta yang menetapkan siapa ahli-waris pada saat pewaris meninggal dan berapa hak bagiannya atas warisan tersebut. Surat keterangan ini pada umumnya dibuat atas permintaan satu atau beberapa diantara para ahli waris dan digunakan sebagai pegangan oleh para ahli-waris maupun pejabat-pejabat yang berkaitan dengan pelaksanaan hukum waris tersebut. 20 Penggunaan surat keterangan waris oleh notaris di Indonesia ini masih menimbulkan pertanyaan dan perdebatan, baik dalam tataran teoritis maupun praktis karena SKW dianggap tidak memiliki dasar hukum yang jelas. SKW dinilai hanya merupakan kebiasaan para notaris Belanda yang pernah praktek di Indonesia yang kemudian diadopsi oleh para notaris Indonesia tanpa adanya dasar hukum yang jelas. 21
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian singkat dalam latar belakang permasalahan di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana pelaksanaan Hukum Waris Adat dalam Suku Pepadun di masyarakat Gedongtataan Kabupaten Pasawaran Propinsi Lampung? 2. Adakah pengaruh Hukum Islam terhadap pelaksanaan waris adat pada masyarakat Suku Pepadun di Gedongtataan Kabupaten Pasawaran Propinsi Lampung?
20
J. Satrio, Surat Keterangan Waris dan Beberapa Permasalahannya, dikutip dari http://herman-notary.blogspot.com., Minggu, 2 Mei 2010, pukul 19.35 WIB. 21 Habib Adjie, 2008, Pembuktian Sebagai Ahli Waris Dengan Akta Notaris (Dalam Bentuk Akta Keterangan Ahli Waris), Mandar Maju, Bandung, hlm. 20.
9
3. Adakah keterlibatan notaris dalam pewarisan di lingkungan adat Suku Pepadun di Gedongtataan Kabupaten Pasawaran Propinsi Lampung?
C. Keaslian Penelitian Penelitian terhadap Masyarakat Adat Lampung, khususnya Masyarakat Adat Pepadun, sepanjang pengetahuan penulis belum banyak dilakukan. Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan, beberapa penelitian yang diketahui oleh penulis diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh, Indah Pumpini, Tesar Eschandra dan Rosmelina. Indah Pumpini (2004) dalam Tesis yang berjudul: “Pelaksanaan Pengangkonan (Pengangkatan Anak) Dalam Perkawinan Beda Suku Pada Masyarakat Lampung Pepadun Di Desa Negeri Sakti Kabupaten Pesawaran” memfokuskan penelitian pada tata cara pengangkatan dan kedudukan anak angkat pada Masyarakat Adat Pepadun dalam perkawinan yang dilakukan antara beda suku. Sementara Tesar Eschandra (2007), dalam Tesisnya yang berjudul: “Kedudukan Anak Angkat Pada Masyarakat Adat Lampung Pepadun Abung Siwo Migo Buai Subing”, meneliti tentang sebab-sebab atau alasan pengangkatan anak pada Masyarakat Adat Lampung Pepadun, tata cara, serta akibat hukum dari pengangkatan anak tersebut menurut Hukum Adat Lampung melalui studi yang dilakukan di Kecamatan Terbanggi Besar, Lampung Tengah. Berbeda dengan dua penelitian di atas, Rosmelina (2008), melakukan penelitian terhadap Hukum Waris Adat Masyarakat Lampung, yakni
10
masyarakat Lampung Pesisir yang merupakan masyarakat adat Sebatin. Dalam Tesisnya yang berjudul “Sistem Pewarisan Pada Masyarakat Lampung Pesisir Yang Tidak Mempunyai Anak Laki-Laki (Studi Pada Marga Negara Batin di Kecamatan Kota Agung Kabupaten Tanggamus Propinsi Lampung)”, Penelitiannya berfokus pada sistem pewarisan masyarakat Sebatin yang dilaksanakan pada keluarga yang tidak mempunyai anak laki-laki sebagai penerus keturunan serta penyelesaian sengketa dalam pembagian warisan tersebut. Penelitian-penelitian tersebut memiliki persamaan dalam beberapa hal dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Persamaan tersebut terletak pada subjek penelitian yang secara umum, yakni Masyarakat Adat Lampung. Namun demikian, aspek subjek kajian yang akan dilakukan oleh penulis berbeda dengan penelitian-penelitian yang telah disebutkan di atas, yaitu pelaksanaan hukum waris pada lingkungan adat Suku Pepadun, dengan studi yang dilakukan pada Masyarakat Adat Gedongtataan, Kabupaten Pasawaran. Berdasarkan perbedaan-perbedaan tersebut, penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian asli, atau belum pernah dilakukan sebelumnya. Namun demikian, penulis mengakui bahwa penelitian ini memiliki korelasi dengan penelitian-penelitian yang telah ada dan dilakukan sebelumnya, sehingga hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi literatur dan/atau khasanah pelengkap atas penelitian-penelitian yang berkaitan yang telah ada, terutama yang berkaitan dengan pelaksanaan hukum waris adat pada
11
Masyarakat Adat Suku Pepadun dan Masyarakat Adat Lampung pada umumnya.
D. Faedah Penelitian 1. Bagi Ilmu Pengetahuan Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumbangsih pemikiran bagi perkembangan Ilmu Hukum Perdata, khususnya Hukum Waris Adat dan Hukum Waris Islam. 2. Bagi Pembangunan Negara dan Bangsa Hasil penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan manfaat bagi pembangunan negara dan bangsa, melalui adanya pemahaman dan terbangunnya
sikap
toleransi
yang
tinggi
terhadap
keberagaman
sukubangsa dan kebudayaan yang ada di lingkungan masyarakat Indonesia, sehingga dengan hal tersebut keutuhan negara dapat tetap selalu terjaga dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
E. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui dan menganalisis pelaksanaan Hukum Waris Adat dalam Suku Pepadun di masyarakat Gedongtataan Kabupaten Pasawaran Propinsi Lampung
12
2. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh Hukum Islam terhadap pelaksanaan waris adat pada masyarakat Suku Pepadun di Gedongtataan Kabupaten Pasawaran Propinsi Lampung. 3. Untuk mengetahui dan mengkaji peranan notaris dalam pewarisan di lingkungan adat Suku Pepadun di Gedongtataan Kabupaten Pasawaran Propinsi Lampung.