BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rasulullah SAW bersabda, “apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah (pahala) amal perbuatannya kecuali tiga, yaitu shadaqah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh yang mendoakan orang tuanya.” Menafkahkan harta” dan “shodaqoh jariah” yang dimaksud adalah wakaf, yang berarti menyerahkan harta untuk dimanfaatkan bagi kepentingan umum. Mewakafkan harta untuk tujuan kebaikan merupakan satu amalan pemindahan harta dan manfaatnya dari seseorang kepada orang lain. Ini menggambarkan suatu sistem yang secara keseluruhannya memberi tumpuan kepada kebahagiaan umat manusia sejagat. Pewakaf gembira karena dapat membantu mereka yang memerlukan bantuaan yang didorong oleh keinsafan untuk mendapatkan kerihoan Allah SWT. Sementara penerima wakaf bersyukur karena keperluan dasarnya dapat terpenuhi. Akhirnya kegembiraan, kebahagiaan, dan kesyukuran terpenuhi secara kolektif dalam kehidupan masyarakat tanpa menimbulkan konflik antara satu sama lain.1 Wakaf dalam sejarahnya telah berperan dalam pengembangan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Hal-hal yang menonjol dari lembaga wakaf adalah perannya dalam membiayai berbagai kegiatan agama (Islam), pendidikan
1
Suhrawardi K. Lubis, dkk., 2010, Wakaf dan Pemberdayaan Umat, Sinar Grafika, Jakarta,
hlm. 7.
1
2
Islam, dan kesehatan. Sebagai contoh di Mesir, Saudi Arabia, Turki dan beberapa Negara lainnya, pembangunan dan berbagai sarana dan prasarana ibadah, pendidikan
dan
kesehatan
dibiayai
dari
hasil
pengembangan
wakaf.
Kesinambungan manfaat hasil wakaf dimungkinkan karena digalakkannya wakaf produktif untuk menopang berbagai kegiatan sosial keagamaan.2 Wakaf produktif pada umumnya berupa tanah pertanian atau perkebunan, gedung-gedung komersial yang dikelola sedemikian rupa sehingga mendatangkan keuntungan dan sebagian hasilnya dipergunakan untuk membiayai berbagai kegiatan tersebut. Di samping apartemen dan ruko, terdapat pula wakaf toko makanan, pabrik-pabrik, dapur umum, mesin-mesin pabrik, alat alat pembakar roti, pemeras minyak, tempat pemandian, dan lain-lain. Wakaf produktif ini kemudian dipraktikkan di berbagai Negara sampai sekarang daan hasilnya dimanfaatkan untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial dan ekonomi umat.3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1977 hanya mengatur tanah hak milik saja yang menjadi obyek wakaf. Namun seiring dengan pesatnya pembangunan pada dekade terakhir ini baik perumahan, gedung-gedung perkantoran dan lain sebagainya semakin mempersempit lahan terbuka khususnya di kota-kota besar di Indonesia yang tentu saja semakin meningkatkan harga jual tanah.
2 3
Ibid Ibid
3
Sejalan dengan pesatnya pembangunan dalam dekade terakhir ini selain semakin mempersempit luas tanah kosong, hal ini juga tidak terlepas oleh perkembangan dan pertumbuhan sosial ekonomi masyarakat yang semakin meningkat dan juga sebagai dampak dari pesatnya laju urbanisasi. Sehingga berdampak pada munculnya persoalan penyediaan sarana dan prasarana sosial untuk kesejahteraan masyarakat yang semakin mahal. Kondisi ini tentu saja menyebabkan hanya masyarakat yang mempunyai ekonomi cukup memadai saja yang dapat berwakaf. Peraturan ini tentu saja sudah tidak dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat pada era modern saat ini. Menyadari hal tersebut maka pada tanggal 27 Oktober 2004, pemerintah bersama badan legislatif mengeluarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Undang-Undang ini tidak hanya mengatur tanah hak milik saja yang dapat diwakafkan melainkan juga bangunan dan tanaman yang berdiri di atas tanah tersebut. Selain itu uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa dan benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat juga diwakafkan.4 Lahirnya Undang-Undang ini tentu membuka peluang bagi masyarakat golongan ekonomi lemah yang tidak mempunyai tanah untuk mewakafkan sebagian dari harta mereka. Hal ini semata-mata tidak lain hanya untuk mencari ridho Allah SWT. Karena dimungkinkan untuk mewakafkan sebagian harta yang 4
Pasal 16 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
4
bukan saja berbentuk benda tidak bergerak, tetapi juga termasuk benda bergerak sebagaimana disebutkan di atas. Selintas wakaf uang ini memang tampak seperti instrumen keuangan Islam lainnya yaitu zakat, infak dan sedekah (ZIS). Padahal ada perbedaan antara instrumen-instrumen keuangan tersebut. Berbeda dengan wakaf tunai, ZIS bisa saja dibagi-bagikan langsung dana pokoknya kepada pihak yang berhak. Sementara pada wakaf uang, uang pokoknya akan diinvestasikan terus-memerus sehingga umat memiliki dana yang selalu ada dan Insya Allah bertambah terus seiring dengan bertambahnya jumlah wakif
yang beramal, baru kemudian
keuntungan investasi dari pokok itulah yang akan mendanai kebutuhan rakyat miskin. Oleh karena itu, instrumen wakaf tunai dapat melengkapi ZIS sebagai instrumen penggalangan dana masyarakat.5 Munculnya pemikiran wakaf tunai/uang dipelopori oleh Prof. Dr. M. A. Mannan, seorang ekonom dari Bangladesh pada dekade ini, merupakan momen yang sangat tepat untuk mengembangkan instrumen wakaf untuk membangun kesejahteraan umat. Paling tidak minimal ada 4 (empat) manfaat utama yang lahir dengan wakaf tunai, yaitu: 1. Wakaf tunai jumlahnya bisa bervariasi, sehingga seseorang yang memiliki dana terbatas, sudah bisa mulai memberikan dana wakafnya tanpa harus menunggu menjadi tuan tanah terlebih dahulu,
5
Abdul Ghofur Anshori, 2006, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, Pilar Media, Yogyakarta, ctk. Kedua, hlm. 90.
5
2. Melalui wakaf uang, aset-aset wakaf yang berupa tanah-tanah kosong bisa mulai dimanfaatkan dengan pembangunan gedung atau diolah untuk lahan pertanian, 3. Dana wakaf tunai juga bisa membantu sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam yang Cash Flow-nya terkadang kembang-kempis dan menggaji Civitas Akademika alakadarnya, 4. Pada gilirannya Insya Allah, umat Islam dapat lebih mandiri dalam mengembangkan dunia pendidikan tanpa harus tergantung pada anggaran pendidikan negara yang cukup terbatas.6 Meningkatnya peluang dan ketertarikan masyarakat untuk berwakaf uang merupakan suatu potensi yang besar untuk dimanfaatkan dengan baik demi kesejahteraan umat. Terwujudnya kesejahteraan umat melalui wakaf uang tentunya tidak terlepas dari pengelolaan dana wakaf oleh nazhir melalui jaringan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang ditunjuk oleh Menteri Agama. Perbankan syariah adalah salah satu LKS yang dapat melakukan penerimaan wakaf uang serta menjadi tempat pengelolaan dana wakaf oleh nazhir.7 Pengelolaan dana wakaf uang oleh nazhir pada perbankan syari’ah akan lebih menjamin keberadaan wakaf uang tersebut. Selain itu berbagai kelebihan yang dimiliki bank syari’ah, antara lain luasnya jaringan kantor berserta jaringan
6
Farid Wadjdy dan Mursyid, 2007, Wakaf Dan Kesejahteraan Umat (filantropi Islam yang hampir terlupakan), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 79. 7 Mulya E. Siregar, 2011, Peran Perbankan Syari’ah Dalam Implementasi Wakaf Uang, Badan Wakaf Indonesia, Jakarta, hlm. 1.
6
ATM-nya, Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal serta terjaminnya dana wakaf oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), telah menjadikan perbankan syari’ah memiliki potensi yang luar biasa untuk ikut serta mengoptimalkan pengumpulan dan pengelolaan wakaf. Tidaklah berlebihan apabila harapan umat saat ini digantungkan kepada pundak perbankan syariah terkait pelaksanaan wakaf uang. Peranan perbankan syariah dalam pelaksanaan wakaf uang menjadi sangat penting demi kelangsungan wakaf uang itu sendiri, maupun untuk optimalisasi kesejahteraan umat.8 Hal ini mendorong Badan Wakaf Uang/Tunai (BWU/T) Majelis Ulama Indonesia provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta untuk bekerjasama dengan BPD DIY Syari’ah yang merupakan salah satu pengelola wakaf Uang di Daerah Istimewa Yogyakarta. Lembaga ini telah berdiri sejak tahun 2008 dan hingga akhir tahun 2013 berhasil mengumpulkan wakaf uang sejumlah Rp. 407.056.808 (empat ratus tujuh juta lima puluh enam ribu delapan ratus delapan rupiah), dan telah telah menyalurkan manfaat wakaf kepada Mauquf ‘alaih sejumlah Rp. 90.900.000 (Sembilan puluh juta Sembilan ratus ribu rupiah).9 Setiap Nazhir dalam menjalankan perannya harus mendasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku baik mengenai persyaratan menjadi Nazhir maupun tata cara pengelolaan wakaf. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaan 8 9
2014.
http//: http://bwi.or.id, di akses pada tanggal 27 February 2014 Penjelasan staf BWU/T MUI DIY selaku nazhir di BPD DIY Syari’ah pada tanggal 3 maret
7
Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf bahwa setiap nazhir organisasi wajib didaftarkan pada Menteri dan BWI melalui Kantor Urusan Agama setempat. Namun demikian Badan Wakaf Uang/Tunai (BWU/T) Majelis Ulama Indonesia provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta hingga saat ini belum mendaftarkan diri sebagai Nazhir kepada Menteri dan BWI. Kegiatan penerimaan wakaf sebagaimana ditentukan Pasal 30 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun yang menyebutkan bahwa pernyataan kehendak wakif dituangkan dalam bentuk AIW sesuai dengan jenis harta benda yang diwakafkan, diselenggarakan dalam Majelis Ikrar Wakaf yang dihadiri oleh Nazhir, Mauquf alaih, dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi juga tidak dilaksanakan. Hanya ada 1 (satu) orang petugas yakni nazhir, tanpa dihadiri saksi. Hal ini penulis temukan sendiri dilapangan ketika akan berwakaf pada BWU/T MUI DIY. Hal yang demikian tentu saja tidak terlepas dari minimnya pengetahuan dan pemahaman mengenai perwakafan serta peraturan perundang-undangan tentang wakaf. Sehingga tata kelola harta benda wakaf yang belum maksimal seperti ini dapat berdampak pada terlantarnya harta benda wakaf, penyelewengan dana wakaf dan lain sebagainya. Hal yang demikian tentu tidak terlepas dari kompetensi dan iktikad baik nadzir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf. Paparan dan penjelasan di atas dimaksudkan bahwa fenomena pengembangan dan pengelolaan wakaf di Indonesia masih banyak mengelami
8
kendala mulai dari pemahaman tentang hukum wakaf, kelembagaan nadzir, manajemen dan sebagainya. Persoalan-persoalan penting dalam gambaran pengelolaan wakaf di atas tentu membutuhkan perhatian dan tindak lanjut serius. Selama penanganan masalah wakaf belum diatasi dengan baik, maka institusi wakaf tidak akan mampu memberikan kemanfaatan bagi mauquf ‘alaih sebagai tujuan utamanya. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha mencari sumbangsih untuk mengurai permasalahan perwakafan dengan mengambil bagian dari berbagai permasalahan perwakafan yaitu keabsahan nadzir sebagai pengelola wakaf serta tata kelola wakaf. Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis terdorong untuk menulis tesis yang berjudul “KEABSAHAN PERWAKAFAN DAN PENGELOLAAN WAKAF UANG OLEH BADAN WAKAF UANG/TUNAI MAJELIS ULAMA INDONESIA PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA”.
B. Rumusan Masalah: 1. Bagaimana keabsahan perwakafan uang yang dilakukan oleh BWU/T MUI DIY yang belum terdaftar kepada Menteri dan BWI? 2. Bagaimana pengelolaan perwakafan uang yang dilakukan oleh BWU/T MUI DIY ditinjau dari hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf?
9
C. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai wakaf ini bukanlah yang pertama kali dilakukan. Ada beberapa penelitian sebelumnya yang meneliti mengenai wakaf uang antara lain, antara lain :
1. Penelitian
yang
dilaksanakan
oleh
mahasiswa
program
Magister
Kenotariatan Universitas Gadjah Mada pada tahun 2012 yakni, Rifka Ramadani yang berjudul Pelaksanaan Wakaf Uang Pada Yayasan Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia (YBWUII). Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah mengenai
pelaksanaan wakaf uang pada Yayasan
Badan Wakaf UII setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 dan solusi atas kendala-kendala yang dihadapi Yayasan Badan Wakaf UII dalam penyesuaian pelaksanaan wakaf dengan peraturan perundangundangan mengenai wakaf uang yang berlaku. Adapun hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pelaksanaan wakaf uang oleh Yayasan Badan Wakaf UII belum sepenuhnya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Hal ini disebabkan oleh kendala karena kurangnya sosialisasi tentang peraturan perundang-undangan mengenai wakaf uang dan belum adanya perwakilan BWI di Provinsi DIY. 2. Penelitian
yang
dilaksanakan
oleh
mahasiswa
program
Magister
Kenotariatan Universitas Gadjah Mada pada tahun 2009, yakni Andre Prima Putra yang berjudul Pelaksanaan Wakaf Tunai pada BMT Al-Ikhlas Kota
10
Yogyakarta. Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah mengenai Bagaimana pelaksanaan wakaf tunai
pada Lembaga Keuangan Syari’ah
BMT Al-Ikhlas Yogyakarta dan bentuk perlindungan hukum terhadap wakif pada BMT Al-Ikhlas Kota Yogyakarta. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pelaksanaan wakaf tunai pada BMT Al-Ikhlas Kota Yogyakarta belum sesuai dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, hal ini dikarenakan BMT Al-Ikhlas Kota Yogyakarta bukanlah lembaga keuangan syariah yang mempunyai wewenang yang ditunjuk oleh Menteri untuk menerbitkan sertifikat wakaf tunai, sehingga status dan kedudukan hukum sertifikat wakaf tunai yang diterbitkan oleh BMT Al-Ikhlas Kota Yogyakarta hanyalah serupa akta dibawah tangan yang kekuatan pembuktiannya tidak sempurna sebagaimana akta otentik. BMT Al-Ikhlas Kota Yogyakarta tidak melakukan pendaftaran sertifikat wakaf tunai kepada menteri sehingga belum bisa memberikan jaminan kepastian hukum bagi wakif.
Penelitian-penelitian tersebut ada kesamaannya, yaitu penelitian yang dilakukan dengan penelitian yang sudah dilakukan sama-sama meneliti mengenai wakaf tunai. Perbedaan antara penelitian yang telah dilakukan dengan penelitian lain yang telah dipublikasikan sebelumnya dengan yang dilakukan penulis adalah: 1. Pada penelitian yang dilakukan oleh Rifka Ramadhani, penelitian ini mengkaji pelaksanaan wakaf uang pada Yayasan Badan Wakaf UII setelah
11
berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 dan solusi atas kendalakendala yang dihadapi Yayasan Badan Wakaf UII dalam penyesuaian pelaksanaan wakaf dengan peraturan perundang-undangan mengenai wakaf uang yang berlaku. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Andre Prima Putra yang menitikberatkan penelitiannya pada perlindungan hukum terhadap wakif dari diterbitkannya sertifikat wakaf tunai oleh BMT Al-Ikhlas Kota Yogyakarta yang merupakan Lembaga Keuangan Syariah yang tidak ditunjuk sebagai Penerima Wakaf Uang. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh penulis lebih menitikberatkan keabsahan perwakafan dan pengelolaan wakaf uang oleh BWU/T MUI DIY karena belum mendaftakan diri kepada Menteri dan BWI. Obyek atau penelitian yakni pada Badan Wakaf Uang/Tunai MUI DIY. Berdasarkan perbedaan judul dan obyek penelitian penulis menjamin keaslian penelitian.
D. Faedah yang Diharapkan Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah: 1. Secara teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu hukum, terutama di bidang hukum Islam. Sebagaimana diketahui bahwasanya wakaf uang merupakan hal yang masih
12
baru di Indonesia dan masih perlu pengembangan agar dapat mensejahterakan umat. 2. Secara praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan gambaran yang jelas kepada masyarakat mengenai wakaf produktif terutama wakaf uang.
E. Tujuan Penelitian Mengacu pada pokok permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Mengetahui dan menganalisis keabsahan perwakafan uang oleh BWU/T MUI DIY. 2. Mengetahui dan menganalisis pengelolaan perwakafan yang dilakukan oleh BWU/T MUI DIY yang bekerjasama dengan BPD Syari’ah DIY ditinjau dari hukum Islam dan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.