BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Angka morbiditas dan mortalitas pasien penyakit ginjal kronik (PGK) tahap akhir yang menjalani dialisis masih sangat tinggi, kira-kira 15 20 persen per tahun, meskipun telah dilakukan perbaikan penatalaksanaan penyakit kardiovaskular, infeksi dan terapi dialisis.1 Menurut United States Renal Data System,
setelah terapi pengganti ginjal dimulai maka lama
harapan hidup pasien yang berusia 40-44 tahun adalah 8 tahun sedangkan bagi yang berusia 60-64 tahun sekitar 4,5 tahun. Beberapa faktor telah dikenal sebagai prediktor fakta ini, diantaranya yang terpenting adalah malnutrisi dan penurunan massa otot.2 Malnutrisi merupakan manifestasi klinis yang sering terjadi pada pasien hemodialisis (HD). Beberapa penelitian mendapatkan bahwa 3070% pasien HD mengalami malnutrisi.3 Penyebab gangguan status nutrisi ini multifaktorial, diantaranya: (a) asupan yang kurang akibat anoreksia oleh karena proses uremia, gangguan sensasi pengecapan, stres emosional dan anjuran menu yang tidak enak. (b) respon katabolik akibat proses inflamasi kronik dan penyakit penyerta. (c) terbuangnya zat-zat gizi seperti asam amino (± 8 gram), peptida (± 9 gram), glukosa, vitamin larut air dan berbagai zat bioaktif akibat prosedur hemodialisis.
20
(d) hilangnya
darah
akibat
perdarahan
saluran
cerna
dan
prosedur
pemeriksaan darah yang berulang kali. (e) gangguan endokrin akibat uremia Malnutrisi ditandai dengan perubahan keutuhan membran sel dan gangguan keseimbangan cairan, sehingga pengukuran komposisi tubuh merupakan bagian terpenting dalam penilaian status nutrisi pasien HD.5 Mengenal dan mengatasi masalah nutrisi ini tepat pada waktunya dapat memperbaiki prognosa pasien, misalnya dengan membantu pasien mendapatkan berat badan ideal, meningkatkan respon terapi dan mengurangi komplikasi pengobatan. Sehingga mengenal dan mengatasi malnutrisi pada awal-awal HD sangat penting untuk mencapai outcome yang baik yaitu peningkatan kualitas hidup.6 Namun hal ini masih menjadi tantangan bagi klinisi karena kurangnya alat yang valid dan dipercaya untuk menilai status nutrisi. Dari dulu status nutrisi sudah dinilai dengan berbagai metode yang objektif seperti pengukuran antropometri (perobahan berat badan dan lingkar otot lengan) dan laboratorium (albumin dan transferin). Tetapi
sampai
sekarang, dari berbagai metode yang telah dikembangkan masih memiliki kekurangan sehingga sulit menentukan metode mana yang terbaik. Misalnya; metode antropometri secara klinis tidak ideal karena boros waktu dan sulit dilakukan khususnya pada pasien yang tergeletak ditempat tidur. Sedangkan pemeriksaan albumin serum sangat dipengaruhi oleh berbagai
21
faktor non nutrisi (Bauer dkk, 2002; Carney & Meguid, 2002; Waitzberg & Correia, 2003).7,8.9 Akhir-akhir ini telah diperkenalkan suatu alat untuk menilai komposisi tubuh dan status nutrisi yaitu Bioelectrical Impedance Analysis (BIA), yang dinyatakan dapat mengatasi kekurangan metode sebelumnya. Menurut Saxena dkk, BIA merupakan alat portable yang mudah digunakan, aman, cepat, bersifat non invasif, tidak mahal, dapat dilakukan berulangulang dan tidak bergantung pada operator serta hasilnya dapat dipercaya dengan tingkat kesalahan yang rendah (± 1%) sehingga dapat digunakan untuk mengukur status nutrisi pada pasien yang menjalani dialisis secara regular.10 Salah satu parameter yang dapat dinilai dari pemeriksaan BIA ini adalah phase angle (PhA). PhA menggambarkan distribusi cairan (resistan) dan keutuhan membran sel (kapasitan) tubuh manusia secara relatif, dimana berkorelasi negatif dengan resistan dan berkorelasi positif dengan kapasitan (Baumgartner dkk, 1988).11 Sebagai indikator distribusi cairan antara intrasel dan ekstrasel, PhA merupakan indikator malnutrisi yang paling sensitif (Talluri dkk, 1999; Schwenk dkk, 2000).12 Malnutrisi dapat mengurangi massa dan keutuhan membran sel serta mendorong perpindahan keseimbangan cairan, sehingga nilai PhA akan rendah.13 PhA juga digunakan sebagai petanda prognostik pada beberapa keadaan dimana integritas membran sel dan keseimbangan cairan terganggu, seperti infeksi HIV, sirosis hati, penyakit paru obstruktif kronik, sepsis, HD
22
dan kanker (Ott dkk,1995; Maggiore dkk, 1996; Schwenk dkk, 1998; Schwenk dkk, 2000; Faisy dkk, 2000; Selberg & Selberg, 2002; D. Gupta dkk, 2004).14 Di Indonesia sendiri belum ada penelitian yang mencari hubungan nilai PhA pada BIA dengan karakteristik dan lama harapan hidup pasien HD kronik, sehingga peneliti mencoba untuk membuktikan hubungan tersebut yang
pada
akhirnya
dapat
dipakai
memperbaiki
prognosa
dan
meningkatkan kualitas hidup pasien HD. 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah, yaitu: a. Apakah terdapat hubungan berbagai karakteristik pasien HD kronik dengan nilai PhA pada BIA ? b. Apakah terdapat hubungan nilai PhA pada BIA dengan lama harapan hidup pasien HD kronik? c. Apakah terdapat hubungan berbagai karakteristik pasien HD kronik tersebut dengan lama harapan hidupnya? 1.3. Hipotesa Hipotesa
penelitian
ini
dikembangkan
berdasarkan
rumusan
masalah, yaitu sebagai berikut: a. terdapat hubungan antara berbagai karakteristik pasien HD kronik dengan nilai PhA pada BIA. b. terdapat hubungan antara nilai PhA pada BIA dengan lama harapan hidup pasien HD kronik.
23
c. terdapat hubungan berbagai karakteristik pasien HD kronik dengan lama harapan hidupnya. 1.4. Tujuan penelitian 1.4.1. Tujuan umum Untuk menentukan hubungan antara nilai PhA pada BIA dengan berbagai karakteristik
dan lama harapan hidup pasien HD kronik
serta mengetahui hubungan berbagai karakteristik pasien HD kronik dengan lama harapan hidupnya. 1.4.2. Tujuan khusus a. Untuk menentukan hubungan berbagai karakteristik pasien
HD
kronik dengan nilai PhA pada BIA b. Untuk menentukan hubungan nilai PhA pada BIA dengan
lama
harapan hidup pasien HD kronik c. Untuk menentukan hubungan berbagai karakteristik pasien HD kronik dengan lama harapan hidupnya. d. Untuk menentukan nilai harapan hidup pasien HD kronik
1.5. Manfaat penelitian Setelah
mengetahui hubungan antara nilai PhA pada BIA dengan
berbagai karakteristik dan lama harapan hidup pasien HD kronik serta mengetahui hubungan berbagai karakteristik pasien HD kronik dengan lama harapan hidupnya, maka hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai:
24
a. masukan bagi praktisi medis dalam upaya memperbaiki prognosa pasien HD kronik dengan menentukan penatalaksanaan yang tepat dan optimal, sehingga kualitas hidup pasien dapat ditingkatkan. b. masukan pada fasilitas pelayanan HD dalam peningkatan mutu pelayanan penatalaksanaan pasien HD. c. indikator prognostik pasien HD kronik
25