1
BAB I PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang Masalah Setiap manusia sesungguhnya adalah citra Tuhan yang mempesona.
Pesona itu dijumpai dalam diri semua bayi yang lahir ke dunia dengan kelengkapan organ-organ tubuh maupun mereka yang lahir dengan keterbatasan fisik. Oleh karena itu, selayaknyalah hidup mesti dihormati bagaimanapun wujudnya di dalam diri setiap orang, karena pada dasarnya tidak ada satu orang pun di dunia ini yang menyukai dirinya dilahirkan dalam keadaan cacat. Keadaan cacat menyebabkan manusia tersebut merasa rendah diri karena merasa tidak berguna dan selalu bergantung pada bantuan dan belas kasihan orang lain. Manusia penyandang cacat pada umumnya memiliki keterbatasanketerbatasan tertentu sesuai dengan jenis kecacatannya. Begitu juga dengan penyandang tunanetra, stigma yang diberikan masyarakat awas (melihat normal) sering kali digambarkan sebagai seseorang yang tak berdaya, tidak mandiri dan menyedihkan, sehingga terbentuk persepsi prasangka bahwa orang tunanetra itu patut dikasihani, selalu butuh perlindungan dan bantuan. Tunanetra adalah seseorang yang memiliki hambatan dalam penglihatan atau tidak berfungsinya indera penglihatan. Anak tunanetra banyak mengalami permasalahan yang berkaitan dengan berbagai segi kehidupan manusia yang akan mempengaruhi kesejahteraan sosial baik bagi dirinya sendiri, keluarga maupun masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
2
Untuk mengatasi permasalahan yang ada pada mereka, maka anak tunanetra perlu dididik dan diberdayakan dengan diberikan pendidikan dan pelatihan/keterampilan yang wajar seperti anak normal lainnya, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 31 UUD 1945 bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran. Dalam Undang-undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran tahun 1954 No. 12 Bab V pasal 7 ayat 5 dikatakan bahwa : Pendidikan dan pengajaran luar biasa bermaksud memberikan pendidikan dan pengajaran kepada orang-orang yang dalam keadaan kekurangan, baik jasmani maupun rohaninya supaya mereka dapat memiliki kehidupan lahir batin yang layak. Pendidikan SLB/A Karya Murni yang berlokasi di Jl. Karya Wisata No. 6 Medan Johor adalah salah satu wadah yang berperan dalam mengatasi problema yang timbul dari penderita cacat netra yakni dengan memberikan hak pendidikan dan keterampilan yang sama dengan anak normal lainnya. Semua anak dididik sesuai dengan bakat dan kemampuannya dengan tidak mengabaikan kurikulum pendidikan pemerintah tahun 1994. Sekolah yang bernaung di bawah Yayasan Seri Amal dan bermitra kerja dengan Keuskupan Agung Medan ini berdiri sejak tahun 1953. Jenjang pendidikan yang ada terdiri dari : Taman Kanakkanak Luar Biasa (TKLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB). Di SLB/A Karya Murni ini juga disediakan panti asuhan yang letaknya berada di belakang area sekolah. Saat ini di Karya Murni terdapat 6 unit panti asuhan, yang setiap unitnya dihuni 10 sampai 12 orang anak tunanetra dengan seorang suster pengasuh dan satu orang karyawan wanita yang bertugas untuk
Universitas Sumatera Utara
3
menyiapkan makanan bagi anak-anak tunanetra. Tiap unit panti asuhan dikepalai oleh seorang suster. Di panti asuhan ini, para siswa/i dikelompokkan sesuai dengan tingkatan usianya masing-masing, dengan maksud agar tiap anak mengalami perkembangan yang wajar sesuai dengan pertambahan usianya sekaligus untuk lebih memandirikan mereka, sehingga ketika tiba waktunya harus keluar dari panti asuhan mereka bisa bertahan hidup dan bersosialisasi dengan masyarakat awas lainnya, tentunya dengan bekal pendidikan dan keterampilan yang didapat dari sekolah dan panti asuhan. Adapun yang menjadi penghuni panti asuhan ini adalah para siswa/i tunanetra yang yatim, piatu, yatim piatu, ditinggalkan/ditolak keluarga, ekonomi lemah, dititipkan keluarga sampai yang dengan kemauannya sendiri ingin tinggal di panti asuhan. Di sini semua anak diperlakukan dan dihormati sama tanpa memandang asal- usul, suku, agama, tingkat ekonomi ataupun keadaan fisik. Siswa adalah manusia berpotensi yang layak dikembangkan untuk mencapai kemandirian, kreativitas dan produktivitas. Seorang siswa tunanetra yang dalam kesehariannya mengalami banyak kelemahan karena keterbatasan rangsangan visual, membutuhkan layanan konseling untuk membantunya memecahkan masalah dan membentuk konsep diri yang baik agar ia tumbuh menjadi pribadi yang mandiri dan berperilaku positif. Bertitik tolak dari alasan di atas, maka Yayasan Karya Murni ini menyediakan seorang konselor yang bertugas untuk membantu para siswa/i baik yang bermasalah maupun tidak. Konselor ini adalah seorang suster dengan latar
Universitas Sumatera Utara
4
belakang pendidikan psikologi, yang kesehariannya tinggal dan bertugas di panti asuhan. Pola komunikasi konseling yang umumnya terdapat di lingkungan panti asuhan Karya Murni ini adalah bersifat kekeluargaan dan persaudaraan yang tinggi, namun tetap mengutamakan sisi kedisplinan/ketegasan. Hal ini dikarenakan pada dasarnya para siswa/i tunanetra memiliki tingkat kecerdasan, daya tangkap, sifat dan kepribadian yang tidak sama satu sama lain. Pada kenyataan yang terlihat, para siswa/i tunanetra di panti asuhan Karya Murni ini sedikit banyak dapat mengatasi segala kelemahan yang ada pada mereka. Hal ini dapat terlihat dari kemandirian mereka dalam mengerjakan tugastugas rutin seperti mengenakan dan memilih pakaian yang serasi, menyiapkan dan mengunakan alat-alat makan di atas meja, memelihara kebersihan diri sendiri, pergi ke sekolah dan kembali pulang ke panti asuhan sendiri maupun mampu menjalin persahabatan/bersosialisasi dengan teman sebayanya, guru pembimbing, suster pengasuh, dan terhadap warga lainnya di sekitar lingkungan sekolah dan panti asuhan. Selain itu, beberapa dari mereka juga berhasil mengukir sejumlah prestasi di bidang olah raga, akademis, pembinaan mental/kreativitas dan seni. Dengan kata lain, sifat-sifat negatif yang umumnya dimiliki seorang tunanetra seperti curiga terhadap orang lain, mudah tersinggung dan ketergantungan yang berlebihan dengan orang lain tidak tampak pada diri mereka.
Universitas Sumatera Utara
5
I.2
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah peranan komunikasi layanan konseling individual antara konselor dengan siswa/i tunanetra dalam membentuk konsep diri klien tunanetra di panti asuhan Karya Murni Medan Johor? 2. Bagaimanakah teknik-teknik komunikasi konseling yang dilakukan konselor terhadap klien tunanetra dalam membentuk konsep diri mereka? 3. Siapakah yang proaktif dalam layanan konseling itu – konselor atau klien tunanetra? 4. Masalah-masalah apakah yang pada umumnya menjadi fokus layanan konseling bagi klien tunanetra? 5. Bagaimanakah bentuk solusi yang ditawarkan oleh konselor untuk mengatasi masalah yang dihadapi klien tunanetra?
I.3 Pembatasan Masalah Pembatasan masalah ditujukan agar ruang lingkup penelitian dapat lebih jelas dan terarah, sehingga tidak mengaburkan penelitian. Adapun pembatasan masalah tersebut adalah sebagai berikut: 1. Populasi penelitian adalah siswa/i tunanetra di panti asuhan Karya Murni Jl. Karya Wisata Medan Johor. 2. Subjek penelitian adalah 4 orang siswa/i yang duduk di tingkat SLTP.
Universitas Sumatera Utara
6
3. Penelitian ini terfokus untuk menggambarkan dan membahas bagaimana peranan komunikasi layanan konseling individual dengan konselor pada siswa/i tunanetra dalam membentuk konsep diri klien tunanetra di panti asuhan Karya Murni. 4. Pembentukan
konsep
diri
klien
tunanetra
dilihat
dari
perangkat
teori Rogers/teori diri (Self Theory) tentang lima sifat khas seseorang yang berfungsi sepenuhnya (fully human being). 5. Tipe penelitian ini menggunakan tipe deskriptif kualitatif dimana peneliti mendeskripsikan atau merekonstruksi wawancara mendalam terhadap subjek penelitian tanpa menjelaskan hubungan antar variabel atau menguji hipotesis.
I.4
Tujuan dan Manfaat Penelitian
I.4.1 Tujuan Penelitian Yang menjadi tujuan penelitian adalah sebagai berikut: a. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan membahas bagaimana peranan komunikasi layanan konseling individual antara konselor dengan siswa/i tunanetra dalam membentuk konsep diri klien tunanetra di panti asuhan Karya Murni Jl. Karya Wisata Medan Johor. b. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui teknik-teknik komunikasi konseling yang
dilakukan
konselor
terhadap
klien
tunanetra
terhadap
proses
pembentukan konsep diri klien tunanetra c. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui siapa yang proaktif dalam layanan konseling – konselor atau klien tunanetra.
Universitas Sumatera Utara
7
d. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui permasalahan yang pada umumnya menjadi fokus layanan konseling bagi klien tunanetra. e. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk solusi yang ditawarkan oleh konselor terhadap masalah yang dihadapi klien tunanetra.
I.4.2
Manfaat Penelitian Dalam hal ini manfaat penelitian yang dimaksud adalah:
a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu komunikasi konseling individual yang berkaitan dengan pembentukan konsep diri siswa/i tunanetra. b. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan memperkaya bahan penelitian dan sumber bacaan di lingkungan FISIP USU, khususnya di bidang ilmu komunikasi. c. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pihak yang terkait dalam penelitian, dalam hal ini adalah konselor pada panti asuhan Karya Murni Medan Johor untuk dapat lebih meningkatkan perhatian dalam menangani kebutuhan dan permasalahan siswa/i tunanetra.
Universitas Sumatera Utara
8
I.5
Kajian Pustaka Kajian pustaka berfungsi untuk menguraikan teori, konsep, atau
pendekatan terbaru yang ada hubungannya dengan masalah penelitian. Kajian pustaka merupakan dasar untuk membuat definisi konsep dan operasionalisasi variabel. Menurut Kriyantono (2006:45) teori dalam pendekatan kualitatif berfungsi sebagai pisau analisis yakni membantu peneliti untuk mengumpulkan dan memaknai data serta mendialogkannya dengan konteks sosial yang terjadi. Adapun teori-teori yang relevan dengan penelitian ini adalah: I.5.1
Komunikasi Wilbur Schramm mengatakan bahwa kata communication itu berasal
dari kata Latin communis yang berarti common (sama). Dengan demikian apabila kita akan mengadakan komunikasi, maka kita harus mewujudkan persamaan antara kita dengan orang lain. Sama di sini maksudnya adalah sama makna (Effendy, 1996:9). Menurut Cherrey, komunikasi adalah menekankan pada proses hubungan, sedangkan Gode berpendapat bahwa komunikasi merupakan proses yang menekankan pada sharing atau pemilikan (Liliweri, 1997:5). Sementara itu Laswell (Effendy, 1993:253), menyatakan bahwa cara terbaik untuk menerangkan proses komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan : Who, Says What, In Which Channel, To Whom, With What Effect (Siapa, Mengatakan Apa, Melalui Saluran Apa, Kepada Siapa, Dengan Efek Apa). Dari pertanyaan tersebut dapat didaftarkan 5 unsur proses komunikasi yakni: komunikator, pesan, media, komunikan, dan efek.
Universitas Sumatera Utara
9
Berikut adalah penjabaran formula Laswell apabila dihubungkan dengan penelitian yang dilaksanakan: 1. Who (komunikator) adalah konselor di panti asuhan Karya Murni, yang berfungsi sebagai penyampai atau pemberi pesan verbal yakni berupa katakata, saran, pikiran maupun pesan non verbal (perilaku non verbal) dalam proses konseling. 2. Says What (pesan) adalah kata-kata atau ucapan, ide, saran dan pikiran yang diberikan atau disampaikan konselor kepada siswa/i tunanetra sebagai klien tunanetra. 3. In Which Channel (media) adalah saluran atau sarana penyampaian pesan yaitu melalui organ pengindera. 4. To Whom (komunikan) adalah klien tunanetra di panti asuhan Karya Murni Medan Johor. 5. With What Effect (efek yang ditimbulkan) adalah terbentuknya konsep diri pada klien tunanetra.
Universitas Sumatera Utara
10
Tabel 1 Formula Laswell apabila dihubungkan dengan penelitian
Who
Says What
InWhich
To Whom
With What
(Komunikator)
(Pesan)
Channel
(Komunikan)
Effect
(Media)
(Efek yang ditimbulkan)
Konselor
a. Pesan verbal
Organ
Siswa/i tunanetra
Terbentuknya
pengindera
di panti asuhan
konsep diri pada
b. Pesan non verbal
Karya Murni
klien tunanetra
(perilaku non
Medan Johor
verbal)
sebagai klien
(bahasa lisan)
tunanetra
Universitas Sumatera Utara
11
I.5.2
Komunikasi Hubungan Manusiawi Komunikasi hubungan manusiawi/komunikasi insani adalah proses
pembentukan makna di antara dua orang atau lebih. Goyer mengatakan bahwa komunikasi insani menjadi unik karena kemampuannya yang istimewa untuk menciptakan dan menggunakan lambang-lambang, sehingga dengan kemampuan ini manusia dapat berbagi pengalaman secara tidak langsung maupun memahami pengalaman orang lain (Tubbs, 1996:5). Adapun unsur-unsur dalam komunikasi hubungan manusiawi adalah: 1. Komunikator 1 dan komunikator 2 2. Pesan 3. Saluran 4. Gangguan (interference) 5. Umpan balik 6. Waktu Menurut Rosenberg, komunikasi hubungan manusiawi berkaitan erat dengan konsep diri. Setiap individu memperoleh identitas diri dengan memperhatikan dan diperhatikan orang lain. Lebih jauh lagi, kita menumbuhkan identitas dan nilai diri dengan membandingkannya dengan orang lain (Tubbs, 1996:3-4). Adapun karakteristik komunikasi hubungan manusiawi sebagai berikut: a. Kepercayaan dan pengertian. b. Berbagi informasi dan pemilikan bersama atas informasi.
Universitas Sumatera Utara
12
c. Konteks, terdiri dari: - situasi atau keadaan (setting) - lingkungan sosial psikologis di mana komunikasi terjadi dan hubungan berkembang. d. Penegasan (konfirmasi) dan diskonfirmasi. e. Sikap mendukung dan bertahan. f. Afeksi dan kontrol (Tubbs, 1996:206).
I.5.3
Tunanetra Pengertian tunanetra dilihat dari segi etimologi bahasa yakni:
tuna = rugi, netra = mata atau cacat mata. Jadi tunanetra menggambarkan keadaan penderita yang mengalami kelainan indera penglihatan, baik kelainan itu bersifat berat (buta total) maupun ringan (low vision/kurang awas). Akibat kekurangan penglihatan atau bahkan kehilangan sama sekali indera penglihatan sebagai yang diderita oleh anak-anak tunanetra, menimbulkan berbagai masalah yang menyebabkan terbatasnya kemampuan-kemampuan berkembang anak tunanetra dibanding dengan kemampuan berkembang yang dialami anak awas. Keterbatasan berkembang tersebut antara lain karena anak tunanetra menderita kemiskinan tanggapan yang sangat parah, yang bagi anak awas tanggapan tersebut sebagian besar diperoleh melalui rangsangan visual.
Universitas Sumatera Utara
13
Masalah-masalah yang timbul bagi anak tunanetra antara lain: (1) Mudah curiga terhadap orang lain. (2) Mudah tersinggung perasaannya. (3) Rasa ketergantungan yang berlebihan dengan orang lain (Ramidjo, 1998:4-5).
I.5.4
Konseling Individual Istilah konseling berasal dari bahasa Inggris “to counsel” yang secara
etimologi berarti “to give advice” atau memberi saran dan nasihat. Jones mendefinisikan konseling sebagai kegiatan dimana semua fakta dikumpulkan dan semua pengalaman siswa difokuskan pada masalah tertentu untuk diatasi sendiri oleh yang bersangkutan, dimana ia diberi bantuan pribadi dan langsung dalam pemecahan masalah itu. Konseling harus ditujukan pada perkembangan yang progresif dari individu untuk memecahkan masalah-masalahnya sendiri (Lubis, 2006:7). Selanjutnya menurut Jones, proses konseling akan terlaksana bila terlihat beberapa aspek berikut ini: a. Terjadi antara dua orang individu, masing-masing disebut konselor dan klien. b. Terjadi dalam suasana yang profesional. c. Dilakukan dan dijaga sebagai alat yang memudahkan perubahan-perubahan dalam tingkah laku klien. Rogers mengemukakan sebagai berikut : Counseling is a series of direct contacts with the individual which aims to offer him assistance in changing his attitude and behaviour. Konseling adalah serangkai hubungan langsung dengan
Universitas Sumatera Utara
14
individu yang bertujuan untuk membantu dia dalam merubah sikap dan tingkah lakunya (Hallen, 2005:9). Sementara itu, Shertzer dan Stone mendefinisikan hubungan konseling yaitu interaksi antara seorang dengan orang lain yang dapat menunjang dan memudahkan secara positif bagi perbaikan orang tersebut (Willis, 2004:36). Karakteristik hubungan konseling adalah sebagai berikut: 1. Hubungan konseling itu sifatnya bermakna, terutama bagi klien, demikian pula bagi konselor. Hubungan konseling terjadi dalam suasana keakraban (intimate). 2. Bersifat afek. Afek adalah perilaku-perilaku emosional, sikap dan kecenderungankecenderungan yang didorong oleh emosi. Afek hadir karena adanya keterbukaan diri (disclosure) klien, keterpikatan, keasyikan diri (self absorbed) dan saling sensitif satu sama lain. 3. Integrasi pribadi. Terdapat ketulusan, kejujuran dan keutuhan antara konselor-klien. 4. Persetujuan bersama. Ada komitmen (keterikatan) antara kedua belah pihak. 5. Kebutuhan. Hubungan konseling akan berhasil bila klien datang atas dasar kebutuhannya. 6. Struktur. Proses konseling (bantuan) terdapat struktur karena adanya keterlibatan konselor dan klien
Universitas Sumatera Utara
15
7. Kerjasama. Jika klien bertahan (resisten) maka ia menolak dan tertutup terhadap konselor. Akibatnya, hubungan konseling akan macet. Begitu juga sebaliknya. 8. Konselor mudah didekati, klien merasa aman. Faktor iman dan taqwa sangat mendukung terhadap kehidupan emosional konselor. 9. Perubahan. Tujuan akhir dari hubungan konseling adalah perubahan positif - si klien menjadi lebih sadar dan memahami diri, mendapatkan cara-cara terbaik untuk berbuat/merencanakan kehidupannya menjadi lebih dewasa dan pribadinya terintegrasi. Perubahan internal dan eksternal terjadi di dalam sikap dan tindakan, serta persepsi terhadap diri, orang lain dan dunia (Willis, 2004:4144). Dari definisi-definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa komunikasi layanan konseling individual merupakan kegiatan komunikasi antara konselor dengan klien (adanya keikutsertaan/keterlibatan dua orang individu) yang terjadi dalam suasana keakraban/kebersamaan dan terdapat interaksi atau umpan balik antara kedua belah pihak sehingga si klien dapat memahami pikiran ataupun pesan yang disampaikan konselor yang tujuan akhirnya adalah untuk memenuhi kebutuhan dan memecahkan masalah helpee (klien) - client centered sehingga klien mempunyai gambaran diri (konsep diri) yang jelas.
Universitas Sumatera Utara
16
I.5.5
Konsep Diri Konsep diri adalah keyakinan yang dimiliki individu tentang atribut
(ciri-ciri/sifat) yang dimilikinya (Dayakisni, 2003:65). Sedangkan Rakhmat (1989:112) menyatakan konsep diri adalah pandangan dan perasaan tentang diri kita. Pearson et.al. (Tubbs, 1996:42) berpendapat bahwa konsep diri adalah kesan yang relatif stabil mengenai diri sendiri, tidak hanya mencakup persepsi mengenai karakteristik fisik, melainkan juga penilaian diri mengenai apa yang pernah dicapai, yang sedang dijalani, dan apa yang ingin dicapai. Konsep diri tumbuh melalui umpan balik yang diterima dari orang-orang di sekitar kita. Konsep diri berkembang melalui hubungan dan interaksi dengan orang lain. Menurut Carl R. Rogers, konsep diri adalah kesadaran batin yang tetap, mengenai pengalaman yang berhubungan dengan aku dan membedakan aku dari yang bukan aku. Teori ini disebut juga teori Rogers/teori diri (Self Theory), yakni teori yang berpusat pada pribadi. Teori ini pada dasarnya memberikan tekanan yang kuat pada pengalaman-pengalaman sang pribadi, perasaan-perasaan, nilainilai dan semua yang teringkas dalam ekspresi “kehidupan batin” (Hall, 1993:126). Rogers yakin bahwa dalam diri setiap orang terdapat potensi-potensi untuk menjadi sehat dan tumbuh secara kreatif. Setiap
manusia
memiliki
kebutuhan
dasar
akan
kehangatan,
penghargaan, penerimaan, pengagungan dan cinta dari orang lain. Kebutuhan ini disebut need for positive regard. Rogers menggambarkan pribadi yang berfungsi sepenuhnya adalah pribadi yang mengalami penghargaan positif tanpa syarat. Ini berarti dia dihargai, dicintai karena nilai adanya diri sendiri sebagai individu,
Universitas Sumatera Utara
17
sehingga ia tidak bersifat defensif namun cenderung untuk menerima diri dengan penuh kepercayaan. Rogers beragumentasi bahwa perubahan-perubahan dalam persepsi diri dan persepsi atas realitas menghasilkan perubahan yang serentak dalam perilaku dan hal itu memberikan kondisi psikologis tertentu bagi seseorang sehingga mempunyai kapasitas untuk mereorganisasi bidang persepsinya, termasuk bagaimana mereka memandang diri mereka sendiri sehingga menjadi individu yang lebih otonom, spontan, percaya diri (Graham, 2005:92-93). Menurut Rogers, ada lima sifat khas seseorang yang berfungsi sepenuhnya (fully human being): 1. Keterbukaan pada pengalaman. 2. Tidak adanya sikap defensif. 3. Kesadaran yang cermat. 4. Penghargaan diri tanpa syarat. 5. Hubungan yang harmonis dengan orang-orang lain (Hall, 1993:128).
I.6
Definisi Konsep Konsep adalah istilah yang mengekspresikan sebuah ide abstrak
(hasil pemikiran rasional) yang dibentuk dengan menggeneralisasikan obyek atau hubungan fakta-fakta yang diperoleh dari pengamatan. Agar konsep-konsep dapat diteliti secara empiris, maka harus dioperasionalisasikan dengan mengubahnya menjadi variabel. Suatu variabel adalah konsep tingkat rendah, yang acuan-acuannya secara relatif mudah diidentifikasikan dan diobservasi serta diklasifikasi, diurut atau diukur
Universitas Sumatera Utara
18
(Kriyantono, 2006:20). Variabel berfungsi sebagai penghubung antara dunia teoritis dengan dunia empiris. Konsep operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Tabel 2 Konsep Operasional
Konsep Variabel 1. Variabel Komunikasi Layanan Konseling Individual
Operasionalisasi Konsep a. Keikutsertaan untuk berkonseling b. Suasana sewaktu berkonseling
Indikator - berminat/tidak berminat untuk berkonseling - apakah tercipta suasana akrab, rileks, kekeluargaan dan sebagainya
c. Cara penyampaian pesan
- melalui pesan verbal (komunikasi lisan) dan perilaku non verbal
d. Umpan balik
- ada umpan balik/respon
e. Pemahaman akan pesan
- paham/mengerti akan pesan yang disampaikan
2. Variabel Pembentukan a. Terbuka pada Konsep Diri
pengalaman
- rasa cemas, marah atau takut sudah berkurang/hilang terhadap masalah yang sedang dihadapi - optimis akan masa depan
b. Tidak bersikap defensif
- sudah bersikap terbuka - tidak menyalahkan orang lain akan kecacatan/kesulitan yang diderita
Universitas Sumatera Utara
19
c. Kesadaran yang cermat
- sudah memiliki rasa percaya diri - menyadari kelebihan/bakat yang dimiliki
d. Penghargaan diri tanpa syarat
- merasa cukup berarti di lingkungannya - ada prestasi di dalam maupun di luar kelas
e. Menjalin hubungan yang harmonis dengan orang lain (Hall, 1993:128).
- dapat bergaul dengan semua penghuni panti asuhan - ada rasa tanggung jawab dan memiliki satu sama lain
Universitas Sumatera Utara
20
I.7
Definisi Operasionalisasi Definisi operasional berfungsi untuk memperjelas variabel-variabel
dalam konsep operasional. Adapun yang menjadi definisi operasional dalam penelitian ini adalah: 1. Variabel komunikasi layanan konseling individual terdiri dari: a. Keikutsertaan
untuk
berkonseling
yaitu
apakah
siswa
tunanetra
(klien tunanetra) berminat atau tidak untuk ikut serta atau melibatkan diri berkonseling dengan konselor. Dari sini juga akan diketahui siapa yang proaktif dalam layanan konseling tersebut – konselor atau klien tunanetra. b. Suasana berkonseling yaitu bagaimana keadaan/kondisi antara konselor dengan klien tunanetra ketika berkonseling – apakah tercipta suasana akrab, kebersamaan/intim, rileks dan kekeluargaan atau sebaliknya. c. Cara
penyampaian
pesan
yaitu
bagaimana
konselor
menyampaikan
pesannya – apakah melalui komunikasi lisan (pesan verbal) dengan disertai bahasa tubuh (perilaku non verbal) atau tidak disertai dengan perilaku non verbal. Dari sini juga akan diketahui bagaimana teknik-teknik komunikasi konseling yang dilakukan konselor terhadap klien tunanetra. d. Umpan balik yaitu apakah terdapat umpan balik atau respon antara konselor dan klien tunanetra. e. Pemahaman akan pesan yaitu paham atau tidak si klien tunanetra akan pesan, ide, saran atau pun pikiran yang disampaikan konselor sehingga ia dapat mempraktekkannya di dalam kehidupan sehari-hari.
Universitas Sumatera Utara
21
Dari sini juga akan diketahui masalah apa saja yang pada umumnya menjadi fokus layanan bagi klien tunanetra berikut bentuk solusi yang ditawarkan oleh konselor untuk mengatasi masalah yang dihadapi klien tunanetra. 2. Variabel pembentukan konsep diri terdiri dari: a. Terbuka pada pengalaman merupakan keadaan dimana siswa/i tunanetra (klien tunanetra) mulai mengenal unsur-unsur pengalamannya pada masa lampau yang mau tidak mau disadari karena terlalu mengancam atau terlalu merugikan struktur dirinya. Keadaan emosional itu bisa berupa kecemasan, ketakutan, kemarahan, misalnya kekalutan pikiran akan masa depan (mendapat pekerjaan), keinginan untuk bisa melihat lagi, masalah keluarga, pelajaran di sekolah, masalah hubungan dengan teman atau guru dan sebagainya. Selanjutnya ia mengetahui bahwa ia telah mengalami dirinya sehingga tingkah lakunya berubah secara konstruktif sesuai dengan dirinya/perasaannya yang baru dialaminya, bahwa ia adalah semua perasaan itu. Sikap ini berhasil apabila klien tidak perlu cemas atau takut lagi terhadap apa yang mungkin melekat pada pengalaman itu. Selain itu ia juga memiliki rencana hidup masa akan datang. Dia tahu keputusan mana yang mungkin dapat dilaksanakan sesuai tujuan utama yang dia inginkan. b. Tidak bersikap defensif merupakan sikap keterbukaan yang dimiliki klien tunanetra dimana ia dapat menerimanya dengan bebas sebagai bagian dari dirinya yang berubah dan berkembang secara realistis dan sebagaimana adanya.
Universitas Sumatera Utara
22
Sikap ini dimulai dengan mengoreksi diri sendiri dan meniadakan sikap yang suka menyalahkan dunia luar, seperti orang tua, teman, keadaan yang tidak menguntungkan dan sebagainya. c. Kesadaran yang cermat yaitu sikap percaya diri dan jujur yang terbentuk di dalam diri klien tunanetra dimana dia menyadari kelebihan-kelebihan ataupun bakat-bakat yang dimilikinya, sehingga ia tidak sepenuhnya bergantung pada bantuan orang lain. Dengan kata lain, dia menjadi mandiri dan menganggap bahwa dirinya cukup berarti di lingkungannya. d. Penghargaan diri tanpa syarat yaitu keadaan dimana klien tunanetra bebas mengaktualisasikan diri untuk berkarya dan berprestasi serta mengembangkan sifat-sifat dan potensi-potensi psikologis yang unik sebagai manifestasi potensi yang dimiliki. e. Menjalin hubungan yang harmonis dengan orang lain yaitu sikap dimana klien tunanetra mampu menghargai keberadaan orang lain dengan segala kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Sehingga ia menganggap dirinya sederajat atau setara dengan orang lain. Sikap ini ditandai dengan adanya keinginan untuk bekerjasama dan saling tenggang rasa dengan
teman-
temannya, guru pembimbing, suster pengasuh maupun terhadap warga lainnya di sekitar lingkungan sekolah dan panti asuhan (Hall, 1993:128).
Universitas Sumatera Utara
23
I.8
Metodologi Penelitian
I.8.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di panti asuhan Karya Murni Jl. Karya Wisata No. 6 Medan Johor. Lokasi ini dipilih oleh peneliti sebab siswa/i di panti ini telah banyak yang mengukir prestasi di tingkat lokal maupun nasional. Prestasi-prestasi itu antara lain: 1. Bidang akademis: beberapa kali berhasil menjuarai lomba mengarang tingkat nasional dan lomba baca indah tingkat propinsi. 2. Bidang pembinaan mental/kreativitas: dua kali terpilih mengikuti Jambore Nasional di Jakarta, mengadakan mini konser di Medan, terpilih sebagai duta dari Sumatera Utara mengikuti konser “Children of the World” di Jakarta bersama dengan duta-duta dari negara lain serta ikut memeriahkan perayaan HUT RI ke 56 di Lapangan Merdeka Medan. 3. Bidang olahraga: beberapa kali peringkat pertama menjuarai lomba catur anak-anak cacat tingkat propinsi dan tingkat nasional, peringkat pertama lomba lari 100 meter anak-anak cacat tingkat internasional di Australia dan tingkat nasional di Solo. 4. Beberapa alumni SLB/A ada yang sampai mengikuti perkuliahan di universitas swasta Medan antara lain di UNIKA St. Thomas dan UNIMED (Sumber: Buku Kenangan 50 Tahun SLB/A Karya Murni hal 107-116).
Universitas Sumatera Utara
24
I.8.2 Metode Penelitian Metode pengkajian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, yang mengutamakan proses/kedalaman data daripada keluasan data. Sedangkan tipe penelitian ini menggunakan tipe deskriptif kualitatif, dimana peneliti mendeskripsi atau merekonstruksi wawancarawawancara mendalam terhadap subjek penelitian (Alsa, 2003:55).
I.8.3 Subjek Penelitian Menurut Kriyantono (2006:161) dalam penelitian kualitatif tidak dikenal istilah sampel. Sampel pada penelitian kualitatif disebut subjek penelitian atau informan. Adapun kriteria yang menjadi subjek penelitian/informan adalah sebagai berikut : -
Subjek terdiri dari 4 orang siswa/i panti asuhan Karya Murni yang duduk di tingkat SLTP (2 orang laki-laki dan 2 orang perempuan).
-
Subjek adalah tunanetra dengan kisaran tngkat penglihatan dari kebutaan total hingga kurang awas (low vision) – atau ketunanetraan berat hingga ketunanetraan ringan.
-
Subjek memiliki kemampuan berkomunikasi yang cukup baik untuk dapat diwawancarai.
-
Subjek mempunyai kesadaran yang cukup baik akan diri dan lingkungannya. Berdasarkan kriteria tersebut, maka peneliti mengambil 4 orang sebagai
subjek penelitian. Dalam hal ini peneliti menggunakan teknik snowball sampling (sampel bola salju), yaitu teknik penentuan sampel yang awalnya berjumlah kecil,
Universitas Sumatera Utara
25
kemudian berkembang semakin banyak. Orang yang dijadikan sampel pertama diminta memilih atau menunjuk orang lain untuk dijadikan sampel lagi, begitu seterusnya sampai jumlahnya banyak. Proses ini baru berakhir bila periset merasa data telah jenuh, artinya periset merasa tidak lagi menemukan sesuatu yang baru dari wawancara (Kriyantono, 2003:157). Dengan demikian apabila data-data yang diperlukan dalam peneltian dianggap masih belum mencukupi melalui 4 orang subjek penelitian, maka tidak menutup kemungkinan subjek penelitian akan terus bertambah sesuai dengan kebutuhan penelitian. Penentuan jumlah informan didasarkan pada kenyataan bahwa tingkat homogenitas/sifat-sifat populasi yang relatif sama.
I.8.4 Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah : 1. Penelitian Kepustakaan (Library Research) Yaitu teknik mengumpulkan data dengan menghimpun data/informasi dari sumber-sumber bacaaan yang relevan dengan penelitian ini. 2. Penelitian Lapangan (Field Research) Yaitu kegiatan dimana peneliti mengumpulkan data di lokasi penelitian yang meliputi: a. Pengamatan (Observasi Partisipan) Peneliti melibatkan diri secara pasif dalam beberapa kegiatan subjek penelitian. Pengamatan ini dilakukan untuk melengkapi data wawancara. Adapun kegiatan observasi itu dilakukan: -
pada jam istirahat sekolah,
Universitas Sumatera Utara
26
-
di setiap hari Sabtu dimana pada hari tersebut siswa/i panti asuhan melaksanakan program pengembangan diri,
-
serta pada jam istirahat di panti asuhan yakni setiap jam 15.00 – 16.30 WIB.
b. Wawancara Mendalam (Indepth/Qualitative Interview) Pada saat wawancara peneliti mengunakan pedoman wawancara (Interview Guide) untuk mengarahkan penelitian supaya tidak melenceng. Hasil wawancara tersebut direkam dalam pita rekaman (kaset) dan juga dicatat pada kertas (transkrip wawancara). Adapun kegiatan wawancara itu dilakukan: -
di setiap hari Sabtu dimana pada hari tersebut siswa/i panti asuhan melaksanakan program pengembangan diri sehingga
peneliti dan
subjek penelitian memiliki keleluasaan waktu sehingga tidak mengganggu proses belajar di sekolah, -
serta pada jam istirahat di panti asuhan yakni setiap jam 15.00 – 16.30 WIB.
I.8.5 Teknik Analisis Data Menurut Kriyantono (2006:192), penelitian kualitatif menggunakan cara berpikir induktif, yaitu cara berpikir yang berangkat dari hal-hal yang khusus (fakta empiris) menuju hal-hal yang umum (tataran konsep). Dalam penelitian kualitatif, interpretasi/pemaknaan data yang diperoleh dari hasil observasi dan wawancara dilakukan di sepanjang penelitian.
Universitas Sumatera Utara
27
Adapun poses analisis dalam penelitian ini terdiri dari tiga fase yaitu: (1) Reduksi data (data reduction) Reduksi data adalah proses menyeleksi, memfokuskan dan menyederhanakan data yang tercantum dalam catatan lapangan atau transkrip wawancara. Reduksi data ini tidak hanya dimaksudkan agar menjadi padat sehingga mudah dikelola, tetapi juga agar lebih mudah dipahami dari perspektif masalah yang dibahas. (2) Penyajian data (data display) Fase kedua dari analisis data ini adalah menentukan bagaimana data itu akan disajikan. Sajian data tersebut dimaksudkan untuk mempermudah peneliti membuat ekstrapolasi dari data karena dengan sajian ini peneliti dapat dengan lebih cepat melihat adanya hubungan-hubungan yang sistematik. Di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan bentuk sajian data berupa tabel (matriks). (3) Penarikan kesimpulan (conclusion) Penarikan kesimpulan dilakukan dengan melihat kembali data guna mempertimbangkan makna dari data yang sudah dianalisis dengan implikasinya berdasarkan pertanyaan-pertanyaan dalam perumusan masalah penelitian.
Universitas Sumatera Utara