BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi global saat ini telah menyebabkan persaingan dalam bisnis sebagai tantangan sehari-hari yang akan terus dihadapi. Dalam semakin ketatnya kompetisi ini, strategi pemasaran yang hanya fokus pada manfaat fungsional dari suatu produk atau layanan sudah dinilai kurang menarik dan kurang efektif untuk mempertahankan minat konsumen. Beragam merek dalam satu kategori produk atau layanan menantang para pelaku bisnis untuk dapat mengembangkan strategi yang lebih inovatif agar dapat mempertahankan eksistensi merek dan bisnisnya. Salah satu strategi manajemen merek yang saat ini mulai banyak dilakukan adalah dengan menciptakan pengalaman unik dan menyenangkan bagi konsumen yang dapat memuaskan kebutuhan mereka sehingga suatu merek dapat dibedakan dari merek lain meskipun dalam industri yang sama. Seperti yang dikemukakan oleh Joy dan Sherry (2003), pasar saat ini telah mengalami perubahan substansial dimana pemasar telah beralih dari menjual dan mempromosikan produk dan jasa, untuk menjual dan memikat pelanggan melalui pengalaman. Banyak perusahaan di seluruh dunia dengan mereknya masingmasing saling bersaing untuk menarik perhatian pelanggan, sehingga menciptakan pengalaman dengan merek yang membangkitkan sensasi, perasaan, kognisi, dan respon perilaku pun kian menjadi hal penting (Brakus et al., 2009).
1
Empat puluh tahun lalu, Ries dan Trout (1972) menuliskan artikel yang menegaskan bahwa perang pemasaran bukanlah di pasar secara fisik dengan iklan visual yang semakin lama kian menjadi gangguan bagi pelanggan. Dengan semakin banyaknya merek, istilah proposisi penjualan yang unik (Unique Selling Proposition) yang hanya fokus pada fitur dan manfaat produk atau layanan bagi konsumen sudah semakin sulit merebut hati pelanggan. Era baru yang terjadi adalah konsep ini semakin digantikan oleh pentingnya memposisikan suatu merek karena perang pemasaran sebenarnya terjadi di benak pelanggan. Schmitt (1999) mengemukakan bahwa saat ini adalah jaman pemasaran pengalaman (experiential marketing), dimana konsumen tidak hanya sekedar mencari produk secara fungsional saja, namun juga mencari perusahaan dan merek-merek tertentu untuk dijadikan bagian dari hidup, berhubungan dengan hidup mereka, memahami mereka, sesuai dengan kebutuhan mereka dan membuat hidup mereka lebih terpenuhi. Konsep ini berbeda dengan pemasaran tradisional yang memandang konsumen sebagai pengambil keputusan rasional yang hanya fokus pada fitur fungsional dan manfaat dari suatu produk atau jasa. Pemasaran berbasis pengalaman melihat konsumen tidak hanya sebagai manusia rasional, melainkan juga emosional yang menginginkan pengalaman menyenangkan. Ada lima jenis pengalaman yang dapat dirasakan pelanggan menurut Schmitt (1999), yaitu yang dapat diterima oleh panca indera (sensorik); dirasakan oleh perasaan (afektif); memicu pemikiran (kreativitas kognitif); melibatkan fisik, perilaku, dan gaya hidup (tindakan); serta memenuhi kebutuhan sosial dan budaya manusia sebagai makhluk sosial (identitas sosial). Namun berdasarkan penelitian terbaru
2
oleh Brakus et al. (2009), diantara lima jenis pengalaman tersebut, hanya pengalaman sensorik, afektif, perilaku, dan intelektual saja yang paling berpengaruh bagi konsumen. Beberapa penelitian lain juga dapat mengkonfirmasi temuan oleh Brakus et al. ini, dimana produk dan layanan yang menawarkan interaksi berkesan, tidak terlalu signifikan dipengaruhi pengalaman sosial konsumen dengan merek tersebut, sehingga teori yang dikemukakan Brakus et al. (2009) dapat dikatakan lebih relevan untuk menjelaskan secara umum cakupan pengalaman merek saat ini. Pengalaman yang ditawarkan suatu merek (brand experience) sebagai titik-titik persentuhan pelanggan atau konsumen dengan merek, adalah bagian dari strategi implementasi yang penting bagi perusahaan yang ingin menciptakan kepuasan pelanggan dan loyalitas tinggi (Brakus et al., 2009), dimulai sejak awal proses ketika mencari produk, membeli dan menerima layanan, serta mengkonsumsi produk. Interaksi paling penting dalam membentuk loyalitas pelanggan terhadap suatu merek adalah interaksi saat mengkonsumsi produk atau menerima jasa. Interaksi dengan produk atau jasa ini menjadi yang paling bernilai karena melalui produk dan jasalah pelanggan mengevaluasi apakah perusahaan mampu memenuhi janjinya atau tidak. Interaksi ini menjadi 'moment of truth', dimana ketika konsumen masih dalam tahap pengalaman saat mencari informasi, terbentuklah ekspektasi kepuasan dan persepsi atas kepribadian merek tersebut. Saat konsumen mendapatkan kesan yang sama dan sesuai dengan ekspektasinya, bahkan melebihi yang diharapkan, maka konsumen akan berpotensi besar untuk puas dan membeli kembali di lain waktu (Noegroho, 2013).
3
Brakus et al. (2009) melalui penelitiannya menemukan bahwa pengalaman yang diciptakan suatu merek terbukti mempengaruhi tingkat loyalitas pelanggan kepada merek tersebut secara positif. Jika puas dengan pengalaman yang dirasakan, dimana terdapat respon terpenuhinya harapan atas fitur dari suatu produk atau jasa (Oliver, 2010, p.8), maka konsumen akan cenderung membeli kembali serta merekomendasikan merek tersebut kepada orang lain dan tidak berpindah membeli merek lain (Oliver, 1997 dalam Brakus et al., 2009), meskipun fungsional dari produk atau layanan lain yang ditawarkan pesaing adalah sama. Pengalaman yang positif akan membentuk suatu ikatan emosional antara konsumen suatu produk atau jasa dari suatu perusahaan, begitu pula sebaliknya, pengalaman negatif dapat menjadi pemutus ikatan emosional yang seharusnya terbentuk antara konsumen dan produk yang dikonsumsi. Tingkat kepuasan pelanggan bersifat dinamis dan salah satunya dipengaruhi bagaimana perasaan pelanggan dan faktor situasional, misalnya opini anggota keluarga, ketika berinteraksi dengan produk dan layanan tersebut (Zeithaml et al., 2009, p.103). Terdapat hubungan erat antara kepuasan yang dirasakan konsumen dengan loyalitasnya pada produk atau jasa yang ditawarkan suatu merek (Hesket et al., 1997, p.83). Hubungan ini sangat kuat ketika konsumen merasa sangat puas sehingga menghasilkan loyalitas, dan ketika konsumen merasa sangat tidak puas yang berpotensi menimbulkan ketidaksetiaan atau kecenderungan beralih merek. Pengalaman yang ditawarkan merek untuk pelanggan selama proses mencari, membeli, dan mengkonsumsi tersebut akan mempengaruhi pada
4
bagaimana konsumen mengevaluasi, mempersepsikan dan menilai karakter atau kepribadian yang dimiliki merek suatu produk dan layanan. Menurut Aaker (1997), kepribadian merek dapat dipengaruhi oleh orang-orang yang terhubung dengan merek tersebut (konsumen, representatif perusahaan, endorser), atribut produk, kategori produk, nama merek, atau strategi berkomunikasi. Pengaruh tersebut akan menjadi bagian dari pengalaman merek, karena penilaian akan faktor ketulusan, kegembiraan, kompetensi, kecanggihan, dan maskulinitas suatu merek dapat difasilitasi ketika konsumen merasakan pengalaman dengan merek secara sensorik, afektif, intelektual, atau pengalaman perilaku (Brakus et al., 2009). Berbagai inisiatif dilakukan perusahaan untuk membangun loyalitas pelanggan. Loyalitas pelanggan menjadi semakin penting karena makin lama biaya menarik pelanggan baru kian mahal. Selain memperkuat ikatan emosional konsumen dalam pengalaman dengan suatu merek, cara lain dalam meningkatkan kepuasan dan loyalitas konsumen dapat dilakukan dengan memperkuat kepribadian merek, yang diartikan sebagai rangkaian karakteristik manusia yang mendeskripsikan suatu merek (Aaker, 1997). Hal ini seperti yang dikemukakan oleh beberapa peneliti, dimana kepribadian merek memungkinkan konsumen untuk mengekspresikan diri sendiri (Belk, 1998), diri ideal (Malhotra, 1981), atau dimensi tertentu yang ingin ditonjolkan dari diri mereka (Klein et al., 1993) melalui suatu merek. Eksistensi citra dan kepribadian tertentu yang diyakini dimiliki oleh suatu merek produk dan jasa dapat mempengaruhi persepsi positif maupun negatif
5
konsumen terhadap merek yang berpotensi mempengaruhi kepuasan serta loyalitas mereka setelah berinteraksi dengan merek tersebut. Dengan memiliki kepribadian merek yang kuat, baik positif maupun negatif, maka suatu merek dapat menonjol dibandingkan pesaingnya dalam menyampaikan pesan maupun mendukung hubungan dengan konsumen (Aaker, 2013), misalnya ketika suatu merek direpresentasikan oleh endorser yang bagi target konsumen sesuai dengan diri mereka, maka konsumen akan memiliki preferensi lebih besar pada merek tersebut (Malhotra, 1981), cenderung lebih puas serta berpotensi loyal pada merek tersebut (Brakus et al., 2009). Oleh karena itu, menjaga agar kepribadian merek tetap sesuai dengan harapan manajemen dalam pencitraan suatu merek adalah hal yang sangat penting dalam meraih target konsumen yang tepat dan menjaganya untuk selalu kembali. Restoran merupakan salah satu industri jasa dimana kualitas produk dan layanan yang maksimal bagi pelanggan adalah hal yang sangat penting. Oleh karena itu, restoran harus mempunyai nilai tambah yang dapat membedakannya dari pesaing. Dalam era persaingan bisnis di industri yang ketat saat ini pelanggan bukan lagi sebagai pelengkap usaha tetapi sebagai bagian dari sistem pelayanan bagi perusahaan yang bersangkutan (Zeithaml et al., 2009, p.392). Sebuah restoran harus dapat membangun dan menjaga kredibilitas perusahaannya agar setiap pelanggan yang datang berkunjung bisa mendapatkan kesan positif bagi restoran tersebut dan kemudian dapat membagi pengalaman mereka dengan orang-orang di sekitarnya.
6
Perkembangan bisnis restoran di Indonesia akhir-akhir ini dapat dikatakan cukup berkembang. Jumlah penduduk yang memilih untuk makan di luar rumah semakin meningkat dan beberapa alasannya adalah perubahan gaya hidup dan struktur keluarga (Warde et al., 2007 dalam Rezende dan Silva, 2012). Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, sektor perdagangan, hotel dan restoran pada tahun 2013 menyumbang hingga 14,33% pada perekonomian Indonesia, dengan subsektor restoran sendiri menyumbang sekitar 2,3%. Sektor perdagangan, hotel dan restoran ini menduduki posisi kedua penyumbang terbesar bagi perekonomian Indonesia. Pertumbuhan ini lebih tinggi dibandingkan tahun 2012, dimana sektor perdagangan, hotel dan restoran menyumbang sekitar 13,9% dari total Produk Domestik Bruto, dan hanya menjadi penyumbang terbesar ketiga diantara sektor-sektor yang lain. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia secara umum, sektor perdagangan, hotel dan restoran berkontribusi hingga 25,4% dari produk domestik regional bruto dengan harga konstan untuk wilayah D.I Yogyakarta pada tahun 2012, dan menjadi penyumbang terbesar kedua perekonomian regional provinsi setelah sektor jasa-jasa. Berbagai jenis restoran dengan tawaran konsep dan ide yang berbeda-beda banyak bermunculan di Yogyakarta. Diperlukan strategi dalam menentukan konsep unik, kenyamanan tempat, layanan yang superior, pengalaman yang berkesan dan menyenangkan, serta harga yang sesuai daya beli target pasar. Salah satu restoran yang menawarkan sebuah konsep menarik melalui pemanfaatan
7
teknologi terkini yang berkembang pesat, unik dan menyenangkan di dalamnya adalah Michigo. Michigo yang memiliki tagline Eat. Share! menawarkan kuliner Korea dan memiliki dua cabang di Yogyakarta, yaitu di Plaza Ambarrukmo dan Babarsari Ruko Rafflesia. Sebagai bagian dari Fajar Montana Group, Michigo merupakan restoran yang peduli pada sosial dan lingkungan. Tiga prinsip utamanya adalah teknologi, zero waste (memaksimalkan pengolahan limbah), dan pelestarian budaya. Oleh karena itu, pengalaman yang ditawarkan oleh Michigo dikemas sedemikian rupa dalam rangka mewujudkan prinsip-prinsip tersebut dan merepresentasikan nilai yang dianut oleh perusahan. Berbeda dengan restoran lain pada umumnya, untuk pengalaman membeli dan mengkonsumsi produk serta jasa, Michigo menawarkan pengalaman swalayan (self-service) mulai dari pemesanan makanan hingga pengambilan pesanan dan pengembalian nampan serta peralatan makan setelah selesai. Pengalaman unik yang ditawarkan Michigo kepada pelanggannya, yaitu Michigoers (sebutan untuk pelanggan Michigo) dapat memilih menu kesukaan di iPad yang telah disediakan di konter depan dengan asistensi dari seorang karyawan, dilanjutkan dengan proses membayar di kasir, kemudian sambil menunggu diberikan sebuah video pager. Dengan adanya video pager, pelanggan bisa menunggu pesanan sambil menonton video klip K-Pop dan video hiburan lain sekaligus menikmati suasana restoran yang cerah bernuansa kayu dan logo ikonik merah menyala. Saat pesanan sudah jadi, pelanggan akan mendapat pemberitahuan melalui video pager tersebut dan dapat mengambil sendiri pesanan
8
di konter pengambilan pesanan (pick-up point) yang telah disediakan di dekat jendela dapur. Michigo juga dilengkapi Social Wall, yaitu layar televisi ukuran besar yang diletakkan di tengah ruangan yang akan menampilkan perkembangan terbaru secara tepat waktu dari akun media sosial Michigo. Pelanggan dapat ikut berinteraksi di sana dengan memperbarui status di Facebook, Twitter, dan media sosial lainnya. Setelah selesai menikmati makanan dan minuman, pelanggan diharapkan untuk mengosongkan peralatan makan di meja secara mandiri dengan meletakkannya di tempat yang sudah disediakan serta membuang sampah pada tempat sampah. Sejak kehadiran pertamanya tahun 2013 lalu, Michigo merupakan salah satu restoran yang berani mengimplementasikan tren baru dalam menciptakan pengalaman unik makan di restoran dengan memanfaatkan Self Service Technology (SST) yang masih cukup jarang digunakan di Indonesia. Berbeda dengan perilaku masyarakat saat ini yang terbiasa dengan restoran layanan penuh dimana pramusaji akan mencatat pesanan pelanggan, mengantarkan pesanan ke meja pelanggan, dan membersihkan meja setelah pelanggan selesai, konsep swalayan berbasis teknologi ini membutuhkan partisipasi dan keterlibatan pelanggan dan teknologi dalam proses pelayanan. Michigo mengklasifikasikan restorannya sebagai sophisticated Korean Pop Style restaurant dimana target pasar yang dituju adalah masyarakat menengah ke atas, khususnya yang menyukai kuliner Korea. Restoran ini menawarkan menu-menu yang bisa dinikmati oleh semua kalangan usia mulai dari anak-anak sampai orang tua. Terinspirasi oleh desain bistro di Seoul, interior
9
dan eksterior restoran diatur sedemikian menarik agar pengunjung nyaman dan memperoleh pengalaman yang menyenangkan. Michigo ramai dengan pelanggan yang datang sendirian atau berkelompok bersama keluarga, teman, maupun rekan bisnis terutama saat memasuki jam makan siang dan makan malam. Sebagian besar restoran saat ini hanya fokus dalam memberikan layanan yang baik untuk konsumen sesuai konsep yang umum dilakukan dengan layanan penuh untuk memuaskan konsumen. Masih jarang restoran yang menonjolkan keunikan pengalaman dengan konsep swalayan sejak awal pemesanan hingga akhir setelah selesai mengkonsumsi untuk bisa bersaing secara kompetitif. Pengalaman yang dirasakan pelanggan Michigo yang unik ini akan memberikan kesan tersendiri bagi setiap pengunjung yang datang, sehingga diharapkan dapat membentuk persepsi positif akan kepribadian merek serta diharapkan mampu meningkatkan kepuasan pelanggan khususnya pecinta makanan Korea dan secara alami akan menjadi basis loyalitas mereka untuk datang kembali atau merekomendasi Michigo kepada orang lain. Menurut Zeithaml et al. (2009, p.404), meski sebagian konsumen menikmati konsep swalayan, tidak sedikit yang masih membutuhkan layanan dengan interaksi manusia. Sebagian besar keengganan ini muncul karena ketakutan pada teknologi, tidak ingin terlihat kurang kompeten dihadapan orang lain, kebutuhan akan interaksi manusia dan dilayani, serta pikiran bahwa 'ini tugas perusahaan, bukan tugas saya' (Zeithaml et al., 2009, p.399). Menurut Beaujean et al. (2006), dalam pengalaman di industri jasa, interaksi yang menciptakan percikan antara konsumen dan staf lini depan
10
sangatlah penting karena dapat mengubah konsumen yang skeptik menjadi pengikut merek. Percikan tersebut dan ikatan emosional konsumen dengan merek dapat menjelaskan kepercayaan dan loyalitas selama interaksi yang terjadi. Dengan konsep swalayan berbasis teknologi, Michigo mengambil resiko bahwa ada potensi kerugian dalam peluang mempererat interaksi dengan pelanggan ketika mengganti proses tersebut menjadi lebih melibatkan mereka secara mandiri dalam tiap proses. Masih jarang restoran yang menggunakan konsep ini di Indonesia, khususnya Yogyakarta, meskipun di luar negeri sudah lebih umum dilakukan. Melihat pentingnya menciptakan pengalaman merek yang terbaik dan menyenangkan pelanggan, kepribadian merek, dan kepuasan sebagai basis loyalitas pelanggan terhadap merek serta keberlangsungan bisnis untuk jangka panjang bagi pihak manajemen Michigo dalam bersaing dengan restoran-restoran baru, maka penelitian ini akan melihat bagaimana pengaruh faktor pengalaman merek, kepribadian merek, dan kepuasan pelanggan terhadap loyalitas pelanggan di restoran yang menggunakan konsep swalayan berbasis teknologi terkini seperti Michigo yang justru menerapkan konsep layanan swalayan yang mengurangi interaksi langsung antara konsumen dengan karyawan lini depan seperti yang biasa dilakukan restoran tradisional dengan konsep layanan penuh atau fullservice. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan gambaran latar belakang di atas dapat disimpulkan bahwa bisnis makanan di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat
11
khususnya dalam beberapa tahun terakhir ini. Banyaknya pilihan memperkecil biaya beralih sehingga pelanggan dapat dengan mudah memutuskan untuk meninggalkan restoran tertentu dan berpindah ke restoran lain. Oleh karena itu, para pengusaha restoran perlu memahami apa yang sebenarnya dibutuhkan dan diharapkan oleh pelanggan yang secara langsung memiliki peran penting dalam keberlangsungan bisnis. Michigo yang mendiferensiasikan restorannya melalui pemanfaatan teknologi dalam konsep swalayan dalam mengangkat kuliner Korea yang sedang populer, membuat restoran ini menarik untuk dikunjungi. Namun, sejak kehadiran restoran-restoran baru di sekitarnya seperti Pepper Lunch dan Fish & Co. yang juga menawarkan pengalaman unik dan kepribadian merek yang kuat, angka kunjungan pelanggan ke Michigo semakin menunjukkan penurunan. Meskipun penurunan tersebut saat ini belum terlalu signifikan bagi pihak manajemen, penurunan ini dikhawatirkan akan berdampak untuk keberlangsungan bisnis jangka panjang. Michigo yang hadir dengan menawarkan restoran berkonsep swalayan yang menggantikan interaksi langsung antara pelanggan dan karyawan seperti yang biasa dilakukan di restoran-restoran layanan penuh perlu memahami bagaimana kesan dari pengalaman yang dirasakan pelanggannya selama ini, karena dengan konsep swalayan ini pelanggan belum tentu menerima dan puas serta berniat untuk kembali berkunjung. Padahal, pelanggan yang senang dengan pengalaman
yang
diterimanya
dan
merasa
bahwa
Michigo
mampu
merepresentasikan karakter yang diinginkannya merupakan basis loyalitas yang
12
penting untuk eksistensi restoran dalam jangka panjang Michigo dalam bersaing dengan restoran-restoran baru yang diproyeksikan akan terus bertambah sepanjang tahun. Selain itu sebuah restoran yang ideal juga perlu menyesuaikan konsep dan karakter restorannya dengan target pasar yang akan dituju. Michigo memiliki target pasar masyarakat menengah ke atas yang terbiasa dilayani secara penuh justru menggunakan konsep swalayan dan mengharuskan pelanggannya untuk melakukan sendiri proses pemesanan, pengambilan pesanan yang telah jadi, hingga mengantarkan peralatan nampan makan kotor dari meja ke tempat yang telah disediakan. Michigo berani mengunggulkan restorannya melalui konsep ini dan dibantu oleh teknologi tersebut meskipun terlihat bertolak belakang dengan kebiasaan umumnya ketika orang ke restoran kelas menengah atas karena ingin dilayani semua kebutuhan makanan dan lain-lainnya. Berdasarkan uraian permasalahan di atas, peneliti ingin menguji bagaimana pengaruh pengalaman merek yang ditawarkan Michigo, terutama terkait dengan pengalaman membeli dan mengkonsumsi di restoran yang unik ini, kepribadian merek Michigo, dan kepuasan pelanggan terhadap loyalitas pelanggannya. 1.3. Pertanyaan Penelitian Adapun pertanyaan penelitian yang menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah pengalaman merek akan mempengaruhi kepuasan pelanggan Michigo?
13
2. Apakah pengalaman merek akan mempengaruhi loyalitas pelanggan Michigo? 3. Apakah pengalaman merek akan mempengaruhi kepribadian merek Michigo? 4. Apakah kepribadian merek akan mempengaruhi kepuasan pelanggan Michigo? 5. Apakah kepribadian merek akan mempengaruhi loyalitas pelanggan Michigo? 6. Apakah kepuasan pelanggan akan mempengaruhi loyalitas pelanggan Michigo? 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menguji pengaruh pengalaman merek pada kepuasan pelanggan Michigo. 2. Menguji pengaruh pengalaman merek pada loyalitas pelanggan Michigo. 3. Menguji pengaruh pengalaman merek pada kepribadian merek Michigo. 4. Menguji pengaruh kepribadian merek pada kepuasan pelanggan Michigo. 5. Menguji pengaruh kepribadian merek pada loyalitas pelanggan Michigo. 6. Menguji pengaruh kepuasan pelanggan pada loyalitas pelanggan Michigo. 1.5. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran sebagai berikut: 1. Bagi Manajemen Michigo
14
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan untuk penyusunan strategi pemasaran dalam meningkatkan loyalitas pelanggan Michigo, terutama melalui penciptaan pengalaman merek dan kepribadian merek, serta kepuasan pelanggan. 2. Bagi Peneliti Penelitian ini merupakan kesempatan bagi penulis dalam menambah wawasan tentang masalah yang terjadi secara nyata khususnya mengenai loyalitas pelanggan suatu merek yang bergerak di industri layanan dengan bantuan teknologi. 3. Bagi Pihak Lain Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi penelitian untuk permasalahan yang serupa.
1.6. Batasan Penelitian Dalam penulisan tesis ini, peneliti akan membatasi ruang lingkup penelitian untuk pelanggan Michigo di wilayah Yogyakarta. Adapun variabel yang digunakan dalam penelitian ini merupakan adaptasi dari model penelitian oleh Brakus et al. (2009), yaitu pengalaman merek, kepribadian merek, kepuasan pelanggan, dan loyalitas pelanggan.
1.7. Sistematika Penulisan Adanya sistematika dalam penulisan tesis ini adalah untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan. Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut:
15
BAB I Pendahuluan Bab ini membahas latar belakang penelitian, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. BAB II Tinjauan Pustaka Bab ini berisi teori-teori yang diperlukan dalam menjelaskan variabel yang digunakan, penelitian terdahulu yang relevan, rerangka model serta hipotesis yang diteliti. BAB III Metode Penelitian Bab ini membahas jenis penelitian beserta definisi operasional variabel, penentuan sampel penelitian, metode pengumpulan data, metode untuk menganalisis data, serta pengujian validitas dan reliabilitas untuk sampel pretest. BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Pada bab ini akan dibahas tentang deskripsi statistik penelitian, pengujian hipotesis, dan pembahasan dari hasil uji hipotesis. BAB V Penutup Bab ini membahas kesimpulan hasil penelitian, keterbatasan penelitian, dan implikasi manajerial untuk manajemen Michigo.
16