BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap perusahaan membutuhkan dana investasi sebagai modal untuk membangun dan mengembangkan bisnis perusahaan itu sendiri. Hal tersebut merupakan suatu kebutuhan yang amat esensial bagi suatu perusahaan untuk melakukan ekspansi kegiatan usahanya. Selain modal yang diperoleh dari para pendiri perusahaan, restrukturisasi permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari pihak luar perusahaan, dana mana tidak dikaitkan dengan equity perusahaan. Pihak luar yang dimaksud adalah1: 1. Perbankan, 2. Lembaga financial 3. Pasal modal 4. Pasar uang, 5. Investasi modal, dan 6. masyarakat Perbankan merupakan sumber dana konvensional yang cukup popular bagi dunia bisnis, termasuk bagi suatu perusahaan atau suatu grup perusahaan yang memerlukan dana dalam rangka restrukturisasi permodalannya. Penyaluran 1
Munir Fuady, 1999, Hukum Perusahaan, Dalam Paradigma Hukum Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 154.
1
2
dana perbankan kepada perusahaan yang sangat popular adalah dalam bentuk apa yang disebut dengan loan (pinjaman bank). Pinjaman bank ini dapat berupa pinjaman dari hanya satu bank, tetapi dewasa ini semakin popular pula bentuk pinjaman secara sindikasi dari beberapa bank, yang disebut dengam sindicated loan.2 Berbicara mengenai pinjaman dana dari perbankan, tidak akan lepas dari pembahasan mengenai jaminan dari perjanjian kredit itu sendiri yang mana suatu perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok sudah pasti menyertakan jaminan sebagai perjanjian tambahan (acesoir) dari perjanjian kredit tersebut. Pentingnya suatu jaminan bagi kreditur (bank) atas suatu pemberian kredit adalah salah satu upaya untuk mengantisipasi resiko yang mungkin timbul dalam tenggang waktu antara pelepasan dan pelunasan kredit tersebut. Keberadaan jaminan kredit (collateral) merupakan persyaratan guna memperkecil resiko bank dalam menyalurkan kredit. Pada prinsipnya tidak selalu suatu penyaluran kredit harus dengan jaminan kredit sebab jenis usaha dan peluang bisnis yang dimiliki pada dasarnya sudah merupakan jaminan terhadap prospek usaha itu sendiri. Namun demikian, suatu kredit tanpa agunan maka memiliki resiko yang sangat besar jika investasi yang dibiayai mengalami kegagalan atau tidak sesuai dengan perhitungan semula. Jika hal ini terjadi pihak bank akan dirugikan sebab dana yang disalurkan memiliki peluang tidak dapat dikembalikan oleh nasabah.
2
Ibid, hlm. 155.
3
Yang dimaksud dengan jaminan itu sendiri adalah tanggungan yang diberikan oleh debitur atau pihak ketiga kepada kreditur karena pihak kreditur mempunyai suatu kepentingan bahwa debitur harus memenuhi kewajibannya dalam suatu perikatan.3 Jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut, baik berupa hak kebendaaan maupun hak perorangan. Hak kebendaan adalah berupa benda berwujud dan benda tidak berwujud, benda bergerak maupun benda tidak bergerak. Selanjutnya, yang dimaksud dengan hak perorangan adalah penanggungan hutang yang diatur dalam Pasal 1820-Pasal 1850 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya disingkat KUHPerdata). Jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut dapat diberikan oleh debitur sendiri maupun oleh pihak ketiga yang disebut juga penjamin atau penanggung. Jaminan perorangan atau penanggungan hutang selalu diberikan oleh pihak ketiga kepada kreditur. Jaminan yang diberikan oleh kreditur tersebut untuk keamanan dan kepentingan kreditur haruslah diadakan dengan suatu perikatan khusus, perikatan mana bersifat accesoir dari perjanjian kredit atau pengakuan hutang yang diadakan antara debitur dan kreditur. Penanggungan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Dalam KUHPerdata sendiri tidak ada ketentuan yang secara eksplisit memberikan pengertian mengenai borgtocht atau menyebutkan bahwa borgtocht adalah penanggungan. Arti dari penanggungan (borgtocht) dapat kita lihat dalam Pasal 1820 KUHPerdata, di mana dikatakan penanggungan ialah suatu persetujuan di mana pihak ketiga demi kepentingan 3
H.R.Daeng Naja, 2005, Hukum Kredit dan Bank Garansi, The Bankers Hand Book, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 208.
4
kreditur, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur itu tidak memenuhi perikatannya. Penanggungan atau borgtocht pengaturannya terdapat di dalam Pasal 1820 KUHPerdata. Selanjutnya, unsur-unsur perumusan Pasal 1820 KUHPerdata yang perlu mendapat perhatian adalah: 1. Penanggungan merupakan suatu perjanjian; 2. Borg adalah pihak ketiga; 3. Penanggungan diberikan demi kepentingan kreditur; 4. Borg mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur, kalau debitur wanprestasi; 5. Ada perjanjian bersyarat. Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, tujuan dan isi dari penanggungan ialah memberikan jaminan untuk dipenuhinya perutangan dalam perjanjian pokok. Adanya penanggungan itu dikaitkan dengan perjanjian pokok, mengabdi pada perjanjian pokok, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian penanggungan itu bersifat accesoir.4 Lebih lanjut, mengenai sifat accesoir dari penanggungan, dari beberapa ketentuan undang-undang dapat disimpulkan bahwa penanggungan adalah bersifat accesoir, dalam arti senantiasa dikaitkan dengan perjanjian, antara lain:5 1. Tidak ada penanggungan tanpa adanya perutangan pokok yang sah; 2. Besarnya penanggungan tidak akan melebihi besarnya perutangan pokok;
4
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 2007, Hukum Jaminan Di Indonesia, Pokok-Pokok Hukum Jaminan Dan Perorangan, Liberty Offset, Yogyakarta, hlm. 81. 5 Ibid, hlm. 82.
5
3. Penanggung berhak mengajukan tangkisan-tangkisan yang bersangkutan dengan perutangan pokok; 4. Beban pembuktian yang tertuju pada si berutang dalam batas-batas tertentu mengikat juga si penanggung; 5. Penanggungan pada umumnya akan hapus dengan hapusnya perutangan pokok. Dalam kedudukannya sebagai perjanjian yang bersifat accesoir maka perjanjian penanggungan, seperti halnya perjanjian-perjanjian accesoir yang lain akan memperoleh akibat-akibat hukum tertentu:6 1. Adanya perjanjian penanggungan tergantung pada perjanjian pokok; 2. Jika perjanjian pokok itu batal maka perjanjian penanggungan ikut batal; 3. Jika perjanjian pokok itu hapus, perjanjian penanggungan ikut hapus; 4. Dengan diperalihkannya piutang pada perjanjian pokok, maka semua perjanjian-perjanjian accesoir yang melekat pada piutang tersebut akan ikut beralih. Namun, ada pengecualian atas sifat accesoir tersebut, yaitu orang dapat mengadakan perjanjian penanggungan dan akan tetap sah sekalipun perjanjian pokoknya dibatalkan, jika pembatalan tersebut sebagai akibat dari eksepsi yang hanya menyangkut diri pribadi debitur. Misalnya, perjanjian yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa dimintakan pembatalan, sedang perjanjian penanggungannya tetap sah.
6
Ibid.
6
Perjanjian penanggungan sendiri dibagi menjadi dua bagian, yaitu penanggungan yang dilakukan oleh pribadi (personal guarantee) dan penanggungan yang dilakukan oleh badan hukum dan (corporate guarantee). Pada dasarnya keduanya memiliki prinsip yang sama, karena baik hak dan kewajiban yang dimiliki penanggung pada kedua jenis penanggungan tersebut identik, hanya saja subyek pelakunya berbeda. Pada dasarnya penjaminan pribadi merupakan bagian dari skema perjanjian penanggungan yang diatur pada KUHPerdata (Bab XVII KUHPerdata). Inti dari perjanjian penanggungan adalah adanya pihak ketiga yang setuju untuk kepentingan si berutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang, apabila pada waktunya si berutang sendiri tidak berhasil memenuhi kewajibannya (Pasal 1820 KUHPerdata). Berbeda dengan skema jaminan lainnya, yaitu jaminan kebendaan yang memberikan hak penuh kepada kreditur atas suatu hak kebendaan spesifik apabila terjadi kegagalan pemenuhan prestasi (misal: gadai, fidusia), maka perjanjian penanggungan hanya memberikan kreditur hak umum untuk menagih kepada pihak-pihak yang telah mengikatkan diri sebagai penanggung dalam hal kegagalan pembayaran, sehingga kedudukan kreditur yang dijamin oleh penanggung masih berada di bawah kreditur yang dijamin oleh hak jaminan kebendaan. Pada
perkembangannya
terdapat
perbedaan
pandangan
mengenai
kegunaan jaminan perorangan (personal guarantee) dalam perjanjian kredit di
7
dunia perbankan. Menurut Soebekti7, karena tuntutan kreditur terhadap penanggung tidak diberikan suatu privilege atau kedudukan istimewa di atas tuntutan kreditur lainnya dari si penanggung, maka jaminan perorangan ini tidak banyak berguna bagi dunia perbankan. Meskipun demikian, menurut Djuhaendah Hasan8, dengan adanya jaminan perorangan, kreditur akan merasa lebih aman daripada tidak ada jaminan sama sekali, karena dengan adanya jaminan kreditur dapat menagih tidak hanya kepada debitur, tetapi juga kepada pihak ketiga yang menjamin yang kadang-kadang terdiri dari beberapa orang. Sebagaimana yang telah Penulis kemukakan di atas, pemberian pinjaman atau loan oleh bank kepada suatu perseroan disatu sisi sangat bermanfaat bagi suatu perusahaan apabila dana pinjaman tersebut dapat dikelola dengan baik dan benar untuk pengembangan bisnis perusahaan. Permasalahannya adalah ketika perusahaan tidak mampu memanfaatkan pinjaman modal tersebut untuk memperolah
keuntungan
bagi
perusahaan
sehingga
secara
otomatis
perusahaan akan kesulitan untuk mengembalikan dana pinjaman tersebut kepada pihak bank. Dalam situasi dimana perusahaan gagal dalam menjalankan usahanya, sehingga perusahaan tidak mampu melunasi utangutangnya atau perusahaan mengalami kesulitan dalam usahanya sehingga perusahaan menjadi tidak memiliki kemampuan menghasilkan pendapatan cukup untuk membayar utang-utangnya kepada pihak bank ataupun kepada
7
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan UndangUndang Kepailitan, dalam H.R.Daeng Naja, Op.cit, hlm. 210. 8 Djuhaendah Hasan dan Salmidjas Salam, Aspek Hukum Hak Jaminan Perorangan dan Kebendaan, dalam Ibid.
8
pihak-pihak lain dalam hubungan bisnisnya. Dalam kondisi seperti ini, perusahaan dalam kedudukannya sebagai debitur dapat dipailitkan oleh bank yang mempunyai piutang pada perusahaan tersebut. Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitur tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang para krediturnya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan (financial distress)9 dari usaha debitur yang telah mengalami kemunduran. Selanjutnya, kepailitan adalah sita umum atas seluruh kekayaan debitur pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari.10 Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh utang debitur pailit tersebut secara proporsional (prorata parte) dan sesuai dengan struktur kreditur (structure creditor). Dalam hal terjadi kepailitan, tidak hanya mempunyai akibat hukum bagi perusahaan sebagai debitur tetapi juga akan berdampak secara hukum bagi penjamin yang memberikan jaminan pribadi terhadap utang-utang debitur apabila debitur lalai melunasi utangnya kepada kreditur atau dengan kata lain selain debitur itu sendiri, seorang penjamin dapat juga dimohonkan pailit apabila si debitur dan si penjamin secara bersama-sama tidak dapat membayar utang-utangnya kepada kreditur.
9
M. Hadi Shubhan, 2008, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan, Kencana, Jakarta, hlm. 1. 10 R.Subekti dan R. Tjtrosudibio, 1996, Kitab Undang-undang Hukum Perdata terjemahan Burgerlijk Wetboek, Pradnya Paramita, Jakarta, Ps. 1131.
9
Seperti yang terjadi pada tahun 2011, dimana PT Bank Internasional Indonesia, Tbk (Bank BII) sebagai Pemohon permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang kepada PT Casa Bella Indonesia sebagai Termohon permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang I (untuk selanjutnya disebut sebagai Termohon PKPU-I) dan Mario Leo sebagai Termohon permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang II (untuk selanjutnya disebut sebagai Termohon PKPU-II). Pada faktanya, yang mempunyai utang kepada PT Bank Internasional Indonesia, Tbk adalah PT Casa Bella Indonesia. Namun, oleh karena pada saat pemberian pinjaman Mario Leo yang pada saat itu menjabat sebagai Direktur Utama PT Casa Bella Indonesia telah mengikatkan diri sebagai penjamin dan bertanggung jawab dengan seluruh harta kekayaannya, maka Mario Leo dijadikan pihak sebagai Termohon PKPU II dalam perkara tersebut. Pada akhirnya, oleh karena tidak terjadi perdamaian diantara kedua belah pihak, Majelis Hakim memutuskan menyatakan Termohon PKPU I PT Casa Bella Indonesia dan Termohon PKPU II, Mario Leo selaku Penjamin pailit dengan segala akibat hukumnya sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Agung No. 441 K/Pdt.Sus/2012 tanggal 12 Nopember 2012 jo Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No. 33/PKPU/2011/PN.Niaga.JKT.PST tanggal 19 Januari 2012.11 Dari perkara tersebut di atas, dapat dilihat Mario Leo yang hanya sebagai penjamin dapat dipailitkan oleh PT Bank Internasional Indonesia, Tbk.
11
Putusan Pengadilan Niaga No. 33/PKPU/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst.
10
Artinya Mario Leo bertanggung jawab secara penuh termasuk atas seluruh kekayaannya untuk membayar seluruh utang PT Casa Bella Indonesia kepada PT Bank Internasional Indonesia. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana sebenarnya kedudukan hukum seorang penjamin terhadap utang suatu perseroan yang dinyatakan pailit? Apakah seorang penjamin dapat dipailitkan dalam hal debitur principal tidak dapat melunasi utangnya terhadap debitur? Berkaitan dengan latar belakang pemikiran tersebut, Penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini untuk mengetahui sejauh mana seorang guarantor (penjamin) bertanggungjawab secara hukum terhadap utang-utang debitur yang dinyatakan pailit oleh pengadilan. Untuk itu, Penulis mengambil judul: “KEDUDUKAN HUKUM PENJAMIN DALAM PERKARA KEPAILITAN, (Studi Kasus: Putusan Mahkamah Agung No. 441 K/Pdt.Sus/2012 jo Putusan No. 33/PKPU/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst)”.
B. Perumusan Masalah Dalam penelitian hukum ini akan muncul berbagai permasalahan yang beragam dan sangat luas. Oleh karena itu untuk lebih mengkhususkan masalah pada penelitian ini maka masalah akan dibatasi dan difokuskan dengan mengidentifikasi masalah utamanya, yaitu: 1. Bagaimana kedudukan hukum seorang penjamin terhadap utang suatu perseroan yang dinyatakan pailit? 2. Apakah seorang penjamin dapat dipailitkan dalam hal debitur principal tidak dapat melunasi utangnya terhadap kreditur?
11
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan menganalisis lebih mendalam tentang kedudukan hukum seorang penjamin terhadap utang suatu perseroan yang dinyatakan pailit. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis lebih mendalam apakah seorang penjamin dapat dipailitkan dalam hal Debitur Principal tidak dapat melunasi utangnya terhadap kreditur?
D. Manfaat Penelitian Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan, khususnya hukum kepailitan, penyempurnaan perangkat peraturan mengenai hukum kepailitan pada umumnya dan sinkronisasi terhadap ketentuan lainnya terutama yang berkaitan dengan hukum jaminan. Bagi mahasiswa bermanfaat untuk dapat menambah wawasan serta pemahaman berkaitan dengan hukum kepailitan terutama yang berkaitan dengan hukum jaminan. Secara praktikal, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para praktisi hukum, agar dalam menjalankan profesinya dapat lebih memahami dan mengkritisi penerapan peraturan yang berlaku dalam hukum kepailitan dan hukum jaminan.
12
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada serta berdasarkan pengetahuan peneliti, judul dan permasalahan mengenai: “KEDUDUKAN HUKUM PENJAMIN DALAM PERKARA KEPAILITAN (Studi Kasus: Putusan Mahkamah Agung No. 441 K/Pdt.Sus/2012 jo Putusan No. 33/PKPU/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst)” adalah original, yang merupakan hasil penemuan dan pengalaman Penulis sebagai praktisi hukum. Penelitian ini dapat dikategorikan ide original Peneliti, aktual serta sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional dan objektif serta terbuka. Hal ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Meskipun demikian harus diakui berdasarkan hasil observasi dalam kurun waktu tersebut, terdapat beberapa pembahasan perihal keududukan hukum penjamin dalam perkara pailit telah dilakukan, dengan judul sebagai berikut: 1.
Judul
: Kedudukan
Hukum
Penjamin
Guarantee)
dengan
(Personal
Pembebanan
Hak
Tanggungan dan Akibat Hukum Kepailitan Perseroan Terbatas (Studi Putusan Pengadilan Niaga
Nomor
31
Pailit/Pailit/2011/PN.Niaga.Sby) Penulis
:
Tantra Agistya Poetra, 2013.
Permasalahan
:
Bagaimana
kedudukan
penjamin
dengan
pembebanan Hak Tanggungan di dalamnya serta
13
akibat hukum kepailitan Perseroan Terbatas dan cara eksekusi harta jaminan yang dibebani dengan Hak Tanggungan. Penelitian tersebut berbeda dengan penelitian yang Penulis lakukan dimana Penulis lebih melihat kepada kedudukan penjamin yang memberikan jaminan hak tanggungan pada waktu perusahaan dinyatakan pailit beserta akibat hukumnya, sehingga berdasarkan penelusuran Penulis belum ada yang membahas lebih lanjut mengenai penelitian yang Penulis teliti. Lebih lanjut Penulis bersedia untuk bertanggung jawab penuh atas segala informasi yang diperoleh dan disampaikan dalam penelitian ini, serta segala konsekuensi-konsekuensinya.