BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Modernisasi di berbagai bidang kehidupan seiring dengan tuntutan perkembangan jaman, membawa masyarakat menuju pada suatu tatanan kehidupan dan gaya hidup yang serba mudah dan praktis. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi salah satu faktor penentu bagi suatu peradaban yang modern. Keberhasilan yang dicapai dalam bidang ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi tentu saja akan membawa suatu negara pada kesejahteraaan dan kemakmuran rakyatnya. Namun, sejalan dengan kemajuan yang telah dicapai secara bersamaan dalam bidang ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan tindak pidana pun tidak dapat disangkal. Sebagaimana dialami negara-negara yang sedang berkembang maupun negara yang maju sekalipun, setiap pencapaian kemajuan di bidang ekonomi dan iptek selalu saja diikuti dengan kecenderungan dan peningkatan penyimpangan serta kejahatan baru dibidang ekonomi dan sosial. Paradigma dalam bidang penegakan hukum memandang bahwa pertumbuhan tingkat kejahatan dengan tingkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai suatu hubungan yang positif atau berbanding searah, yaitu bahwa suatu kejahatan akan selalu
1
2
berkembang sejalan dengan kemajuan yang dicapai dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. 11 Perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini, khususnya yang menyangkut masalah sosial, adalah luas sekali, dan semakin tinggi peradaban suatu bangsa maka semakin maju pula ilmu pengetahuan yang berkembang dalam bangsa tersebut. Apabila ilmu pengetahuan terus berkembang tanpa diimbangi dengan semangat kemanusiaan, maka akan berakibat pada akses-akses yang negatif. Akses-akses negatif dari suatu kemajuan ilmu pengetahuan yang baru disalahgunakan, dimana perwujudan dari suatu perbuatan itu merupakan salah satu dari berbagai macam tindak pidana yang menimbulkan gangguan ketentraman, ketenangan, bahkan seringkali mendatangkan kerugian baik materiil maupun inmaterial yang cukup besar bagi masyarakat, bahkan kehidupan negara. Dengan tidak adanya batasan yuridis, dalam praktik selalu diartikan, bahwa “tindak pidana adalah suatu perbuatan yang telah dirumuskan dalam UU”. Hal ini didasarkan pada perumusan asas legalitas dalam Pasal 1 KUHP yang mengandung asas “nullum delictum sine lege” dan sekaligus mengandung asas “sifat melawan hukum yang formal”. Padahal secara teoritis dan menurut yurisprudensi serta menurut rasa keadilan, diakui adanya asas “tiada tindak pidana dan pemidanaan tanpan sifat melawan hukum (secara materil)”. 12 Hukum pidana sebagai alat atau sarana bagi penyelesaian terhadap problematika ini diharapkan mampu memberikan solusi yang tepat. Oleh karena 11
Lihat; http:\\www.google.com, Diakses pada 10 Maret 2008, Pukul. 10.00 Wib. Dr. J. A. W. Lensing,, “The Netherlands”, dalam Sudarto, Internasional Encyclopedia of Laws, Volume 3 Criminal Law, Kluwer, 1997, hlm. 29. 12
3
itu, pembangunan hukum dan hukum pidana pada khususnya, perlu lebih ditingkatkan dan diupayakan secara terarah dan terpadu, antara lain kodifikasi dan unifikasi bidang-bidang hukum tertentu serta penyusunan perundang-undangan baru yang sangat dibutuhkan guna menjawab semua tantangan dari semakin meningkatnya kejahatan dan perkembangan tindak pidana. Pengaktualisasian kebijakan hukum pidana merupakan salah satu faktor penunjang bagi penegakan hukum pidana, khususnya penanggulangan tindak kejahatan. Kebijakan hukum pidana sebagai suatu bagian dari upaya untuk menanggulangi kejahatan dalam rangka mensejahterakan masyarakat, maka tindakan unuk mengatur masyarakat dengan sarana hukum pidana terkait erat dengan berbagai bentuk kebijakan dalam suatu proses kebijakan sosial yang mengacu pada tujuan yang lebih luas. Sebagai salah atau alternative penanggulangan kejahatan, maka kebijakan hukum pidana adalah bagian dari “kebijakan kriminal” (criminal policy). Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari
politik
kriminal
ialah
“perlindungan
masyarakat
untuk
mencapai
kesejahteraan masyarakat.” Perumusan tujuan politik kriminal yang demikian itu pernah pula dinyatakan dalam salah satu laporan khusus latihan ke-34 yang diselenggarakan oleh UNAFEI di Tokyo tahun 1973 sebagai berikut: 13
13
Summary Report, Resource Material Series No. 7, UNAFEI, 1974, hlm. 95.
4
“Most of group members agreed some discussion that “protection of the society” could be accepted as the final goalmof criminal policy,although not the ultimate aim of society,which might perhaps be discribed by terms like “happiness of citizens”, “a whoelesome and cultural living”, “social welfare” or “equality”. (garis bawah dari penulis) Dari berbagai macam tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat salah satunya adalah kejahatan pemalsuan, bahkan dewasa ini banyak sekali terjadi tindak pidana pemalsuan dengan berbagai macam bentuk dan perkembangannya yang menunjuk pada semakin tingginya tingkat intelektualitas dari kejahatan pemalsuan yang semakin kompleks. Kejahatan mengenai pemalsuan atau disingkat kejahatan pemalsuan adalah kejahatan yang mana di dalamnya mengandung sistem ketidakbenaran atau palsu sesuatu (obyek), yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya, padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya. Dalam ketentuan hukum pidana kita, dikenal beberapa bentuk kejahatan pemalsuan, antara lain sumpah palsu, pemalsuan uang, pemalsuan merek dan materai, dan pemalsuan surat. Dalam perkembangannya, dari berbagai macam tindak pidana pemalsuan tersebut tindak pidana pemalsuan surat mengalami perkembangan yang begitu kompleks, sebab jika kita melihat obyek yang dipalsukan yaitu berupa surat, maka tentu saja hal ini mempunyai dimensi yang
5
sangat luas. Surat sebagai akta otentik tidak pernah lepas dan selalu berhubungan dengan aktivitas masyarakat sehari-hari.14 Tentang tindak pidana pemalsuan surat ini, Wirjono Prodjodikoro mengatakan, tindak pidana ini oleh Pasal 263 ayat (1) KUHP dinamakan (kualifikasi) “pemalsuan surat (Valsheid in Geschriften)”. Dengna kualifikasi pada macam surat: Pertama, surat yang dapat menerbitkan suatu hak, suatu perikatan atau pembebasan hutang. Kedua, surat yang ditujukan untuk membuktikan suatu kejadian. Idealita yang ada, dari berbagai macam tindak pidana pemalsuan surat, salah satunya adalah tindak pidana pemalsuan ijazah atau gelar kesarjanaan. Peningkatan kejahatan ini tidak lepas dari faktor sosial budaya dalam masyarakat kita, yaitu adanya orientasi masyarakat yang lebih menghargai atau memandang seseorang dari sisi gelar yang disandangnya dari pada kerjanya. Ijazah atau gelar dianggap sebagai “tiket” untuk meningkatkan status sosial, jabatan dan lain-lain. Hal inilah yang turut menghidup suburkan praktik jual beli ijazah atau gelar aspal (asli tapi palsu). Praktek pemalsuan ijazah atau gelar kesarjanaan merupakan suatu bentuk penyerangan terhadap suatu kepercayaan masyarakat terhadap suatu atau akta otentik, terlebih lagi hal itu merupakan suatu bentuk tindakan penyerangan martabat atau penghinaan terhadap dunia pendidikan.
14
Amin, Tindakan Tegas terhadap Pemalsuan Surat, dalam http://www.vhrmedia.web.id, Diakses tanggal 08 Oktober 2008, Pukul 21.34 Wib.
6
Kegiatan pendidikan yang seharusnya menjadi investasi sumber daya manusia menuju suatu kualitas yanhg diharapkan dengan standar kompetensi dan kualifikasi tertentu yang harus dikuasai bagi kelangsungan hidup manusia dan khususnya suatu bangsa. 15 Untuk seorang akademisi, maka dapat kita bayangkan bagaimana besarnya dampak yang ditimbulkan dari kejahatan tersebut serta seberapa besar kerugian yang akan diderita baik materiil maupun inmaterial. Betapa tidak, untuk dapat meraih ijazah ataupun gelar kesarjanaan sebagai simbol dari intelektualitas seseorang tidaklah mudah seperti membalikkan telapak tangan, karena untuk mencapainya harus menempuh jalan yang panjang melalui proses belajar mengajar/jenjang pendidikan dan dibutuhkan pengorbanan yang cukup besar. Jika ini dibiarkan begitu saja, maka sudah barang tentu akan membawa akibat yang fatal terhadap kualitas diri dan moralitas generasi penerus bangsa di masa mendatang. Selebihnya, kehormatan dunia pendidikan bangsa ini akan tercoreng oleh buruknya moralitas penerus bangsa. Masyarakat menaruh kepercayaan yang besar atas kebenaran suatu surat/akta otentik. Oleh karenanya, kebenaran dari suatu akta tersebut harus dijamin. Penyerangan terhadap kepercayaan atas kebenarannya adalah berupa perbuatan yang patut dipidana, yang oleh undang-undang ditentukan sebagai suatu kejahatan. Dibentuknya kejahatan pemalsuan ini pada pokoknya ditujukan bagi perlindungan hukum atas kepercayaan masyarakat terhadap sesuatu. Dengan 15
Lihat; http:\\www.google.com\berita\doc\, Diakses tanggal 29 September 2007, Pukul 08.00. Wib.
7
kebutuhan hukum masyarakat terhadap kepercayaan atas kebenaran suatu akta otentik, maka undang-undang menetapkan bahwa kepercayaan itu harus dilindungi, dengan cara mencantumkan perbuatan berupa penyerangan terhadap pemalsuan ijazah sebagai suatu larangan yang memiliki implikasi pidana. 16 Beberapa kasus mengenai tindak pidana pemalsuan ijazah seperti, Polda DIY Yogyakarta membongkar jaringan pemalsu Ijazah Perguruan Tinggi. Kasus tersebut terungkap setelah salah satu calon Akpol dari Yogyakarta mencoba mendaftar dengan menggunakan Ijazah S1 palsu dari Universitas Proklamasi 1945 Yogyakarta. Dari penyelidikan yang telah dilakukan, polisi telah mengamankan 5 orang tersangka yang diduga terlibat dalam sindikat tersebut. Satu tersangka sebagai konsumen ijazah palsu bernama Yudistira Darusman berumur 25 tahun, sedangkan empat lainnya
adalah orang-orang yang bertindak sebagai broker
pemalsuan ijazah. Beberapa kejanggalan yang terjadi seperti nomor ijazah milik tersangka dikeluarkan bukan atas namanya, tanda tangan yang tertuang diatas ijazah berbeda dengan tanda tangan pejabat yang berwenang, dibandingkan dengan ijazah asli yang dikeluarkan oleh Unprok 1945, bahan kertas ijazah palsu milik tersangka lebih tipis. Dari pemeriksaannya, Yudistira sebagai konsumen mengeluarkan uang Rp25 juta untuk mendapatkan ijazah dari Fakultas Hukum Unprok 1945. Humas Unprok 1945 Yogyakarta, membenarkan adanya kasus tersebut. Terkait tindakan 16
Wib.
Lihat; http://www.inlawnesia.com/ artkl/doc/, Diakses tanggal 22 Mei 2008, Pukul 09.00.
8
hukum yang dilakukan, pihaknya akan mengatasi proses yang ada pada Polda DIY. Kasus ini juga sudah ditangani sepenuhnya oleh pihak kepolisian sejak tertangkapnya tersangka. 17 Selain itu, tindak pidana pemalsuan ijazah juga terjadi di Bandar Lampung, yaitu mengemukanya kasus pemalsuan ijazah strata 1 sarjana teknik atas nama Sally Budi Astuti menggemparkan jajaran Universitas Lampung (Unila). Kasus ijazah ini heboh karena Sally merupakan putri mantan pejabat bupati yang diterima menjadi calon pegawai negeri sipil Bandar Lampung. Kejanggalan diantaranya adalah bentuk tulisan di ijazah yang tidak sama dengan tulisan aslinya, termasuk nomor ijazah yang ternyata milik alumnus fakultas teknik lainnya, ada tanda tangan pengesahan (legalisasi). Demikian juga halnya dengan transkrip nilai, letak foto tersangka yang menutupi cap serta tanggal transkrip dibuat. Ini jelas menunjukkan bahwa ia menggunakan ijazah dan transkrip orang lain serta menggantinya dengan identitasnya. Dalam kasus ini pihak Unila tidak terlibat dalam pemalsuan ijazah tersebut, para petinggi Unila melakukan rapat dalam menyikapi kasus pemalsuan ijazah atas nama Sally. Pihak Unila sepakat tidak akan membuat pernyataan resmi, termasuk hasil rapat yang berlangsung. Sekretaris Jurusan (Sekjur) Teknik Sipil Fakultas Teknik Unila membenarkan Sally masih tercatat sebagai mahasiswi FT di angkatan 2003. Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kota Bandar Lampung membenarkan Sally merupakan CPNSD untuk formasi umum sarjana teknik. Sally saat 17
Sapphire, Sindikat Pemalsu Ijazah S1 di bongkar, dalam http://stembasurabaya.wordpress.com, Diakses tanggal 20 Agustus 2009, Pukul 08:06 Wib.
9
mendaftar menggunakan fotocopy ijazah legalisasi cap basah seperti ketentuan yang berlaku. 18 Idealitanya, dalam menghadapi kasus-kasus pemalsuan ijazah, sangat diharapkan partisipasi masyarakat dan tindakan tegas para penegak hukum dalam melakukan penyidikan dan penyelesaian melalui jalur hukum hingga ke pengadilan. Kalau terjadi kasus yang melibatkan oknum pejabat tertentu, sehingga pengusutan dilakukan terkesan lambat dan ngambang dengan berbagai alasan, maka hal itu patut disesalkan dan perlu dilakukan desakan agar segera dilakukan pengusutan sampai tuntas. Tindakan tegas sesuai dengan ketentuan yang berlaku dapat mencegah dan mengatasi berbagai kasus pemalsuan ijazah dan gelar. Patut dipertanyakan pula adanya kelambanan dalam menyelesaikan kasus pemalsuan ijazah yang sudah lama berlangsung dengan marak. Kalau kondisi ini dibiarkan, maka akan menurunkan wibawa dan martabat dunia pendidikan atau lebih lanjut berupa tindakan pelecehan terhadap pendidikan. Seorang pejabat yang menggunakan ijazah palsu tidak akan banyak memberikan kepedulian dan berbuat untuk pendidikan atau bahkan membiarkan pelecehan terhadap dunia pendidikan karena secara pribadi mereka tidak merasakan proses pendidikan atau takut tersaingi oleh mereka yang berpendidikan secara benar. 19
18
Eka, Unila Lepas Tangan, dalam file:///F:/Documents/Kasus-Kasus.html, Diakses tanggal 19 Maret 2010, Pukul 04:07 Wib. 19 Rahman, Baraya Sunda, dalam http://groups.yahoo.com/group/ Baraya_Sunda/, Diakses tanggal 18 agustus 2005, Pukul 00:26:49 -0700. Wib.
10
Berdasarkan
atas
uraian
diatas,
maka
penulis
tertarik
unuk
mengangkatnya dalam sebuah penelitian yang berjudul judul: “Tinjauan Hukum Pidana Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah (Gelar Kesarjanaan)”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka penulis akan merumuskan fokus penilitian sebagaimana berikut: 1)
Apa yang menjadi faktor penyebab terjadinya pemalsuan ijazah (gelar kesarjanaan)?
2)
Bagaimanakah praktek penegakan hukum terhadap tindak pidana pemalsuan ijazah (gelar kesarjanaan)?
3)
Hambatan-hambatan apa yang dihadapi dalam praktek penegakan hukum tindak pidana pemalsuan ijazah (gelar kesarjanaan) dan bagaimana solusi penanggulangannya?
C.Tujuan Penelitian 1)
Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya pemalsuan ijazah (gelar kesarjanaan).
2)
Untuk mengetahui praktek penegakan hukum tindak pidana pemalsuan ijazah (gelar kesarjanaan).
3)
Untuk mengetahui hambatan yang dihadapi dalam praktek penegakan hukum tindak pidana pemalsuan ijazah (gelar kesarjanaan) dan solusi dari penegakan hukum tersebut.
11
D.Tinjauan Pustaka Negara Indonesia adalah negara hukum (recht staats), maka setiap tindak pidana yang terjadi seharusnya diproses melalui jalur hukum, jadi hukum dipandang sebagai satu-satunya sarana bagi penyelesaian terhadap suatu tindak pidana. Dalam hal ini ada hubungannya dengan asas legalitas, yang mana tiada suatu perbuatan dapat dipidana melainkan telah diatur dalam undang-undang, maka bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut dan larangan tersebut sudah diatur dalam undang-undang, maka bagi para pelaku dapat dikenai sanksi atau hukuman, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu, dan/atau orang yang juga ada hubungan yang erat perbuatan tersebut. Latar belakang terjadinya tindak pidana pemalsuan ijazah tidak lepas dari adanya faktor-faktor yang mendorong si pelaku untuk melakukan suatu tindak pidana tersebut. Ada hubungan timbal balik antara faktor-faktor umum sosial politik ekonomi dan bangunan kebudayaan dengan jumlah kejahatan dalam lingkungan itu baik dalam lingkungan kecil maupun besar. Kejahatan pemalsuan adalah kejahatan yang di dalamnya mengandung sistem ketidakbenaran atau palsu atas suatu hal (obyek) yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya, padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya. Suatu pergaulan hidup di dalam masyarakat yang teratur dan maju tidak dapat berlangsung tanpa adanya jaminan akan kebenaran beberapa bukti surat dan atas alat tukarnya, kiranya perbuatan pemalsuan dapat merupakan ancaman bagi
12
kelangsungan hidup dari masyarakat tersebut. Perbuatan pemalsuan ternyata merupakan suatu jenis pelanggaran terhadap 2 (dua) norma dasar: Kebenaran (kepercayaan) yang pelanggarnya dapat tergolong dalam kelompok kejahatan penipuan; Ketertiban masyarakat, yang pelanggarnya tergolong dalam kelompok kejahatanm terhadap negara / ketertiban masyarakat. Banyak kepentingan hukum dalam masyarakat yang dilindungi oleh undang-undang, yang pada pokoknya dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan besar yakni: 1.
Kepentingan hukum perorangan (individual belangen);
2.
Kepentingan
hukum
masyarakat
(sociate
of
maatschappelijke belangen); 3.
Kepeningan hukum negara (staats belangen). 20
Realita sosial yang terjadi dalam masyarakat menunjukkan bahwa semakin meningkatnya tindak pidana pemalsuan, bahkan semakin berkembang hingga sampai pada tindak pidana pemalsuan ijazah atau gelar kesarjanaan. Bagaimana akibatnya jika seseorang yang dengan gagahnya menggunakan ijazah atau gelarnya untuk masuk ke dalam akses-akses penting, kemudian dapat menduduki jabatan atau posisi yang tinggi dalam pemerintahan atau instansi lain, sementara ijazah atau gelar yang disandangnya tersebut adalah aspal atau tidak
20
Yusufaditya, Legislatif dalam hukum pidana, dalam http:\\www.google.com\artikel\ Diakses tanggal 10 Maret 2008, Pukul 07.35 WIB.
13
benar. Adalah kerugian yang sangat besar bagi masyarakat dan negara, tentu saja banyak kepentingan yang dilanggar serta tidak mencerminkan prinsip keadilan. Untuk menanggulangi masalah tersebut, kebijakan hukum pidana sangat dibutuhkan, kebijakan hukum pidana (criminal policy) dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk mewujudkan perundang-undangan pidana atau suatu metode, mekanisme, serta langkah-langkah penegakan hukum yang ditempuh guna mengatasi suatu permasalahan dalam hukum pidana. Politik Kriminal atau criminal policy, menurut Marc Ancel, dapat diberikan pengertian sebagai the rational organization of the control of crime by society. Politik hukum pidana (dalam tataran mikro) sebgai bagian dari politik hukum (dalam tataran mikro), dalam pembentukan undang-undang harus mengetahui sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat, yang berhubungan dengan keadaan itu dengan cara-cara yang diusulkan dan dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai agar hal-hal tersebut dapat diperhitungkan dan dapat dihormati. 21 Oleh karena itu, fungsionalisasi dan aktualisasi kebijakan hukum pidana sangat diperlukan guna mengatasi masalah tindak pidana pemalsuan ini. Pokok dari dibentuknya kejahatan pemalsuan ini adalah perlindungan hukum atau jaminan kepercayaan atas kebenaran sesuatu yang ditujukan bagi masyarakat dan negara. Masalah kausa kejahatan selalu merupakan suatu masalah yang sangat menarik, baik sebelum maupun sesudah kriminologi mengalami pertumbuhan dan perkembangan seperti dewasa ini.
21
Sudarto.., op.cit., hlm. 23.
14
Mannheim membedakan teori-teori Sosiologi Criminal ke dalam : 22 a. Teori-teori berorientasi pada kelas social, yaitu teori-teori yang mencari sebab kejahatan dari cirri-ciri kelas social, perbedaan di antara kelas serta konflik diantara kelas-kelas social yang ada. Termasuk dalam teori ini adalah teori anomie dan teori-teori sub kebudayaan delinkuen. b. Teori-teori yang tidak berorientasi pada kelas social yaitu teori-teori yang membahas sebab-sebab kejahatan tidak dari kelas social tetapi dari aspek yang lain seperti lingkungan, kependudukan, kemiskinan, dan sebagainya. Termasuk dalam teori ini adalah teori-teori ekologis teori konflik budaya, teori factor ekonomi, dan differential association. Tinjauan yang lebih mendalam tentang interaksi ini dapat di buat dari berbagai sudut sebagaimana akan diterangkan sebagai berikut: 1.
Faktor-faktor ekonomi; Sistem Ekonomi Penelitian G. Von Mary, yang mengamati fluktuasi ekonomi dalam
periode tahun 1835-1860 menemukan korelasi antara kriminalitas dan fenomenafenomena ekonomi Tetapi, satu hal yang disepakati peneliti ialah ada korelasi antara ekonomi dan kriminalitas. Begitu juga dalam kasus-kasus pemalsuan ijazah, motivasi ekonomi paling banyak dijadikan alasan untuk melakukan tindak pidana pemalsuan ijazah. 23
22 Effendi, Teori-teori Kriminologi, dalam http://www.googlepages.com , Diakses tanggal 27 Oktober 2009, Pukul 08.30. WIB. 23 Noach, Kriminologi, Edisi Pertama, Tarsito, Bandung, 1984, hlm.199-120.
15
2.
Pengangguran Diantara
faktor-faktor
yang
baik
secara
langsung
atau
tidak,
mempengaruhi terjadinya kriminalitas, terutama dalam waktu-waktu krisis, pengangguran dianggap paling penting. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Emma A Winslow, dalam tulisannya: “Realationship between emplovment and crime flluctuations as shown by Massachussets Statistics”. Emma A Winslow mengatakan, pengangguran bagi Kriminologi masih jadi tanda tanya, apakah faktor kesukaran ekonomi, atau faktor yang tidak begitu langsung, yaitu: moralization (perasaan putus asa) karena pengangguran yang paling kuat sebagai penyebab kejahatan. 24 3.
Faktor-faktor mental: Agama Kegagalan para pemimpin agama dan masyarakat dalam menghidupi
iman yang dianut merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kehidupan masyarakat di banyak negara ditandai ateisme praktis. Kejahatan yang dilakukan orang beragama mudah membuat orang kehilangan kepercayaan dan keteladanan dalam hidup bermoral serta iman. Kecewaan timbul justru karena adanya pengandaian bahwa orang beragama dekat dengan Allah yang Maha adil dan Mahasuci akan hiduup menjadi semakin suci. Apakah pengandaian ini keliru? Sama sekali tidak adalah amat wajar orang menurut lebih banyak dari orang-orang beragama, sebab agama memiliki peran dan potensi besar untuk membimbing orang menjadi manusia yang lebih baik. Tetapi seperti dalam segi kehidupan lain, orang biasanya lebih 24
Stephan Hurwitz, Kriminologi, Ctk.Pertama, Bina Aksara, Jakarta, 1982, hlm. 99.
16
melihat praktis kehidupan beragama dari pada isi kepercayaan yang dianut. Pandangan manusia secara substansial dibentuk pengalaman. Pengalaman yang buruk sering menumbuhkan pandangan negatif, sementara pengalaman baik membentuk pandangan positif yang membangkitkan harapan. 25 4.
Bacaan, keseharian, dan tontonan film. Bacaan yang buruk seperti gambaran-gambaran penghidupan penjahat
yang menarik dengan iklim petualangan, dapat berpengaruh baik dan sampai batas suatu batas tertentu mengimbangi pengaruh buruknya, dalam arti membelokkan kecenderungan kriminal dengan jalan memberi jalan keluar demikian pula bagi si pembaca. Disamping bacaan picisan dan koran-koran sensasi, film dianggap menyebabkan pertumbuhan kriminalitas dan film ini oleh kebanyakan orang dianggap yang paling berbahaya. Memang disebabkan kesan-kesan yang mendalam, dari apa yang dilihat dan didengar serta cara penyajian yang negative. Pertunjukan film mungkin sekali jelas terkenang kembali dalam sanubari kita dan dapat menggugah khayalan. 26 Menurut pesrpektif teori kontrol sosial adalah bahwa pola-pola perilakuan jahat merupakan masalah sosial (dan hukum) yang membawa masyarakat pada keadaan anomie, yakni keadaan kacau karena tak adanya patokan tentang perbuatan-perbuatan apa yang baik dan yang tidak baik. Para ahli (misalnya para kriminologi) beranggapan bahwa setiap masyarakat mempunyai 25
Thomas Hidya Tjaya, Agama dan Moralitas Masyarakat, http://www.unisosdem.org/article, Diakses tanggal 29 Oktober 2009, Pukul 22.49 Wib. 26 Stephan Hurwitz, Kriminologi.., Op.cit., hlm.101-103.
dalam
17
warga yang jahat, karena masyarakat dan kebudayaan yang memberikan kesempatan atau peluang kepada seseorang untuk menjadi jahat (counter culture). Akan tetapi, orang akan berpendapat bahwa perikelakuan jahat adalah perbuatanperbuatan yang menyeleweng dari kaidah-kaidah yang berlaku menyeleweng dari perbuatan-perbuatan yang secara wajar dapat ditoleransikan oleh masyarakat. 27 Perspektif kontrol adalah perspektif yang terbatas untuk penjelasan delinkuensi dan kejahatan. Teori ini meletakkan penyebab kejahatan pada lemahnya ikatan individu atau ikatan sosial dengan masyarakat atau macetnya intergrasi sosial. Kelompk-kelompok yang lemah ikatan sosialnya (misalnya kelas bawah) cenderung melanggar hukum karena merasa sedikit terikat dengan peraturan konvensional. Jika seseorang merasa dekat dengan kelompok konvensional, sedikit sekali kecenderungan menyimpang dari aturan-aturan kelompoknya. Tapi jika ada jarak sosial sebagai hasil dari putusnya ikatan, seseorang merasa lebih bebas untuk menyimpang. 28 Hukum pidana yang berlaku di Indonesia sekarang ini ialah hukum pidana yang telah dikodifisir, yaitu sebagian terbesar dari aturan-aturannya telah disusun dalam satu Kitab Undang-undang (wetboek), yang dinamakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana menurut suatu sistem yang tertentu. Dalam pasal 1 ayat 1 KUHP, diadakan aturan-aturan mengenai batas-batas berlakunya perundang-undangan hukum pidana menurut waktu atau saat terjadinya perbuatan. Dalam pasal 2 sampai 9 KUHP sebaliknya diadakan aturan-aturan 27
Soejono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Edisi Pertama, Raja Grafindo Persada,Jakarta,2006,hlm.214. 28 Pakde Sofa, Teori-Teori Umum Tentang Perilaku Menyimpang, dalam http://massofa.wordpress.com/ Diakses tanggal 30 Oktober 2009. Pukul 15.55 Wib.
18
mengenai batas-batas berlakunya perundangan-undangan hukum pidana menurut tempat terjadinya perbuatan. Ditinjau dari sudut negara, ada dua kemungkinan pendirian, yaitu: Pertama: perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi di dalam wilayah negara, baik dilakukan oleh warga-warganya sendiri maupun oleh orang asing (azas teritorial). Kedua: perundangan-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang dilakukan oleh warganegara, di mana saja, juga di luar wilayah negara (azas personal). Juga dinamakan prinsip nasional yang aktif. 29 Hukum pidana dalam kehidupan manusia punya fungsi yang sangat penting, selain berfungsi untuk mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat yang tertib dan teratur hukum juga punya fungsi lainnya, yaitu melindungi terhadap hal-hal yang hendak memperkosa kepentingan hukum. Hukum memberi batasan-batasan tertentu, sehingga manusia tidak bisa sekehendak sendiri berbuat dalam upaya mencapai dan memenuhi kepentingannya agar tidak merugikan kepentingan dan hak orang lain. Kepentingan hukum (rechtsbelang) adalah berupa segala kepentingan yang diperlukan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat baik sebagai pribadi, anggota masyarakat, maupun anggota negara yang wajib dijaga dan dipertahankan agar tidak diperkosa dan dilanggar oleh perbuatan-perbuatan manusia, yang semuanya ini ditujukan untuk
29
Prof.Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cet 5, PT. Rineka Cipta, 1993, hlm.38.
19
terlaksananya dan terjaminnya ketertiban dalam segala bidang kehidupan masyarakat. 30 Tentunya hal ini didukung dengan adanya rumusan dalam hukum pidana materiil atau pidana abstrak ataupun hukum pidana dalam keadaan diam, yang sumber utamanya adalah dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), didalam KUHP terdapat aturan-aturan yang menetapkan dan merumuskan perbuatan-perbuatan yang diancam pidana, syarat-syarat untuk dapat menjatuhkan dan ketentuan mengenai pidana. Pengertian yang demikian itu menegaskan, bahwa setiap pelanggaran-pelanggaran terhadap perbuatan-perbuatan tertentu yang dilarang baik tindak pidana dalam buku II (kejahatan) dan buku III (pelanggaran), maupun tindak pidana yang berada di luar KUHP akan dikenai sanksi pidana sesuai ketentuanyang ada. Sebelum kita membahas lebih dalam pertanggungjawaban pidana yang dibebankan dan harus dipikul oleh pelaku tindak pidana, terlebih dahulu kita harus memahami tiga masalah pokok dalam hukum pidana, yaitu (1) masalah perbuatan yang dilarang dan diancam pidana atau tindak pidana, (2) masalah pertanggungjawaban pidana dari pelaku atau kesalahan, (3) masalah sanksi ataupidana. 31 Sedangkan Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalulintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subyeknya, penegakan hukum 30
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, PT. Raja Grafindi Persada, Jakarta, 2002, hlm. 15-16. 31 Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, 1990, hlm. 10.
20
itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum itu melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam ari sempit, dari segi subyeknay itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya
hukum
itu,apabila
diperlukan
aparatur
penegak
hukum
itu
diperkenankan untuk menggunakan daya paksa. 32 Ruang lingkup dari istilah “penegak hukum” sangat luas, sebab mencakup mereka yang secara langsung maupun tidak langsung berkecimbung di bidang penegakan hukum. Penegak hukum akan dibatasi pada kalangan yang secara langsung berkecimpung dalam bidang penegakan hukum yang tidak hanya mencakup law enforcement, akan tetapi juga peace maintenance. Kiranya sudah dapat diduga bahwa kalangan tersebut mencakup mereka yang bertugas di bidangbidang kehakiman, kejaksaan, kepolisisan, kepengacaraan, dan pemasyarakatan. Secara sosiologis, maka setiap penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan (status) dan peranana (role). Kedudukan (sosial) merupakan posisi tertentu di dalam struktur kemasyarakatan, yang mungkin tinggi, sedang-sedang saja atau rendah. Seorang penegak hukum, sebagaimana halnya dengan wargawarga masyarakat lainnya. Lazimnya mempunyai beberapa kedudukan dan peranan sekaligus. Bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti 32
Lihat; http://www.solusihukum.com, Diakses tanggal 05 November 2009, pukul 08.37 Wib.
21
pelaksanaan perundang-undangan, walaupun di dalam kenyataan di Indonesia kecenderungannya adalah demikian, sehingga pengertian law enforcement begitu populer. Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapatkan pengertian dari golongan sasaran, disamping mampu membawakan atau menjalankan peranan yang dapat diterima oleh mereka. 33 Para penegak hukum sebagai panutan masyarakat harus bertindak tegas terhadap mereka yang sudah terlanjur menggunakan ijazah dan gelar palsu khususnya pejabat publik. E. Definisi Operasional Sebelum mengkaji lebih lanjut mengenai Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah, disini penulis akan membahas tentang beberapa kata kunci untuk membatasi lingkup penelitian sebagai berikut: 1)
Istilah Tinjauan Hukum Pidana. Tinjauan Hukum Pidana yang dimaksud adalah penulis akan mencermati
dan menganalisis tindak pidana pemalsuan ijazah dari sudut pandang ketentuan hukum pidana yang ada. 2)
Istilah Tinjauan Kriminologi
33
Prof.Dr.Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Edisi Pertama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm.19-34.
22
Tinjauan Kriminologi yang dimaksud adalah penulis mencermati dan menganalisis masalah tindak pidana pemalsuan ijazah dari sudut pandang terhadap faktor-faktor mengapa tindak pidana tersebut terjadi. 3) Istilah Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah. Menurut Pasal 263 ayat (1) KUHP Tentang Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah, yang dimaksud Pemalsuan Ijazah adalah: “Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat
menimbulkan kerugian,
karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.” 34 Penegakan hukum terdiri dari penegakan hukum formulatif, penegakan hukum aplikatif dan penegakan hukum eksekutif. Sedangkan penegakan hukum yang dimaksud dalam penilitian ini adalah penegakan hukum aplikatif, yaitu proses penegakan hukum yang dilakukan oleh institusi yang memiliki kewenangan
untuk
melaksanakan
peraturan
tersebut
melalui
prosedur
kelembagaan yang telah ditetapkan terlebih dahulu secara formal. Penegakan hukum aplikatif ini dalam pelaksanannya tetap memperhatikan penyidikan hukum dalam suatu kasus melalui putusan pengadilan.
34
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, Cet. 12, PT. Asdi Mahasatya, Jakarta, 2005, hlm. 105.
23
F. Metode Penelitian 1. Fokus Penelitian a. Faktor penyebab terjadinya tindak pidana pemalsuan ijazah. b. Praktek penegakan hukum terhadap tindak pidana pemalsuan ijazah. c. Hambatan yang dihadapi dalam praktek penegakan hukum tindak pidana pemalsuan ijazah dan solusi dari penegakan hukum tersebut. 2. Lokasi Penelitian dilakukan di Wilayah Pengadilan Negeri Yogyakarta, sebab di pengadilan ini pernah memutus perkara Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah sebagaimana fokus kajian ini. 3. Narasumber Narasumber tersebut, yaitu: Hakim, Jaksa dan Polisi yang pernah atau sedang menangani kasus tindak pidana pemalsuan ijazah. Mengingat kasus yang akan dteliti adalah kasus yang pernah ditangai oleh Pengadilan Negeri, maka hakim dan jaksa yang akan menjadi narasumber utama adalah hakim dan jaksa Pengadilan Negeri. Disamping itu, narasumber lainnya adalah pihak Kopertis V Yogyakarta. 4. Bahan Hukum Bahan-bahan hukum dalam penilitian ini, yaitu: a. Bahan Hukum primer Yaitu, bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah pemalsuan ijazah di Indonesia yaitu: a)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
24
b)
Undang-undang No.20 tahun2003 tentang Sisdiknas.
b. Bahan Hukum Sekunder Yaitu, bahan hukum yang berupa literatur-literatur, hasil penelitian, makalah-makalah, dokumen-dokumen, artikel-artikel serta pendapat hukum mengenai pemalsuan ijazah di Indonesia. 5. Teknik Pengumpulan Data a) Studi Kepustakaan Yaitu dengan mengkaji jurnal, hasil penelitian hukum dan literatur yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. b) Studi Dokumen (Putusan) Yakni dengan mengkaji berbagai dokumen resmi istitusional yang berupa peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, risalah siding dan lain-lain yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. c) Wawancara Yakni dengan mengajukan pertanyaan kepada narasumber baik secara bebas maupun terpimpin. 6. Metode Pendekatan Penelitian a.
Yuridis Normatif Yuridis Normatif yaitu pendekatan dari sudut pandang ketentuan hukum atau perundang-undangan yang berlaku.
25
b.
Yuridis Sosiologis Yuridis Sosiologis yaitu metode yang selain meneliti aspek hukum peneliti juga terjun secara langsung di lapangan untuk memperoleh data-data dari subyek penelitian.
c. Pendekatan Kriminologi Pendekatan kriminologi yaitu metode yang mencermati dan menganalisis masalah tindak pidana pemalsuan ijazah dari sudut pandang terhadap faktor-faktor mengapa tindak pidana tersebut terjadi. 7. Metode Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini menggabungkan analisa deskriptif kualitatif. Deskriptif yaitu menganalisis data dengan cara memaparkan secara rinci dan sistematis tentang suatu peristiwa hukum tertentu yang berkaitan dengan pemasalahan penelitian. Kualitatif yaitu menganalisis hasil penelitian yang diperoleh dari teori-teori hukum serta untuk menjelaskan kalimat yang dapat dipahami secara ilmiah. Jadi, analisa deskriptif kualitatif yaitu menganalisa data dengan cara menggambarkan tentang pemalsuan ijazah di Yogyakarta, sehingga dapat mendeskripsikan secara jelas fakta-fakta yang terjadi dan dapat menjawab permasalahan yang diangkat dan disajikan secara deskriptif.