BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang begitu cepat, sehingga menuntut sumber daya manusia yang bisa tanggap akan perkembangan tersebut. Dalam dunia pendidikan, perkembangan teknologi sangat mempengaruhi akan sebuah pola dan model pembelajaran yang berdasarkan teori-teori belajar yang ada. Dalam proses pembelajaran, guru sebagai salah satu sumber daya manusia tentunya memegang peranan penting akan keberhasilan dan keefektifan sebuah pendidikan. Keberhasilan seorang guru dalam menyampaikan suatu materi pelajaran, tidak hanya dipengaruhi oleh kemampuannya (komptensi guru) dalam menguasai materi yang akan disampaikan. Akan tetapi ada faktor-faktor lain yang harus dikuasainya sehingga ia mampu menyampaikan materi secara profesional dan efektif. Faktor-faktor tersebut sudah diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen No. 14 Tahun 2005 Bab IV Bagian Kesatu Pasal 10 yakni, “Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.” Kompotensi-kompotensi tersebut dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2007. Dalam kompetensi pedadogik, salah satunya poinnya adalah seorang guru harus menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik. Penguasaan meliputi kompetensi guru dalam menerapkan berbagai 1
2
pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran yang mendidik secara kreatif dalam mata pelajaran yang diampu. Pendekatan, strategi, metode dan teknik pembelajaran tidak begitu saja diterapkan dalam suatu pembelajaran. Semua itu tentunya didasari oleh teori belajar yang dianut mereka. Teori belajar muncul dari definisi belajar yang diungkapkan oleh para ahli. Salah satunya definisi belajar yang diungkapkan oleh Hilgard dalam Sanjaya (2009:235-235): “Learning is the process by which an activity originates or changed through training procedures (whether in the laboratory or in the natural enviroment) as distinguished from change by factors not atributable and training”. Menurutnya belajar adalah sebuah proses dimana terdapat perubahan perilaku dari seseorang melalui latihan baik itu latihan di lab (tempat yang dikhususkan untuk proses belajar mengajar, kelas) maupun latihan di lingkungan alamiahnya. Beranjak dari konsep belajar yang menjelaskan tentang perilaku, ada dua kelompok/aliran teori belajar, yakni aliran behavioristik dan aliran kognitif. Salah satu teori belajar dari aliran kogntif yang menjadi terkenal saat ini untuk menghasilkan efektifitas dan keberhasilan guru di kelas adalah
teori belajar
konstruktivis. Menurut teori ini belajar bukanlah hanya sekedar menghafal akan tetapi belajar sebagai proses mengkonstruksi atau membangun pengetahuan melalui pengalaman. Seperti yang dikemukakan oleh Trianto (2010:74) bahwa teori pembelajaran konstruktivisme merupakan teori pembelajaran kognitif yang baru dalam psikologi pendidikan yang manyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan
3
aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak sesuai lagi. Teori lain tentang konstruktivisme dikemukakan oleh Casas (2006) bahwa, “Construtivism is an approach to teaching and learning that acknowledge that information can be conveyed but understanding is dependent upon the learner”. Selanjutnya Chang (2001) mengatakan bahwa, “from the viewpoint of recently developed constructivist learning theory, knowledge should not be accepted passively, it should be actively constructed by cognition.” Teori-teori belajar tersebut awalnya dilakukan dalam sebuah pembelajaran langsung atau tradisional yang belum menggunakan alat atau media pembelajaran melalui aplikasi ICT (Information and Communication Technology). ICT dalam konteks bahasa Indonesia dikenal dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Menurut Kementerian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia dalam Rusman (2009:3) bahwa TIK sebagai bagian dari Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) secara umum adalah semua teknologi yang berhubungan dengan pengambilan, pengumpulan (akuisisi), pengolahan, penyimpanan, penyebaran dan penyajian informasi Dalam dunia pendidikan, TIK sangat membantu mereka-mereka yang dulunya tersisihkan karena miskin sehingga tak bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang diinginkan, tersisih karena alasan budaya dan sosial, minoritas, perempuan, penyandang cacat, lanjut usia (lansia) serta mereka-mereka yang tinggalnya terpencil. Teknologi dalam TIK yang dimaksud mencakup komputer, internet, teknologi penyiaran (radio dan televisi), serta perteleponan.
4
Salah satu sifat dari TIK (Rusman, 2009:5) adalah kemampuannya untuk melintasi ruang dan waktu, artinya dimana saja dan kapan saja bisa digunakan, misalnya materi belajar online bisa diakses dimana saja. Pendapat Rusman didukung oleh Robyler et.al (1997:28) yang menyatakan, “common sense rationale for using technology is based on two major points: (1) technology is everywhere and (2) technology has been shown to be effective”. Pembelajaran secara online atau materi belajar online yang menggunakan fasilitas internet mengundang banyak istilah dalam pembelajaran. Istilah-isitlah pembelajaran tersebut diantaranya online learning, distance learning, web-based learning, elearning (Luik, 2010). Hal tersebut banyak membuat orang menjadi bingung dengan istilah-isitlah tersebut, akan tetapi Tsai dan Machado (2010) memberikan definisi berdasarkan pendekatan terminologi, “Our approach to defining these terms involves two complementary methods. The terminology is analyzed based on the individual meaning of the constituting terms, and the meaning of related concepts.” Berdasarkan hal tersebut, maka mereka memberikan definisi untuk masing-masing istilah di atas sebagai berikut: E-learning sebagian besar berkaitan dengan kegiatan yang melibatkan komputer dan jaringan interaktif secara bersamaan. Artinya, komputer tidak perlu menjadi elemen pusat dalam kegiatan atau menyediakan isi pembelajaran, tetapi komputer dan jaringan harus memegang keterlibatan besar dalam kegiatan pembelajaran.
5
Online learning dihubungkan dengan konten yang siap diakses pada komputer. Konten tersebut mungkin di Web atau internet, atau hanya diinstal pada CD-ROM atau hard disk komputer. Distance learning melibatkan interaksi pada jarak jauh antara instruktur dan peserta didik, dan memungkinkan reaksi instruktur tepat waktu pada peserta didik. Dengan cukup memposting atau menyiarkan materi pembelajaran untuk peserta didik bukan merupakan pembelajaran jarak jauh. Instruktur harus terlibat dalam menerima umpan balik dari peserta didik. Web-based learning dihubungkan dengan materi pembelajaran yang disampaikan dalam Web browser, termasuk ketika materi dikemas dalam CD-ROM atau media lain. Dalam sistem pembelajaran jarak jauh (distance learning) adalah metode pengajaran dimana aktivitas pengajaran dilaksanakan secara terpisah dari aktivitas belajar. Sebagian besar karena siswa bertempat tinggal jauh atau terpisah dari lokasi lembaga pendidikan. Sebagian karena alasan sibuk sehingga siswa yang tinggalnya dekat dari lokasi lembaga pendidikan tidak dapat mengikuti proses pembelajaran di lembaga tersebut. Sebagaimana
sistem
pembelajaran
langsung
atau
konvensional,
sistem
pembelajaran jarak jauh juga membutuhkan sarana prasarana penunjang pendidikan, agar tujuan umum pendidikan bisa diwujudkan sesuai dengan jenjang pendidikannya. Salah satu sarana yang yang penting dalam menunjang pembelajaran tersebut adalah
6
sesuatu berbasis ICT. Tidak seperti sistem pembelajaran langsung, sistem pembelajaran jarak jauh membutuhkan pengelolaan dan manajemen pembelajaran yang “khusus”, baik dari sisi siswa (pendidikan harus fokus pada kebutuhan instruksional siswa) maupun guru sebagai instrukturnya agar tujuan pendidikan bisa terwujud. Dari sisi instruktur (guru), beberapa faktor yang penting untuk keberhasilan sistem pembelajaran jarak jauh adalah perhatian, percaya diri guru, pengalaman, mudah menggunakan peralatan, kreatif, active learning, dan kemampuan menjalin interkasi dan komunikasi jarak jauh dengan siswa. Juga memperhatikan hambatan teknis yang mungkin terjadi, sehingga pembelajaran jarak jauh bisa berlangsung efektif. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Munir (2010:2), “Pengajar (guru) hendaknya mengenali pembelajarnya dengan baik melalui interaksi dan komunikasi yang lebih baik sehingga pembelajar dapat mengembangkan kemampuannya.” Dari sisi siswa, salah satu faktor yang penting adalah keseriusan mengikuti proses belajar mengajar di saat instruktur (guru) tidak berhadapan langsung dengan siswa. Pada level ini, keterlibatan dan kehadiran ‘orang-orang’ di sekitar, termasuk anggota keluarga memegang peranan penting dan strategis. Kehadirannya bisa mendukung berlangsungnya proses belajar mengajar secara efektif, tapi sebaliknya bisa juga menjadi penghambat. Faktor yang lainnya adalah active learning dan komunikasi yang efektif. Partisipasi aktif siswa pembelajaran jarak jauh mempengaruhi cara bagaimana mereka berhubungan dengan materi yang akan dipelajari.
7
Keberhasilan sistem pembelajaran jarak jauh ditunjang oleh adanya interaksi dan komunikasi yang efektif dan maksimal antara intstruktur (guru) dan siswa, interaksi antara siswa dengan berbagai fasilitas pembelajaran seperti kreatif mencari materimateri penunjang dari sumber-sumber lain seperti internet atau digital-library melalui web. Selain itu keaktifan dan kemandirian siswa dalam pendalaman materi (eskplorasi), mengerjakan soal-soal latihan dan soal-soal ujian. Pembelajaran jarak jauh secara definisi dan metode berbeda dengan pembelajaran berbasis web (web-based learning). Akan tetapi banyak kesamaan dalam beberapa hal, seperti sarana penunjang dalam proses pembelajaran (penggunaan ICT), pengelolaan khusus (berbeda dengan pembelajaran konvensional) baik untuk siswa maupun instruktur (guru). Pembelajaran berbasis web materi pembelajaran disampaikan dalam Web browser, termasuk ketika materi dikemas dalam CD-ROM atau media lain. Interaksi yang terjadi antara guru dan siswanya dalam pembelajaran berbasis web dimediasi oleh web, sehingga interaksi yang terlihat sepertinya hanya antara siswa dan web atau CD (sekarang DVD). Istilah web-based learning terkadang dikatakan sama dengan online learning seperti definisi yang diungkapkan oleh Tsai dan Machado di atas, oleh karena itu dalam beberapa artikel keduanya istilah tersebut bersinonim. Hal ini juga diungkapkan oleh Trombley & Lee dalam Luik (2006) dimana, ” web based learning and online learning are used as synonim and web-based learning is defined as learning that is delivered wholly or in part via the Internet or an Intranet. Web-based learning is only one form of e-learning and only one form of distance learning. E-learning covers all learning with
8
electronic technology and distance learning is all learning when students are not required to be physically present at a specific location during the term.” Istilah lain dalam pembelajaran yang menggunakan aplikasi TIK dikenal dengan nama Blended Learning. Model Blended Learning ini salah satunya muncul ketika Kerres dan Witt dalam Luik (2006) menyatakan bahwa web-based learning dapat dikombinasikan dengan face-to-face learning. Sejalan dengan definisi Web-based learning sudah dijelaskan sebelumnya, Hung (2007:5) juga berpendapat, “different people define web-based learning differently.” Sementara itu menurut Alessi and Trollip dalam Luik (2006) face-to-face learning atau web-based courses atau on-site learning adalah pembelajaran menggunakan sumber belajar web dengan tatap muka antara guru dan siswanya yang dilakukan di ruang kelas. Pembelajaran berbasis web dikatakan bermakna karena menurut Rivai dan Murni (2009: 449), salah satu dari empat komponen penting dalam membangun budaya belajar dengan penggunaan model pembelajaran dengan web adalah murid dituntut secara mandiri dalam belajar dengan berbagai pendekatan yang sesuai agar murid mampu mengarahkan, memotivasi, mengatur dirinya sendiri dalam pembelajaran. Berdasarkan beberapa studi yang ada, penggunaan web dalam pembelajaran umumnya diterapkan di sekolah-sekolah tinggi atau universitas untuk menghasilkan pembelajaran yang efektif dan bermakna. Akan tetapi model pembelajaran berbasis web juga bisa diterapkan di tingkat sekolah dasar dan menengah. Seperti yang diungkapkan oleh Passey dalam Luik (2006), “...web based learning is used often as
9
examples of materials produced by teacher for specific information gathering excercises or to offer information on primary and secondary level. Karena Blended ini merupakan kombinasi dari pembelajaran berbasis web dan pembelajaran tatap muka, maka pembelajaran ini dapat diterapkan pada mata pelajaran apa pun, termasuk mata pelajaran fisika yang salah satunya dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahun dan teknologi yang pesat. Seperti yang diungkapkan oleh Arends (2007:7), “perubahan besar yang terjadi dalam cara menyimpan dan mengakses informasi dengan komputer dan teknologi digital akan mengubah aspek pendidikan. Saat ini dan di masa mendatang, internet berpotensi untuk menghubungkan siswa ke berbagai sumber yang sebelumnya tidak tersedia. Banyak yang percaya bahwa internet akan menjadi, bila saat ini belum, medium pertama untuk informasi dan akan mengubah secara substansial bentuk-bentuk publikasi cetakan maupun visual. Hal ini pada gilirannya akan menyebabkan para pendidik untuk meredifinisikan banyak pelajaran dan tugas-tugas yang mereka berikan kepada siswa.” Trianto (2010:137) menyatakan bahwa Fisika merupakan salah satu cabang dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), dan merupakan ilmu yang lahir dan berkembang lewat langkah-langkah observasi, perumusan masalah, penyusunan hipotesis, pengujian hipotesis melalui eksperimen, penarikan kesimpulan serta penemuan teori dan konsep. Mata pelajaran fisika merupakan salah satu mata pelajaran wajib bagi siswa SMA/MA baik itu di kelas X atau di kelas XI dan XII yang mengambil jurusan IPA. Walaupun materi Fisika sudah diajarkan di tingkat SMP, akan tetapi di tingkat tersebut bisa dikatakan sebagai materi pengenalan. Materi yang lebih dalam pembahasannya terdapat di tingkat SMA. Hal ini diungkapkan dalam BSNP Tahun
10
2006, “Mata pelajaran Fisika di SMA/MA merupakan pengkhususan IPA di SMP/MTs yang menekankan pada fenomena alam dan pengukurannya dengan perluasan pada konsep abstrak…”. Berdasarkan wawancara dengan guru Fisika di SMA Cakra Buana, masih ada siswa yang belum mencapai ketuntasan belajar minimal yakni 76, rata-rata dari siswa baru mencapai ketuntasan 61. Jika kondisi tersebut dibiarkan, maka akan menimbulkan dampak yang kurang baik dari status Sekolah yang dalam kategori RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional). “Sebagai salah satu sekolah yang ditujuk oleh Departemen Pendidikan Nasional
untuk menjadi Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), SMA Cakra Buana mengembangkan Kurikulum Nasional yang diperkaya dengan lebih progresif dengan adaptasi Kurikulum Internasional, penggunaan system pengajaran yang dikemas secara Active Learning dipadukan dengan pendekatan Multiple Intelligences yang bertujuan mengeksplorasi setiap potensi peserta didik untuk membantu secara komprehensif pengembangan Intelektual, emosional, serta Spiritualitas peserta didik. SMA Cakra Buana memiliki program ciri khas, yang dimaksudkan untuk meningkatkan kepercayaan diri peserta didik serta membantu mereka berkolaborasi dengan sesama peserta didik dan memupuk jiwa kepemimpinan, sehingga diharapkan peserta didik memiliki karakter yang santun dalam bersikap namun tegar dalam menghadapi tuntutan zaman, serta memiliki kepedulian sosial tinggi.” (Sumber: Profil RSBI SMA Cakra Buana 2011) Fisika adalah salah satu pelajaran yang menuntut siswanya untuk lebih mengeksplor pengetahuan bukan hanya dari sebuah buku yang ada di sekolah, akan tetapi siswa dituntut untuk mengembangkan pengetahuan secara luas, khususnya untuk pengetahuan konsep dan teori di samping praktiknya di lapangan. “... proses belajar mengajar IPA lebih ditekankan pada pendekatan proses, hingga siswa dapat menemukan fakta-fakta, membangun konsep-konsep, terori-teori dan sikap ilmiah
11
siswa itu sendiri yang akhirnya dapat berpengaruh positif terhadap kualitas proses pendidikan maupun produk pendidikan” (Trianto, 2010:143). Dalam wawancara dengan guru Fisika di SMA Cakra Buana Depok, selama ini pembelajaran fisika masih menggunakan model konvensional dimana penggunaan komputer dengan program power point dijadikan media untuk menyampaikan informasi, proses bimbingan umumnya dilakukan dengan metode ceramah saja, dan latihan soal serta tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh siswa masih disampaikan secara manual (baik itu ditulis di papan tulis atau pun diketik di atas selembar kertas). Padahal SMA Cakra Buana Depok, sebagai salah satu sekolah swasta di Depok yang sudah berkategori Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI); memiliki fasilitas yang cukup lengkap baik fasilitas teknologi seperti ruang multimedia, komputer, dan jaringan internet maupun fasilitas lainnya. Selain itu SMA Cakra Buana merupakan sekolah swasta dengan jumlah siswa tiap kelas yang kecil dibatasi maksimal 24 siswa (dengan 2 guru di kelas) jauh lebih kecil dibandingkan sekolah negeri yang bisa mencapai 40 siswa (dengan 1 guru di kelas) dan mobilitas siswa di luar sekolah sangat tinggi disebabkan sering mengikuti kegiatan atau aktivitas orang tuanya. Karakterisitk sekolah di atas sebagain merupakan karkateristik dari RSBI, seperti yang dikemukakan oleh mantan menteri pendidikan, Bambang Sudibyo dalam Ahmadi dan Amari (2010:25). Menurutnya, “suatu sekolah akan dirintis menjadi sekolah internasional harus terakreditasi A secara nasional dan indikator tambahan lainnya adalah harus menerapkan sistem akademik berbasis teknologi informasi dan komunkasi (TIK).” Berdasarkan hal tersebut, RSBI bukan hanya untuk sekolah
12
perkotaan akan tetapi sekolah pedesaan yang sudah mempunyai fasilitas yang lengkap dan memadai bisa jadi berstatus RSBI. Namun bagi sekolah pedesaan, untuk mendapatkan fasilitas tersebut perlu sekali bantuan dari pemerintah seperti yang diungkapkan oleh Paul Suparno dalam surat kabar The Jakarta Post edisi Saturday, July, 16, 2011 page 7, “Centralization should be done not only for teacher placement, but also for improving facilities and teacher quality. Since poor provinces cannot improve their own school, the central government must help them, especially in proving school facilities. Some poor schools cannot meet the national standard without the central government’s assistance.”
RSBI merupakan satuan pendidikan sebelum mencapai SBI (Sekolah Berstandar Internasional). Untuk itu di Indonesia SNBI (Sekolah Nasional Berstandar Internasional) dirancang agar memenuhi tiga indikator penting seperti berikut (Ahmadi dan Amari, 2009:24), yaitu: 1. Mencirikan wawasan kebangsaan. 2. Memberdayakan seluruh potensi kecerdasan (multiple intelligencies). 3. Meningkatkan daya saing global. Selain masalah-masalah
di atas, ada juga permasalahan umum yang
mengakibatkan nilai fisika siswa rendah, yakni, •
Prof. Dr. Mundilarto pada pidato pengukuhan Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), di Yogyakarta. Menurut dia, “fisika yang sebenarnya mudah dipelajari berubah menjadi mata pelajaran yang sulit dipahami dan
13
tidak disenangi sebagian besar siswa. Itu, sambungnya, bisa terjadi karena guru tidak menggunakan pendekatan atau strategi pembelajaran yang tepat.” •
Ani Rusilowati (2006), “Kesulitan belajar Kelistrikan (salah satu materi fisika kelas X) antara lain disebabkan oleh rendahnya penguasaan konsep, lemahnya kemampuan matematis, dan kekurangmampuan mengkonversi satuan.”
•
Sudibyo dkk. (2008), “salah satu penyebab rendahnya motivasi siswa terhadap pelajaran fisika adalah adanya pola pembelajaran yang terlalu menekankan kepada pendekatan keilmuan (scientific approach). Kegiatan berlangsung tanpa memperhatikan tingkat perkembangan kognitif siswa, kebutuhan
siswa,
dan
pra-konsepsi
siswa
yang
diperoleh
dari
lingkungannya.” Beranjak dari permasalahan di atas peneliti memandang bahwa dengan guru menerapkan model Blended Learning dalam pembelajaran Fisika akan meningkatkan hasil belajar siswa dengan memperhatikan kognitif siswa. Hal ini sesuai dengan yang diungkapan oleh Bersin (2004:58), “This simple blend solve many problems: first, you have forced people to come prepared, making the classroom experience far more efficient. Second, you have made the classroom experience more relevant because the instructor knows the level of competency of the students before they arrive. Third, you have save money (if the audience is large enough to offset the cost of the webbase module) because the total time in classroom reduced. Finally, in most examples, you have improved the learning result because the program is now more aligned to the specific needs of the learners.”
14
Model ini yang terdiri dari atas 4 tahapan instruksional dari Alessi dan Trollip (2002), yakni tahapan satu (presenting information) dan tahapan kedua (guiding the learner) menggunakan pembelajaran tatap muka (face to face learning), sedangkan tahapan ketiga (practicing) dan tahapan keempat (assessing learning) menggunakan pembelajaran berbasis web (web-based learning). Tahapan ini digabungkan dengan adopsi solusi Blended Learning yang diimplementasikan pada tahun 2004 dan 2007 oleh Marco et.el (2009). Penerapan Blended Learning ini di dalamnya termasuk penggunaan media komputer dalam pembelajarannya. Tujuan kognitif dari pemakaian komputer dalam kegitan pembelajaran menurut Setiawan dalam Hidayat dkk. (2010), adalah komputer dapat mengajarkan konsep-konsep aturan, prinsip, langkah-langkah, proses dan kalkulasi yang kompleks. Komputer juga dapat menjelaskan konsep tersebut dengan sederhana dengan penggabungan visual dan audio yang dianimasikan. Sehingga cocok untuk kegiatan pembelajaran mandiri. Dalam penelitian sebelumnya, ada beberapa
penemuan
yang
mendukung
penggunaan
media
tersebut
untuk
meningkatkan hasil belajar siswa, yakni penelitian yang dilakukan oleh Wikidi (http://pps.uny.ac.id/index.php?pilih=pustaka&mod=yes&aksi=lihat&id=57) dengan judul Pengembangan Media Pembelajaran Berbantuan Komputer untuk Mata Pelajaran Fisika SMA. Menurut hasil penelitiannya adalah ditemukan mampu menaikkan rata-rata tes fisika siswa sebesar 31,10%. Penelitian lainnya dilakukan oleh Widha Sunarno sebagai Dosen Pendidikan Fisika P.MIPA FKIP UNS (http://perpustakaan.uns.ac.id/jurnal/upload_file/115-fullteks.pdf)
dengan
judul
15
Pembelajaran Fisika Dengan Media Komputer, Audio Visual, dan Konvensional Ditinjau dari Kemampuan Berpikir Siswa. Hasil penelitiannya menemukan bahwa pembelaran fisika dengan menggunakan media komputer mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap prestasi belajar siswa.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah maka dapat dirumuskan pemasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana efektifitas model Blended Learning dengan Moodle dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran Fisika di kelas X SMA Cakra Buana Kota Depok?”. Rumusan masalah tersebut diuraikan lebih jauh pada variabel hasil belajar berdasarkan revisi taksonomi Bloom pada tujuan pembelajaran (educational objectives) yang dikemukakan oleh Anderson, et al. (2001) dalam bukunya A Taxonomy for Learning Teaching and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives. Uraian pertanyaan penelitiannya sebagai berikut : 1. Bagaimana hasil belajar siswa yang menggunakan model Blended Learning dibanding hasil belajar siswa yang menggunakan model pembelajaran konvensional dalam ranah kognitif level mengingat (remember)? 2. Bagaimana hasil belajar siswa yang menggunakan model Blended Learning dibanding hasil belajar siswa yang menggunakan model pembelajaran konvensional dalam ranah kognitif level memahami (understand)?
16
3. Bagaimana hasil belajar siswa yang menggunakan model Blended Learning dibanding hasil belajar siswa yang menggunakan model pembelajaran konvensional dalam ranah kognitif level menerapkan (apply)? 4. Bagaimana hasil belajar siswa yang menggunakan model Blended Learning dibanding hasil belajar siswa yang menggunakan model pembelajaran konvensional dalam ranah kognitif level menganalisa (analyze)?
C. Batasan Masalah Untuk memfokuskan masalah yang diteliti, maka penelitian ini dibatasi pada, 1. Penerapan model ini hanya dibatasi pada Mata Pelajaran Fisika Kelas X Semester 2 di SMA Cakra Buana Depok. 2. Materi Fisika yang dipilih dalam penelitian ini adalah Suhu dan Kalor. 3. Hasil belajar yang akan diteliti hanya pada ranah kognitif saja (tidak untuk ranah afektif dan psikomotor). Ranah tersebut dipecah berdasarkan revisi taksonomi Bloom. Dari 6 dimensi atau level yang ada hanya empat (4) level yang akan diteliti yakni level mengingat (remember), level memahami (understand), level menerapkan (apply), dan level menganalisa (analyze). Sedangkan level mengevaluasi (evaluate) dan level menciptakan (create) tidak dilibatkan dalam penelitian ini karena disesuaikan dengan kompetensi dasar (KD) yang ada yang hanya sampai pada tingkatan menganalisa.
17
D. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah, 1. Untuk mengetahui perbedaan hasil belajar siswa yang menggunakan model Blended Learning dengan hasil belajar siswa yang menggunakan model pembelajaran konvensional dalam level mengingat (remember). Dalam level ini siswa diharapkan bisa mengenal (recognizing) dan atau menyebutkan kembali (recalling) teori-teori dan konsep-konsep dasar tentang materi suhu dan pemuaian; kalor dan perubahan wujud; dan perpindahan kalor. Teori-teori dan konsep-konsep tersebut sebagai dasar untuk menginjak pada level selanjutnya yakni level memahami (understand). 2. Untuk mengetahui perbedaan hasil belajar siswa yang menggunakan model Blended Learning dengan hasil belajar siswa yang menggunakan model pembelajaran konvensional dalam level memahami (understand). Setelah siswa dapat mengingat teori-teori di atas, maka siswa dituntut bisa memahami materimateri misalnya dengan menginterpretasikan (interpretating) atau menerangkan dengan contoh (exemplifying) atau
mengklasifikasikan (classifying) atau
(summarizing) atau berpendapat (infering) atau membandingkan (comparing) atau menjelaskan (explaining) prinsip-prinsip yang ada dalam suhu dan pemuaian; kalor dan perubahan wujud; dan perpindahan kalor. 3. Untuk mengetahui perbedaan hasil belajar siswa yang menggunakan model Blended Learning dengan hasil belajar siswa yang menggunakan model pembelajaran konvensional dalam level menerapkan (apply). Untuk level
18
menerapkan (apply), maka siswa diharapkan bisa menerapkan teori-teori dan konsep-konsep yang ada dalam kehidupan sehari-hari melalui eksekusi (execute) atau implementasinya di lapangan. Dalam hal ini siswa mampu menentukan kejadian-kejadian yang ada hubungannya dengan materi Suhu dan Kalor ke dalam konsep yang tepat. 4. Untuk mengetahui perbedaan hasil belajar siswa yang menggunakan model Blended Learning dengan hasil belajar siswa yang menggunakan model pembelajaran konvensional dalam level menganalisa (analyze). Dalam level ini siswa diharapkan dapat: a. Menganalisis pengaruh kalor terhadap suatu zat melalui analisa pengaruh kalor terhadap perubahan suhu benda; analisa pengaruh perubahan suhu terhadap ukuran benda (pemuaian); dan analisa pengaruh kalor terhadap perubahan wujud benda; dan b. Menganalisis cara perpindahan kalor melalui analisa konduksi, konveksi, dan radiasi kalor serta penerapannya dalam pemecahan masalah yang terjadi; dan analisa prinsip pertukaran kalor, Asas Black dan kalor jenis zat.
E. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat: 1. Bagi
peneliti,
mendapatkan
pengalaman
yang
berharga
karena
dapat
merealisasikan pengetahuan, keilmuan yang telah peneliti dapatkan selama masa studi.
19
2. Bagi SMA Cakra Buana Depok sebagai masukan dalam
perbaikan proses
pembelajaran Fisika khususnya dan pembelajaran pembelajaran sains dan pembelajaran lain pada umumnya. 3. Sebagai bahan masukan bagi rekan rekan-rekan rekan guru yang lain dalam pelaksanaan proses pembelajaran Fisika di tingkat SMA/MA. 4. Sebagai bagai bahan masukan bagi penelitian lebih lanjut.
F. Variabel Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode penelitian kuasi eksperimen. Berdasarkan dasarkan metode penelitian dan
rumusan masalahnya, maka
penelitian ini memiliki dua variabel el yang dibagi atas satu variabel bebas (X) yaitu model Blended Learning, Learning dan satu lagi variabel terikat yaitu hasil belajar fisika (Y).
X
Keterangan:
Y
X : Model Blended Learning yang diterapkan Y: Hasil belajar fisika
Pada variabel hasil belajar fisika (Y) yang dibatasi hanya pada ranah kognitif saja dibagi lagi ke dalam sub sub-sub sub variabel yakni level mengingat (C1), level memahami (C2), level menerapkan pkan (C3), dan level menganalisa menganalis (C4).
20
G. Hipotesis Penelitian Hipotesis yang akan diajukan pada penelitian adalah: 1. Terdapat perbedaan yang signifikan pada hasil belajar siswa pada ranah kognitif level mengingat dalam mata pelajaran fisika yang menggunakan model Blended Learning dibandingkan dengan hasil belajar siswa yang menggunakan model pembelajaran konvensional. 2. Terdapat perbedaan yang signifikan pada hasil belajar siswa pada ranah kognitif level memahami dalam mata pelajaran fisika yang menggunakan model Blended Learning dibandingkan dengan hasil belajar siswa yang menggunakan model pembelajaran konvensional. 3. Terdapat perbedaan yang signifikan pada hasil belajar siswa pada ranah kognitif level menerapkan dalam mata pelajaran fisika yang menggunakan model Blended Learning dibandingkan dengan hasil belajar siswa yang menggunakan model pembelajaran konvensional. 4. Terdapat perbedaan yang signifikan pada hasil belajar siswa pada ranah kognitif level menganalisa dalam mata pelajaran fisika yang menggunakan model Blended Learning dibandingkan dengan hasil belajar siswa yang menggunakan model pembelajaran konvensional.
H. Definisi Operasional Dalam penelitian ini ada beberapa definisi operasional, seperti
21
1. Blended learning adalah pembelajaran yang mengkombinasikan antara web-based learning dengan face-to-face learning. (Kerres and De Witt, 2003). Web-based learning dihubungkan dengan materi pembelajaran yang disampaikan dalam Web browser, termasuk ketika materi dikemas dalam CD-ROM atau media lain. (Tsai dan Machado, 2010). Dalam hal ini materi disimpan dalam salah satu aplikasi LMS yang open source yakni Moodle. Face-to-face learning adalah pembelajaran tatap muka antara guru dan siswa yang dilakukan di ruang kelas atau Luik (2006) mensiratkan itu dengan “direct contact with the teacher.” 2. Hasil belajar berkaitan dengan pencapaian dalam memperoleh kemampuan sesuai dengan tujuan khusus yang direncanakan. (Sanjaya, 2008: 13). Hasil belajar ini diukur dengan tes awal (pretest) dan tes akhir (posttest). Tes awal adalah tes yang digunakan untuk mengukur seberapa jauh siswa telah memiliki kemampuan mengenai hal-hal yang akan dipelajari, sedangkan tes akhir adalah tes yang digunakan untuk mengukur apakah siswa telah menguasai kompetensi tertentu seperti yang dirumuskan dalam indikator hasil belajar (Sanjaya, 2009b:236).