BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Peristiwa bunuh diri yang terjadi secara beruntun pada orang Gunungkidul cenderung mengalami peningkatan pada beberapa dekade terakhir ini (Santoso dan Daksinarga, 2003: 20; Rochmawati, 2009: 140-141). Akan tetapi, usaha penanganannya secara terpadu mulai dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Gunungkidul sejak tahun 2009. Beberapa program dan kebijakan tentang penanggulangan bunuh diri telah disusun dan tersosialisasikan kepada segenap lapisan masyarakat dengan harapan dapat menurunkan angka tindakan bunuh diri di daerah ini. 1 Namun, sampai saat ini masalah bunuh diri di Gunungkidul belum dapat tertanggulangi. Dalam interval waktu sepuluh tahun terakhir, angka bunuh diri di daerah ini menempati level tertinggi kasus bunuh diri di Indonesia2 (World Mental Health Day, 2006; Rochmawati, 2009). Kenyataan ini menunjukkan bahwa tindakan bunuh diri di Gunungkidul merupakan suatu tragedi kemanusiaan, yang faktor penyebabnya masih bersifat misteri sehingga muncul berbagai pendapat di kalangan ilmuwan, pejabat pemerintah, peneliti, dan warga masyarakat. 1
Sejak tahun 2009 Dinas Kesehatan Kabupaten Gunungkidul bekerja sama dengan World Health Organization (WHO) telah berhasil menyusun modul yang berjudul: “Pelatihan Deteksi Dini dan Pendampingan Kelompok Risiko Tinggi Bunuh Diri di Kabupaten Gunungkidul Yogyakarta, Bagi Petugas Puskesmas dan Kader Masyarakat”. Modul ini telah dibagikan kepada petugas dan kader masyarakat, baik di tingkat kecamatan maupun desa di lingkungan Kabupaten Gunungkidul. Selain itu, Dinas Kesehatan Kabupaten Gunungkidul bekerjasama dengan Departemen Agama Kabupaten Gunungkidul kini telah memiliki pedoman Khutbah Jumat sebagai bentuk pendidikan kejiwaan, dan diharapkan dapat sebagai materi sosialisasi penanggulangan bunuh diri ke masyarakat. 2 Lihat tabel tentang jumlah kasus bunuh diri yang terjadi pada sepuluh tahun terakhir terlampir.
2
Dalam kasus ini, Darmaningtyas (2002) berpendapat bahwa faktor utama yang menyebabkan terjadinya tindakan bunuh diri di Gunungkidul masih tetap mengkambinghitamkan faktor kemiskinan dan pembangunan makro yang berdampak terhadap kemiskinan yang baru. Pendapat Darmaningtyas didukung oleh Qori Oktohandoko (2010), mengemukakan bahwa peristiwa tingginya angka bunuh diri di Gunungkidul tiada lain disebabkan oleh faktor ekonomi dan penyakit yang tidak kunjung sembuh. Kedua pendapat ini, hampir sejalan dengan pendapat E.B. Strauss (1956: 818-820), mengemukakan bahwa pada umumnya faktor kemiskinan mempengaruhi tingkat bunuh diri yang tidak terduga-duga pada diri seseorang. Ida Rochmawati (2009) mempunyai pendapat yang agak berbeda dengan pendapat di atas. Setelah membahas beberapa kasus bunuh diri yang terjadi di Gunungkidul, Rochmawati berpendapat bahwa sebagian besar pelaku tindak bunuh diri menunjukkan gejala depresi3. Dijelaskan lebih lanjut, pelaku tindak bunuh diri sebelum melakukan bunuh diri biasanya menarik diri dari pergaulannya sehari-hari dan menjadi pendiam. Pendapat ini secara berulang-ulang disampaikannya, baik pada media massa cetak maupun media massa elektronik di berbagai kesempatan. Pada umumnya pendapat di atas berbeda dengan pendapat sebagian besar warga masyarakat Gunungkidul. Mereka berpendapat mengenai semaraknya bunuh diri dengan cara gantung diri di daerahnya disebabkan karena pelaku bunuh diri kejatuhan (ketiban) atau kemasukan pulung gantung. Mitos pulung gantung 3
Rochmawati (2009: 125) menambahkan, sampai saat ini penyebab depresi belum diketahui dengan pasti, namun dalam dua dekade ini ia telah memberikan temuan yang sangat berharga untuk mengobati depresi dengan pendekatan farmakoterapi.
3
yang melegitimasi tindakan bunuh diri hingga kini sangat populer pada masyarakat Gunungkidul sehingga tindakan bunuh diri dapat ditempatkan sebagai fakta simbolik. Pendapat warga masyarakat Gunungkidul mengenai semaraknya tindakan bunuh diri di daerahnya didukung oleh fakta penelitian Kurniati (1994: 30), menjelaskan bahwa orang Gunungkidul memiliki persepsi atau pemahaman, yaitu siapa saja yang kejatuhan (ketiban) pulung gantung dipercayai menjadi faktor pendorong bagi orang tersebut bunuh diri. Menurut pengetahuan masyarakat, lokasi jatuhnya pulung gantung itu bisa tepat di atas rumah pelaku bunuh diri tersebut, di atas rumah tetangga dekatnya, atau di pohon sekitar rumahnya. Berbagai isu dan pendapat mengenai bunuh diri yang terurai di atas tidak menjelaskan mengenai peristiwa bunuh diri dari dimensi budaya sehingga penelitian saya lebih menempatkan peristiwa bunuh diri sebagai fakta simbolik. Dalam peristiwa bunuh diri di Gunungkidul, terdapat adanya hubungan antara orang yang mau mati itu bercerita atau melihat pulung gantung terlebih dahulu, kemudian mewujudkannya menjadi tindakan bunuh diri sesungguhnya. Proses menuju ke arah kematian tersebut menunjukkan bahwa orang yang melakukan tindakan bunuh diri itu sebetulnya berpikir atau berkomunikasi sehingga hubungan mitos pulung gantung dengan tindakan bunuh diri mewujudkan hubungan antara harapan (das sein) dan kenyataan (das sollen). Penelitian ini juga mengkaji mengenai perlawanan-perlawanan yang dilakukan oleh orang-orang Gunungkidul untuk menangkal atau mengantisipasi supaya mitos pulung gantung tidak menjadi kenyataan sehingga tidak ada lagi
4
yang menyusul melakukan tindakan bunuh diri. Oleh karena itu, hasil temuan penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk mengapresiasi perjuangan orang keluar dari lingkaran bunuh diri. Dengan demikian, pelaksanaan penelitian bunuh diri dalam konteks budaya lokal di Gunungkidul menjadi penting, perlu, dan bersifat unik.
B. Rumusan Masalah Secara manusiawi, setiap orang mendambakan hidup yang tenang, tenteram, terbebas dari perasaan takut, berumur panjang, dan meninggal dunia dengan baik (good death)4. Namun, dalam kenyataannya secara tiba-tiba perasaan tenang dan tenteram itu bisa terganggu karena adanya penampakan tanda-tanda alam secara misterius di langit, seperti penampakan pulung gantung pada malam hari di atas wilayah Gunungkidul. Orang Gunungkidul mempercayai bahwa orang yang kena atau kejatuhan (ketiban) pulung gantung akan melakukan bunuh diri. Orang Gunungkidul memandang penampakan pulung gantung sebagai kekuatan sakti yang berada di alam supernatural. Menurut Ellen Badone (2004: 65-66), manusia percaya kepada kekuatan sakti berupa suatu gejala atau peristiwa yang luar biasa yang dipandang memiliki kesaktian, dan penampakannya tidak dapat diamati setiap hari. Setiap penampakannya ditafsirkan sebagai tanda pendahuluan akan terjadi kematian sehingga peristiwa ini dikategorikan sebagai
4
Good death atau kematian yang baik yaitu idealnya terjadi ketika seseorang telah selesai menjalani siklus hidup di usia tua. Kematian ini harus terjadi dengan cara alami, tanpa penyakit atau kekerasan sehingga seseorang tidak merasa sakit sampai menghembuskan nafas terakhir (Catedra, 2004: 77).
5
intersignes.5 Itulah sebabnya, setiap penampakan atau kemunculan kekuatan sakti tersebut menimbulkan rasa takut (Koentjaraningrat, 1986: 233). Bahkan, menurut pendapat orang Gunungkidul, setiap penampakan pulung gantung tidak hanya menimbulkan rasa takut, tetapi juga rasa waspada dan rasa khawatir karena dipercayai dapat menimbulkan mala petaka (pageblug), yaitu bunuh diri dengan cara menggantung diri di sekitar lokasi di mana pulung gantung itu jatuh atau menghilang di malam hari. Berkaitan dengan ini, pulung gantung menjadi tanda kultural untuk menjelaskan akan adanya orang bunuh diri dengan cara gantung diri. Walaupun demikian, hal-hal yang menyebabkan atau mendorong seseorang melakukan bunuh diri tidak bersifat tunggal karena berelasi dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat (Durkheim, 1968). Bertitik tolak dari uraian di atas maka permasalahan penelitian yang menarik untuk dikaji dapat diformulasikan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut.
1. Apa konteks budaya dari bunuh diri di Gunungkidul ? 2. Bagaimana pulung gantung menjadi wacana yang diekspresikan ke dalam tindakan bunuh diri pada orang Gunungkidul ? 3. Apa yang dirasakan dan terjadi pada orang Gunungkidul setelah ada yang melakukan bunuh diri, serta cara-cara yang ditempuh untuk memulihkan keadaan pasca kejadian bunuh diri ?
5
Intersignes adalah tanda-tanda supernatural yang ditafsirkan oleh manusia sebagai peringatan akan terjadi peristiwa kematian (Badone, 2004: 66-67).
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini memiliki beberapa tujuan, antara lain untuk mengetahui, memahami, dan menjelaskan mengenai konteks budaya peristiwa bunuh diri. Berikutnya, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara mendalam mengenai mitos pulung gantung yang menjadi wacana yang diekspresikan ke dalam tindakan bunuh diri yang terjadi pada orang Gunungkidul. Dalam hal ini, mitologi pulung gantung menjadi salah satu bentuk penjelasan kultural tentang bunuh diri dengan cara gantung diri di daerah ini. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mendeskripsikan secara mendalam tentang efek atau akibat dari wacana pulung gantung, serta cara-cara yang ditempuh untuk memulihkan keadaan pasca kejadian bunuh diri. Hasil penelitian ini, secara akademik diharapkan dapat bermanfaat untuk memberi sumbangan berupa hasil analisis bagi ilmu pengetahuan, khususnya berkenaan dengan (a) perubahan kebudayaan (evolusi dan difusi) yang berelasi dengan tindakan bunuh diri, dan (b) wacana penjelas kasus-kasus yang bersifat fatal (bunuh diri) yang justru menjadi
penyebab atau pendorong bagi
seseorang melakukan bunuh diri. Dalam hal ini, terwujud relasi dialektik antara bunuh diri dengan identitas (diri) warga, kemungkinan mewajarkan kematian bunuh diri sehingga komunitas pulih. Secara praktis, hasil temuan penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi para pengambil kebijakan dalam rangka meminimalisasi atau menanggulangi semaraknya peristiwa bunuh diri di Gunungkidul.
7
D. Kajian Pustaka Karya tulis mengenai bunuh diri yang ditulis oleh para jurnalistik, peneliti, dan ilmuwan dapat dibaca pada berbagai sumber, antara lain buku, novel, majalah, journal, surat kabar, dan laporan penelitian. Fakta ini menunjukkan kajian tentang bunuh diri tidak hanya didominasi oleh disiplin ilmu tertentu, tetapi telah dikaji dari berbagai disiplin ilmu, antara lain statistik, sejarah, psikoanalitis, psikologi-sosial, ekologi, sosiologi, dan antropologi. Namun, diagnosisnya seringkali tidak menjawab permasalahan mengenai faktor penyebab utama bunuh diri (E.B. Strauss, 1956: 818-820). Hal ini mempertegas faktor pendorong atau penyebab seseorang melakukan bunuh diri tidak bersifat tunggal, tetapi bersifat jamak berelasi dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat. Hal ini menyebabkan para ilmuwan yang mempunyai disiplin ilmu berbeda-beda itu menjadi tertarik menulis tentang peristiwa bunuh diri. Dengan demikian, untuk menunjukkan bahwa masalah penelitian saya ini belum pernah dibahas atau dipecahkan oleh peneliti terdahulu, dan sekaligus untuk menunjukkan keasliannya maka pada subbab ini saya membahas beberapa karya tulis yang ada hubungannya dengan bunuh diri. Seorang sosiolog Perancis bernama Emile Durkheim (1968) pada tahun 1897, menerbitkan sebuah buku yang berjudul Suicide: A Study in Sociology6. Dalam buku ini terungkap bahwa faktor terpenting yang menyebabkan perbedaan angka bunuh diri ditemukan dalam perbedaan level fakta sosial7. Hal ini me6 7
Judul buku aslinya: Le Suicide yang diterbitkan pada tahun 1897. Fakta sosial yaitu keseluruhan cara bertindak, baik baku maupun tidak, yang digunakan oleh suatu masyarakat dan pada saat yang sama eksistensinya terlepas dari manifestasi individu. Tiap-tiap masyarakat mempunyai suatu kecenderungan tersendiri yang pasti, suatu laju yang konstan dalam jangka waktu panjang sebagai “laju mortalitas melalui bunuh diri yang khas dari masyarakat yang dikaji” (Durkheim, 1968).
8
nunjukkan bahwa Durkheim dalam studinya lebih memandang peristiwa bunuh diri sebagai fakta sosial, yang pada intinya lebih memfokuskan kajiannya pada derajat integrasi dan keterikatan seseorang dengan masyarakat yang berelasi pada persoalan identitas. Dalam hal ini, Durkheim (1968) berasumsi, yaitu semakin besar derajat integrasi yang menurunkan kerentanan terhadap bunuh diri egoistik, semakin besar pula derajat konsensus kelompok. Integrasi yang digagas Durkheim menjadi solidaritas mekanik berakar pada kesadaran kolektif. Oleh karena itu, teori bunuh diri Durkheim dapat dicermati pada hubungan tipe-tipe bunuh diri dengan dua fakta sosial utamanya, yaitu integrasi dan regulasi sehingga teridentifikasi empat tipe bunuh diri, yaitu altruistik, egoistik, anomik, dan fatalistik8. Teori bunuh diri Durkheim mendominasi dan mempengaruhi studi sosiologi bunuh diri (Danigelis dan Pope, 1979). Berkaitan dengan hal ini, penelitian tentang peristiwa bunuh diri pada orang Gunungkidul mempunyai peluang untuk mengubah pandangan orang yang hidup terhadap orang yang mati bunuh diri yang menghubungkan peristiwa bunuh diri itu dengan hal-hal yang bersifat mistis. Kajian bunuh diri Durkheim mendapat kritikan dari beberapa ilmuwan, antara lain dari Reolino Marra dan Marco Orru. Marra dan Orru (1991: 273-288) mengadakan survei bunuh diri berdasarkan bukti sejarah, kemudian menanggapi studi bunuh diri Durkheim sebagai suatu disiplin ilmu sosiologi klasik dalam ilmu sosial. Marra dan Orru menjelaskan bahwa interpretasi terhadap bukti-bukti
8
Jika, derajat integrasi rendah akan terjadi bunuh diri egoistik, sebaliknya jika derajat integrasi tinggi akan terjadi bunuh altruistik. Demikian juga halnya, jika derajat regulasi rendah maka terjadi bunuh diri anomik, sebaliknya bila derajat regulasi tinggi terjadi bunuh diri fatalistik (Durkheim, 1968).
9
sejarah dalam studi bunuh diri Durkheim, tidak didukung oleh fakta. Marra dan Orru kemudian mengkritik klaim yang dikemukakan oleh Durkheim, yaitu bukan penghukuman secara moral yang menyebabkan meningkatnya bunuh diri, melainkan disebabkan oleh toleransi dan keengganan yang merupakan respons sosial yang khas untuk bunuh diri. Di samping itu, Durkheim juga mengklaim bahwa terjadi peningkatan penolakan secara sosial tentang bunuh diri yang terus-menerus mengalami peningkatan pada masyarakat. Apabila klaimnya ini dihadapkan dengan bukti sejarah maka menjadi tidak berdasar. Bukti sejarah yang dimaksud berdasarkan atas hasil survei bunuh diri pada zaman klasik abad-19, dan tindakan bunuh diri yang berkembang selama hidup Durkheim. Di sisi lain, penelitian saya ini dapat memberikan kontribusi terhadap kritik teori Durkheim karena aspek-aspek budaya berperan pula dalam menentukan derajat integrasi suatu masyarakat. Durkheim lebih menitikberatkan pada fakta sosial utamanya, yaitu integrasi dan regulasi sehingga tercipta empat tipe bunuh diri: altruistik, egoistik, anomik, dan fatalistik. Walaupun demikian, buku berjudul Suicide: A Study in Sociology yang ditulis oleh Durkheim dan diterbitkan pada tahun 1897, telah banyak memberikan inspirasi kepada berbagai ilmuwan melakukan pengkajian atau penelitian tentang peristiwa bunuh diri. Apabila menoleh ke belakang, sebelum Durkheim menerbitkan karya tulis berjudul Suicide: A Study in Sociology, sebenarnya L.V. Helms (via Geertz, 2003: 34-40) pada tanggal 20 Desember 1847 pernah mengamati prosesi ritual bunuh diri yang dilakukan oleh para selir raja di Bali, yang disebut tradisi mesatia. Helms menjelaskan, para selir raja di Bali yang pernah diamatinya bunuh diri
10
(mesatia) ketika sang raja (suaminya) meninggal dunia, dengan cara menceburkan diri ke dalam kobaran api pada waktu jenazah sang raja sedang dibakar dalam upacara pengabenan yang disaksikan oleh publik di areal kuburan. Ritual mesatia ini dilakukan oleh para selir raja sebagai wujud rasa cinta kasih dan setia kepada raja untuk bersama-sama menuju ke alam “dewata”. Akhirnya, sejak Bali ditaklukkan oleh penjajah Belanda, tradisi mesatia tidak boleh digelar lagi karena dipandang menyalahi kodrat sebagai manusia (Crease, dkk., 2006: 38). Dalam hubungan ini, Geertz (1981: 100-101) pernah pula mengadakan studi pada orang Jawa. Sesuai dengan hasil studinya, Geertz menjelaskan orang Jawa berpandangan bahwa kematian seseorang secara mutlak ditentukan oleh Tuhan. Akan tetapi, mati yang ditempuh dengan cara bunuh diri merupakan suatu kesalahan besar karena mencoba mengambil apa yang selayaknya menjadi takdir Tuhan. Sementara, studi James T. Siegel (1986: 226) melengkapi studi Geertz mengenai pandangan orang Jawa terhadap kematian. Menurut Siegel, orang Jawa berpandangan bahwa kematian seseorang memang sudah ditentukan sebelumnya oleh Tuhan, tetapi siapa pun tidak akan bisa tahu kapan waktu kematiannya tiba. Baik, Geertz maupun Siegel dalam studinya lebih menyoroti mengenai pandangan dan sikap orang Jawa terhadap kematian. Namun demikian, kajian tentang kematian, baik yang dilakukan oleh Geertz (1981: 97-98) maupun Siegel (1986: 257-259) memberikan kontribusi yang sangat besar bagi penelitian ini untuk memahami tentang pandangan orang Jawa terhadap kematian. Geertz dan Siegel menjelaskan bahwa orang Jawa dianjurkan untuk mengikhlaskan kematian anggota keluarganya, dengan berbagai
11
alasan, antara lain: apa yang berasal dari Tuhan pasti kembali kepada-Nya. Mereka yang meninggal dunia tidak sungguh-sungguh pergi, ia hanya berada di tempat lain. Jika arwahnya melihat anda sedang bersedih, ia juga sedih. Siegel (1986: 261) menambahkan, orang Jawa juga berpandangan kematian membawa kepadanya suatu derajat kehormatan dan menjadi cita-cita dari almarhum yang tidak pernah diraih pada saat lahir dan selama hidupnya. Oleh karena itu, ahli warisnya dapat meminta restu dengan cara trobosan (berjalan melintas) di bawah keranda pada saat pemberangkatan jenazah orang yang telah mati. Bahkan, di batu nisannya diberi gelar Ki atau Nyai, walau bayi sekali pun. Di kalangan orang Jawa, kematian bukan semata-mata merupakan persoalan biologis, namun lebih sebagai persoalan budaya. Relevan dengan hal ini, Y. Tri Subagya menegaskan tentang pandangan orang Jawa terhadap proses kematian secara alamiah dan ideal, sebagai berikut.
“…orang Jawa memandang kematian bukan sebagai titik kebinasaan eksistensial tetapi sebagai proses transisi esensial. Kematian justru melahirkan status baru bagi orang yang mati. Mereka diangkat lebih tinggi dibandingkan orang-orang yang masih hidup. Segala status sosial yang disandang semasa hidup ditelanjangi digantikan dengan citra kehidupan luhur. Makna mati di kalangan orang Jawa mengacu pada pengertian kembali ke asal mula keberadaan (sangkan paraning dumadi)” (Subagya, 2004: 181).
Dalam struktur berpikir orang Jawa, kematian mengarah pada suatu bidang orientasi (0). Di titik pusat (0) ini melambangkan segala paradoks dan bersatunya kawula-Gusti. Bidang yang menjadi suatu pusat orientasi (0) ini, yaitu keadaan suwung awang uwung; sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dan dideskripsikan (Laksono, 2009a: 30-31).
12
Akhir-akhir ini masalah bunuh diri memang banyak mendapat perhatian dan sering diperbincangkan dalam berbagai forum di Indonesia. Hal ini terbukti semakin bertambah banyak bermunculan peneliti dan penulis yang meneliti dan menulis mengenai kasus bunuh diri di Indonesia. Misalnya, Dyatmikawati, dkk. (2006) melakukan penelitian bunuh diri di Bali dari perspektif agama Hindu dan hukum adat. Di Yogyakarta, jauh sebelum Widyatmikawati, dkk. meneliti dan menerbitkan buku bertopik tentang bunuh diri di Bali, Darmaningtyas pada tahun 1989 sudah pernah melakukan penelitian tentang bunuh diri di Gunungkidul. Hasil penelitiannya, kemudian ditulis ulang dan diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Pulung Gantung: Menyingkap Tragedi Bunuh Diri di Gunungkidul. Hasil kajiannya menjelaskan bahwa pulung gantung hanya dipandang sebagai mitos yang memiliki makna setelah terjadinya peristiwa (post-factum) bunuh diri sehingga penampakan pulung gantung itu hanyalah sebagai gejala alam biasa. Pandangan ini ada benarnya, karena cerita tentang adanya penampakan pulung gantung biasanya baru berhembus pasca terjadi tindakan bunuh diri. Cerita ini direkayasa oleh orang-orang yang masih hidup untuk menutup aib keluarga duka sehingga orang yang mati bunuh diri tersebut dipandang wajar melakukan bunuh diri karena diduga kejatuhan (ketiban) pulung gantung. Di sisi lain, Darmaningtyas juga menegaskan hampir semua pelaku bunuh diri yang ditelusuri lebih jauh latar belakangnya, berasal dari kelompok yang rentan, baik secara ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, maupun usia sehingga metode bunuh diri dengan cara menggantung dipandang lebih efisien dan cepat sebagai jalan satu-satunya yang terbaik untuk keluar dari beban kehidupan yang
13
dideritanya. Sebagai hasil temuan penelitiannya, Darmaningtyas menjelaskan bahwa bunuh diri di Gunungkidul tidak dapat dipisahkan dari masalah ekonomi, yaitu kemiskinan. Hal ini mengindikasikan bahwa studi tentang bunuh diri Darmaningtyas lebih menekankan pada masalah-masalah pribadi dan tekanan sosial-ekonomi yang amat berat dialami pelaku bunuh diri di masa hidupnya. Kelemahan karya tulis Darmaningtyas terutama ia mengabaikan perbincangan tentang pulung gantung sebelum terjadi peristiwa bunuh diri yang diekspresikan ke dalam tindakan bunuh diri yang sesungguhnya. Di sisi lain, Darmaningtyas tidak mampu menggali informasi pengalaman mistis orang yang pernah gagal melakukan bunuh diri, dan keanehan-keanehan yang tampak terjadi pada seseorang yang mati bunuh diri dengan cara gantung diri. Dengan demikian, kajian bunuh diri Darmaningtyas tidak bersifat kontekstual, tetapi lebih cenderung mencari hubungan sebab-akibat dalam menjelaskan peristiwa bunuh diri daripada proses pemaknaannya. Sementara, penelitian saya ini lebih bersifat kontekstual dan simbolik untuk mengkaji peristiwa bunuh diri di Gunungkidul. Temuan penelitian Kurniati (1994) tentang peristiwa bunuh diri di Gunungkidul tidak jauh berbeda dengan temuan penelitian Darmaningtyas (2002). Dalam karya tulisnya, Kurniati berpandangan bahwa bunuh diri di Gunungkidul tidak bisa dipisahkan dengan masalah sosial-budaya yang dialami oleh pelaku bunuh diri. Kurniati dalam kajiannya lebih menitikberatkan pada pendeskripsian tentang kisah-kisah kasus bunuh diri yang dialami oleh tujuh korban pelaku bunuh diri. Informasi ini diungkap dengan cara mewawancarai anggota keluarga pelaku
14
bunuh diri, setelah bunuh diri terjadi. Menurut Kurniati, hampir semua kasus bunuh diri di Gunungkidul selalu didahului penampakan pulung gantung9. Penelitian Kurniati mengenai peristiwa bunuh diri itu masih terlihat memiliki kelemahan. Karena Kurniati tidak menjelaskan secara kontekstual pandangan orang Gunungkidul tentang penampakan pulung gantung dari sudut pandang mereka sebagai orang pribumi. Dalam konteks ini, baik Darmaningtyas maupun Kurniati juga tidak berusaha untuk mengkaji langkah-langkah atau tindakan-tindakan yang dilakukan oleh orang-orang Gunungkidul supaya tidak kena pengaruh “magnet” gagasan pulung gantung. Oleh sebab itu, penelitian ini mengungkap pula mengenai makna munculnya cerita pulung gantung pasca kejadian bunuh diri, serta tindakan ritual yang dilaksanakan untuk memulihkan keadaan agar masyarakat menjadi tenteram, damai, dan lega kembali. Sebuah karya tulis yang berbentuk novel tentang kisah-kisah bunuh diri di Gunungkidul ditulis Santoso dan Daksinarga (2003). Karya tulisnya berjudul Tali Pati: Kisah-kisah Bunuh Diri di Gunungkidul, yang mendeskripsikan tiga belas kasus riwayat hidup pelaku bunuh diri. Berdasarkan rangkuman dari tiga belas kasus riwayat bunuh diri itu, Santoso dan Daksinarga sepintas menegaskan pada bagian akhir tulisannya, yaitu bunuh diri pada orang Gunungkidul bukan sematamata mengenai perkara sosial, kriminal, adat, dan supernatural, melainkan lebih menjurus pada perkara kejiwaan. Berarti, jenis karya tulis yang berbentuk novel 9
Temuan penelitian Kurniati didukung oleh pandangan Drs. Suharjiyo, M.A., pemerhati budaya dan pendidikan nonformal di Gunungkidul. Suharjiyo berpandangan, yaitu kita tidak bisa menutup mata bahwa sebagian masyarakat Gunungkidul masih mempercayai penyebab bunuh diri adalah pulung gantung; semacam kepercayaan bahwa siapa pun yang mendapatkan pulung berupa sinar, maka ia ‘seolah’ menerima takdir mati nggantung (via Rochmawati, 2009: 25).
15
ini pada intinya mendeskripsikan tentang faktor psikologis sebagai penyebab seseorang melakukan bunuh diri. Buku Rochmawati (2009) berjudul Nglalu membahas peristiwa bunuh diri di Gunungkidul dari kajian medis, dan menggabungkan unsur-unsur nilai seni berupa puisi, prosa, narasi, dan fotografi untuk menyampaikan informasi bunuh diri sehingga bukunya mempunyai daya tarik tersendiri. Dalam buku ini, Rochmawati lebih cenderung membahas tentang konsep dan pandangan beberapa ilmuwan yang berelasi dengan bunuh diri, serta relatif sedikit mencantumkan fakta yang diperoleh langsung di lapangan ketika terjadi bunuh diri sehingga belum merumuskan kesimpulan pada bagian akhir tulisannya. Motif penyusunan buku ini sebagai ajakan melihat tragedi bunuh diri dengan menggunakan mata hati. Kajian Wulandari (2010) tentang bunuh diri menarik untuk dicermati. Wulandari secara khusus membahas tiga kasus gantung diri yang terjadi di Desa Gading, Kabupaten Gunungkidul dengan menggunakan perspektif fenomenologi. Temuan penelitiannya menjelaskan munculnya keinginan bunuh diri disebabkan oleh faktor dari dalam individu, kemudian didorong oleh faktor sosialnya. Peristiwa gantung diri di Desa Gading ditanggapi berbeda-beda, baik oleh warga masyarakat maupun anggota keluarganya. Masyarakat desa ini melakukan upaya pencegahan tindakan bunuh diri dengan cara melaksanakan ruwatan desa. Pembahasan tentang tiga kasus gantung diri yang dilakukan oleh Wulandari belum sampai pada penafsiran simbol-simbol yang berelasi dengan peristiwa bunuh diri dan pulung gantung. Sedangkan, pembahasannya tentang pe-
16
laksanaan ruwatan desa untuk mencegah tindakan gantung diri, lebih difokuskan pada fungsinya daripada penafsiran simbol-simbol ritualnya. Berdasarkan tinjauan penelitian terdahulu tampak adanya kecenderungan penelitian bunuh diri di Gunungkidul lebih menekankan pada manifestasi kondisi kejiwaan, kesehatan, sosial, dan ekonomi sebagai faktor pendorong atau penyebab seseorang melakukan bunuh diri. Sementara ini, kajian terdahulu tentang peristiwa bunuh diri di Gunungkidul bukan dilihat sebagai fenomena kebudayaan yang bersifat simbolik sehingga analisisnya lebih cenderung terlepas dari konteks sosiokultural masyarakatnya. Selain itu, peneliti terdahulu belum ada mengkaji bagaimana cara orang Gunungkidul dan ahli waris korban bunuh diri memaknai pulung gantung dan tindakan bunuh diri. Penampakan pulung gantung sebagai bentuk simbol ekspresif (simbol yang mengesankan) yang menjadi pusat perhatian masyarakat Gunungkidul, berfungsi sebagai petunjuk menjelaskan akan terjadi tindakan bunuh diri dilakukan oleh warga masyarakatnya. Berdasarkan paparan di atas maka permasalahan penelitian ini perlu mendapat perhatian dan dikaji secara kontekstual dengan memandang fenomena pulung gantung dan bunuh diri sebagai fenomena kebudayaan. Karena orang Gunungkidul seringkali mengaitkan penampakan pulung gantung dengan tindakan bunuh diri, dan hampir setiap terjadi tindakan bunuh diri dikaitkan pula dengan mitos pulung gantung.
E. Orientasi Teori Dalam khazanah antropologi, studi tentang bunuh diri ini ditempatkan sebagai tindakan simbolik dari suatu proses komunikasi. Proses komunikasi ini
17
dapat berlangsung atas dasar penggunaan tanda dan simbol. Oleh karena itu, peristiwa bunuh diri di Gunungkidul dicermati sebagai fakta budaya, yaitu sebagai simbol. Clifford Geertz (1992) dalam konteks ini menjelaskan, konsep kebudayaan sebagai sebuah konsep semiotis dan jenis analisisnya merupakan sebuah ilmu yang bersifat interpretif untuk mencari makna. Dalam menanggapi suatu peristiwa, Geertz lebih memfokuskan pada pemahaman makna. Makna kebudayaan dapat ditangkap dengan cara menafsir simbol-simbol yang setiap saat dan tempat juga digunakan oleh orang Gunungkidul untuk menjelaskan peristiwa bunuh diri lewat simbol atau mitos pulung gantung. Dalam bukunya yang berjudul Tafsir Kebudayaan (1992), selain memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang semiotik, Geertz juga memandang kebudayaan bersifat kontekstual. Geertz menjelaskan pula bahwa kebudayaan itu bersifat publik. Sebagai antropolog, Geertz mengembangkan pendekatan simbol, yaitu untuk memahami simbol-simbol dan maknanya yang ada di tingkat publik secara mendalam dan menyeluruh dengan menggunakan metode deskripsi mendalam (thick description). Dengan mengacu pada logika berpikir di atas, konsep kebudayaan Geertz (1992) dapat dipahami sebagai (a) sistem pengetahuan/kognitif (knowledge system), (b) sistem nilai/evaluatif (value system), dan (c) sistem simbol (symbolic system) yang memungkinkan interpretasi. Dalam hal ini, baik sistem pengetahuan/ kognitif maupun sistem nilai/evaluatif dikomunikasikan melalui sistem simbol. Ini mempertegas bahwa manusia dalam hidupnya sehari-hari menggunakan beraneka
18
ragam simbol untuk melakukan komunikasi dengan sesamanya, baik dengan yang masih hidup maupun telah mati. Dalam proses komunikasi ini, khususnya yang terjadi di kalangan orang yang masih hidup, ada berlangsung dengan rukun dan ada juga mengalami kegagalan. Dalam penelitian bunuh diri ini, analisis terlebih dahulu difokuskan pada sistem pengetahuan/kognitif orang Gunungkidul terutama pada cara pandang dan penguasaan pengetahuannya mengenai peristiwa bunuh diri yang terjadi di daerahnya. Analisis mengenai sistem nilai (evaluatif) orang Gunungkidul terutama difokuskan pada segi sikap/nilai yang muncul dalam pendapat-pendapatnya tentang peristiwa bunuh diri itu. Kemudian, tindakan bunuh diri pada orang Gunungkidul dicermati sebagai sistem simbol yang harus diinterpretasi atau ditafsirkan untuk memperoleh maknanya. Dalam hal ini, analisis difokuskan pada aspek pemahamannya untuk memahami dan mendekontruksi makna peristiwa bunuh diri. Peristiwa bunuh diri, selanjutnya dipandang sebagai teks yang akan diinterpretasi melalui rekonstruksi imajinatif dari signifikasi berbagai unsur peristiwa sehingga memperoleh pemahaman secara kontekstual yang berelasi dengan budaya masyarakat Gunungkidul. Kerangka berpikir yang bersifat kontekstual seperti dipaparkan di atas, diadaptasi untuk memahami konteks peristiwa bunuh diri di Gunungkidul. Kerangka berpikir ini terutama digunakan untuk menginterpretasi simbol-simbol berkenaan dengan tindakan bunuh diri sehingga mampu merefleksikan makna bunuh diri secara holistik dalam konteks sosiokultural masyarakat Gunungkidul.
19
Berkaitan dengan rumusan masalah nomor dua penelitian ini, mempunyai implikasi pada suatu proses yang bersifat historis. Dalam hal ini, mitos pulung gantung dipandang sebagai suatu realitas yang mengandung imajinasi mitis. Menurut Ernst Cassirer, imajinasi mitis selalu melibatkan tindakan percaya. Tanpa kepercayaan bahwa objeknya nyata, maka mitos kehilangan dasarnya (Cassirer, 1987: 114). Dalam hal ini, orang-orang Gunungkidul memandang pulung gantung sebagai suatu objek adalah berwujud bola api pijar yang berekor, hingga kini masih berakar kuat pada kepercayaan masyarakat di daerah ini, dan setiap penampakannya dipercayai sebagai suatu isyarat kematian bunuh diri. Dalam konteks ini, setiap terjadi tindakan bunuh diri muncul obrolan, perbincangan, atau wacana tentang pulung gantung. Warga masyarakat biasanya memperbincangkan atau mewacanakan mengenai penampakan pulung gantung, baik sebelum maupun sesudah terjadi peristiwa bunuh diri. Demikian pula halnya, setiap muncul wacana tentang penampakan pulung gantung, biasanya dikaitkaitkan akan adanya kejadian bunuh diri di sekitar tempat jatuhnya pulung gantung tersebut. Di sini terjadi proses signifikasi, yaitu orang-orang mengubah tanda alam berwujud cahaya yang diberi nama pulung gantung menjadi tanda kultural sehingga tercipta hubungan bersifat kiasan atau metaforis. Hal ini dapat pula dikatakan bahwa orang-orang di sini mengubah tanda alam yang tadinya meteorit10 menjadi metaforis sehingga mempunyai sifat simbolik. Dalam memahami tindakan bunuh diri di Gunungkidul secara lebih mendalam, diacu pula teori simbol yang dirumuskan oleh Raymond Firth. Dalam 10
Meteorit adalah benda pada sisa meteor yang telah mencapai permukaan bumi, biasanya terdiri atas ikatan nikel dan besi (Departemen Pendidikan Nasional, 2008: 909).
20
bukunya berjudul Symbols : Public and Private, Raymond Firth (1973: 20-21) merumuskan teorinya, yaitu manusia dalam hidupnya menata dan menginterpretasikan realitas yang dihadapinya dengan simbol, serta merekonstruksi realitas itu dengan simbol pula. Sebuah simbol dapat pula memenuhi suatu fungsi yang lebih bersifat pribadi dalam hidup manusia. Mengacu pada teori simbol Firth, realitas dapat ditemukan dalam berbagai asas kebudayaan yaitu nilai mitis, cita-cita, keyakinan, dan simbol ekspresif yang melekat pada mitos pulung gantung. Simbol ekspresif dimaksud adalah simbol mengesankan yang mengkomunikasikan emosi. Dalam konteks ini, Roland Barthes (2007: 295) menegaskan mitos adalah suatu sistem komunikasi sebagai penyampaian suatu pesan. Artinya, mitos sebagai wahana untuk menyampaikan pesan dalam suatu proses komunikasi. Dalam hal ini, mitos pulung gantung dipandang sebagai simbol ekspresif mengandung nilai mistis, dan setiap penampakannya dimaknai akan ada orang melakukan bunuh diri, biasanya dengan cara menggantung diri. Apabila ada orang yang mati dengan cara gantung diri dipercayai bahwa orang itu kejatuhan/ketiban pulung gantung. Selain itu, untuk menganalisis masalah nomor dua diacu pula secara khusus model pemaknaan budaya yang digagas oleh Geertz (1995: 8-9), yaitu model of (model tentang) dan model for (model untuk). Penerapan model of sebagai konsep analisis budaya dalam penelitian ini artinya pulung gantung ditafsirkan atau dipahami oleh orang Gunungkidul dalam kaitannya dengan tindakan bunuh diri. Kemudian, kesimpulan yang ditarik lebih ke arah induktif. Untuk itu, pengumpulan datanya dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan terlibat
21
untuk mengungkap pemahamannya tentang pulung gantung sesuai dengan kategori masyarakat Gunungkidul. Beberapa contoh pemahaman masyarakat tentang pulung gantung adalah pulung gantung itu dikategorikan sebangsa dengan setan (makhluk supernatural). Setiap penampakannya dimaknai sebagai isyarat akan ada orang bunuh diri dengan cara menggantung diri. Dalam hal ini, terjadi proses signifikasi, yaitu orang yang ingin gantung diri itu sesungguhnya sedang mengubah tanda alam menjadi tanda komunikasi atau wacana, berarti dia berkomunikasi. Di sisi lain, penerapan model for sebagai konsep analisis budaya dalam penelitian ini, terlebih dahulu ditempuh dengan cara menerapkan konsep pulung yang telah ada ke dalam realitas peristiwa sosial-budaya sehingga penarikan kesimpulannya lebih ke arah deduktif. Dalam konteks ini, pulung menjadi acuan bagi orang-orang Gunungkidul dalam hidupnya berelasi dengan pemahaman mereka tentang kejatuhan/ketiban pulung sebagai pembawa berkah. Dengan mengacu pada model for maka analisisnya difokuskan pada konsep formal pulung yang dapat dibaca dalam buku dan kamus tentang budaya Jawa. Dalam buku berjudul Pitutur Luhur Budaya Jawa yang ditulis oleh Gunawan Sumodiningrat dan Ari Wulandari (2013: 207) dijelaskan bahwa kejatuhan/ ketiban pulung ini berarti seseorang yang mendapat kebahagiaan sangat besar. Demikian juga halnya, dalam kamus Jawa-Kawi yang disusun oleh Winters dan Ranggawarsita, seperti yang dikutip pula oleh Sulhanuddin (2008) memberi penjelasan tentang istilah pulung secara mendetail, sebagai berikut. “…istilah pulung sering disepadankan dengan wahyu. Secara etimologis, pulung atau wahyu berarti isyarat bahwa Tuhan atau leluhur memberi restu
22
pada orang tersebut untuk menjadi pemimpin atau penguasa.Orang Jawa mengenalnya sebagai wahyu keprabon. Dalam pemahaman umum orang Jawa, pulung juga dianggap sinonim dengan hal yang berbahu kemuliaan, kebahagiaan, berkah, dan anugerah. Akan tetapi, lain ceritanya jika di belakang kata pulung itu disematkan kata gantung sehingga menjadi satu istilah yaitu pulung gantung. Karena pemaknaan pulung gantung kontradiktif dengan pulung, maka akan tidak ada seorang pun di Gunungkidul yang berharap dan bersyukur jika rumahnya kejatuhan pulung gantung, karena akan terjadi malapetaka.Wujud pulung gantung itu berupa pijar bola api sebesar batok kelapa dengan ekor relatif panjang.”11
Kemudian, setelah kata pulung itu di belakangnya disematkan kata gantung sehingga menjadi satu istilah, yaitu pulung gantung dapat dianalogikan pada konsep intersignes. Menurut Badone (2004: 66-67), intersignes adalah tanda-tanda supernatural yang ditafsirkan sebagai isyarat atau peringatan (memorates) akan ada orang meninggal dunia. Dalam narasi intersignes, penampakan kekuatan supernatural mengekspresikan diri melalui media fenomena alam, seperti perilaku burung, perilaku anjing, perilaku kuda, mendengar suara-suara tertentu di malam hari, dan fenomena alam lainnya. Pulung gantung merupakan salah satu wujud narasi intersignes unik yang terdapat pada masyarakat Gunungkidul yang sebetulnya berwujud tanda alam yang berupa cahaya. Namun, melalui suatu proses signifikasi, tanda alam ini diubah menjadi bahasa atau cerita yang mempunyai marka atau acuan, yaitu tindakan bunuh diri. Dalam konteks ini, apa yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat Gunungkidul jika (1) ada penampakan pulung gantung dan (2) ada orang melakukan bunuh diri adalah representasi dari model for (model untuk). Contohnya adalah melakukan pengusiran pulung gantung, ngresiki pekarangan (memagari pekarangan), dan ruwatan.
11
http://2008/03/isyarat-kematian-di langit-gunung-kidul
23
Sehubungan dengan itu, rumusan pertanyaan permasalahan penelitian nomor tiga secara problematika mempunyai dua implikasi, yaitu pertama bersifat mereproduksi makna dengan memfokuskan analisisnya pada segi efek/dampak yang muncul dari peristiwa bunuh diri. Kedua, implikasinya bersifat simbolis dengan memfokuskan analisisnya terlebih dahulu pada pelaksanaan ritual untuk memulihkan keadaan supaya menjadi normal kembali. Analisis selanjutnya juga difokuskan pada ide-ide dan tindakan yang dilakukan oleh orang Gunungkidul yang mempunyai pola pemikiran secara rasional untuk merasionalkan mitos pulung gantung dalam rangka menanggulangi semaraknya peristiwa bunuh diri sehingga dapat memutarbalikkan wacana bunuh diri menjadi antibunuh diri. Jadi, untuk menjawab permasalahan penelitian nomor tiga ini juga diacu model of (model tentang) yang dicetuskan oleh Geertz (1995: 8-9). Dalam logika berpikir yang mengacu pada model of ini, sumber datanya diperoleh dengan cara mengadakan pengamatan terlibat dalam ritual yang berkaitan dengan peristiwa bunuh diri dan pulung gantung. Dengan cara pengumpulan data seperti ini dapat dipahami mengenai respons masyarakat terhadap peristiwa bunuh diri dan penampakan pulung gantung, baik sebelum maupun sesudah kejadian bunuh diri. Hal ini merepresentasikan kenyataan yang ada pada masyarakat Gunungkidul dalam kaitannya dengan peristiwa bunuh diri dan pulung gantung. Pada kasus bunuh diri, sering dimaknai bukan sebagai suatu kematian yang faktor penyebabnya secara murni berasal dari dalam individu, tetapi ada faktor eksternal yang mempengaruhinya (Aries, 2004: 42-43). Dalam konteks ini, pemaknaan tindakan bunuh diri pada orang Gunungkidul ada yang berorientasi
24
pada mitos pulung gantung, dan ada juga secara rasional. Pemaknaan tindakan bunuh diri pada orang-orang Gunungkidul, khususnya yang berorientasi pada mitos pulung gantung, yaitu memandang penyebab bunuh diri berasal dari luar yang direproduksi dari gagasan pulung gantung. Orang-orang yang berorientasi pada mitos pulung gantung dalam memaknai tindakan bunuh diri di Gunungkidul, masih termasuk kelompok mayoritas pada masa kini (Kurniati,1994: 30). Mereka percaya bahwa penampakan pulung gantung sebagai isyarat atau pertanda akan terjadi peristiwa bunuh diri. Dengan demikian, setiap penampakan pulung gantung menimbulkan perasaan takut yang mendalam karena ditafsirkan di sekitar tempat jatuh pulung gantung itu akan terjadi peristiwa bunuh diri. Di samping itu, orang-orang yang pemikirannya berorientasi pada mitos pulung gantung mempercayai bahwa setiap orang kejatuhan/ketiban atau menerima pulung gantung akan melakukan bunuh diri dengan cara menggantung. Sebagai akibat, sosok jenazah orang yang bunuh diri tersebut mengilhami rasa takut yang mendalam (Hertz, 2004: 207-208). Lagi pula, setiap ada orang bunuh diri di Gunungkidul dapat menimbulkan terjadinya perubahan suasana, yaitu dari rasa aman, selamat, dan nyaman menjadi suasana yang mengerikan, menakutkan, dan memprihatinkan. Hal ini disebabkan karena bunuh diri dengan cara menggantung akan menjadi lingkaran setan yang mengerikan dan menebar teror kematian kepada warga masyarakat sekitarnya karena adanya penafsiran mengenai arah
25
hadap wajah jenazah pelaku gantung diri itu.12 Warga masyarakat percaya bahwa searah dengan arah hadap muka orang yang mati gantung diri itu, akan ada orang yang menyusul melakukan bunuh diri. Dalam konteks ini, Becker (2004: 23-31) berpandangan bahwa pengalaman dapat meningkatkan kecemasan dan ketakutan secara alami terhadap kematian. Namun, orang-orang juga akan mengklaim bahwa bagaimana pun ketakutan terhadap kematian adalah bersifat alami dan hadir pada semua orang. Menurut Bronislaw Malinowski (via Baal, 1987: 71) kebiasaan berduka cita adalah bercirikan perasaan ambivalen; di satu sisi adanya rasa ngeri dan takut terhadap kematian dan orang mati, di lain sisi ada rasa kasih sayang yang sangat mendalam kepada orang yang mati itu. Perasaan seperti ini yang dialami oleh masyarakat di daerah ini, baik ketika ada orang mati wajar maupun bunuh diri. Bahkan, warga masyarakat di sini merasa ngeri, takut, dan prihatin yang lebih mendalam terhadap orang yang mati bunuh diri karena kematiannya dikaitkan dengan kekuatan mistis yang bersumber dari gagasan pulung gantung. Pasca kematian bunuh diri, terutama dengan modus gantung diri, orangorang yang tinggal di sekitar tempat pelaku bunuh diri, seringkali masih merasa ngeri dan takut karena merasa mendapat teror dari wajah orang yang telah mati dengan cara gantung diri. Mereka juga merasa ngeri dan takut karena membayangkan akan adanya penampakan sosok orang yang telah mati bunuh diri itu, dan mengganggu mereka. Dengan demikian, modus bunuh diri, terutama dengan menggantung diri, secara psikologis membawa efek terhadap kenyamanan serta 12
Menurut Turner (1990: 66) bahwa manusia memperoleh pemahaman makna dengan cara menafsirkan suatu simbol dalam rangkaian tahap-tahap yang dilalui dalam pengalaman hidupnya.
26
keselamatan dan keamanan masyarakat Gunungkidul. Suasana yang muncul pasca kejadian bunuh diri mempertegas bahwa antara orang yang hidup dengan orang yang mati gantung diri masih terjadi komunikasi. Kondisi ini relevan dengan pandangan Malinowski (1944: 91-92) menegaskan bahwa kenyamanan (bodily conforts) serta keselamatan dan keamanan (safety) menjadi kebutuhan dasar manusia (basic need) yang menimbulkan respons budaya (cultural responses). Respons masyarakat terhadap keadaan ini tampak pada upayanya dalam melaksanakan serangkaian ritual. Fungsi pelaksanaan ritual di sini adalah sesuai dengan pengertian fungsi yang ditegaskan oleh Malinowski (via Baal, 1987: 52), yaitu melayani suatu tujuan, baik secara individu maupun keseluruhan masyarakat sehingga keseimbangan kehidupan masyarakat tersebut terjamin. Dengan melaksanakan serangkaian ritual ini, kebutuhan hidup orang-orang akan rasa nyaman serta aman dan selamat dapat terwujud kembali sehingga mereka merasa lega, tenteram, dan damai, baik dalam kehidupan berumah tangga maupun bermasyarakat. Berkaitan dengan ini, adapun jenis-jenis ritual yang biasanya dilaksanakan untuk memulihkan suasana pasca kejadian bunuh diri di Gunungkidul, antara lain (a) slametan, (b) tahlilan, (c) reresik pekarangan (memagari pekarangan), (d) ruwatan, dan (e) pengusiran pulung gantung. Sejalan dengan paparan di atas, Hertz (2004: 207-208) menambahkan bahwa kematian sebagai suatu peristiwa yang berwujud dalam suatu proses yang mengerikan, yaitu dari pemisahan dan sintesis mental. Masyarakat dapat menjadi tenang dan rasa damai kembali muncul melalui suatu proses pelaksanaan ritus.
27
Fungsi yang lain dari ritus pada masa berkabung sebagai media untuk melibatkan diri bagi orang-orang yang ada di sekitarnya. Apa yang dilakukannya sebagai generasi penerus, dipersembahkan kepada pendahulunya. Hal ini dipertegas lagi oleh Bouman (1992) bahwa masyarakat berusaha keras untuk meyakinkan anggotanya tentang adanya jaminan sosial dari keabadian. Victor Turner menjelaskan ritus dapat diartikan sebagai ekspresi dari keyakinan dan sikap religius manusia. Unsur terpenting dalam ritus itu adalah simbol (Turner, 1977: 9-10). Turner mendefinisikan simbol ritual sebagai sesuatu yang dianggap, dengan persetujuan bersama, sebagai sesuatu yang memberi sifat alamiah, mewakili, atau mengingatkan kembali dengan memiliki kualitas yang sama atau dengan membayangkan dalam kenyataan atau pikiran (Turner, 1982: 19). Simbol dalam ritual dapat terungkap melalui peristiwa, mitos, keyakinan, mantera, tempat, waktu, benda, peran, tindakan, gerak-gerik tubuh, dan lain-lain. Dalam bukunya yang berjudul The Forest of Symbol, Aspects of Ndembu Ritual, Turner membedakan ritus-ritus menjadi dua jenis, yaitu ritus krisis hidup dan ritus gangguan (Turner, 1982: 6–9). Ritus krisis hidup yang dimaksud adalah ritus yang diselenggarakan untuk menghilangkan krisis hidup yang dialami umat manusia akibat tindakan bunuh diri. Pelaksanaan krisis hidup ini bagi warga masyarakat Gunungkidul bertujuan agar roh orang yang meninggal itu mendapat tempat yang layak di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa dan tidak mengganggu anggota keluarga dan orang-orang yang ada di sekitar tempat tinggalnya. Proses pelaksanaan ritus krisis hidup ini menyangkut pula ritus penguburan mayat pelaku bunuh diri bersangkutan. Ritus penguburan mayat menurut Gennep (2004: 213-
28
223), merupakan bagian ritus perpisahan yang menjadi komponen penting sebagai pengintegrasian bagi individu yang meninggal dunia ke dalam kehidupan yang baru di alam baka yang dihuni oleh makhluk-makhluk halus. Di sini ritus gangguan dilaksanakan dengan maksud untuk memulihkan keadaan dari nasib sial akibat kena atau kejatuhan (ketiban) pulung gantung dari langit. Warga masyarakat melaksanakan ritus gangguan apabila di sekitar rumahnya kejatuhan pulung gantung. Tujuan pelaksanaan ritus gangguan ini, terutama untuk menghalau atau mengusir penampakan pulung gantung yang jatuh di sekitar rumahnya agar mereka tidak menjadi mangsanya. Relevan dengan hal ini, Suhardi menegaskan sebagai berikut.
“…ritus secara simbolik menggambarkan upaya manusia menjalin komunikasi dengan kekuatan transenden, apakah itu bersifat makhluk halus, dewa-dewa, nenek moyang, Tuhan ataupun daya magis. Tujuan manusia mempraktekkan ritus untuk mencari jalan keselamatan secara spiritual (salvation), dengan harapan jiwanya selamat dan memasuki alam transenden sesuai dengan yang dikonsepsikan ajaran agama masing-masing” (Suhardi, 2009: 4)13.
Ritus yang bersifat insidental ini secara khusus dilaksanakan apabila ada warga masyarakat melihat penampakan pulung gantung, baik sebelum maupun setelah terjadi bunuh diri. Pulung gantung ini biasanya kelihatan menghilang atau jatuh di atas rumah calon pelaku gantung diri, atau di atas rumah tetangga dekatnya. Maksud pelaksanaan ritus ini untuk mengusir penampakan pulung gantung yang diyakini menjadi penyebab terjadinya tindakan bunuh diri.
13
Upaya pencaharian jalan keselamatan spiritual adalah semata-mata interes orang-perorangan. Tetapi dalam praktek ritus-ritusnya dapat dilakukan secara berjamaah. Setiap ritus yang dipraktekkan akan menghasilkan perubahaan-perubahaan status emosi spiritual maupun sentiment sosiokultural (Suhardi, 2009: 4).
29
Dalam menganalisis makna simbol ritus, baik ritus krisis hidup maupun gangguan digunakan pula teori penafsiran yang dikemukakan oleh Turner (1977: 50-51). Turner memperkenalkan tiga dimensi arti simbol dalam teorinya. Pertama, dimensi eksegetik arti simbol yaitu mencakup penafsiran yang diberikan oleh informan asli kepada peneliti dan juga mencakup penafsiran orang mengenai simbol-simbol ritus mereka. Penafsiran dalam dimensi eksegetik dapat dilakukan pada masing-masing ritus yang dilaksanakannya. Kedua, dimensi operasional yaitu makna diperoleh tidak hanya dari penafsiran secara verbal, namun juga apa yang ditunjukkan kepada peneliti. Dalam hal ini, yang menjadi perhatian pula adalah ekspresi yang muncul ketika digunakannya simbol-simbol itu. Ketiga, dimensi posisional adalah makna diperoleh melalui penafsiran yang mengacu pada hubungan dengan simbol yang lain secara totalitas. Makna simbol ditafsirkan dalam hubungan dengan simbol yang lain dan pemilik simbol itu. Di balik pelaksanaan ritual itu, secara implisit14 orang Gunungkidul melakukan reproduksi gagasan pulung gantung. Menurut Emile Durkheim (via Pals, 2006: 116), masyarakat membutuhkan ritual sehingga ritual itulah yang paling abadi, berupa upacara peneguhan kembali dedikasi setiap warga masyarakat. Oleh karena itu, pelaksanaan ritus krisis hidup dan gangguan tersebut dapat merevitalisasi gagasan pulung gantung sehingga mempertebal keyakinan warga masyarakat terhadap gagasan pulung gantung. Dengan kepercayaan ini mereka menafsirkan
14
Implisit artinya termasuk (terkandung) di dalamnya meskipun tidak dinyatakan secara jelas atau terang-terangan (Departemen Pendidikan Nasional, 2008: 529). Akan tetapi, dalam realitasnya secara kultural masyarakat Gunungkidul mengakui bahwa fenomena pulung gantung yang menjadi bagian dari tindakan bunuh diri bukan lagi suatu yang disembunyikan.
30
gagasan pulung gantung itu secara mitis yang diduga sebagai salah satu penyebab semaraknya tindakan bunuh diri di Gunungkidul. Semakin semaraknya peristiwa bunuh diri di Gunungkidul dalam waktu sepuluh tahun terakhir ini mendapat respons dari warga masyarakat yang mempunyai orientasi pemikiran secara rasional. Hal ini ditandai dengan munculnya ide-ide dan usaha-usaha di kalangan warga masyarakat yang memiliki pola berpikir secara realis untuk memberi pemaknaan bersifat rasional terhadap gagasan pulung gantung dan tindakan bunuh diri. Cara-cara pemaknaan yang lama dimodifikasi atau disempurnakan ketika proses interaksi sosial berlangsung (Blumer, 1969: 2). Dalam proses interaksi sosial, muncul penafsiran makna secara berbeda-beda pula antara seseorang dengan orang lain terhadap tindakan bunuh diri dan pulung gantung. Alinea di atas menunjukkan adanya upaya mendekonstruksi mitos pulung gantung yang merupakan bagian dari usaha merasionalkan pemaknaan pulung gantung dan bunuh diri dalam rangka menanggulangi tindakan bunuh diri sebagai respons warga masyarakat Gunungkidul terhadap semaraknya tindakan bunuh diri di daerahnya. Menurut Derrida (via Lajar, 2005: 163), mendekonstruksi menunjukkan sikap kritis yang menekankan pada gagasan tentang keberagaman, bahwa realitas bersifat terbuka sehingga beragamnya cara dan sudut pandang dalam membaca realitas secara logis akan menghasilkan makna yang beragam pula. Tujuan teori dekonstruksi adalah membongkar tradisi metafisika Barat dalam usaha mengungkapkan hakikat problematika wacana (Sarup, 1993: 32). Teori dekonstruksi (Lubis, 2004: 103) tidak mengandaikan adanya makna yang objektif,
31
tetapi memfokuskan diri pada pencaharian makna baru melalui kebebasan penafsiran yang logis. Pulung gantung sebagai tanda yang terdapat di dalam praktik-praktik budaya dan dibentuk oleh lingkungan sosiokultural Gunungkidul menciptakan berbagai bentuk konstruksi sesuai dengan ruang dan waktu. Oleh karena itu, teori dekonstruksi digunakan pula untuk mengungkap implikasi dari rumusan masalah penelitian ini yaitu mendekonstruksi mitos pulung gantung untuk memperoleh makna-makna baru. Penciptaan makna-makna baru dipandang sebagai tanda, bertujuan untuk merubah makna-makna lama yang ada di balik mitos pulung gantung dan diharapkan dapat menimbulkan rasa antigagasan pulung gantung, dan juga antibunuh diri. Berdasarkan atas rangkuman konsep dan teori yang diacu dan dikembangkan untuk membahas dan menganalisis ketiga rumusan masalah yang telah dirumuskan di depan, saya merumuskan tiga premis sebagai panduan pelaksanaan penelitian ini. Bentuk rumusan premisnya, yaitu pertama, tindakan bunuh diri pada orang-orang Gunungkidul merupakan suatu tindakan simbolik; kedua, mitos pulung gantung yang dipandang sebagai penyebab seseorang gantung diri bukan mitos orang yang hidup saja, tetapi termasuk juga mitos orang yang bunuh diri pada waktu ia masih hidup; dan ketiga, kepercayaan terhadap mitos pulung gantung tersebut semakin kuat melalui reproduksi praktik pelaksanaan ritual dan komunikasi (wacana) yang berkesinambungan.
32
F. Metode Penelitian
Berdasarkan paparan orientasi teori di atas maka penelitian yang bersifat kualitatif ini berpijak pada perspektif hermeneutik dengan metode deskripsi mendalam (thick description). Perspektif hermeneutik yang dimaksud adalah tafsir kebudayaan; dapat pula disebut tafsir simbol yang dikembangkan oleh Clifford Geertz. Selain itu, juga digunakan perspektif tafsir simbol ala Victor Turner sebagai penunjang, terutama untuk menganalisis simbol ritual.
1. Lokasi Penelitian Pelaksanaan penelitian lapangan ini secara intensif sesungguhnya berlangsung lebih dari satu tahun lamanya. Ruang lingkup lokasi penelitian di Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang terdiri atas delapan belas kecamatan. Pemilihan lokasi penelitian ini berdasarkan pertimbangan angka bunuh diri di Gunungkidul menempati urutan tertinggi, baik di tingkat Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta maupun Nasional. Fakta mengenai bunuh diri di Gunungkidul sungguh mengejutkan karena angkanya sekitar sembilan kasus per 100.000 penduduk (World Mental Health Day, 2006). Dalam interval waktu sepuluh tahun terakhir ini, di Gunungkidul setiap tahun rata-rata terjadi 33 kasus bunuh diri,15 dari jumlah populasi 680.406 jiwa. Sesuai dengan persebaran angka bunuh diri di Gunungkidul maka setting lokasi penelitian yang diteliti secara mendalam adalah di daerah Kecamatan
15
Lihat tabel 3 terlampir.
33
Tuwuh Jaya karena memiliki angka bunuh diri tertinggi di Kabupaten Gunungkidul.16 Walaupun demikian, pendalaman informasi, tidak hanya dilakukan di wilayah kecamatan ini yang kondisi daerahnya tersubur di antara kecamatan yang lain di lingkungan Kabupaten Gunungkidul, tetapi dilakukan pula di luar wilayah Kecamatan Tuwuh Jaya, terutama di kecamatan yang kondisi daerahnya lebih tandus, namun memiliki angka bunuh diri lebih rendah. Salah satu kecamatan yang kondisi wilayahnya sangat tandus di Kabupaten Gunungkidul, tetapi kasus bunuh dirinya rendah, yaitu Kecamatan Kitri Pala. Di samping itu, juga dilakukan cross-check data dengan cara meneliti beberapa kasus bunuh diri yang terjadi di setiap kecamatan yang lainnya sehingga pada akhirnya tindakan bunuh diri yang diteliti mencakup kasus-kasus yang terjadi di delapan belas kecamatan di wilayah Gunungkidul. Cross-check data dilakukan untuk memperoleh informasi yang mendalam dan kontekstual mengenai peristiwa bunuh diri dan pulang gantung pada orang Gunungkidul.
2. Penentuan Informan Pemilihan atau pengambilan informan dalam penelitian ini melalui suatu proses, yaitu terlebih dahulu dihubungi informan pangkal (basic informant). Informan pangkal ini berstatus sebagai pimpinan masyarakat di daerah penelitian, 16
Kecamatan Tuwuh Jaya merupakan daerah pinggiran yang dekat letaknya dengan pusat Ibu Kota Kabupatem Gunungkidul, yaitu Wonosari. Di wilayah kecamatan ini telah tersedia sarana transfortasi dan komunikasi yang lebih baik daripada wilayah kecamatan yang lainnya sehingga dinamika penduduknya menjadi relatif lebih tinggi. Warga masyarakat di sini lebih cepat kena pengaruh nilai-nilai kehidupan masyarakat kota yang bersifat individualistis dan materialistis sehingga hidupnya lebih sering mengalami ketegangan yang bersumber dari problematik hidup yang dialaminya sehari-hari, yang tidak mampu dipecahkannya. Hal inilah yang diduga menjadi pemicu bagi warga masyarakat di kecamatan ini melakukan tindakan bunuh diri.
34
baik pimpinan formal maupun tradisional. Dari informan pangkal ini, terlebih dahulu saya memulai mencari informasi dan petunjuk tentang adanya orang-orang tertentu dalam masyarakat yang dapat memberikan berbagai keterangan lebih lanjut yang diperlukan sesuai dengan permasalahan penelitian ini. Selain itu, saya juga minta petunjuk pada informan pangkal untuk mencari orang-orang yang pernah gagal bunuh diri. Informan pangkal serupa itu merupakan orang-orang yang memiliki pengetahuan meluas mengenai berbagai sektor dalam masyarakat dan kemampuan untuk mengintroduksikan peneliti kepada informan lain yang diwawancarai secara mendalam. Informan-informan inilah yang menjadi informan kunci (key informant) yang diseleksi berdasarkan atas petunjuk informan pangkal. Adapun informan kunci yang diwawancarai, yaitu keluarga korban bunuh diri, orang yang gagal bunuh diri, tetangga pelaku bunuh diri, tokoh agama, tokoh adat, dan pimpinan formal. Penentuan informan berikutnya juga dilakukan dengan cara bertanya pada informan kunci yang diwawancarai sebelumnya. Selain mewawancarai informan kunci, juga mewawancarai informan biasa yang terdiri atas individu-individu tertentu untuk meningkatkan kedalaman informasi yang diperoleh dari informan pangkal maupun informan kunci. Penentuan dan pemilihan informan yang diwawancarai baru berhenti, setelah berhasil memperoleh data yang memadai untuk menjawab problematik penelitian ini. Dengan demikian, penelitian ini tidak mengadakan pembatasan jumlah informan yang diwawancarai. Untuk menghindari terjadi intrusi (intrusion) yang tidak dikehendaki berkaitan dengan penelitian ini maka nama informan, kecamatan, dan desa disebut dengan nama samaran, serta tidak mencantumkan daftar identitas informan.
35
3. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini bersifat kualitatif pada dasarnya memfokuskan kajiannya pada kondisi sosial-budaya masyarakat Gunungkidul sehingga melalui penerapan metode deskripsi mendalam (thick description), dan analisis bersifat tafsiriah (interpretative) diungkap makna-makna mengenai (a) bunuh diri dan pulung gantung, (b) akibat/efek dari bunuh diri, dan (c) cara-cara untuk memulihkan keadaan akibat kejatuhan pulung gantung dan tindakan bunuh diri. Berkaitan dengan hal ini, maka dalam pengumpulan data di lapangan, digunakan beberapa cara, yaitu pengamatan (observation), wawancara (interview), dan ditunjang dengan pendekatan life history. Cara-cara pengumpulan data dan pendekatan life history ini digunakan untuk mengumpulkan data primer. Dalam pengumpulan data di lapangan, khususnya dalam penerapan teknik penelitian pengamatan (observation), digunakan dua teknik penelitian, yaitu pengamatan secara langsung dan pengamatan terlibat (participant-observation). Pengamatan secara langsung dilaksanakan dengan cara berkunjung ke tempat kejadian bunuh diri, dan melayat ke rumah duka yang salah seorang anggota keluarganya meninggal dunia dengan cara bunuh diri. Dalam kesempatan ini, saya dapat mengamati secara langsung mengenai keadaan suatu keluarga yang ditinggal mati (bunuh diri) secara tiba-tiba oleh salah seorang anggota keluarganya. Selain itu, dapat mengamati solidaritas warga masyarakat setempat pada masa berkabung di rumah duka, dan sekaligus pula dapat mengamati mengenai pelaksanaan ritual pemakaman yang diperuntukkan kepada orang yang mati bunuh diri. Secara lebih mengkhusus lagi, tujuan mengadakan pengamatan yaitu untuk memperoleh data
36
yang berkaitan dengan: keadaan suatu tempat/ruang di mana dan kapan bunuh diri terjadi, orang-orang yang terlibat dalam menangani kejadian itu, wujud-wujud tindakan yang dimainkan, dan identitasnya. Dalam kesempatan seperti ini, saya pernah dilarang oleh kepala dusunnya supaya tidak berada di tengah-tengah ahli warisnya yang sedang duduk di depan peti jenazah orang mati bunuh diri yang disemayamkan di ruang tengah rumah duka. Karena pernah di suatu desa terjadi tindakan pengusiran terhadap “pencari berita” di rumah duka orang yang mati bunuh diri. Dengan demikian, dalam kesempatan itu saya hanya mengadakan pengamatan secara langsung melalui pintu dan jendela rumahnya, karena pintu dan jendela rumahnya dalam keadaan terbuka. Setelah peti jenazah itu diangkat oleh enam orang laki-laki dan dibawa ke tempat pemakaman, barulah saya mulai berbaur dengan ahli warisnya dan warga dusun setempat yang mengantarkan peti jenazah orang yang bunuh diri ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Pada kesempatan yang lain, saya melaksanakan pula pengamatan terlibat (participant-observation) di rumah duka pasca pemakaman jenazah orang yang mati bunuh diri. Pengumpulan data dengan cara pengamatan terlibat ini baru dapat dilaksanakan setelah mendapat izin dari kepala dusun dan keluarga korban bunuh diri yang bersangkutan. Ketika melakukan pengamatan terlibat, peneliti terlibat secara langsung dan intensif masuk ke dunia kehidupan sehari-hari untuk memahami sudut pandang warga masyarakat setempat (Bernard, 1988: 150-151; Jorgensen, 1989: 23). Pengamatan terlibat dilakukan dengan cara mengikuti prosesi ritus kematian dan ritus untuk mengusir pulung gantung pasca kejadian bunuh diri. Dalam
37
kegiatan ini, saya turut membantu dalam mempersiapkan perlengkapan untuk melaksanakan ritus krisis hidup dan gangguan. Di sini, saya ikut terlibat dalam pengusiran pulung gantung dan ritual slametan untuk memperingati hari-hari kematian orang bunuh diri. Dengan cara ini dapat mengamati, memahami, dan menghayati kondisi dan situasi pelaksanaan ritus itu, baik krisis hidup maupun gangguan sebagaimana adanya pasca pemakaman jenazahnya.
Di sisi lain,
penerapan teknik pengumpulan data dengan cara pengamatan ini, dapat mengembangkan pertanyaan yang dilontarkan ketika melakukan wawancara terhadap informan. Dalam penerapan wawancara mendalam dipandu oleh pedoman wawancara (interview-guide) untuk mewawancarai informan kunci. Pedoman wawancara ini mencantumkan pokok-pokok pertanyaan yang ditanyakan kepada informan. Pokok-pokok pertanyaan ini dikembangkan pada saat wawancara berlangsung sehingga pembicaraan tidak menjadi terpaku, dan gejala kehabisan pertanyaan dapat dihindari. Ketika melakukan wawancara mendalam, informan dituntun pula untuk bercerita dan sekaligus menafsirkan pengalaman hidupnya, riwayat hidup keluarganya, dan riwayat hidup pelaku bunuh diri, terutama yang berelasi dengan bunuh diri dan gagasan pulung gantung. Selain itu, juga menggali informasi mengenai ritual dan cara-cara yang ditempuh untuk merasionalkan nilai, cita-cita, dan makna simbol ekpresif yang tersembunyi di dalam gagasan pulung gantung serta tindakan untuk menanggulangi tindakan bunuh diri. Selanjutnya, pada saat melaksanakan wawancara bebas, tanpa adanya fokus wawancara sehingga pertanyaan yang dilontarkan dapat beralih-alih dari satu
38
pokok ke pokok yang lain. Melalui wawancara bebas diharapkan dapat mengungkapkan berbagai harapan, pandangan, simbol, dan makna suatu simbol yang tidak diduga sebelumnya. Cara pengumpulan data yang lebih mengkhusus lagi ditempuh dengan menggunakan pendekatan life history. Dengan menggunakan pendekatan life history diharapkan dapat memahami mengenai gambaran riwayat hidup pelaku bunuh diri lebih lengkap. Selain mengumpulkan data primer dengan menggunakan metode pengumpulan data tersebut di atas, juga dikumpulkan data sekunder. Data sekunder dikumpulkan melalui studi kepustakaan. Studi kepustakaan mulai dilakukan sejak awal persiapan penyusunan proposal sampai selesai penulisan drap disertasi ini. Dalam proses pengumpulan data dengan menggunakan cara-cara pengumpul data tersebut di atas, digunakan pula instrumen penelitian yang berupa kamera, voice recorder, dan alat tulis sehingga keutuhan dan kevalidan data dapat terjamin. Seluruh data atau informasi yang telah dikumpulkan secara cermat di lapangan menjadi fieldnotes (catatan lapangan), dan digunakan untuk kepentingan analisis. Adapun unit analisisnya, yaitu individu, rumah tangga, komunitas, dan institusi
4. Analisis Data Penelitian ini bersandar pada perspektif hermeneutik mewajibkan peneliti melibatkan diri dalam produksi makna itu sendiri lewat partisipasi atau keikutsertaannya dalam rangkaian pembacaan atau interpretasi (Gadamer, 1989; Taylor,
39
1977/1987 via Schwandt, 2009: 151). Proses pemaknaan mensintesakan fungsifungsi identifikasi dan predikatif akibat interaksi antara peneliti dan liyan-nya (pribadi-pribadi lain). Ini artinya, tafsiran tidak berhenti pada usaha menghasilkan nilai-nilai atau kebudayaan lain semata-mata, namun lebih pada usaha-usaha reflektif (Laksono, 2009a: 8). Tafsir yang diacu dalam ranah ini bersifat diskursif karena menjadi bagian dan tidak terpisahkan dari tafsir yang lainnya.17 Untuk mewujudkan usaha itu, ketika melakukan partisipasi dalam pengumpulan data di lapangan, saya mendekatkan diri dengan cara berbaur di tengah-tengah kehidupan masyarakat sehingga terjalin hubungan dalam suatu proses saling berbagi pengalaman (sharing of experience). Selain itu, pertanyaanpertanyaan yang disodorkan dalam proses melakukan wawancara terhadap informan bersifat reflektif. Teknik-teknik penciptaan makna ke dalam suatu kebudayaan yang dilakukan oleh anggota suatu budaya, harus dibaca atau diinterpretasi oleh peneliti dengan cara yang sama ketika membaca atau menginterpretasi sebuah teks (Geertz, 1992). Sesuai dengan perspektif yang digunakan dalam penelitian ini maka peristiwa bunuh diri dan pulung gantung dipandang sebagai teks, yang harus dibaca dan ditafsirkan.
17
Lihat Laksono, “Kontekstualisasi (Pendidikan) Antropologi Indonesia”, makalah dalam acara Loka-karya III Asosiasi Jurusan Antropologi Seluruh Indonesia (AJASI) – Strategi Pengembangan Program Antropologi dan Keantropologian Kontekstual, yang diselenggarakan oleh Jurusan Antropologi Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tanggal 25-27 Oktober 2010.