BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Nyeri neuropatik didefinisikan sebagai nyeri yang disebabkan oleh lesi primer atau kerusakan di sistim saraf yang dapat melibatkan sistim saraf sentral dan perifer. Kerusakan dapat terjadi karena kompresi, pemotongan, iskemik, infiltrasi atau gangguan metabolik sel saraf, atau kombinasi penyebab di atas. Nyeri neuropatik hingga saat ini masih menjadi masalah yang belum tuntas untuk dikaji dan diatasi. Kondisi nyeri neuropatik mempengaruhi 2-3% dari populasi dan sangat bermasalah karena keparahannya, kronisitas, dan resistensi terhadap pengobatan dan pengaruh terhadap kualitas hidup penderitanya. Biaya yang dibutuhkan untuk penanganan nyeri neuropatik juga cukup mahal dan tingkat keberhasilannya dengan menggunakan obat-obat yang sudah ada selama ini tidak lebih dari 50% (Bridges et al., 2001; Suharjanti, 2010). Patofisiologi nyeri neuropatik yang sangat kompleks dan belum sepenuhnya diketahui menjadi salah satu penyebab sulitnya untuk menemukan obat yang tepat untuk mengatasinya. Salah satu teori patofisiologi nyeri neuropatik yang penting adalah aktivitasa Voltage-gated sodium channel (VGSC) yang berlebihan pada neuroma yang terjadi setelah cedera saraf yang menimbulkan cetusan ektopik terus menerus. Mekanisme penting lainnya seperti sensitisasi perifer dan sentral,
1
2
hipereksitabilitas medulla spinalis, dan penyimpangan interaksi sistim saraf simpatik dan somatik, serta disinhibisi (Meliala, 2008; Gilron et al., 2006). Obat anti nyeri neuropatik yang dianggap paling efektif saat ini adalah obatobat yang bekerja memblok kanal ion (khususnya VGSC) yang terakumulasi di neuroma untuk mengatasi cetusan ektopik yang ditimbulkan oleh aktivitas kanal ion yang berlebihan. Obat-obatan tersebut ditujukan untuk mengatasi nyeri neuropatik yang terjadi akibat terbentuknya neuroma sebagai akibat kegagalan proses regenerasi pascacedera saraf. Kaskade terjadinya nyeri neuropatik setelah terbentuk neuroma ternyata sangat kompleks dan melibatkan banyak mekanisme yang saling terkait dan tumpang tindih sehingga tidak mudah untuk diatasi. Mengingat begitu kompleksnya mekanisme yang timbul pasca terbentuknya neuroma tersebut, maka usaha untuk memotong kaskade tersebut berupa pencegahan terbentuknya neuroma yang berlebihan akibat kegagalan proses regenesasi menjadi salah satu jalan keluar yang cukup layak untuk dipertimbangkan dan diteliti lebih lanjut. Perbaikan membran serta regenerasi akson yang optimal pascacedera menjadi salah satu upaya untuk mencegah terbentuknya neuroma. Untuk itu pemberian obat-obatan yang dapat membantu proses regenerasi sehingga akson yang cedera dapat tumbuh mencapai target yang seharusnya bisa menjadi pilihan terapi dalam upaya pencegahan terjadinya nyeri neuropatik.
3
Obat-obat neuroprotektor adalah obat yang dapat mencegah, memperlama, atau memperbaiki sel-sel neuron yang mati. Beberapa contoh neuroprotektor tersebut adalah pengikat radikal bebas, anti-eksitotoksik, apoptosis inhibitor, anti-inflamsai, neurotopik, dan modulator kanal ion (Levin and Peeples, 2008). Cytidine 5’-diphosphocholine atau citicoline adalah neuroprotektor yang telah digunakan sebagai terapi pada penderita rehabilitasi stroke, penyakit Alzheimer, penyakit Parkinson, defisit kognitif, serta beberapa penyakit neurologis lainnya. Obat tersebut merupakan molekul organik kompleks yang berfungsi sebagai perantara pada biosintesis
fosfolipid
membran
sel,
sehingga
memiliki
perananan
dalam
mempertahankan membran sel dari kerusakan. Mekanisme kerja Cytidine 5’diphosphocholine adalah sebagai prekursor fosfolipid, memperbaiki membran neuron, menetralkan protein beta-Amyloid, serta memiliki peranan pada sinapsis dengan mempengaruhi pelepasan norepinefrin dan dopamin (Seccades and Frontera, 1995). Choline dan cytidine yang dihasilkan dari pemberian Cytidine 5’diphosphocholine secara eksogen adalah substrat utama yang berperan dalam sintesis phosphatidylcholine yang merupakan komponen primer membran neuron. Sehingga Cytidine 5’-diphosphocholine diyakini dapat membantu proses sintesis dan perbaikan membran, yang merupakan hal penting dan sangat diperlukan dalam proses penyembuhan cedera sel saraf.
4
Selain
dapat
membantu
proses
sintesis
membran,
cytidine
5’-
diphosphocholine diduga juga dapat secara langsung membantu proses regenerasi sel saraf pascacedera Untuk regenerasi akson pascacedera dibutuhkan komponen protein, lipid dan kolesterol yang diperoleh dari dua sumber yaitu dikirim dari badan sel setelah melalui proses produksi di badan sel tersebut dan dari akson yang mengalami cedera. Penelitian telah membuktikan bahwa akson dapat memproduksi sendiri protein dan lipid secara lokal kecuali kolesterol (Tuck and Cavalli, 2010). Kemampuan akson yang mengalami cedera untuk memproduksi sendiri komponen yang dibutuhkan menjadi penentu untuk keberhasilan proses regenerasi. Penelitian Tuck and Cavalli (2010) menunjukkan bahwa saat cedera kebutuhan protein dan lipid bisa tidak tercukupi oleh produksi dari akson lokal maupun dari badan sel. Sehingga pemberian protein dan lipid (terutama fosfolipid) eksternal diharapkan dapat membantu memenuhi kebutuhan tersebut. Cytidine 5’-diphosphocholine sudah terbukti berperan dalam perbaikan dan sintesis membran neuron sistem saraf pusat. Namun belum ada penelitian yang menilai efektifitas Cytidine 5’-diphosphocholine terhadap perbaikan dan sintesis membran neuron di sistim saraf tepi setelah mengalami cedera. Penelitian yang dilakukan oleh
Ozay et al, (2007) juga berhasil
membuktikan bahwa citicoline dapat membantu perbaikan fungsional dan proses regenerasi pada saraf tepi yang cedera. Dalam penelitian tersebut belum dapat dijelaskan mekanisme yang mendasari keberhasilan tersebut. Pemanfaatan citicoline
5
untuk mencegah dan mengobati nyeri neuropatik melalui mekanisme optimalisasi regenerasi akson sejauh ini belum pernah dilakukan Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti berkeinginan untuk melakukan penelitian untuk menilai respon pemberian citicoline pada proses regenerasi akson untuk mencegah nyeri neuropatik. Penelitian ini nantinya akan menilai perbaikan membran dan regenerasi akson melalui analisa luaran fungsional, hasil evaluasi histologik, dan perilaku nyeri yang muncul pada kelompok perlakuan dan dibandingkan dengan kelompok kontrol.
1.2. Permasalahan penelitian Hingga saaat ini belum ditemukan obat antinyeri neuropatik yang benarbenar bekerja optimal untuk mengatasi nyeri neuropatik. Obat yang bersifat menghambat aktivitas ektopik pada neuroma yang digunakan selama ini juga belum mampu sepenuhnya membantu. Diperlukan obat lain yang diharapkan dapat bekerja memperbaiki membran sel dan membantu regenerasi sel saraf pascacedera sehingga dapat mencegah dan mengobati nyeri neuropatik. Rumusan masalah yang diajukan adalah sebagai berikut: 1. Apakah pemberian cytidine 5’-diphosphocoline menghambat perilaku nyeri neuropatik pascacedera? 2. Apakah
pemberian
cytidine
5’-diphosphocoline
meningkatkan fungsi motorik hewan coba.
pascacedera
dapat
6
3. Apakah pemberian cytidine 5’-diphosphocoline dapat meningkatkan proses regenerasi akson pascacedera? 4. Apakah pemberian cytidine 5’-diphosphocoline menghambat ekspresi kanal natrium (VGSC)?
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan umum Untuk mengetahui respon regenerasi aksonal terhadap pemberian Cytidine 5’-diphosphocholine pascacedera guna mencegah dan mengobati nyeri neuropatik. Tujuan khusus 1. Untuk mengetahui efektivitas Pemberian cytidine 5’-diphosphocoline dalam menghambat perilaku nyeri neuropatik pascacedera. 2. Untuk mengetahui efektivitas pemberian cytidine 5’-diphosphocoline pascacedera dalam meningkatkan fungsi motorik hewan coba. 3. Untuk mengetahui efektivitas pemberian cytidine 5’-diphosphocoline dalam meningkatkan proses regenerasi akson. 4. Untuk mengetahui efektivitas pemberian cytidine 5’-diphosphocoline dalam menghambat ekspresi kanal natrium (VGSC).
7
I.4. Keaslian penelitian Selama ini penelitian tentang citicoline terfokus pada sistim saraf pusat. Belum banyak yang dilakukan untuk menilai pengaruh pemberian citicoline terhadap regenerasi saraf tepi pascacedera. Ozay et al., (2007) telah melakukan penelitian eksperimental terhadap hewan coba yang bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian citicoline terhadap regenerasi saraf ischiadicus dan terbentuknya sikatrik pasca pembedahan. Penelitian ini berhasil membuktikan bahwa citicoline dapat membantu proses regenerasi saraf perifer pascacedera dan mengurangi terbentuknya sikatrik berdasarkan hasil amatan dan analisa makroskopis, histologik, fungsional, dan elektromiografi. Dalam penelitian ini tidak dijelaskan mekanisme kerja citicoline yang membantu perbaikan regenerasi dan fungsi motorik pascacedera. Penelitian lain mengenai efektifitas citicoline terhadap perbaikan saraf perifer pernah dilakukan terhadap kasus glaucoma. Pemberian citicoline sebagai usaha untuk mencegah, memperlama, dan memperbaiki kematian sel-sel ganglion dan aksonnya pada beberapa penelitian telah dibuktikan memberikan manfaat yang signifikan pada penderita glaucoma (Cheung et al., 2008; Wienrebb, 2007; Levin and Peeples, 2008). Berdasarkan banyak penelitian citicoline terbukti berperan dalam perbaikan sintesis membran neuron sistim saraf pusat (Tabel 1.)
8
Selama ini citicoiline sudah dipergunakan secara luas dalam penatalaksanaan cedera serebral (kasus stroke, trauma kepala, dan gangguan kognitif). Kemudian mulai dikembangkan penelitian tentang peranan citicoline pada cedera saraf perifer yang terbukti efektif dalam membantu proses regenerasi akson pascacedera. Selama ini belum pernah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk melihat efektifitas citicoline dalam mencegah nyeri neuropatik. Berdasarkan latar belakang tersebut maka peneliti bermaksud untuk melakukan penelitian yang bertujuan untuk menilai respon regenerasi aksonal terhadap pemberian citicoline guna mencegah dan mengobati nyeri neuropatik.
I.5. Manfaat penelitian 1. Sumbangan teoritis pada keilmuan: a. Memberikan informasi ilmiah tentang peran perbaikan membran dan regenerasi akson dalam mencegah nyeri neuropatik. b. Memberikan informasi ilmiah tentang mekanisme kerja citicoline dalam mencegah nyeri neuropatik. 2. Sumbangan praktis pada masyarakat: Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan untuk penatalaksanaan nyeri neuropatik perifer sehingga akan memberikan hasil yang optimal.
9
Tabel 1. Hasil penelitian efek citicoline terhadap Sistim Saraf Pusat (SSP) dan sistim saraf tepi (SST) Studi
Efek/ outcome
Referensi
Transient iskemik otak depan/gerbil
Efek pada lipid, fosfolipase, gulathione, disfungsi sawar darah otak, edema dan kematian neuronal
(Adibhatla, Hatcher and Dempsey, 2001; Rao et al. 1999a,b, 2000a, 2001)
Penurunan edema dan volume infark
(Schabitz et al., 1996)
Citicoline + basic fibroblast growth factor yang menurunkan volume infark
(Schabitz et al., 1999)
Citicoline + MK-801 menurunkan volume infark
(Onal et al., 1997)
Iskemik Transien otak tengah
Arteri cerebral Oklusi/ rat
Fokal emboli
Cerebral Iskemia/rat
Traumatic brain injury/rat
Perdarahan Intracerebral/ mice
Citicoline + rtPA; pemulihan fungsi promosi dan menurunkan infark
Citicoline dan (citicoline + urokinase): memperbaiki skor neurobehavioral dan menurunkan volume infark
(Shuaib et al,.2000)
Memperbaiki deficit kognitif, meningkatkan level asetilkolin
(Dixon et al., 1997)
Atenuasi disfungsi sawar darah otak dan edema
Peningkatan aktivitas PCCT memperbaiki outcome fungsional, menurunkan volume iskemia injury dan volume hematom Atenuasi apoptosis neuronal hipokampus dan degenerasi Peningkatan memori dan pembelajaran
b-amyloid deposit
(Andersen et al., 1999)
(Baskaya et al. 2000)
(Gimenez et al., 1999) (Clark et al., 1998)
(Alvarez et al,. 1999) (Bruhwyler et al., 1998)
10
+hypoperfusion/rat Anjing
Studi klinis
Memperbaiki outcome fungsi dan mengurangi deficit neurologis pada pasien stroke Memperbaiki outcome fungsi pada pasien stroke sedang-berat Memperbaiki skor neurologis
(Clark et al., 1999) (Bruhwyler et al,. 1997)
Tidak ada perbedaan signifikan pada volume lesi dengan citikoline, ditetapkan oleh difus-berat MRI
(Warach et al., 2000)
Memperbaiki memori pada subjek usia tua
(Alvarez et al.1997)
Memperbaiki mental pada penyakit Alzeimer
Cedera saraf ischiadicus tikus
(Clark et al.,1997)
Membantu regenerasi saraf dan fungsi motorik
(Cacabelos et al., 1996)
(Ozay, et al, 2007)