BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Keadaan perempuan yang selalu mengalami penindasan dan kekerasan oleh pihak laki-laki, akhirnya membangunkan dan membangkitkan suatu pergerakan yang berusaha meniadakan dan menghapuskan segala ketertindasan. Sudah suatu hukum alam, bahwa perempuan selalu dinomorduakan dan menjadi subordinasi dari kaum laki-laki. Namun, penindasan dan kekerasan yang dialami oleh kaum perempuan itu bukan berarti tidak menimbulkan suatu pergerakan. Pergerakan perempuan lahir pada dunia Barat. Di Dunia Barat pertama sekali terdengar semboyan ―Perempuan, Bersatulah!!!‖. Pada Dunia Barat juga berkembangnya contoh untuk kaum perempuan di belahan dunia lain. Bahkan, dari mulut dunia Barat juga, yaitu Khatarina Brechkovskaya, pertama-tama terdengar seruan ―Hai wanita Asia, sadar dan melawanlah‖.1 Tatkala perempuan di Dunia Barat sudah sadar, sudah bergerak, sudah melawan, maka perempuan di Dunia Timur masih saja diam dan menerima derita pingitan dan penindasan dengan tiada proses sedikit untuk melakukan suatu pergerakan. Perempuan di Dunia Timur tidak menyadari bahwa ada kemungkinan
1
Ir. Sukarno. 2013. Wanita bergerak : Materi Kursus Wanita Pada Masa Revolusi . Bantul : Kreasi Wacana. Hal. 02
menghilangkan suatu penindasan dan pingitan yang dialami. Sebagaimana pahampaham politik yang timbul di Dunia Barat menular ke Dunia Timur, demikian pula semboyan-semboyan kemerdekaan wanita yang didengung-dengungkan di Dunia Barat akhirnya mengumandang di Dunia Timur. Pada akhirnya, Dunia Timur sudah mempunyai ―pergerakan wanita‖ sendiri, bukan hanya sesuatu pergerakan yang hanya dikhususkan untuk kaum laki-laki. Awal pergerakan perempuan di Dunia Barat diawali oleh Revolusi Amerika dan Revolusi Perancis pada abad ke delapan belas silam. Dalam Revolusi Amerika dan Perancis itu untuk pertama kalinya ada aksi dari pihak wanita yang tersusun, yang boleh diberi gelar ―gerakan wanita‖. Dalam Revolusi itulah kaum wanita Barat secara tersusun menuntut hak-haknya sebagai manusia, sebagai anggota masyarakat, sebagai warga negara, memprotes kezaliman atas diri mereka. Sebelum terjadinya Revolusi Amerika dan Perancis tersebut, belum ada gerakan wanita. Namun, ada suatu perkumpulan di kalangan kaum perempuan bangsawan dan hartawan yang melakukan kegiatan yang disebut Soekarno adalah kegiatan ―kerajinan‖, yaitu semacam kegiatan pertemuan antara teman-teman yang tidak berhubungan dengan massa masyarakat, dan tidak berisi ideologi sosial dan ideologi politik sama sekali. Kegiatan semacam ini lebih kepada kegiatan kerumahtanggaan. Ilmu memasak, ilmu menjahit, ilmu memelihara anak, ilmu bergaul, ilmu kecantikan, ilmu estetika, serta praktiknya, hal-hal yang semacam itu yang menjadi lapangan usahanya. Perbandingan antara perempuan dan laki-
laki bukan menjadi pembahasan utama pada perkumpulan wanita ini. Dengan kata lain, nilai-nilai patriarkat tidak ditentang.2 Setelah adanya gerakan ―keperempuanan‖ itu, kemudian muncul suatu kemajuan dalam ―gerakan‖ perempuan ini. Yaitu suatu gerakan perempuan yang dengan sadar menuntut persamaan hak, persamaan derajat dengan kaum laki-laki. Perempuan-perempuan ditingkatan ini sadar, bahwa perempuan dihampir segala bidang tidak diberi jalan oleh kaum laki-laki, sehingga oleh karena itu hampir semua hal kemasyarakatan menjadi monopoli laki-laki. Merasa tidak adil, bahwa perempuan di lapangan masyarakat tidak dibolehkan berlomba-lomba dengan kaum laki-laki. Tidak diizinkannya beraktifitas di kantor, di dunia politik, tidak diizinkannya perempuan mengenyam dunia pendidikan tinggi, dan lain sebagainya. Maka, memberantas ketidakadilan ini, memberantas tidak samanya hak dan derajat antara perempuan dan laki-laki, menuntut adanya persamaan hak dan persamaan derajat itu, itulah pokok tujuannya. Pergerakan ini dinamakan pergerakan emansipasi wanita atau pergerakan
Feminisme. Persamaan hak
dengan kaum laki-laki, dan terutama sekali hak memasuki segala macam pekerjaan masyarakat, persamaan hak itulah menjadi pokok tuntutannya. Pada hakikatnya, perubahan dalam masyarakat yang menjadi asal segala perubahanperubahan ideologi. Sebagaimana perubahan dalam proses produksi merubah anggapan-anggapan di dalam masyarakat itu, merubah moral, merubah adat,
2
Ibid, hal. 6
merubah isme-isme, maka perubahan dalam proses produksi itu juga merubah ideologi-ideologi perempuan tentang caranya mencari perbaikan nasib.3 Adanya keyakinan pada gerakan Feminisme, kemudian memunculkan suatu gerakan wanita yang didalam aksi sosialis hendak mendatangkan suatu dunia baru yang didalamnya perempuan dan laki-laki sama-sama mendapat kebahagiaan, tidak adanya penindasan. Dalam pergerakan ini, perempuan tidak beraksi sendiri, tetapi antara perempuan dan laki-laki bersama-sama berjuang, bersama-sama bergerak, bahu membahu, didalam suatu gelombang. Satu gelombang perjuangan kelas, yang tidak kenal perbedaan antara manusia dengan manusia, satu gelombang menuju kemerdekaan, kemerdekaan laki-laki dan kemerdekaan perempuan. Dengan tercapainya pergerakan pada tingkatan pergerakan wanita sosialis ini, tercapailah juga tingkatan yang tertinggi daripada pergerakan Sarinah4 mengejar nasib yang lebih layak. Tingkatan ini masih terus menggeletar, masih terus menggelombang, tidak akan hilang sebelum tercapainya masyarakat adil, pengganti masyarakat kapitalistis yang didalamnya ada penindasan kelas.5 Salah satu impian yang diperjuangkan oleh gerakan perempuan adalah bertambahnya pemimpin perempuan. Terbukanya kesempatan perempuan untuk mengambil bagian dalam pengambilan keputusan. Seperti yang terjadi selama ini,
3
Ibid, hal. 10 Soekarno menggunakan kata ―Sarinah‖ dalam kalimat ini bukan untuk menunjuk wanita pengasuhnya di masa kecil, melainkan sebutan yang mewakili wanita atau perempuan di Indonesia. 5 Ibid, hal. 24 4
bahwa pemimpin hampir selalu dikaitkan dengan laki-laki atau maskulin yang menunjukkan laki-laki hampir selalu mengambil keputusan secara dominan.6 Perempuan mempunyai peranan dalam setiap pengambilan keputusan. Namun, peranan perempuan hanya sebagai orang kedua, subordinasi. Perempuan belum secara otomatis mendapatkan hak dan kedudukan yang sama dengan laki-laki. Perempuan
mempunyai
kedudukan
yang
sama
dalam
melaksanakan
pembangunan, namun hak perempuan dalam bidang itu belum sama dengan hak laki-laki. Peran perempuan dalam gerakan perubahan sosial tidak bisa dianggap sebagai hal yang tidak penting untuk dibicarakan. Bahkan di Indonesia, bisa dikatakan bahwa perempuan sebagai penggerak revolusi. Seperti yang dikatakan seorang Founding Father, Soekarno dalam buku
―Sarinah‖ karyanya
mengatakan bahwa ― Hai Perempuan-perempuan Indonesia, jadilah revolusioner, tiada kemenangan revolusioner, jika tanpa perempuan revolusioner, dan tiada perempuan revolusioner, jika tiada pedoman revolusioner‖. Sejak awal, Soekarno menyadari bahwa kedudukan perempuan bukan hanya sebagai pendamping bagi kaum laki-laki. Lebih dari itu, perempuan harus mendapatkan hak-hak yang sama dengan kaum laki-laki tanpa meninggalkan kodrat sesungguhnya sebagai perempuan.
6
A. Nunuk P. Murniati. 2004. Getar Gender : Perempuan Indonesia Dalam Perspektif Agama, Budaya, Dan Keluarga. Magelang : IndonesiaTera. Hal. 55
Selanjutnya, dalam buku ―Sarinah‖ karyanya, Soekarno juga menjelaskan bahwa : ― Soal wanita adalah soal masyarakat. Sayang sekali, jika soal wanita itu belum dipelajari secara sungguh-sungguh oleh pergerakan kita. Sudah lama Saya bermaksud untuk menulis buku tentang soal itu, tetapi sering kali maksud Saya itu terhalang oleh beberapa sebab. Tetapi sesudah Kita memproklamasikan kemerdekaan, maka menurut pendapat Saya soal wanita itu perlu dengan segera dijelaskan dan dipopulerkan. Sebab kita tidak dapat menyusun Negara dan tidak dapat menyusun masyarakat, jika (antara lain soal-soal) kita tidak mengerti soal wanita. Itulah sebabnya saya, setiba Saya di Yogyakarta, segera mengadakan kursus-kursus wanita itu.‖
Penyelenggaraan kursus politik untuk kaum perempuan tersebut bukan semata acara seremonial yang tidak memiliki visi dan misi yang jelas. Soekarno secara matang mengadakan kursus tersebut agar para perempuan Indonesia menyadari pentingnya sebuah perjuangan rakyat. Perjuangan yang tidak hanya dilakukan oleh kaum laki-laki, tetapi juga kaum perempuan. Sebab ketika seorang berbicara tentang rakyat, maka ia sedang membicarakan masyarakat. Sementara dalam masyarakat terdapat laki-laki dan perempuan. Prinsip itulah yang menjadi dasar perjuangan Soekarno.7 Soekarno meyakini bahwa kemerdekaan bangsa dan terbentuknya negara Indonesia tidak akan sempurna tanpa peran aktif kaum perempuan. Oleh karena itu, dalam kursus politik yang diselenggarakannya di Jogjakarta tahun 1947, Soekarno membicarakan persoalan-persoalan perempuan di Indonesia, sejarah perjuangan kaum perempuan di Eropa dan Amerika, serta kewajiban perempuan dalam revolusi nasional. Bagi Soekarno, perempuan dan revolusi adalah dua hal 7
Wisnuwardhana, S . 2015. Sarinah : Mata Air Cinta, Humanisme, dan Feminisme Soekarno dalam Pelukan Cinta Sang Ibu Asuh. Jakarta Selatan : Palapa. Hal.100
yang tidak dapat dipisahkan, bahkan telah melekat dalam dirinya. Menurut Ahmad Kusuma Djaya mengatakan bahwa Soekarno merupakan sosok yang menempatkan perempuan sebagai sumber revolusi untuk menciptakan suatu perubahan.8 Menurut Soekarno, revolusi nasional belum selesai karena Indonesia belum berhasil menjadi negara nasional. Segenap anak Bangsa seharusnya bersatu, seharusnya bergerak menjalankan revolusi nasional. Hal ini bukan saja demi tegaknya negara Nasional yang berkesejahteraan sosial dan berkeadilan sosial, tapi untuk memungkinkan terbentuknya tata dunia baru yang pula berkesejahteraan sosial dan berkeadilan sosial. Juga untuk memungkinkan lahirnya budaya-budaya yang merupakan proses kemerdekaan dan pemanusiaan yang karenanya Indonesia dan dunia memaknai keragaman sebagai berkah. Perempuan sewajibnya pula ambil bagian dalam gelora Revolusi Nasional yang merupakan tahap menuju Revolusi Sosial ini. Hal ini karena hanya dalam masyarakat berkesejahteraan sosial dan berkeadilan sosial, perempuan terbebas dari retak yang dibuat oleh imperialisme dan kapitalisme, juga oleh pergerakan perempuan tingkat satu dan tingkat dua. Namun, menurut Soekarno, gerakan perempuan tingkat kedua masih bersifat elitis, masih kuat berbau borjuis yang berperan melanggengkan penghisapan
dan penindasan, kemiskinan dan
ketidakadilan. Gerakan ini berarti pula memberi tekanan pada penegakan
8
Ibid. Hal. 67
kesejahteraan sosial dan keadilan sosial melalui pembukaan peluang-peluang bagi perempuan kelas bawah. Selanjutnya, Soekarno melihat bahwa di Indonesia, gerakan perempuan masih berada dibawah harapannya. Menurut pandangan Soekarno, gerakan perempuan seharusnya ditopang oleh teori, kecakapan berorganisasi, dan dinamis. Dengan demikian gerakan perempuan menjadi ideologis, artikulatif, dan dinamis melihat situasi demi situasi. Kualitas-kualitas ini harus dimiliki dan dipraktikkan oleh perempuan-perempuan Indonesia, termasuk perempuan dari kalangan rakyat jelata. Oleh karena itu, perlu adanya suatu ideologi gerakan perempuan yang tidak melupakan budaya-budaya dan adat istiadat dari perempuan itu sendiri. Soekarno menganggap bahwa ideologi gerakan perempuan didunia Barat tidak sesuai dengan budaya yang ada di Indonesia. Ideologi Feminisme dianggap telah melewati batas dan kodrat sesungguhnya dari perempuan itu sendiri. Itulah menagapa sebabnya ―Sarinah‖ dianggap sebagai ideologi gerakan perempuan. Pemikiran Soekarno tentang perempuan tentu tidak terlepas dari peran Idayu Nyoman Rai yang tidak lain adalah Ibu kandung Sang proklamator dan peran dari sosok Sarinah sang ibu asuh. Kehadiran Sarinah dalam hidup Soekarno yang diyakini telah membawa perubahan dalam hidup Soekarno dan menjadi sumber inspirasi bagi Soekarno, tepatnya inspirasi untuk mencintai sesama manusia tanpa memperdulikan kelas sosial. Sarinah dianggap sebagai kemenyan kesadaran dan kembang tujuh perasaan, menyeruak dari lidah sang proklamator, Soekarno. Sarinah merupakan sosok perempuan yang tangguh dan sabar.
Ketangguhannya terlihat dalam usahanya menjadi seorang pembantu rumah tangga yang setia terhadap majikan. Sementara, kesabarannya tampak saat mengasuh Soekarno. Ketangguhan dan kesabaran Sarinah didukung oleh rasa cinta dan kasihnya kepada keluarga Soekarno. Bagi orang biasa, mengidolakan salah satu tokoh besar merupakan suatu keniscayaan. Begitu pula Soekarno yang sangat mengidolakan sosok perempuan bernama Sarinah. Terlebih Sarinah telah mengabdikan hidupnya untuk mengasuh Soekarno dan meninggalkan pesan yang selalu melekat dalam hati dan pikirannya, yaitu rasa cinta.
Sarinah merupakan tokoh yang mempengaruhi kesadaran
Soekarno terhadap kehidupan rakyat Indonesia. Selain itu, Sarinah juga menjadi seorang perempuan yang memantik rasa cinta Soekarno kepada bangsa dan tanah air Indonesia. Sebagai seorang pengasuh, Sarinah selalu berusaha menjadi ibu yang baik bagi Soekarno. Sarinah mengajarkan budi pekerti yang harus dipahami oleh Soekarno. Sarinah pun menanamkan rasa cinta dan pengabdian terhadap rakyat serta tanah air kepada Soekarno. Hingga akhirnya, Soekarno menjadi tokoh yang memperjuangkan hak perempuan, bangsa dan tanah air Indonesia. Itulah mengapa Sarinah dianggap sebagai guru budi pekerti Soekarno. Sarinah menjadi sosok yang menginspirasi Soekarno untuk menegakkan keadilan bagi kaum perempuan, terlebih dalam hal memperjuangkan kesetaraan. Meski hanya belajar dari lingkungan dan masyarakat, Sarinah terbukti mampu menggugah pemikiran Soekarno untuk kemajuan bangsa ini. Sarinah merupakan perempuan desa yang sangat beruntung karena mendapat kepercayaan penuh dari
keluarga Soekarno. Ketika dewasa, Soekarno tidak pernah merasa ragu untuk menumpahkan rasa cinta kepada rakyat kecil, begitu pula keyakinannya saat berjuang meraih kemerdekaan Indonesia. Nasehat Sarinah selalu diingat dan menjadi semangat dalam setiap langkah perjuangannya. Itulah sebabnya, Soekarno tidak pernah melupakan Sarinah. Pada umumnya, Sarinah membantu pekerjaan Idayu, Ibunda Soekarno. Namun kemudian, secara khusus Sarinah menjadi pengasuh Soekarno. Selama berada dalam asuhannya, Soekarno mengaku banyak mendapat pelajaran tentang hakikat mencintai orang kecil. Bukan tanpa alasan Soekarno menulis buku tentang perempuan. Soekarno menganggap bahwa segala hal tentang perempuan penting untuk dibicarakan, termasuk tentang bagaimana peran perempuan dalam segala bidang, khususnya peran perempuan dalam hal pembangunan dan pergerakan. Selain itu, terbitnya kitab ―Sarinah‖ akan menjadi pedoman bagi perempuan-perempuan di Indonesia agar mereka sadar betapa pentingnya peran perempuan turut aktif dalam revolusi agar terciptanya masyarakat yang sosialistis. Alasan lain diterbitkannya kitab ―Sarinah‖ ini merupakan suatu tanda ucapan terimakasih Sang Singa Podium kepada sosok pengasuhnya dimasa kecil ―Mbok Sarinah‖.9 Berdasarkan pemaparan diatas, penulis tertarik membahas bagaimana ideologi gerakan perempuan menurut Soekarno dan juga penulis mencoba untuk menyadarkan kembali khalayak banyak, khususnya perempuan bagaimana peran dan pentingnya kedudukan perempuan dalam suatu gelombang revolusi seperti 9
Ibid, Hal. 1
yang dicita-citakan oleh Soekarno. Maka penulis mengambil judul : Sarinah : Ideologi Gerakan Perempuan Soekarno (Studi Analisis Wacana Buku “Sarinah” Karya Soekarno). 1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah merupakan penjelasan mengenai alasan mengapa masalah yang dikemukakan dalam penelitian dipandang menarik, penting, dan perlu diteliti. Rumusan masalah juga merupakan suatu usaha yang menyatakan secara tersurat petanyaan-pertanyaan penelitian apa saja yang perlu dijawab atau dicarikan pemecahannya. Rumusan masalah merupakan penjabaran dari identifikasi masalah dan pembatasan.10 Berangkat dari latar belakang tersebut, penulis membuat suatu rumusan masalah, yaitu : Ideologi gerakan perempuan seperti apa yang dibangun oleh Soekarno dalam buku ―Sarinah‖ ? 1.3 Batasan Masalah Dalam suatu penelitian, perlu adanya suatu pembatasan masalah terhadap masalah yang akan dibahas oleh penulis agar hasil penelitian tidak keluar dari tujuan yang ingin dicapai. Agar kajian penelitian lebih fokus, maka yang menjadi batasan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Alasan Soekarno memilih Sarinah menjadi tokoh dalam Buku.
10
Husani Usman dan Purnomo. 2004. Metodologi Penelitian Sosial. Bandung : Bumi Aksara, hal. 26
2. Ideologi gerakan perempuan yang dibangun oleh Soekarno dalam buku ―Sarinah‖. 1.4 Tujuan Penelitian Dalam suatu penelitian ilmiah, perlu adanya suatu tujuan penelitian. Tujuan penelitian adalah pertanyaan mengenai hal yang ingin dicapai dalam penelitian ini. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, adalah : 1. Untuk mengetahui mengapa Soekarno memilih Sarinah menjadi tokoh dalam Buku. 2. Untuk mengetahui ideologi gerakan perempuan yang dibangun oleh Soekarno dalam buku ―Sarinah‖. 1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat, antara lain : 1. Secara teoritis, penelitian ini merupakan kajian ilmu politik yang diharapkan
mampu
memberikan
kontribusi
pemikiran
mengenai
pergerakan dan peran perempuan dalam perjuangan Republik Indonesia menurut pandangan Soekarno. 2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi pisau analisis bagi para aktivis sosial, aktivis perempuan, mahasiswa/i dan lain-lain dalam membedah persoalan masyarakat khusunya persoalan perempuan. 3. Bagi penulis, membantu penulis untuk mengasah kemampuan dan pengetahuan dalam menulis karya ilmiah di bidang ilmu politik khusunya
dan juga merupakan suatu syarat akhir untuk menyelesaikan studi strata satu di Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
1.6 Kerangka Teori Untuk mempermudah pelaksanaan dalam penelitian ini, maka perlu dipaparkan sudut pandang dan landasan berfikir mengenai analisis wacana kritis serta dipertegas dengan teori feminisme untuk menyempurnakan penelitian. 1.6.1
Analisis Wacana
1.6.1.1 Pengertian Analisis Wacana Istilah wacana (E= discourse, L= discursus = running to and from atau I = diskursus) memiliki pengertian yang beragam tergantung pada konteks apa yang tengah digunakan untuk memperbincangkannya. Secara umum wacana dimengerti sebagai pernyataan-pernyataan. Masyarakat umum memahami wacana sebagai perbincangan yang terjadi dalam masyarakat ihwal topik tertentu. Dalam ranah yang lebih ilmiah Michael Stubbs dalam Slemborouck
menyatakan bahwa
wacana memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut, (a) memberi perhatian terhadap penggunaan bahasa (language use, bukan language system) yang lebih besar daripada kalimat atau ujaran, (b) memberi perhatian pada hubungan antara bahasa dengan masyarakat dan (c) memberi perhatian terhadap perangkat interaktif dialogis dari komunikasi sehari-hari. Slembrouck juga
menekankan bahwa analisis terhadap wacana tidak memandang secara bias antara bahasa lisan atau tertulis, jadi keduanya dapat dijadikan objek pemeriksaan analisis wacana.11 Wacana adalah komunikasi verbal, ucapan, percakapan. Wacana adalah sebuah perlakuan formal dari subjek dalam ucapan atau tulisan. Wacana adalah sebuah unit teks yang digunakan oleh linguis untuk menganalisis satuan lebih dari kalimat.12 Selanjutnya, Wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan proporsisi yang satu dengan proporsisi yang lainnya, membentuk suatu kesatuan, sehingga terbentuklah makna yang serasi diantara kalimat– kalimat.13 Kata wacana adalah salah satu kata yang banyak disebut saat ini selain kata demokrasi, hak asasi manusia, masyarakat sipil, dan lingkungan hidup. Ada yang mengartikan wacana sebagai unit bahasa yang lebih besar dari kalimat. Ada juga yang mengartikan sebagai pembicaraan atau diskursus. Kata wacana juga dipakai oleh banyak kalangan mulai dari studi bahasa, psikologi, sosiologi, politik, komunikasi, sastra dan sebagainya. Pemakaian istilah ini sering kali diikuti dengan beragamnya istilah, definisi, bahkan tiap disiplin ilmu mempunyai istilah sendiri, banyak ahli memberikan definisi dan batasan yang berbeda mengenai wacana tersebut. Luasnya makna ini dikarenakan oleh perbedaan lingkup dan disiplin ilmu yang memakai istilah wacana tersebut.
11
Widyastuti Purbani. 2009. Analisis Wacana Kritis Dan Analisis Wacana Feminis ( Critical Discourse Analysis And Feminist Discourse Analysis). Diakses melalui http://staff.uny.ac.id/system/files/pengabdian/dr-widyastuti-purbani-ma/analisis-wacana-kritis.pdf Jurnal PDF dilihat pada Tanggal 07 Februari 2017 pukul 20.17 wib 12 Eriyanto. 2001. Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta : LkiS Yogyakarta. Hal. 2 13 Ibid, Hal.2
Perbedaan disiplin ilmu ini dapat digambarkan sebagai berikut. Dalam lapangan sosiologi, wacana menunjuk terutama pada hubungan antara konteks sosial dari pemakaian bahasa. Dalam pengertian linguistik, wacana adalah unit bahasa yang lebih besar dari kalimat. Analisis wacana dalam studi linguistik merupakan reaksi dari bentuk linguistik formal yang lebih memperhatikan pada unit kata, frase, atau kalimat semata tanpa melihat keterkaitan diantara unsur tersebut. Analisis wacana dalam lingkungan psikologi sosial, diartikan sebagai pembicaraan. Wacana yang dimaksud disini agak mirip dengan sruktur dan bentuk wawancara dan praktik dari pemakainya. Sementara dalam lapangan politik, analisis wacana adalah praktik pemakaian bahasa, terutama politik bahasa. Karena bahasa adalah aspek sentral dari penggambaran suatu subjek, dan lewat bahasa ideologi terserap didalamnya, maka aspek inilah yang dipelajari dalam analisis wacana.14 Seperti yang sudah dikemukakan diatas, istilah analisis wacana adalah istilah umum yang digunakan dalam banyak disiplin ilmu dan dengan berbagai pengertian. Meskipun ada gradasi yang besar dari berbagai definisi, titik singgungnya adalah analisis wacana berhubungan dengan studi mengenai bahasa/pemakaian bahasa. Setidaknya, ada tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana menurut Mohammad A.S. Hakim. Pandangan pertama diwakili oleh kaum positivisme-empiris. Oleh penganut aliran ini, bahasa dilihat sebagai jembatan antara manusia dengan objek diluar dirinya. Pengalaman14
Ibid, Hal. 3
pengalaman manusia dianggap dapat secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada kendala atau distorsi, sejauh ia dinyatakan dengan memakai pernyataan-pernyataan yang logis, sintaksis, dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiris. Salah satu ciri dari pemikiran ini adalah pemisahan antara pemikiran dan realitas. Dalam kaitannya dengan analisis wacana, konsekuensi logis dari pemahaman ini adalah orang tidak perlu mengetahui makna-makna subjektif atau nilai yang mendasari pernyataannya, sebab yang penting adalah apakah pernyataan itu dilontarkan secara benar menurut kaidah sintaksis dan semantik. Analisis wacana dimaksudkan untuk menggambarkan tata atau aturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama. Wacana lantas diukur dengan pertimbangan kebenaran/ketidakbenaran. Pandangan kedua, disebut sebagai konstruktivisme. Pandangan ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran fenomenologi. Aliran ini menolak pandangan empirisme/positivisme yang memisahkan subjek dan objek bahasa. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan yang dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pernyataan. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya. Dalam hal ini, seperti dikatakan A.S. Hakim, subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Bahasa dipahami dalam paradigma ini diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni
tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri dari sang pembicara. Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu. Wacana adalah suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subjek yang mengemukakan suatu pernyataan. Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Pandangan ini ingin mengoreksi pandangan konstruktivisme yang kurang sensistif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional. Seperti ditulis A.S. Hikam, pandangan konstruktivisme masih belum menganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan yang inheren dalam setiap wacana, yang pada gilirannya berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu berikut perilakuperilakunya. Hal inilah yang menghasilkan paradigma kritis. Analisis wacana tidak dipusatkan pada kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran seperti pada analisis konstruktivisme. Analisis wacana dalam paradigma ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikirannya, karena sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. Bahasa disini tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak diluar diri si pembicara. Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi didalamnya. Oleh karena itu,
analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa: batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan. Dalam pandangan semacam ini, wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam pembentukan subjek, dan berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam masyarakat. Karena memakai perspektif kritis, analisis wacana kategori yang ketiga itu juga disebut sebagai analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis/ CDA).15 1.6.1.2 Analisis Wacana Norman Fairclough Norman Fairclough mencoba membangun suatu model analisis wacana yang mempunyai kontribusi dalam analisis sosial dan budaya, sehingga Fairclough mengkombinasikan tradisi analisis tekstual yang selalu melihat bahasa dalam ruang tertutup, dengan konteks masyarakat yang lebih luas. Titik perhatian besar Fairclough adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan. Untuk melihat bagaimana pemakai bahasa membawa nilai ideologis tertentu dibutuhkan analisis yang menyeluruh. Melihat bahasa dalam perspektif ini membawa konsekuensi tertentu. Bahasa secara sosial dan historis adalah bentuk tindakan, dalam hubungan dialektik dengan struktur sosial. Oleh karena itu, analisis harus dipusatkan pada bagaimana bahasa itu terbentuk dan dibentuk dari relasi sosial dan konteks sosial tertentu. Norman Fairclough membangun suatu model yang mengintegrasikan secara bersama-sama analsis wacana yang didasarkan pada 15
Ibid, Hal. 4,5,6
linguistik dan pemikiran sosial dan politik, dan secara umum diintegrasikan pada perubahan sosial. Oleh karena itu, model yang dikemukakan oleh Fairclough ini sering juga disebut sebagai model perubahan sosial (social change). Fairclough memusatkan perhatian wacana pada bahasa. Fairclough menggunakan wacana menunjuk pada pemakaian bahasa sebagai praktik sosial, lebih daripada aktivitas individu atau untuk merefleksikan sesuatu. Fairclough membagi analisis wacana dalam tiga dimensi : teks, discourse practice, dan sociocultural practice. Dalam model analisis Fairclough, teks dianalisis secara linguistik, dengan melihat kosakata, semantik, dan tata kalimat. Selain itu, Fairclough juga memasukkan koherensi dan kohesivitas, bagaimana antarkata atau kalimat tersebut digabung sehingga membentuk pengertian. Semua elemen yang dianalisis tersebut dipakai untuk melihat tiga masalah berikut. Pertama, ideasional yang merujuk pada representasi tertentu yang ingin ditampilkan dalam teks, yang umumnya membawa muatan ideologis tertentu. Analisis ini pada dasarnya ingin melihat bagaimana sesuatu ditampilkan dalam teks yang bisa jadi membawa muatan ideologis tertentu. Kedua, relasi, merujuk pada analisis bagaimana konstruksi hubungan di antara wartawan dengan pembaca, seperti apakah teks disampaikan secara informal atau formal, terbuka atau tertutup. Ketiga, identitas, merujuk pada konstruksi tertentu dari identitas wartawan dan pembaca, serta bagaimana personal dan identitas ini hendak
ditampilkan.16 Discourse practice merupakan dimensi yang berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi teks. Sedangkan Sociocultural practice adalah dimensi yang berhubungan dengan konteks diluar teks. Konteks disini memasukkan banyak hal, seperti konteks situasi. 1.6.1.2.1 Teks Fairclough melihat teks dalam berbagai tingkatan. Sebuah teks bukan hanya menampilkan bagaimana suatu objek digambarkan tetapi juga bagaimana hubungan antarobjek didefiniskan. Ada tiga elemen dasar dalam model Fairclough, elemen tersebut yaitu: Representasi, Relasi, Identitas. Unsur Representasi
Yang Ingin Dilihat Bagaimana peristiwa, orang, kelompok, situasi, keadaan atau apa
pun ditampilkan dan
digambarkan dalam teks. Relasi
Bagaimana
hubungan
antara
wartawan,
khalayak, dan partisipan berita ditampilkan dan digambarkan dalam teks. Identitas
Bagaimana Identitas wartawan, khalayak, dan partisipan berita ditampilkan dan digambarkan dalam teks.
16
Ibid, Hal. 287
Tabel 1.117 Unsur dasar Model analisis Norman fairclough Representasi pada dasarnya ingin melihat bagaimana seseorang, kelompok, tindakan, kegiatan, ditampilkan dalam teks. Representasi dalam pengertian Fairclough dilihat dari dua hal, yakni bagaimana seseorang, kelompok, dan gagasan ditampilkan dalam anak kalimat dan gabungan atau rangkaian antar anak kalimat. 1. Representasi dalam anak kalimat Aspek ini berhubungan dengan bagaimana seseorang, kelompok, peristiwa, dan kegiatan ditampilkan dalam teks, dalam hal ini bahasa yang dipakai. Menurut Fairclough, ketika sesuatu tersebut ditampilkan, pada dasarnya pemakai bahasa dihadapkan pada paling tidak dua pilihan. Pertama, pada tingkat kosakata, kosakata apa yang dipakai untuk menampilkan dan menggambarkan sesuatu, yang menunjukkan bagaimana sesuatu tersebut dimasukkan dalam satu set kategori. Kedua, pilihan yang didasarkan pada tingkat tata bahasa. Pemakai tata bahasa dapat memilih, apakah seseorang, kelompok, atau kegiatan tertentu hendak ditampilkan sebagai sebuah tindakan ataukah sebagai sebuah peristiwa.18 2. Representasi dalam kombinasi anak kalimat Antara satu anak kalimat dengan anak kalimat yang lain dapat digabungkan sehingga membentuk suatu pengertian yang dapat 17 18
Ibid, Hal. 289 Ibid, Hal. 290
dimaknai. Pada dasarnya, realitas terbentuk lewat bahasa dengan gabungan antara satu anak kalimat dengan anak kalimat yang lainnya. Gabungan antara kalimat akan membentuk suatu koherensi lokal, yakni pengertian yang didapat dari gabungan anak kalimat satu dengan yang lain, sehingga suatu kalimat mempunyai arti. 3. Representasi dalam rangkaian antarkalimat Jika representasi dalam kombinasi anak kalimat menggabungkan anak kalimat yang satu dengan yang lainnya, maka aspek ini berhubungan dengan bagaimana dua kalimat atau lebih disusun dan dirangkai. Representasi ini berhubungan dengan bagian mana dalam anak kalimat yang lebih menonjol dibandingkan dengan bagian yang lain. 4. Relasi Relasi berhubungan dengan bagaimana peristiwa dalam media berhubungan dan ditampilkan dalam teks. Media disini dipandang sebagai suatu arena sosial, dimana semua kelompok, golongan, dan khalayak yang ada dalam masyarakat saling berhubungan dan menyampaikan versi pendapat dan gagasannya. 5. Identitas Aspek identitas ini terutama dilihat oleh Fairclough dengan melihat bagaimana identitas wartawan ditampilkan dan dikonstruksi dalam teks
pemberitaan.
Menurut
Fairclough,
bagaimana
wartawan
menempatkan dan mengidentifikasi dirinya dengan masalah atau kelompok sosial yang terlibat.
1.6.1.2.2 Discourse Practice Analisis discourse practice memusatkan perhatian pada bagaimana produksi dan konsumsi teks. Teks dibentuk lewat suatu praktik diskursus, yang akan menentukan bagaimana teks tersebut diproduksi. Dalam pandangan Norman Fairclough, ada dua sisi dari praktik diskursus tersebut. Yakni produksi teks dan konsumsi teks. Dengan kata lain, kita harus tahu bagaimana teks tersebut diproduksi dan bagaimana juga teks tersebut dikonsumsi. 1.6.1.2.3 Sociocultural Practice Analisis sociocultural practice didasarkan pada asumsi bahwa konteks sosial yang ada dapat mempengaruhi bagaimana wacana yang muncul. Menurut Norman Fairclough, sosiocultural practice tidak memiliki hubungan langsung dalam menentukan teks, melainkan melalui mediasi oleh discourse practice. Mediasi itu meliputi dua hal, yang pertama, bagaimana teks tersebut diproduksi. Praktik diskursus inilah yang secara langsung akan menentukan bagaimana teks tersebut diproduksi. Kedua, khalayak juga akan mengkonsumsi dan menerima teks tersebut dalam pandangan bagaimana teks tersebut diproduksi. Fairclough membuat tiga level analisis pada sociocultural practice, yaitu : (1) Situasional, teks diproduksi diantaranya memperhatikan aspek situasional ketika teks tersebut diproduksi. Teks dihasilkan dalam suatu kondisi atau suasana yang khas, unik,
sehingga satu teks bisa jadi berbeda dengan teks yang lain. (2) Institusional, level institusional melihat bagaimana pengaruh institusi organisasi dalam praktik produksi wacana. (3) Sosial, faktor sosial sangat berpengaruh terhadap wacana yang muncul dalam pemberitaan. Bahkan Fairclough menegaskan bahwa wacana yang muncul dalam media ditentukan oleh perubahan masyarakat. Dalam level sosial, budaya masyarakat, misalnya turut menentukan perkembangan dari wacana.19 1.6.2
Teori Feminisme
1.6.2.1 Pengertian Feminisme Teori Feminisme beranjak dari asumsi bahwa gender merupakan konstruksi yang meskipun bermanfaat, didominasi oleh bias laki-laki dan cenderung opresif terhadap perempuan. Teori Feminisme berupaya menantang asumsi-asumsi gender yang hidup dalam masyarakat dan mencapai cara yang lebih membebaskan kaum perempuan dan laki-laki untuk hidup di dunia.20 Feminisme adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria. Feminisme ialah tentang perlawanan terhadap pembagian kerja di suatu dunia yang menetapkan kaum laki-laki sebagai yang berkuasa dalam ranah publik, seperti dalam pekerjaan, olahraga, perang, pemerintahan, sementara kaum perempuan hanya menjadi pekerja tanpa upah
19 20
Ibid, Hal. 316-325 Listiani,dkk. 2002. Gender & Komunitas Perempuan Pedesaan. Medan : Bitra Indonesia. Hal 30
dirumah, dan memikul seluruh beban kehidupan keluarga.21 Feminisme berasal dari bahasa latin, femina atau perempuan.22 Feminisme yang memiliki artian dari femina tersebut, memiliki arti sifat keperempuan, sehingga Feminisme diawali oleh persepsi tentang ketimpangan posisi perempuan dibanding laki-laki di masyarakat. Akibat persepsi ini, timbul berbagai upaya untuk mengkaji penyebab ketimpangan tersebut untuk mengeliminasi dan menemukan formula penyetaraan hak perempuan dan laki-laki dalam segala bidang, sesuai dengan potensi mereka sebagai manusia (human being). Maggie Humm dalam bukunya “Dictionary of Feminist Theories” menyebutkan Feminisme merupakan ideologi pembebasan perempuan karena yang melekat dalam semua pendekatannya adalah keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan disebabkan jenis kelamin yang dimilikinya.23 Dalam buku Wanita Bergerak karya Soekarno, mengatakan bahwa Feminisme merupakan pergerakan kaum perempuan yang menuntut adanya persamaan hak dengan kaum laki-laki, dan pekerjaan dalam masyarakat, persamaan hak itulah yang menjadi pokok tuntutannya. Dan oleh karena tuntutan hak memasuki segala macam pekerjaan itu terutama sekali datang dari golongan wanita atasan dan pertengahan, maka pergerakan Feminisme itu terutama sekali
21
Marisa Rueda, dkk. 2007. Feminisme Untuk Pemula. Yogyakarta : Resist Book. Hal. 3 Pengertian Feminisme diakses melalui https://googleweblight.com/?lite_url=https://id.m.wikipedia.org/wiki/feminisme.html dilihat pada tanggal 26 November 2016 pukul 20.12 wib 23 Syarif Hidayatullah.. 2010. Teologi Feminisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 5 22
adalah satu pergerakan ―kasta pertengahan‖, satu pergerakan borjuis, dan bukan satu pergerakan yang pengikutnya kebanyakan dari kalangan rakyat jelata.24 Gerakan Feminisme merupakan gerakan pemberontakan kaum perempuan yang ditujukkan kepada laki-laki untuk melawan kondisi sosial yang terjadi dimasyarakat seperti institusi rumah tangga, maupun perjuangan perempuan untuk mengingkari apa yang disebut dengan kodrat. Karena situasi ini dan keterbatasan pengetahuan tentang Feminisme bagi sebagian besar masyarakat khususnya perempuan menolak gerakan dan keberadaannya. Dalam gerakan yang dilakukan untuk memajukan perempuan, pemikiran Feminisme pada umumnya memusatkan perhatian
kepada
perempuan
dan
mengasumsikan
bahwa
munculnya
permasalahan kaum perempuan disebabkan oleh rendahnya kualitas sumber daya kaum perempuan disebabkan oleh rendahnya kualitas sumber daya kaum perempuan sendiri. Situasi ini yang mengakibatkan ketidakmampuan perempuan bersaing dengan laki-laki dalam proses pembangunan yang sedang berlangsung. 25 Menurut peneliti sendiri, Feminisme adalah paham yang menggerakan pemahaman dan kesadaran perempuan terhadap kehidupan perempuan agar lebih mendapatkan kebebasan dan keadilan dalam segala bidang. Dengan beragamnya arti Feminisme, maka akan sulit mendapatkan definisi Feminisme dalam semua ruang dan waktu. Hal ini terjadi karena Feminisme tidak mengusung teori tunggal, akan tetapi menyesuaikan kondisi sosiokultural yang melatarbelakangi munculnya paham itu serta adanya perbedaan 24 25
Op. Cit, Ir. Soekarno. 2013, Wanita bergerak.. , hal. 16 Op.Cit, Listiani, dkk. Gender & Komunitas... Hal. 31
tingkat kesadaran, presepsi, dan tindakan yang dilakukan oleh para feminis. Contohnya di Amerika, gerakan Feminisme pada mulanya lebih dipandang sebagai suatu sudut pandangan yang mencoba membantu melihat adanya ketimpangan-ketimpangan perilaku terhadap tindakan kaum perempuan, baik yang bersifat struktural maupun kultural maka pada perkembangannya yang lebih lanjut nilai yang diperjuangkan gerakan ini dikonsektualisasi sesuai dengan kepentingan sejarah dan tempat gerakan itu mucul. Yakni dari penolakan perilaku menjadi upaya pembebasan hak-hak perempuan yang cenderung radikal. Dengan demikian Feminisme kini bukan lagi sekedar ideologi dan kepercayaan semata, melainkan suatu ajakan untuk bertindak atau gerakan pembebasan. Dengan tindakan maka feminisme akan menjadi gerakan pembebasan perempuan yang nyata dan dapat mengangkat derajat perempuan pada posisi yang sepantasnya. Jika tidak, maka Feminisme hanya akan menjadi retorika saja bahkan keberadaan akan ditelan waktu. 1.6.2.2 Aliran Dalam feminisme Dalam perkembangannya, Feminisme terbagi menjadi beberapa aliran besar dengan teori yang dimunculkan sebagai landasan bagi upaya pembongkaran dominasi laki-laki terhadap perempuan. Sebab dominasi laki-laki terhadap perempuan tidak hanya berupa penindasan secara fisik, melainkan telah menjadi bagian kesadaran sosial. Paling tidak ada tiga aliran besar yang berkembang, yakni:
1. Feminisme Liberal Feminisme Liberal mulai berkembang pada abad ke 18, di dasari pada prinsip-prinsip Liberalisme, yaitu semua orang (laki-laki dan perempuan) dengan kemampuan rasionalitasnya diciptakan dengan hak yang sama dan setiap orang harus memiliki kesempatan yang sama untuk memajukan dirinya. Tokoh-tokoh dalam Feminisme Liberal, yaitu : Alison Jaggar (Feminist Politics and Human Nature), Mary Wollstonecraft ( A Vindication of the Rights of Woman), John Stuart Mill and Hariet Taylor (Early Essays on Marriage and Divorce), John Stuart Mill (The Subjection of Women), Hariet Taylor (Enfranchisement of Women), Angela Davis (Women, Race and Class).26 Adapun awal lahirnya aliran Feminisme Liberal adalah tentang konsepsi nalar, yakni keyakinan bahwa nalar membedakan manusia dengan makhluk lain tidak memberikan informasi apapun. Sebab perempuan walau sama-sama manusia yang bernalar, perempuan tidak memiliki kesadaran untuk bebas dari keterpurukannya. Aliran ini dinamakan Feminisme Liberal karena memiliki perhatian khusus tentang pentingnya kebebasan individu tantang hak-hak yang didapat dan kewajiban yang dilakukan. Yakni setiap individu perempuan atau laki-laki memiliki hak-hak yang harus dilindungi dari penindasan, sehingga
26
Dean Saputri. 2011. Aliran-Aliran Feminisme, diakses melalui
https://googleweblight.com/?lite_url=https://deansaputri.wordpress.com/2011/12/07/aliran-aliran-feminisme.html dilihat
pada tanggal 27 November 2016 pukul 20.10 wib
perhatian utama dari aliran ini adalah tentang persamaan hak, khususnya hak-hak perempuan. Feminisme liberal mengisyaratkan bahwa manusia baik laki-laki dan perempuan adalah sama, seimbang, dan serasi dihadapan publik. Lakilaki memiliki kekhususan tertentu, begitu pula dengan perempuan. Namun, tidak boleh dijadikan suatu alasan untuk melakukan penindasan. Perempuan tidak bisa diletakkan lebih rendah dari laki-laki dalam setiap bidang, sebab laki-laki dan perempuan memliki kesanggupan dalam melakukan segala sesuatu diruang khusus dan publik. Feminisme
liberal
juga
melihat
sumber
penindasan
bagi
perempuan karena belum terpenuhinya hak-hak perempuan, seperti diskriminasi hak, kesempatan, dan kebebasan hanya karena berjenis kelamin perempuan. Namun aliran ini tetap menolak persamaan secara keseluruhan antara laki-laki dan perempuan. dalam beberapa hal, aliran ini masih tetap memandang perlu adanya pembedaan antara laki-laki dan perempuan, seperti yang berhubungan dengan fungsi reproduksi. Aliran ini juga beranggapan bahwa tidak harus dilakukan perubahan struktural secara menyeluruh namun cukup melibatkan perempuan di dalam berbagai peran. Selain itu, Feminisme liberal melandaskan Idealisme fundamentalnya pada pemikiran bahwa manusia bersifat otonomi dan diarahkan oleh penalaran yang menjadikan manusia mengerti akan prinsip-prinsip moralitas dan kebebasan individu. Feminisme liberal mengangkat isu-isu yang berkaitan
dengan akses pada pendidikan, kebijakan yang bias gender, hak-hak politis dan sipil. Rochelle Gatlin (1987 : 121) menerangkan korelasi antara Feminisme liberal dan perubahannya menjadi Feminisme radikal. Ia mendefinisikan feminis liberal adalah kaum liberal yang potensial. Akan tetapi banyak liberalis yang tidak menyadari hal ini dan menyangkal bahwa Liberalisme yang mereka dukung adalah sebuah ideologi politis seperti lainnya. Mereka sering tidak sadar bahwa nilai-nilai liberal dari hak-hak
individual
dan
kesetaraan
kesempatan
sesungguhnya
berkontradiksi dengan pengakuan feminis mereka bahwa perempuan adalah sebuah kelas seks yang kondisi umumnya ditentukan secara sosial dan bukan secara individual.27 2. Feminisme Radikal Femisme radikal berkembang sekitar tahun 1960-an, kata kunci dari aliran ini adalah radikal yakni mengakar dan menghendaki adanya perombakan pada suatu sistem. Sumber masalah bagi aliran Feminisme radikal adalah ideologi patriarki, yakni bentuk organisai rumah tangga di mana ayah adalah tokoh dominan dalam rumah tangga, menguasai anggotanya, dan menguasai reproduksi rumah tangga. Feminisme radikal berpusat pada aspek biologis. mereka berpendapat bahwa ketidakadilan gender disebabkan dari perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan.
27
Fajar Apriani. 2013. Berbagai Pandangan Mengenai Gender Dan Feminisme. Jurnal Pdf Hal. 13 Diakses melalui http://googleweblight.com/?Lite_url=http://www.portal.fisip-unmul.ac.id dilihat pada tangal 27 November 2016 pukul 21.08 wib
Maksudnya adalah perempuan merasa dieksploitasi oleh kaum laki-laki dalam hal-hal biologis yang dimiliki perempuan, misalnya adalah peran kehamilan dan keibuan yang selalu diperankan oleh perempuan. Oleh sebab itu, kaum feminis radikal sering menyerang institusi-institusi keluarga dan sistem patriarki yang mereka anggap adalah sumber penindasan. Kaum feminis radikal menganggap institusi-institusi tersebut adalah institusi yang melahirkan sistem dominasi pria sehingga wanita tertindas. Patriarki tidak hanya secara historis menjadi struktur dominasi dan ketundukkan, namun ia pun terus menjadi model dasar dominasi ditengah-tengah masyarakat. Kaum feminis radikal sangat menghindari institusi perkawinan. Mereka mempunyai tujuan yang harus dicapai adalah mengakhiri tirani keluarga biologis. Apabila lembaga perkawinan tidak dapat dihindari maka kaum feminis membuat teknologi untuk mengurangi penindasan terhadap perempuan yaitu dengan membuat kontrasepsi dan teknologi bayi tabung. Feminisme radikal cenderung membenci pria. Bahkan mereka menganggap perempuan bisa hidup mandiri tanpa kehadiran kaum pria. Feminisme radikal memperjuangkan gerakannya melalui kampanye dan demonstrasi untuk membangun ruang dan kebudayaan perempuan. Mereka berkonsentrasi pada diakhirnya relasirelasi antara laki-laki dan perempuan yang terpisah, terutama berkampanye
melawan kekerasan laki-laki terhadap perempuan seperti pemerkosaan dan pornografi.28 3. Feminisme Marxis Kata kunci dari aliran ini adalah Marxis, yakni berlandaskan pada teori konfliknya Karl Marx tentang kepemilikan pribadi. Bagi Marx kepemilikan pribadi akan menimbulkan kehancuran pada sistem keadilan dan kesamaan kesempatan yang pernah dimiliki masyarakat. Dari kepemilikan tersebut sejatinya telah menciptakan sistem kelas yang eksploitatif. Dalam pandangan aliran Feminisme Marxis, bahkan dalam keluargapun tercermin sistem private property, yakni kepemilikan suami atas keluarganya. Suami adalah cerminan kaum borjuis yang menguasai nafkah dan materi dari keluarga, sehingga memiliki kekuasaan dan posisi yang kuat dalam keluarga dibanding istri dan anak-anak yang ditempatkan menjadi kaum proletar. Selain itu, perempuan bagi aliran ini dalam keluarga di tempatkan hanya dalam sektor domestik untuk mengurus rumah tangga. Perempuan dalam rumah tanggapun dalam pekerjaannya tidak diperhitungkan dalam perhitungan ekonomi, sosial, dan politik. Dengan tidak adanya nilai ekonomis, sosial, dan politik dalam kehidupan berumah tangga maka perempuan dianggap tidak lebih bernilai dibanding laki-laki. Laki-laki
28
Op. Cit, Marisa Rueda, dkk. 2007. Feminisme... Hal. 121
dianggap lebih bernilai karena memiliki pekerjaan yang ekonomis dan memberi masukan nafkah kepada keluarga. Oleh karena itu, perjuangan feminis marxis adalah menuntut agar pekerjaan rumah tangga dihargai dan bernilai ekonomis. Sebab pekerjaan rumah tangga adalah produktif dan menciptakan surplus value atau nilai tambah dalam kehidupan berumah tangga. Dengan cara itu, laki-laki dan perempuan berkedudukan sama karena secara ekonomis keduanya mempunyai pekerjaan yang sama nilai ekonomis. Feminis Marxis percaya bahwa pekerjaan perempuan membentuk pemikiran perempuan dan karena itu membentuk juga sifat-sifat alamiah perempuan. Kaum feminis Marxis percaya bahwa kapitalisme adalah suatu sistem hubungan kekuasaan yang eksploitatif (majikan mempunyai kekuasaan yang lebih besar, mengkoreksi pekerja untuk bekerja lebih keras) dan hubungan pertukaran (bekerja untuk upah, hubungan yang diperjualbelikan). Feminis Marxis menolak hubungan kontraktual antara pekerja dan majikan.29 Feminisme Marxis lebih menekankan pada pembangunan aliansi dengan kelompok-kelompok dan kelas-kelas tertindas
lainnya,
yaitu
dengan
gerakan-gerakan
anti-imperialis,
organisasi-organisasi buruh, partai-partai politik kiri. Mereka terlibat
29
Ariyana. 2007. Teori Feminis Marxis-Sosialis. Diakses melalui https://googleweblight.com/?lite_url=https://ariyana.wordpress.com/2007/06/04/teori-feminis-marxissosialis.html dilihat pada tanggal 27 November 2016 pukul 21.24
dalam dialog permanen dengan laki-laki progresif dalam organisasiorganisasi ini mengenai makna dan arti penting perjuangan feminis.30 1.7 Metodologi Penelitian 1.7.1
Metode penelitian Adapun metode penelitian yang digunakan penulis adalah metode
deskriptif. Metode deskriptif diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian seseorang, lembaga maupun masyarakat dan lain-lain pada saat sekarang bardasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya.31 Penelitian deskriptif bertujuan untuk menunjukan ihwal masalah atau objek tertentu secara rinci. Penelitian deskriptif dilakukan agar dapat menjawab suatu atau beberapa pertanyaan mengenai keadaan objek yang sedang diteliti oleh penulis secara rinci. Peneliti menggunakan penelitian deskriptif karena peneliti ingin memberikan gambaran bagaimana ideologi gerakan perempuan yang dibangun oleh Soekarno dalam buku karyanya ―Sarinah‖. Hal ini yang kemudian mendasari peneliti untuk menggunakan metode penelitian deskriptif dalam penelitian. 1.7.2
Jenis Penelitian Berdasarkan metode yang dipakai maka penelitian ini menggunakan
penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif dengan pendekatan analisis wacana 30
Loc,Cit. Marisa Rueda,dkk. 2007. Feminisme... Hadawari Nawawi. 1987. Metodologi Penelitian Ilmu Sosial. Yogjakarta: Gajah Mada University press. Hal 63 31
ideologi gerakan perempuan Soekarno. Langkah pertama yang dilakukan oleh peneliti dalam penelitian ini ialah mendeskripsikan pandangan Soekarno mengenai peran ―Sarinah‖ dalam mempengaruhi pemikiran Soekarno dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia dan kemudian menganalisis ideologi gerakan perempuan yang dibangun Soekarno dalam buku ―Sarinah‖ karya Soekarno dengan menggunakan pisau analisis wacana Norman Fairclough. 1.7.3
Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah Buku ―Sarinah‖ karya Soekarno. Dimana buku
ini terdiri dari 6 bab dan berjumlah 329 halaman. 1.7.4
Teknik Pengumpulan Data Dalam menyusun sebuah penelitian akan menjadi penting memilih sebuah
teknik pengumpulan data yang tepat, yang akan sangat berpengaruh terhadap hasil penelitian. Teknik pengumpulan data akan memungkinkan dicapainya pemecahan masalah secara valid dan reliabel, yang pada gilirannya akan memungkinkannya dirumuskannya generalisasi yang objektif.32 Adapun teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam melakukan penelitian ini adalah teknik pengumpulan data sekunder yaitu dengan melakukan pengumpulan data kepustakaan (library research). Bahan-bahan yang diambil sebagai data-data untuk penulisan tulisan ilmiah berasal dari tulisan-tulisan yang
32
Ibid, Hal. 94
terdapat dalam buku- buku, jurnal, makalah internet dan sejenisnya yang berkaitan dengan penelitian ini. 1.7.5
Teknik Analisa Data Teknik analisa data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
menggunakan analisis data deskriptif kualitatif, yaitu dengan analisis atas masalah yang ada sehingga selanjutnya akan diperoleh gambaran yang jelas mengenai objek yang akan diteliti dan kemudian akan dilakukan penarikan kesimpulan pada fenomena yang sedang diamati dengan metode ilmiah. Prinsip utama yang perlu ditekankan dalam penelitian ini adalah untuk menemukan teori dan fakta yang sesuai.
1.8 Sistematika Penulisan Dalam suatu penelitian, perlu adanya sistematika penulisan agar dapat diperoleh suatu gambaran yang jelas dan terperinci. Adapun yang menjadi sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah : BAB I
: PENDAHULUAN Bab ini terdiri dari latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, pembatasan masalah, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II
: GAMBARAN UMUM Bab ini Penulis akan menguraikan biografi Soekarno, Hubungan Soekarno dengan Sarinah, dan memaparkan profil Buku ―Sarinah‖.
BAB III
:
ANALISIS
WACANA
BUKU
―SARINAH‖
KARYA
SOEKARNO Bab ini penulis akan melakukan analisis mengapa Soekarno memilih Sarinah menjadi tokoh dalam buku karyanya dan juga penulis akan melakukan analisis ideologi gerakan perempuan yang dibangun Soekarno dalam buku ―Sarinah‖ dengan menggunakan teori analisis wacana Norman Fairclough. BAB IV
: PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan dari hasil-hasil pembahasan dan analisis pada bab-bab sebelumnya, serta berisi saran-saran yang nantinya akan berguna bagi penulis dan pembaca.