BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Masalah Allah telah menciptakan manusia berpasang-pasangan supaya muncul suatu
ketenangan, ketentraman, dan kebahagian. Hal ini menyebabkan setiap laki-laki dan perempuan mendambakan pasangan hidup yang memang merupakan fitrah manusia. Pernikahan merupakan sunnah Rasul. Islam mensyariatkan dijalinnya pertemuan antara laki-laki dan perempuan, selanjutnya mengarah pada pertemuan hingga terlaksananya suatu pernikahan. Pernikahan merupakan awal dari suatu kehidupan bersama dengan pasangan dan kesiapan seseorang dalam membina sebuah keluarga. Keluarga adalah pasangan yang menikah atau kelompok keluarga besar yang saling bekerjasama dan membagi tugas pada setiap anggota keluarga, menjaga anak-anak, dan berbagi tempat tinggal (Strong dan DeVault, 1989: 6). Pernikahan adalah ikatan lahir batin dan persatuan antara dua pribadi yang berasal dari keluarga, sifat, kebiasaan, dan budaya yang berbeda. Pernikahan juga memerlukan penyesuaian secara terus menerus. Setiap pernikahan selain cinta juga diperlukan saling perngertian yang mendalam, kesediaan untuk saling menerima pasangan masing-masing dengan latar belakang yang merupakan bagian dari kepribadiannya.
Banyak
pasangan suami istri yang mencita-citakan kehidupan
1
2
perkawinan yang bahagia dan harmonis namun untuk mewujudkannya bukanlah persoalan yang mudah. Keunikan yang terjadi pada hubungan perkawinan adalah meskipun banyak perbedaan antara laki-laki dan perempuan seperti perbedaan emosional, lingkungan, genetis dan kepribadian, selalu ada perkawinan yang berhasil. Perkawinan tersebut dinikmati oleh laki-laki dan perempuan sebagai suami-istri yang bahagia. Mayoritas pasangan yang menikah memiliki tujuan utama hidup bersama, berbagi dukungan fisik dan komunikasi tentang berbagai kesenangan dan masalah (Osborne, 1988:31). Perkawinan adalah bentuk hubungan antarpribadi yang spesifik. Meskipun banyak orang yang akan atau telah mengalaminya tetapi terdapat beragam perbedaan tipe hubungan, model, tahapan, perkembangan dan proses yang berubah setiap waktu. Hollingshead (1950), Katz dan Hill (1956) menyatakan perkawinan umumnya dibentuk
antar
individu
yang
memiliki kategori kebudayaan
tertentu,
seperti
kesamaan latar belakang etnis, ras, agama, pendidikan dan sosial ekonomi. Perkawinan merupakan bagian dari sistem sosial. Jenis hubungan ini menjadi dasar
pembentukan
Keberhasilan,
keluarga
sebagai unit
sosial terkecil dalam masyarakat.
kebahagiaan, kegagalan, atau perpecahan perkawinan berdampak
langsung pada kelangsungan kehidupan keluarga. Meskipun tingkat keberhasilan dan makna kebahagiaan bersifat relatif dan tidak sama bagi setiap orang, mencapai keluarga yang bahagia dan perkawinan yang sukses merupakan keinginan semua suami-istri.
3
Hakekat sebuah perkawinan menurut undang‐undang pokok perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dalam pasal 30, adalah ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam menjalani sebuah kehidupan perkawinan sebagai suami istri, istri memerlukan perlindungan dari suaminya, dan suami memerlukan kasih sayang dari istrinya. Di sini mengandung arti bahwa dalam sebuah perkawinan terjadi saling ketergantungan antara suami maupun istri terhadap pasangannya (Suciptawati,n,d). Setiap orang yang akan memasuki hidup perkawinan tentu mempunyai citacita ingin hidup berbahagia : saling mencintai, dapat akrab dan mesra dengan pasangannya. Menurut Olson dan Olson (Lestari, 2012:12) terdapat sepuluh aspek yang membedakan antara pasangan yang bahagia dan yang tidak bahagia, yaitu : 1. komunikasi
6. relasi seksual
2. fleksibilitas
7. kegiatan di waktu luang
3. kedekatan
8. keluarga dan teman
4. kecocokan kepribadian
9. pengelolaan keuangan
5. resolusi konflik
10. keyakinan spiritual
Diantara sepuluh aspek tersebuk, lima aspek yang lebih menonjol adalah komunikasi, fleksibilitas, kedekatan, kecocokan, kepribadian, dan resolusi konflik (Lestari, 2012:12).
4
Dalam Islam perkawinan merupakan ikatan untuk menyatukan dua insan antara laki-laki dan perempuan dibawah syariat Allah SWT untuk mentaati perintah dan menjalankan ibadah-Nya. Dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau Mitsaqon Ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.
Seperti
yang
dikatakan
dalam
Q.S.
An-Nisa:1
َّ ق ِه ٌْ َها َس ْو َج َها َو َب ث َ َس َوا ِح َدةٍ َو َخل ٍ َيا أَيُّ َها الٌَّاسُ اتَّقُىا َربَّ ُك ُن الَّ ِذي َخلَقَ ُك ْن ِه ْي ًَ ْف َّ ىى ِب ِه َو ْاْلَرْ َحا َم ۚ ِإ َّى َ َُّللا الَّ ِذي تَ َسا َءل ََّللا َ َّ ِه ٌْهُ َوا ِر َج ااًل َكثِيزاا َوًِ َسا اء ۚ َواتَّقُىا اى َعلَ ْي ُك ْن َرقِيباا َ َك “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu” Tujuan dari perkawinan itu sendiri menurut islam adalah untuk menciptakan keluarga yang sakinah mawadah dan warahmah, seperti yang dituliskan dalam QS. Ar-Rum:21
Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
5
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” Untuk mencapai hal tersebut Al-Qur’an juga menjelaskan bahwa suami istri harus memahami bahwa perkawinan bukan perkara kecil melainkan suatu perjanjian yang besar atau komitmen kepada Alah SWT. Hal ini tercantum dalam QS. AnNisa:21
Artinya : “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” Dari sini dapat diketahui bahwa perjanjian yang kuat atau komitmen dalam sebuah perkawinan sangat dibutuhkan dalam mewujudkan keluarga yang sakinah, mawadah dan warahmah. Bila hubungan antara suami dan istri dapat sekuat hingga batas ini, sungguh keduanya harus bertemu agar masing-masing bisa menjalankan tugas sebagai pakaian bagi yang lain yaitu mampu memberi keindahan, melengkapi, dan menempel padanya sebagai pelindung sekaligus penutup baginya. “Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka” (Q.S. Al-Baqarah:187). Inilah yang disebut mawaddah wa rahmah (Ibad, 2011:13). Cita-cita ingin memiliki perkawinan yang bahagia memang lumrah dan sangat indah, tetapi tidaklah mudah untuk diwujudkan. Kenyataan menunjukkan bahwa
6
banyak keluarga atau perkawinan mengalami kekecewaan, gagal dalam mewujudkan cita-cita
untuk
menciptakan
kebahagiaan
yang
diidam-idamkan.
Menurunnya
hubungan adalah perusakan dan kemungkinan terjadi pemutusan hubungan (Duck, 1982:113). Meningkatnya angka perceraian dianggap sebagai salah satu indikasi dari merosotnya nilai-nilai keluarga ini. Kasus perceraian di Indonesia, sebagaimana dipaparkan dalam laman Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama
MA
(www.badilag.net) juga mengalami peningkatan. Pada tahun 2007 jumlah perceraian yang diputus oleh pengadilan agama sebanyak 167.807 kasus, meningkat menjadi 213.960 kasus pada tahun 2008, dan 223.371 kasus pada tahun 2009. Meningkatnya angka perceraian telah memunculkan isu mengenai kemerosotan nilai perkawinan (Lestari, 2012:3). Apabila suatu hubungan mulai memperlihatkan tanda‐tanda memburuk, maka perpecahan tidak menutup kemungkinan akan terjadi. Akan tetapi jika dalam tanda‐tanda tersebut ada komitmen yang kuat antara kedua belah pihak yakni suami dan istri untuk mempertahankannya, maka mereka akan berusaha untuk mengatasi dan memperbaiki keadaan sehingga perpecahan tersebut dapat dihindari sedini mungkin. Fenomena perceraian yang sedang marak di Indonesia menyiratkan bahwa komitmen bukan lagi merupakan sesuatu yang sakral dalam perkawinan. Tingginya angka perceraian dewasa ini mencerminkan terjadinya penurunan kadar komitmen
7
dalam perkawinan.
Padahal, komitmen merupakan salah satu hal terpenting dalam
kehidupan perkawinan. Semakin tinggi intensitas komitmen yang dimiliki seseorang terhadap perkawinan yang dijalani, maka akan semakin stabil hubungan tersebut (Rusbult
&
Buunk,
1993:939).
Semakin
stabil
suatu
perkawinan,
maka
kecenderungan suami istri untuk bercerai akan semakin berkurang. Komitmen (Commitment) dalam Kamus Bahasa Inggris (Echols dan Shadily, 1992:130) diartikan sebagai janji, tanggungjawab. Senada dengan pengertian tersebut, Cooper dan Makin dalam Nurtjahjanti & Khasanah N (2006:6) menyatakan bahwa komitmen merupakan suatu keadaan batin untuk tetap mempertahankan hubungan yang
meliputi ketergantungan dan rasa percaya bahwa individu tidak
akan
meninggalkan hubungan tersebut. Oleh karenanya, Finkel dkk. (2002:116) menyatakan bahwa komitmen merupakan hal fundamental dalam suatu hubungan, khususnya hubungan romantis yang melibatkan perasaan yang lebih mendalam yaitu cinta, misalnya hubungan perkawinan. Ditengah maraknya kasus perceraian yang terjadi, beberapa orang justru memilih
untuk
menerima
kembali
pasangannya
atau
tetap
mempertahankan
perkawinannya. Menurut Spring (2006:132) wanita lebih mungkin berupaya untuk memperbaiki hubungan kecenderungan
untuk
dan
mempertahankan sedangkan laki-laki lebih punya
mengakhiri
dan
mencari
pengganti.
Selain
itu
Spring
(2006:133) juga menyebutkan bahwa wanita memiliki kemungkinan depresi dua kali lebih besar dibanding dengan laki-laki. Hal ini disebabkan karena kecenderungan
8
mereka untuk meratapi diri sendiri ketimbang menyalahkan orang lain. Maka dari itu untuk menciptakan komitmen dalam sebuah perkawinan bukan merupakan hal yang mudah bagi seorang istri dan membutuhkan waktu yang lama untuk menyembuhkan diri. Alasan lainnya adalah wanita lebih merasa berarti dalam menjalin hubungan dengan orang lain dan merasa lebih berharga ketika dicintai. Hal inilah yang mendasari peneliti lebih memfokuskan komitmen perkawinan pada seorang wanita yang berstatus sebagai seorang istri. Untuk
membangun
hubungan
dan
mempertahankan sebuah perkawinan
dengan banyaknya perbedaan bukanlah hal yang mudah. Banyak masalah dan hambatan yang akan dihadapi. Saat seseorang memutuskan untuk mempertahankan perkawinan tentunya kesempatan untuk mencapai goal dari perkawinan seperti untuk mendapatkan companionship, pemenuhan kebutuhan psikologis, perkembangan diri, fleksibilitas dan keterbukaan dalam perkawinan (Duvall & Miller, 1985:169) akan lebih besar. Dalam kasus ini ada sebuah fenomena yang terjadi pada salah satu keluarga, Suami istri yang masih tinggal serumah namun pisah ranjang. Tidak terjalin komunikasi sama sekali diantaranya. Mereka tidak pernah bertatapan wajah, dan tidak pernah berbicara sedikit pun mengenai hal apapun, bahkan memanggil nama saja sudah tidak pernah mereka lakukan. Mereka cenderung menghindar bila bertemu dan masuk ke dalam kamar masing-masing. Bila salah satu dari mereka baik suami maupun istri ingin menyampaikan sesuatu hal pada pasangannya, maka mereka meminta bantuan anak mereka untuk menyampaikan pesan tersebut. Terkadang
9
mereka juga menyampaikannya dengan berteriak. Jika istri melakukan kesalahan seperti misalnya menanak nasi terlalu keras atau lampu lupa untuk dimatikan, suami berteriak dan terkadang mengeluarkan bahasa kasar seperti “bego, tolol” dan lainnya. Jika sang istri bertemu dengan kakak-kakak beserta adik-adiknya, ia selalu menceritakan kejelekan atau keburukan dari suaminya. Setiap sang istri hendak pergi keluar rumah ia tidak pernah berbicara atau meminta izin pada suaminya dengan alasan takut dan tidak berani. Hal tersebut sudah terjadi selama belasan tahun. Istri mengatakan bahwa ia tidak pernah diberi uang oleh suaminya. Suami pun mengatakan sudah tidak percaya lagi pada istrinya dan selalu mengatakan hal buruk mengenai istrinya pada anak-anaknya dan mengharapkan agar anak-anaknya tidak melakukan hal yang sama seperti dilakukan oleh istrinya.
Seringkali sang istri
menangis di kamarnya dan mengeluh bahwa ia tidak pernah merasa disenangi oleh suaminya serta selalu membicarakan keburukan tentang apa yang terjadi dalam rumah tangganya dan membandingkan dengan masa kejayaannya dahulu sebelum ia menikah. Istri ditanya mengapa ia tetap mempertahankan perkawinannya ia menjawab bahwa ia memikirkan anak-anaknya bila ia berpisah dengan suaminya karena anakanaknya tidak menginginkan orangtua mereka bercerai. Kemudian ia mengatakan bahwa ia akan malu bila dikatakan janda oleh orang lain. Istri pun mengatakan ia tetap tidak akan bercerai meskipun ia merasa tidak senang, selalu sakit hati dan sering menangis dikamarnya.
10
Hal diatas menunjukkan bahwa suami istri tersebut termasuk kedalam kondisi keluarga yang tidak harmonis dan tidak berjalan layaknya keluarga yang rukun, damai, dan sejahtera. Sehingga keluarga seperti itu dapat dikatakan sebagai keluarga broken home. Yang dimaksud keluarga pecah (broken home) dapat dilihat dari dua aspek: (1) keluarga itu terpecah karena strukturnya tidak utuh sebab salah satu dari kepala keluarga itu meninggal atau telah bercerai, (2) orang tua tidak bercerai akan tetapi struktur keluarga itu tidak utuh lagi karena ayah atau ibu sering tidak di rumah, dan atau tidak memperlihatkan hubungan kasih sayang lagi. Misalnya orang tua sering bertengkar sehingga keluarga itu tidak sehat secara psikologis (Willis, 2008:2). Pada saat keluarga tersebut sudah tidak harmonis dan bahagia lagi, pasangan suami istri ini tetap mempertahankan perkawinan mereka dan memilih untuk tidak bercerai atau berpisah dengan pasangannya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Givertz, Segrin, & Hanzal (2009:147) menunjukkan pasangan suami istri yang berpisah memiliki tingkat komitmen personal yang rendah terhadap pernikahannya. Dalam hal ini suami istri tersebut tidak berpisah walaupun berada pada keadaan keluarga yang broken home. Komitmen yang kuat pada sang istri menjadikan mereka tetap mempertahankan perkawinannya meskipun mereka merasa tidak puas dan tidak bahagia. Maka komitmen menjadi hal yang penting untuk diketahui secara mendalam pada sang istri. Teori mengenai komitmen yang ada selama ini berangkat dari teori social exchange. Teori ini memiliki asumsi bahwa individu cenderung mencari interaksi
11
yang menyediakan keuntungan maksimal dengan pengorbanan seminimal mungkin (Miller & Perlman, 2009:248).
Teori social exchange juga memandang bahwa
perceraian terjadi karena masing-masing pihak merasakan lebih besarnya biaya perkawinan dibandingkan manfaat yang diperoleh (Sunarti, 2006:6). Berdasarkan teori social exchange fenomena seperti ini dapat mengakibatkan suatu hubungan dalam pernikahan itu berakhir atau terjadi perceraian. Namun hal itu tidak terjadi pada keluarga tersebut. Sang istri lebih memilih untuk mempertahankan perkawinannya walaupun dalam keadaan keluarga yang broken home. Selain itu yang menarik adalah di saat banyak sekali pasangan suami istri yang mengalami kehidupan rumah tangga yang tidak bahagia dan harmonis, mereka lebih memilih untuk bercerai. Apalagi sekarang didukung oleh pemberitaan di televisi dan media lain yang menyatakan bahwa pasangan suami istri seperti para artis mudah sekali untuk bercerai. Tetapi walaupun pasangan suami istri ini mengalami kehidupan rumah tangga yang tidak bahagia, tidak harmonis layaknya pasangan suami istri ideal selama lebih dari 25 tahun, mereka tetap mempertahankan perkawinan mereka. Komitmen kuat yang dimiliki dapat menyebabkan mereka tetap mempertahankan perkawinan meskipun dalam keadaan rumah tangga yang tidak harmonis atau keluarga yang broken home. Inilah yang menjadi dasar mengapa peneliti tertarik untuk meneliti hal tersebut. Maka dari itu peneliti ingin mengetahui komitmen perkawinan seorang istri pada keluarga broken home.
12
1.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas,
maka rumusan masalah ini adalah “Bagaimana komitmen perkawinan seorang istri pada keluarga broken home?”
1.3.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana komitmen
perkawinan seorang istri pada keluarga broken home. Tujuan teoritis dari penelitian ini adalah menambah literatur mengenai komitmen perkawinan pada keluarga broken home. Terutama pengaplikasian teori The Commitment Framework mengenai pemutusan hubungan dan mempertahankan suatu hubungan.
1.4.
Kegunaan Penelitian 2. Kegunaan Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan masukan teoritis untuk kepentingan konseling dan untuk mengembangkan penelitian selanjutnya. 3. Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat berguna dalam memberikan informasi mengenai komitmen perkawinan seorang istri pada keluarga broken home. Dari penelitian ini diharapkan masyarakat yang memiliki
13
masalah yang sama tidak merasa sendiri karena banyak orang yang mengalami pengalaman serupa. Dari penelitian ini juga diharapkan agar pasangan
suami istri mempunyai komitmen
perkawinan yang kuat
sehingga dapat memperbaiki hubungan perkawinan mereka dan terhindar dari perceraian.