BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Mendambakan pasangan merupakan naluri dasar setiap manusia, karena manusia memang diciptakan Tuhan dengan berpasang-pasangan. Agar bertemunya makhluk menjadi satu pasangan dapat mendatangkan ketentraman dan kedamaian hidup, maka perlu diatur dan diikat dalam suatu lembaga yang dihormati dan ditaati, yaitu lembaga perkawinan. Agama Islam mengisyaratkan perkawinan sebagai satu-satunya bentuk hidup secara berpasangan yang dibenarkan, yang kemudian dianjurkan untuk dikembangkan menjadi keluarga.1 Dalam kehidupan rumah tangga, tidak selalu terjadi keharmonisan, meskipun jauh hari sebelumnya, sewaktu akan melaksanakan perkawinan, telah dikhutbahkan agar suami istri bisa saling menjaga untuk menciptakan keluarga yang sakinah mawadah warahmah. Anjuran ini benar dan sangat sesuai dengan ajaran Allah swt, mengenai perkawinan. Dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa tujuan perkawinan adalah menciptakan keluarga yang sakinah dan harmonis. Akan tetapi, dalam kenyataannya, umat manusia tidak selalu bisa mengikuti ajaran yang dianjurkan al-Qur’an tersebut. Sebagai manusia biasa, sering terjadi kesalahpahaman antara suami dan istri. Kesalahan-kesalahan ini adakalanya bisa diselesaikan secara baik, tetapi adakalanya malah sebaliknya 1
Forum Kajian Kitab Kuning (FK3), Kembang Setaman Perkawinan: Analisis Kritis Kitab Uqud al-Lujjain, (Jakarta: Kompas, 2005). h. ix
1
2
artinya tidak bisa diselesaikan. Al-Qur’an menganjurkan apabila terjadi perselisihan suami istri, selesaikanlah secara baik-baik dengan jalan musyawarah. Namun penyelesaian ini pun terkadang masih kurang memberikan keadilan pada masing-masing pihak sehingga tidak jarang si istri melakukan tindakan meninggalkan rumah tanpa izin/berbuat “melawan” suami. Tindakan ini dalam fiqih disebut dengan istilah nusyuz.2 Ironisnya, selain adat, tafsir agama seringkali dipakai sebagai unsur pembenaran. Dan cuplikan sebuah ayat al-Qur’an, Q.S. an-Nisa’(4) : 34, yang seringkali dijadikan senjata:
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri di balik pembelakangan suaminya, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kalian khawatiri nusyuznya3, maka 2
Syafiq Hasyim, Hal-hal yang Tak Terpikirkan tentang Isu-isu Keperempuanan dalam Islam, (Bandung: Mizan, 2001), h. 182-183. 3 Nusyuz adalah: meninggalkan kewajiban bersuami istri. Nusyuz dari pihak istri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.
3
nasihatilah mereka dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaati kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.4 Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”5 Kalau ayat ini dipahami secara tekstual, dapat dijadikan alat legitimasi suami untuk melakukan kekerasan berlapis terhadap istri, yakni tidak memberi nafkah batin (pisah ranjang) dan memukul istrinya. Jika ayat ini dipahami sepenggal dan tidak dikaitkan dengan ayat lainnya, maka pengertiannya akan bertentangan dengan prinsip al-Qur’an yang menganjurkan agar suami bergaul dengan istrinya melalui cara yang baik (ma’ruf) sebagaimana termaktub dalam surat an-Nisa’ (4): 19.6 Pernyataan al-Qur’an yang menjadikan pemukulan sebagai alternatif terakhir bagi suami yang istrinya nusyuz tidak boleh dipahami sebagai anjuran untuk berbuat kekerasan terhadap perempuan. Sebab, dalam ayat yang sama di kemukakan cara yang lebih utama dan efektif ketimbang pemukulan itu sendiri, yakni mauizhah dan pisah ranjang.7 Mauizhah (memberikan nasihat yang baik) dan pisah ranjang (bukan pisah rumah dan bukan saling mendiamkan) sungguh merupakan metode jitu yang diperkenalkan al-Qur’an untuk meminimalisir tindak kekerasan berupa pemukulan. Dalam konteks sosial budaya yang begitu permisif terhadap
4
Maksudnya: untuk memberi pelajaran kepada istri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasihat, bila nasihat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. Bila cara pertama telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya. 5 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: CV Toha Putra, 1996), h. 66. 6 Sri Suhandjati Sukri, Islam Menentang Kekerasan terhadap Istri, (Yogyakarta: Gama Media, 2004), h. 40. 7 Badriyah Fayumi, Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan, Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda, (Jakarta: Rahima, 2002), h. 110.
4
kekerasan, kedua metode yang dikemukakan ayat ini benar-benar menawarkan sesuatu yang melawan arus sekaligus mengakomodir kepentingan perempuan.8 Sayyid Quthb bahkan menyatakan ayat ini merupakan satu di antara banyak ayat. Islam menganggap bahwa masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), yang terjadi dikalangan Muslim dewasa ini tindaklah bersumber dari ayat al-Qur’an (surat an-Nisa’ (4): 34) ini. Laki-laki yang memukul istri mereka untuk tujuan mengembalikan keharmonisan rumah tangganya, berarti dia belum bisa membaca kehendak al-Qur’an yang sesungguhnya. Dengan begitu mereka tidak dapat merujuk pada Q.S. an-Nisa’ (4): 34, sebagai pembenar tindakan mereka.9 Dalam skripsi ini, penulis menggunakan dua tafsir, yaitu Tafsir alMisbah dan Tafsir fi Zhilalil Qur’an. Karena keduanya dalam penjelasannya berbeda dan metode penyampaiannya sangat bagus. Sekilas tentang tafsir al-Misbah dan tafsir fi Zhilalil Qur’an. Kenapa Tafsir al-Misbah menjadi rujukan penulis dalam pembuatan skripsi ini?. Karena kandungan ilmu yang disampaikan sangat berbobot, dan menurut saya adalah ilmu murni, ilmu yang menjadi “objek” utama dalam dakwah beliau bukan faktor lain. Dan metode penyampaiannya sangat bagus. Tafsir al-Misbah adalah corak adabi ijtima‘i, yaitu Corak tafsir yang menitikberatkan penjelasan ayat al-Qur’an pada segi-segi ketelitian redaksinya, 8
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Juz 1, (Cairo: Dar asy-Syurua, 1985), h.
605-606. 9
Mansour Faqih, dkk, dalam Membincang Feminisme:Diskrusus Gender Perspektif Islam, (Surabaya: Risalah gusti, 1996), h. 56.
5
menguraikan makna dan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dengan susunan kalimat yang indah atau menarik, aksentuasi yang menonjol pada tujuan utama turunnya al-Qur’an, yaitu memberi petunjuk kepada manusia, dan penafsiran ayat al-Qur’an dikaitkan dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat. Dan sebuah tafsir al-Qur’an lengkap 30 Juz pertama dalam kurun waktu 30 tahun terakhir10 Dan juga kenapa Fi Zhilalil Qur’an menjadi rujukan dalam pembuatan skripsi ini?. Karena penulis sangat tertarik dalam pembahasannya dan cara penyampaiannya juga mudah dicerna serta dipahami. Dan dalam aspek kebahasaan memberikan porsi yang banyak. Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an (Di bawah Naungan al-Qur’an) adalah ditulis dengan bersandarkan kepada kajian-kajian beliau yang mendalam, yang ditimba secara langsung dari al-Qur’an dan as-Sunnah, di samping bersumber kepada kitab-kitab tafsir yang mu’tabar. Beliau memasuki ke dalam penulisan tafsir ini setelah melengkapkan dirinya dengan pengalaman dan kajian-kajian di bidang penulisan, keguruan, pendidikan dan pengamatannya yang luas dan tajam dalam perkembangan sosial dan politik dalam dunia semasa. Beliau telah menghabiskan lebih dari separuh usianya dalam pembacaan dan penela’ahan yang mendalam terhadap hasil-hasil intelektual manusia di dalam berbagaibagai bidang pengkajian dan teori-teori, berbagai aliran pemikiran semasa dan berbagai kajian mengenai agama yang lain.11
10
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas Berbagai Persoalan Umat, cet, ke-9, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 186. 11
Sayyid Quthb, Op. Cit., h. 608.
6
Berangkat dari latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai permasalahan tersebut dalam penelitian yang berjudul: “TAFSIR SURAT AN-NISA’ AYAT: 34 MENURUT TAFSIR AL-MISBAH DAN TAFSIR FI ZHILALIL QUR’AN”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah: 1.
Bagaimana penafsiran surat an-Nisa’ ayat 34 dalam Tafsir al-Misbah dan Tafsir Fi Zhilalil Qur’an?
C. Penegasan Istilah Untuk memudahkan pemecahan masalah agar menjadi jelas, dan diharapkan tidak akan menimbulkan perbedaan pengertian maka dipandang perlu untuk memberikan penegasan pada istilah-istilah dalan judul skripsi ini. Arti kekerasan, sifat (hal) pertama: keras, kegiatan, kekuatan dan sebagainya. Kedua: paksaan, kekejangan dan sebagainya.12 Pengertian KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga) menurut pasal Undang-Undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga sebenarnya adalah: “Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik , seksual, psikologis, 12
Poerwadarminta, WJS, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet, ke-16, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), h. 488.
7
dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”13 D. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang dicapai dalam penulisan skripsi ini, yaitu antara lain: 1. Untuk mengetahui penafsiran surat an-Nisa’ ayat 34 dalam Tafsir alMisbah dan Tafsir Fi Zhilalil Qur’an.
E. Kegunaan Penelitian Kegunaan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menambah perbendaharaan pemikiran dalam dunia akademis. 2. Memberikan kontribusi keilmuan dalam bidang hukum Islam khususnya berkenaan dengan Surah an-Nisa’ ayat 34 dalam Tafsir. 3. Sebagai lahan studi bagi pengkajian selanjutnya yang lebih mendalam tentang masalah-masalah yang sama atau serupa.
F. Tinjauan Pustaka Ketika istri melakukan tindakan nusyuz (meninggalkan rumah tanpa izin suami/berbuat melawan suami). Allah SWT. menetapkan beberapa cara menghadapi kemungkinan nusyuz-nya istri, sebagaiman dinyatakan-Nya dalam al-Qur’an Surah an-Nisa’ (4): 34. Ada beberapa mufasir dan intelektual Islam 13
Rika Saraswati, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga, (Bandung: Aditya Bakhti, 2006), h. 19.
8
yang melakukan pengkajian dan penafsiran terhadap ayat tersebut, antara lain M. Quraish Shihab dan Sayyid Quthb. Penelitian ini akan membedah pandangan M. Quraish Shihab dan Sayyid Quthb tentang analisis Surat an-Nisa’ ayat 34 dalam Tafsir al-Misbah dan Tafsir Fi Zhilalil Qur’an. Penulis akan menggunakan literatur yang berbicara mengenai hal tersebut. Sebagai rujukannya antara lain: Buku yang berjudul Perempuan, karya M. Quraish Shihab. Di dalam buku ini, ia menjelaskan bahwa nusyuz-nya seorang istri berarti kebencian istri kepada
suaminya
sambil
menempatkan
dirinya
di
atasnya,
dengan
membangkang perintahnya (yang tidak bertentangan dengan ajaran agama), sedangkan matanya berpaling darinya menuju laki-laki lain.14 Selanjutnya Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian alQur’an Volume 2, karya M. Quraish Shihab. Di dalam buku tafsir ini, M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa al-Qur’an Surah an-Nisa’ (4): 34 menjelaskan tahapan yang dilakukan suami dalam menghadapi istri yang nusyuz, yakni: Menasihati, mendiamkan istri di tempat tidur, dan memukul, namun dengan syarat pukulan ini tidak boleh mencederainya namun harus tetap menunjukkan sikap tegas. Untuk masa kini, dan di kalangan terpelajar, pemukulan bukan lagi suatu cara yang tepat. Bahkan, pemerintah jika mengetahui suami tidak menempatkan sanksi ini secara benar, boleh menjatuhkan hukuman kepada laki-laki yang memukul istrinya.15
14
M. Quraish Shihab, Perempuan, (Jakarta: Lentera Hati, 2007). h. 289. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Volume 2, h. 409-412. 15
9
Sayyid Quthb menjelaskan kata nusyuz merupakan pernyataan terjadinya ketidakharmonisan dalam suatu perkawinan. Dalam menghadapi keretakan perkawinan, bagaimanakah penyelesaian masalah yang dianjurkan al-Qur’an? Ternyata terdapat 1. Solusi verbal: baik itu antara suami istri itu sendiri (seperti dalam surat an-Nisa’(4): 34). Jika diskusi terbuka menemui jalan buntu, maka bisa dilakukan solusi yang lebih drastis. 2. Boleh dipisahkan. Hanya dalam kasus-kasus yang ekstrim langkah, 3. Memukul mereka. Dalam pemukulan ini harus dalam bentuk ta’dib dan edukatif, yang harus disertai dengan rasa kasih sayang bukan atas dasar kebencian.16 Dalam buku Hukum Perkawinan Islam di Indonesia karangan Amir Syarifudin, dengan tegas menyatakan bahwa nusyuz haram hukumnya karena menyalahi sesuatu yang telah ditetapkan agama melalui al-Qur’an dan Hadits Nabi. Dalam hubungannya kepada Allah pelakunya berhak atas dosa dari Allah dan dalam hubungannya dengan suami dalam rumah tangga merupakan suatu pelanggaran terhadap kewajiban suami istri.17 Kemudian Tafsir al-Ahkam karya Abdul Halim Hasan Binjai yang menjelaskan bahwa cara yang ketiga adalah memukul. Akan tetapi pukulan yang dibolehkan terhadap istri itu ialah pukulan yang tidak sampai menyakiti badannya, melainkan semata-mata untuk memberinya azab (peringatan) dan menegurnya supaya dia kembali kepada tabiat aslinya.18
16
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, h. 357. Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Gramedia, 2005), h. 191. 18 Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir al-Ahkam, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 26417
265.
10
Kemudian Tafsir al-Azhar karya Hamka yang menjelaskan bahwa cara yeng ketiga (memukul istri) ini hanya dilakukan kepada perempuan yang memang sudah patut dipukul. Menurut Hamka di dalam kitab-kitab fiqh, para ulama memberi petunjuk cara memukul, yaitu supaya jangan memukul mukanya, jangan pada bagian badannya yang akan merusak, serupa juga dengan memukul anak.19 Meskipun demikian, apa pun syarat yang diungkapkan dalam hal pemukulan, nusyuz tetap menjadi ajang legitimasi yang membolehkan seorang suami melakukan tindak kekerasan terhadap istri sebab yang dinamakan tindakan kekerasan tidak hanya sebatas tindakan fisik, tetapi hal-hal yang menyangkut perasaan juga masuk dalam kategori.20 Budaya Arab pada masa turunnya ayat di atas, ketika para istri melakukan nusyuz, suami mereka langsung memukulnya. Islam memberikan cara yang lebih bijaksana dengan tidak langsung memukul, tetapi memperingatkan mereka lebih dulu. Jika pun memukul, harus dilakukan dengan lemah lembut. Pesan yang dapat ditangkap di sini adalah memukul sebenarnya alternatif terakhir yang sebaiknya tidak dilakukan untuk menghukum istri yang nusyuz.21 Dalam menghadapi masalah nusyuz ini istri sebaiknya suami lebih memperhatikan hal-hal sebagai berikut: Pertama, prinsip keadilan. Kita yakin al-Qur’an selalu dalam posisi yang adil dalam mengemukakan persoalan, 19
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 2005), juz V, h. 63. Syafiq Hasyim, Hal-hal yang Tak Terpikirkan tentang Isu-isu Keperempuanan dalam Islam, (Bandung: Mizan, 2001), h. 185. 21 Forum Kajian Kitab Kuning (FK3), Kembang Setaman Perkawinan: Analisis Kritis Kitab Uqud al-Lujjain, h. 14. 20
11
artinya ketika melakukan nusyuz, harus dilihat apa sebabnya. Jadi, yang dimaksud dengan prinsip keadilan dalam melihat nusyuz adalah prinsip ketika istri nusyuz tidak hanya dipahami pada sisi ketidaktaatan istri, tetapi harus dipahami secara menyeluruh. Kedua, prinsip mu’asyarah bi al-ma’ruf. Prinsip ini pada dasarnya merupakan prinsip umum dari keseluruhan tata hubungan suami istri, baik istri atau suami, masing-masing harus saling mempergauli secara baik. Apabila prinsip ini benar-benar dilaksanakan, kecil kemungkinan tidak akan terjadi nusyuz.22 Pemukulan
dalam
Surah
an-Nisa’(4):
34
memang
sering
disalahartikan dan disalahgunakan yaitu untuk melegitimasi kekerasan suami terhadap istri. Padahal Islam sebagai agama rahmatan li al-‘alamin telah memberikan penghargaan kepada kaum perempuan sesuai dengan harkat dan martabatnya.23 Dari literatur-literatur di atas penulis tertarik untuk mengkaji pandangan M. Quraish Shihab dan Sayyid Quthb tentang Surah an-Nisa’ 34 dalam Tafsir al-Misbah dan Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, karena setelah disinyalir ternyata
masih
minim
dari
segi
pembahasan
maupun
pengkajian-
pengkajiannya.
G. Kerangka Teori
22
Syafiq Hasyim, Hal-Hal yang Tak Terpikirkan tentang Isu-Isu Keperempuanan dalam Islam, h. 187. 23 La Jamma dan Hadidjah, Hukum Islam dan Undang-Undang Anti Kekerasan dalam Rumah Tangga, (Surabaya: Bina Ilmu, 2008), Cet. 1, h. iii-iv.
12
Mengenai Surah an-Nisa’(4): 34, ath-Thabari mengatakan bahwa ayat ini berkaitan dengan hubungan kekeluargaan antara suami istri. Ayat ini memberikan legislasi kepada kaum laki-laki bahwa mereka memiliki otoritas yang lebih atas perempuan, sehingga suami berhak untuk mendidik istrinya agar istrinya mau taat kepadanya. Ketundukan seorang istri kepada suaminya ini dilakukan karena adanya ikatan pernikahan.24 Jika dilihat dari asbabun nuzul (sebab turunnya ayat) dari Surah anNisa’(4): 34 itu, terkait dengan kisah Habibah binti Zaid yang mengadu kepada Rasulullah, karena telah ditampar oleh suaminya, sampai meninggalkan bekas diwajahnya. Maka Rasulullah bersabda, “Ia (suamimu) tidak behak berbuat demikian (mumukul)”. Maka turunlah ayat tersebut sebagai tuntunan mendidik istri.25 Dari ayat itu, diketahui adanya tiga tahapan yang perlu dilakukan oleh seorang suami, jika istrinya menyimpang dari norma agama. Tahap pertama adalah dinasihati. Jika dengan nasehat itu perilaku istri belum berubah, maka dapat ditempuh dengan tahap kedua, dengan memisahkan tempat tidurnya. Hal ini dimaksudkan agar istri dapat melakukan intropeksi mengenai kesalahan yang diperbuatnya. Dengan demikian diharapkan akan dapat memperbaikinya. Selain itu, dengan pisah ranjang suami ataupun istri akan dapat membayangkan betapa tidak nyamannya terpisah dari suami/istri. Sehingga keduanya akan berupaya memperbaiki kekurangan masing-masing dan 24
Munirul Abidin, Paradigma Tafsir Perempuan di Indonesia, (Malang: UIN Maliki Press), h. 41-42. 25 Qamaruddin Shaleh, et, Al., Asbabun Nuzul, (Bandung : CV Diponegoro, 1982), h. 131.
13
berusaha membina keharmonisan rumah tangga sebagamana komitmen yang mereka buat sewaktu menikah. Apabila dengan pisah tempat tidur, tidak membawa perubahan, maka dapat ditempuh dengan tahap ketiga, yakni diperbolehkan memukul. Namun pengertian memukul di sini hanyalah simbol dari peringatan yang keras. Melalui cara itu, sesungguhnya suami telah dapat melukai perasaan si istri. Karena itu, Rasulullah tidak membenarkan Zaid memukul fisik Habibah (istrinya). Dalam Islam, Rasulullah, SAW. mensunahkan kepada orang muslim agar tidak memukul istrinya, Nabi sendiri tidak pernah memukul istrinya hal itu menunjukan bahwa memukul adalah tercela yang tergolong ke dalam perbuatan makruh bahkan haram, karena Nabi sangat marah dan murka terhadap para suami yang memukul istri mereka, sebagaimana kisah dimasa Nabi banyaknya suami yang memukul istrinya sehingga mereka mengadu kepada Rasul, seraya Rasul marah dan keras terhadap suami yang telah memukul istrinya. Kalaupun terpaksa dan tak bisa mengelak untuk memukul, maka Rasulullah, SAW. menganjurkan untuk memukul dengan siwak seperti sikat gigi dan semacamnya.26 Menurut Wahbah Zuhaili, saat suami melakukan pemukulan terhadap istri haruslah dihindari, 1. bagian wajah, sebab wajah adalah bagian tubuh yang paling dihormati, 2. Bagian perut dan bagian tubuh lain yang dapat menyebabkan hal yang negatif atau kematian, sebab pemukulan tidak dimaksudkan untuk mencederai apalagi membunuh istri yang nusyuz 26
Ana Fitri Rahayu, Makalah: Model-Model Perceraian (Nusyuz), (Surabaya: Fakultas Syari’ah Jurusan Al Akhwal Syakhsiyah Institut Agama Islam Sunan Ampel, 2009), h. 7.
14
melainkan untuk mengubah sikap nusyuznya, 3. Memukul hanya pada suatu tempat, karena akan menambah rasa sakit dan memperbesar kemungkinan timbulnya bahaya di daerah lain. Dalam soal memukul istri yang nusyuz, dalam Mazhab Hanafi dianjurkan agar menggunakan alat berupa sepuluh lidi atau kurang
atau
dengan
alat
yang
tidak
akan
melukai
istri.
Para ulama juga memberi petunjuk cara memukul itu, yakni supaya jangan memukul mukanya, jangan pada bagian badannya yang akan merusak, serupa juga dengan memukul anak.
H. Metode Penelitian Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dan merupakan penelitian pustaka (Library Research), yaitu, penelitian yang berdasarkan pada kajian pustaka yang sesuai dengan penelitian ini. b. Sumber Data Sumber data ini terdiri dari dua macam, sesuai dengan jenis data yang dikumpulkan, yaitu sumber data primer dan sekunder. 1. Sumber data primer, yaitu sumber data yang utama yang akan ditelaah sekaligus terdapat sinkronisasi dengan pembahasan. Berdasar dari sumber inilah diadakan studi analisis. Yang menjadi pokok bahan penelitia dalam skripsi ini diantaranya adalah buku Tafsir Al-
15
Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al- Qur’an karangan M. Quraish Shihab, Tafsir Fi-Zhilalil Qur’an karangan Sayyid Quthb. 2. Sumber Data Sekunder, yaitu sumber data yang merupakan pelengkap dan pendukung dari data utama yang berkaitan dengan pembahasan. Secara global dapat dikatakan bahwa data-data ini sebagai referensi penguat yang akan membentengi landasan teoritis maupun analisanya. Sumber data yang mendukung pembuatan skripsi antara lain: Tafsir Al-Ahkam karangan Abdul Halim Hasan Binjai.27 Dan dalam buku Islam Menentang Kekerasan Terhadap Istri yang ditulis oleh Sri Suhandjati Sukri, bahwasannya Allah memerintahkan kepada laki-laki dan wanita (termasuk suami istri) agar saling mengingatkan serta mengajak berbuat kebaikan dan mencegah kemungkaran, agar tidak terjadi kekerasan dalam rumah tangga, dalam buku Hukum Perkawinan
Islam
(membangkang)
karangan
terhadap
Ahmad
Azhar
Basyir,
nusyuz
dalam
hidup
kewajiban-kewajiban
perkawinan dapat terjadi pada pihak istri dan dapat pula terjadi pada pihak suami,28 dan sumber-sumber lain yang berkaitan. 3. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode kepustakaan yaitu dengan cara memilih buku yang diperlukan, kemudian membaca, memahami, mengidentifikasi, dan
27
Ibid., h. 265. Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta : UII Press, 1999), h. 88. 28
16
menganalisis data-data yang dipandang relevan dengan pembahasan masalah, kemudian setelah data-data tersebut terkumpul, selanjutnya dikelompokkan dan diklasifikasikan dalam bab-bab, dengan tujuan untuk mempermudah dalam proses analisis data yang didapat. 4. Analisis Data Dalam menganalisis data, penulis menggunakan analisis isi (content analisys), yaitu suatu teknik sistematik untuk menganalisis isi pesan dan mengolahnya, dalam artian menangkap pesan yang tersirat dari satu atau beberapa pernyataan. Dalam hal ini, analisis ini digunakan untuk menganalisis makna yang terselubung dalam pemikiranpemikiran
M.
Quraish
Shihab
dan
Sayyid
Quthb
yang
membedakannya dengan mufasir atau pemikir hukum Islam lainnya. I. Sistematika penulisan Dalam penelitian ini, agar memudahkan pembaca maka penulis akan menggunakan sistematis penulisan sebagai berikut: BAB I : Pendahuluan meliputi: Latar belakang, Rumusan masalah, Penegasan istilah, Tujuan penelitian, Kegunaan penulisan, Tinjauan pustaka, Kerangka Teori, Metode penelitian, dan Sistematika penulisan. BAB II : Tujuan Umum tentang KDRT dalam Islam, meliputi: Pengertian dan Dasar Hukum KDRT, Bentuk dan Macam-Macam KDRT, dan Sebab-Sebab Terjadinya KDRT dan Solusi Terjadinya KDRT. Dan pengertian Tafsir al-Misbah dan Tafsir Fi Dzilalil Qur’an.
17
BAB III: Analisis Q.S. an-Nisa’ (4): 34 dalam Tafsir al-Misbah dan Tafsir Fi Dzilalil Qur’an, meliputi: Spesifikasi Penafsiran M. Quraish Shihab, Pandangan M. Quraish Shihab analisis Surah an-Nisa’ ayat 34 dalam Tafsir alMisbah, Spesifikasi Penafsiran Sayyid Quthb, Pandangan Sayyid Quthb analisis Surah an-Nisa’ ayat 34 dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an. BAB IV : Analisis Persamaan dan Perbedaan Surah an-Nisa’ ayat 34 dalam Tafsir al-Misbah dan Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Pandangan M. Quraish Shihab dan Sayyid Quthb. BAB V : Penutup meliputi: kesimpulan, saran-saran dan penutup.
18
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEKERASAN WANITA
A. Pengertian Kekerasan Kekerasan beberapa tahun belakangan telah menjadi kosakata paling aktual sangat populer di tengah-tengah peradaban global. Kekerasan telah memasuki beberapa wilayah komunitas, baik itu di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, pemikiran keagamaan, bahkan telah masuk pada wilayah sosial yang paling eksklusif yang bernama keluarga. Sangat ironis bahwa dalam masyarakat modern yang di bangun di atas prinsip rasionalitas, demokrasi dan humanisasi budaya kekerasan justru semakin menjadi fenomena kehidupan yang tak terpisahkan.29 Kekerasan sendiri telah ada sejak dulu, pada pusaran abad enam dan tujuh masehi di kota Makkah misalnya, setiap saat malapetaka bisa menimpa golongan yang lemah. Mereka seperti kaum miskin, para budak, wanita dan anak-anak dapat menjadi korban kekerasan yang di lakukan oleh orang-orang kaya ataupun para laki-laki yang berkuasa atas mereka.30 Kekerasan terhadap perempuan merupakan sebuah persoalan lama yang hingga kini masih terus menjadi wacana publik. Diawali dari cerita-cerita lama, memang perempuan selalu mendapat perlakuan diskriminatif. Dalam tradisi Yunani Kuno misalnya, perempuan dianggap sebagai makhluk lemah, 29
Abdurrahman Wahid, et. Al., Menakar Harga Perempuan, Eksplorasi Lanjut atas Hak-Hak ReproduksiPerempuan dalam Islam, Ed. Syafiq Hasyim, (Bandung: Mizan, 1999), h. 203. 30 Farha Ciciek, Ikhtiar Mengatasi Kekerasan di dalam Rumah Tangga, (Jakarta: LKAJ, 1990), h. 1.
19
tidak mempunyai independensi dan hanya diabdikan untuk kepentingan lakilaki. Hal ini pernah digambarkan oleh Aristoteles bahwa hubungan laki-laki dan perempuan bisa diperlakukan sesuka hati.31 Kata kekerasan menurut bahasa adalah: Perihal (yang bersifat, berciri) keras, perbuatan seseorang atau segerombolan orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain, paksaan.32 Adapun pengertian kekerasan secara umum menurut Soetandyo Wigyosoebroto adalah suatu tindakan yang dilakukan seseorang (sejumlah orang yang berposisi kuat) terhadap seseorang (sejumlah orang yang berposisi lemah). Bersarana kekuatannya entah fisik maupun non fisik yang superior, dengan kesengajaan untuk menimbulkan derita di pihak yang tengah menjadi objek kekerasan itu.33 Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan pembedaan kelamin yang berakibat kesengsaraan dan penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi di mana pelakunya harus mempertanggungjawabkan tindakannya kepada masyarakat. 34
31
Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, (Jakarta: elKAHFI, 2008), h. 342. 32 Departemen pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), h. 750. 33 Soetandyo Wigyosoebroto, Islam dan Kontruksi Seksualitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2002), h. 133. 34 Zaitunah Subhan, Op.Cit., h. 341.
20
Dalam pandangan teologi Islam yang di anut selama ini, kekuasaan hirarki laki-laki atas perempuan adalah keputusan Tuhan yang tidak bisa di ubah. Argumen yang diajukan oleh para Ulama adalah Q.S. an-Nisa’ (4): 34.
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri di balik pembelakangan suaminya, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kalian khawatiri nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaati kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” 35 Terhadap kata qawwamun ini, semua mufassir Al-Qur’an masa klasik maupun modern mengartikannya sebagai pemimpin, penanggung jawab, penguasa, pelindung dan yang sejenisnya.36 Meskipun konteks ayat ini menjelaskan kekuasaan laki-laki atas perempuan dalam lingkup domestik
35
Depag RI, Al-Qur’an Al- Karim dan Terjemahannya, (Semarang: CV Toha Putra,
1996), h. 6666. 36
Abdurrahman Wahid, Op.Cit, h. 208.
21
(rumah tangga), sebagaimana Ulama menggeneralisasikannya dalam lingkup yang lebih luas, seperti urusan sosial dan politik. Dominasi laki-laki terhadap perempuan yang dapat menimbulkan kekerasan dapat pula terjadi pada perkara hubungan seksual di dalam perkawinan. Pelegalan perkara tersebut juga didasari pada hadits Nabi:
(“إذادعها: قال رسول هللا صلى هللا عليه والهه وسهل:عن ابى هريرة رضى هللا عنه قال ( " فبات غضبانا عليها لعنتها المالئكةحتى تصبح,الرجل امراته الى فراشه فأبت Artinya: “Jika suami mengajak istrinya berhubungan seks, lalu si istri menolaknya dan karena itu suaminya menjadi marah, maka ia akan mendapatkan laknat dari para malaikat sampai pagi”.37 Lebih lanjut mengenai kekuasaan laki-laki atas perempuan, pada tataran realitas sosial, pandangan ini sering di jadikan dasar bagi kaum laki-laki untuk melegitimasi tindakan superioritasnya, termasuk kekerasan terhadap kaum wanita baik di dalam wilayah sosial, politik, maupun ekonomi. Padahal sebagaimana diketahui bahwa agama Islam tidak menyukai tindak kekerasan baik itu menyangkut kekerasan fisik, psikis, ekonomi dan seksual.38 Berdasarkan ayat Q.S.an-Nisa’(4): 34, jelas bahwa agama Islam di hadirkan di tengah-tengah manusia dalam rangka menegakkan kemaslahatan, kasih sayang dan keadilan menyeluruh. Dengan artian bahwa kekerasan menurut pandangan Islam, disamping harus dihindari, hanya dinyatakan absah untuk dilakukan apabila dimaksudkan untuk kepentingan manusia dan kemanusiaan. 37
Al-Bukhori, Jawahirul al-Bukhori, ed. Musthofa Muhammad Hamrah, Kitab alHibah “bab Man Da’a Imro’atuhu Ila Firaasyihi Fa’abat”, hadits ke-437, ( Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h. 204. 38 Abdurrohman Wahid, Op.Cit, h. 208.
22
B. Bentuk-bentuk dan macam-macam KDRT Dalam ajaran Islam terkandung nilai-nilai universal yang menjadi petunjuk bagi kehidupan manusia dulu, kini dan akan datang, nilai-nilai tersebut antara lain nilai kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, kemerdekaan dan sebagainya. Berkaitan dengan nilai kesetaraan dan keadilan, Islam tidak pernah mentolerir adanya perbedaan atau perlakuan diskriminasi diantara umat manusia. Namun pada kenyataannya hubungan antara laki-laki dan perempuan di tengah masyarakat masih timpang. Hal itu di tandai dengan masih banyaknya kasus kekerasan yang terjadi pada wanita, terutama kekerasan dalam rumah tangga.39 Mengenai kekerasan sendiri, dilihat berdasarkan lingkup terjadinya kekerasan terhadap perempuan dapat dikelompokkan dalam tiga golongan, jika dilihat dari pelaku dan lingkup kejadiannya, diantaranya:40 1. Kekerasan dalam wilayah domestik, meliputi kekerasan yang pelaku dan korbannya terikat hubungan keluarga atau kedekatan karena faktor lain. Seperti penganiayaan terhadap istri, mantan istri, pacar/tunangan, anak kandung/anak tiri, dan orang tua.41 2. Kekerasan dalam wilayah publik yang terjadi di luar hubungan keluarga. Kekerasan bentuk ini dapat terjadi di tempat kerja termasuk di dalamnya
39
Batara Ratna Munti, Perempuan Sebagai Kepala Rumah Tangga, (Jakarta: LKAJ dan The Asia Foundation, 1999), h. 36-38. 40 Sri Suhandjati Sukri, Islam Menentang Kekerasan Terhadap Istri, (Yogyakarta: Gama Media, 2004), h. 4. 41 Eko Prasetyo, Perempuan dalam Wacana Perkosaan, (Yogyakarta: PKBI, 1997), h. 10.
23
kerja rumah tangga, seperti pembantu, baby sister, perawat lanjut usia. Termasuk di wilayah publik adalah pornografi, perdagangan perempuan, pelacuran paksa, dan sebagainya. 3. Kekerasan yang dilakukan oleh negara atau individu/kelompok yang mewakili negara seperti pejabat, polisi/militer. Termasuk dalam kekerasan lingkup negara adalah kekerasan yang dibenarkan atau dibiarkan oleh negara, seperti perkosaan, pembunuhan atau penganiayaan dalam situasi konflik bersenjata.42 Mansour Faqih dalam buku perempuan dalam wacana perkosaan membagi bentuk kekerasan gender ke dalam 3 (tiga) macam, yaitu : 1. Kekerasan terhadap pribadi (personal violence). Kaum perempuan menderita dan menjadi korban kekerasan secara fisik dan mental dalam kehidupan mereka sehari-hari. 2. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). KDRT merupakan masalah serius yang kurang mendapat tanggapan dari masyarakat. Pertama, hal tersebut dikarenakan KDRT memiliki ruang lingkup yang relatif tertutup (pribadi) dan terjaga ketat privasinya karena persoalannya yang terjadi di dalam keluarga. Kedua, KDRT sering dianggap wajar karena diyakini bahwa memperlakukan istri sekehendak suami merupakan hak suami sebagai pemimpin dan kepala rumah tangga. Ketiga, bahwa kekerasan dalam rumah tangga terjadi dalam lembaga yang legal, yaitu perkawinan sehingga menyebabkan minimnya respon masyarakat terhadap keluh 42
E. Kristi Poerwandari, Kekerasan terhadap Perempuan: Tinjauan Psikologi Feministik, (Jakarta: Kelompok Kerja “Convention Watch” PKWJ Universitas Indonesia Bekerja Sama dengan Kedutaan Besar Selandia Baru, 2000), h. 12-14.
24
kesah para istri yang mengalaminya, akibatnya mereka memendam persoalan tersebut tanpa tahu bagaimana menyelesaikannya.43 3. Kekerasan publik dan negara. Maksudnya adalah kekerasan terhadap perempuan di luar rumah atau di masyarakat, umumnya terjadi dalam bentuk sanksi sosial dan kultur serta diskriminasi. Bentuk kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, meliputi: pemaksaan sterilisasi dalam program keluarga berencana (KB), di banyak tempat KB menjadi sumber kekerasan terhadap perempuan, dengan alasan untuk memenuhi target mengontrol jumlah pertumbuhan penduduk.44 Adapun jenis-jenis yang dapat dilakukan oleh seseorang maupun berkelompok terbagi ke dalam 5 (lima) macam, yaitu : 1. Kekerasan fisik Adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, cedera, luka atau cacat tubuh yang menyebabkan kematian ataupun tidak. Bentuk-bentuknya antara lain memukul, menampar, menginjak, melukai dengan tangan kosong atau alat/senjata, ataupun membunuh korban. 2. Kekerasan psikologis/kekerasan psikis Kekerasan macam ini meliputi perbuatan dan ucapan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, dan timbulnya rasa tidak berdaya. Bentuk-bentuknya seperti mengancam, menyumpah serapah, melecehkan, dan memata-matai serta
43 44
Abdurrohman Wahid, Op.Cit., h. 198. Eko Prasetyo, Op.Cit., h. 11.
25
tindakan-tindakan lain yang menimbulkan rasa takut yang ditunjukkan kepada korban atau keluarga dekatnya. 3. Kekerasan ekonomi Adalah setiap perbuatan yang membatasi seseorang untuk bekerja, baik di dalam maupun di luar rumah, yang menghasilkan uang/barang, atau membiarkan korban bekerja untuk dieksploitasi atau menelantarkan anggota keluarga (kelalaian memberikan kebutuhan hidup, seperti makan, pakaian, perumahan, kesehatan dan lain-lain). 4. Kekerasan seksual Dalam hal ini mencakup pelecehan seksual sampai memaksa untuk melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau di saat korban tidak menghendaki, atau melakukan hubungan seksual dengan cara-cara tidak wajar atau tidak disukai korban, atau menjauhkannya dari kebutuhan seksualnya. Bentuk-bentuk kekerasan seksual adalah menyentuh, meraba, memaksa korban melihat pornografi, melecehkan atau menyakiti korban. 5. Pemaksaan atau perampasan kemerdekaan Yaitu pemaksaan atau perampasan kemerdekaan dengan sewenangwenang, meliputi perbuatan yang mengakibatkan seseorang terisolir dari lingkungan sosialnya, seperti larangan berkomunikasi dengan orang lain (pemasungan, pengurungan di tempat tertutup).45
45
Sri Suhandjati, Op.Cit., h. 7-9.
26
C. Sebab-Sebab Terjadinya Kekerasan Tindakan kekerasan terhadap perempuan di berbagai negara dari waktu ke waktu semakin meningkat. Kekerasan dalam bentuk apapun memiliki faktor pemicu yang mendorong terjadinya tindak kekerasan.46 Adapun berbagai faktor pemicu kekerasan seperti: 1. Ketimpangan gender Konstruksi sosial budaya sangat berpengaruh dan turut memberikan kontribusi dalam penciptaan relasi antara laki-laki dan perempuan secara adil atau sebaliknya. Akan tetapi fakta membuktikan bahwa laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat. Sehingga dampak lebih lanjut dari keadaan tersebut adalah seperti: a. Subordinasi Struktur budaya patriarki menempatkan laki-laki sebagai makhluk utama dan perempuan sebagai makhluk ke dua. Sampai saat ini, ideologi patriarkis yang menetapkan bahwa kekuasaan relasi gender berada di tangan laki-laki menjadi salah satu penyebab timbulnya kekerasan
terhadap
wanita.
Struktur
budaya
semacam
ini
mengakibatkan perempuan menjadi pihak yang pasif dan pasrah terhadap kehendak suami atau keadaan yang menimpanya. b. Marginalisasi Marginalisasi merupakan suatu bentuk kemiskinan satu jenis kelamin tertentu, yang dalam hal ini adalah perempuan. Marginalisasi terhadap
46
Ibid., h. 8-10.
27
kaum perempuan tidak hanya terjadi di tempat kerja, melainkan juga terjadi di rumah tangga, di masyarakat atau kebudayaan dan juga di negara. Ideologi patriarki menempatkan peran laki-laki dalam ruang publik, sedangkan peran perempuan dalam ruang domestik.47 Laki-laki pada umumnya memperoleh kesempatan yang lebih besar untuk mendapatkan prestasi dan prestise dalam masyarakat, oleh karena itu mereka lebih berpeluang untuk mendapatkan keuntungan materi dibanding perempuan yang tinggal di rumah.48 2. Budaya primitif Kemajuan teknologi komunikasi menyebabkan budaya Barat menerpa lebih kuat ke negara-negara berkembang, termasuk budaya pergaulan bebas yang mendorong semakin merebaknya penyimpangan seksual yang memakan korban para perempuan. 3. Hukum yang mengatur tindak kekerasan terhadap perempuan masih bias gender. Sering kali hukum tidak berpihak terhadap perempuan yang menjadi korban kekerasan. Ketidakberpihakan tersebut tidak saja berkaitan dengan substansi hukum yang kurang memperhatikan kepentingan perempuan atau si korban, bahkan justru belum adanya substansi hukum yang mengatur nasib bagi korban kekerasan, yang umumnya dialami perempuan. 4. Pemahaman agama yang bias gender. 47
Ibid., h. 7-9. Nasrudin Umar, Argumentasi Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 135. 48
28
Sebagaimana yang diketahui bahwa terbentuknya perilaku seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor, akan tetapi tidak dipungkiri bahwa pemahaman terhadap teks-teks keagamaan secara tekstual menyebabkan pemahaman yang tidak sesuai dengan ruh Islam yang membawa misi perdamaian dan rahmat bagi semua makhluk Allah.49 Contohnya adalah literatur Islam yang menyatakan bahwa pemukulan terhadap istri itu diperbolehkan, bahkan ada yang berpendapat bahwa memukul terhadap istri adalah cara yang dianjurkan oleh Al-Qur’an untuk memberikan pelajaran terhadap istri yang nusyuz.50 Ayat yang dijadikan dasar pemikiran mereka adalah surat an-Nisa’ (4): 34 :
Artinya: “Wanita-wanita yang kalian khawatiri nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaati kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” 51
D. Solusi terjadinya kekerasan Untuk mengatasi masalah kekerasan terhadap perempuan di lingkup rumah tangga ini, perlu tindakan bersama antar semua pihak, dari masyarakat
49
Sri Suhandjati, Op.Cit., h. 48. Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an, (Di Bawah Naungan al-Qur’an), (Jakarta: Gema Insani Press), Juz 3, h. 605-606. 51 Depag RI., Op. Cit., h. 66. 50
29
sampai dengan aparat. Akan tetapi, suatu perilaku konkret belum akan muncul apabila belum ada perubahan sikap maupun persepsi mengenai KDRT itu sendiri.52 Oleh sebab itu, langkah pertama yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Meluruskan mitos-mitos mengenai KDRT dan mempopulerkan faktafaktanya. Dengan mempopulerkan fakta-fakta tentang KDRT, diharapkan masyarakat lebih bersikap objektif dalam memandang persoalan KDRT, khususnya persoalan perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Selama ini persoalan kekerasan terhadap perempuan masih dianggap “bukan persoalan penting” sehingga diabaikan kepentingannya untuk mendapat perhatian yang serius dari semua pihak. 2. Mensosialisasi prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, khususnya dalam konteks hubungan suami dan istri. Persoalan KDRT terjadi karena ada ketidakseimbangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan sehingga menimbulkan relasi yang tidak seimbang antara keduanya. 3. Penyadaran
terhadap
masyarakat
juga
dapat
dilakukan
dengan
mensosialisasikan delik hukum yang berkaitan dengan masalah KDRT. Dengan begitu, diharapkan orang akan lebih mengerti bahwa melakukan KDRT adalah sama dengan melakukan tindak pidana (kejahatan). Sosialisasi dalam bidang ini tentu saja harus diimbangi dengan kesiapan
52
199-200.
Elli N. Hasbianto, Menakar “Harga” Perempuan, (Bandung: Mizan, 1999), h.
30
aparat yang bersangkutan dalam menyikapi dan menjaga komitmen terhadap masalah KDRT. 4. Peningkatan kesadaran masyarakat betapa pentingnya usaha untuk mengatasi terjadinya kekerasan terhadap wanita, baik dalam konteks individual, sosial maupun institusional.53 5. Peningkatan bantuan dan konseling terhadap korban kekerasan terhadap wanita. 6. Meningkatkan peranan mass media.
53
Muladi, Perempuan dalam Wacana Perkosaan, editor, Eko Marzuki dan Suparman Marzuki, (Yogyakarta: PKBI, 1997), h. 141.
31
BAB III ANALISIS SURAT AN-NISA’ AYAT 34 DALAM TAFSIR AL-MISBAH DAN TAFSIR FI ZHILALIL QUR’AN
A.
Spesifikasi Penafsiran M. Quraish Shihab Tafsir sebagai upaya memahami dan menerangkan maksud kandungan al-Qur’an yang berkembang menjadi aliran dan corak yang berbeda-beda sebagai hasil karya manusia. Keanekaragaman corak penafsiran merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan. Perbedaan kecenderungan, motivasi, kepentingan, keragaman ilmu, lingkungan, situasi, dan kondisi penafsir merupakan aktor yang menimbulkan keragaman penafsir.54 Adapun metode tafsir yang dipilih oleh M. Quraish Shihab, memperlihatkan minat dan kecenderungan yang kuat untuk menghadirkan Tafsir al- Qur’an dengan metode Maudu’i (tematik). Kecenderungan ini nampak dari beberapa kasus dibawah ini antara lain: Pertama, sudah agak lama M. Quraish Shihab berniat menjelaskan alQur’an dalam format tematis karena menurutnya, dengan metode tematis bukan hanya unsur kecepatan yang diperoleh oleh “para tamu” yang ingin bersantap sesuai dengan selera dan kebutuhannya, tetapi juga melalui metode
54
M. Ansor Rusydi, Pro-Kontra Poligami dalam Islam: Upaya Menemukan Titik Tengah, No. 2, (Jakarta: Justitia Islamica, 2005), h. 3.
32
ini sang penafsir mengundang al- Qur’an untuk berbicara secara langsung menyangkut problem yang dihadapi atau dialami masyarakatnya.55 Ke dua, menurutnya, metode tematik memiliki kelebihan, (a) Menghindari problem atau kelemahan metode lain, (b) Menafsirkan ayat dengan ayat/Hadits Nabi, satu cara terbaik dalam menafsirkan al- Qur’an; (c) Kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami. Hal ini disebabkan karena ia membawa pembaca kepada petunjuk al-Qur’an tanpa mengemukakan berbagai pembahasan terperinci dalam satu disiplin ilmu. Juga dengan metode ini, dapat dibuktikan bahwa persoalan yang disentuh al-Qur’an bukan bersifat teoritis semata-mata dan/tidak dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Dengan begitu, ia dapat membawa kita kepada pendapat al-Qur’an tentang berbagai problem hidup disertai dengan jawaban-jawabannya. Ia dapat memperjelas kembali fungsi al-Qur’an sebagai Kitab Suci; (d) metode ini memungkinkan seseorang untuk menolak anggapan bahwa ayat-ayat yang bertentangan dalam al-Qur’an. Ia sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat-ayat al-Qur’an sejalan dengan ilmu pengetahuan dan masyarakat.56 Ke tiga, ke duanya bukunya, Membumikan Al-Qur’an dan Wawasan Al-Qur’an sangat nampak mencoba menerapkan metode tematis dengan mengkaji ayat-ayat atas dasar tema yang telah ditentukan sebelumnya. Bahkan Tafsir AL-Misbah, terutama jilid I yang menunjukkan kecenderungan tematis, sekalipun ia menggunakan model tahlili (analisis) dari sisi pengurutan ayatnya.
55
M. Quraish Shihab, Wawasan al- Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Berbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1999), h. Xiii. 56 M. Quraish Shihab, Membumikan Al- Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, h. 117.
33
Dalam bahasa lain, dalam proses awal terutama pada pencarian makna kata, ia menggunakan tahlili, sementara dalam penyajian masalah ia menggunakan metode Maudhu’i.57 Sedangkan yang terkait dengan teknik penafsiran, sebagaimana dikemukakan Bahtiar, ia melakukan langkah-langkah sebagai berikut: Pertama, menyajikan uraian penafsiran dengan mengikuti pola urutan turun. Ini nampak dari bukunya Tafsir al-Qur’an al-Karim, dimana ia menafsirkan al-Qur’an dari Surah al-Fatihah, al-‘Alaq, al-Muzammil, alMuddatsir, al-Lahab, al-Takwir dan selanjutnya hingga mencapai 24 surat-surat pendek. Kedua, menekankan aspek korelasi, munasabah. Karena menurutnya, suatu ayat akan dapat dipahami dengan baik jika dikaitkan dengan ayat-ayat baik sebelum maupun sesudahnya. Bahkan satu kata baru akan dapat dipahami dengan benar jika dibandingkan dengan kata lain dalam ayat yang sama. Ketiga, pembahasan kosa kata untuk menemukan makna asal dari kata-kata yang dipakai dalam suatu ayat. Keempat, menggunakan dan memasukkan kaidah kebahasaan dalam analisis tafsir.58
B. Pandangan M. Quraish Shihab KDRT dalam surat an-Nisa’ ayat 34 Perkawinan adalah hubungan kesetaraan antara suami istri. Mereka sama-sama memiliki kewajiban dan tanggung jawab. Mereka harus duduk 57
Salamah Nur Hidayati, “Kepemimpinan Wanita dalam Islam: Telaah Pemikiran Tafsir M. Quraish Shihab”, h. 16. 58 Ibid., h. 19.
34
sama rendah dan berdiri sama tinggi. Mereka harus bermusyawarah dalam mengambil keputusan, walaupun keputusan terakhir berada ditangan suami, jika tidak ditemukan kata sepakat. Nah, jika istri membangkang dan menempatkan dirinya diatas tempat suami, sikapnya ketika itu dinamai nusyuz. Karena itu, perbedaan pendapat tidak secara otomatis menjadikan seorang istri menyandang sifat tersebut.59 Karena tidak semua istri taat kepada Allah, demikian juga kepada suami, maka dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ (4): 34, memberi tuntunan kepada suami, bagaimana seharusnya bersikap dan berlaku terhadap istri yang membangkang. Jangan sampai pembangkangan mereka berlanjut, dan jangan sampai juga sikap suami berlebihan sehingga mengakibat runtuhnya kehidupan rumah tangga. M. Quraish Shihab menerjemahkan ayat tentang nusyuz istri tersebut sebagai berikut:60 Menurut M. Quraish Shihab, ayat ini menjelaskan ada 3 langkah yang dianjurkan untuk ditempuh suami ketika istrinya nusyuz yang didasarkan pada surah an-Nisa’ (4): 34, ketiga langkah tersebut adalah: 1.
Fa’izuhunna Suami ketika melihat tanda-tanda bahwa istri yang nusyuz adalah dengan cara menasihatinya, dengan kata-kata menyentuh dan pada saat yang tepat. Sehingga tidak menimbulkan masalah baru.61Hal ini tentu saja harus
59 60
M. Quraish Shihab, Perempuan, (Jakarta: Lentera hati, 2007), h. 289. M. Quraish Shihab, Tafsir Al- Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al- Qur’an,
h. 402. 61
Ibid., h. 423.
35
dilakukan dalam rangka memperbaiki kejiwaan dan tatanann kehidupan rumah tangga, bukan untuk menambah rusaknya hati. 2.
Wahjuruhunna fi al-Madaji’i Firman-Nya Wahjuruhunna yang diterjemahkan dengan “dan tinggalkanlah mereka” adalah perintah kepada suami untuk meninggalkan istri, didorong oleh rasa tidak senang pada kelakuannya. Ini dipahami dari kata hajar yang berarti meninggalkan tempat, atau keadaan yang tidak baik, atau tidak disenangi menuju ke tempat dan atau keadaan yang baik atau lebih baik. Kata ini tidak digunakan untuk sekedar meninggalkan sesuatu, tetapi di samping itu juga mengandung dua hal lain. yang pertama, bahwa sesuatu yang ditinggalkan itu buruk atau tidak disenangi, ke dua, ia ditinggalkan untuk menuju ke tempat dan keadaan yang lebih baik.62 Kata
fi
al-Madaji’i
yang
diterjemahkan
dengan
di
tempat
pembaringan, di samping menunjukkan bahwa suami tidak meninggalkan mereka di rumah, bahkan tidak juga di kamar, tetapi di tempat tidur, bukan kata “min” yang berarti dari, yang berarti meninggalkan dari tempat tidur. Jika demikian, suami hendaknya jangan meninggalkan rumah, bahkan tidak meninggalkan kamar yang biasanya tidur. Kejauhan dari pasangan yang sedang dilanda kesalahpahaman dapat memperlebar jurang perselisihan. Perselisihan hendaknya tidak diketahui oleh orang lain, bahkan anak-anak dan anggota keluarga di rumah sekalipun. Karena semakin banyak yang mengetahui, semakin sulit memperbaiki. Kalaupun kemudian ada keinginan
62
Ibid., h. 402-410.
36
untuk meluruskan benang kusut, boleh jadi harga diri di hadapan mereka yang mengetahuinya akan menjadi aral penghalang. Keberadaan di kamar membatasi perselisihan itu, dan karena keberadaan dalam kamar adalah untuk menunjukkan ketidak senangan suami atas kelakuan istrinya, maka yang ditinggalkan adalah hal yang menunjukkan ketidaksenangan suami itu. Kalaupun seorang suami berada di dalam kamar dan tidur bersama, tidak ada kata-kata manis, tidak ada hubungan seks, maka itu telah menunjukkan bahwa istri tidak lagi berkenan di hati suami. Ketika itu wanita akan merasakan bahwa senjata ampuh yang dimilikinya, yaitu daya tarik kecantikannya, tidak lagi mempan untuk membangkitkan gairah suami. 3.
Wadribuhunna M. Quraish Shihab menjelaskan, bahwa kata Wadribuhunna artinya pukulan ini tidak boleh menyakitkan agar tidak mencederainya namun harus tetap menunjukkan sikap tegas. Wadribuhunna yang diterjemahkan dengan pukullah mereka terambil dari kata daraba, yang mempunyai banyak arti. Bahasa, ketika menggunakan dalam arti memukul, tidak selalu dipahami dalam arti menyakiti atau melakukan suatu tindakan keras dan kasar.63 Sebenarnya kata daraba, yang diterjemahkan memukul, digunakan alQur’an untuk pukulan yang keras maupun lemah lembut.64 Untuk berjalan melangkahkan kaki di gunakan kata darab, walaupun tentunya si pejalan tidak memukul dan mengentakkan kakinya 63 64
Ibid., h. 437. M. Quraish Shihab, Perempuan, h. 290-291.
37
dengan keras di bumi (baca antara lain Q.S.an-Nisa’ (4): 101). Kata yang sama di gunakan untuk membunyikan seruling/terompet, seakan-akan alat musik tersebut “dipukul dengan udara yang di keluarkan melalui mulut oleh pemainnya. Al-Qur’an juga menggunakan kata tersebut dalam arti mendendangkan sesuatu secara lemah lembut ke telinga seseorang agar dia tidur (baca Surah al-Kahfi (18): 11). Karena it\u, jangan di pahami kata “memukul” dalam arti “menyiksa” atau bahkan “menyakiti”, dan jangan juga diartikan sebagai anjuran atau sesuatu yang terpuji. Nabi Muhammad SAW. mengingatkan agar, “jangan memukul wajah dan jangan pula menyakiti”. Malu bukan saja karena memukul, melainkan juga malu karena gagal meyakinkan istri melalui diskusi dan cara-cara lain tanpa pemukulan.65 Tuntutan memukul pada ayat dalam Surah an-Nisa’ (4): 34 yang dikutip diatas, ditempatkan setelah tuntunan meninggalkannya di tempat tidur. Walaupun kita dapat menyatakan bahwa ayat ini berbicara tentang peruntutan tuntunan yang harus dimulai dengan nasihat, disusul dengan meninggalkannya di tempat tidur, dan di akhiri dengan pemukulan, karena ketiga langkah tersebut dihubungkan dengan menggunakna huruf wawu, yang biasa diterjemahkan dengan “dan”. Huruf itu, tidak mengandung makna perurutan, sehingga dari segi tinjauan keabsahan dapat saja yang kedua di dahulukan sebelum yang pertama. Namun demikian, penyusunan langkah-langkah itu sebagaimana
65
Ibid., h. 290-292.
38
bunyi teks memberi kesan bahwa itulah perurutan langkah yang sebaiknya di tempuh.66 Penempatan tuntunan memukul setelah tuntunan meninggalkannya di tempat tidur, memberi isyarat bahwa istri yang nusyuz itu benar-benar telah melampaui batas. Meskipun demikian, ketika itu suami tidak perlu memukul kecuali bila cara itu di duga keras olehnya akan ada manfaatnya.67 Kata daraba juga digunakan untuk pengertian a’rada ‘anhu wa ansharafa (berpaling dan meninggalkan untuk pergi). Ada pula yang berarti mana’a ‘anhu al-tasarruf bi malihi (mencegahnya untuk tidak memberikan hartanya untuknya).68 Meskipun demikian, pada umumnya ulama mengartikannya dengan memukul dan semuanya sepakat bahwa memukul di sini adalah memukul yang tidak sampai melukai. Adapun sebab turunnya ayat tersebut adalah sebagai berikut: Ayat ini diturunkan berkenaan dengan pribadi Sa’d ibn al-Rabi’ bersama istrinya Habibah binti Zaid termasuk dalam seorang kepala suku Anshar. Peristiwanya sebagai berikut: Pada suatu hari Habibah ini durhaka kepada suaminya, lalu sang suami menamparnya. Kejadian seperti ini lalu dilaporkan oleh ayahnya bersama anaknya itu kepada Nabi SAW. kata si ayah, “Anakku Habibah ini telah mempersiapkan tempat tidur buat
66
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 409. M. Quraish Shihab, Perempuan, h. 292-293. 68 La Jamaa dan Hadidjah, Hukum Islam dan Undang-Undang Anti Kekersan dalam Rumah Tangga, (Surabaya: Bina Ilmu, 2008), h. 123-124. 67
39
suaminya, tetapi tahu-tahu suaminya menamparnya”. Maka jawab Nabi, “Dia boleh membalas suaminya”. Begitulah, lalu Habibah bersama ayahnya keluar hendak membalas Sa’d. Tetapi belum seberapa jauh, mereka dipanggil oleh Nabi, “Kembalilah, karena kini Jibril telah datang kepadaku dengan membawa ayat ini”. Kemudian, Nabi bersabda,” Kami mempunyai kehendak tentang suatu perkara, tetapi Allah pun mempunyai kehendak lain tentang suatu perkara. Sedang kehendak Allah justru lebih baik”.69
C. Spesifikasi Penafsiran Sayyid Quthb. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an berbeda dari tafsir-tafsir yang lain apabila Sayyid Qutb menggunakan satu metodologi pentafsiran yang membersihkan pentafsiran al-Qur’an dari pembicaraan-pembicaraan sampingan dan selingan yang tidak disarankan oleh nash-nash al-Qur’an. Di samping itu beliau juga menjauhkan tafsirnya dari menundukkan nash-nash al-Qur’an kepada penemuan dan pendapat sains yang sering dilakukan oleh orang-orang yang terlalu
ghairah
untuk
mendampingkan
pentafsiran
al-Qur’an
dengan
pentafsiran sains, sedangkan sumber kedua tafsir itu adalah berlainan yaitu alQur’an bersumberkan wahyu dari Allah pencipta yang mengetahui segala sesuatu sementara sains bersumberkan intelektual manusia yang tidak syumul, tidak mantap dan sering berubah-ubah. Beliau telah menyifatkan perbahasanperbahasan sampingan itu sebagai campur aduk yang merusak jalan penyampaian al-Qur’an yang indah, lurus dan jelas. 69
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 2005), Juz V, h. 64.
40
Walaupun tafsir Fi Zhilalil Qur’an telah selesai ditulis dan masih meringkuk di dalam penjara, namun beliau masih belum puas menimba lautan kalamullah. Ufuk-ufuk pemikirannya yang meluas, gagasan-gagasan Islamiyah yang
segar
dan
baru,
pandangan-pandangan
dan
perasaan-perasaan
kesadarannya yang lebih halus merangsangkan hati dan jiwanya, justru itu pada awal tahun 1960 beliau sekali lagi tampil dengan penuh dedikasi mengemaskinikan tafsir Fi Zhilalil Qur’an dengan menokokkan uraian-uraian tambahan yang baru dan penghalusan yang perlu untuk menjadikan tafsir itu sebuah tafsir haraki yang sempurna. D. Pandangan Sayyid Quthb tentang surat an-Nisa’ayat 34 dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Bagi sebagian kalangan masyarakat, bisa jadi firman Allah, SWT dalam Q.S. an-Nisa’(4): 34 dijadikan legitimasi untuk membenarkan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), terutama kekerasan yang dilakukan oleh seorang suami terhadap istrinya. Oleh karena itu, diperlukan penelitian yang komprehensif mengenai kalimat wadhribūhunna dalam Q.S. an-Nisa’ (4): 34, mengingat para ulama tafsir sendiri berbeda pendapat dalam menafsirkan kalimat wadhribūhunna tersebut.70 Bahwasannya, pemukulan terhadap istri yang nusyuz (meninggalkan rumah tanpa izin/berbuat “melawan” suami) pada saat itu merupakan bentuk
70
Ummu Hani, Tafsir Hadits: Penafssiran Kalimat Wadribuhunna dalam QS. anNisa’ [4]: 34 dan Implementasinya, (Kudus: Jiptiain, 2010), h. 6.
41
kekerasan yang termasuk “ringan” dibanding perilaku yang biasa dilakukan masyarakat Pra-Islam.71 Ketika istri sudah melakukan nusyuz, mengenai penyelesain nusyuz, Sayid Quthb menyatakan bahwa manhaj Islam tidak menunggu hingga terjadinya nusyuz secara nyata, melainkan perlu segera dipecahkan ketika nusyuz ini baru pada tahap permulaan, sebelum menjadi berat dan sulit. Oleh karena problem nusyuz berdampak berat dan kompleks terhadap tatanan rumah tangga, maka perlu segera dilakukan tindakan secara bertahap untuk mengobati gejala-gejala nusyuz jika mulai tampak dari kejauhan.72 Adapun tahapan yang dilakukan suami dalam menghadapi istri yang nusyuz adalah: 1.
Fa’izuhunna Dikatakan
bahwa
Fa’izuhunna,
yaitu
memberikan
nasihat
kepadanya. Inilah yang harus dilakukan oleh pemimpin dan kepala rumah tangga, yaitu melakukan tindakan pendidikan, yang memang senantiasa dituntun kepadanya dalam segala hal.73 Akan tetapi, dalam kondisi khusus ini, ia harus dituntun memberikan pengarahan tertentu untuk sasaran tertentu pula. Yaitu, mengobati gejala-gejala nusyuz sebelum menjadi genting dan berakibat fatal.
71
Sri Suhandjati Sukri, Islam Menentang Kekerasan terhadap Istri, (Yogyakarta: Gama Media, 2004), h. 40. 72 Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur’an, (Bairut: al-Ahya’ al-Turas al-‘Arabi, 1971), Juz IV, h. 359. 73 Ibid., h. 359.
42
Namun, adakalanya nasihat yang diberikan tidak mempan karena hawa nafsunya lebih dominan, memperturutkan perasaan, merasa lebih tinggi/menyombongkan
kecantikannya,
kekayaannya,
status
sosial
keluarganya,/kelebihannya-kelebihan lain. Si istri itu lupa bahwa dia adalah partner suami dalam organisasi rumah tangganya, bahkan lawan untuk bertengkar/sasaran kesombongan.74 Maka, dalam kondisi seperti ini datanglah tindakan ke 2. Yaitu, tindakan yang menunjukkan kebesaran jiwa dari suami terhadap apa yang dibanggakan oleh si istri yang berupa kecantikan, daya tarik, kedudukannya sebagai partner dan sekaligus pemimpin dalam organisasi rumah tangga. 2. Wahjuruhunna fi al-Madaji’i Dalam tahap kedua ini Sayyid Quthb menegaskan bahwa yang dimaksud dalam ini adalah membiarkan istri di tempat tidur merupakan tindakan pendidika. Tindakan ini tidak boleh dilakukan secara terangterangan di luar tempat yang suami istri biasa berduaan. Tidak melakukan pemisahan di depan anak-anak, karena hal itu akan menimbulkan dampak negatif bagi anak-anak tersebut. Juga tidak melakukan pemisahan dengan pindah kepada orang lain, dengan menghina si istri atau menjelek-jelekkan kehormatan dan harga dirinya, karena hal ini akan menambah pertentangan. Tujuan pemisahan ini adalah untuk mengobati nusyuz bukan untuk merendahkan istri dan merusak anak-anak. Hal demikian inilah yang menjadi sasaran dari tindakan ini.
74
Ibid., h. 357-359.
43
Akan tetapi, adakalanya langkah kedua ini juga tidak mencapai hasil. Dalam hal ini ada satu hal yang harus dilakukan oleh suami untuk menyelesaikan masalah nusyuz ini. Walaupun lebih keras, tetapi masih lebih ringan dan lebih kecil dampaknya dibandingkan dengan kehancuran organisasi rumah tangga itu sendiri gara-gara nusyuz.75 3. Wadribuhunna Apabila langkah kedua tidak berhasil, maka langkah yang ketiga adalah Wadribuhunna. Mengenai tahap ketiga dalam penyelesaian nusyuz ini, Sayid Quthb berpendapat bahwa pemukulan dalam hal ini adalah dalam bentuk ta’dib atau edukatif, yang harus disertai dengan rasa kasih sayang bukan atas dasar kebencian. Suami dilarang memukul dengan pukulan yang menyakiti. Ash-Shobuni menyatakan, bahwa para ulama berkata: pukulan itu hendaknya di satu tempat, dan supaya di hindari dari memukul wajah, sebab wajah itu merupakan pusat kecantikan seseorang.76 Jangan memukul dengan cemeti/tongkat, dan harus selalu di perhatikan masalah kelembutan dalam usaha menyadarkan ini dengan berbagai cara yang mungkin. Sekalipun memukul ini di bolehkan, tetapi para ulama sepakat, tidak memukul itu lebih baik, karena demi keharmonisan rumah tangga. Sayid Quthb dalam Tafsir fi Zhilalil Qur’an
menjelaskan bahwa
segala tindakan di atas boleh dilakukan untuk memecahkan problem nusyuz, sebelum menjadi gawat dan diperingati juga agar semua itu tidak dilakukan 75
Ibid., h. 358-359. Muhammad Ali Ash-Shobuni, Rawa’i al-Bayan: Tafsir Ayat Al-Ahkam Min AlQur’an, (Bairut: Dar al-Qalam, 1997), Juz. 1, h. 441. 76
44
dengan buruk, meskipun Islam mengakui dan memperkenankan tindakantindakan pemecahan itu. Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Majah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kamu memukul hamba-hamba wanita Allah!” Maka datanglah Umar r.a. kepada Rasulullah saw. seraya berkata, “Kaum wanita sudah berani menentang suaminya”, lalu Rasulullah saw., memberi perkenan untuk memukul mereka. Kemudian banyak wanita yang mengelilingi keluarga Rasul saw., yang mengeluhkan tindakan suami mereka. Kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya keluarga Muhammad telah dikelilingi oleh kaum wanita yang banyak, yang mengeluhkan tindakan suami mereka. Maka, mereka (suami-suami semacam itu) bukanlah orang-orang yang baik diantara kamu.”77 Selain itu, Sayyid Quthb menjelaskan bahwa bagaimanapun keadaannya, Islam telah membuat batas-batas bagi tindakan ini, yang tidak boleh dilanggar apabila sasaran telah tercapai pada salah satu tahapannya, maka batasan itu tidak boleh dilanggar. Karena sasaran yang berupa ketaatan itulah yang menjadi tujuan, yaitu ketaatan yang positif, bukan ketaatan karena tekanan. Karena, ketaatan semacam ini tidak layak untuk membangun rumah tangga yang merupakan basis masyarakat. Demikian pula jika kelihatannya tindakan-tindakan itu sudah tidak bermanfaat, bahkan akan menjadikan perselisihan semakin parah dan nusyuz
77
Sayyid Quthb, Op.Cit, h. 359-361.
45
semakin gawat, atau upaya-upaya praktis ini sudah tidak membuahkan hasil, maka lakukanlah tindakan terakhir. Hal ini sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an surat an-Nisa’(4) ayat: 34. Cara terakhir ini harus segera dilakukan apabila ada kekhawatiran akan terjadinya persengketaan, sebelum menjadi kenyataan yaitu dengan dikirimkannya seorang hakam juru damai dari keluarga wanita yang direlakan oleh wanita itu dan seorang hakam dari keluarga laki-laki yang direlakan laki-laki tersebut. Kedua hakam berkumpul untuk mencoba melakukan islah (perbaikan, perdamaian). Jika dalam hati suami istri itu masih ada keinginan yang sungguh-sungguh untuk perbaikan dan hanya kemarahan saja yang menghalangi keinginan itu, dan dengan ditunjang oleh kemauan yang kuat dari hati kedua hakam, maka Allah akan memberi kebaikan dan taufik kepada keduanya.78 E. Hubungan Surah an-Nisa’ ayat 34 dalam Tafsir al-Misbah dan Tafsir Fi Zhilalil Qur’an yang kaitannya dengan KDRT Dalam suatu rumah tangga tidak jarang terjadi perselisihan atau persengketaan antara suami istri. Baik dikarenakan kesalahan suami atau sebaliknya. Bentuk kesalahan tersebut bisa berupa unsur ketidaksengajaan atau kesengajaan.79
Penyelesaian
kesalahan
yang
disebabkan
unsur
ketidaksengajaan, tiada lain dengan kebesaran hati, memaafkan pihak yang 78 79
Ibid.,h. 361. Ana Fitri Rahayu, Makalah: Model-Model Perceraian (Nusyuz), h. 2.
46
bersalah dengan persyaratan jangan sampai di ulangi. Sedangkan penyelesaian kesalahan di sebabkan unsur kesengajaan seperti pembangkangan seorang istri, sebagaimana Allah SWT. menjelaskannya pada surat an-Nisa’ (4): 34, yaitu dengan memberikan nasihat, tidak melakukan hubungan suami istri dan memukulnya. Penyelesaian nusyuz di atas, ada yang menjadi permasalahan pada konteks kekinian, yaitu pada penafsiran para mufasir terhadap lafadz wadhribuhunna dengan memukul tanpa menyakitkan atau pukulan mendidik. Sehingga penafsiran ini dijadikan justifikasi pembolehan pemukulan terhadap istri. Sebagian ilmuwan dan cendekiawan Muslim sekarang, ada yang tidak menyepakati wadhribuhunna ditafsirkan dengan memukul. Meskipun para ulama telah menegaskan harus pukulan yang tidak menyakitkan. Hal ini dikarenakan bertentangan dengan ayat selanjutnya dan beberapa ayat dan hadits yang mengisyaratkan tidak boleh melakukan kekerasan dalam dalam rumah tangga.80 Ibnu Abbas memberikan penjelasan: “ Pukullah tetapi jangan yang menyebabkan dia menderita.81 Lalu Ulama Fiqh menjelaskan: “ Jangan sampai melukai, jangan sampai patah tulang dan jauhi memukul muka, karena mukalah kumpulan segala kecantikan”. Bahkan ada pula para ahli Fiqh berkata: “ Pukullah dengan tangan saja, yang diselubungi sapu tangan, jangan
dengan
cambuk
dan
jangan
dengan
tongkat.
Akibat daripada perbuatan nusyuz ialah istri hilang haknya sebagai istri. 80 81
Ibid., h. 2. Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm, (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), Juz. 1, h. 75.
47
Suami tidak lagi bertanggungjawab memberi nafkah kepadanya, istri tidak berhak mendapat layanan dan keadilan dari pada suaminya. Istri tidak boleh membuat tuntutan dari pada suaminya. Maka dari itu, masalah pemukulan ini memang harus diuraikan secara lebih jelas, karena diperbolehkannya melakukan pemukulan seringkali dijadikan alasan sebagai pembenar oleh laki-laki untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap perempuan. Pemukulan bagaimanapun juga akan menimbulkan dampak psikologis yang kurang baik. Lebih-lebih bila sampai diketahui anak-anak, maka dampaknya akan kian buruk lagi. Oleh karena itu, pemukulan sebaiknya dihindarkan.82
82
Forum Kajian Kitab Kuning (FK3), Kembang Setaman Perkawinan: Analisis Kritis Kitab Uqud al-Lujjain, (Jakarta: Kompas, 2005), h. 144.
48
BAB IV ANALISIS M. QURAISH SHIHAB DAN SAYYID QUTHB TENTANG KDRT DALAM SURAT AN-NISA’ AYAT 34
A. Analisis persamaan M. Quraish Shihab dan Sayyid Quthb dengan kaitannya KDRT dalam surat an-Nisa’ ayat 34 Kekerasan dalam rumah tangga biasanya bermula dari adanya konflik yang tajam yang sulit terpecahkan antara suami istri, konflik itu bisa terjadi karena istri tidak mentaati dan menjalankan kewajibannya serta berani pada suaminya, atau konflik bisa terjadi karena suami bersikap terlalu dominan yang selalu ingin dianggap benar dan kurang mampu mengakomodasi pendapatpendapat istri, sehingga sikap yang keras yang kemudian menjadi konflik keluarga.83 Pemukulan terhadap istri sendiri dalam kenyataannya merupakan hal yang sangat sulit diungkap, karena tidak adanya data dan persoalannya yang dianggap sebagai urusan pribadi dan diperbolehkan oleh Agama. Akan tetapi sebenarnya al-Qur’an sendiri telah banyak menyinggung persoalan kekerasan terhadap perempuan, baik itu menyangkut persoalan fisik ataupun persoalan seksual. Sebagaimana termaktub dalam Firman Allah, Q.S. an-Nisa’ (4): 34: 83
2002), h. 119.
Irawan Abdullah, Islam dan Kontruksi Seksualitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
49
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri di balik pembelakangan suaminya. Oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kalian khawatiri nusyuznya, maka maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaati kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”84
Artinya:
Berdasarkan ayat diatas, dalam kasus nusyuz terdapat legitimasi keagamaan bagi suami untuk memukul istrinya dengan alasan istri memberontak sehingga secara luas dikalangan umat Islam lahir keyakinan bahwa seorang suami berhak memberi pelajaran pada istrinya ketika si istri berani terhadap suaminya.85 Persoalan KDRT di atur di dalam al-Qur’an Surah an-Nisa’ (4): 34. Menurut M. Quraish Shihab, istri dinilai nasyizah jika ia enggan taat dalam hal-hal yang diwajibkan agama baginya untuk taat, misalnya bepergian tanpa izin dan tanpa restu suaminya.
84 85
Depaq RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Depaq RI, 1971), h. 66. Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Bandung: CV. Sinar Baru, 1986), h. 369.
50
Menurut M. Quraish Shihab, khafa (khawatir) pada al-Qur’an Surah an-Nisa’ berarti “sebelum terjadi nusyuz mereka”.86 Dengan demikian, tampaknya M. Quraish Shihab ingin menjelaskan bahwa nusyuz belum terjadi secara jelas. Bisa baru pertanda awal atau gejala dari nusyuz, karenanya dapat dikatakan bahwa apa yang akan dilakukan atau langkah-langkah yang ditentukan al-Qur’an, selain sebagai cara menyelesaikan konflik, namun juga sebagai tindakan preventif (pencegahan) agar tidak terjadi konflik suami istri. M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa salah satu contoh istri yang nusyuz adalah istri berpergian tanpa izin dan tanpa restu suaminya. 87 Menurut Irena Handoko, kewajiban istri untuk izin kepada suami sebelum meninggalkan rumah adalah untuk mengembalikan martabat sebagai seorang istri, yang mempersembahkan dirinya hanya untuk suaminya dan tidak ingin kelihatan seakan-akan dia masih mencari-cari suaminya. Dengan izin kepada suami maka akan terjaga dari kerugian-kerugian, sehingga kesucian keluarga masih terjaga.88 Yang jelas nusyuz istri adalah wanita-wanita yang membenci suaminya dan merasa dirinya lebih tinggi dari suaminya, sehingga ia meninggalkan komitmen pernikahan yang sudah dibangun bersama sang suami.89 Nusyuz itu identik dengan durhaka dan maksiat. Bentuk nusyuz dari pihak istri adalah seperti istri selingkuh dengan laki-laki dan melakukan zina 86
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Vol. 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 407. 87 M. Quraish Shihab, Perempuan, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 289. 88 Irena Handoko, Islam Dihujat: Menjawab Buku The Islamic Invasion, (Kudus: Bima Rodheta, 2004), h. 132. 89 Ade Dedi Rohayana, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: STAIN Pekalongan Press, 2005), Cet. I, h. 180.
51
yang keji. Adapun untuk menyikapi sikap istri yang nusyuz, maka dilakukanlah: 1. Faizuhunna Kebanyakan para mufassir dan pemikir Islam berpendapat bahwa fa’izuhunna berarti nasihatilah mereka (istri) dengan kata-kata yang baik dan menakut-nakuti adanya siksaan Allah SWT. Suami hendaknya juga menjelaskan kepada istri bahwa perbuatan nusyuz itu dapat menggugurkan nafkah dan giliran. Menurut al-Nawawi nasihat itu tidak boleh disertai dengan mendiamkan diri (dengan pisah ranjang) dan memukul istri. Karena barangkali istri dapat mengungkapkan alasannya atau bertaubat meskipun tidak menjelaskan alasan mengapa ia berbuat demikian.90 Sedangkan menurut M. Quraish Shihab kata di sini berarti menasihati, sehingga fa’izuhunna berarti suami dianjurkan menasihati istri yang nusyuz pada saat yang tepat dan dengan kata-kata yang menyentuh hati, dan tidak menimbulkan masalah baru.91Hal ini tentu saja harus dilakukan dalam rangka memperbaiki kejiwaan dan tatanan kehidupan berumah tangga, bukan untuk menambah rusaknya hati. Bila dilihat kembali ayat al-Qur’an di atas, maka ada beberapa materi pengajaran yang disampaikan kepada istri, yaitu: berkenaan dengan kitab
90
serta
perintah
untuk
berpegang
kepadanya
(al-Qur’an),
Muhammad Ibnu Umar Nawawi, ‘Uqud al-Lujjain fi Bayani Huquq al-Zaujain, (Semarang: Toha Putra, 1999), h. 7. 91 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, h. 61.
52
menyampaikan amanah serta menetapkan berlaku adil, amar ma’ruf nahi munkar, tidak mempersekutukan Allah, serta kisah-kisah yang dapat memperteguh keimanan.92 Jika hal itu benar-benar dilakukan, mungkin nusyuz tidak perlu ada. Artinya, jika terjadi nusyuz, para suami juga seharusnya mengintropeksi dirinya terlebih dahulu apakah sikap istrinya itu bersumber dari atau dilatarbelakangi oleh sikapnya sendiri terhadap istrinya. Jika memang demikian, maka memperbaiki diri sendirilah yang harus diutamakan. Tetapi yang paling penting adalah intropeksi kedua belah pihak, sehingga diperlukan keterbukaan, kejujuran dan kerjasama terutama tindakan privintif. 2. Wahjuruhunna fi al-madaji’i Apabila tahap pertama tidak berhasil, hendaklah suami melakukan upaya tahap yang kedua yaitu wahjuruhunna fi al-madaji’i (menjauhi di tempat tidur). M. Quraish Shihab wahjuru berarti dan tinggalkanlah mereka (istri) di tempat tidur. Suami hendaknya jangan meninggalkan rumah, bahkan tidak meninggalkan kamar tempat suami istri biasanya tidur.93 Kalau perlu tidak mengajak berbicara paling lama 3 hari berturut-turut untuk menunjukkan rasa kesal dan ketidak butuhanmu kepada mereka. Adapun,
92
Siti Zainab, Manajemen Konflik Suami Istri dalam Pespektif al-Qur’an, (Palangkaraya: Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, STAIN, 2006), h. 117. 93 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, h. 403-410.
53
cara yang ditempuh, semuanya tetap pada tujuan agar istri kembali sadar terhadap perilaku yang baik, bukan sebagai ajang pembalasan. M. Quraish Shihab tampaknya berusaha menjelaskan bahwa pada tahap ini sebaiknya persoalan suami istri tidak sampai diketahui orang lain. tindakan ini memang tepat, karena tindakan ini masih merupakan upaya mendidik
istri
bukan
untuk
membuat
masalah
semakin
parah.
Mendiamkan istri di tempat tidur merupakan tindakan pendidikan. Tindakan ini tidak boleh dilakukan secara terang-terangan di luar tempat yang suami istri biasa berduaan. Selain itu, tidak melakukan pemisahan di depan anak-anak, karena hal itu akan menimbulkan dampak yang negatif bagi mereka. Tidak pula melakukan pemisahan dengan pindah kepada orang
lain,
dengan
menghina
si
istri
atau
menjelek-jelekkan
kehormatannya dan harga dirinya, karena yang demikian itu hanya akan menambah pertentangan. Tujuan pemisahan diri itu adalah untuk mengobati nusyuz, bukan untuk merendahkan istri dan merusak anak-anak. Itulah yang menjadi sasaran tindakan ini. 3. wadribuhunna Al-Qur’an memang diturunkan pada masyarakat yang demikian tidak memanusiakan perempuan. Jangankan hanya dipukul, perempuan pada masa pra Islam bahkan berhak dibunuh, dijadikan benda warisan, dan sebagainya tanpa boleh membela diri.94
94
Badriyah Fayumi, Tubuh, Seksualitas dan Kedaulatan Perempuan: Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda, (Jakarta: Rahima, 2002), h. 110.
54
Menurut Abduh dan Rasyid Ridha tidak membolehkan seorang suami melakukan tindakan kekerasan terhadap istri, termasuk memukulnya jika ia nusyuz. Karena tindakan seperti itu tidak sesuai dengan jiwa dan semangat al-Qur’an yang mengharuskan laki-laki berbuat baik kepada perempuan. Kalaupun suami sudah tidak bisa lagi hidup bersama istrinya, bukan dengan menceraikannya dengan kasar, tetapi harus melakukannya secara baik-baik. Akan tetapi, jika suami masih ingin hidup bersama istri, jika mendapati istrinya nusyuz, maka tidak lantas berbuat semaunya. Jika tidak cukup dengan menasihati atau menjauhinya di tempat tidur, maka bukan suami bebas memukul istri seperti memukul budaknya. Namun demikian, lanjut Rasyid Ridha, meskipun pemukulan adalah suatu alternatif yang paling tidak disukai, akan tetapi masih tetap berlaku dalam kehidupan rumah tangga atau setidak-tidaknya masih dipergunakan secara umum untuk mendidik, baik laki-laki maupun perempuan.95 Ulama’ besar Atha’ berpendapat, bahwa suami tidak boleh memukul istrinya, paling tinggi hanya memarahinya. Betapapun, kalau ayat ini dipahami sebagai izin memukul istri oleh suaminya, maka harus dikaitkan
dengan
hadits-hadits
Rasul
yang
mensyaratkan
tidak
mencederainya, tidak juga pukulan itu ditujukan kepada kalangan yang menilai pemukulan sebagai suatu penghinaan atau tindakan yang tidak terhormat.96
95 96
Ibid., h. 75-76. M. Quraish Shihab, Perempuan, h. 410.
55
Perintah pemukulan istri bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan akal atau fitrah. Memukul diperlukan jika keadaan sudah buruk dan akhlak sudah rusak. Suami boleh memukul istri ketika suami melihat bahwa rujuknya istri hanya dengan memukulnya. M. Quraish Shihab menyatakan bahwa pukulan ini tidak boleh menyakitkan agar tidak mencederainya namun harus tetap menunjukkan sikap tegas.97 Secara implisit menyetujui penafsiran Thahir ibnu ‘Asyur, yang menyatakan bahwa seorang suami tidak boleh melakukan pemukulan terhadap istrinya yang nusyūz secara langsung, akan tetapi, teknis pemukulannya diserahkan kepada penguasa (institusi atau lembaga yang bersangkutan). Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya. Para Mufasir ataupun Ulama sepakat bahwa pemukulan pada alQur’an surah an-Nisa’ (4): 34, adalah pemukulan yang tidak melukai, M. Quraish Shihab juga berpendapat demikian. Menurutnya, jangan pula berkata bahwa memukul tidak relevan lagi dewasa ini, karena pakar-pakar pendidikan masih mengakuinya untuk kasus-kasus tertentu, bahkan di kalangan militer pun masih di kenal bagi yang melanggar disiplin. Dan sekali lagi harus diingat bahwa pemukulan yang diperintahkan disini adalah yang tidak mencederai atau menyakitkan. Ketika istri sudah melakukan nusyuz, mengenai penyelesain nusyuz, Sayid Quthb menyatakan bahwa manhaj Islam tidak menunggu
97
M. Quraish Shihab, Perempuan, h. 423.
56
hingga terjadinya nusyuz secara nyata, melainkan perlu segera dipecahkan ketika nusyuz ini baru pada tahap permulaan, sebelum menjadi berat dan sulit. Oleh karena problem nusyuz berdampak berat dan kompleks terhadap tatanan rumah tangga, maka perlu segera dilakukan tindakan secara bertahap untuk mengobati gejala-gejala nusyuz jika mulai tampak dari kejauhan.98 Adapun tahapan yang dilakukan suami dalam menghadapi istri yang nusyuz adalah: 1. Fa’izuhunna Dikatakan bahwa Fa’izuhunna, maksudnya adalah mengingatkan ia (istri) kepada Allah, menakut-nakuti dia dengan nama Allah dan mengingatkannya tentang kewajiban kepada suami dan hak-hak suaminya yang wajib ditunaikan, memalingkan pandangannya dari hal-hal yang dosa dan perbuatan-perbuatan yang durhaka, serta mengingatkannya akan kehilangan hak mendaptkan nafkah, dan pakaian.99 Allah telah mewajibkan istri untuk mentaati suaminya dan ketaatan itu merupakan hak sang suami, dan Allah mengharamkan kepada wanita mendurhakai suaminya.100 Selain itu Fa’izuhunna juga tidak boleh disertai dengan mendiamkan diri (dengan pisah ranjang) dan memukul istri. Karena
98
Sayyid Quthb, Tafsir fi Zilalil Qur’an, (Bairut: al-Ahya’ al-Turas al-‘Arabi, 1971),
Juz IV, h. 359. 99
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Bairut: Dar al-Fikr, 1998), jilid 2, h. 140. Muhammad Nasith ar-Rifa’i, Tafsir al-‘Aliyyi al-Qadir al-Ikhtisar Tafsir ibn Katsir, terjemahan Syihabudin, Ringkasan Tafsir ibn Katsir, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005). Jilid I, h. 702. 100
57
barangkali istri dapat mengungkapkan alasannya atau bertaubat meskipun tidak menjelaskan alasan mengapa ia berbuat demikian.101 Menurut Hamka, fai’zuhunna berarti maka ajarilah mereka (istri). Suami yang baik akan dapat menentukan dan memilih kata-kata dan sikap yang layak untuk mengajari istri. Dalam memberi pengajaran, suami juga tidak bosan, tidak banyak mulut dan sabar, karena mendirikan dan menegakkan ketenteraman sebuah rumah tangga kadang-kadang meminta waktu berpuluh tahun. Suami hendaknya menunjukkan kepemimpinannya yang tegas dan bijaksana.102 Menurut Sayyid Quthb sendiri, yaitu dengan memberikan nasihat kepadanya. Inilah yang harus dilakukan oleh pemimpin dan kepala rumah tangga, yaitu melakukan tindakan pendidikan, yang memang senantiasa dituntun kepadanya dalam segala hal.103 Namun, adakalanya nasihat yang diberikan tidak mempan karena hawa nafsunya lebih dominan, memperturutkan perasaan, merasa lebih tinggi/menyombongkan
kecantikannya,
kekayaannya,
status
sosial
keluarganya,/kelebihannya-kelebihan lain. Si istri itu lupa bahwa dia adalah partner suami dalam organisasi rumah tangganya, bahkan lawan untuk bertengkar/sasaran kesombongan. Maka, dalam kondisi seperti ini datanglah tindakan ke 2. Yaitu, tindakan yang menunjukkan kebesaran jiwa dari suami terhadap apa yang
101
Muhammad ibn Umar Nawawi, ‘Uqud al-Lujjain fi Bayani Huquq al-Zaujain, h.
102
Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz V, (Jakarta: Pustaka Panji Mas), h. 61. Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur’an, h. 357-359.
7. 103
58
dibanggakan oleh si istri yang berupa kecantikan, daya tarik, /nilai apapun yang
dibangga-banggakannya
untuk
mengungguli
suaminya,
/kedudukannya sebagai partner dan sekaligus pemimpin dalam organisasi rumah tangga. 2. Wahjuruhunna fi al-madaji’i Dalam menjelaskan Wahjuruhunna fi al-madaji’i, para mufassir memberi penjelasan beragam. Ibnu Al-Arabi dalam Tafsirnya Ahkam al-Qur’an, menyebutkan bahwa berkaitan dengan arti kata tersebut, ada empat pendapat yang berbeda. Pertama, Ibnu Abbas. Ia mengartikan kata tersebut dengan tidak menghadap ke istri ketika dalam pembaringan atau tempat tidur. Kedua, Ikrimah dan Abu Duha. Mereka menegaskan bahwa Wahjuruhunna fi almadaji’i adalah tidak berbicara tetapi boleh menyetubuhinya. Ketiga, Ibrahim dan lainnya. Mereka mengartikan kata itu dengan tidak berkumpul di tempat tidur dan tidak bersetubuh hingga ia kembali taat. Keempat, Sufyan yang menekankan bahwa kata itu berarti boleh berbicara dan boleh bersetubuh, tetapi dengan perkataan yang kasar dan keras kepadanya.104 Al-Nawawi menjelaskan bahwa Wahjuruhunna fi al-madaji’i berarti dan pisahlah dari tempat tidur mereka. Maksudnya adalah para suami meninggalkan para istri dari tempat tidur mereka, bukan menghindari bicara
104
418.
Abu Bakar ibn al’Arabi, Ahkam al-Qur’an, Jilid. I, (Bairut: Dar al-Jil, 543H), h.
59
dan memukul. Sebab memisahkan diri dari tempat tidur memberi dampak yang jelas dalam mendidik para wanita.105 Al-Qurthubi menjelaskan, apabila suami berpaling dari ranjang istrinya (tidak menggaulinya), maka si istri itu mencintai suaminya, hal itu akan membuat dia susah sehingga dia akan kembali untuk berbaikan. Dan jika ia membencinya maka akan muncul penentangan dari istri, hingga akan nampak bahwa penentangan dari pihak istri.106 Sayyid Quthb menegaskan, dalam tahap kedua ini terdapat pendidikan tertentu. Tindakan pendidikan ini ialah pemisahan itu tidak dilakukan secara terang-terangan di luar tempat yang suami istri biasa berduaan. Tidak melakukan pemisahan di depan anak-anak, karena hal itu akan menimbulkan dampak negatif bagi anak-anak bagi anak-anak tersebut. Tidak juga melakukan pemisahan dengan pindah kepada orang lain, dengan menghina si istri atau menjelek-jelekkan kehormatan dan harga dirinya, karena hal ini akan menambah pertentangan. Tujuan pemisahan ini adalah untuk mengobati nusyuz bukan untuk merendahkan istri dan merusak anakanak. Hal demikian inilah yang menjadi sasaran dari tindakan ini.107 Akan tetapi, adakalanya langkah kedua ini juga tidak mencapai hasil. Dalam hal ini ada satu hal yang harus dilakukan oleh suami untuk menyelesaikan masalah nusyuz ini. Walaupun lebih keras, tetapi masih lebih
105
Muhammad ibn Umar Nawawi, ‘Uqud al-Lujjain fi Bayani Huquq al-Zaujain, h.
7. 106
Imam Al-Qurtubhi, Tafsir Al-Qurthubi, Juz V, penerjemah: Ahmad Rijali Kadir, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 399. 107 Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur’an, h. 358.
60
ringan dan lebih kecil dampaknya dibandingkan dengan kehancuran organisasi rumah tangga itu sendiri gara-gara nusyuz. 3. Wadribuhunna Apabila langkah kedua tidak berhasil, maka langkah yang ketiga adalah Wadribuhunna. Ketika pisah ranjang belum berhasil, maka pukullah, karena itulah yang dapat memperbaikinya dan yang dapat mendorongnya untuk memenuhi hak suaminya.108 Sedangkan pukulan disini adalah pukulan pendidikan bukan pukulan yang menyakitkan, tidak mematahkan tulang dan tidak menyebabkan luka seperti meninju dan yang semisalnya, karena tujuannya untuk memperbaiki bukan yang lain. Menurut al-Maraghi, memukul merupakan tindakan perbaikan yang pahit yang tidak dikehendaki oleh suami yang baik. Akan tetapi, tindakan ini tidak bisa dihilangkan dari kehidupan suami istri, kecuali jika memang keduanya telah terdidik dan masing-masing mengetahui hakhaknya. Agama mempunyai pengaruh besar terhadap jiwa-jiwa yang menjadikannya selalu ingat Allah.109 Pemukulan juga dilakukan kalau memang membawa faedah. Jika tidak, maka tidak perlu melakukan pemukulan. Itupun tidak boleh sampai memukul muka dan anggota tubuh yang dapat menjadikan kerusakan tubuh,
108
Imam Al-Qurtubhi, Tafsir Al-Qurthubi, h. 401. Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maragi, (Bairut: Dar al-Kutub al-Imiyah, 1998), Jilid II, h. 207. 109
61
melainkan memukul sebagai teguran saja. Bahkan, lebih baik suami memaafkan.110 Demikian menurut an-Nawawi. Selanjutnya, Asghar Ali Engineer menggunakan penafsiran kontekstual untuk memahami izin pemukulan yang diberikan oleh al-Qur’an sebagai langkah ketiga menghadapi istri yang nusyuz. Menurutnya, ayat tersebut tampak sangat tidak berpihak kepada perempuan. Tetapi konteks Madinah pada waktu itu tidak dapat diabaikan, kata Asghar sebagaimana dikutip oleh Nur Jannah Ism’il.111 Oleh karena itu, apabila dilihat dalam konteks ini, Q.S. an-Nisa’: 34, mempunyai maksud agar tidak menimbulkan reaksi yang terlalu keras dikalangan penduduk Madinah, maka al-Qur’an memberikan tahapantahapan yang harus ditempuh oleh laki-laki ketika menghadapi istri ynag tidak taat. Jadi, sebenarnya Q.S. an-Nisa’: 34 adalah sarana untuk mencegah tindakan sewenang-wenang laki-laki terhadap perempuan dan secara bertahap menghapuskannya. Karena itu, yang lebih esensial adalah Allah menghendaki agar orang mukmin tidak mencari-cari alasan untuk memusuhi dan memukul perempuan jika mereka taat. Ini terlihat bahwa izin pemukulan suami terhadap istri ditempatkan pada tahap yang ketiga, bukan yang pertama.112
110
Muhammad ibn Umar Nawawi, ‘Uqud al-Lujjain fi Bayani Huquq al-Zaujain, h.
111
Nur Jannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan, (Yogyakarta: LKiS, 2003), h.
7. 191-192. 112
Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, (Yogyakarta: LSPPA Yayasan Prakarsa, 1994), h. 61.
62
Sayid Quthb dalam Tafsir fi Zhilalil Qur’an menjelaskan bahwa segala tindakan di atas boleh dilakukan untuk memecahkan problem nusyuz, sebelum menjadi gawat dan diperingati juga agar semua itu tidak dilakukan dengan buruk, meskipun Islam mengakui dan memperkenankan tindakantindakan pemecahan itu.113 Mengenai tahap ketiga dalam penyelesaian nusyuz ini, Sayid Quthb berpendapat bahwa pemukulan dalam hal ini adalah dalam bentuk ta’dib atau edukatif, yang harus disertai dengan rasa kasih sayang bukan atas dasar kebencian. Suami dilarang memukul dengan pukulan yang menyakiti. Bahwa pemukulan dalam hal ini harus dalam bentuk ta’dib atau edukatif, yang harus disertai dengan rasa kasih sayang bukan atas dasar kebencian. Sayyid Quthb menambahkan bahwa pemukulan yang dilakukan ini bukanlah untuk menyakiti, menyiksa, dan memuaskan diri. Pemukulan ini tidak
boleh
dilakukan
dengan
maksud
untuk
menghinakan
dan
merendahkan. Juga tidak boleh dilakukan dengan keras dan kasar untuk menundukkannya kepada kehidupan yang tidak disukainya. Pemukulan yang dilakukan haruslah dalam rangka mendidik, yang harus disertai denga rasa kasih sayang seorang pendidik, sebagaimana yang dilakukan seorang ayah terhadap anak-anaknya dan yang dilakukan guru terhadap muridnya. Isyarat kepada para suami untuk bersikap rendah hatidan lemah lembut, yaitu sekalipun kalian mampu mengatasi para istri maka ingatkanlah mereka dengan kekuasaan Allah, kekuasaan-Nya melebihi
113
Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur’an, h. 359.
63
segala-galanya. Maka janganlah seseoorang berlaku sombong terhadap istrinya, karena Allah sebagai pengawas-Nya.114 Apabila ini telah ditetapkan, maka ketahuilah bahwa Allah tidak memerintahkan sesuatu dalam kitab-Nya untuk memukul dengan tegas kecuali dalam hukum hadd (hukuman) yang besar. Penelitian ini menghasilkan bahwa dalam menafsirkan Q.S. anNisa’ [4]: 34, M. Quraish Shihab dan Sayyid Quthb, mempunyai persepsi yang sama dalam menafsirkan kata “wadhribuhunna” yang artinya “pemukulan”. Pemukulan yang dimaksud adalah pemukulan dalam rangka pendidikan, sehingga tidak sampai mencederainya atau melukai. Hanya saja mereka menambahkan, menurut M. Quraish Shihab, bahwa pukulan ini tidak boleh menyakitkan agar tidak mencederainya namun harus tetap menunjukkan sikap tegas.115 Secara implisit menyetujui penafsiran Thahir ibnu ‘Asyur, yang menyatakan bahwa seorang suami tidak boleh melakukan pemukulan terhadap istrinya yang nusyūz secara langsung, akan tetapi, teknis pemukulannya diserahkan kepada penguasa (institusi atau lembaga yang bersangkutan). Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya. Sedangkan Sayyid Quthb menambahkan, bahwa pemukulan itu harus dengan rasa kasih sayang bukan atas dasar kebencian.116
114
Imam Al-Qurtubhi, Tafsir Al-Qurthubi, Juz V, h. 404. M. Quraish Shihab, Perempuan, h. 423. 116 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, h. 358. 115
64
Perbedaan latar belakang pendidikan, kapasitas keilmuan, dan faham keagamaan, menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat diantara M. Quraish Shihab dan Sayyid Quthb dalam menafsirkan kalimat wadhribūhunna dan implementasinya. M. Quraish Shihab dan Sayyid Quthb sepakat bahwa kalimat wadhribūhunna tidak bisa dijadikan legitimasi bagi suami untuk melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), terutama terhadap istri. Sebaiknya dalam menghadapi istri yang nusyuz, kita harus mempertimbangkan prinsip-prinsip keadilan dan mu’asyarah bi al-ma’ruf. Setelah dengan ketiga cara ini tidak berhasil sama sekali, maka seharusnya memanggil seorang tahkim (juru damai). Agar tidak terjadi sesuatu yang tidak dikehendakinya. B. Perbedaan M. Quraish Shihab dan Sayyid Quthb Yang menjadi perbedaan antara keduanya adalah karena perbedaan latar belakang pendidikan, kapasitas keilmuan, dan faham keagamaan, menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat diantara M. Quraish Shihab dan Sayyid
Quthb
implementasinya.
dalam
menafsirkan
kalimat
wadhribūhunna
dan
65
BAB V PENUTUP
A. Simpulan 1.
Menurut M. Quraish Shihab dan Sayyid Quthb dalam menafsirkan Q.S. anNisa’ (4):34 mempunyai penafsiran yang sama, dalam menghadapi istri yang nusyuz, ada 3 tahap yang harus dilakukan suami. Pertama, menasihati istri. Kedua, meninggalkan istri di tempat tidur. Ketiga, memukul istri. M. Quraish Shihab menyatakan bahwa pukulan ini tidak boleh menyakitkan agar tidak mencederainya namun harus tetap menunjukkan sikap tegas. Secara implisit menyetujui penafsiran Thahir ibnu ‘Asyur, yang menyatakan bahwa seorang suami tidak boleh melakukan pemukulan terhadap istrinya yang nusyūz secara langsung, akan tetapi, teknis pemukulannya diserahkan kepada penguasa (institusi atau lembaga yang bersangkutan). Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya. Sedangkan Sayyid Quthb menyatakan, bahwa pemukulan yang dilakukan bukanlah pemukulan yang menyakiti, menyiksa, dan memuaskan diri. Pemukulan yang dilakukan haruslah dalam rangka mendidik, yang harus disertai dengan rasa kasih sayang seorang pendidik, sebagaimana yang dilakukan seorang ayah terhadap anak-anaknya dan yang dilakukan guru terhadap muridnya.
66
Imam Syafi’i berkata:”Larangan Nabi untuk memukul para istri, kemudian izin beliau untuk memukul mereka, serta sabdanya : 117
ضربْ ِخيا َ ُر ُك ْم ِ َلَ ْن ي Artinya: ”orang yang terbaik di antara kalian tidak akan memukul” Sepertinya larangan tersebut lebih bersifat pilihan, dan beliau mengizinkan pukulan dengan alasan yang tepat dan benar. Namun demikian, beliau menyarankan mereka untuk tidak memukul, sebagaimana yang beliau sabdakan.Ada kemungkinan sabda ini di ucapakan sebelum turunnya ayat tentang pemukulan itu. Lalu beliau mengizinkan mereka untuk memukul setelah Q.S. an-Nisa’ (4): 34 turun.118 Cara terakhir ini harus segera dilakukan apabila ada kekhawatiran akan terjadinya persengketaan, sebelum menjadi kenyataan yaitu dengan dikirimkannya seorang hakam juru damai dari keluarga wanita dan seorang hakam dari keluarga laki-laki.
B. Saran-saran 1. Pemahaman yang keliru terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan hadits sebagian besar telah memicu timbulnya kekerasan terhadap istri, melihat fenomena yang demikian, maka perlu adanya reinterpretasi tafsir terhadap ayatayat/pun
117
hadits-hadits
yang
secara
lahiriah/literal
menempatkan
Imam Syafi’I, Tafsir Imam Syafi’I (Menyelami Kedalaman Kandungan alQur’an), Jilid 2, (Jakarta: Ahmahira, 2008), h. 131. 118 Ibid., h. 134.
67
perempuan dalam posisi tersubordinat (teks-teks bernuansa diskriminatif) agar diperoleh pemahaman yang tepat. 2. Sebagai hamba Allah yang tahu tentang persoalan KDRT, seharusnya kita menasihati orang-orang muslim yang belum menyadari bahwa kekerasan itu dilarang oleh Agama dan Negara dan terdapat hukuman-hukuman yang berat. Sehingga tercipta tata kehidupan yang harmonis, bahagia dalam keluarga dan menghargai nilai-nilai Islam. Dan Islam yang rahmatal lil a’lamin benar-benar kita rasakan di dalam kehidupan kita untuk membentuk suatu keluarga. 3. Kepada pemerintah diharapkan agar lebih mengintensifkan sosialisasi Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, sehingga keberadannya dapat berdayaguna dalam mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Kepada aparat penegak hukum diharapkan agar penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga lebih di tingkatkan.
C. Penutup Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt. karena dengan petunjuk-Nya, maka penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun
68
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Munirul. 2007. Paradigma Tafsir Perempuan di Indonesia. Malang: UIN Maliki Press. al’Arabi, Abu Bakar ibn. 534 H. Ahkam al-Qur’an, Jilid. I. Bairut: Dar al-Jil. Al-Bukhori. 1994. Jawahirul al-Bukhori, ed. Musthofa Muhammad Hamrah, Kitab al-Hibah “bab Man Da’a Imro’atuhu Ila Firaasyihi Fa’abat”. Beirut: Dar al-Fikr. Al-Maraghi, Ahmad Musthafa. 1998. Tafsir al-Maraghi, Jilid II. Bairut: Dar al-Kutub al-Imiyah. Al-Qurtubhi, Imam.2008. Tafsir al-Qurthubi, Penerjemah: Ahmad Rijali. Jakarta: Pustaka Azzam.. Ar-Rifa’i, Muhammad Nasith. 2005. Tafsir al-‘Aliyyi al-Qadir alIkhtisar Tafsir ibn Katsir, terjemahan Syihabudin, Ringkasan Tafsir ibn Katsir. Jilid. I. Jakarta: Gema Insani Press. Ash-Shobuni, Muhammad Ali. 1997. Rawa’i al-Bayan: Tafsir Ayat Al-Ahkam Min Al-Qur’an. Juz. 1. Bairut: Dar al-Qalam. Basyir, Ahmad Azhar. 1999. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta :UII Press. Binjai, Abdul Halim Hasan. 2006. Tafsir al-Ahkam. Jakarta: Kencana. Ciciek, Farha. 1990. Ikhtiar Mengatasi Kekerasan di dalam Rumah Tangga. Jakarta: LKAJ.
69
Departemen pendidikan dan Kebudayaan RI. 1998. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Depaq RI. 1971. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Depaq RI. Engineer, Asghar Ali. 1994. Hak-hak Perempuan dalam Islam. Yogyakarta: LSPPA Yayasan Prakarsa. Fayumi, Badriyah. 2002. Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan, Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda. Jakarta: Rahima. Faqih, Mansour dkk,. 1996. dalam Membincang Feminisme: Diskrusus gender Perspektif Islam. Surabaya: Risalah gusti. Forum Kajian Kitab Kuning (FK3). 2005. Kembang Setaman Perkawinan: Analisis Kritis Kitab Uqud al-Lujjain Jakarta: Kompas. Hamka. 2005. Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panji Mas. Handoko, Irena. 2004. Islam Dihujat: Menjawab Buku The Islamic Invasion. Kudus: Bima Rodheta. Hani,
Ummu.
2010.
Tafsir
Hadits:
Penafssiran
Kalimat
Wadribuhunna dalam QS. an-Nisa’ [4]: 34 dan Implementasinya. Kudus: Jiptiain. Hasbianto, Elli N. 1999. Menakar “Harga” Perempuan. Bandung: Mizan. Hasyim, Syafiq. 2001. Hal-hal yang Tak Terpikirkan tentang Isu-isu Keperempuanan dalam Islam. Bandung: Mizan. Ismail, Nur Jannah. 2003. Perempuan dalam Pasungan. Yogyakarta: LkiS.
70
Jamma, La dan Hadidjah. 2008. Hukum Islam dan Undang-Undang Anti Kekerasan dalam Rumah Tangga. Cet, 1. Surabaya: Bina Ilmu. Katsir, Ibnu. 2000. Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm. Juz. 1. Beirut: Dar alFikr. Muladi. 1997. Perempuan dalam Wacana Perkosaan, editor, Eko Marzuki dan Suparman Marzuki. Yogyakarta: PKBI. Munti,
Batara Ratna. 1999. Perempuan Sebagai Kepala Rumah
Tangga. Jakarta: LKAJ dan The Asia Foundation. Poerwandari, E. Kristi. 2000. Kekerasan terhadap Perempuan: Tinjauan Psikologi Feministik. Jakarta: Kelompok Kerja “Convention Watch” PKWJ Universitas Indonesia Bekerja Sama dengan Kedutaan Besar Selandia Baru. Prasetyo, Eko. 1997. Perempuan dalam Wacana Perkosaan. Yogyakarta: PKBI. Rahayu, Ana Fitri. 2009. Makalah: Model-Model Perceraian (Nusyuz). Surabaya: Fakultas Syari’ah Jurusan Al Akhwal Syakhsiyah Institut Agama Islam Sunan Ampel. Rohayana, Ade Dedi. 2005. Ilmu Ushul Fiqh, Cet. I. Jakarta: STAIN Pekalongan Press. Rusydi, M. Ansor. 2005. Pro-Kontra Poligami dalam Islam: Upaya Menemukan Titik Tengah,. Jakarta: Justitia Islamica. Sabiq, Sayyid. 1998. Fiqh al-Sunnah. Jilid. 2. Bairut: Dar al-Fikr.
71
Saraswati, Rika. 2006. Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga. Bandung: Aditya Bakhti. Shaleh, Qamaruddin, et, Al. 1982. Asbabun Nuzul. Bandung : CV Diponegoro. Shihab, M. Quraish. 1999. Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas Berbagai Persoalan. Umat. Cet, 9. Bandung: Mizan. ------------------------- 2002. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Vol. 2. Jakarta: Lentera Hati. ------------------------- 2007. Perempuan. Jakarta: Lentera Hati. Subhan,
Zaitunah.
2008.
Menggagas
Fiqh
Pemberdayaan
Perempuan. Jakarta: el-KAHFI. Sukri, Sri Suhandjati. 2004. Islam Menentang Kekerasan terhadap Istri. Yogyakarta: Gama Media. Syafi’I, Imam. 2008. Tafsir Imam Syafi’I (Menyelami Kedalaman Kandungan al-Qur’an. Jilid. II. Jakarta: Ahmahira. Syarifudin, Amir. 2005. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Gramedia. Umar, Nasrudin. 1999. Argumentasi Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: Paramadina. Quthb, Sayyid. 1971. Tafsir fi Zhilalil Qur’an.Juz. IV. Bairut: alAhya’ al-Turas al-‘Arabi. ------------------- 1985. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Juz 1. Cairo: Dar asySyurua.
72
------------------- 2002. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jilid 3. Jakarta: Gema Insani Press. Wahid, Abdurrahman. 1999. Menakar Harga Perempuan, Eksplorasi Lanjut atas Hak-Hak ReproduksiPerempuan dalam Islam, Ed. Syafiq Hasyim. Bandung: Mizan. Wigyosoebroto, Soetandyo. 2002. Islam dan Kontruksi Seksualitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. WJS, Poerwadarminta. 1999. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Cet. 2. Jakarta: Balai Pustaka. Zainab, Siti. 2006 Manajemen Konflik Suami Istri dalam Pespektif alQur’an. Palangkaraya: Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, STAIN.
73
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
A. IDENTITAS PRIBADI Nama Lengkap
: NUR LAELATUN NI’MAH
Tempat Lahir
: Pekalongan
Alamat
: Sidorejo RT/RW 10/03 No. 51 Tirto Pekalongan
Riwayat Pendidikan: 1. 2. 3. 4.
YMI Wonopringgo lulus tahun 2002 MTs Parakan Temanggung lulus tahun 2004 MA Parakan Temanggung lulus tahun 2007 STAIN Pekalongan Jurusan Syari’ah Program Akhwalus Syakhsiyah. Masuk tahun 2007
B. DATA ORANG TUA 1. Ayah Nama Lengkap : H. Wasmu Pekerjaan
: Wiraswasta
Agama
: Islam
Alamat
: Sidorejo RT/RW 10/03 No. 51 Tirto Pekalongan
2. Ibu Nama Lengkap : Hj. Musthofiyah Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Agama
: Islam
Alamat
: Sidorejo RT/RW 10/03 No. 51 Tirto Pekalongan
Demikian daftar riwayat ini dibuat dengan sebenar-benarnya. Pekalongan,
November 2011
Yang membuat
NUR LAELATUN NI’MAH NIM. 231.107.053.