BAB I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Asia Timur adalah wilayah yang menarik untuk dipelajari karena merupakan kawasan yang mengalami pertumbuhan pesat terutama pada sektor ekonominya. Perkembangan dan pembangunan perekonomian di Asia Timur berbeda dengan prinsip perekonomian liberal di Eropa maupun Amerika. Jika ekonomi liberal persaingan sepenuhnya diserahkan ke tangan pasar, namun pemerintah di Asia Timur berperan aktif untuk mengawasi jalannya perekonomian dengan mengatur dan mengendalikan kompetisi ekonominya.1 Kemajuan pesat perekonomian di Asia Timur salah satunya ditunjang oleh aktivitas perdagangannya. Negara-negara Asia Timur yang saat ini mendominasi perdagangan internasional adalah China, Jepang, dan Korea Selatan. Ketiga negara tersebut sering disebut sebagai Newly Industrial Countries karena perkembangan industri dan perdagangannya yang pesat. Negara di Asia Timur yang sukses membangun industrinya pada umumnya menganut sistem pembangunan ‘Developmental State Model’. Model pembangunan ini merupakan perpaduan antara sistem kapitalisme dan otoritarian. Sistem ini diartikan oleh Meredith Woo-Cumings sebagai sebuah jaringan politik, birokrasi, dan modal yang saling berhubungan dan mempengaruhi struktur kehidupan ekonomi dalam masyarakat kapitalis di
1
K. Ali Akkemik, Development in East Asia : A Comparative Look at Japan, Korea, Taiwan, and Singapore (Singapore : World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd., 2009), 14.
Asia Timur.2 Ciri khas dari sistem pembangunan ini adalah peran pemerintah yang sangat besar dalam perekonomian suatu negara dengan memberikan insentif kepada masyarakat bisnis melalui peraturan administratif, subsidi, proteksi, hingga peninjauan pasar. Namun, konsep ‘Developmental State’ tidak diterapkan secara mentah di negara-negara Asia Timur. Penerapan model pembangunan tersebut disesuaikan dengan keadaan ekonomi politik maupun budaya di masing-masing negara. Keberhasilan penerapan konsep ‘Developmental State’ di Asia Timur bersumber pada kemampuan memanfaatkan comparative advantage yang dimiliki, sehingga mampu bersaing dalam perdagangan internasional. Pemerintah di Asia Timur mampu untuk menciptakan kondisi sosial politik yang mendukung bagi keberlangsungan pasar bebas sekaligus mampu mendorong perusahaan domestik mereka untuk meningkatkan keuntungan dengan kebijakan upah buruh murah, sehingga orientasi pasar mereka adalah ekspor. Pemanfaatan buruh murah tersebutlah yang menjadi comparative advantage di Asia Timur. Salah
satu
contoh
keberhasilan
penerapan
model
pembangunan
‘Developmental State’ di Asia Timur adalah Korea Selatan. Intervensi pemerintah Korea Selatan dalam proses pembangunan yang ditandai dengan kuatnya kontrol pemerintah atas sektor swasta dan dominasinya dalam perumusan kebijakan struktur politiknya, yang dikarakteristikkan sebagai negara yang kuat dengan dominasi eksekutif yang tinggi dan menyebabkan 2
Meredith Woo-Cumings, The Developmental State, (New York : Cornell University Press, Ithaca, 1999), page 1.
proses kebijakan ekonomi politiknya bebas dari tekanan-tekanan sosial dan tuntutan masyarakat luas.3 Di Korea Selatan, terdapat empat faktor yang berkontribusi pada efektifitas intervensi negara dalam pembangunan, antara lain adalah : 4 1. Adanya institusi yang terdepolitisasi (bebas politik) untuk mengintervensi kelompok bisnis, ada pemisahan yang tegas antara sistem birokrasi dan kepentingan politik. 2. Lemahnya kelas buruh 3. Adanya rezim otoritarian dan anti komunis 4. Para pembuat kebijakan yang secara sadar bertindak untuk meningkatkan kapasitas struktur industri untuk mencapai ekonomi yang independen. Konsep ‘Developmental State’ cenderung berorientasi pada ekspor namun membatasi impor karena proteksionisme yang masih melekat di Asia Timur karena model pembangunannya tersebut. Pada era globalisasi atau pasar bebas seperti saat ini menuntut negara-negara di Asia Timur untuk lebih ‘membuka diri’
terhadap
pasar
asing,
dengan
cara
mengurangi
hambatan
perdagangannya. Cara-cara mengurangi hambatan perdagangan antar negara dapat ditempuh dengan berbagai bentuk kerjasama, baik multilateral, regional, maupun bilateral. Berbagai kerjasama yang dilakukan merupakan salah satu bentuk respon negara dengan model pembangunan developmental state seperti Korea Selatan terhadap tekanan liberalisasi perdagangan. Tentunya dengan adanya tekanan 3
Poppy S. Winanti, “Developmental State danTantangan Globalisasi : Pengalaman Korea Selatan”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 7, No.2, November 2003, hal. 177. 4 Ibid. Hal.200
liberalisasi perdagangan tersebut memberikan dampak tersendiri terhadap model pembangunan di Korea Selatan. Kasus yang akan dianalisis dalam tesis ini adalah dampak yang terjadi terhadap model pembangunan developmental state di Korea Selatan karena adanya pembentukan “The U.S. – South Korea Free Trade Agreement” atau yang sering disebut dengan KORUS FTA. Kerjasama perdagangan bilateral tersebut mewakili bentuk respon Korea Selatan dalam menanggapi tekanan liberalisasi perdagangan. Kerjasama perdagangan ini dipilih karena latar belakang model pembangunan dua negara yang berbeda, Amerika dengan model pembangunan ekonomi liberal dan Korea Selatan yang memiliki model pembangunan ekonomi developmental state. Selain itu, alasan dipilihnya KORUS FTA adalah karena berdasarkan atas sejarah hubungan diplomatik Amerika dan Korea Selatan, Amerika dianggap cukup mampu menekan Korea Selatan sehingga menyebabkan adanya perubahan kebijakan nasionalnya, yang dimungkinkan juga dapat menggeser model pembangunan ekonominya. Penekanan analisis kasus ini adalah apakah dampak yang terjadi pada model pembangunan di Korea Selatan setelah adanya kerjasama perdagangan bilateral KORUS FTA yang nantinya berujung pada kesimpulan Korea Selatan tetap dengan model pembangunan developmental state nya yang sudah dianut sejak pemerintahan Park Chung Hee ataukah bergeser menjadi lebih liberal. Instrumen analisis yang digunakan dalam tesis ini adalah teori developmental state, liberal state, dan Free Trade Agreement (Bilateral FTA Model). Teori developmental state dan liberal state akan digunakan sebagai
indikator pembanding model pembangunan developmental state dan model pembangunan liberal sehingga dapat menjelaskan dampak apa yang terjadi terhadap model pembangunan di Korea Selatan. Sedangkan, teori FTA model digunakan untuk menjelaskan karakteristik dua negara dengan model pembagunan developmental state dan liberal state ketika membentuk suatu kerjasama perdagangan bilateral seperti KORUS FTA.
B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka rumusan masalah tesis dengan judul DAMPAK “THE U.S. – SOUTH KOREA FREE TRADE AGREEMENT (KORUS FTA)” TERHADAP MODEL PEMBANGUNAN DI KOREA SELATAN : DEVELOPMENTAL STATE VS LIBERAL STATE adalah sebagai berikut : 1. Apakah tekanan liberalisme di dalam KORUS FTA menyebabkan perubahan model pembangunan di Korea Selatan? Mengapa demikian?
C. STUDI LITERATUR 1. Sejarah Hubungan Diplomatik Korea Selatan dan Amerika Hubungan diplomatik Korea Selatan dan Amerika dimulai sejak adanya Perang Dunia II. Setelah berakhirnya Perang Dunia II, Korea Selatan
berada
di
bawah
kekuasaan
Amerika.
Sejak
saat
kependudukannya, PBB memberikan bantuan pada Amerika untuk membangun perekonomian Korea Selatan yang telah mengalami kemerosotan dan krisis pangan setelah kekuasaan pemerintah Jepang berakhir. Pertumbuhan ekonomi Korea Selatan berawal dari masa pemerintahan Presiden pertama Korea Selatan yaitu Sygman Rhee. Pada masa pemerintahannya, Presiden Sygman Rhee banyak bergantung pada bantuan luar negeri terutama Amerika Serikat.5 Hal ini terjadi sebagai akibat dari berkembangnya doktrin anti komunisme, dan antipati terhadap Jepang.6 Di tambah lagi dengan adanya perebutan wilayah berdasarkan ideologi sehingga Korea terbagi menjadi Utara dan Selatan. Setelah Korea Selatan merdeka dan mengalami perang saudara dengan Korea Utara, Amerika
lah
yang
membantu
Korea
Selatan
memperbaiki
perekonomiannya.7 Dengan kata lain, peran Amerika bagi perkembangan perekonomian Korea Selatan cukup besar, bahkan saat ini Korea Selatan
5
Andrew C. Nahm, Introduction to Korean History and Culture, (Seoul : Hollym Corp. Publishers, 1993), page 320. 6 Ibid. 7 Ibid.
adalah aliansi terdekat bagi Amerika di kawasan Asia Timur.8 Amerika juga berperan sebagai sumber transfer teknologi dan ilmu pengetahuan bagi Korea Selatan, selain itu juga sebagai penanam modal asing langsung (FDI) terbesar di Korea Selatan. Oleh karena itu, untuk mengamankan hubungan diplomatik yang kuat antara keduanya merupakan salah satu alasan utama pembentukan KORUS FTA.9 Berdasar atas hubungan diplomatik inilah Amerika dianggap memiliki posisi yang cukup untuk menekan kebijakan pembangunan di Korea Selatan, khususnya kebijakan ekonominya.
2. Developmental State dan Proteksionisme Korea Selatan Pembangunan perekonomian Korea Selatan mengalami pasang surut seiring dengan perkembangan arus politik dan kebijakan masingmasing Presiden yang memerintah. Permulaan munculnya model pembangunan developmental state di Korea Selatan adalah pada masa pemerintahan Presiden ke 2 yaitu Park Chung Hee.10 Di masa pemerintahannya, Park Chung Hee menerapkan kebijakan doktrin politik yang merupakan suatu strategi atau model pembangunan
yang
menekankan pada peran pemerintah yang sangat besar dalam aktivitas perekonomian dan mobilisasi berbagai segmen dalam masyarakat untuk
8
William Cooper and Mark Manyin, “The U.S.-South Korea Free Trade Agreement (KORUS FTA):Looking Ahead--Prospects and Potential Challenges”. International Journal of Korean Studies, Vol.XV No.2 (2011), p. 129. 9 Ibid. 10 Andrew C. Nahm, Loc Cit.
ikut berpartisipasi dalam proses industrialisasi;11 kebijakan model pembangunan inilah yang dinamakan developmental state. Tahun 1960an, Park Chung Hee melakukan pergeseran kebijakan ekonominya yaitu dari industri substitusi impor menjadi industri yang berorientasi ekspor.12 Kebijakan ini bertujuan untuk memasarkan dan mempromosikan produk dalam negeri Korea Selatan di dunia internasional. Produk awal yang dipromosikan adalah produk manufaktur ringan, dan dalam jangka 10 tahun Korea Selatan sudah mengalami pergeseran dari industri ringan ke industri berat. Model pembangunan Park Chung Hee menjadikan industrialisasi di Korea Selatan berkembang pesat. Tiga dekade berikutnya pada saat kepemimpinan Kim Dae Jung, pertumbuhan ekonomi Korea Selatan mulai terlihat hasilnya. Pertumbuhan ekonominya per tahunnya mencapai 8,6% dan menjadi negara perdagangan terbesar ke 11 di dunia.13 Periode-periode jabatan presiden berikutnya juga menjadikan industrialisasi sebagai tujuan utamanya, pengembangan industri dan reformasi ekonomi di berbagai bidang. Berhasilnya model pembangunan yang dicetuskan Park Chung Hee (developmental state) banyak diakui oleh presiden-presiden setelahnya. Korea Selatan sebagai negara penganut model pembangunan developmental state memiliki proteksi di berbagai bidang, karena orientasinya adalah ekspor yang otomatis akan membatasi impor. Bahkan 11
Ibid. Mohtar Mas’oed dan Yang Seung-yoon. Memahami Politik Korea (Gadjah Mada University Press, 2005), hal. 18. 13 Pelayanan Informasi Korea, Korea Selayan Pandang, Badan informasi Korea, (Seoul : 1999), hal. 70. 12
setelah adanya globalisasi dan terbentuknya WTO, Korea Selatan tetap dikenal sebagai ‘The Master of Non-tariff Barrier’ oleh seluruh negara di dunia karena mampu mencegah produk Apple yaitu Iphone dari Amerika untuk masuk ke pasar Korea Selatan hingga akhir tahun 2009 dengan alasan hukum telekomunikasi negara terkait dengan keamanan negara.14 Padahal, kepentingan yang sebenarnya adalah untuk melindungi industri telekomunikasi mereka yaitu Samsung dan LG dari kompetisi.15 Walaupun berbagai proteksi diterapkan di Korea Selatan, namun negara-negara maju seperti Amerika, Australia, dan Kanada tetap berusaha untuk membuat kerjasama bilateral dengan Korea Selatan. Alasannnya adalah Korea Selatan merupakan pasar potensial bagi produk-produk dari negara-negara tersebut. Bagi Amerika khususnya, Korea Selatan merupakan pasar terbesar bagi produk pertanian negaranya.16 Walaupun demikian, proteksionisme Korea Selatan tidak dapat berlangsung selamanya, tekanan liberalisasi di berbagai bidang mendesak Korea Selatan untuk lebih fleksibel pada ketentuan dan regulasi kerjasama internasionalnya khususnya kerjasama perdagangan. Salah satu langkah Korea Selatan sebagai responnya terhadap tekanan liberalisasi adalah penandatanganan FTA.
14
Christian Oliver, “Korean/US trade: no big deal”. The Financial Times : World Bussines, Finance, and Political News (dalam http://ft.com/beyond-brics/2011/10/12/koreanus-trade-no-bigdeal/). Diakses tanggal 16 Juli 2014. 15 Ibid. 16 William Cooper and Mark Manyin (2011), Loc Cit.
3. Proses Pembentukan KORUS FTA Adanya inisiasi KORUS FTA dimulai oleh suatu kongres di Amerika bernama Trade Promotion Authority (TPA) yang memberikan inisiatif kepada Presiden George W. Bush dalam rangka Bipartisan Trade Promotion Act 2002 untuk membentuk FTA dengan Korea Selatan. Kongres tersebut meyakinkan Presiden bahwa dengan adanya Trade Promotion Act di Amerika, akan mempermudah proses negosiasi pembentukan KORUS FTA, tanpa adanya amandemen dan debat terbatas.17 Setelah 4 tahun berdiskusi secara resmi maupun tidak resmi, pada tanggal 2 Febuari 2006 United States Trade Representative (USTR) yaitu Robert Portman dan Menteri Perdagangan Korea Selatan Kim Hyunchong mengumumkan bahwa mereka setuju untuk bernegosiasi dalam rangka pembentukan KORUS FTA.18 Kemudian, perjanjian tersebut (KORUS FTA) resmi ditanda tangani pada tanggal 30 Juni 2007 dan ‘in force’ pada 15 Maret 2012.19 Strategi pembentukan FTA untuk menghadapi proteksionisme Korea Selatan tidak hanya dilakukan oleh Amerika saja, namun beberapa negara lainnya seperti Australia, Canada, New Zealand, dan beberapa kawasan lain juga menginisiasi adanya FTA. Bahkan adanya KORUS FTA menjadi standar bagi pembentukan FTA dengan negara atau kawasan 17
William H. Cooper and Mark E. Manyin, “The Proposed South Korea-U.S. Free Trade Agreement (KORUS FTA)”.Congressional Research Service (CRS) Report for Congress, U.S., (2007), p.1. 18 Ibid. 19 RTAs in Force between Republic of Korea-U.S., WTO (dalam http://rtais.wto.org/UI/PublicShowMemberRTAIDCard.aspx?rtaid=183). Diakses tanggal 16 Juli 2014.
lainnya. Hal tersebut terbukti dengan adanya kemiripan isi KORUS FTA dengan FTA antara Korea Selatan dengan EU, FTA Korea Selatan dengan Canada dan lain sebagainya. KORUS FTA mengalami beberapa kali negosiasi ulang pada masa pemerintahan Presiden Obama karena adanya protes dari pihak pengusaha otomotif di Amerika yang mengklaim bahwa KORUS FTA yang telah ditandatangani tidak membahas perihal restriksi Korea Selatan terhadap produk otomotif Amerika.20 Modifikasi kontrak tersebut juga membahas restriksi Korea Selatan yang berupa larangan impor produk daging sapi Amerika karena isu penyakit sapi gila yang belum dicabut, sementara permasalahan tersebut sudah selesai.21 Setelah beberapa kali berdiskusi dan kedua negara setuju untuk memodifikasi KORUS FTA, maka para komunitas pengusaha Amerika pun mendukung secara penuh FTA tersebut. Protes tidak hanya muncul dari pihak Amerika, namun juga dari beberapa aktivis anti-Amerika di Korea Selatan, mereka menganggap dengan adanya KORUS FTA ini merupakan upaya liberalisasi terhadap perdagangan
tradisional
Korea
Selatan
yang
sarat
budaya
dan
proteksionisme.22 Namun, Presiden Roh Moo-hyun menjelaskan bahwa adanya KORUS FTA ini memiliki tujuan jangka panjang, yaitu agar Korea Selatan mendapatkan prioritas perlindungan tertinggi dari Amerika untuk mempertahankan negara dari serangan Korea Utara, China, maupun 20
William Cooper and Mark Manyin (2011), Op. Cit, p.128 Ibid. 22 William H. Cooper and Mark E. Manyin (2007),Op. Cit, p.17 21
Jepang.23 Selain itu, dengan adanya KORUS FTA, Korea Selatan memiliki perpanjangan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan ketentuan WTO untuk
penyesuaian tariff bagi
produk-produk dan sektor
sensitifnya.24
4. Pengaruh Liberalisasi Ekonomi (perdagangan) terhadap Model Pembangunan Developmental State Beberapa negara di Asia yang memiliki model pembangunan developmental state adalah Jepang, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan. Namun, penerapan model pembangunan developmental state di masingmasing negara tersebut berbeda-beda, Jepang dengan developmental state nasionalis nya,25 Korea Selatan yang beralih dari developmental state otoritarian menjadi developmental state demokratis,26 Taiwan yang sedang beralih dari developmental state ke arah liberal state,27 dan Singapura yang mengimplementasikan model pembangunan developmental state untuk menahan tekanan globalisasi dan sebagai alternatif utama dalam menghadapi krisis ekonomi.28 Ada juga yang berpendapat bahwa model
23
Ibid, p.18 Ibid. 25 Charlotte Ng, “The ‘Developmental State’ and Economic Development”. E-International Relation Student (dalam http://www.e-ir.info/2008/06/15/the-developmental-state-and-economicdevelopment/). Diakses tanggal 25 Agustus 2015. 26 Mohtar Mas’oed dan Yang Seung-yoon, Loc Cit. Hal. 18. 27 Chin Kok Fay, “The Political Economy of Financial Liberalization in Taiwan”. European Research Center on Contemporary Taiwan (ERCCT Online Paper Series), EOPS No. 0023, November 2013, page 1. 28 Henry Wai-chung Yeung, “State intervention and neoliberalism in the globalizing world economy: lessons from Singapore’s regionalization programme”, The Pacific Review, Vol. 13, No. 1, 2000, page 133-162. 24
pembangunan Korea Selatan saat ini adalah dilema di antara developmental state merkantilis dan developmental state liberal.29 Sejak akhir dekade 1990an, Korea Selatan mengalami tekanan liberalisasi yang cukup berat di perekonomiannya, ditambah lagi dengan adanya krisis ekonomi di tahun 1997. Hal ini pun berdampak cukup serius pada model pembangunan di Korea Selatan. Menurut penelitian Min Gyo Koo, Korea Selatan merupakan contoh keberhasilan model pembangunan developmental state merkantilis30 yaitu developmental state dengan pandangan
bahwa
aktivitas
ekonominya
memiliki
tujuan
utama
membangun negara yang kuat, dengan kata lain ekonomi adalah alat politik yang mendasari suatu kekuasaan politik.31 Hal tersebut dibuktikan dengan kemampuan Korea Selatan melewati krisis ekonomi 1997-1998 yang memberi ilusi ‘unstoppable economic growth’ dan keaktifan Korea Selatan membentuk FTA (salah satu bentuk liberalisasi ekonomi khususnya di bidang perdagangan) dengan negara lain baik secara bilateral maupun regional.32 Namun, pembentukan FTA memberikan dilema tersendiri bagi model pembangunan yang diterapkan di Korea Selatan. Sebuah perjanjian kerjasama perdagangan bebas tentunya menekan masing-masing negara untuk mengurangi atau bahkan meminimalisir 29
Min Gyo Koo, “Partisanship and South Korea’s Trade Policy : New Soul Searching between Neo-developmentalism and Neo-liberalism”, workshop on Democratic Accountability and Diplomacy in Asia, organized by the Council on East Asian Studies at Yale University and sponsored by the Center for Global Partnership of the Japan Foundation, the Yale-Todai Initiative at the University of Tokyo, and the MacMillan Center for International and Area Studies at Yale University, Tokyo, Japan, Friday, September 16, 2011. Page 39-51. 30 Ibid. 31 Robert Jackson & George Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), hal. 231. 32 Min Gyo Koo, Loc Cit.
proteksi atau hambatan perdagangan lain, seperti larangan untuk memberikan subsidi pada para produsen dan sebagainya. Min Gyo Koo menyatakan bahwa dengan terbentuknya FTA sebagai salah satu bentuk liberalisasi perdagangan, tantangan yang akan dihadapi adalah para pembuat kebijakan perdagangan di Korea Selatan harus puas dengan adanya konstitusi domestik yang dipengaruhi oleh pemerintah asing dan organisasi internasional.33 Negara-negara liberal yang membentuk FTA dengan Korea Selatan memiliki motif yang hampir sama yaitu memperkuat tekanan perdagangan bebas kepada pemerintahnya dan berusaha menggeser model pembangunan developmental state nya sehingga mengurangi atau bahkan menghilangkan berbagai proteksi perdagangan yang diterapkan.34 Pembentukan FTA sebagai
salah
satu
bentuk
liberalisasi
perdagangan yang merupakan dampak dari adanya globalisasi. Pengaruh globalisasi khususnya di Asia Timur adalah terjadinya dua macam transisi pada pembangunan ekonominya yaitu pertama, ‘stabilisasi’ jangka pendek (pengurangan sejumlah persyaratan atau ketentuan yang diminta) terhadap manajemen makro ekonomi, seperti menurunkan nilai tukar mata uang, memperlambat laju inflasi, dan mengurangi defisit neraca pembayaran (balance of payment).35 Kedua, yaitu ‘perubahan struktural’ jangka
33
Ibid. John Minns, “Of miracles and models : the rise and decline of the developmental state in South Korea”, Third World Quarterly, Vol 22, No 6, 2001, pp 1025–1043. 35 Lim Hyun-Chin and Jang Jin-Ho, “Between neoliberalism and democracy : the transformation of the developmental state in South Korea”. Development and Society, Volume 35 Number 1, June 2006, pp. 1~28 34
menengah (mendorong pendapatan dan tabungan dengan mata uang asing, liberalisasi perdagangan, deregulasi (pengurangan) harga, perubahan pajak) selama tiga sampai lima tahun.36 Jika salah satu atau kedua transisi tersebut terjadi, maka sangat dimungkinkan akan merubah atau menggeser model pembangunan suatu negara karena kebijakan makroekonomi ataupun struktural nya juga bergeser. Apabila terdapat beberapa elemen dari kedua transisi tersebut terjadi di Korea Selatan, maka model pembangunan developmental state nya dimungkinkan bergeser, namun apabila transisi yang terjadi hanya minoritas maka pergeseran yang terjadi juga minim atau bahkan tetap pada model pembangunan sebelumnya (developmental state).
D. KERANGKA TEORI Landasan teori yang akan digunakan untuk menganalisis dampak pembentukan KORUS FTA terhadap model pembangunan di Korea Selatan ada tiga yaitu ‘East Asian Developmental State Model’, liberal state, dan FTA Model. Ketiga konsep tersebut secara rinci akan dijelaskan sebagai berikut.
1. East Asian Developmental State Model Model pembangunan East Asian Developmental State bermula dari teori Capitalist Developmental State yang merupakan teori pembangunan
36
Ibid.
yang muncul dari sebuah praktek neoliberal di Asia Timur, namun mendapatkan kritik dari dunia barat karena model pembangunan ini bersifat otoriter, tidak demokratis maka muncul dorongan dari dunia barat yang menganut kapitalisme liberal agar model pembangunan ini menjadi lebih demokratis.37 Walaupun menuai kritik, konsep developmental state inilah yang menjelaskan keberhasilan industrialisasi di Asia Timur.38 Dampak dari adanya dorongan dari barat tersebut, model pembangunan ini mengalami pergeseran menjadi lebih demokratis, namun tidak sepenuhnya liberal karena mereka tetap memiliki aturan yang rigid dalam perekonomiannya
dan
masih
proteksionis
terhadap
aturan-aturan
tersebut.39 Ciri-ciri model pembangunan developmental state adalah kuat dalam menegakkan atau hukumnya, rigid, dan tidak mudah mendapatkan intervensi politik.40 Selain itu, struktur politiknya mendukung sistem perekonomian di negara tersebut dan adanya hubungan yang erat antara pebisnis dengan pemerintahnya, sehingga tercipta hubungan yang saling menguntungkan diantara keduanya yang bertujuan untuk mencapai kepentingan negara baik secara domestik atau di dunia internasional.41 Negara-negara Asia Timur yang menerapkan model pembangunan ini adalah Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. 37
Robert Gilpin and Jean M. Gilpin. Global Political Economy : Understanding The International Economic Order (United Kingdom : Princeton University Press, 2001), p. 316-317 38 Ibid, p. 316 39 Linda Weiss, “Developmental State in Trasition : Adapting, Dismantling, Innovating, not Normalizing”. The Pacific Review. Vol. 13 No. 1, (2000), page 21-55. 40 Ibid. 41 Ibid.
Selain ciri-ciri di atas, terdapat beberapa karakteristik atau indikator model pembangunan developmental state, yaitu : a. Intervensi pemerintah terhadap perusahaan swasta cukup tinggi dan tercipta hubungan yang erat antar keduanya42 Pemerintah menekan para perusahaan swasta (chaebol) untuk sejalan dengan kepentingannya (national interest). Para chaebol menurunkan posisinya (pengaruhnya) dan menjadi ‘private agent’ untuk
mencapai
kepentingan
nasional.
Artinya,
pemerintah
menggunakan para chaebol sebagai media atau alat untuk mencapai kepentingan nasional seperti peningkatan pertumbuhan ekonomi, pengembangan industri berat, atau promosi ekspor. Poin pentingnya tidak hanya chaebol sebagai agen pencapai kepentingan nasional saja, namun pengembangan dan pembangunan industri milik chaebol merupakan tujuan utama pemerintah. Dari
awal,
model
pembangunan
developmental
state
mendemonstrasikan tujuannya yaitu tidak hanya ‘growth’ atau ‘development’ saja namun ‘capitalist development’ yang berarti bahwa yang menjadi prioritas utama pemerintah adalah industri-industri besar sebagai penggerak utama roda perekonomiannya. Oleh karena itu, strategi utama perekonomian negara adalah membentuk kebijakan yang mendukung bagi pembangunan dan pengembangan perusahaan besar yang mendominasi perekonomian negara. Konsekuensi dari 42
Iain Pirie, The Korean Developmental State : from Dirigisme to Neo-liberalism (New York : Routledge, 2008), page 6.
kebijakan tersebut adalah adanya dominasi dan intervensi pemerintah pada sektor swasta. Namun, yang dimaksudkan dengan intervensi disini adalah intervensi pemerintah di bidang ekonomi, bukan politik. b. Birokrasi ekonomi yang terdepolitisasi (bebas politik)43 Pemerintah memang melakukan intervensi hampir di segala sektor ekonomi, namun terdapat pemisahan tegas antara sistem birokrasi dan kepentingan politik. Sistem politiknya dapat dikatakan bersih, walaupun tidak sepenuhnya karena hubungan antar pebisnis atau sektor swasta dan pemerintah tidak berdasar atas hubungan keluarga sehingga hubungan yang terjadi adalah hubungan yang saling menguntungkan dan tujuan politiknya bisa sejalan dengan kepentingan ekonomi negara. c. Berorintasi ekspor dengan membatasi impor44 Orientasi model pembangunan developmental state adalah mendorong ekspor. Park Chung Hee sebagai ‘former’ developmental state di Korea Selatan sangat ‘gila’ terhadap ekspor. Segala kebijakan yang dibuat adalah untuk mendorong ekspor. Bahkan ketika terjadi krisis di tahun 1970an akibat dari meningkatnya harga minyak dunia dan resesi, Park Chung Hee memperluas kredit domestik dan menggunakan cadangan piutang luar negeri, karena apabila berhutang ke luar negeri, bunganya akan sangat tinggi. Kebijakan tersebut
43 44
Poppy S. Winanti, Loc Cit. John Minns, Loc Cit.
dilakukan agar ekspor Korea Selatan kembali stabil dalam waktu singkat. Orientasi ekspor merupakan ‘rational plan’ developmental state karena sumber daya alam yang dimilikinya sangat sedikit, letak geografisnya tidak menguntungkan untuk perkembangan sumber daya alam sehingga memaksimalkan ekspor dengan industrialisasi adalah pilihan utama mereka. Sumber daya yang hanya sedikit dimaksimalkan supaya efektif dan diolah secara industri dan kemudian diekspor. Comparative advantage yang dimiliki adalah upah buruh yang relatif murah dibandingkan dengan negara liberal dan kualitas sumber daya manusia yang dimilikinya. Bahkan, pemberian subsidi kepada para produsen di Korea Selatan juga dilakukan agar ongkos produksi murah sehingga memperbanyak kuantitas ekspornya. Selain orientasi pada ekspor, developmental state juga membatasi impor. Pembatasan impor dilakukan dengan berbagai cara misalnya (di Korea Selatan) pajak yang tinggi, biaya listrik yang mahal, regulasi terkait isu lingkungan (birokrasi lambat dengan persyaratan yang sangat rigid), dan regulasi pekerja yang dipersulit (restriksi jam kerja atau jam kerja diatur oleh pemerintah dan bonus pekerja juga diatur oleh pemerintah).45
45
Thomas Kase, “Trade Regulations and Protectionism in South Korea: Rebirth of the Hermit Kingdom?”, (dalam http://spendmatters.com/2013/12/12/trade-regulations-protectionism-southkorea-back-hermit-kingdom/). Diakses tanggal 16 Juli 2014.
d. Foreign Direct Investment (FDI) dibatasi jumlahnya, dan diatur penuh regulasinya oleh negara46 Model pembangunan developmental state membatasi FDI dan mengatur regulasi FDI secara penuh. Kepemilikan industri yang merupakan basis ekonomi negara (di Korea Selatan misalnya industri elektronik, otomotif) sepenuhnya ada di tangan produsen lokal dan pemerintah. Hampir semua FDI diberlakukan larangan orientasi ekspor, jadi produk yang dihasilkan dijual di pasar domestik saja, sehingga
mengurangi
kompetisi
ekspor
developmental
state.
Kepemilikan asing (foreign ownership) pada FDI dibatasi hanya 50% saja, namun di daerah tertentu yang diberlakukan perdagangan bebas kepemilikan asing diperbolehkan hingga 100% namun dengan pajak dan ketentuan tertentu. e. Upah buruh murah47 Upah buruh yang relatif murah dibandingkan dengan negara liberal membuat
ongkos
produksi
developmental
state
lebih rendah
dibandingkan di negara liberal. Upah buruh murah juga merupakan comparative advantage model pembangunan developmental state. f. Strong state (negara kuat) Negara kuat yang dimaksudkan disini adalah negara dengan model pembangunan developmental state tidak dapat dikontrol oleh masyarakat (lebih bersifat otoritarian). Aspirasi yang muncul dari 46 47
John Minns, Loc Cit. Poppy S. Winanti, Loc Cit.
masyarakat sangat ditekan dan masyarakat diharuskan untuk mendukung seluruh kebijakan pemerintah. Selain itu, penekanan strong state adalah dengan adanya keberhasilan ekonomi maka akan selalu disertai peran kekuasaan yang kuat dalam memajukan pembangunan ekonomi.48 Model pembangunan Developmental State di Asia Timur ini digunakan untuk menjawab proteksionisme perdagangan yang ada di Korea Selatan. Pemerintah Korea Selatan membuat beberapa kebijakan yang berkaitan dengan sektor perdagangannya, dan seringkali dianggap sebagai bentuk proteksionisme perdagangan. Kebijakan tersebut sering disebut dengan ‘six obtacles’ oleh pemerintah Jepang yang menganggap enam (6) kebijakan ini sebagai bentuk proteksionisme dan restriksi perdagangan di Korea Selatan.49
2. Liberal State Model pembangunan liberal state berdasar atas asas liberalisasi ekonomi. Berikut ini adalah beberapa karakteristik dan indikator model pembangunan liberal state :50 a. Pemerintah tidak ikut campur dalam aktivitas ekonomi Pemerintah liberal state klasik tidak mengintervensi kegiatan perekonomiannya karena meyakini bahwa pasar akan cenderung meluas secara spontan demi kepuasan kebutuhan manusia. Ekonomi 48
Robert Jackson & George Sorensen, Op Cit. hal. 234. Thomas Kase, Loc Cit. 50 Robert Jackson & George Sorensen, Op Cit. hal. 234-238. 49
pasar adalah sumber utama kemajuan, kerjasama, dan kesejahteraan; campur tangan politik dan peraturan negara dianggap tidak ekonomis, menyebabkan kemunduran, dan dapat menyebabkan konflik.51 Ekonomi liberal didasarkan pada pemikiran bahwa jika ekonomi dibiarkan mandiri maka perekonomian pasar akan berjalan spontan menurut mekanisme atau hukumnya sendiri.52 Namun, seiring dengan berkembangnya model pembangunan liberal state, terjadi perdebatan terhadap seberapa besar intervensi pemerintah dalam pembangunan ekonomi. Bagi para ekonom liberal modern, campur tangan politik pemerintah dalam situasi atau hal tertentu masih dibutuhkan. Misalnya, apabila terjadi kegagalan pasar, peraturan politik mungkin diperlukan untuk memperbaiki atau mencegah kegagalan pasar. Oleh karena itu, model pembangunan liberal state saat ini bukan berarti tidak ada intervensi pemerintah atau politik sama sekali, namun pemerintah memiliki intervensi dalam rangka mempersiapkan fondasi minimal yang dibutuhkan pasar, sehingga pasar dapat berfungsi secara tepat dan maksimal.53 b. Mendukung adanya perdagangan bebas Model pembangunan liberal state adalah pencetus adanya perdagangan bebas, yaitu aktivitas komersial yang dijalankan secara bebas dari perbatasan nasional. Mereka meyakini bahwa dengan adanya perdagangan bebas akan membawa keuntungan bagi semua 51
Robert Gilpin and Jean M. Gilpin. Op Cit. p. 30. Robert Jackson & George Sorensen, Op Cit. hal. 235. 53 Ibid. hal 236-237. 52
partisipan sebab perdagangan bebas akan membentuk adanya spesialisasi, spesialisasi meningkatkan efisisensi, dan efisiensi meningkatkan
produktivitas.54
Dengan
demikian,
liberal
state
meyakini bahwa dengan adanya perdagangan bebas, semua negara akan mendapatkan keuntungan melalui spesialisasi, dan kesejahteraan global akan meningkat.55 c. Hubungan antara ekonomi dan politik adalah ekonomi otonom56 Model pembangunan liberal state memiliki perekonomian pasar secara otonom. Dalam arti, suatu wilayah otonom dalam masyarakat yang berjalan atas dasar aturan hukumnya sendiri. Pemerintah tidak membuat aturan-aturan tersebut secara rigid untuk dipenuhi oleh penggerak perekonomiannya, sebaliknya para individu maupun perusahaan membuat aturannya masing-masing. Namun ada juga seperti di Amerika, para pengusaha berkumpul dalam suatu grup industri tertentu dan bersama-sama membuat peraturan yang dikehendaki yang juga disesuaikan dengan hukum multilateral saat ini. Dalam hal ini, pemerintah hanya berperan sebagai stabilisator ekonomi yang mencegah kegagalan pasar, dan sebagai perantara individu dan perusahaan untuk melakukan perdagangan dengan negara lainnya. d. Aktor utama liberal state adalah individu dan perusahaan swasta57
54
Ibid. hal 235. Ibid. 56 Ibid. hal 237-238. 57 Ibid. hal. 236. 55
Jika aktor utama developmental state adalah pemerintah atau negara, liberal state memiliki aktor sentral yang berbeda yaitu individu, baik sebagai produsen maupun konsumen. Pasar bagi liberal state adalah arena terbuka tempat para invidu bersama-sama menukarkan barang dan jasa. Individu tersebut bersifat rasional, sehingga ketika diterapkan di pasar, semua partisipan pasti untung. Pertukaran ekonomi di pasar bersifat ‘positive sum game’ yaitu setiap individu mendapatkan keuntungan lebih dari modal yang mereka tanamkan, sehingga para individu maupun perusahaan swasta tidak akan aktif di suatu pasar bilamana pasar tersebut tidak memberikan keuntungan bagi mereka. Model pembangunan liberal state merujuk pada perekonomian pasar bebas tidak hanya bersifat domestik saja namun juga ‘cross border’ atau lintas negara karena mereka tidak percaya pada ‘zero sum game’ yaitu jika menguntungkan bagi suatu negara, maka berarti kerugian bagi negara lainnya. e. Tujuan ekonominya adalah kesejahteraan maksimum individu dan sosial58 Pertukaran ekonomi dalam model pembangunan liberal state yang bersifat ‘positive sum game’ cenderung akan memaksimalkan keuntungan
individu,
rumah
tangga,
maupun
industri
yang
berpartisipasi di dalamnya. Liberal state percaya bahwa perekonomian pasar bebas sebagai suatu kemajuan ekonomi yang menimbulkan
58
Ibid. hal. 234-235.
keuntungan timbal balik dan juga memunculkan spesialisasi industri barang ataupun jasa yang akan memaksimalkan kesejahteraan per individu.
3. FTA Model Pembentukan
kerjasama
bilateral
yang
berupa
perjanjian
perdagangan bebas atau sering disebut dengan free trade agreement (FTA) banyak berkembang setelah adanya inisiasi FTA pertama kali oleh Amerika yaitu pembentukan NAFTA di tahun 1992.59 Berbagai negara memiliki tujuannya masing-masing dalam membentuk FTA, namun sebagian besar dari mereka memiliki ekspektasi bahwa dengan membentuk FTA maka berarti perluasan pasar perdagangan dan investasi mereka. Tidak semua ekspektasi pembentukan FTA terlaksana, biasanya pihak penginisiasi FTA lah yang berhasil mencapai ekspektasinya.60 Biasanya, FTA dibentuk oleh negara maju dan negara berkembang baik secara bilateral maupun regional. Pada sebagian besar FTA, negara maju bertindak sebagai inisiator, sedangkan negara berkembang lebih bersifat responsif. Banyak negara berkembang menginginkan keuntungan yang seimbang, namun yang sering terjadi dalam FTA adalah ketimpangan ekonomi antara negara maju dan negara berkembang. Ketimpangan
59
Siti Daulah Khoiriati, “The Formation of Bilateral FTA in Political-Economic Perspective : Comparing the US and the Japanese Model of FTA”, Journal of World Trade Studies, Vol. IV, No.1, November 2013, p. 7 60 Ibid.
tersebut terjadi karena kebanyakan negara maju merasa siap dengan daya saing industri domestiknya dan kemudian menginisiasi pembentukan FTA. Sementara itu, negara berkembang yang masih belum siap dengan daya saing industri domestiknya namun tetap setuju membuat FTA dengan negara maju dengan harapan bahwa akan ada kompensasi berupa transfer teknologi, bantuan keuangan dan sebagainya. Ironisnya, kompensasi yang dijanjikan tidak kunjung terlaksana dan bantuan keuangan yang diberikan memberi efek ketergantungan sehingga ketimpangan ekonomi pun terjadi. Meskipun resiko ketimpangan ekonomi tersebut sudah banyak disadari oleh negara berkembang, namun banyak juga dari mereka yang sepakat untuk membentuk FTA dengan alasan reputasi negaranya.61 Oleh karena itu, mengetahui motif dan kepentingan suatu negara membentuk FTA menjadi penting untuk mengetahui model pembangunan negara tersebut. Berdasarkan fenomena FTA yang terus bertambah dan sebagian besar FTA berbentuk kerjasama bilateral, maka jika diperhatikan berdasarkan jenis motif pembentukan FTA terbanyak, akan didapatkan dua tipe atau model FTA di dunia. Pertama adalah FTA model Amerika dan yang kedua adalah FTA model Jepang.62 Teori FTA model dibedakan berdasarkan atas motif yang melatarbelakangi terbentuknya FTA, keuntungan, dan kerugian dengan adanya pembentukan FTA. Berdasar pada penelitian yang dilakukan oleh pemerintah Amerika tentang dampak yang terjadi akibat adanya aktivitas perdagangan yang 61 62
Ibid. Ibid. p. 8-9
melibatkan perekonomian Amerika; menunjukkan bahwa dengan adanya perdagangan bebas, efek yang terjadi pada Amerika adalah penambahan jumlah lapangan kerja dalam jumlah kecil, jika terjadi peningkatan lapangan kerja di sektor pertanian maka berarti lapangan kerja di sektor tekstil, pakaian, dan retail akan kehilangan pekerjaannya. 63 Hal tersebut mengindikasi bahwa keuntungan yang didapatkan Amerika dengan membentuk FTA hanya sedikit saja. Dengan melihat fakta tersebut, maka Amerika seharusnya memiliki alasan kuat lain selain faktor ekonomi yang mendorongnya membentuk FTA dengan negara lain terutama negara berkembang. Bagi Amerika, keuntungan ekonomi bukanlah satu-satunya alasan untuk membentuk kerjasama bilateral berupa FTA. Jika melihat dari berbagai FTA yang dibentuk oleh Amerika, seperti halnya NAFTA, maka dapat disimpulkan bahwa sepertinya kepentingan politik memainkan peran lebih besar dibandingkan dengan kepentingan ekonomi di dalam FTA yang dibentuk oleh Amerika.64 Hal sebaliknya terjadi pada Jepang, kepentingan ekonomi memainkan peran yang lebih dominan dibandingkan dengan motif politik pada FTA nya dengan berbagai negara sejak Jepang menjadi negara yang sangat bergantung pada aktivitas perdagangan internasional. 65 Berdasar atas motivasi ekonominya, Jepang membentuk FTA dengan berbagai negara yang benar-benar memiliki urgensi kepentingan ekonomi.66
63
Ibid. Ibid. 65 Ibid. p.9 66 Ibid. 64
Jauhnya jarak secara geografis dan lemahnya kekuatan politik Jepang juga merupakan alasan mengapa Jepang lebih mengedepankan kepentingan ekonomi diatas kepentingan politiknya dalam membentuk FTA, jika FTA dengan suatu negara tidak memberikan keuntungan ekonomi pada Jepang, maka pemerintah Jepang tidak akan membentuk FTA dengan negara tersebut.67
E. ARGUMEN UTAMA Dilema Korea Selatan sebagai negara penganut model pembangunan developmental state yang masih bersifat proteksionis terhadap impor dari negara lain adalah karena orientasi pembangunannya berpusat pada kegiatan ekspor, maka akan secara otomatis membatasi produk impor dengan maksud untuk melindungi produk dalam negeri. Proteksionisme tersebut juga terbukti dengan adanya ketentuan-ketentuan hukum, persyaratan impor maupun investasi yang sulit, tidak transparan, dan mengandung banyak restriksi perdagangan terselubung. Namun jika proteksionisme tersebut dipertahankan maka akan merusak reputasinya di dunia sehingga akan menyulitkannya untuk melakukan aktivitas perdagangan dengan negara lain, ditambah lagi adanya globalisasi maka tekanan liberalisme perdagangan semakin tidak terbendung karena tuntutan perdagangan bebas hambatan dunia internasional semakin besar. Oleh karena itu, pemerintah Korea Selatan perlu memilih kebijakan yang tepat untuk merespon permasalahan tersebut.
67
Ibid.
Penandatanganan FTA merupakan salah satu strategi pemerintah Korea Selatan yang bertujuan untuk merespon tekanan liberalisasi di bidang perdagangan internasional dan sebagai jalan untuk membuka pasar ekspor yang lebih besar. Selain itu, FTA juga merupakan pemikiran jangka panjang yang
berupa
prioritas
perlindungan
tertinggi
dari
Amerika
untuk
mempertahankan negara dari serangan Korea Utara, China, maupun Jepang. Dan dengan adanya KORUS FTA, Korea Selatan memiliki perpanjangan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan ketentuan WTO untuk penyesuaian tariff bagi produk-produk dan sektor sensitifnya. Namun, dibalik penandatanganan FTA tersebut timbul suatu ancaman bagi Korea Selatan yaitu ancaman bagi dominasi pemerintah dalam aktivitas perdagangan Korea Selatan mengingat model pembangunannya adalah developmental state. Berbagai proteksi Korea Selatan terhadap impor dari Amerika yang perlahan harus diminimalisir juga merupakan ancaman tersendiri bagi model pembangunan developmental state. Ancaman-ancaman tersebut berpotensi memberikan dampak pergeseran model pembangunan di Korea Selatan dari developmental state menjadi liberal state yang didasarkan pada beberapa indikator sebagai berikut : 1. Intervensi pemerintah dalam kegiatan ekonomi, dengan adanya liberalisasi ekonomi maka berpotensi menurunkan dominasi pemerintah sebagai aktor utama perekonomian negara
2. Peran sektor swasta, liberalisasi ekonomi menggeser peran institusi swasta yang sebelumnya hanya sebagai alat pemerintah dalam rangka pemenuhan kepentingan negara menjadi aktor utama dalam kegiatan ekonomi negara.
F. METODOLOGI PENELITIAN Tesis yang berjudul DAMPAK “THE U.S. – SOUTH KOREA FREE TRADE
AGREEMENT
(KORUS
FTA)”
TERHADAP
MODEL
PEMBANGUNAN DI KOREA SELATAN : DEVELOPMENTAL STATE VS LIBERAL STATE akan ditulis menggunakan metode eksplanatif analitik. Metode ini adalah metode penulisan yang bertujuan untuk menjelaskan secara terperinci suatu fenomena tertentu berdasarkan suatu data yang didapatkan yang bersifat kualitatif serta dianalisa berdasarkan konsep atau teori. Data yang digunakan berasal dari pengumpulan berbagai data sekunder yang dibutuhkan. Data sekunder yang digunakan dalam tesis ini adalah teks perjanjian KORUS FTA, data indikator model pembangunan di Korea Selatan, serta data-data peraturan dan regulasi perdagangan antara Korea Selatan dengan Amerika Serikat yang didapatkan dari analisis tekstual terhadap kajian pustaka, trade report, informasi media massa dan tulisan-tulisan ilmiah di dalam jurnal ilmiah.
G. SISTEMATIKA PENULISAN Tesis yang berjudul DAMPAK “THE U.S. – SOUTH KOREA FREE TRADE
AGREEMENT
(KORUS
FTA)”
TERHADAP
MODEL
PEMBANGUNAN DI KOREA SELATAN : DEVELOPMENTAL STATE VS LIBERAL STATE ini terdiri dari beberapa bagian sebagai berikut : 1. Bab I. Pendahuluan, terdiri atas latar belakang masalah, rumusan masalah, studi literatur, kerangka teori, argumen utama, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. 2. Bab II. Proses Pembentukan KORUS FTA, yang terdiri atas proses negosiasi, ketentuan umun, dan sektor-sektor spesifik sebelum dan setelah adanya KORUS FTA. 3. Bab III. Pengaruh Pembentukan KORUS FTA terhadap Model Pembangunan
di
Korea
Selatan,
yang
terdiri
atas
Dilema
Developmental State Menghadapi Tekanan Liberalisme, Indikator Pergeseran Model Pembangunan (Developmental State ke Liberal State), Pengalaman Pergeseran Model Pembangunan Taiwan dari Developmental State menjadi Liberal State, dan Arah Model Pembangunan Korea Selatan Setelah Adanya KORUS FTA. 4. Bab IV. Kesimpulan 5. Daftar Pustaka 6. Lampiran