BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan 1. Permasalahan Perbincangan tentang pendidikan merupakan perbincangan perenial sepanjang sejarah, sebagaimana ungkapan Daisaku Ikeida (2006: 2) dalam bukunya The Light of Education, “Tidak seharipun berlalu tanpa perbincangan yang serius perihal keterpurukan negeri Jepang dengan sistem pendidikannya. Masalah yang serupa juga dialami seluruh negara di dunia”. Manusia dan pendidikan adalah dua entitas yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini terlihat pada proses perkembangan manusia dari tahap manusia primitif hingga ke taraf manusia modern (Driyarkara, 1980: 63). Setiap manusia memiliki hak atas pendidikan. Prinsip ini pun telah diproklamirkan
dan dikonfirmasi dalam butir-butir deklarasi internasional
(Jacqueline, 1970: 9). Pendidikan merupakan hal sentral dalam pembahasan tentang kemanusiaan, keduanya dipandang sebagai dasar dalam menciptakan masyarakat demokratis yang kompeten. Pendidikan harus diarahkan penuh pada pengembangan personalitas individu dan penguatan nilai menghargai hak asasi manusia dan kebebasan yang fundamental. Pendidikan harus menggaungkan pemahaman, toleransi dan persahabatan kepada semua bangsa, ras atau kelompok agama— Deklarasi Universal untuk HAM, 1948. ( dalam Nussbaum, 2010: 14). Pendidikan selalu berhubungan dengan tema-tema dan problem kemanusiaan. Artinya, pendidikan diselenggarakan dalam rangka untuk memberikan peluang bagi pengakuan derajat kemanusiaan. Pendidikan diselenggarakan dalam rangka 1
membebaskan manusia dari berbagai persoalan hidup yang melingkupinya. Mangunwijaya (1994: 113) mengatakan, semua negara yang beradab dan demokratis mengakui pendidikan sebagai hak primer. Tujuan akhir pendidikan adalah melakukan proses humanisasi (memanusiakan manusia) yang bertujuan pada proses pembebasan. Realitanya, menautkan pendidikan dengan kemanusiaan bukanlah perkara yang mudah. Seorang filsuf dengan pemikiran dibidang politik, pendidikan, etika dan juga teori klasik asal Amerika, Martha C. Nussbaum, menuding bahwa tanpa disadari pendidikan yang dihadapi saat ini mengalami krisis. Nussbaum menggambarkan situasi ini seperti sel kanker dalam tubuh manusia yang tanpa disadari suatu waktu akan merobohkan tubuh inangnya. Problem ekonomi yang fluktuatif bagi seluruh negara di dunia menjadi tren sebagai ancaman krisis yang paling ditakuti, bahwa dengan kemerosotan ekonomi seolah suatu negara akan hancur dan tidak bermartabat. Berbeda bagi Martha C. Nussbaum, ancaman terbesar yang dialami hampir diseluruh negara dunia sebenarnya adalah soal pendidikan yang semakin jauh dari esensinya. Martha C. Nussbaum menyebutnya sebagai “the silent crisis” (krisis diam-diam) untuk menggambarkan bahwa dunia tengah menghadapi sebuah tren yang diam-diam akan berdampak sangat buruk untuk masa depan suatu bangsa. Tujuan pendidikan yang sebenarnya telah tergerus secara kontinu baik di Amerika Serikat maupun hampir di seluruh penjuru dunia. Inisiatif pendidikan yang baru-baru ini diterapkan oleh banyak negara telah mencerminkan keberpihakan pada sains dan teknologi, dengan menafikan ilmu-ilmu sastra dan
2
humaniora. Degradasi tersebut tidak lain adalah hasil pemfokusan yang berlebih terhadap pertumbuhan ekonomi, sehingga lebih baik menjadikan dimensi pendidikan sebagai media edukasi yang membentuk siswa-siswi bernilai jual eknomis-efektif daripada berpengetahuan luas dan berempati sosial. Penekanan fokus yang hanya mementingkan aspek kemampuan mencari keuntungan akan berdampak pada pengikisan kemampuan berfikir kritis secara mandiri dan semakin lemahnya kemampuan bersimpati pada kaum marjinal dan golongan yang berbeda. Dampak jangka panjangnya adalah masa depan masyarakat yang semakin mementingkan dirinya sendiri dan acuh pada berbagai permasalahan dunia yang kompleks. Tentu hal ini tidak sejalan dengan harapan dari demokrasi yang sehat dan masa depan dunia yang damai, menurut hemat Nussbaum berasumsi bahwa krisis pendidikan akan menjadi ancaman yang serius untuk demokrasi dimasa mendatang. Keyakinan Nussbaum bahwa dunia sedang mengalami tren silent crisis, bukanlah argumen tanpa dasar, Nussbaum dalam bukunya Cultivating Humanity: A Classical Defence of Reform in Liberal Education (20019973: ix) menyatakan bahwa keresahan pribadi tersebut berdasar pada banyaknya pengalaman Nussbaum mengajar, yaitu selama dua puluh tahun di Universitas Harvard, Brown, dan Chicago. Pengalaman yang lain berupa perjalanan Nussbaum di universitas-universitas luar Amerika, utamanya di India. Bersasarkan pengalaman tersebut, tanpa sadar Nussbaum membandingkan apa yang telah dialami Nussbaum dengan apa yang telah Nussbaum baca tentang bagaimana pendidikan
3
liberal yang ideal di perguruan tinggi. Nussbaum merasa hal tersebut tidaklah sesuai dengan apa yang terjadi. The humanities and arts play a central role in the history of democracy, and yet today many parents are ashamed of children who study literature and philosophy. Philosophy and literature have changed the world, but parents all over the world are more likely to fret if their children are financially illiterate than if their training in the humanities is deficient (Nussbaum, 2010: ix). Kutipan tersebut merupakan kata pengantar Ruth O‟Brien dalam buku Not fot Profit (2010: x) karya Martha C. Nussbaum. Makna tulisan Ruth O‟Brien tidak lain ingin menyampaikan bahwa ilmu-ilmu sastra, filsafat dan humaniora lainnya telah kehilangan tempat di hati para orang tua yang menginginkan anak-anak mereka belajar tentang sesuatu yang pasti dan dapat menjamin masa depannya. Filsafat yang merupakan „induk dari segala ilmu pengetahuan‟, ilmu yang berjasa bagi peradaban. Ilmu yang telah membebaskan manusia dari mitos ke logos, tidak lantas menjadikan filsafat sebagai prioritas daripada ilmu-ilmu praktis lainnya. Tren dikalangan orang tua di seluruh dunia adalah lebih resah jika anak-anak lemah secara finansial daripada lemah dibidang kemanusiaan Nussbaum (2010: 6) mengutip Tagore bahwa manusia modern cenderung lebih sibuk mengejar dan terlena terhadap sesuatu yang membuatnya merasa aman secara material dan seakan lupa pada hakikat manusia lainnya, yaitu sebagai makhluk rohani. Kebergantungan manusia pada dunia materi telah memberikan kesan
mendalam
pada
pandangan
manusia
terhadap
individu
lain.
Kebergantungan pada dunia materi tersebut berhasil menempatkan manusia agar memposisikan individu lain sebatas tujuan instrumental daripada pandangan yang lebih mendalam dan kompleks sebagai sesama makhluk yang berjiwa. Akibatnya
4
pola pikir dunia pendidikan dan orientasi pendidikan hanya pada motif mendapat pekerjaan demi menunjang kebutuhan material. Fenomena tersebut jika terus berlanjut akan sampai pada potret kehancuran peradaban manusia dan mengantarkan manusia pada kehidupan seperti robot. Lembar awal Cultivating Humanity (1997), Nussbaum menekankan kepada pembaca bahwa pendekatan yang hendak Nussbaum gunakan adalah pendekatan filsafati. Latar belakang Nussbaum sendiri adalah merupakan seorang pemikir yang gigih dalam mengembangkan dan memperluas teori keadilan berdasarkan pendekatan kapabilitas, suatu pendekatan yang pertama kali dikemukakan oleh Amartya Sen. Pendidikan dengan paradigma liberal adalah sebuah pandangan yang menekankan pengembangan kemampuan, melindungi hak, dan kebebasan serta mengidentifikasi problem dan upaya perubahan sosial secara instrumental demi menjaga stabilitas jangka panjang. Nussbaum setuju bahwa ilmu pengetahuan itu penting, namun moralitas dan kemampuan berempati dalam membangun simpati antar sesama manusia tidak kalah pentingnya dengan ilmu pengetahuan. Manusia tidak mungkin menghadapi dunia yang begitu rumit hanya dengan mengandalkan pengetahuan faktual dan logika. ”Tahu banyak tidak membuat orang mengerti”, demikian kata Heraklitos yang dikutip Nussbaum (Supeli, 2015:15). Nussbaum selaras dengan argumen Smith menyoal cara memandang orang lain diluar diri manusia sebagai subjek, tentang bagaimana manusia mampu memandang orang lain sebagai sesama manusia dan bukan seekor siput berlendir atau sampah masyarakat. Akankah manusia memandang orang lain sebagai
5
sesama ataukah memperlakukannya seperti pelbagai objek di sekitar manusia lainnya? Bagi Nussbaum imajinasi memainkan peranan penting menyoal melatih dan memproduksi rasa simpati manusia, dengan cara mengimajinasikan apa yang akan terjadi pada orang lain akan terjadi pula pada diri subjek, seperti peribahasa “putting ourselves in one another‟s shoes” yang bermakna “dapat memposisikan diri sendiri dalam posisi orang lain”. Nussbaum meyakini bahwa dengan kemampuan mengimajinasikan posisi tersebut, rasa hormat-menghormati akan tumbuh dan dengan begitu dapat merobohkan dinding yang membatasi antar subjek, dari „others‟ menjadi „us‟. Dengan begitulah manusia memiliki kemampuan mengasihi atau berempati pada orang lain yang berbeda dari subjek yang mencoba menjadikan orang lain sebagai objek (Nussbaum, 1997: 69). Konsep pendidikan ala Nussbaum yang akan dibahas selanjutnya dalam penelitian ini, tidak terlepas dari latar belakang Nussbaum sebagai warga negara Amerika Serikat yang menggunakan sistem pendidikan Liberal Arts atau sistem pendidikan liberal yang digunakan Amerika Serikat kurang lebih sejak 2000 tahun lamanya dan berakar dari konsepsi pendidikan klasik Romawi dan Yunani. Sistem pendidikan Liberal Arts, ketika diajarkan dengan benar, mendorong salah satunya pemikiran kritis yang rasional serta kapasitas untuk membayangkan bagaimana memposisikan manusia dalam sudut pandang orang lain dengan agama, budaya, kelompok etnis, jenis kelamin, maupun keadaan fisik yang berbeda dari yang subjek miliki. Melalui Liberal Arts manusia didorong untuk melampaui latar belakang masing-masing dan dapat membayangkan bagaimana rasanya menjadi orang lain. Kemampuan ini diperoleh melalui diskusi, membaca, kerjasama, serta
6
panduan terarah. Setelah manusia memiliki kemampuan untuk membayangkan melalui proses empati untuk berada di posisi orang lain, kecil kemungkinannya manusia akan melihat seseorang sebagai aneh, menjijikan atau sebagai seorang musuh, dan sebagai hasil akan kecil pula kemungkinan bagi manusia untuk mengucilkan atau menjauhi orang lain. Berdasarkan apa yang telah dibahas diatas tentang pendidikan yang semakin jauh dari substansinya, peneliti tertarik mencari alternatif pandangan yang membahas tentang sebuah landasan filosofis dan ideologis menyoal pendidikan. Sejalan dengan hal itu, peneliti menemukan semangat transformasi pada pemikiran Nussbaum sama dengan yang ada pada pemikiran Aliran Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme. Raffel (2010:11) mendefinisikan pendidikan Rekenstruksionisme sebagai: “Educational Reconstruction is a philosophic base for the practice of community education—school without walls that encourage lifelong learning. It is this process which transforms the individual and society. This type of education is a basic tenet with its dual roles of transmitting and transforming school values”. (Pendidikan Rekonstruksi merupakan dasar filosofis untuk praktek mendidik masyarakat. “Sekolah tanpa dinding” yaitu mendorong pemhaman secara terus-menerus. Pendidikan adalah proses yang mengubah individu dan masyarakat. Jenis pendidikan Rekenstruksionisme adalah menggunakan prinsip dasar dengan peran ganda yaitu mentransmisi dan mengubah nilainilai sekolah). Peneliti dalam penelitian ini berusaha menunjukkan bahwa apa yang dirumuskan Nussbaum tentang pendidikan liberal sesungguhnya berada pada paradigma filsafat pendidikan aliran Rekonstruksionisme yang sama-sama bertujuan menjadikan pendidikan sebagai wadah perubahan sosial (social reform) menuju kehidupan yang lebih baik.
7
2. Rumusan masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan dikaji yakni sebagai berikut: 1. Apa itu yang dimaksud pendidikan dalam aliran Rekonstruksionisme? 2. Apa pandangan Nussbaum tentang pendidikan? 3. Apa hubungan filsafat pendidikan aliran Rekonstruksionisme dengan konsep pendidikan Martha C. Nussbaum?
3. Keaslian penelitian Sejauh penelusuran peneliti, dalam lingkup fakultas filsafat UGM belum ada penelitian yang mengangkat pemikiran Martha C. Nussbaum sebagai objek formal atau pun objek material. Adapun Peneliti menemukan 1 tesis mahasiswa strata S2 Fakultas
Filsafat
UGM
yang
berjudul
“Tinjauan
Filsafat
Pendidikan
Rekonstruksionisme untuk Pendidikan Pembangunan yang Berkelanjutan di Kota Tongyeong, Korea Selatan dan Relevansinya bagi Pendidikan di Indonesia”, tesis tentang Rekonstruksionisme tersebut diteliti oleh Hastangka pada tahun 2014. Hastangka menggunakan aliran pendidikan Rekonstruksionisme untuk meninjau sejauh mana dampak dari pendidikan Rekonstruksionisme di Tongyeong, Korea Selatan mempengaruhi laju pembangunan. Penelitian selain tesis Hastangka tentang pendidikan Rekonstruksionisme yang peneliti temukan dan berkaitan dengan filsafat pendidikan sebagai objek formalnya setidaknya terdapat 25 skripsi dari fakultas filsafat UGM. Skripsi-
8
skripsi tersebut membahas tentang filsafat pendidikan sebagai objek formal, misalnya skripsi dengan judul: Filsafat Pendidikan Confucius (Much Ono Bachtia: 1981), Melacak Filsafat Pendidikan Prof. Dr. Drs. Notonagoro, S.H (Djoko Agus Suprano: 1987), Konsep Pendidikan Masyarakat Baduy: Tinjauan Filsafat Pendidikan (Babay Jastantri: 1993), Konsep Pendidikan Alternatif Paulo Freire: Sebuah Perspektif Bagi Persoalan Pendidikan Di Indonesia (R.R Murtiningsih: 1994). Menurut peneliti penelitian tentang Konsep Pendidikan Martha Nussbaum yang ditinjau dari Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme merupakan penelitian baru dan belum dikaji sebelumnya.
4. Manfaat penelitian 1. Bagi peneliti Sebagai uji kompetensi pemahaman filosofis terkait persoalan filsafat pendidikan dan konsep pendidikan Martha C. Nussbaum. Penelitian ini juga menjadi wahana aktualisasi proses berfilsafat dalam diri peneliti. Selain itu, penelitian ini turut menjadi prasyarat guna memperoleh gelar sarjana. 2. Bagi perkembangan ilmu filsafat Menambah khasanah keilmuan bidang filsafat, khususnya kajian atas filsafat pendidikan Martha C. Nussbaum. Penilitian ini juga diharapkan sebagai sesuatu yang tidak begitu saja dianggap selesai, agar terbentuk iklim keilmuan yang dialektis bagi pemikiran filsafat itu sendiri dan mampu memberikan sumbangan konsep alternatif menyoal pendidikan. 3. Bagi kehidupan berbangsa dan bernegara
9
Ketika membahas bangsa dan negara, berarti harus menyebut masyarakat secara umum dan khusus. Bagi masyarakat secara khusus, semoga penelitian ini dapat menjadi refleksi bersama tentang pentingnya sebuah kesadaran pendidikan yang tepat, tidak hanya melihat pendidikan sebagai media untuk meraih karir atau kesejahteraan finansial di kemudian hari, tetapi lebih kepada media agar subjek yang dididik dapat berempati dan memposisikan dirinya ditengah masyarakat dikemudian hari. Bagi masyarakat secara umum, diharapkan dapat menjadi pandangan alternatif dalam merefleksikan esensi pendidikan yang utama bukanlah menyoal menjadikan individu yang dapat kuat dalam menafkahi dirinya dengan materi, tetapi lebih kepada mentransfer nilai-nilai untuk menjadikan individu sebagai manusia yang memanusiakan manusia dan melakukan perubahan sosial. Dengan begitu berdasarkan keyakinan Nussbaum, masa depan demokrasi bangsa akan menjadi kuat dan bermartabat.
B. Tujuan Penelitian Sebagai suatu penelitian ilmiah, penelitian ini bertujuan untuk menjawab persoalan yang terdapat dalam rumusan masalah yaitu : 1. Memberikan pemahaman terkait konsep pendidikan aliran rekonstruksionisme. 2. Menjabarkan konsep pemikiran Martha C. Nussbaum tentang pendidikan yang relevan demi mewujudkan peradaban yang kosmopolit. 3. Menganalisis corak pemikiran Nussbaum tentang konsep pendidikan dengan aliran pendidikan Rekonstruksionisme.
10
C. Tinjauan Pustaka Ingrid Robeyns (2011: 69) menyatakan terdapat tiga model pendektan dalam pendidikan, yaitu; sumber daya manusia (human capital), hak (rights) dan kapabilitas (capabilities). Dalam analisis Robeyns, pendekatan human capital dinilai problematik karena orientasinya yang terlalu ekonomistis, fragmentis dan instrumentalis. Sedangkan pendekatan hak dan kapabilitas, keduanya memiliki prinsip isu multi-dimensional dan model yang komprehensif. Kedua pendekatan ini dapat merangkul ranah intrinsik dan non-ekonomis yang merupakan ranah pendidikan sebagaimana mestinya. Pendekatan kapabilitas merupakan sebuah kerangka heuristik yang dibuat oleh Sen dalam mengevaluasi kualitas hidup menggunakan kebebasan sebagai basis untuk menilai kesejahteraan individu, meskipun konsep kapabilatas merupakan konsep yang dibuat dari sebuah perspektif relasi politik, namun pendekatan kapabilitas dapat pula didefinisikan sebagai perangkat peluang nyata yang dimiliki seorang individu untuk memilih dalam rangka mencapai kehidupan yang bernilai. Sama halnya dengan Sen, Nussbaum juga menyandarkan teorinya pada pendekatan kapabilitas yang berkonsentrasi pada kualitas hidup. Nussbaum menempatkan kapabilitas sebagai substansi ramuan dalam proyek menyoal teori keadilan.
Fokus
Nussbaum
adalah
pada
sifat
lentur
(flexibility)
dan
ketidaksempurnaan (incompleteness) dari pendekatan kapabilitas yang dapat disesuaikan dengan relativisme budaya, sebagaimana sasaran Nussbaum
11
membangun teori dengan basis yang kokoh untuk membuat kebijakan publik yang menjamin hak-hak warga negara dalam hal yang universal (Deneulin, 2011: 34). Sen dan Nussbaum banyak bekerja sama. Nussbaum pun mengakui pengaruh Sen dalam pemikirannya, kendati Nussbaum juga menegaskan perbedaannya dengan Sen. Bagi Nussbaum, pendekatan kapabilitas Sen terlalu umum. Nussbaum yakin, pendekatan itu hanya akan bermanfaat bagi program pembangunan apabila dilengkapi dengan rumusan konkret tentang kapabilitas utama manusia sebagai tolok ukur minimum bagi keadilan sosial (Supeli, 2015: 15). Sofia (2015: 282-283) dalam tulisannya yang mengutip buku Nussbaum “Women and Human Development The Capabilities Approach” (Nussbaum, 2000: 78-80), menegaskan bahwa kapabilitas versi Nussbaum disandarkan pada aspek filsafati, lebih spesifiknya Nussbaum menggunakan konsepsi Aristotelian “the good life” (kehidupan yang baik). Nussbaum mengusulkan daftar kapabilitas dengan sepuluh komponen dasar (hidup, kesehatan tubuh, integritas tubuh, indraimajinasi-pikiran, emosi, nalar praksis, afiliasi, hubungan dengan spesie lain, bermain, dan kendali atas lingkungan) dan merupakan batas minimum yang digunakan sebagai tolak ukur kehidupan bermartabat. Perhatian khusus dari daftar kapabilitas diberikan pada kemampuan nalar praktis (practical reason) dan afiliasi (afiliation), karena kedua kapabilitas tersebut merupakan inti yang mengorganisir kapabilitas lainnya. Nilai daripada pendidikan yang tepat amat penting dalam mewujudkan daftar kapabilitas Nussbaum (Sofia, 2015: 284).
12
Daftar kapabilitas Nussbaum bersifat terbuka bagi perubahan (open-ended) dan dapat dibuat ulang (remade), dan tentunya daftar kapabilitas Nussbaum terinspirasi dari daftar kapabilitas dasar lain, yaitu kapabilitas keadilan gender ala Robeyn (2003) atau kapabilitas dalam pendidikan tinggi ala Walker (2006). Nussbaum berpendapat bahwa memiliki daftar kapabilitas sangat penting untuk menghindari kelalaian dari isu-isu kekuasaan yang terjadi sebagai akibat dari preferensi adaptif, dapat jadi tanpa adanya daftar kapabilitas seorang individu akan terdidik menjadi manusia yang tidak menghargai nilai, bahwa setiap manusia memiliki kapabilitas yang setara (Sofia, 2015: 285). Nussbaum mengklaim “untuk mengetahui martabat manusia adalah dengan memposisikannya pada term universal”, membatasi kebebasan individual untuk menyatakan konsep yang berbeda menyoal “human life” (konsepsi kehidupan manusia), dan berbicara tentang subaltern (Spivak, 1988). Tentunya pemikiran Nussbaum menuai kritik, utamanya Charusheela (2009) yang menuding daftar kapabilitas
Nussbaum
adalah
bentuk
dari
karakter
neo-kolonial,
dan
mengklasifikasikannya sebagai etnosentris dan paternalistik. Menanggapi hal tersebut, Nussbaum mengklaim bahwa dengan mendefinisikan sebuah daftar kapabilitas secara universal justru akan menciptakan kondisi yang aman untuk setiap hak individual, sejak hanya ketika kapabilitas dasar dijamin maka seseorang akan dapat mengerahkan mereka dalam memilih. Oleh karena itu nilai menunjukan HAM sebagai kapabilitas dan tidak hanya sebagai fungsi-fungsi, karena pendekatan kapabilitas memberi cukup ruang untuk konsepsi plural tentang makna apa itu kehidupan yang bernilai (what is a valued life). Disisi lain,
13
Nussbaum juga berargumen bahwa spesifikasi dari beberapa konsep kapabilitas dasar adalah penting karena tidak semua impian individu adalah baik hanya karena mereka bebas memilih, dan beberapa dapat menyebabkan bahaya yang besar jika kebebasan digunakan untuk tujuan yang salah (Sofia, 2015: 285-287). Menurut Deneulin (2011) tentang dua versi pendekatan kapabilitas Sen dan Nussbaum yaitu; versi Sen dapat disebut sebagai liberal-evaluative (liberalevaluatif), yang hanya difokuskan pada evaluasi pengaturan sosial dengan titik tekannya pada penyediaan kebebasan, sedangkan versi pendekatan kapabilitas Nussbaum cenderung berada pada transformative-relational (transformasirelasional), dengan demikian Nussbaum memaksudkan adanya perubahan dan perbaikan terhadap situasi sosial yang menindas (Unterhalter, Walker, & Vaughan, 2007: 13). Versi Nussbaum, meski menggunakan individualisme etis ala Sen, dapat dikatakan memiliki akar yang lebih komunitarian, karena komitmen Nussbaum dalam hal konsepsi umum yang baik (a common conception of the good) dan pengakuan atas aspek konstitutif hubungan antar manusia. Tentang hal pendidikan, pernyataan Sen cenderung digunakan dalam diskusi umum tentang kebijakan dan kritik terhadap teori pendidikan dan ekonomi, sementara tulisan Nussbaum diarahkan pada „konten‟ pendidikan, karena itu pemikiran Nussbaum tentang pendidikan tepat jika digunakan untuk menganalisis proses pendidikan (Unterhalter, Walker, & Vaughan, 2007: 14-15). Nussbaum mengadopsi banyak pemikiran Yunani dan Romawi. Nussbaum menghidupkan kembali pemikiran klasik tersebut pada para pembacanya. Bagi
14
Nussbaum pendidikan dapat disebut sebagai “pendidikan liberal” hanya jika pendidikan itu memberikan kebebasan berpikir pada siswa-siswi, mendidik siswasiswi dalam mengendalikaan pikiran mereka secara mandiri dan yang terpenting dapat mengaplikasikan gaya kritis sokratik. Berdasarkan penelusuran peneliti tentang pemikiran Nussbaum, belum ditemukan penjabaran tentang bagaimana konsep pendidikan Nussbaum yang kemudian dipetakan dalam aliran filsafat pendidikan dan ideologi-ideologi pendidikan.
D. Landasan Teori Pendidikan sebagai gejala sosial dalam kehidupan mempunyai landasan individual, sosial, dan kultural. Pendidikan pada skala mikro adalah pendidikan bagi individu dan kelompok kecil berlangsung dalam skala terbatas, seperti antara sesama sahabat, antara seorang guru dan satu atau sekolompok kecil siswanya, antara suami dan istri dalam keluarga, antara orangtua dan anak. Pendidikan dalam skala mikro diperlukan agar manusia sebagai individu berkembang potensinya dan perangkat bawaaan manusia lebih baik dan lengkap (Salahudin, 2011: 160). Prof. Robert W. Richey (1968: 489) dalam buku “Planning for Teaching, an Introduction to Education” menyatakan istilah pendidikan berkenaan dengan fungsi yang luas dari pemeliharaan dan perbaikan kehidupan suatu masyarakat terutama warga masyarakat baru (generasi muda) bagi penunaian kewajiban dan tanggung jawabnya dalam lingkungan masyarakat. Pendidikan adalah suatu
15
proses yang lebih luas dari pada proses yang berlangsung dalam sekolah. Pendidikan adalah suatu aktivitas sosial yang esensial yang memungkinkan bagi masyarakat yang komplek dan modern. Fungsi pendidikan ini mengalami proses spesialisasi dan melembaga dengan pendidikan formal, yang tetap berhubungan dengan proses pendidikan informal di luar sekolah. Berbicara tentang penggolongan dalam pendidikan, terdapat dua ranah pembahasan yang sering dijadikan acuan. Pertama penggolongan model Theodore Bramled yang dikategorikan sebagai „filosofi pendidikan‟ atau aliran dalam filsafat pendidikan. Upaya penggolongan Bramled berisi empat pendekatan filosofis pendidikan yaitu perenialisme, esensialisme, progresifisme dan Rekonstruksionisme (Bramled, 1956: 4-19).
Teori Filosofi
Model
Pendidikan
Kurikulum
Pembelajaran
Perenialisme
Pendidikan Klasik Subject Matter
Proses Informasi
Esensialisme
Pendidikan
Pembelajaran
Kompetensi
Teknologik Progressivisme
behavioristik
Pendidikan
Humanistik
Humanistik
Rekonstruksi
PBL (Problem
Sosial
based learning)
Personal Rekonstruksionisme Pendidikan Interaksional
Tabel 1.1 Bagan Aliran Filsafat Pendidikan
Pendidikan dalam perenialisme memiliki sasaran berupa “kepemilikan atas prinsip-prinsip tentang kenyataan, kebenaran dan nilai yang abadi, tidak terikat
16
waktu maupun ruang” (Bramled, 1956: 11). Perenialisme berakar pada tradisi filosofis yang dapat dilacak kembali ke filosofi Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas. Perenialisme mengajukan keberadaan pola-pola yang tidak dapat berubah dan bersifat universal, dengan begitu perenialisme dapat melatari dan menentukan seluruh obyek serta peristiwa yang ada dalam kenyataan (obyek dan peristiwa aktual). Cara pandang-budaya menyeluruh dalam perenialisme sangat bersifat mundur (regresif). Perenialisme berupaya memulihkan tolak ukur mutlak yang mengatur dunia zaman kuno dan zaman pertengahan, dan mengandung sifat menentang demokrasi yang murni. P. Kneller dalam bukunya “introduction to philosophy of education”, bahwa dasar-dasar perenialisme bersumber pada filsafat kebudayaan yang mempunyai dua versi; teologis dan sekuler (Noor, 1984: 297). Esensialisme berpegang pada pernyataan utama bahwa “alam semesta beserta segala unsurnya diatur oleh hukum yang mencakup semuanya serta tatanan yang sudah mapan sebelumnya, karena itu tugas utama manusia adalah untuk memahami hukum dan tatanan tersebut hingga manusia dapat menghargai dan menyesuaikan diri dengannya” (Bramled, 1956: 8). Seorang esensialis akan memandang sasaran utama sekolah adalah untuk mengenalkan siswa kepada karakter dasar alam semesta yang tertata itu, dengan cara mengenalkan mereka pada warisan budaya. Secara filosofis, esensialisme dilandasi oleh prinsip-prinsip klasik dari realisme dan idealisme modern. Realisme modern, yang menjadi salah satu eksponen esensialisme, titik berat tinjauannya adalah tentang alam dan dunia
17
fisik; sedangkan idealisme modern sebagai eksponen lain, pandanganpandangannya bersifat spiritual (Bernadib, 1976: 39). Pendidikan bagi seorang progresif memiliki tujuan utama bahwa sekolah adalah untuk meningkatkan kecerdasan praktis, membuat siswa lebih efektif dalam memecahkan berbagai problem yang disajikan dalam konteks pengalaman pada umumnya. Karakteristik progresifisme pendidikan bersifat duniawi, menjelajah, aktif, dan evolusioner. Orientasi progresifisme adalah menyoal sebuah tafsiran tentang cara hidup liberal dalam budaya Amerika (Bramled, 1956:4). Aliran progresivisme didukung oleh aliran semisal pragmatisme, realisme, empirisme dan naturalisme yang tidak memberikan jawaban-jawaban terakhir (final) yang pasti, dan mengabsahkan kesimpulan-kesimpulan melalui konsekuensi-konsekuensi pelaku (Bernadib, 1976: 14). Rekonstruksionisme berpandangan bahwa sekolah semestinya diabdikan kepada pencapaian tatanan demokratis yang mendunia. Seorang rekonstruksionis yakin bahwa teori pada puncaknya tidak terpisahkan dari latar belakang sosial dalam suatu era kesejarahan tertentu. Pikiran, dengan begitu adalah sebuah keluaran atau produk dari kehidupan di sebuah masyarakat tertentu (Bramled, 1956: 18). Kedua, perkembangan kependidikan sejauh ini telah membuka arah baru pendidikan kemasyarakatan yang berbasis pada karakter manusia dan masyarakat itu sendiri. Sepanjang sejarah terdapat paradigma aliran-aliran pendidikan yang berpengaruh, model pendidikan tersebut oleh Henry Giroux, Aronowitz, dan William F. O‟neil disebut sebagai „ideologi pendidikan‟. Penggolongan
18
berdasarkan ideologi pendidikan berisi seputar ideologi dengan paradigma konservatif dan liberal. O‟neil (2002: 104-16) membagi Ideologi pendidikan konservatif menjadi tiga tradisi pokok yaitu: 1. Fundamentalisme pendidikan adalah corak konservatisme politik yang pada dasarnya anti-intelektual dalam arti bahwa kaum fundamentalis ingin meminimalkan pertimbangan-pertimbangan filosofis dan atau intelektual serta cenderung untuk mendasarkan diri mereka pada penerimaan yang relatif tanpa kritik terhadap kebenaran yang diwahyukan atau konsensus sosial yang sudah mapan (biasanya diabsahkan sebagai akal sehat). 2. Intelektualisme
pendidikan
lahir
dari
ungkapan-ungkapan
konservatisme politik yang didasarkan pada sistem-sistem pemikiran filosofis atau religius yang pada dasarnya otoritarian. Secara umum, konservatisme filosofis ingin mengubah praktif-praktik politik yang ada (termasuk praktik-praktik pendidikan), demi menyesuaikannya secara lebih sempurna dengan cita-cita intelektual atau rohaniah yang sudah mapan dan tidak bervariasi. 3. Konservatisme pendidikan pada dasarnya adalah posisi yang mendukung ketaatan terhadap lembaga-lembaga dan proses-proses budaya yang sudah teruji oleh waktu (sudah cukup tua dan mapan), didampingi rasa hormat mendalam terhadap hukum dan tatanan yang berlaku, sebagai landasan perubahan sosial yang konstruktif. Sasaran
19
utama sekolah adalah pelestarian dan penerusan pola-pola sosial serta tradisi-tradisi yang sudah mapan. Tradisi liberal dalam O‟neil (2002: 108-111) juga terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, liberalisme pendidikan yang bersifat metodis, direktif (terstruktur), dan non-direktif. Liberalisme pendidikan menginginkan perubahan di dalam tatanan sosial yang mapan, tokoh-tokoh dalam liberalisme pendidikan adalah J. Herbart, John Locke, Bejamin Franklin dan J.J Rousseau. Kedua, liberasionisme bersifat reformatif, radikal, dan revolusioner. Liberasionisme Pendidikan menginginkan perubahan-perubahan cepat dan berskala besar dalam hakikat tatanan sosial yang mapan, tokoh-tokoh Liberasionisme Pendidikan adalah John Dewey, Wilhelm Rich, dan George Count. Ketiga, Anarkisme Pendidikan yang bersifat taktis, radikal dan utopis. Anarkisme menginginkan pembebasan umat manusia dari aturan kelembagaan, tokoh-tokoh dalam Anarkisme Pendidikan tercermin dalam tulisan-tulisan Gandhi, Ivan Illich dan Paul Goodman. Kerapkali dinyatakan bahwa, misalnya, filosofi-filosofi konservatif—yakni sistem-sistem pemutlakan keyakinan yang didasarkan pada prakiraan-prakiraan metafisis, seperti realisme klasik dan idealisme—secara logis meniadakan berbagai keyakinan pendidikan tertentu. Bagi beberapa filosof pendidikan, dapat dikatakan bahwa semua isealis (sering juga termasuk realis Aristotelian dan Thomistis) cenderung untuk dipandang sebagai para perenialis pendidikan. Realis yang lebih kontemporer, atau yang „ilmiah‟ (kecuali bila orientasinya sangat tradisional) cenderung dianggap sebagai esensialis pendidikan—yakni posisi yang
20
dalam banyak hal berkait dengan ideologi konservativisme pendidikan (O‟neil, 2002: 16). Pandangan filosofis pragmatis ditampilkan sebagai golongan pendidik progresif, atau, bila menganut haluan politik radikal digelari rekonstruksionis sosial. Sedangkan para eksistensialis—kecuali jika istilah ini dipakai untuk melambangkan sebuah filosofi pendidikan ataupun sebuah sistem filosofi secara umum—cenderung dipandang sebagai progresif, rekonstruksionis, atau keduaduanya sekaligus (O‟neil, 2002: 16). Berdasarkan penjabaran tentang dua ranah penggolongan dalam pendidikan yaitu yang disebut filosofis dan ideologis. Peneliti menilai kecenderungan konsep pemikiran Martha C. Nussbaum menyoal Pendidikan lebih tertuju pada aliran Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme dan paradigma liberal khususnya Liberasionisme Pendidikan dalam ranah ideologis. Selanjutnya penelitian ini akan diarahkan lebih spesifik lagi utamanya menyoal konsep Nussbaum tentang pendidikan.
E. Metode Penelitian 1. Model atau jenis penelitian Penelitian ini merupakan penelitian dengan model historis faktual tokoh. Peneliti mengikuti cara dan arah pikiran seorang tokoh filsuf, yaitu Martha C. Nussbaum. Dengan demikian sudah dengan sendirinya, bahwa objek (formal) penelitiannya bersifat filosofis. Tokoh itu sendiri, dengan berpikir secara filosofis, sudah mempergunakan segala unsur metodis umum yang berlaku bagi pemikiran
21
filsafat, dengan gayanya pribadi. Sehingga penelitian ini hanya ikut serta dalam pemikiran tokoh yang bersangkutan (Bakker & Zubair, 2013: 63). 2. Bahan dan materi penelitian Penelitian ini merupakan studi kepustakaan terkait pemikiran Martha C. Nussbaum yang sekaligus sebagai objek material, sedangkan objek formal atau topik yang ingin dicari singularitasnya adalah tentang konsep pendidikan. Penelitian ini membagi bahan penelitiannya menjadi dua, yakni sumber primer, yang dibagi menjadi primer material dan primer formal, dan sumber sekunder. Sumber primer material adalah karya-karya Martha C. Nussbaum, sedangkan sumber primer formal adalah karya-karya yang membahas problematika filsafat pendidikan. Sumber sekunder adalah buku komentar tentang Martha C. Nussbaum dan karya lain yang relevan dalam analisis penelitian. a. Sumber Pustaka Primer untuk Objek Formal: 1) Ideologi-ideologi Pendidikan, William F. O‟Neil, 2002, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. 2) The Educational Philosophy of Reconstructionism, Mosier, Richard. 1951, The Jurnal of Educational Sociology, Vol. 25, No. 2 (Oct., 1951): American Sociological Association. 3) Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan, Jalaluddin dan Abdullah Idi. 1997, Gaya Media Pratama, Jakarta. 4) Planning for Teaching an Introduction to Education, Richy, Robert W, 1968, The University of Chicago Press, Chicago.
22
5) A Dictionary of the Roman Empire, Bunson, Matthew, 1991, Oxford University Press, London. b. Sumber Pustaka Skunder untuk Objek Formal: 1) Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan, Jalaluddin & Abdullah Idi. 2012, Jakarta, Rajawali Press. 2) Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode, Prof Imam Barnadib PhD, MA, 1976, FIP IKIP Yogyakarta, Yogyakarta. 3) Modern Philosophies of Education, John Brubacher, 1969, The McGraw Hill-Book Company. Inc, USA. c. Sumber Pustaka Primer untuk Objek Material: 1) Cultivating Humanity: A Classical Defence of Reform in Liberal Education, karya Martha C. Nussbaum, 1997, Harvard University Press, USA. 2) Not For Profit: Why Democracy Needs the Humanities?, karya Martha C. Nussbaum, 2010, Princeton University Press, New Jersey. d. Sumber Pustaka Penunjang untuk Objek Material: 1)
“Education and Democratic Citizenship: Capabilities and Quality Education”, Nussbaum, Martha. Nov, 2006, Journal of Human Development Vol. 7, No.3.
2) "Trading on America's puritanical streak", The Atlanta JournalConstitution, Nussbaum, Martha, March 14, 2008.
23
3)
“Cultivating Humanity in Legal Education,” Martha C. Nussbaum. The University of Chicago Law Review, Vol. 70, no. 1 (Winter 2003), p. 267
4) "Danger to Human Dignity: The Revival of Disgust and Shame in the Law". Nussbaum, Martha C. Agustus, 2004. The Chronicle of Higher Education. Washington, DC. Retrieved 2007-11-24.). 5) Sex & Social Justice, Nussbaum, Martha, 1999, Oxford University Press, New York. 6) Women and Human Development. Nussbaum, Martha, 2000, Cambridge University Press, New York. 7) From Disgust to Humanity: Sexual Orientation and Constitutional Law. Nussbaum, Martha, 2010b, Oxford University Press, London.
3. Jalan penelitian Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahap secara berurutan dan sistematis, adapun sebagai berikut: a. Inventarisasi dan kategorisasi, yaitu pengumpulan data kepustakaan sebanyak mungkin dan penunjang lainnya yang berkaitan dengan objek material dan objek formal penelitian, kemudian dipilah sesuai tujuan penelitian. b. Klasifikasi, yaitu memilah data yang telah diperoleh menjadi data primer dan data sekunder. Pemisahan dan klasifikasi dilakukan pada sumber 24
seperti buku, jurnal, dan artikel yang memiliki keterkaitan dengan objek formal maupun objek material penelitian. Sumber primer digunakan sebagai acuan utama, sementara sumber sekunder sebagai penunjang jalannya penelitian. c. Analisis, yaitu menganalisis data primer dan data sekunder, kemudian mengeliminasi dan memilah data yang tidak perlu untuk disintesiskan sesuai dengan gagasan dalam upaya memperkuat hasil penelitian. d.
Penyusunan penelitian adalah penyusunan penelitian secara sistematis terhadap data-data yang telah diklasifikasi. Disertai dengan argumen kritis melalui analisis penelitian. Kemudian, disimpulkan dan seluruh bagian penelitian disusun sesuai format penelitian skripsi S1 filsafat Universitas Gadjah Mada.
4. Analisis Data Metode Penelitian ini adalah model penelitian historis faktual tentang tokoh. Dengan kata lain penelitian ini akan memahami suatu singularitas dalam generalitas pemikiran tokoh untuk mendapatkan satu pemahaman baru dalam satu bidang (Bakker & Zubair, 2013: 60-62). a. Interpretasi:
Proses
analisis
dilakukan
dengan
menerangkan,
mengungkapkan dan menerjemahkan. Peneliti berusaha sekeras mungkin untuk masuk dalam pemikiran Martha C. Nussbaum.
25
b. Komparasi: Interpretasi atas pemikiran Martha C. Nussbaum akan coba ditengahkan dengan pemikiran-pemikiran lain yang mirip, berlawan, dan atau penting secara historis dalam usaha elaborasi. c. Kesinambungan historis: analisis terhadap pemikiran Nussbaum dilakukan dengan memperhatikan perkembangan historis pemikirannya, yakni menyangkut lingkungan historis, pengaruh-pengaruh yang dialaminya, relasinya dengan filsuf lain serta kondisi zaman yang membentuk pandangannya. d. Heuristik: keseluruhan eksplorasi konsep dan pemahaman disintesiskan menjadi satu bangunan pikir yang utuh untuk dicari suatu kebaruan.
F. Hasil yang Telah dicapai Hasil yang dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Memperoleh landasan dan inti aliran Rekonstruksionisme dan ideologi pendidikan liberal. b. Memahami secara kritis latar belakang, landasan filosofis dan aliran dari pemikiran Martha C. Nussbaum. c. Memahami dan menelaah konsep inti dari pemikiran pendidikan liberal Nussbaum sehingga dapat memperoleh alternatif pandangan tentang persoalan pendidikan yang memiliki cita-cita utama yaitu memanusiakan manusia. G. Sistematika Penulisan
26
Penelitian ini akan dijabarkan secara sistematis dalam lima bab sebagai berikut: 1. BAB I : berisi tentang latar belakang dilakukannya penelitian ini, rumusan masalah yang hendak diajukan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, hasil yang akan dicapai dan sistematika penulisan. 2. BAB II : memuat pengertian filsafat pendidikan dan hakikat manusia. kemudian lebih spesifik pada aliran Rekonstruksionisme berupa landasan ontologi, epistemologi, aksiologi dan ruang lingkup Rekonstruksionisme. 3. BAB III : merupakan uraian tentang ideologi pendidikan liberal yang memiliki tiga tradisi antara lain: liberalisme pendidikan, Liberasionisme Pendidikan dan Anarkisme Pendidikan. poin kedua berisi tentang pemahaman atas latar belakang pemikiran Nussbaum dengan menjabarkan riwayat hidup Nussbaum, tokoh-tokoh yang mempengaruhi Nussbaum dalam merumuskan konsep pendidikan dan karya-karya Nussbaum. 4. BAB IV : memuat konsep pendidikan dalam perspektif Nussbaum, dimulai dari latar belakang Nussbaum menulis tentang pendidikan liberal, pengertian dan tujuan pendidikan liberal Nussbaum, dan konsep pendidikan liberal Nussbaum. Poin kedua berupa analisis peneliti tentang corak Rekonstruksionisme yang ditemukan peneliti pada konsep pendidikan liberal Nussbaum, peneliti juga menganalisis aliran liberal apa yang digunakan pada konsep pendidikan liberal Nussbaum. Terakhir
27
peneliti memberikan evaluasi kritis atas konsep pendidikan liberal Nussbaum beserta relevansi bagi pendidikan di Indonesia. 5. BAB V : bab ini berisi tentang kesimpulan yang merupakan ringkasan uraian dari bab-bab sebelumnya serta saran dan solusi dari peneliti.
28