BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Permasalahan Perbedaan budaya adalah karakteristik khas dari komunikasi antar budaya, hal ini seperti yang dikemukakan oleh Samovar dkk. (1984:16), komunikasi antar budaya adalah komunikasi dengan ciri sumber dan penerima pesan berasal dari budaya yang berbeda. Komunikasi merupakan fungsi dari budaya. Oleh karena itu, perilaku komunikasi adalah cerminan budaya asal dari partisipannya. Komunikasi bersifat simbolik. Pada saat seseorang menggunakan simbol-simbol, baik berupa kata-kata atau gestura, diasumsikan bahwa orang lain juga menggunakan sistem simbol yang sama. Hal ini bermasalah ketika komunikasi itu dilakukan dengan pasangan yang berbeda, karena masing-masing budaya mengembangkan sistem simbol yang berbeda dengan budaya lainnya. Dengan demikian, perbedaan budaya menyebabkan adanya penggunaan simbol berbeda dan persepsi berbeda atas pesan yang disampaikan, sehingga komunikasi tidak dapat mencapai tujuannya. Sebagai contoh, ketika ada perbedaan budaya dalam komunikasi untuk merubah perilaku, maka dapat menyebabkan perubahan perilaku itu tidak dapat tercapai atau tidak sesuai dengan maksud penyampai pesan. Oleh karena itu dalam komunikasi antar budaya diperlukan kompetensi tertentu sebagai solusi atas masalah komunikasi karena perbedaan budaya. Adaptasi merupakan salah satu kompetensi komunikasi. Adaptasi antar budaya dalam “Stranger Adaptation” adalah penyesuaian diri oleh seseorang atau sekelompok orang saat memasuki budaya yang berbeda (Furnham, 1992). 1
Menurut Ellingsworth (1988:259), adaptasi merupakan konsep yang menonjol di tahun 1980-an. Adaptasi merupakan perubahan yang dibuat oleh individu-individu di dalam identitas afektif dan kognitif mereka dan di dalam perilaku interaktif mereka yang berkaitan dengan lingkungan budaya baru. Kajian ini menjadi cepat marak oleh fenomena migrasi yang muncul, khususnya di Amerika Serikat. Pada waktu itu mengalir imigran atau pesinggah jangka panjang, seperti mahasiswa yang belajar di luar negeri, ahli teknik, kaum profesional, ahli manajemen yang bekerja di luar negeri, dan perwakilan pamasaran yang terlibat dalam perdagangan internasional. Kajian diawali dengan menyorot aspek motivasi imigran dalam melakukan adaptasi. Dimensi waktu merupakan faktor kuat yang berpengaruh pada motivasi. Selanjutnya motivasi menentukan sifat dan tingkat adaptasi. Terhadap para imigran atau para pesinggah jangka panjang tersebut, para ahli antropologi, sosiologi, dan komunikasi berfokus pada dimensi-dimensi asimilasi budaya. Asimilasi merupakan suatu tahap setelah terjadi kontak antar budaya. Dalam kerangka ini pakar komunikasi antar budaya, yakni Young Yun Kim mengaitkan perilaku komunikasi dengan akulturasi. Kim (1995:170) mengemukakan bahwa migran dan pesinggah berpindah tempat untuk mencari kehidupan baru. Individu-individu tersebut adalah orang yang berupaya masuk ke dalam suatu budaya yang tidak dikenal. Dalam konteks ini ia mengembangkan pemikiran tentang sesuatu yang terjadi ketika individu, yang lahir dan dibesarkan dalam suatu budaya, memasuki budaya lain yang tidak dikenal. Setelah itu ia mempertanyakan apa peran komunikasi dalam proses ini. Selain itu juga pertanyaan mengapa ada individu yang berhasil dan ada yang tidak dalam menjumpai tantangan-tantangan lintas budaya.
2
Riset doktoralpun mulai diarahkan pada isu-isu tersebut melalui survei terhadap migran Korea di wilayah Chicago. Iapun mengarahkan studi lebih lanjut terhadap para migran dan kelompok pengungsi di Amerika Serikat, yang meliputi orang Jepang, Meksiko, Vietnam, Kamboja, dan Laos. Pada tulisan yang berjudul “Adapting to New Cultures” tahun 1997, Gudykunst dan Kim berfokus pada adaptasi yang terjadi di kalangan strangers. Konsep strangers mengacu pada sekelompok orang dari kelompok budaya lain. Mereka menyoroti akivitasaktivitas komunikasi strangers dalam beradaptasi dengan lingkungan budaya baru dan tidak dikenal. Gudykunst dan Kim (1997:335) mengemukakan bahwa semua orang dapat menjadi stranger dan memerlukan proses adaptasi ketika memasuki lingkungan budaya baru atau tidak dikenal. Adaptasi dalam konteks ini dikaitkan dengan perpindahan tempat dan perubahan lingkungan sosial. Contoh situasi adaptasi dalam tulisan ini mencakup pesinggahan (sojourning), settling, mobilitas subkultural, segregasi, dan perubahan dalam masyarakat. Adapun contoh nyata dari situasi yang perlu adaptasi adalah transisi dari sekolah ke pekerjaan, perubahan profesi, menikah, penerimaan inovasi teknologi, dan situasi yang melibatkan strangers dalam sistem sosial baru, seperti memasuki markas militer, universitas, pusat rehabilitasi, dan sebagainya. Motivasi masih merupakan faktor yang menjadi penentu sifat dan tingkat adaptasi. Sementara itu dalam tulisannya tentang “Adapting to Unfamiliar Culture” (Kim, 2002:259) menjelaskan tentang studi-studi pada tataran individu yang mengkaji adaptasi lintas budaya. Studi ini meliputi kajian terhadap pesinggah jangka panjang dan pesinggah sementara. Adaptasi dikaji sebagai problem dan sebagai pembelajaran atau pertumbuhan.
3
Adaptasi sebagai problem menekankan sifat problematik dari pengalaman lintas budaya. Pengalaman adaptasi dipandang dari aspek kesulitan yang dihadapi oleh para pesinggah dengan kejutan budaya yang mereka alami. Problem ini memicu berbagai reaksi terhadap lingkungan baru yang dapat dilihat dari indikator-indikator psikologis dan psikis. Sebagai pembelajaran atau pertumbuhan, adaptasi adalah fenomena yang membimbing ke arah pembelajaran, pertumbuhan, dan kesadaran diri. Apabila mencermati uraian tentang perkembangan studi adaptasi, maka dapat dikemukakan bahwa studi adaptasi antar budaya pada umumnya dikaji dalam konteks sosial akulturasi migran atau sojourner adjusment. Dalam kerangka ini, kemudian dapat muncul pertanyaan, bagaimana adaptasi yang terjadi ketika studi berada dalam konteks lainnya, yaitu penyuluhan pembangunan dengan tingkat keanggotaan komunikator berada pada tingkatan kelompok sosiologis, bukan antar bangsa. Dalam pada itu, pada umumnya studi adaptasi mengacu pada strangers, seperti yang dikemukakan oleh Gudykunst dan Kim, yaitu adaptasi oleh strangers dalam memasuki budaya yang tidak dikenal. Oleh karena itu, kemudian muncul pertanyaan, bagaimana adaptasi yang terjadi ketika salah satu pihak dalam adaptasi relatif sudah mengenal budaya kelompok lain, sehingga tidak terkait dengan konsep unfamiliar culture seperti yang dikemukakan oleh Kim dalam tulisannya tentang “Adapting to Unfamiliar Culture”. Dalam pada itu masalah perbedaan budaya dan adaptasi pada tataran praksis dapat dilihat dengan mengkaji perbedaan budaya antara perusahaan inti dan petani plasma. Dua
4
kelompok tersebut adalah kelompok-kelompok sosiologis. Mereka berinteraksi dalam konteks penyuluhan pembangunan berbasis kemitraan usaha perkebunan. Kemitraan usaha perkebunan secara historis diawali dengan sistem perkebunan di Indonesia yang berciri dualistik pada masa kolonial. Pada masa itu ada karakteristik yang berbeda antara perkebunan besar dan usahatani masyarakat. Perbedaan itu adalah dalam skala dan orientasi usaha, penggunaan areal tanah, tenaga kerja, teknologi, serta sifat modal. Perkebunan merupakan usaha skala besar dan kompleks, serta menggunakan (1) areal pertanahan yang luas, (2) tenaga kerja yang cukup besar dengan pembagian kerja yang rinci dan kerapian struktur hubungan kerja, dan (3) teknologi modern. Selain itu juga bersifat padat modal dan berorientasi pada pasar. Sementara usahatani masyarakat dicirikan oleh skala usaha yang tergolong kecil, menggunakan lahan terbatas, tidak padat modal, sumber tenaga kerja berpusat pada anggota keluarga, dan berorientasi kebutuhan subsistensi (Mubyarto, dkk., 1992:15). Perbedaan karakteristik itu menunjukkan bahwa di dalam sistem perkebunan terdapat situasi dualistik. Menurut Boeke (1983:11), dalam situasi dualistik terjadi dua prinsip hidup berbeda dalam konteks sosial ekonomi. Ada dua sisi yang tidak mudah diselaraskan. Sisi yang satu merupakan golongan masyarakat yang memiliki ikatan-ikatan sosial asli dan organis, sistem kesukuan tradisional, kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya terbatas dan bersahaja, serta prinsip produksi pertanian subsisten. Sementara di sisi lainnya adalah masyarakat yang berorientasi keuntungan, bersaing dengan usaha yang terorganisasikan, profesional, bertumpu pada kapitalisasi dan industri mekanis, serta
5
memandang rendah dorongan atau motif ekonomi yang dikaitkan dengan motif sosial, etika, adat, tradisi, suku, agama, dan sebagainya. Namun demikian, suatu hal yang menarik di atas sifat tersebut adalah bahwa dalam kehidupan perkebunan di Indonesia ada realitas yang memadukan perusahan besar dengan petani kecil. Sebagai contoh adalah pelibatan petani setempat dalam penanaman dan pemrosesan gula tebu yang dilakukan oleh orang-orang Cina di Jawa pada tahun 1800 (Mubyarto, dkk., 1992:78). Perpaduan itu merupakan upaya perusahaan menjaga kelayakan dan kelangsungan hidupnya. Hubungan yang terjadi pada masa itu terbatas pada hubungan kerja industrial. Sementara situasi yang melekat pada hubungan itu adalah kontradiksi dan ketegangan karena pertentangan kepentingan (Kartodirdjo dan Djoko Suryo, 1991:144). Ada perbedaan masalah dalam konteks pertentangan kepentingan antara budaya perkebunan dataran rendah (lowland plantation) dan budaya perkebunan dataran tinggi (upland plantation). Di dataran rendah, masalah yang ada menyangkut penggunaan areal pertanahan. Perkebunan yang mengusahakan tanaman semusim seperti tembakau dan tebu akan bersaing dengan petani dalam menggunakan lahan subur yang diperuntukkan untuk tanaman pangan. Di dataran tinggi, masalah perkebunan dengan tanaman tahunan, seperti teh dan kopi, adalah di seputar praktek eksploitasi ketenagakerjaan yang dilakukan oleh perusahaan (Mubyarto, dkk., 1992:75). Masalah-masalah tersebut pada gilirannya membuahkan perlawanan-perlawanan dan protes-protes petani, seperti perlawanan dan protes yang terjadi pada periode tanam
6
paksa. Contohnya adalah perlawanan petani di Cirebon pada tahun 1830 dan protes masal yang dilakukan petani di Kedu pada tahun 1842 (Mubyarto, dkk., 1992:109). Protes yang dilakukan petani dikategorikan menjadi dua, yaitu aktif dan pasif. Protes aktif berupa melarikan diri, sedangkan protes pasif berupa menghambat atau tidak melakukan pekerjaan dengan baik (Kartodirdjo dan Djoko Suryo, 1991:156). Setelah periode tanam paksa, gerakan-gerakan petani yang berusaha melakukan perlawanan terhadap pihak Belanda adalah seperti peristiwa Gedangan pada tahun 1904. Sumbernya adalah masalah penggunaan tanah sebagai lahan tebu. Kemudian pada tahun 1908 terjadi peristiwa Sumatera Barat yang sumbernya juga masalah tanah. Demikian pula pada tahun 1908 terjadi peristiwa Cilegon dalam masalah serupa. Sementara itu contoh peristiwa yang terjadi setelah konflik dengan pihak Belanda adalah peristiwa Jenggawah pada tahun 1970-an yang disebabkan oleh eksploitasi ekonomi oleh PTP XXVII Jember terhadap petani (Arifin, 1979:1). Dalam perkembangan sistem perkebunan muncul pola baru yang disebut sebagai pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR). Pola yang muncul pada tahun 1978/1979 ini berupaya memadukan perusahaan perkebunan dan masyarakat petani dalam suatu proses produksi dengan analogi hubungan inti-plasma. Pola PIR yang dilaksanakan ini adalah penjabaran dari Keputusan Presiden RI No. 11 Tahun 1974. Pola ini memiliki kaidah dasar sebagai landasan penerapannya, yaitu pertama, kerjasama petani plasma dan perusahaan inti merupakan kerjasama bapak dan anak angkat. Kedua, pembangunan perkebunan melalui Pola PIR merupakan pembangunan petani plasma. Ketiga, Pola PIR memberi peluang bagi perubahan struktur usaha di
7
bidang perkebunan. Pembangunan petani plasma menjadi landasan dalam pola ini mengingat petani berada dalam lingkaran kemiskinan, yaitu bahwa tingkat produktivitas rendah telah menyebabkan tingkat pendapatan rendah. Tingkat pendapatan yang rendah mengakibatkan rendahnya kemampuan petani dalam menabung, sementara hal ini akan menyebabkan rendahnya tingkat investasi. Tingkat investasi yang rendah seterusnya akan mengakibatkan rendahnya tingkat produktivitas petani. Kemunculan PIR memiliki beberapa tujuan. Secara umum dapat dikemukakan bahwa tujuan PIR adalah pertama, untuk memenuhi terwujudnya pembangunan ekonomi di Indonesia sesuai dengan pasal 33 UUD 1945 yang menunjukkan bahwa negara menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya guna kepentingan orang banyak. Jadi merupakan sebuah pola pembangunan pertanian yang dimaksudkan untuk meningkatkan pemerataan pembangunan. Kedua, mengembangkan sumber devisa negara dari sektor nonmigas. Ketiga, memperbaiki tingkat sosial ekonomi petani miskin. Keempat, untuk menghilangkan citra buruk perkebunan besar pada jaman kolonial di mata masyarakat petani. (Atmoko, 1987:73). Dengan kata lain adalah untuk menciptakan citra yang baik perkebunan besar di tengah masyarakat petani. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan dalam Wahyono (1997:38), pola PIR dikembangkan untuk menghilangkan jurang yang ada di antara perkebunan besar dan perkebunan rakyat. Sementara itu dalam Mubyarto dkk. (1992:125) dikemukakan bahwa kemunculan pola PIR dimaksudkan untuk pertama, mengaitkan sistem perkebunan besar dengan sistem perkebunan rakyat secara mutualisme. Kedua, meningkatkan pendapatan petani, dan ketiga, menghilangkan
8
persepsi negatif dari masyarakat petani terhadap perkebunan besar sebagai sebuah enklave yang hadir di tengah mereka. Adapun secara rinci tujuan pola PIR adalah (1) meningkatkan taraf hidup keluarga petani, (2) melakukan pemukiman kembali dan pendistribusian kembali lahan pertanian dalam kerangka reforma agraria, (3) menerapkan teknologi modern dalam membentuk petani maju, (4) membantu perekonomian desa, (5) meningkatkan produksi perkebunan rakyat, dan (6) mengurangi arus urbanisasi (Gunawan, dkk., 1995:18). Pola PIR dalam pelaksanaannya didasarkan pada sebuah konsep yang disebut pertanian kontrak (contract farming). Konsep ini digunakan guna mewujudkan kerjasama yang saling menguntungkan antara perusahaan perkebunan yang berperan sebagai inti dan masyarakat petani yang berlaku sebagai plasma. Kerjasama tersebut dituangkan dalam suatu ikatan perjanjian antara perusahaan inti dan petani plasma. Dalam kerangka kerjasama, petani plasma mengusahakan tanaman perkebunan sesuai dengan usaha yang dikembangkan perusahaan inti. Hasil tanaman yang diusahakan oleh petani kemudian harus dijual kepada perusahaan inti untuk diolah dan dipasarkan lebih lanjut. Perusahaan inti bertugas membimbing dan membina petani dalam mengelola usahataninya. Contract farming sebagaimana yang dirumuskan oleh Colin Kirk (White seperti dikutip oleh Gunawan, 1995:8) pada hakikatnya merupakan sebuah cara untuk mengatur produksi pertanian. Petani dikontrak oleh suatu badan usaha untuk memasok produksi sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan dalam perjanjian. Untuk menghasilkan produk yang berkualitas, badan usaha yang membeli produk itu akan memberikan bimbingan teknis, kredit, dan sebagainya, serta menangani pengolahan dan pemasaran
9
hasil. Dalam konteks ini ada dua lembaga yang berperan, yaitu perusahaan inti dan petani plasma. Dalam menjalankan perannya, perusahaan bertugas memberi dukungan dalam kegiatan produksi, pengolahan, dan pemasaran kepada para petani. Sementara itu petani bertugas memasok bahan baku untuk kegiatan industri perusahaan. Pada awal proyek, inti bertugas membantu proses penyiapan lahan, pengembangan, dan pengalihan teknologi, serta seterusnya bertugas memberi dukungan dalam kegiatan produksi, pengolahan, dan pemasaran. Gunawan dkk. (1995:9) mengungkapkan bahwa hubungan kerja dengan landasan contract farming bukan merupakan hubungan majikan buruh, namun berupa hubungan pemberi dan penerima kontrak yang secara teoritis dan politis berkedudukan setara. Dalam hubungan tersebut terdapat perjanjian kontrak operasional. Perjanjian ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah no. 44 tahun 1997 yang memuat pertama, perjanjian produksi antara perusahaan inti dan petani plasma dengan ketentuan bahwa seluruh produk diserahkan oleh plasma kepada inti dengan harga yang ditetapkan oleh pemerintah, sementara inti harus membeli seluruh produksi yang diserahkan tersebut. Kedua, perjanjian akad kredit antara masing-masing petani plasma dengan pihak bank yang mendanai proyek PIR. Ketiga, perjanjian kerjasama antara perusahaan inti dan bank guna mendapatkan modal pembelian produk petani dan pembayaran beban kredit plasma. Soetrisno (1995:147) mengemukakan bahwa dalam pola PIR terkandung dimensi kesetiakawanan, yaitu rasa kepedulian sosial dari pihak yang kuat terhadap yang lemah atau dari pengusaha besar terhadap petani kecil. Pola PIR pada perkembangannya tidak hanya diadopsi dalam perkebunan, namun meluas pada usahatani lain, seperti PIR Susu,
10
PIR Nanas, dan Tambak Inti Rakyat (TIR) yang merupakan upaya mengaitkan pengusaha besar dan petani. Apabila dilihat dari sumber pembiayaan, maka ada dua jenis PIR, yaitu PIR berbantuan/NES dan PIR Swadana. Adapun PIR berbantuan/NES memiliki sumber dana dari pemerintah, sedangkan PIR Swadana sumber dananya adalah bank. PIR Swadana sendiri digolongkan menjadi dua, yaitu PIR Khusus dan PIR Lokal. PIR Khusus memiliki peserta para transmigran. PIR jenis ini dilaksanakan di daerah transmigrasi. Sementara itu PIR Lokal memiliki peserta petani setempat, yakni mereka yang tanahnya terkena PIR. Bentuk relasi antara perusahaan inti dan petani plasma pada mulanya dirumuskan sebagai bentuk kerjasama. Bentuk ini masih menunjukkan adanya ketergantungan yang besar dari petani kecil ke perusahaan besar. Pada tahun 1997 bentuk tersebut dirumuskan kembali sebagai relasi kemitraan melalui Peraturan Pemerintah (PP) no. 44 tahun 1997. Kemitraan memiliki pengertian sebagai suatu kerjasama atau kolaborasi yang terjadi di antara dua pihak atau lebih yang dilakukan di dalam suatu sistem yang utuh guna mencapai keuntungan bersama. Menurut Martodireso dan Widodo (2002:11), relasi kemitraan usaha pertanian adalah suatu relasi yang didasari oleh sikap saling percaya, saling membutuhkan, saling menguntungkan, dan saling memperkuat. Apabila mengacu konsep formal kemitraan dalam UU No. 9 tahun 1995, kemitraan adalah kerjasama antara pengusaha besar dan petani kecil. Kerjasama ini disertai pembinaan dan pengembangan yang berkelanjutan dari pengusaha besar terhadap mitranya yang tergolong pengusaha kecil dengan dasar saling membutuhkan, saling menguntungkan, dan saling memperkuat (Sumardjo, 2004:16).
11
Adapun tujuan kemitraan adalah pertama, meningkatkan kelayakan usaha kecil, kedua, meningkatkan keterkaitan dan kerjasama yang saling menguntungkan antara pengusaha besar dan pengusaha kecil. Ketiga, membantu Bank dalam meningkatkan Kredit Usaha Kecil (KUK). Dengan demikian di dalam suatu relasi kemitraan terdapat falsafah relasi sosial-bisnis. Martodireso dan Widodo, 2002:17, mengungkapkan perlunya para pelaku yang terlibat dalam kemitraan membangun relasi sosial yang baik, seperti adanya komunikasi yang interaktif, sikap saling memberdayakan, dan sikap tidak saling memaksa. Sementara itu relasi bisnis yang baik perlu dibangun dengan mengembangkan sikap bisnis, seperti kemauan untuk menjalankan bisnis yang bersih, transparan, dan profesional. Selain itu juga perlu adanya orientasi bisnis yang jelas dalam jangka panjang, disertai dengan upaya monitoring dan evaluasi oleh semua pihak yang bermitra. Ada berbagai pola kemitraan seperti tertuang dalam Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian melalui SK Mentan no. 940/Kpts/OT.210/10/97, yaitu pertama, pola kemitraan inti-plasma. Pola ini berupa relasi antara petani sebagai plasma dan perusahaan inti yang bermitra usaha. Perusahaan inti menyediakan lahan, sarana produksi, bimbingan teknis, manajemen, menampung dan mengolah, serta memasarkan hasil produksi. Sementara plasma memenuhi kebutuhan perusahaan inti sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati. Kedua, pola kemitraan subkontrak. Pola kemitraan subkontrak merupakan pola kemitraan antara perusahaan mitra usaha dengan kelompok mitra usaha yang menghasilkan komponen yang diperlukan
perusahaan mitra sebagai bagian dari
produksinya. Ketiga, pola kemitraan dagang umum adalah pola kemitraan yang berupa
12
relasi usaha dalam pemasaran hasil produksi. Pihak yang terlibat dalam pola ini adalah pihak pemasaran . Sebagai contoh beberapa petani atau kelompok tani bergabung dalam bentuk koperasi kemudian bermitra dengan toko sebagai mitra usahanya. Keempat, pola kemitraan keagenan. Pola ini merupakan bentuk kemitraan yang terdiri dari pihak perusahaan mitra dan kelompok mitra atau pengusaha kecil mitra. Perusahaan mitra memberikan hak khusus kepada kelompok mitra untuk memasarkan barang atau jasa yang dipasok oleh perusahaan mitra. Kelima, pola kemitraan kerjasama operasional agribisnis yang merupakan pola relasi bisnis yang dijalankan oleh kelompok mitra dan perusahaan mitra. Dalam hal ini, kelompok mitra menyediakan lahan, sarana, dan tenaga kerja, sedangkan perusahaan mitra menyediakan biaya, modal, manajemen, serta membudidayakan suatu komoditas pertanian (Sumardjo, 2004:27). Menurut Suroso (1994:14), dalam perkembangannya, ada masalah-masalah yang menghambat harmoni relasi tersebut. Relasi yang terjalin antara perusahaan inti dan petani plasma kurang harmonis karena perbedaan pola pikir yang memunculkan masalah operasional. Meskipun dalam relasi itu terdapat lembaga mediator yang disebut sebagai Tim Pembina Proyek-proyek Perkebunan Daerah (TP3D), namun pasca proyek PIR, mediator ini tidak lagi berfungsi. TP3D adalah wasit yang mengawasi agar perusahaan inti dan petani plasma dapat mematuhi perjanjian kontrak, sehingga relasi inti dan plasma dapat berlangsung dengan baik. Namun dalam operasionalnya tetap terjadi ketidaktaatan atas perjanjian kontrak (Soetrisno, 1995:152). Contoh perbedaan pola pikir yang terjadi antara perusahaan inti dan petani plasma dalam relasi kerjasama pola PIR adalah adanya ketidaksepakatan dalam hal kedisiplinan.
13
Di Lundang, salah satu afdeling di proyek PIR Sintang, Kalimantan Barat, telah terjadi konflik antara mandor dan petani dalam pola PIR karena kedisiplinan dan efisiensi waktu yang diterapkan oleh pihak perusahaan inti terhadap petani plasmanya. Pihak perusahaan memandang bahwa kedisiplinan dan efisiensi waktu dalam bekerja merupakan kebiasaan yang memang harus dimiliki oleh petani sejak awal karena untuk melakukan penyadapan karet dibutuhkan kedisiplinan dan efisiensi. Hal ini karena keterlambatan waktu dapat berpengaruh pada kualitas getah karet. Dengan demikian para pegawai, pengawas, dan mandor sebagai agen yang berhubungan langsung dengan para petani pada akhirnya tidak sekadar mengalihkan teknologi maju dalam pembudidayaan perkebunan karet, tetapi juga melakukan perubahan atas pandangan, norma-norma, nilai-nilai, sikap, dan perilaku para petani (Tresnaningsih, 1987:140). Perbedaan pola pikir juga terjadi dalam praktek pembudidayaan karet di Afdeling Lundang. Contohnya dalam cara pemupukan, pencangkulan, dan pemberantasan gulma. Pertama, dalam cara pemupukan, petani tidak sependapat dengan cara memupuk yang ditaburkan di sekeliling pohon karet tanpa ditutupi tanah sebagaimana yang dikehendaki oleh mandor. Kedua, dalam cara pencangkulan tanah, mandor tidak cocok dengan cara petani mencangkul yang disertai dengan pemisahan tanah bagian atas dan bawah. Cara ini dipandang tidak efisien karena membutuhkan waktu terlalu lama. Ketiga, dalam memberantas alang-alang, petani tidak sependapat dengan pemberantasan yang dilakukan dengan penebasan karena mempercepat tumbuhnya gulma (Tresnaningsih, 1987:144). Dalam pelaksanaan Proyek PIR Lokal Teh Tapanuli Utara terdapat masalah yang terkait dengan aspek pemeliharaan tanaman teh. Pemeliharaan tanaman teh tidak intensif
14
karena kendala budaya penduduk setempat. Menurut Wibowo dan Dharmadi (1999:48), dalam memelihara tanaman teh secara intensif dibutuhkan tenaga kerja yang setiap hari dapat melakukan pekerjaan tersebut, tetapi kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi karena penduduk setempat terikat dengan tradisi berkumpul untuk menjalankan ritual-ritual adat. Demikian pula di Jawa Tengah, pelaksanaan Proyek PIR Lokal Teh menemui masalah yang terkait dengan tradisi penduduk setempat. Pada saat syawalan, pasokan pucuk teh berkurang karena petani tidak memetik, namun setelah syawalan usai pasokan berlimpah. Akibatnya terjadi ketidaksesuaian antara kapasitas produksi pabrik dan pasokan. Keadaan ini menunjukkan bahwa aspek kegiatan industri tidak diperhatikan oleh petani. Dalam pada itu, permasalahan yang ada pada pelaksanaan PIR Lokal Teh di Jawa Barat adalah masalah yang terkait dengan proses pembelian pucuk teh, yaitu masalah penimbangan dan pengukuran analisis pucuk teh, serta masalah penjualan pucuk teh oleh petani plasma ke luar perusahaan inti. Dalam masalah penimbangan, perusahaan sering meragukan bobot timbangan petani yang tidak akurat dalam menimbang pucuk teh. Sementara dalam pengukuran analisis pucuk teh banyak ditemukan pucuk-pucuk kasar yang dijual oleh petani, padahal perusahaan inti menghendaki pucuk teh yang halus untuk menghasilkan teh yang berkualitas bagus. Hal ini berbeda ketika petani menjual pucuk teh ke luar perusahaan inti, pihak luar tidak terlalu menekankan kualitas pucuk teh yang dijual kepadanya. Penjualan pucuk teh ke luar perusahaan dipandang tidak memenuhi kesepakatan penjualan produk yang mengharuskan petani hanya menjual produknya ke perusahaan inti (Bachriadi, 1995:137).
15
Dari hasil penelitian Hamidah dan Widodo (2003:88) ditemukan bahwa penjualan pucuk teh ke luar perusahaan inti disebabkan petani ingin secepatnya mendapatkan uang. Bahkan hal ini sering dipenuhi dengan sistem ijon, yakni dengan mendapat pinjaman uang di muka sebelum pucuk teh dapat dipetik. Namun disebabkan pihak luar tersebut membeli pucuk teh dengan cara insidental, yakni hanya membeli ketika membutuhkan pasokan untuk produksi teh pabriknya, maka pihak inipun tak dapat diandalkan petani untuk keamanan hidupnya. Oleh karena itu tidak ada jaminan kepastian dari pihak luar bagi keajegan pemasaran produk pucuk teh petani. Dari tulisan Wibowo dan Dharmadi (1999:42) dapat dikemukakan bahwa karena penjualan pucuk teh ke luar perusahaan inti tanpa disertai pengendalian kualitas produk, maka kualitas pucuk teh yang dihasilkan petani semakin rendah. Petani hanya mengejar kuantitas pucuk teh tanpa memperhatikan kualitasnya. Rendahnya kualitas pucuk teh juga disebabkan oleh makin merosotnya harga pucuk teh yang diberikan oleh perusahaan inti. Hal ini seperti yang terjadi di PIR-Lokal Teh Jawa Tengah. Pada mulanya harga teh adalah RP. 650,- per kilogram untuk kategori kualitas pucuk teh rata-rata atau klas B. Harga ini merupakan harga standar yang ditentukan oleh tiga komponen kemitraan, yakni perusahaan inti, petani plasma, dan pemerintah melalui Forum Musyawarah Produksi Pemasaran Teh (FMPPT). Namun karena jatuhnya harga teh di pasar internasional, maka terjadi perubahan harga pucuk teh menjadi Rp 500,- per kilogram. Harga ini ditentukan tanpa melalui FMPPT. Dalam pandangan petani, harga sebesar itu tidak cukup untuk membeli pupuk dan merawat tanaman teh. Padahal tanpa perawatan yang memadai, kualitas pucuk akan kian
16
menurun. Demikian pula dengan produktivitas lahan. Keadaan ini diperparah dengan ciri upland plantation yang menghadapkan petani pada keterbatasan waktu dan tenaga kerja. Selain masalah tersebut, terungkap permasalahan yang ada pada pelaksanaan pola PIR Teh di Jawa Tengah, yaitu berupa masalah tidak dipisahkannya usaha tanaman teh petani dengan usaha tani lainnya. Selain mengusahakan tanaman teh, petani juga mengusahakan tanaman pangan. Permasalahan ini terkait dengan budaya ekonomi petani upland yang mengharuskannya melakukan kombinasi usahatani agar bisa survive dalam kehidupannya (Soedjono dan Hardiman, 1999:65). Perbedaan pola pikir, sikap, dan perilaku tersebut menjadi suatu pertanda bahwa sebagai aktivitas simbolik, komunikasi antara perusahaan inti dan petani ditandai oleh ketidakakuratan persepsi atas pesan-pesan yang disampaikan. Masing-masing pihak dalam perspektifnya. Hal ini karena mereka dikondisikan untuk berkomunikasi sesuai cara pandang kelompoknya. Selain itu perbedaan yang tajam dalam kerangka pengalaman dan bahasa dari masing-masing pihak menyebabkan komunikasi tidak efektif. Selain itu, komunikasi yang tidak efektif juga karena adanya perbedaan dalam gaya berkomunikasi. Dengan menggunakan cara pandang moral ekonomi dari James C. Scott (1981), petani plasma berbudaya peasant, sedangkan perusahaan inti dapat digolongkan ke dalam budaya farmer. Budaya peasant ditunjukkan oleh pertama, perilaku petani menjual pucuk teh ke luar perusahaan inti. Kedua, perilaku petani tidak mengadopsi secara serta merta teknologi yang dialihkan dari pihak perusahaan inti, dan ketiga, sikap petani yang mendahulukan kegiatan tradisi sosial budaya komunitasnya. Perilaku tersebut
17
merefleksikan budaya petani yang disebut safety first (dahulukan selamat) dan pola pikir subsisten yang berlandas pada etika subsistensi. Untuk keselamatan diri dan keluarganya, petani menjual pucuk teh ke luar inti. Sementara itu dengan pola pikir subsisten, petani mengusahakan tanaman, seperti padi dan jagung yang hasilnya untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Petani tidak memiliki orientasi pada surplus produksi untuk dijual secara komersial. Etika subsistensi juga membawa petani untuk mementingkan komunitasnya. Hal ini dilandasi pemikiran bahwa komunitas adalah pihak awal yang akan menyelamatkan kehidupan petani dan keluarganya dari setiap risiko yang mengancam subsistensi mereka. Dengan orientasi safety first dan etika subsistensi, petani dapat mengabaikan komitmen kerjasama atau kemitraannya dengan perusahaan inti. Dalam pada itu farmer adalah petani komersial dengan budaya industri. Petani ini diperlukan dalam agroindustri atau agribisnis pada umumnya. Dengan mengambil ciriciri masyarakat berbudaya industrial, maka ciri-ciri farmer adalah pertama, rasional dan kreatif dalam memandang berbagai fenomena yang ada di alam sekitarnya. Kedua, memiliki komitmen yang tinggi dalam menyelesaikan masalah dengan tuntas. Ketiga, memiliki ketaatan yang tinggi pada hukum (Soetrisno, 1995:160). Peasant dapat digolongkan pula sebagai petani pra-industri. Dalam meningkatkan peran pertanian di Indonesia, petani pra-industri perlu ditransformasikan menjadi farmer. Petani farmer dalam kerangka ini memiliki peran penting dalam membawa petani praindustri menjadi petani yang berbudaya industri.
18
Perbedaan budaya antara perusahaan inti dan petani plasma menyebabkan studi atas jalinan komunikasi di antara dua pihak tersebut menarik dilakukan. Dalam konteks kemitraan inti-plasma, studi ini dapat memperkaya berbagai penelitian tentang relasi intiplasma. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan adalah seperti terpapar pada Tabel I.
19
Tabel I. Penelitian-penelitian tentang Relasi antara Perusahaan Inti dan Petani Plasma Judul Penelitian
Peneliti
Bidang
Konsep-konsep yang digunakan
Metode Penelitian
Masalah-masalah Sosial Budaya dalam Pengembangan PIR di Indonesia: Studi Kasus di Afdeling Lundang (1987)
Widati Lestari Tresnaningsih
Antropolo gi
Faktor pendorong dan penarik sebagai calon peserta petani plasma; Masalah pemukiman calon peserta; Penghasilan calon peserta dari hasil pekarangan dan pekerjaan tambahan; Masalah budidaya perkebunan karet; Kelompok kerja di lokasi perkebunan; Hubungan karyawan PTP dengan para calon peserta; Peranan karyawan PTP di Afdeling Lundang
Studi kasus
Persepsi Penduduk Setempat terhadap Proyek PIR: Studi Kasus tentang Pembebasan Tanah dan Perubahan Ekonomi Petani di Proyek PIR Khusus I Sintang Kalimantan Barat (1987) Dilema Petani Plasma: Pengalaman PIRBUN Jawa Barat (1995) Ketergantungan Petani dan Penetrasi Kapital: Lima Kasus Intensifikasi dengan Pola Contract Farming (1995) Adopsi Teknologi dan Efisiensi Usahatani Kelapa Sawit Pola PIR-
Tjipto Atmoko
Sosiologi
Persepsi penduduk setempat terhadap pembebasan tanah; Persepsi penduduk setempat terhadap perubahan tata nilai petani
Kombinasi metode “grounded” dan metode survei
Gunawan Rimbo, Juni Thamrin, dan Mies Grijn
Sosiologi
Masalah-masalah pengelolaan PIR; Masalah-masalah pascakonvensi
Studi kasus
Dianto Bachriadi
Sosiologi
Hubungan inti-satelit dan peran negara; Dinamika kontrak serta struktur pasar; Ketergantungan finansial dan teknologi: Distribusi pendapatan
Studi kasus
Teguh Wahyono
Ekonomi
Adopsi teknologi petani plasma; Efisiensi teknis usahatani petani plasma; Efisiensi ekonomis usahatani petani plasma;
20
Judul Penelitian
Peneliti
Bidang
BUN di Sumatera (1997) Dualisme di Lingkungan Perusahaan Inti Rakyat (PIR) Lokal Teh di Jawa (2003)
Siti Hamidah dan Sri Widodo
Pertanian
Konsep-konsep yang digunakan Kehidupan ekonomi petani plasma; Prestasi POKTAN; Dampak PIR pada kehidupan ekonomi lokal l Dualisme teknologis; Dualisme produktivitas; Dualisme efisiensi usaha
Metode Penelitian
Survei
Sumber: Tresnaningsih (1987); Atmoko (1987); Rimbo dkk. (1995); Bachriadi (1995); Wahyono (1997); Hamidah dan Sri Widodo (2003).
I.2. Pokok Permasalahan dan Rumusan Masalah Wacana kemitraan dalam pembangunan sistem perkebunan di Indonesia seperti telah dipaparkan dapat dipandang sebagai suatu peristiwa komunikasi. Dalam perspektif komunikasi, berbagai masalah dalam kemitraan antara perusahaan inti dan petani plasma menunjukkan adanya masalah komunikasi yang disebabkan karena perbedaan budaya di antara dua kelompok tersebut. Perusahaan inti berbudaya petani farmer, sedangkan petani plasma berbudaya peasant. Perbedaan budaya ini menyebabkan perbedaan dalam perilaku komunikasi mereka. Budaya perusahaan dalam konteks ini tidak dipelajari sebagai budaya organisasi. Dalam pendekatan kultural, budaya organisasi merupakan organisasi itu sendiri, sehingga untuk memahami organisasi adalah dengan melakukan pemahaman terhadap budayanya. Studi ini tidak bertujuan untuk memahami organisasi, namun untuk melihat bagaimana komunitas perusahaan inti berkomunikasi dengan komunitas lain yang berbeda budaya dengannya. Sebagai sebuah studi dalam kawasan studi komunikasi antar budaya, pendekatan untuk melihat perbedaan budaya tersebut adalah dimensi-dimensi yang dapat
21
digunakan untuk mendekati budaya dari kedua pihak. Budaya yang melekat pada diri orang perusahaan inti, seperti budaya ketat dapat dikatakan merupakan subkultur dari organisasi tersebut atau nerupakan budaya organisasional. Selain dimensi karakter farmer-peasant, dimensi-dimensi lain yang dipakai adalah orientasi nilai KluckhohnStrodtbeck, individualisme-kolektivisme, variabilitas budaya Hofstede, Pola-pola Parson, dan keketatan struktural. Dimensi-dimensi ini untuk melihat perbedaan perilaku komunikasi antara perusahaan inti dan petani. Adapun studi tentang komunikasi organisasi di perusahaan teh di Slawi, Jawa Tengah diangkat oleh Soewarto untuk disertasinya yang berjudul “Sistem Komunikasi di dalam Organisasi di Lingkungan Budaya Jawa”. Dalam studi tersebut dikemukakan tentang peran nilai-nilai budaya Jawa, budaya bisnis Tionghoa peranakan, dan organisasi modern dalam pembentukan sistem komunikasi di dalam organisasi PT Gopek Citra Utama di Slawi, di Jawa Tengah. Hasil penelitian menunjukkan, pola-pola komunikasi dalam sistem tersebut dilakukan secara tertulis, dan terdokumentasi, serta diikuti dengan komunikasi lisan. Realitas empirik tentang adanya ketidaksesuaian perilaku dalam praksis kemitraan memberikan indikasi bahwa upaya merubah perilaku melalui penyuluhan masih menjadi permasalah serius dalam pembangunan sistem perkebunan di Indonesia. Dalam perspektif komunikasi antar budaya permasalahan ini membutuhkan suatu kompetensi komunikasi yang memungkinkan tujuan komunikasi dapat tercapai. Adaptasi dalam kerangka ini merupakan kompetensi komunikasi untuk mencapai perubahan perilaku petani. Komunikasi tidak bebas konteks. Oleh karena itu konteks komunikasi yang terjadi dalam penyuluhan berpengaruh pada adaptasinya. Konteks itu dapat merupakan konteks
22
struktural dan kekuasaan. Konteks struktural berupa topik penyuluhan. Sementara itu konteks kekuasaan dapat berupa kekusaan atas sumberdaya alam, misalnya penguasaan lahan dan akses atas pemasaran. Berdasarkan uraian tentang pokok permasalahan tersebut, masalah dalam studi ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah budaya komunitas perusahan inti dan komunitas petani plasma? 2. Adakah perbedaan perilaku komunikasi sebagai implikasi dari perbedaan budaya di antara dua komunitas tersebut? 3. Bagaimana adaptasi di antara dua komunitas tersebut?
I.3. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui budaya komunitas perusahaan inti dan komunitas petani plasma. 2. Mengetahui perbedaan perilaku komunikasi antara perusahaan inti dan petani plasma. 3. Mengetahui adaptasi di antara komunitas perusahaan inti dan petani plasma.
I.4. Signifikansi Studi Sebuah studi yang bermanfaat akan memiliki signifikansi akademis/teoritis, teknis/metodologis, praktis, dan sosial. Studi yang memiliki signifikansi akademis/teoritis akan menunjukkan bahwa studi itu dapat memunculkan jawaban atas research questions yang dapat memberikan kontribusi pada pemahaman ilmiah dan pembentukan, perbaikan, serta modifikasi konsep, model, atau teori. Kemudian studi yang memiliki signifikansi
23
teknis/metodologis akan menunjukkan bahwa studi yang dilakukan menggunakan teknik atau metode penelitian yang dapat memenuhi kriteria kualitas penelitian sesuai dengan posisi paradigmatis peneliti. Sementara itu studi dengan signifikansi praktis akan menunjukkan bahwa studi dapat memunculkan jawaban atas research questions yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan solusi permasalahan dan perbaikan yang bersifat praktis, sedangkan studi dengan signifikansi sosial akan menunjukkan bahwa studi dapat memunculkan jawaban atas research questions yang bermanfaat bagi perubahan perilaku suatu masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik dan berkualitas. Mengacu pada uraian tersebut, penelitian ini dimaksudkan dapat memiliki pertama, signifikansi akademis/teoritis. Dalam dimensi akademis/teoritis, studi dimaksudkan untuk mengembangan pemikiran tentang adaptasi dalam kajian komunikasi antar budaya. Kedua, signifikansi teknis/metodologis. Secara teknis/metodologis, studi dimaksudkan untuk memunculkan perspektif fenomenologi guna membedah pengalaman komunikasi antar budaya. Ketiga, signifikansi praktis. Dalam dimensi praktis, studi dimaksudkan untuk memberi solusi atas problema kemitraan dalam perspektif komunikasi. Keempat, signifikansi sosial. Adapun secara sosial, studi ini berimaksud untuk memberi kontribusi pada upaya peningkatan kemampuan berkomunikasi para pelaku kemitraan.
24