BAB I PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG Sandang atau pakaian merupakan salah satu kebutuhan primer yang sangat
penting dalam kehidupan sehari-hari. Dari tahun ke tahun pakaian telah berkembang sesuai dengan jamannya, yang dulu masih menggunakan kulit atau karung hingga sekarang sudah menggunakan kain. Pakaian sekarang sudah menjadi mode yang terus berkembang di kehidupan kita, dari yang bermerek kelas rendah hingga kelas atas. Ini semua tak bisa lepas dari sikap para produsen yang selalu bersaing dengan produsen lain dalam memproduksi pakaian tanpa ada batasnya. Sehingga semua berdampak pada konsumennya yang selalu mengikuti tren pakaian tanpa ada habisnya. Pola konsumsi manusia juga berpengaruh pada gaya hidup, Kindra (1994) memberikan definisi yang cukup jelas tentang gaya hidup sebagai ‘pola aktivitas, minat dan pendapat konsumen yang konsisten dengan kebutuhan dan nilai-nilai yang dianutnya’. Dari definisi ini, ada dua kata kunci yang menjadi penekanan, yaitu pola dan konsisten. Pola, sebagai satu bentuk ekspresi keluar dari nilai-nilai dan kebutuhan-kebutuhan konsumen. Sebagai satu bentuk gambaran bagaimana mereka hidup dan mengekspresikan nilai-nilai yang mereka anut untuk memuaskan kebutuhannya. Konsisten, gaya hidup ini bertahan dalam waktu yang lama. Kehidupan manusia dalam dunia modern ini ditandai dengan berkembangnya gaya hidup (life style), yang secara langsung mendefinisikan sikap dan nilai-nilai sosial yang menunjukkan identitas serta posisi sosial seseorang dalam lingkungan di mana ia berada.
Perkembangan gaya hidup selalu disesuaikan dengan perubahan zaman, sehingga ketika seseorang menggunakan barang yang bukan ‘tren’ saat ini, akan terlihat ‘kampungan’ atau tidak diterima dalam lingkungan pergaulannya. Hal ini terjadi beriringan dengan globalisasi ekonomi yaitu menyusupnya sistem kapitalisme yang ditandai dengan menjamurnya pusat-pusat perbelanjaan yang menawarkan berbagai barang yang serba instan dan selalu diperbaharui dengan tujuan memenuhi kebutuhan dan memuaskan keinginan atau hasrat berkonsumsi pada masyarakat. Sebagai makhluk sosial, secara psikologis setiap orang ingin mendapatkan pengakuan dari orang lain. Jadi, selalu ada usaha dari setiap anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan pergaulan; anggota masyarakat dari kalangan menengah dan bawah seringkali menganggap bahwa gaya hidup kalangan di atasnya-lah yang patut ditiru. Namun terkadang mereka lupa akan kondisi ekonomi yang dimilikinya, sehingga seperti peribahasa “besar pasak daripada tiang” sangat mengena pada golongan masyarakat seperti itu. Baju Sisa Import atau sering orang menyebutnya awul-awul sekarang ini bisa dikatakan menjadi alternative anak muda berpakaian dalam keseharian. Disebut awulawul karena penataan baju yang semrawut alias asal-asalan, jadi orang memilih dengan cara asal tarik. Baju sisa import tidak hanya sembarang baju bekas, jika kita selektif memilih tanpa diduga kita bisa mendapatkan baju yang ber-merk, bekas dengan harga miring. Di Indonesia sendiri, kemunculan pasar 'baju bekas' atau baju sisa import ini tidak berjalan merata. Pasar baju sisa import di Sumatera, Batam, Kalimantan, dan Sulawesi misalnya, lebih dulu muncul daripada di Jakarta, Bandung, Yogya, Surabaya. Toko baju bekas di sini lazim disebut dengan toko 'baju impor' , karena memang baju-baju bekas itu asalnya dibawa dalam karung-karung besar dari
pelabuhan. Jenis barang yang dijual di toko macam ini bermacam-macam, mulai dari kaos, hem, jaket, tas, celana panjang, sampai selimut-selimut tebal dan bed cover. Harga barang-barang yang dijual di kota-kota yang dekat dengan pelabuhan, biasanya lebih murah daripada di kota-kota lain. Salatiga merupakan kota kecil, tetapi dapat kita lihat perkembangan ekonomi berjalan cepat dan pesat. Begitu juga dengan usaha penjualan baju sisa import ‘awulawul, saat ini juga terlihat banyak. Dari awalnya hanya ada 4 kios yng sudah buka lama, sekarang dalam waktu setahun di Salatiga sudah bertambah menjadi 10 kios baju sisa import ‘awul-awul’. Perkembangan usaha baju sisa import ‘awul-awul’, diikuti pula dengan perkembangan banyaknya konsumen yang tidak malu atau canggung lagi untuk membeli barang di tempat seperti itu. Banyak anggapan bahwa baju-baju bekas itu sebenarnya sampah buangan dari negara-negara yang lebih sejahtera seperti Korea, Jepang, Cina, Singapore, dan Amerika. Maka, secara medis barang-barang itu menjadi biang perantara penyakit menular. Mengutip dari koran Suara Merdeka (19/08/2010) Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin, dr Retno Indrastiti Sp KK mengatakan, kemungkinan besar jamur-jamur itu tumbuh subur di pakaian bekas ini, apalagi jika pemiliknya terdahulu memiliki penyakit kulit. Jangankan baju bekas, baju baru saja juga banyak terdapat bakterinya. Peneliti Departemen Microbiology and Immunology Universitas New York menemukan jejak partikel ragi, feses, bekas ludah, bakteri kulit, dan bakteri vagina melekat pada baju-baju baru. "Paling banyak ditemukan di daerah ketiak dan pangkal paha," kata Dr Phillip Tierno, yang memimpin penelitian itu. Dengan adanya berbagai informasi baik informasi positif maupun negatif mengenai Baju Sisa Import ‘Awul-awul’, hal ini akan membuat konsumen merasa
dihadapakan pada suatu posisi yang membingungkan, di mana kepercayaan mereka tidak ‘sejalan bersama’. Hal inilah yang menimbulkan disonansi. Leon Festinger menamakan perasaan yang tidak seimbang sebagai disonansi kognitif (cognitive dissonance). Konsep ini membentuk inti dari teori disonansi kognitif (Cognitive Dissonance Theory- CDT) Festinger, teori yang berpendapat bahwa disonansi adalah sebuah perasaan tidak nyaman yang memotivasi orang untuk mengambil langkah demi mengurangi ketidaknyamanan itu. Disonansi adalah sebutan untuk ketidak seimbangan dan konsonansi adalah sebutan untuk keseimbangan. Asumsi dari Teori Disonansi Kognitif 4 asumsi dasar dari teori ini adalah: 1. Manusia memiliki hasrat akan adanya konsistensi pada keyakinan, sikap, dan perilakunya. 2. Disonansi diciptakan oleh inkonsistensi psikologis, 3. Disonansi adalah perasaan tidak suka yang mendorong orang untuk melakukan tindakan-tindakan dengan dampak yang dapat diukur. 4. Disonansi akan mendorong usaha untuk memperoleh konsonansi dan usaha untuk mengurangi disonansi (West & Turner : 2007). Konsep dan Proses Disonansi Kognitif Tingkat disonansi: tiga factor dapat mempengaruhi tingkat disonansi yang dirasakan seseorang (Zimbardo, Ebbesen, dan Maslach, 1977) 1. Tingkat kepentingan (importance), 2. Rasio Disonansi (Dissonance Ratio), 3. Rasionalitas (Rationale). Mengatasi disonansi: kita dapat mengurangi disonansi dengan 1. Mengurangi pentingnya disonan kita, 2. Menambahkan keyakinan yang konsonan, atau 3. Menghapuskan disonansi dengan cara tertentu. Disonansi Kognitif dan Persepsi Secara spesifik, teori disonansi kognitif berkaitan dengan proses pemilihan terpaan (selective exposure), pemilihan perhatian (selective attention) pemilihan interpretasi (selective interpretation), dan pemilihan retensi (selective retention) karena teori ini memprediksi bahwa orang akan menghindari informasi yang meningkatkan disonansi.
Dari gambaran di atas, peneliti tertarik untuk mengamati disonansi kognitif dalam pemakaian Baju Sisa Import ‘Awul-awul’.
1.2
PERUMUSAN MASALAH 1. Faktor apa saja yang membentuk disonansi kognitif oleh pemakai Baju Sisa Import “Awul-awul”? 2. Bagaimana disonansi yang terbentuk oleh pemakai Baju Sisa Import “Awul-awul’?
1.3
TUJUAN PENELITIAN 1. Menggambarkan faktor-faktor yang membentuk disonansi kognitif oleh pemakai Baju Sisa Import “Awul-awul”. 2. Menggambarkan disonansi kognitif yang terbentuk oleh pemakai Baju Sisa
Import “Awul-awul”. 1.4
MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai Teori disonansi kognitif yang terjadi pada pemakai Baju Sisa Import ‘Awul-Awul’. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini dapat memberikan wawasan kepada masyarakat tentang pola-pola disonansi kognitif yang terjadi dalam pemakaian Baju Sisa Import “Awul-Awul’ yang sekarang ini cukup menjadi tren.
1.5
BATASAN PENELITIAN Dalam setiap penulisan ilmiah, perlu ditetapkan adanya pokok-pokok pembahasan, pokok pembahasan memiliki fungsi sebagai pencegah timbulnya kerancuan pengertian dan kekaburan wilayah penelitian. Koentjaraningrat (1990) mengatakan bahwa “dalam setiap penelitian diperlukan adanya ruang lingkup. Hal ini penting supaya penulis tidak terjerumus dalam sekian banyak data yang ia teliti”. Pada penelitian ini, terdapat beberapa batasan pada tataran disonansi kognitif pemakai baju Sisa Import ‘Awul-awul’ 1. Disonansi Kognitif Keadaan tidak nyaman secara psikologis atau ketegangan yang memotivasi usaha-usaha untuk mencapai konsonan. Disonansi adalh sebutan untuk ketidakseimbangan dan konsonansi adalah sebutan untuk keseimbangan. Tidak hanya terpusat pada pikiran tetapi sampai pada taraf tindakan. 2. Pemakai Baju Penelitian dibatasi pada pemakai yang sering memakai dan membeli baju sisa impor di depan Terminal Lama Salatiga, karena di Salatiga tempat tersebut memang paling luas dan paling lengkap. 3. Baju Sisa Impor Baju sisa impor di sini merupakan baju yang berasal dari luar negeri seperti Cina, Hongkong, Korea, Singapura. Barang tersebut merupakan sisa stock department store yang sudah tidak laku kemudian ditimbun dalam karung besar.
4. Analisa Leon Festinger Penelitian ini terfokus dengan menggunakan teori Disonansi Kognitif Leon Festinger, teori ini mampu menjelaskan secara menyeluruh mengenai disonansi kognitif yang terjadi pada pemakai baju sisa impor ‘awul-awul’. Tidak hanya pada taraf pemikiran tetapi mencakupi pada taraf tindakan untuk mengurangi disonansi itu sendiri.