BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Penelitian Media komunikasi berkembang dari tahun ke tahun. Mulai dari media cetak
hingga media penyiaran televisi dan film. Perkembangan itu disebabkan karena pola berfikir manusia yang juga mengikuti perkembangan jaman yang ada dengan begitu kreatif. Pola berfikir kreatif itu yang menjadikan media penyiaran berkembang hingga seperti saat ini. Namun perkembangan yang dirasakan sangat pesat adalah media penyiaran televisi dan film. Dalam dunia penyiaran televisi dan perfilman sangat dibutuhkan kekreatifitasan untuk menjadikan karya baru yang inovatif dan inspiratif. Perkembangan dunia penyiaran juga sangat dirasakan oleh warga dunia, dengan adanya media baru (new media) yang menggunakan jaringan internet. Pernyataan dari Canadian Broadcating Corporation (CBC) bahwa new media bagi dunia penyiaran adalah proses streaming di jaringan internet atau mobile. Definisi tersebut dapat dikembangkan, bahwa new media adalah satu media yang menggunakan media lain selain udara, semantara content-nya tetap penyiaran. 1 Dengan jaringan internet, orang di mana pun berada, dapat mengakses segala informasi yang diperlukannya dari berbagai situs dengan alamat IP tertenu (IP address), dapat mengirimkan surat elektronik (e-mail) kepada siapa saja dengan alamat IP tertentu. Dapat juga sekarang jaringan internet digunakan untuk kegiatan bisnis perdagangan yang dikenal dengan istilah e-commerce. Dan akhirnya, jaringan 1
Hidajanto Djama. Dasar-dasar penyiaran. Kencana: Jakarta, 2011, hal 38.
1
internet juga dapat digunakan untuk mengirim penyiaran yang dikenal dengan istilah streaming. Streaming sendiri didefinisikan sebagai proses multimedia yang secara kontinu dapat diterimadan disediakan oleh content-provider ke end-user dengan mengirimkan playback audio atau video secara real time.2 Melihat peluang pada media baru (new media), para pekerja kreatif penyiaran juga ikut mengembangkan perusahaan televisi mereka untuk turut serta dalam pengembangan internet saat ini dengan membuat berbagai program acara streaming. Melihat hal tersebut, para pekerja di media penyiaran khususnya televisi berusaha mengembalikan minat masyarakat untuk menyaksikan program yang ada distasiun TV-nya. Hingga akhirnya saat ini banyak sekali bermunculan TV online yang dapat diakses di website-nya masing-masing. Berbagai konten acara dapat disaksikan hanya dengan membuka website yang ada. Dengan adanya TV online sangat membantu para audiens untuk mendapatkan informasi terkini dengan melakukan streaming dengan menggunakan gadget yang dimiliki. Bukan hanya perkembangan media penyiaran televisi saja yang berkembang dengan pesat sejalan dengan adanya media baru, dunia perfilman juga demikian. Dari waktu ke waktu selalu ada pembaruan dalam sebuah karya film. Mulai dari cerita yang ditawarkan, kualitas gambar yang disajikan, serta perpaduan musik dan efek gambar ditambah sentuhan kreatif dalam beberapa adegan membuat daya tarik masyarkat untuk menyaksikan film tersebut dengan baik. Keluar dari kekereatifitasan 2
Hidajanto Djama, op.cit., hal 44.
2
yang ada, sebenarnya hakikat film itu sendiri adalah media penyampaian pesan yang dikemas menjadi suatu cerita yang enak untuk dinikmati. Alur cerita yang ada biasanya terinspirasi dari kejadian yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Namun, penggarapan yang yang baik dengan pengembangan cerita yang kreatif menjadikan suatu cerita dalam film menjadi daya tarik untuk dinikmati audiens. Adanya pesan yang akan disampaikan kepada audiens melalui karya film, itu yang menjadikan karya film disebut juga sebagai komunikasi massa yang bersifat satu arah. Komunikasi massa satu arah adalah komunikasi yang tidak terjadi timbal balik antara pemberi pesan dan penerima pesan, dengan kata lain dalam komunikasi massa tidak terjadi pengengendalian arus informasi. Karena ketika komunikator aktif menyampaikan pesan, komunikan pun aktif menerima pesan, namun diantara keduanya tidak dapat melakukan dialog sebagaimana halnya terjadi dalam komunikasi antarpersona.3 Dengan demikian dalam pembuatan sebuah film, sutradara harus cermat dalam mengemas sebuah cerita sehingga pesan yang ingin disampaikan dapat diterima dengan baik oleh para penonton. Pengemasan sebuah film pun tergantung pada konsep yang diusung sang sutradara beserta jajarannya. Seperti yang terdapat dalam film Anna Karenina. Film Anna Karenina diangkat dari novel karya Leo Tolstoy (ditulis tahun 1873 – 1877) , seorang sastrawan kenamaan asal Rusia, yang mengangkat cerita kehidupan tokoh sentral Anna Karenina yang dibalut dalam budaya Slavic, akan
3
Elvinaro Ardianto. Komunikasi Massa: Sebuah Pengantar. Simbiosa Rekatama Media: Bandung, 2007, hal 10.
3
tetapi di dalam filmnya yang di produksi oleh Focus Feature dan dirilis tahun 2012, budaya Slavic yang menjadi balutan utama di novel karya Tolstoy tersebut tidak dimunculkan secara signifikan, sutradara Joe Wright dengan penulis naskah Tom Stoppard membawa Anna Karenina ke ranah yang lebih mudah diterima penonton umum, daripada merepresentasikan kembali Budaya Slavic dengan detail seperti yang tersaji dalam Novel yang ditulis oleh Tolstoy tersebut. Proses Ekranisasi (pengangkatan sebuah novel “karya sastra” ke dalam film) ini akhirnya melahirkan Anna Karenina yang lain, tentu saja proses Ekranisasi ini pasti menimbulkan perbedaan, karena tidak semua detail yang ditawarkan Tolstoy baik dari segi verbal visual dan verbal psikologi bisa dipresentasikan dalam film yang berdurasi dua jam delapan menit lima puluh detik tersebut. Dalam kata lain Anna Karenina versi Joe Wright ini adalah Anna Karenina yang memiliki bahasa visualnya sendiri. Kepentingan Anna Karenina sebagai sebuah produk kreatif, dimulai ketika hal tersebut dirilis dalam bentuk novel yang ditulis Tolstoy. Anna Karenina adalah salah satu novel terbaik Tolstoy yang dikenal dan diterjemahkan ke berbagai bahasa; bahkan sudah terdapat versi bahasa Indonesianya yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia pada tahun 2007. Pentingnya Anna Karenina ini sebagai sebuah karya kreatif dapat ditemukan lewat banyaknya studi akademik yang muncul dan menjadikan Anna Karenina karya Tolstoy ini sebagai objek penelitian. Studi akademik terhadap objek Anna Karenina karya Leo Tolstoy ini lahir dari banyak sudut pandang, luasnya objek studi terhadap Anna Karenina ini secara 4
langsung membuktikan bahwa sebuah produk kreatif memiliki wacana akademis yang luas dan dalam. Dalam hal ini studi terhadap Anna Karenina banyak bermunculan di ranah sastra, kajian budaya, antropologi, hingga sosiologi. Dimana Tolstoy banyak merepresentasikan pemikiran lokalitas, potret budaya, hingga bentuk naratif di dalam novel Anna Karenina. Adapun hal lain yang seringkali muncul dalam pengkajian Anna Karenina terletak pada fokus Anna sebagai tokoh sentral baik di dalam novel ataupun film. Di dunia film sendiri proses Ekranisasi dari karya Tolstoy ini memiliki beberapa kesulitannya sendiri, dimana seting yang berada di Masa Kerajaan Rusia tahun 1847 tentu saja melahirkan kesulitan-kesulitan visual yang luar biasa. Novel karya Tolstoy tersebut kemudian ditransformasikan menjadi sebuah screenplay oleh Tom Stoppard, yang kemudian divisualisasikan menjadi film oleh sutradara Joe Wright. Penerjemahan visual oleh Joe Wright ini bukan yang pertama kali dilakukan, novel Anna Karenina sudah beberapa 25 kali diangkat menjadi film, beberapa film bahkan dibintangi oleh aktris-aktris populer seperti Greta Garbo, Vivian Leigh, Sophie Mercau, hingga yang terbaru Kiera Knightley. Adapaun film-film yang dibintangi
aktris-aktris
tersebut
adalah
film
produksi
Holywood
dengan
menggunakan dialog berbahasa Inggris, sedangkan versi Rusianya terdapat dua film yaitu yang diproduksi pada tahun 1967 dengan sutradara Alexander Zarkhi, dan yang diproduksi pada tahun 2008 dengan sutradara Sergei Soloviev.
5
Perbedaan yang signifikan antara produksi-produksi film Anna Karenina tersebut dengan yang disutradarai oleh Joe Wright, terdapat pada penyajian artistiknya. Wright menggunakan eksplorasi yang berbeda dari film-film yang ia kerjakan sebelumnya, juga dari film Anna Karenina yang lain. Jika sebelumnya ia menggunakan kacamata realis dalam melahirkan bentuk visual di dalam film, kini ia menggunakan
eksplorasi
intermedial
performance—penyajian
visual
lewat
representasi seni pertunjukan untuk menerjemahkan kebutuhan ruang yang banyak dan representatif di dalam film Anna Karenina. 4 Film Anna Karenina versi Wright mendapat penghargaan desain kostum terbaik dalam ajang British Academy Film Award ke 66 tahun 2013. Dan mendapat banyak nominasi seperti sinematografi terbaik, musik asli terbaik, desain produksi terbaik, tata rias dan rambut terbaik. Walau demikian Wright berhasil membuat Film Anna Karenina yang berbeda dengan Film Anna Karenina sebelumnya. Dimana ruang menjadi suguhan utama serta cerita yang dikemas menjadi mudah dimengerti. Pembentukan ruang melahirkan referensi identitas, dan identitas sendiri adalah hal yang anti-essensial dimana identitas adalah diskuris konstruktif yang mengganti maknanya seiring dengan waktu, tempat, dan kegunaan. 5 Ruang sendiri tidak dimaknai sebagai tempat, akan tetapi sebagai wacana identitas dimana narasi begerak.
4
Philip Auslander (ed). Performance: Critical Concept of Literary and Cultural Studiers. Routledge: New York, 2009, hal 14. 5 Chris Barker. Cultural Studies. Jalasutra: Yogyakarta, 2004, hal 32.
6
Pembentukan identitas ruang ini dimunculkan lewat berbagai representasi Intermedial Performance yang menjadi alternatif eksplorasi film Anna Karenina dalam membangun narasi visualnya. Pemunculan Intermedial Performance ini kemudian menciptakan ikon-ikon baru dalam menciptakan adegan. Dalam filmnya set waktu dan tempat film Anna Karenina berada di Rusia pada era 1874, dimana monarki Rusia masih berkuasa, dan tentu saja berlatar pada sejarah film sebagai media komunikasi massa, film haruslah memiliki ketepatan terhadap bukti sejarah, sehingga capaian film secara akurat bisa dipertanggung jawabkan. Pendekatan Intermedial Performance ini mencoba untuk mengulas dan menyempitkan naratif Anna Karenina (dalam novel) yang besar—yang membawa wacana-wacana politis dan budaya, menjadi sebuah representasi wacana yang baru yang menempatkan Anna sebagai perempuan dengan masalah-masalah domestik yang ia temukan, tentunya masalah inipun kemudian bertalian dengan berbagai wacana lain. Secara artistik pendekatan Intermedial Performance ini juga mencoba memadatkan realita tentang bagaimana potret kelas atas monarki Rusia pada masa itu. Pemadatan realita ini kemudian bisa disampaikan dengan tepat dan memiliki pandangan estetik yang lain. Karena pendekatan Intermedial Performance yang signifikan pada film ini membuat penyajian visual menjadi ketat dan kreatif. Pemadatan ini membuat set Anna Karenina menciptakan bahasa baru dalam film, bagaimana eksplorasi lewat penyajian yang teatrikal kemudian membuat makna 7
ruang dalam bahasa film mengendur dan menjadi bentuk makna seni pertunjukan yang plastis dan koheren secara semiotik. Semiotik atau semiologi adalah teori mengenai sistem tanda (sign) pembahasan melalui semiotik ini kemudian melahirkan makna yang kemudian secara tidak langsung merepresentasikan identitas ruang tersebut. Identitas ruang yang dimaksud adalah bagaimana ruang itu bersikap terhadap adegan dan dalam hal ini identitas dilihat dari bagaimana ruang adalah sebuah konsepsi fikir dalam seni pertunjukan.6 1.2
Fokus Penelitian Penelitian ini berfokus kepada makna identitas ruang secara semiotik, yang
dihadirkan di film Anna Karenina lewat pendekatan Intermedial Performance. 1.3
Identifikasi Masalah Masalah yang ada di dalam film Anna Karenina berada di dalam aspek
visualnya, dimana bentuk eksplorasi visual terutama dalam merepresentasikan set adegan menggunakan pendekatan Intermedial Performance. Pendekatan ini kemudian mempertanyakan apakah film Anna Karenina memiliki sajian visual yang representatif terhadap pembentukan ruang melalui intermedial performance ? 1.4
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk melihat penerjemahan semiotik dalam pola
representasi ruang yang dilakukan melalui pendekatan Intermedial Performance dalam film Anna Karenina. 6
T. Eagleton. Literary Theory: An Introduction. Univ Of Minnesota Press, 2008, hal 100.
8
1.5
Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Teoritis Secara Teoritis penelitian ini membawa semiotika sebagai dasar pembacaan ikon yang tersaji di dalam pendekatan Intermedial Performance. Sehingga makna ruang sebagai representasi adegan bisa dilihat baik secara praksis dan naratif. 1.5.2 Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini bermanfaat sebagai bahan studi untuk melihat gagasan eksplorasi alternatif dalam pewujudan visual sebuah film. Lebih detailnya hal ini bisa menjadi pilihan jalan keluar bagi kebutuhan produksi set di dalam film yang seringkali sangat mahal. Gagasan eksporasi alternatif ini ada dalam pendekatan Intermedial Performance yang muncul di dalam film Anna Karenina.
9