BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang
Pendidikan merupakan salah satu isu penting yang tidak pernah lepas dari perkembangan suatu negara. Dewasa ini isu-isu terkait pendidikan telah menjadi wacana publik yang kerap dibahas di dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya. Hal ini dikarenakan masyarakat modern telah menyadari bahwa melalui proses pendidikanlah proses industrialisasi dapat diwujudkan dan dipercepat (Tilaar, 2012). Menurut Friendman, industrialisasi disebabkan karena perkembangan akal manusia, dan kemajuan akal adalah hasil dari pendidikan. Oleh karenanya, pendidikan merupakan aspek yang mempengaruhi perkembangan sebuah negara. Pendidikan juga acapkali dijadikan tolak ukur keberhasilan dan kesejahteraan warga negara. Dapat diambil contoh adalah negara tetangga dari Indonesia, yaitu Malaysia. Malaysia adalah negara berkembang tidak jauh berbeda dari Indonesia, akan tetapi IPM (Indeks Pembangunan Manusia) atau HDI (Human Development Index) Indonesia tertinggal jauh. Indonesia berada di peringkat 121, sedangkan Malaysia berada diperingkat 64 disusul dengan peringkat 18 yakni Singapura. Hal ini menjadi sebuah pertanyaan karena Malaysia baru meraih kemerdekaan pada tanggal 31 Agustus 1957, dua belas tahun setelah Indonesia merdeka. Salah satu faktor yang mempengaruhi kemajuan ini dikarenakan pada tahun 1991 Perdana Menteri Malaysia, Dr. Mahatir Muhammad, menetapkan visi Malaysia 2020 yang konsentrasinya dalam bidang pendidikan. Semua program tersebutdibuat untuk mendukung kemajuan Malaysia dalam bidang pendidikan. Program yang telah diluncurkan Malaysia adalah PIPP (Pelan Induk Pembangunan Pendidikan), Pembangunan Pendidikan Malaysia dan Rancangan Malaysia ke-9 yang semuanya berfokus pada pendidikan (Hussein, 2004). Hal tersebutlah yang mempengaruhi kemajuan
pendidikan di Malaysia sehingga jika bersaing dalam hal pembangunan manusia Indonesia masih tertinggal oleh Malaysia sehingga membuktikan bahwa kebijakan yang dilakukan Malaysia memiliki output dan outcome yang positif. Di Indonesia, urgensi pendidikan tertuang dalam pembukaan UUD 1945 sebagai salah satu
cita-cita
Bangsa
Indonesia
yakni
mencerdaskan
kehidupan
bangsa.
Dalam
perkembangannya, Indonesia mengalami beberapa perubahan sistem pendidikan meliputi perubahan kurikulum pada tingkat SD (Sekolah Dasar) sampai SMU/SMK atau sederajat. Kurikulum pendidikan telah berubah beberapa kali. Dimulai dari kurikulum pertama setelah Indonesia merdeka dan dimasa Kabinet Syahriryaitu kurikulum 1947 yang mana pada masa itu disebut dengan leerplan atau rencana pelajaran.Selanjutnya kurikulum berganti menjadi kurikulum 1952 atau biasa disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952. Setelah itu dibentuklah kurikulum 1964 yang menekankan pembekalan siswa semasa SD dan diteruskan dengan kurikulum 1968 tentang penekanan jiwa pancasila. Kemudian dilanjutkan dengan kurikulum 1975, 1984, 1994, dan 1999. Kurikulum kembali dirombak pasca reformasi. Pada tahun 2004 dibentuklah kurikulum berbasis kompetensi atau biasa disingkat KBK.Guna menyempurnakan KBK maka pada tahun 2006 dibentuklah kurikulum baru yang dinamakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau biasa disingkat KTSP. Pada tahun 2013 kurikulum kembali dirombak dan berubah menjadi Kurikulum 2013 yang menekankan kemandirian bagi peserta didik sehingga dapat terasah dari segi kognitif, psikomotorik dan afektifitasnya. Dari sistem pendidikan yang berubah-ubah beberapakali tersebut menandakan isu-isu tentang pendidikan selalu menjadi isu hangat dan dinamis. Kebijakan sistem kurikulum yang acapkali bergonta-ganti tersebut tidak lain dan tidak bukan merupakan salah satu upaya pemerintah untuk membuktikan keberpihakannya terhadap pendidikan di Indonesia untuk
mencapai tujuan negara yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Kebijakan negara tentang pendidikan tidak hanya meliputi kurikulum, akan tetapi dalam pengalokasian anggaran negara dibidang pendidikan. Dalam sistem pengalokasian anggaran pendidikan, Indonesia menunjukkan komitmennya terhadap pendidikan dengan mengamandemen Pasal 31 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945yang mana menambahkan 3 ayat tambahan, sehingga dalam Pasal 31 berubah menjadi
5 (lima) ayat. Dalam Pasal 31 ayat (4)disebutkan bahwa “Negara
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”.
Hasil Amandemen tersebut
adalah salah satu langkah pemerintah untuk menunjukkan keberpihakannya dalam bidang pendidikan.
Kota Yogyakarta merupakan kota pendidikan di Indonesia yang mana memiliki konsistensitinggi dalam memperjuangkan pendidikan. Kota Yogyakarta juga memiliki IPM (Indek Pembangunan Manusia) tertinggi diantara kota/kabupaten di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta seperti dapat dilihat dari tabel berikut. Tabel 1.0 Indeks Pembangunan Manusia Menurut Kabupaten/Kota Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2004-2011 Kod
Propinsi/ 2006
IPM 2007 2008
2004
2005
e 3400
Kabupaten DI
2009
2010
2011
72,9
73,5
74,15
74,15
74,88
75,23
75,77
76,32
3401 3402 3403
Yogyakarta Kulon Progo Bantul Gunung
70,9 71,5 68,9
71,5 71,9 69,3
72 72 69,4
72,76 72,78 69,68
73,26 73,38 70,00
73,77 73,75 70,18
74,49 74,53 70,45
75,04 75,05 70,84
3404 3471
Kidul Sleman Kota
75,1 77,4
75,6 77,7
76,2 77,8
76,7 78,14
77,24 78,98
77,7 79,29
78,2 79,52
78,79 79,89
Yogyakarta Sumber : Pembangunan Manusia Berbasis Gender Tahun 2005-2012 Kerjasama BPS dengan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Dan pada tahun 2012 tercatat IPM Kota Yogyakarta menempati peringkat pertama yang dapat dilihat dari tabel berikut: Tabel 2.0 Indeks Pembangunan Manusia Kota/Kabupaten DIY 2012 No
Kabupaten/
Harapan
Angka
Rata-
Pengeluaran
Indeks
Peringkat
Kota
Hidup
Melek
rata
RiilPer
Pembang
IPM
Huruf
Lama
Kapita yang
unan
Sekolah
Disesuaikan
Manusia
1
Kulon Progo
74,58
92,04
8,37
634,34
75,33
4
2
Bantul
71,34
92,19
8,95
654,96
75,58
3
3
Gunung
71,04
84,97
7,70
631,91
71,11
5
4
Kidul Sleman
75,29
94,53
10,52
653,11
79,31
2
5
Kota
73,51
98,10
11,56
657,65
80,24
1
73,27
92,02
9,21
653,78
76,75
4
Yogyakarta DIY
Sumber : Susenas, Badan Pusat Statistik Propinsi DIY
Menurut pendapat dari Badan Pusat Statistik (BPS), Propinsi D.I Yogyakarta memiliki IPM peringkat 4 dari 33 Propinsi yang tercatat di Badan Pusat Statistik Tingkat Nasional. Hal ini tidak luput dari visi Kota Yogyakarta yakni “Terwujudnya Kota Yogyakarta sebagai Kota
Pendidikan Berkualitas, Berkarakter dan Inklusif, Pariwisata Berbasis Budaya, dan Pusat Pelayanan Jasa, yang Berwawasan Lingkungan dan Ekonomi Kerakyatan” (Jogjakarta,2014). Dari visi tersebut inovasi untuk menanggapi isu pendidikan pun bermunculan seiring perkembangan zaman. Di masa kepemimpinan Herry Zudianto, Kota Yogyakarta melakukan gebrakan dalam bidang pendidikan, gebrakan tersebut dilakukan sebagai pendukung dari program pemerintah tentang kewajiban belajar 12 tahun. Program ini kemudian dinamakan JPD (Jaminan Pendidikan Daerah) yang diimplementasikan melalui Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 23 Tahun 2009 tentang Penanggulangan Kemiskinan di Kota Yogyakarta. Melihat tahun 2007/2008 angka putus sekolah masih 0,07% dan masih rendahnya kesempatan keluarga miskin untuk menempati sekolah bermutu (Initiative for Government Innovation, 2014) JPD bertujuan untuk memberikan bantuan pendidikan bagi keluarga pemegang KMS (Kartu Menuju Sejahtera), sehingga akses pendidikan dapat terjangkau disemua lapisan masyarakat
tanpa
terkecuali.
Bantuan
tersebut
diberikan
disemua
jenjang
sekolah
(TK/RA,SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA dan SMK). Harapan dari pemerintah agar mengurangi atau bahkan memberantas anak putus sekolah yang disebabkan karena alasan biaya. Dalam Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 23 Tahun 2009 tentang Penanggulangan Kemiskinan di Kota Yogyakarta terdapat tiga hal penting yang dijelaskan dalam Pasal 16 yaitu sebagai berikut: a. Pemberian Jaminan Pendidikan pada TK/SD/SMP/SMA/SMK; b. Pemberian Akses Pendidikan di Sekolah Luar Negeri; dan c. Pengarahan peserta didik yang telah dinyatakan lulus SMP untuk memasuki kelompok pendidikan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan)
Program JPD tersebut merupakan bukti komitmen Kota Yogyakarta pada bidang pendidikan dengan memberikan jaminan pendidikan gratis dengan mengacu ke amanat UUD 1945 Pasal 31 ayat (2) yakni “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Tujuan dari diberlakukannya JPD adalah mengentaskan anak usia sekolah yang putus sekolah karena alasan biaya. Anak usia sekolah yang dimaksudkan dalam kebijakan tersebut adalah anak usia sekolah pemegang KMS yang telah diatur dalam Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 417/SEP/2009 tentang Penetapan Parameter Pendataan Keluarga Miskin. Kebijakan Jaminan Pendidikan Daerah (JPD) memakan dana yang tidak sedikit pada tahun 2013 sebesar 32 milliar rupiah dan pada tahun 2014 dinaikkan menjadi 34 milliar(Rusqiyati,2014). Dana tersebut diambil dari APBS (Anggaran Pendapatan Belanja Sekolah) melalui RAPBS (Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Sekolah) yang diserahkan ke Dinas Pendidikan Daerah. Oleh karenanya, kebijakan JPD dirasa sangatlah menguntungkan bagi masyarakat yang kurang mampu di Kota Yogyakarta. Tujuan dari kebijakan tersebut sangatlah mulia dan membuktikan betapafokusnya Kota Yogyakarta terhadap pendidikan agar terus mempertahankan gelar sebagai kota pelajar. Jika dilihat dari HDI (Human Development Index) atau IPM (Indeks Pembangunan Manusia) Kota Yogyakarta menempati peringkat pertama dengan angka melek huruf sebesar 98,10% pada tahun 2012 seperti yang tercantum dalam tabel tersebut Tidak cukup soal hanya pembebasan biaya, kebijakan JPD juga mempermudah akses pendidikan yang lebih terbuka bagi pemegang KMS untuk melanjutkan sekolah ke sekolah favorit, khususnya bagi Sekolah Menengah Kejuruan. Kemudahan akses pendidikan tersebut dilakukan dengan cara pemberian kuota bagi siswa pemegang KMS untuk melakukan seleksi
dengan jalur yang berbeda dengan calon peserta didik yang tidak memiliki KMS. Kuota yang ditetapkan untuk siswa pemegang KMS adalah 25% bagi SMK Kota Yogyakarta dan 5 % bagi SMA Negeri Kota Yogyakarta. Dengan adanya pengkuotaan yang besar pada kelompok pendidikan SMK diharapkan peserta didik lulusan SMP akan lebih cenderung memilih melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Kejuruan. Hal tersebut dimaksudkan supaya siswa pemegang KMS siap untuk langsung diterjunkan di dunia kerja. Namun, dalam pelaksanaannya sistem pengkuotaan tersebut ternyata tidak begitu efektif dan cenderung sia-sia. Pada pengumuman penerimaan peserta didik baru khusus KMS yang dilangsungkan pada tahun 2012 untuk tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) kuota KMS yang ditentukan sebanyak 935 terpenuhi 850 pemegang KMS, untuk tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) dari 106 terpenuhi 100 pemegang KMS dan untuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dari kuota yang ditentukan sebanyak 820 terpenuhi 797 pemegang KMS (RRI, 2012) Pemenuhan kuota yang ada pun cenderung hanya sekedar memenuhi sisa yang disediakan tanpa melihat prestasi akademik peserta didik. Pemenuhan kuota yang sekedarnya dan bukan mengacu pada minat peserta didik tersebut tentunya akan berdampak bagi pihak sekolah. Dampak dari kebijakan tersebut dapat dilihat dari Angka Putus Sekolah di Kota Yogyakarta yang tidak menunjukan penurunan. Hal tersebut dapat di lihat di tabel berikut:
Tabel. 2 Angka Putus Sekolah (APS) Kota Yogyakarta Jenjang SMP/MTs SMA/SMK
2008-2009 23 Anak 12 Anak
Tahun 2009-2010 17 Anak 24 Anak
2010-2011 17 Anak 83 Anak
Sumber : Dokumen Disdikpora DIY dalam Sidiq 2013
Dari tabel tersebut justru terlihat bahwa angka putus sekolah mengalami kenaikan. Hal tersebut tidak begitu mengejutkan dikarenakan siswa pemegang KMS di Kota Yogyakarta yang memiliki NUN (Nilai Ujian Nasional) rendah dan melalui jalur seleksi JPD di sekolah favorit khususnya SMK memang tidak sedikit. Tidak sedikitnya peserta didik yang mengalami putus studi dikarenakan tidak kuatnya peserta didik dalam mengikuti pola belajar teman sekelasnya yang memiliki NUN yang tinggi. Tidak hanya Angka Putus Sekolah (APS), Angka Melanjutkan Sekolah (AMS)justru mengalami penurunan setelah diimplementasikan Jaminan Pendidikan Daerah (JPD). Tingkat Angka Melanjutkan Sekolah (AMS) dihitung dari angka peserta didik yang telah dinyatakan lulus SD (Sekolah Dasar) dan akan melanjutkan ke jenjang selanjutnya atau SMP/MTs. Penurunan tersebut dapat dilihat dari tabel berikut:
Tabel 1.3 Angka Melanjutkan Sekolah (AMS) Kota Yogyakarta Ke Jenjang SMP/MTs SMA/SMK
2008-2009 118,59 147,91
Tahun 2009-2010 110,91 158,21
2010-2011 110,54 158,98
Sumber: Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta
Berdasarkan penjabaran singkat mengenai Jaminan Pendidikan Daerah tersebut dan sedikit pembahasan mengenai tantangan yang dihadapi dalam implementasi kebijakan
Jaminan
Pendidikan Daerah maka terlihat bahwa belum optimalnya kebijakan tersebut dalam mengatasi masalah pendidikan di Kota Yogyakarta. Oleh karena itu, Peneliti akan menulis tentang studi evaluasi terkait kebijakan Jaminan Pendidikan Daerah dalam penelitian yang berjudul Evaluasi Kebijakan Jaminan Pendidikan Daerah Kota Yogyakarta terhadap Peningkatan Mutu Pendidikan di Kota Yogyakarta . Sebelumnya sudah pernah ada yang telah meneliti Jaminan Pendidikan Daerah Kota Yogyakarta dalam tesisnya yang berjudul Implementasi Jaminan Pendidikan Daerah bagi Keluarga Miskin di Kota Yogyakarta, akan tetapi masih banyak masalah yang harus dikaji dari penelitian sebelumnya. Penelitian dalam bentuk tesis tersebut memaparkan masalah dari ketepatan Pemerintah dalam memberikan KMS ke masyarakat sehingga ketepatan pemerintah tersebut dapat mempengaruhi kebijakan JPD. Dalam penelitian ini, peneliti melihat dari angka putus sekolah yang terus naik yang mana pada tahun 2011 mencapai hingga 83 anak putus sekolah. Hal ini menjadi sesuatu yang menarik bagi peneliti untuk dikaji lebih lanjut. Mengingat di tahun sebelumnya belum pernah tercapai angka putus sekolah setinggi di tahun 2011. Oleh karena itu, penelitian ini mencari tahu permasalahan pada pelaksanaan kebijakan JPD, dan apa saja faktor-faktor yang menyebabkan kebijakan tersebut tidak efektif.Objek penelitian yang akan diteliti meliputi pihak-pihak yang berada di dalam street level bureaucracyyang mana dalam hal ini meliputi tenaga pengajar atau guru dan pihak sekolah yang terkait.
Penelitian ini menjelaskan problema yang terjadi di dalam pengimplementasian kebijakan Jaminan Pendidikan Daerah (JPD). Problema tersebut dibatasi dalam ruang lingkup yang meliputisekolah-sekolah tingkat menengah atas yang paling terkena dampak dari masalah kebijakan ini. Oleh karena itu, penelitian akan dilakukan dengan mengambil sampel SMK favorit di Kota Yogyakarta dikarenakan kuota siswa KMS untuk SMK yang besar dan cenderung tidak dibarengi dengan kapasitas yang sepadan karena perbedaan jalur seleksi. Selain itu juga SMA favorit yang menerima siswa KMS dengan jumlah cenderung besar dan SMK Swasta yang juga menjadi target dari kebijakan Jaminan Pendidikan Daerah (JPD) tersebut dalam pengarahan siswa ke kelompok SMK.Untuk kelompok SMA peneliti mengambil SMA N 3 Yogyakarta dan SMA N 8 Yogyakarta.Pengambilan sampel di SMA tersebut dikarenakan SMA tersebut termasuk SMA favorit di Kota Yogyakarta dan menerima peserta didik baru dengan kesenjangan yang berbeda. Berikut adalah tabel statistik seleksi masuk berdasarkan Nilai Ujian Nasional:
Tabel 1.4 Statistik Seleksi Masuk berdasarkan NUN Tahun 2014 Nama Sekolah SMA N 3 SMA N 8
Jalur Reguler Nilai Nilai
Rata
Jalur KMS Nilai Nilai
Rata-
Terendah
Tertinggi
-rata
Terendah
Tertinggi
rata
37.20 36.40
38.90 38.30
37.72 36.87
31.20 34.90
36.70 37.45
33.85 35.97
Sumber : yogya.siap-ppdb.com
Selain kelompok pendidikan SMA Negeri peneliti juga meneliti untuk kelompok SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) Negeri meliputi SMK Negeri 2 Yogyakarta dan SMK Negeri 3 Yogyakarta.Peneliti meneliti SMK tersebut karena peneliti melihat terdapat kesenjangan antara jalur reguler dan KMS dalam seleksi masuk. Berikut adalah tabel jalur seleksi masuk berdasarkan NUN untuk kelompok Sekolah Menengah Kejuruan:
Tabel 1.5 Statistik Seleksi Masuk Kelompok SMK Nama Sekolah
Jurusan
SMK N 2
Teknik Konstruksi Bagunan Teknik Gambar Bangunan Teknik Survei dan Pemetaan Teknik Instalasi Tenaga Listrik Teknik Pemesinan Teknik Kendaraan Ringan Teknik Audio Video
Jalur Reguler Nilai Nilai Terendah Tertinggi 58.60 83.55
Ratarata 65.24
Jalur KMS Nilai Nilai Terendah Tertinggi 31.85 44.50
68.10
87.85
74.21
35.15
75.95
75.65
87.70
81.02
60.85
90.85
66.55
84.45
71.62
32.45
74.20
72.25
88.55
46.70
85.80
71.25
90.15
46.40
90.70
75.55
88.75
30.00
79.05
Ratarata
SMK N 3
Teknik Komputer Jaringan Multimedia
83.90
93.70
69.80
92.10
81.70
93.70
51.30
89.65
Konstruksi Kayu Gambar Bangunan Instalasi Tenaga Listrik Teknik Pemesinan Teknik Kendaraan Ringan Teknik Audio Video Teknik Komputer Jaringan Multimedia
53.15
63.20
39.45
47.85
61.55
77.65
34.00
70.85
60.25
83.05
41.05
64.55
64.20
87.25
46.80
78.15
62.30
85.80
49.25
82.70
68.65
89.75
45.95
79.35
78.15
92.15
55.00
65.65
80.40
93.85
48.05
79.40
Sumber : yogya.siap-ppdb.com
Tabel di atas memperlihatkan terjadinya kesenjangan nilai yang begitu jauh antara jalur reguler dan jalur KMS.Terjadinya ketimpangan yang begitu jauh tersebut membuat peneliti tertarik untuk meneliti sekolah tersebut mengingat sekolah tersebut termasuk sekolah favorit di Kota Yogyakarta. Penelitian ini akan melihat masalah dari perspektif yang berbeda, yakni dengan studi evaluasi demokratik yang mengevaluasi kebijakan dengan melihatnya dari kacamata masyarakat selaku obyek dari kebijakan. Sehingga peneliti akan lebih mengetahui problematika yang terjadi di dalam implementasi kebijakan Jaminan Pendidikan Daerah (JPD).Dengan mengetahui
problematika tersebut diharapkan peneliti dapat memberikan solusi atas problematika yang terjadi. 1.2 Rumusan Masalah Jaminan pendidikan daerah merupakan kebijakan yang bertujuan untuk mengentaskan angka putus sekolah dikarenakan biaya pendidikan yang tinggi, akan tetapi kebijakan yang sudah diimplementasikan selama 5 (lima) tahun ini ternyata masih menemui banyak masalah, terutama dalam hal angka putus sekolah di Kota Yogyakarta yang menjadi fokus dari kebijakan ini. Berdasarkan argumentasi di atas, penelitian ini memfokuskan ke dalam dua rumusan masalah yang meliputi: 1. Apa saja permasalahan yang terjadi di dalam pelaksanaan kebijakan Jaminan Pendidikan Daerah (JPD) di SMA Kota Yogyakarta ? 2. Apa saja faktor yang menyebabkan munculnya permasalahan di dalam pelaksanaan kebijakan Jaminan Pendidikan Daerah (JPD)di Kota Yogyakarta? 1.3 Tujuan Penelitian Melihat penjabaran tentang JPD dan rumusan masalah tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk : a. Menjelaskan problematika kebijakan JPD dalam peningkatan mutu pendidikan di Kota Yogyakarta; dan b. Menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan munculnya problematika kebijakan JPD. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang nantinya diharapkan dari penelitian ini terdapat dua hal yakni: 1.4.1
Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah keilmuan yaitu memperkaya konsep maupun teori yang memberikan kontribusi perkembangan ilmu pengetahuan mengenai program Jaminan Pendidikan Daerah (JPD) sebagai salah satu produk kebijakan publik di bidang pendidikan. 1.4.2
Secara praktis Secara praktis, hasil penelitian yang dilakukan dapat memberikan masukan bagi: a.
Dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam memperbaiki kebijakan JPD agar kebijakan dapat memiliki output atau outcame yang positif;
b.
Dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan bagi Dinas Pendidikan kota Yogyakarta agar dapat meningkatkan kinerja pelayanan pendidikan bagi keluarga miskin (KMS) melalui program Jaminan Pendidikan Daerah (JPD) yang diselenggarakan;
c.
Masyarakat serta pemerintah dapat melihat dampak yang dihadapi oleh masyarakat dilingkungan pendidikan dari kebijakan JPD tersebut; dan
d.
Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat menambah pemahaman serta dapat meningkatkan daya analisis sehingga dapat menjadi perumus kebijakan yang professional.