BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pendidikan bahasa Jerman di Indonesia semakin berkembang seiring dengan meningkatnya minat masyarakat terhadap bidang studi bahasa Jerman karena semakin berkembangannya pengaruh negara Jerman dalam berbagai bidang yang berdampak pada meningkatnya kerjasama dengan berbagai negara, salah satunya Indonesia, baik dalam bidang industri, kesehatan, ekonomi, khususnya dalam bidang pendidikan. Kondisi tersebut membuat banyak lembaga pendidikan melakukan inovasi pada sistem pendidikan guna mencapai hasil yang maksimal dalam pencapaian target kurikulum pengajaran bahasa Jerman. Variasi model, metode, dan teknik pengajaran yang inovatif pun selalu dikembangkan. Namun demikian, tidak sedikit para pembelajar yang masih mengalami kendala, kesulitan, atau bahkan kesalahan dalam mempelajari bahasa Jerman dengan baik yang selama ini masih tampak dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Seiring dengan dikenalnya Indonesia dalam kancah internasional, khususnya dalam bidang pendidikan, tidak sedikit jumlah mahasiswa asing berkebangsaan Jerman menempuh studi atau kegiatan ilmiah lainnya, yang mengharuskan mereka mempelajari bahasa dan budaya Indonesia. Ketika mereka dihadapkan dengan pembelajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa
1
2
asing, mereka akan menghadapi kendala dalam mempelajari dan mengakuisisi bahasa aglutinasi dari rumpun astronesia ini, seperti halnya kesulitan dan kendala yang dihadapi oleh pembelajar Indonesia ketika mempelajarai bahasa Jerman sebagai bahasa fleksi dari rumpun Indo-Germani. Perlu dipahami bersama bahwa kesulitan dalam pengajaran dan pembelajaran bahasa asing tidak selalu bersumber dari dalam diri pembelajar ataupun pengajar, tetapi juga bisa bersumber dari karakteristik ketatabahasaan bahasa asing itu sendiri, dalam hal ini misalnya bahasa Jerman. Hal itu juga bisa dirujuk pada pernyataan seorang pakar linguistik kontrastif, Lado dalam Brown (2007:273) memaparkan bahwa kita bisa memprediksi dan mendeskripsikan pola-pola yang akan menimbulkan kesalahan dalam pembelajaran, dan pola-pola yang tidak akan menimbulkan kesulitan, dengan membandingkan secara sistematis bahasa dan budaya yang harus dipelajari dengan bahasa dan budaya pembelajar. Artinya, kesulitan dan kesalahan yang dialami pembelajar dapat diprediksi dengan cara melihat kadar perbedaan dan persamaan karakteristik sistem gramatikal bahasa Jerman, sebagai bahasa ibu pelajar Jerman dalam mempelajari bahasa Indonesia, dan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu pelajar Indonesia yang belajar bahasa Jerman. Semakin besar kadar perbedaan sistem gramatikal kedua bahasa, maka akan semakin memungkinkan pembelajar mengalami kendala dalam mempelajari dan mengakuisisi bahasa asing tersebut. Bahasa Indonesia merupakan bahasa aglutinatif (agglutinative language), sedangkan bahasa Jerman merupakan bahasa fleksi (flected
3
language). Pernyataan di atas bisa dirunut pada penjelasan Soeparno (2002:33) bahwa bahasa fleksi adalah bahasa yang struktur katanya terbentuk oleh perubahan bentuk kata. Terdapat dua hal yang melandasi perubahan bentuk kata tersebut, yaitu deklinasi dan konjugasi. Deklinasi adalah perubahan bentuk kata yang disebabkan oleh perbedaan jenis, jumlah, dan kasus; sedangkan konjugasi adalah perubahan bentuk kata yang disebabkan oleh perubahan persona, jumlah dan kala. Suparno (2002:33) juga menambahkan bahwa bahasa aglutinasi merupakan bahasa yang struktur katanya terbentuk oleh penggabungan unsur pokok dan unsur tambahan, unsur pokok dan unsur pokok, atau pun pengulangan unsur pokok. Jadi prosode morfologis yang berlaku pada bahasa tipe ini, misalnya bahasa Indonesia, adalah afiksasi, pemajemukan, dan pengulangan. Oleh karena itu, sistem gramatikal antara bahasa Jerman dan bahasa Indonesia sangat berbeda. Prediksi kesulitan dan kendala yang akan dihadapi oleh pelajar Indonesia yang belajar bahasa Jerman dan pelajar Jerman yang belajar bahasa Indonesia, berdasarkan sistem gramatikalnya yang sangat berbeda diduga kuat bahwa mereka akan mengalami kesulitan dan kendala dalam penyusunan kalimat majemuk yang di dalamnya terdapat atribut klausa relatif. Berbicara masalah klausa relatif, Verhaar (2004:327) menyatakan bahwa dari sudut sintaksis, ada berbagai cara untuk membahas klausa relatif, misalnya klausa relatif sebagai klausa bawahan dari sebuah kalimat majemuk, klausa bawahan entah terkandung entah berbatasan, atau klausa bawahan yang bersifat relasional.
4
Kendala dan kesulitan dalam penentuan konjungsi relatif bahasa Jerman disebabkan adanya proses deklinatif yang bergantung pada jenis, jumlah, dan hirarki kasus yang diduduki oleh nomina sebagai anteseden pada klausa utama dan nomina sebagai unsur yang direlatifkan dalam klausa bawahan, misalnya konjungsi relatif die, der, das, dem, deren, dan dessen. Selain itu, pola urutan predikat klausa bawahannya yang harus menduduki posisi akhir dalam kalimat majemuk tersebut. Namun demikian di sisi lain, penentuan konjungsi relatif bahasa Indonesia sangat terbatas yang tidak bergantung sepenuhnya pada ketiga hal yang sebagaimana berlaku dalam bahasa Jerman, misalnya konjungsi relatif yang dan tempat; dan tidak ada aturan yang mengharuskan predikat klausa bawahan untuk berada pada posisi akhir kalimat majemuk yang bersangkutan. Lihatlah beberapa contoh kalimat di bawah ini (1) Pelamar yang ijazahnya dari Boston itu memenuhi persyaratan kami. (Sumber: Moeliono, 1996: 329-331. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia) (2) Kaffe ist ein Getrӓnk, das in Deutschland sehr beliebt ist. S P1 det Pel det.rel Prep. Adv Adv P2 Kopi adalah sebuah minuman, yang di Jerman sangat disukai adalah
„Kopi adalah sebuah minuman yang sangat disukai di Jerman‟. (Sumber: Funk. 2013. Studio D A2 DaF) Kalimat (1) merupakan kalimat majemuk bahasa Indonesia yang di dalamnya terdapat klausa relatif yang harus dialihbahasakan oleh pelajar Indonesia ke dalam bahasa Jerman. Kalimat ini menunjukkan bahwa yang merupakan konjungsi relatif yang mengacu pada anteseden pelamar,
5
sedangkan sufiks –nya pada nomina ijazah merupakan penanda hubungan posesif yang dimiliki nomina pelamar dan ijazah. Di sisi lain, penentuan konjungsi relatif yang merelatifkan hubungan posesif antara anteseden dengan nomina yang direlatifkan dalam bahasa Jerman tidak melalui afiksasi seperti dalam bahasa Indonesia, melainkan melalui proses deklinatif determinan antesedennya dalam kasus genetif. Oleh karena itu, kebiasaan tersebut akan terbawa ke dalam penyusunan klausa relatif bahasa Jerman, sehingga kalimat (1) tersebut akan menjadi seperti di bawah ini: (3) Der Bewerber, das Diplom aus Boston ist, ist für uns qualifiziert. Det S Pelamar,
det.Rel S adv P2 Aux Prep Adv P1 yang ijazah dari Boston adalah, adalah bagi kami memenuhi syarat.
„Pelamar yang ijazahnya dari Boston itu memenuhi persyaratan kami‟ Kalimat (3) secara sintaktis bahasa Jerman tidak berterima karena konjungsi relatif das pada kalimat tersebut hanya berkategori determinan dari jenis atau genus feminimun dari kata benda Diplom, dan tidak bisa berfungsi sebagai konjungsi relatif yang menyatakan bahwa nomina Diplom berdasarkan hirarki kasusnya mengalami kasus genitif dari anteseden Der Bewerber, sehingga jenis dan jumlah nomina Der Bewerber tersebut menentukan jenis konjungsi relatifnya, bukan jenis dan jumlah dari nomina Diplom. Oleh karena itu, konstruksi kalimat (2) tersebut harus disusun ke dalam bentuk sebagai berikut: (4) Der Bewerber, dessen Diplom aus Boston ist, ist für uns qualifiziert. Det S Pelamar,
det.Rel.Gen S P2 Aux Adv P1 yang ijazahnya dari Boston adalah, adalah bagi kami memenuhi syarat
„Pelamar yang ijazahnya dari Boston itu memenuhi persyaratan kami.‟
6
Konjungsi relatif atau perelatif dessen berdeklinasi pada kasus genetif karena anteseden Der Bewerber memiliki hubungan posesif dengan das Diplom. Adapun kalimat (2) merupakan kalimat majemuk bahasa Jerman yang di dalamnya terkandung atribut klausa relatif. Pelajar Jerman yang sebagai
pembelajar
bahasa
Indonesia
sebagai
bahasa
asing
harus
mengalihbahasakannya ke dalam bahasa Indonesia akan membawa kebiasaan intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama, kemungkinan besar kendala yang dihadapi adalah sulitnya membiasakan diri untuk selalu meletakkan predikat, yaitu disukai, pada posisi bukan di akhir klausa relatif bahasa Indonesia, melainkan pada posisi setelah subjek dan atau langsung setelah konjungsi relatifnya. Kedua, pelajar Jerman akan masih membuang-buang tenaga untuk memikirkan jenis, jumlah, dan hirarki kasus yang diduduki oleh nomina kopi, padahal hal itu tidak mempengaruhi dalam penentuan kojungsi yang dalam klausa tersebut. Dengan demikian, kalimat (2) kemungkinan besar akan disusun sebagai berikut: (5) Kopi adalah sebuah minuman yang disukai di Jerman. Sistem gramatikal yang perberdaannya sangat jauh antara bahasa Jerman dan bahasa Indonesia seperti yang dicontohkan di atas merupakan kendala utama bagi pembelajar bahasa Jerman dan bahasa Indonesia sebagai bahasa asing. Fenomena seperti di atas merupakan alasan yang sangat mendasar bagi peneliti untuk melakukan penelitian yang membandingkan dan memadankan kedua tata bahasa klausa relatif di dalam bahasa Jerman dan bahasa Indonesia, dengan harapan hal ini bisa mengatasi kesulitan, kendala,
7
maupun kesalahan pembelajar bahasa Jerman dan bahasa Indonesia sebagai bahasa asing seperti yang digambarkan sebelumnya. Sebagaimana juga dipaparkan oleh Samsuri (1991:47) bahwa pengadaan analisis paralel tentang bahasa ibu dan bahasa asing yang diajarkan kepada pembelajar merupakan jawaban untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi dalam proses belajar bahasa asing tersebut. Penelitian tentang analisis semacam ini dikenal dengan sebutan penelitian kontrastif. Kridalaksana (2001:13) menyatakan bahwa analisis kontrastif adalah metode sinkronis dalam analisis bahasa untuk menunjukkan persamaan dan perbedaan antara bahasa-bahasa atau dialek-dialek untuk mencari prinsip yang dapat diterapkan untuk masalah yang praktis, seperti pengajaran bahasa dan penerjemahan. Analisis kontrastif dikembangkan dan dipraktikkan sebagai suatu aplikasi linguistik struktural pada pengajaran bahasa. Dengan demikian, para pembelajar bahasa asing, khususnya bahasa Jerman, bisa memahami dengan baik perbedaan dan persamaan struktur klausa relatif bahasa Jerman dan bahasa Indonesia, sehingga persoalan-persoalan yang dihadapi dalam proses pembelajaran tersebut dapat diatasi.
1.2. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini merujuk pada latar belakang permasalahan tersebut di atas, yaitu sebagaimana tersusun dalam rumusan sebagai berikut: 1) Apa saja jenis konjungsi relatif bahasa Jerman dan bahasa Indonesia?
8
2) Bagaimana cara pendistribusian konjungsi relatif
bahasa Jerman dan
bahasa Indonesia? 3) Apa saja perbedaan dan persamaan konjungsi relatif bahasa Jerman dan bahasa Indonesia? 4) Apa saja implikasi hasil penelitian ini dalam pengajaran bahasa Jerman dan bahasa Indonesia sebagai bahasa asing?
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan pokok permasalahan yang telah dirumuskan di atas, adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah sebagai berikut: 1) Menjelaskan jenis-jenis konjungsi relatif dalam klausa relatif bahasa Jerman dan bahasa Indonesia. 2) Mendeskripsikan distribusi konjungsi relatif dalam klausa relatif bahasa Jerman dan bahasa Indonesia. 3) Menjelaskan perbedaan dan persamaan struktur klausa relatif bahasa Jerman dan bahasa Indonesia. 4) Menjelaskan implikasi hasil penelitian ini dalam pengajaran bahasa Jerman dan bahasa Indonesia sebagai bahasa asing.
1.4. Manfaat Penelitian Merujuk pada tujuan penelitian yang telah dirancang, penelitian ini setidaknya akan memberikan manfaat teoritis dan praktis kepada para pembaca. Adapun manfaat teoritis yang diperoleh sebagai berikut:
9
1) Memberikan kontribusi pustaka atau bahan acuan bagi perkembangan Linguistik di Indonesia, khususnya kajian linguistik kontrastif. 2) Mendeskripsikan kekhasan dan keunikan tatabahasa Jerman dan Indonesia, khususnya tentang konstruksi klausa relatif. 3) Memberikan kontribusi bagi penelitian lanjutan yang sejenis. Adapun manfaat praktis yang bisa diperoleh melalui hasil penelitian ini antara lain: 1) Memberikan kontribusi dan masukan bagi pengembangan strategi; baik dalam penyusunan kurikulum, penyediaan bahasa ajar, maupun teknik pengajaran bahasa Jerman sebagai bahasa asing di Indonesia (Deutsch als Fremdsprache) dalam empat aspek kemampuan berbahasa, yaitu membaca, mendengar, menulis, dan berbicara. 2) Memberikan gambaran informasi konkret kepada pembelajar tentang perbedaan dan persamaan struktur klausa relatif bahasa Jerman dan bahasa Indonesia, sehingga mereka selalu mempunyai titik kontrol atau cerminan untuk bisa mengatasi kendala dan kesulitan yang dialami sebelumnya dalam pembelajaran materi tersebut.
1.5. Tinjauan Pustaka Kajian kontrastif tentang tata bahasa Jerman dan Indonesia masih sangat jarang dilakukan. Kebanyakan penelitian yang dilakukan sebelumnya adalah terkait deskripsi bahasa Jerman sebagai salah satu rumpun bahasa Indo-Eropa yang berkarakteristik gramatikal fleksi. Adapun beberapa
10
penelitian terkait kajian kontrastif bahasa Jerman dan bahasa Indonesia yang pernah dilakukan dalam rangka untuk mendapatkan solusi atas kesulitan dan kendala pembelajar bahasa Jerman terhadap berbagai macam unsur-unsur tata bahasanya adalah sebagai berikut: 1) Penelitian yang berjudul “Analisis Kontrastif Vokoid Bahasa Jerman Dan Bahasa Indonesia” dilakukan oleh Ratna Jayanti (1991). Dari analisis kontrastif tersebut dapat disimpulkan adanya persamaan dan perbedaan antara vokoid bahasa Jerman dan vokoid bahasa Indonesia. Persamaan dan perbedaan tersebut mencakup masalah peta vokoid dan pembentukan vokoid. Berdasarkan peta vokoid, vokoid bahasa Jerman dapat dibagi menjadi: 8 bunyi vokoid panjang, yaitu [a:], [e:], [E:], [i:], [u:], [o:]. [y:] dan bunyi vokoid pendek, yaitu [a], [E], [I], [U], [oe], [v], [a]. Sedangkan bahasa Indonesia mempunyai 6 bunyi vokoid, yaitu : [a], [e], [i], [o], [u] dan [a]. Dalam bahasa Jerman terdapat pembagian bunyi vokoid berdasarkan panjang-pendeknya vokoid tersebut dilafalkan, tetapi hal yang sama tidak terdapat dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Jerman, pelafalan suatu bunyi vokoid berdasarkan panjang-pendeknya vokoid tersebut dilafalkan merupakan faktor yang penting untuk diperhatikan karena perbedaan tersebut dapat membedakan arti. Sedangkan dalam bahasa Indonesia terdapat variasi fonem (alofon) yang tidak membedakan arti. Mengenai diftong dalam bahasa Jerman dan bahasa Indonesia terdapat perbedaan definisi antara keduanya tetapi dalam pembentukan dan pelafalannya dapat dikatakan sama. Dalam bahasa Jerman diftong terdiri
11
atas dua bunyi vokoid atau disebut juga vokoid ganda. Ada tiga bentuk diftong dalam bahasa Jerman, yaitu: [a3], [aI] dan [)I]. Dalam bahasa Indonesia, diftong adalah rangkaian bunyi bahasa yang segmen pertamanya berupa vokoid dan segmen keduanya berupa bunyi hampiran. Rangkaian ini selalu berada dalam satu suku kata. Ada tiga bentuk- diftong dalam bahasa Indonesia, yaitu: [aw], [ay] dan [oy]. 2) Penelitian yang berjudul “Analisis kontrastif konvensi pragmatis sekelompok penutur bahasa Indonesia dan bahasa Jerman” dilakukan oleh Rita Maria Siahaan (1996). Masalah-masalah yang dibahas dalam tesis ini terdiri atas: bentuk-bentuk pragmatik bahasa Indonesia dan bahasa Jerman: persamaan dan perbedaan bentuk¬bentuk pragmatik bahasa Indonesia dan bahasa Jerman: dan faktor-faktor pragmatik yang harus ditekankan dalam pengajaran bahasa Jerman di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah; agar diperoleh bentuk-bentuk pragmatik bahasa Indonesia dan bahasa Jerman: persamaan dan perbedaan bentuk-bentuk pragmatik bahasa Indonesia dan bahasa Jerman; juga agar diperoleh hal-hal yang harus ditekankan dalam pengajaran bahasa Jerman di Indonesia. Hasil analisis menunjukkan faktor-faktor yang harus ditekankan dalam pengajaran bahasa Jerman ialah pengungkapan makna-makna yang berlainan caranya dalam bahasa Jerman dan dalam bahasa Indonesia, antara lain, pemakaian kata Herr... tidak bisa berdiri sendiri, tidak bisa dikombinasikan dengan nama depan atau nama panggilan, tetapi dikombinasikan dengan nama keluarga. Dalam bentuk sopan santun dipakai bentuk pengandaian Kӧnten ,die...? serta klausa
12
pengandaian "Es wӓre nett, ...." Pemakaian partikel vielleicht; mul,- cloch besar pengaruhnya dalam kalimat sopan santun. Juga bentuk es dan mull yang tidak terdapat dalam bahasa Indonesia perlu ditekankan oleh pengajar bahasa Jerman". 3) Penelitian yang dilakukan oleh Pratomo Widodo (2008) dalam disertasinya yang berjudul “Distribusi Nomina dan Verba dalam Klausa Bahasa Jerman dan Bahasa Indonesia: Kajian Gramatika Kontrastif”. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan distribusi nomina dan verba serta distribusi kategorial unsur frasa nominal dan frasa verbal dalam klausa bahasa Jerman dan bahasa Indonesia; (2) mendeskripsikan pengaruh distribusi nomina dan verba dalam klausa terhadap wujud nomina dan verba dalam bahasa Jerman dan bahasa Indonesia; dan (3) menjelaskan persamaan dan perbedaan distribusi N dan V dalam klausa bJ dan bI ditinjau dari sudut pandang tata bahasa universal. Dalam membandingkan distribusi nomina dan verba serta distribusi kategorial unsur frasa nominal dan frasa verbal dari kedua bahasa digunakan data sekunder yang berasal dari hasil- hasil penelitian dan buku-buku gramatika bahasa Jerman dan bahasa Indonesia. Analisis data menggunakan metode analisis gramatika kontrastif yang mendasarkan pada tata bahasa universal tipologis. Adapun cara kerja analisisnya adalah dengan melihat distribusi nomina dan verba, baik pada tataran kata maupun frasa, serta distribusi kategorial unsur frasa nominal dan frasa verbal serta membandingkan butir-butir (properties) tata bahasa
13
dari kedua bahasa yang dibandingkan untuk melihat persamaan dan perbedaannya. Untuk menjawab pertanyaan mengapa terdapat persamaan dan perbedaan distribusi dan wujud nomina dan verba dalam bahasa Jerman dan bahasa Indonesia digunakan analisis berdasarkan hirarkhi tematik, yang mendasarkan pada analisis peran semantik, dan hirarkhi kasus, yang mendasarkan pada konsep relasi formal. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan diperoleh temuan-temuan sebagai berikut. (1) Terkait dengan distribusi nomina dan verba dalam klausa bahasa Jerman dan bahasa Indonesia dapat disampaikan hal- hal berikut: (a) Nomina dalam kedua bahasa dapat menduduki fungsi sintaksis sebagai subjek, objek, dan pelengkap. Dengan didahului oleh preposisi, nomina, baik dalam bahasa Jerman maupun bahasa Indonesia, dapat berfungsi sebagai objek, pelengkap, atau adverbial. Distribusi nomina dalam klausa bahasa Jerman relatif bebas atau fleksibel, sementara distribusi nomina dalam bahasa Indonesia tidak bebas karena distribusi tersebut berperan dalam menjelaskan proses gramatik klausa. Distribusi kategorial unsur frasa nominal dalam bahasa Jerman dan bahasa Indonesia memiliki banyak persamaan. Atribut frasa nominal dalam kedua bahasa ada yang prenominal dan ada yang posnominal. (b) Dalam bahasa Jerman verba menduduki fungsi predikat, sementara dalam bahasa Indonesia di samping verba, fungsi predikat dapat pula diisi oleh kategori yang lain seperti nomina, adjektif, numeralia, dan konstruksi preposisional. Distribusi verba dalam bahasa Jerman lebih berfungsi untuk menjelaskan jenis-jenis klausa,
14
namun kurang menonjol fungsinya dalam menjelaskan proses gramatik klausa; sementara itu distribusi verba dalam klausa bahasa Indonesia tidak begitu fleksibel, karena posisi verba memiliki peranan yang besar dalam menjelaskan proses gramatik klausa. Distribusi frasa verbal dalam bahasa Jerman merupakan konstruksi diskontinu yang unsur-unsurnya terpisah, sementara dalam bahasa Indonesia susunan unsur frasa verbal berurutan. Penelitian ini memiliki hubungan yang erat dengan kajian kontrastif klausa relatif yang dilakukan oleh peneliti karena keduanya menitikberatkan pada proses deklinatif dalam bahasa Jerman yang merupakan kekhasan tersendiri bahasa Jerman sebagai bahasa fleksi dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa aglutinasi. 4) Penelitian yang dilakukan oleh Dewi Ratnasari dalam sebuah disertasi dengan judul “Perilaku Ajektiva terhadap Nomina
dalam Frasa dan
Klausa Bahasa Jerman dan Bahasa Indonesia” (2010). Penelitian ini membahas tentang perilaku adjektiva dalam frasa dan klausa bahasa Jerman dan Bahasa Indonesia yang dikemas dalam bingkai linguistik kontrastif
dan
tata
membandingkan
dan
bahasa
semesta.
mendeskripsikan
Tujuannya perilaku
adalah adjektiva,
untuk serta
implikasinya terhadap wujud adjektiva. Data diambil dari karya sastra Jerman berupa roman dari novel, buku-buku gramatika, koran Süddeutsche Zeitung, Kompas, dan Harian Reginal jawa Barat Pikiran Rakyat. Hasil penelitian ini memperlihatkan perbedaan yang signifikan; terkait dengan urutan unsur frasa, , adjektiva bahasa Jerman menempati posisi di sebelah
15
kiri nomina yang diwatasinya, dan determina terletak di sebelah kiri adjektiva. Selanjutnya, dalam sebuah klausa adjektiva bahasa Jerman berkoneksi dengan verba kopula dan verba yang mengungkapkan pendapat membentuk predikasi. Dengan demikian, adjektiva menuntut kehadiran unsur lain sebagai subsistemnya dan berpotensi menguasai tampilan morfologis dalam unsur lain tersebut. Dalam bahasa Indonesia, adjektiva dapat langsung menempati slot predikat dan terletak di kanan subjek.
1.6. Landasan Teori 1.6. 1 Kalimat Berbicara tentang kalimat, banyak sekali definisi yang dipaparkan oleh para ahli dengan intisari yang sama. Ramlan dalam Markhamah (2009:10) menyatakan bahwa kalimat adalah satuan gramatik yang dibatasi oleh adanya jeda panjang yang disertai nada akhir turun atau naik. Dalam hal ini yang dimaksud satuan gramatik adalah unsur-unsur segmental dari suatu kalimat yang memiliki susunan yang sistematis. Selain itu, kalimat ada yang terdiri atas satu kata, dua kata, tiga kata dan seterusnya. Penentu satuan kalimat menurut Ramlan adalah intonasi. Batasan pengertian kalimat yang dipaparkan dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Moeliono, 1996:224) dinyatakan bahwa kalimat adalah bagian terkecil ujaran atau teks (wacana) yang mengungkapkan pikiran yang utuh secara ketatabahasaan. Dalam bahasa lisan kalimat diiringi oleh alunan titinada, disela oleh jeda, diakhiri oleh intonasi selesai,
16
dan diikuti oleh kesenyapan yang memustahilkan adanya. Dalam bahasa tulis, kalimat dimulai oleh huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik, tanda tanya, atau tanda seru; dan sementara itu disertakan pula di dalamnya berbagai tanda baca yang berupa spasi atau ruang kosong, koma, titik koma, titik dua, dan atau sepanjang garis pendek yang mengapit bentuk tertentu.
1.6. 2 Jenis-jenis Kalimat Banyak ahli memberikan kategori-kategori tertentu dalam pembagian jenis-jenis kalimat. Salah satunya Moeliono (1996:267) membagi kalimat berdasarkan bentuk dan maknanya sebagaimana tampak pada diagram pohon di bawah ini: Predikat Frasa Nominal Tunggal
Predikat Frasa Adjektival Predikat Frasa Verbal
Bentuk
Predikat Frasa Lain Setara Majemuk
Kalimat
Bertingkat Berita Perintah Makna
Tanya Seru Emfatik
17
Pembagian jenis kalimat berdasarkan bentuknya terdiri atas kalimat tunggal dan kalimat majekmuk. Kalimat tunggal merupakan kalimat yang hanya terdiri atas satu klausa, sedangkan kalimat majemuk merupakan kalimat yang terdiri atas lebih dari satu bagian inti, baik dengan maupun tanpa bagian bukan inti (Moeliono, 1996:258-268). Selain itu, Moeliono juga membagi jenis kalimat berdasarkan maknanya, yang meliputi kalimat berita, perintah, tanya, seru, dan kalimat emfatik. Namun demikian, yang menjadi titik fokus dalam penelitian ini adalah kalimat majemuk bertingkat. Berbicara masalah kalimat majemuk, Verhaar (2004:275) juga menyatakan bahwa kalimat majemuk merupakan kalimat yang terdiri atas dua klausa atau lebih, misalnya dalam kalimat seperti berikut: (6) Sri pergi ke dapur, mempersiapkan makanan, dan mengantar makanan ke kami di kebun. Dalam kalimat (6) ketiga klausa tersebut berstruktur koordinatif (tidak ada klausa yang lebih tinggi daripada yang lain). Berdasarkan jenis-jenis klausa yang menyusun sebuah kalimat majemuk, Verhaar (2004:276-288) membagi jenis-jenis klausa sebagai berikut: 1) Klausa Mandiri dan Klausa Gabungan Klausa mandiri (yang identik dengan kalimat tunggal) berbeda dengan klausa gabungan. Artinya, klausa ini harus digabung dengan klausa lain untuk membentuk sebuah kalimat majemuk.
18
2) Klausa Terkandung dan Klausa Berbatasan Klausa terkandung adalah klausa bawahan yang merupakan bagian dari yang tidak terasingkan dalam klausa lebih atas, atau bagian dalam salah satu frasa yang terdapat dalam klausa atas tersebut. Sedangkan klausa berbatasan merupakan klausa yang tidak mutlak sebagai bagian esensial dari klausa lebih atas. 3) Klausa Absolut dan Klausa Relasional Klausa absolut merupakan klausa bawahan yang tidak memiliki argumen yang juga ada dalam klausa atas, sedangkan klausa relasional adalah klausa yang memiliki argumen dalam klausa yang lebih atas. 4) Klausa Lengkap dan Klausa Buntung Klausa lengkap adalah klausa yang memiliki predikat, verbal atau non verbal, seperti halnya dalam klausa mandiri, sedangkan klausa buntung merupakan klausa gabungan yang berfungsi sebagai klausa dalam segala tetapi hanya untuk menyebut topik. Misalnya (7) Ayah saya, dia tidak mau mendaftarkan diri. Dalam kalimat (7) frasa ayah saya merupakan klausa buntung yang berfungsi hanya menyebut topik. 5) Klausa Koordinatif dan Klausa Subordinatif Klausa koordinatif merupakan klausa yang bergabung langsung dengan klausa lain, sedemikian rupa sehingga tidak ada sebuah klausa yang berkedudukan lebih tinggi daripada klausa yang lain.
19
Adapun klausa subordinatif merupakan klausa yang mencakup klausa terkandung dan klausa berbatasan. Berdasarkan klasifikasi klausa tersebut, adapun yang menjadi titik fokus dalam penelitian ini merupakan klausa bawahan dalam sebuah kalimat majemuk, entah terkandung atau berbatasan, atau klausa bawahan yang bersifat relasional yang membentuk sebuah klausa relatif yang memiliki hubungan atributif dengan klausa mandiri atau klausa inti. 1.6. 3 Kalimat Pasif Moeliono (1996:279) menjelaskan bahwa pengertian kalimat aktif pasif menyangkut beberapa hal: (1) macam verba yang menjadi predikat, (2) subjek dan objek, (3) bentuk verba yang dipakai. Adapun strategi umum dalam pengubahan kalimat aktif menjadi pasif adalah sebagai berikut: a. Pertukarkanlah pengisi subjek dengan pengisi objek. b. Gantilah prefiks meN- dengan di- pada predikat. c. Tambahkanlah kata oleh di depan objek, terutama bila objek terpisah oleh kata lain dari predikat. Perhatikan kalimat di bawah ini. (8) Pak Toha mengangkat seorang asisten baru. (9) Seorang asisten baru diangkat oleh pak Toha. Kalimat (8) merupakan kalimat aktif yang terdiri atas unsur Pak Toha sebegai subjek, verba mengangkat sebagai predikat, dan seorang asisten baru sebagai objek. Bila strategi pemasifan di atas diterapkan, maka
20
kalimat (8) akan menjadi kalimat (9) dengan rincian bahwa sekarang seorang asisten baru telah menjadi subjek dan pak Toha menjadi objek. Strategi pemasifan di atas berlaku bila pelaku perbuatan berupa (a) nomina atau frasa nomina atau (b) pronomina dia, beliau,mereka. Adapun strategi pemasifan kedua berlaku untuk pelaku perbuatan adalah pronomina persona aku, saya, kami, kita, engkau, kamu, anda, dia, beliau, dan mereka. Kaidah yang berlaku adalah sebagai berikut: a. Ubahlah letak S P O menjadi O S P. b. Hapuskan prefiks meng- dari verbanya. c. Rapatkan subjek dengan predikatnya tanpa kata pemisah apa pun. Jika semula verbanya mempunyai kata bantu seperti akan, dapat atau kata ingkar seperti tidak, maka kata-kata seperti itu diletakkan sebelum subjek. d. Gantikan aku dengan ku dan engkau dengan kau (mana suka). Perhatikan contoh kalimat berikut ini. (10)
Aku akan menjemput Pak Lurah.
(11)
Pak Lurah akan aku jemput.
Kalimat (10) merupakan kalimat aktif yang bila diterapkan kaidah di atas akan menjadi kalimat pasif (11). Adapun kalimat pasif bentuk yang lain adalah yang bermakna adversatif (Moeliono, 1996:282). Kalimat ini salah satunya memiliki predikat yang berkonfiks ke-an. Perhatikan contoh berikut ini. (12)
Partai kita kemasukan unsur kiri.
21
1.6. 4 Klausa Relatif Berbicara masalah klausa relatif, Verhaar (2004:327) menyatakan bahwa dari sudut sintaksis, ada berbagai cara untuk membahas klausa relatif, misalnya klausa relatif sebagai klausa bawahan dari sebuah kalimat majemuk, klausa bawahan entah terkandung entah berbatasan, atau klausa bawahan yang bersifat relasional. Disusul dengan keterangan tambahan oleh Verhaar (2004:328) tentang klausa relatif, bahwa terdapat beberapa konsep pokok yang harus dipahami dari sebuah klausa relatif, antara lain sebagai berikut: 1. Istilah anteseden merupakan nomina induk dengan klausa relatif sebagai atribut. Terkait anteseden, ada bahasa yang dalam sebuah klausa relatif nomina induk mendahului atau mengawali klausa relatifnya. Namun ada pula bahasa-bahasa yang susunan nomina induknya mengikuti klausa relatif. 2. Klausa relatif memiliki dua kelas semantis: klausa pembuka dan klausa pembatas. Perbedaan tersebut sangat penting secara sintaktis. 3. Konstituen (entah bebas atau terikat) yang memarkahi klausa relatif sebagai klausa relatif dapat disebut “perelatif”, akan tetapi “perelatif” tersebut tidak mutlak perlu berupa perangkai. 4. Perelatif dapat berupa perangkai pronominal, sehingga berstatus argumen dalam sebuah klausa relatif, atau merupakan objek adposisi.
22
5. Perelatif dapat berupa “perangkai” sebagai penghadir anteseden di dalam klausa relatif.
1.6.3.1 Klausa Relatif Pembuka dan Pembatas Sehubungan dengan dua karakteristik klausa relatif berdasarkan tatabahasa universal, yaitu klausa relatif pembuka dan klausa relatif pembatas, Verhaar (2004:332) menjelaskan bahwa klausa relatif pembuka tidak mutlak perlu untuk identifikasi anteseden (keterangan yang ditambahkan demi alasan tertentu tetapi keterangan yang tidak perlu demi pengidentifikasian nomina induk secara unik), sedangkan klausa relatif pembatas mutlak harus hadir demi identifikasi anteseden. Misalnya dalam ortografi bahasa Inggris anteseden dan klausa relatif dipisahkan oleh koma bila klausa bersifat pembuka dan tidak dipisahkan oleh koma bila klausa bersifat pembatas. Misalnya dalam kalimat (13)
Fool that I was! „Bodoh saya ini!‟
(14)
He looked like a football player, which he appeared to be „Dia
kelihatan seperti seorang pemain sepak bola, dan memang dia nampak demikian‟. Sehubungan dengan klausa relatif pembuka, Verhaar (2004:333) menambahkan bahwa dalam bahasa Indonesia, klausa relatif pembuka dapat diawalai dengan yang, asalkan yang itu diawalai oleh jeda (yang dilambangkan dengan tanda {“—“). Akan tetapi, bahasa Inggris dan bahasa Indonesia dalam frasa seperti ini bersusunan anteseden + klausa
23
relatif. Namun dalam bahasa-bahasa OV secara konsisten, dengan keselaran infraklausal, memiliki susunan lain, yaitu klausa relatif + anteseden.
1.6.3.2 Konstituen Perelatif Berupa Pronominal Perangkai perelatif selain pronominal juga ada beberapa yang berupa pronominal. Verhaar (2004:334) juga menjelaskan bahwa perelatif itu dapat berupa pronomina atau frasa adposisional yang objeknya berupa perelatif pronominal. Misalnya dalam bahasa Jerman (15)
Ich liebe Jemanden, dem
du
geholfen
hast.
S P1 O Pron.Rel S P2 Aux. Saya suka seseorang yang untuknya kamu memberikan bantuan telah.
„Saya menyukai seseorang yang kamu tolong‟ atau dalam bahasa Inggris juga terdapat dalam kalimat (16)
The girl to whom Charles gave the ring „Gadis yang saya beri
cincin‟. Adapun pronomina yang menjadi perelatif perangkai juga tetap mengikuti bentuk deklinatif sesuai masing-masing distribusi hirarki kasus antesedennya. Berbicara masalah hirarki kasus, khususnya dalam sebuah sistem gramatikal bahasa fleksi semisal bahasa Jerman, hal itu sangat ditentukan oleh sifat semantis verba yang mengisi fungsi predikatnya, selain dari valensi yang dimiliki oleh verba yang bersangkutan. Sehubungan dengan sifat semantis verba, secara teoritis dapat mengacu pada makalah Tambupolon dalam sebuah seminar Linguistik, Parera
24
(2002:152) menjelaskan bahwa terdapat dua belas jenis klasifikasi verba berdasarkan sifat semantisnya sebagai berikut: 1. Verba Keadaan Verba ini mempunyai ciri semantis keadaan (menyatakan keadaan); mengharuskan hadirnya objek. 2. Verba Keadaan-Pengalaman Verba jenis ini mempunyai ciri semantis keadaan-pengalaman, yaitu menyatakan keadaan yang berkenaan dengan pengalaman; mengharuskan hadirnya pengalam dan Objek. 3. Verba Keadaan-Pemilikan Verba ini mempunyai ciri semantis keadaan-pemilikan, yang mengharuskan hadirnya pemilik dan objek. 4. Verba Keadaan-Lokasi Mempunyai ciri keadaan-lokasi yang mengharuskan hadirnya pemilik dan lokasi. 5. Verba Proses Mempunyai ciri semantis proses yang menyatakan suatu proses atau perubahan dan yang mengharuskan hadirnya objek. 6. Verba Proses-Pengalaman Verba
ini
mempunyai
ciri
semantis
proses-pengalaman;
menyatakan proses yang berkenaan dengan pengalaman dan mengharuskan hadirnya pengalam dan objek.
25
7. Verba Proses-Pemilikan Mempunyai ciri semantis Proses-Pemilikan yang menyatakan sebuah
proses
yang
berkaitan
dengan
pemilikan
atau
ketidakpemilikan dengan mengharuskan hadirnya pemilik dan objek. 8. Verba Proses-Lokasi Verba ini mempunyai ciri semantis Proses-Lokasi; menyatakan sebuah
proses
yang
berkenaan
dengan
lokasi
dengan
mengharuskan hadirnya objek dan lokasi. 9. Verba Aksi Verba ini mempunyai ciri semantis aksi yang menyatakan aksi atau perbuatan dengan mengharuskan hadirnya pelaku dan objek. 10. Verba Aksi-Pengalaman Mempunyai ciri semantis Aksi-Pengalaman; menyatakan aksi yang berkenaan dengan pengalaman dan mengharuskan hadirnya pelaku, pengalam, dan objek. 11. Verba Aksi-Pemilikan Verba ini mempunyai ciri semantis Aksi-Pemilikan; menyatakan aksi yang berkenaan dengan pemilikan atau ketidakpemilikan dengan mengharuskan hadirnya pelaku, pemilik, dan objek. 12. Verba Aksi-Lokasi Mempunyai ciri semantis Aksi-Lokasi; menyatakan aksi yang berkenaan dengan lokasi mengharuskan hadirnya pelaku.
26
Verhaar (2004:335) menambahkan terkait perelatif perangkai yang berupa pronominal bahwa perelatif pronominal bersifat argumen bila berupa argumen dalam klausa relatif itu sendiri, misalnya pronominal who sebagai subjek dalam kalimat bahasa Inggris The guest who came yesterday „Tamu yang datang kemarin‟
(17)
atau whom sebagai objek langsung dan objek tidak langsung dalam kalimat (18)
The carpenter whom I saw last week „Tukang kayu yang saya lihat
minggu lalu‟ dan (19)
The teacher whom I gave the flowers „Guru yang saya beri bunga‟. Perelatif pronominal yang tidak berstatus sebagai argumen bila
berstatus konstituen nominal dalam predikat kopulatif, misalnya that dalam kalimat Fool that I was! „Bodoh saya ini!; which dalam kalimat (14); serta whom dalam kalimat (18).
1.6. 5 Klausa Relatif Bahasa Jerman Bahasa Jerman merupakan salah satu anggota keluarga bahasa Indo-Eropa yang memiliki karakteristik ketatabahasaan sebagai bahasa fleksi. Soeparno (2002:33) menyatakan bahwa bahasa fleksi adalah bahasa yang struktur katanya terbentuk oleh perubahan bentuk kata. Terdapat dua hal yang melandasi perubahan bentuk kata tersebut, yaitu deklinasi dan konjugasi. Deklinasi adalah perubahan bentuk kata yang disebabkan oleh perbedaan jenis, jumlah, dan kasus; sedangkan konjugasi adalah
27
perubahan bentuk kata yang disebabkan oleh perubahan persona, jumlah dan kala. Terkait karakteristik tata bahasa Jerman sebagaiman sepintas dipaparkan di atas, berbicara kalimat relatif pun dalam bahasa Jerman tidak lepas dari proses-proses yang mengacu pada karakteristik tata bahasanya tersebut. Schmitt (2008:181) menyatakan “Relatifsätze sind Nebensätze, die von einem Substantiv abhängen. Sie geben erklärungen zu diesem Substantiv. Ohne diese Erklärungen ist ein Satz unverständlich.” Artinya, kalimat relatif merupakan anak kalimat yang bergantung pada sebuah substantif, tanpa keterangan tersebut sebuah kalimat tidak bisa dipahami. Schmitt (2008:181) juga menambahkan bahwa kalimat relatif dalam bahasa Jerman bisa terwujud ke dalam beberapa bentuk, antara lain sebagai berikut: a. Sebagai atribut yang menjelaskan sebuah induk kalimat, misalnya dalam sebuah kalimat (20)
Der Polizist fragt den Passanten, der den Unfall gesehen hat, det Polisi
S
P1 det O det.rel det O P2 Aux menanyakan pejalan kaki, yang kecelakaan itu melihat telah
nach seiner Meinung. Prep pos. O Kepada miliknya pemikiran
„Polisi itu menanyakan kesaksian pejalan kaki, yang menyaksikan tragedi kecelakaan itu‟. b. Sebagai atribut yang menjelaskan sebuah anak kalimat, misalnya dalam kalimat di bawah ini.
28
(21)
Der Polizist vermutet, dass der Passant, der den Unfall gesehen Det S Polisi itu
P1 Konj det S det.Rel det O P3 menduga, bahwa pejalan kaki itu, yang kecelakaan itu melihat
hat, vor Gericht
nicht aussagen will.
Aux. Prep. Adv Neg. P2 Aux Telah, di depan pengadilan tidak menyatakan berkenan
„Polisi itu menduga bahwa pejalan kaki itu, yang telah menyaksikan kecelakaan itu, tidak berkenan memberikan kesaksian di depan pengadilan‟. c. Terwujud ke dalam bentuk lain sebagai kalimat relatif, misalnya dalam kalimat (22)
Der Polizist verfolgt den Mann, der den Unfall gesehen hat, bei Det S Polisi itu
P1 det O det.Rel det. O P2 Aux prep membuntuti laki-laki, yang kecelakaan itu melihat telah, oleh
dem ein Kind verletzt worden ist. Det.Rel det. S P3 Aux Dia seorang anak terluka
Aux telah
„Polisi itu membuntuti pria, yang mengalami kecelakaan, yang melukai seorang anak kecil‟. Beberapa contoh kalimat relatif di atas tentunya memiliki konjungsi relatif yang menjadi penunjuk atribut yang diterangkannya. Adapun pemakaian konjungsi relatif, yang dalam bahasa Jerman dikenal dengan sebutan Relativpronomen „pronomina relatif‟, merujuk pada jenis, jumlah, dan kasus yang dialami oleh atribut yang dijelaskan dalam kalimat relatif yang bersangkutan. Hal itu berlaku karena sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa bahasa Jerman merupakan bahasa fleksi, yang di dalamnya terdapat proses deklinatif dan konjugatif.
29
Sehubungan dengan penentuan jenis-jenis konjungsi relatif dalam sebuah klausa relatif bahasa Jerman, Schoch (1998:187) menerangkan Das Relativpronomen passt sich dabei in Numerus und Genus an das Nomen an, auf das es sich bezieht; und der Kasus des Relativpronomens hӓngt von der Rolle ab, die es im Relativsatz spielt. „Pronomina relatif menyesuaikan diri pada jumlah dan jenis nomina yang dihubungkan; dan kasus yang berlaku pada pronomina relatif bergantung pada peran diduduki nomina dalam klausa relatifnya„. Artinya, sebuah konjungsi atau pronomina relatif dalam sebuah klausa relatif harus disesuaikan dengan jenis dan jumlah nomina yang direlatifkan. Selain itu, kasus yang turut menentukan bentuk deklinatif dari pronomina atau konjungsi relatif tersebut tergantung atas peran sintaksis atau fungsi semantis nomina yang bersangkutan. Selain itu, berdasarkan jenis anteseden apa saja yang bisa direlatifkan dalam bahasa Jerman dijelaskan oleh Keenan dan Comrie (1977:77), yaitu German allows relativization on subjects, direct object, indirect object, oblique, and genetive. Artinya, dalam bahasa Jerman konjungsi relatif bisa merelatifkan nomina yang menduduki semua fungsi sintaksis Sehubungan dengan berlakunya proses deklinatif dalam sebuah sistem tata bahasa kasus, dalam hal ini misalnya bahasa Jerman, Van Valin (2004:22) dengan rinci menjelaskan masing-masing peran sintaksis atau fungsi semantis dari sebuah nomina sebagai berikut The semantic roles (also called „thematic relations or theta roles) that the arguments bear to the predicate. Artinya, semantic role adalah uraian atau penjelasan terkait verba, dalam hal ini adalah predikat. Kemudian Van Valin
30
(2004:22-31) memaparkan beberapa variasi semantic role berdasarkan kemungkinan yang dibentuk oleh faktor semantis verbanya. Adapun jenisjenis semantic role adalah sebagai berikut: 1. Agent Merupakan peran sintaksis atau semantic role yang berupa bentukbentuk yang bernyawa dan biasanya memerankan dengan sengaja tindakan yang dicerminkan oleh verba (Van Valin, 2004:24). Biasanya seringkali berupa fungsi subjek dalam sebuah kalimat aktif dan bisa berupa pelengkap dalam sebuah kalimat pasif. 2. Patient Merupakan peran sintaksis atau semantic role berupa unsur yang berada dalam sebuah keadaan atau mengalami perubahan atas sebuah keadaan tertentu (Van Valin, 2004:24). Biasanya berupa direct object dalam sebuah kalimat aktif dan berupa subjek dalam sebuah kalimat pasif. 3. Instrument Merupakan peran sintaksis atau semantic role yang mencerminkan alat untuk melakukan sebuah tindakan tertentu yang dicerminkan oleh verba seperti dalam kalimat The soap is used by woman to wash the clothes (Van Valin, 2004:23). 4. Theme Merupakan peran sintaksis atau semantic role berupa unsur yang berada pada lokasi tertentu atau mengalami perubahan lokasi. Selain
31
itu, mereka juga dapat berupa unsur yang menunjukkan sebuah kepemilikan atau mengalami perubahan status kepemilikan (Van Valin, 2004:24). 5. Location Merupakan peran sintaksis atau semantic role yang mencerminkan sebuah posisi atau letak dari makna yang dicerminkan verba. Misalnya dalam kalimat The books are lying on the table (Van Valin, 2004:24). 6. Recipient Merupakan peran sintaksis atau semantic role berupa unsur yang bisa muncul secara sintaktis sebagai objek tidak langsung seperti dalam kalimat Chris gave the notebook to Dana. Selain itu, peran ini juga bisa muncul sebagai subjek seperti dalam kalimat Sandy received the message from the Kim (Van Valin, 2004:24). 7. Goal Merupakan peran sintaksis atau semantic role yang mencerminkan tujuan akhir atau endpoint dari sebuah perubahan keadaan atau lokasi (Van Valin, 2004:24), seperti dalam kalimat Pat put the books on the table. 8. Source Merupakan peran sintaksis atau semantic role yang mencerminkan sumber, bisa berupa sumber tempat atau yang lain, seperti dalam kalimat the runner starts from a specific place (Van Valin, 2004:24).
32
9. Path Merupakan peran sintaksis atau semantic role yang menyatakan sebuah jalur, lintasan, atau jalan yang dicerminkan oleh makna verba, seperti dalam kalimat The dog run through the garden (Van Valin, 2004:24). 10. Benefactive Merupakan peran sintaksis atau semantic role yang menggambarkan peruntukan atas makna tindakan yang dicerminkan oleh verba, atau dengan kata lain tindakan yang digambarkan oleh verba diperuntukkan kepada orang lain, seperti dalam kalimat Dana bought some flowers for Pat (Van Valin, 2004:24). 11. Content Merupakan peran sintaksis atau semantic role yang mencerminkan isi, kandungan, dan atau bagian dari isi atau kandungan atas suatu unsure tertentu yang tercermin dari tampilan makna verba, misalnya dalam kalimat jesse knows that Chris lied (Van Valin, 2004:24). 12. Experiencer This semantic role subsumes perceivers, emoters, cognizers, and other roles of this type (Van Valin, 2004:27). Artinya, peran ini salah satunya mencerminkan makna orang yang berpersepsi, merasakan, memikirkan, menganalisa, dan lain-lain. Misalnya The bird is hungry. Terkait semantic Roles tersebut di atas, dengan merujuk pada teori Fillmore,
Parera
(2002:139)
menjelaskan
beberapa
kasus
yang
33
memungkinkan dialami oleh sebuah nomina sebagai akibat dari sifat semantis verba dalam sebuah klausa atau kalimat. Adapun beberapa kasus tersebut sebagai berikut: 1. Agentif Jenis ini merupakan relasi kasus persona yang melakukan prakarsa/inisiatif atau pelaku perbuatan seperti yang dicirikan oleh makna verbum; agentif biasanya berciri nomen hidup atau bernyawa. 2. Instrumen Kasus jenis ini merupakan relasi kasus yang menyatakan hubungan dorongan, kekuatan, dan penyebab perbuatan seperti yang dinyatakan olek makna verbum. 3. Datif Datif merupakan relasi kasus yang menyatakan sebuah nomen dikenai perbuatan atau keadaan seperti yang dicirikan oleh makan verbum. 4. Faktitif Faktitif merupakan relasi kasus yang menyatakan hasil perbuatan atau keadaan seperti yang dicirikan oleh makan verbum. 5. Lokatif Jenis ini merupakan relasi kasus yang menyatakan tempat atau dimensi ruang untuk perbuatan atau keadaan yang dinyatakan dalam makna vernum.
34
6. Objektif Objektif merupakan relasi kasus yang secara semantis netral. Kasus jenis ini merupakan relasi semua kasus nomen dengan verbum yang dapat diinterpretasikan secara semantik berdasarkan makna verbum. Perlu diingatkan bahwa kasus ini tidak boleh dikacaukan dengan objek penderita atau akusatif. Sebagaimana diketahui bersama dari paparan di atas, bahwa semua kasus yang dialami oleh sebuah nomen „nomina‟ bertumpu pada sifat semantis verbum „verba‟ yang menduduki fungsi predikat dalam sebuah klausa atau kalimat sebagaimana telah dipaparkan pada bagian sebelumnya di atas. Berbicara masalah hiraki kasus dalam bahasa Jerman, terdapat empat jenis kasus yang berlaku dalam tata bahasa kasus bahasa Jerman, antara lain: a. Nominatif Nominatif merupakan hirarki kasus yang paling dasar dalam bahasa Jerman. Banyak ahli menyebutkan bahwa kasus ini merupakan kasus yang tidak mengalami proses gramatikal apa pun dan tidak berpemarkah,
serta
dialami
oleh
subjek.
Morley
(2000:94)
menjelaskan In languages which have a developed case system, e.g. German, Russian and Latin, the subject of a main clause is associated with
the
nominative
case.
„Dalam
beberapa
bahasa
yang
memberlakukan sistem tata bahasa kasus, misalnya bahasa Jerman, Rusia, dan Latin, subjek dalam sebuah klausa diasosiasikan dengan
35
kasus nominatif‟. Falk (2006:7) menambahkan dengan penjelaskan lebih rinci sebagai berikut: Subjects in many languages are realized with either no overt Case marking or with the same Case marking that is used with citation forms, two situations we can unify under the heading “unmarked Case.” This unmarked Case, often called nominative, is sometimes taken to be a defining property of subjects in Case-marking languages. „Fungsi subjek dalam banyak bahasa muncul bersama entah dengan pemarkah kasus yang tidak jelas atau dengan pemarkah kasus yang sama dengan bentuk asalnya. Dua situasi ini kita bisa menyatukannya ke dalam sebutan “kasus tak berpemarkah”. Kasus tak berpemarkah ini sering disebut dengan nominatif, yang kadang-kadang digunakan untuk mendefinisikan sebuah subjek dalam bahasa-bahasa yang memberlakukan pemarkah kasus‟. Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa kasus nominatif merupakan kasus yang paling dasar yang tidak menyebabkan perubahan apa pun pada nomina yang bersangkutan, misalnya pada pemarkah jenisnya atau artikel penanda jenis nomina dalam bahasa Jerman. b. Akusatif Banyak ahli linguistik barat yang menerjemahkan kasus akusatif ini sebagai kasus yang dialami oleh sebuah nomina yang memiliki fungsi objek langsung dari sebuah verba transitif. Bader dan Bayer (2006:59) menyatakan bahwa The structural Case for objects being the accusative in German „Tata bahasa kasus untuk fungsi objek dalam bahasa Jerman adalah akusatif‟. Selain itu, Bader dan Bayer (2006:5979) juga menambahkan distribusi kasus akusatif salah satunya bisa mengisi peran semantik (semantic roles) goal, theme, dan experiencer.
36
c. Datif Datif merupakan sistem kasus yang berlaku dalam tata bahasa Jerman yang oleh banyak ahli dinyatakan berlaku pada konstituen yang menduduki fungsi objek tidak langsung atau indirect object. Namun demikian, Bader dan Bayer (2006:61) menambahkan The dative-DP bearing a beneficiary role „Frasa determinan-datif menghubungkan sebuah peran penerima‟. Artinya, konstituen yang menduduki peran penerima, yang menurut Fillmore disebut dengan recipient akan mengalami kasus datif meskipun dia menduduki objek langsung, misalnya dari predikat helfen „membantu‟. d. Genitif Genitiv merupakan salah satu jenis kasus dalam bahasa Jerman yang dikenakan kepada sebuah konstituen yang memiliki relasi semantis kepemilikan atau bagian dari konstituen yang lain. Hal itu juga ditegaskan oleh Corbert (2008:149) Genitive objects also occur with verbs in the semantic domains of possession „Objek genitif juga terjadi pada verba yang memiliki medan semantis kepemilikan‟. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa semantic roles menjadi salah satu kriteria berlakunya jenis kasus tertentu, khususnya keempat kasus yang berlaku dalam bahasa Jerman di atas. Namun demikian, terdapat pula berlakunya sebuah kasus tertentu yang dipengaruhi oleh reaksi sebuah preposisi yang mengendalikan kasus, perhatikan beberapa penggolongan preposisi di bawah ini:
37
No.
Jenis Preposisi
1
Aus „dari‟
Akusatif
Datif √
Bei „dengan/bersama √
2 dengan‟ 3
Mit „dengan‟
√
4
Nach „dengan‟
√
5
Seit „sejak‟
√
6
Von „dari‟
√
7
Zu „ke‟
√
8
An „ke/ di dekat‟
√
√
9
Hinter „di belakang‟
√
√
10
Auf „di atas‟
√
√
11
Bis „sampai‟
√
12
Für „untuk‟
√
13
In „di dalam‟
√
√
14
Neben „di samping‟
√
√
15
Über „di atas‟
√
√
16
Unter „di bawah‟
√
√
17
Vor „di depan‟
√
√
18
Zwischen „di antara‟
√
√
Tabel 1: Preposisi dalam bahasa Jerman
Berdasarkan klasifikasi reaksi preposisi tersebut di atas, terdapat preposisi yang penentuan kasusnya tetap merunut pada sifat semantis
38
verba, tetapi juga ada preposisi yang menentukan kasusnya secara arbitrer tanpa merunut pada sifat semantis verba. Misalnya preposisi aus „dari‟, bei „dengan/bersama dengan‟, mit „dengan‟, nach „dengan‟, seit „sejak‟, von „dari‟ dan zu „ke‟. Kelima preposisi ini mutlak akan diikuti oleh nomina yang mengalami kasus datif; sedangkan preposisi yang bisa merespon pada kasus akusatif dan atau datif, misalnya preposisi an „ke/ di dekat‟, hinter „di belakang‟, auf „di atas‟, in „di dalam‟, neben „di samping‟, über „di atas‟, unter „di bawah‟, vor „di depan‟, dan zwischen „di antara‟, adalah merujuk pada sifat seamntis verba atau predikatnya. Jika predikatnya menyatakan sebuah aktifitas yang menimbulkan sebuah perpindahan tempat (movement) dan atau memungkinkan menimbulkan keterangan tujuan, maka preposisi tersebut merespon pada kasus akusatif; tetapi bila sifat semantis verba menyatakan sebuah keadaan dan atau memunculkan keterangan tempat, maka preposisi yang bersangkutan akan merespon pada kasus datif. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Schmitt (2008:182) menyusun sebuah konsepsi sederhana tentang konjungsi relatif dalam bahasa Jerman yang berupa artikel atau determinan penanda jenis sebuah nomina yang akan mengalami proses deklinasi sesuai dengan jumlah, dan hirarki kasus yang dialami oleh nomina yang direlatifkan sebagaimana dalam tabel di bawah ini:
39
KASUS Nominatif
M F
N J
Akusatif
M F
N J
Datif
M F
Genitif
N J
M F
N J
Preposisi +
Preposisi +
Akusatif
Datif
M F
N J
M F
N J
…+ der …+ dem …+ der …+ dem …+ die …+ das …+ die …+ den deren dessen deren Dessen Den Dem der dem die Das Die Den Die Das die der Tebel 2: Konjungsi Relatif Bahasa Jerman
Keterangan: M F
Maskulin Feminim
N J
Netral Jamak
Jenis-jenis konjungsi relatif di atas bisa di contohkan berturut-turut sebagai berikut: (23) Das ist eine Party, die gleich nach der Arbeit um 18 Uhr beginnt. Dem. P1 det. Pel. Det.Rel Adv Adv P2 Itu adalah sebuah pesta, yang tepat setelah pekerjaan pada pukul 18 mulai
„Itu adalah sebuah pesta yang biasanya dimulai seketika setelah jam kerja pukul 18.00.‟ (Sumber: Funk. 2013. Studio D A2 DaF. Jakarta: Katalis) (24)
Ich hatte damals einen BMW im Auge,den ich kaufen wollte. S P1 Adv det O Adv det.Rel S P2 Aux Saya melihat waktu itu sebuah BMW di depan mata, yang saya beli ingin
„Waktu itu saya melihat sebuah mobil BMW yang ingin saya beli‟. (Sumber: Fagan. 2009. German: a Linguistic Introduction) (25)
Den Computer, dessen Det O Komputer
Elektronik Fehler aufwies, hat
det. Rel O P2 Aux , yang bagiannya elektrik kesalahan memiliki, telah
die Firma abgeholt. Det S P1 Perusahaan itu menjemput
40
„Komputer, yang di dalamnya memiliki kesalahan elektrik, telah ditarik oleh perusahaan itu‟ (Sumber: Schoh.1998. Duden Grammatik. Zürich: Dudenverlag) (26)
Der Kӓfer, auf den Blatt.
eine Meise lauerte, krabbelte auf das
Det S Prep det.Rel det. S P2 , P1 Adv. Kumbang, yang di atasnya seekor burung kecil mengintai, merayap di atas kertas.
„Kumbang yang diintai oleh seekor burung kecil di atasnya merayap di atas daun itu‟ (Sumber: Schoh.1998. Duden Grammatik. Zürich: Dudenverlag) Kalimat (23) mengandung klausa utama Das ist eine Party dan klausa bawahan Die Party beginnt gleich nach der Arbeit um 18. Nomina Die Party pada klausa bawahan memiliki jenis feminim, jumlah tunggal, dan mengalami kasus nominatif sebagai fungsi subjek, sehingga harus diganti dengan konjungsi die sebagai penghubung dengan klausa utama pada nomina eine Party sebagai antesedennya. Adapun kalimat (24) terdiri atas klausa atasan Ich hatte damals einen BMW im Auge dan klausa bawahan Ich wollte den BMW kaufen. Adapun konstituen yang direlatifkan pada klausa bawahannya adalah nomina den BMW yang memiliki hubungan dengan anteseden einen BMW pada klausa atasan, sehingga harus digunakan konjungsi relatif den karena jenis dan jumlah nomina den BMW berturut-turut adalah maskulin dan
41
tunggal, dan kasus yang didudukinya merupakan kasus akusatif sebagai fungsi objek. Kalimat (25) merupakan kalimat majemuk yang memiliki klausa relatif dessen Elektronik Fehler aufwies. Konjungsi relatif yang harus dipakai adalah dessen karena nomina Elektronik Fehler memiliki hubungan posesif dengan anteseden der Computer dalam klausa atasan, sehingga kasus yang berlaku adalah genitif dengan jumlah dan jenis secara berturut-turut merupakan tunggal dan maskulin. Adapun kalimat (26) terdiri dari klausa atasan Der Kӓfer krabbelte auf das Blatt dan klausa bawahan Auf den Kӓfer lauerte eine Meise. Frasa preposisional Auf den Kӓfer dalam klausa tersebut menduduki fungsi keterang tempat yang berarti „yang di atasnya‟ melalui predikat lauerte ‚berlari„ yang menyatakan sebuah gerakan dan perpindahan tempat oleh subjeknya eine Meise „seekor tikus‟, sehingga nomina den Kӓfer mengalami kasus akusatif dari preposisi auf tersebut. Adapun konjungsi relatif yang berlaku dalam konteks seperti dalam bahasa Jerman adalah preposisi tersebut tetap berada apada tempatnya sebagai konjungsi relatif diikuti dengan bentuk artikel den dari nomina Kӓfer tanpa menyertakan nomina tersebut karena sudah diwakili oleh anteseden der Kӓfer pada klausa atasan. Selain beberapa jenis konjungsi relatif yang terdiri dari bentuk deklinatif artikel atau determinan penanda jenis nomina tersebut dalam bahasa Jerman, Eisenberg (1998:346-348) menambahkan bahwa dalam
42
bahasa Jerman juga terdapat konjungsi relatif yang berupa kata tanya welch- dan pronomina wer, yang akan berlaku sesuai aturan pakai seperti biasanya, yaitu berdeklinasi sesuai dengan jenis, jumlah, dan hirarki kasus nomina yang direlatifkan. Adapun bentuk deklinatif dari jenis konjungsi relatif ini adalah sebagai berikut:
Deklinatif (Deklinierbar) Hirarki Feminim Kasus
Maskulin
Netral Tunggal
Jamak
Nominatif
Welcher/Wer
Welches/Was
Welche/Wer
Welche/Wer
Genitif
Welches/Wessen
Welches/ Wessen
Welchen/ Wessen
Welchen/ Wessen
Akusatif
Welchen/Wen
Welches/Was
Welche/Wen
Welche/Wen
Datif
Welchem/Wem
Welchem/Was
Welcher/Wem
Welchen/Wem
Tabel 3: Konjungsi Relatif Bahasa jerman
Konjungsi relatif ini biasanya digunakan dalam bentuk kalimat interogatif, tetapi juga bisa digunakan dalam bentuk kalimat yang memiliki relasi semantis yang menyatakan pilihan antara klausa induk dengan klausa anakan terkait anteseden dan nomina yang direlatifkan dalam kedua kluasa tersebut. Misalnya dalam kalimat di bawah ini: (27) Sie mӧchte ihr Haar fӓrben lassen, mit welcher Absicht ich gar nicht S Aux. Pos. O P2 P1 Prep Det.Rel O S Adv. Neg. Dia ingin miliknya rambut mewarnai dengan yang mana tujuan saya sama sekali tidak
einverstanden bin. P3 menyetujui
Aux. telah
43
„Dia
ingin mewarnai rambutnya, yang tujuannya sama sekali tidak
saya setujui ‟ (28) Wessen Buch ich mitgenommen habe, ist meine Sache. Pron.Rel O S Milik siapa buku saya
P1 bawa
Aux. P2 Pos. Pel. telah adalah milik saya urusan
„Buku siapa yang saya bawa ini adalah urusan saya.‟ Kalimat (27) secara rinci terdiri atas klausa induk Sie mӧchte ihr Haar fӓrben lassen dan klausa anakan Ich bin mit ihr Absicht einverstanden. Pronomina sie dalam klausa induk merupakan anteseden yang memiliki hubungan posesif dengan nomina yang direlatifkan, yaitu Absicht yang memiliki jenis feminim dan jumlahnya tunggal. Namun demikian, verba einverstanden
yang
berfungsi
predikat
dalam
klausa
anakannya
merupakan verba pengalaman yang juga diisi oleh pronomina ich sebagai experiencer, sehingga Absicht yang menduduki fungsi objek di dalamnya memiliki relasi gramatikal yang harus disertai preposisi mit „dengan‟. Sehubungan dengan fitur semantis yang dimaksudkan oleh ich dalam klausa induk tersebut menyatakan sebuah pilihan terhadap suatu hal yang masih belum diketahuinya melalui predikat einverstanden, dalam hal ini adalah tujuan pronomina sie yang ingin mewarnai rambutnya, maka digunakanlah bentuk konjungsi relatif welch- yang berdeklinasi sesuai dengan jenis feminim dan jumlah tunggal dari nomina Absicht, serta hirarki kasus datif yang dialami karena adanya praposisi mit. Dengan demikian terbentuk kalimat (27) sebagai kalimat majemuk yang memiliki konjungsi relatif mit welcher.
44
Kalimat (28) terdiri atas rincian klausa induk Das Buch ist meine Sache dan klausa anakan Das Buch von jemandem habe ich mitgenommen. Nomina das Buch dalam kedua klausa tersebut miliki identitas sama dan memiliki relasi semantis yang menyatakan kepemilikan dengan pronomina jemandem „seseorang‟ yang masih belum diketahui identitasnya, sehingga digunakan konjungsi relatif wer yang berdeklinasi dalam kasus genitif dengan jenis netral dan jumlah tunggal. Oleh karena itu, digunakanlah konjungsi relatif wessen.
1.6. 6 Klausa Relatif Bahasa Indonesia Bahasa Indonesia memiliki karakteristik gramatikal yang berbeda dengan bahasa Jerman. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumya bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa aglutinasi. Suparno (2002:33) mengatakan bahwa bahasa aglutinasi merupakan bahasa yang struktur katanya terbentuk oleh penggabungan unsur pokok dan unsur tambahan, unsur pokok dan unsur pokok, atau pun pengulangan unsur pokok. Jadi prosode morfologis yang berlaku pada bahasa tipe ini, misalnya bahasa Indonesia, adalah afiksasi, pemajemukan, dan pengulangan. Berbicara kalimat relatif dalam bahasa Indonesia, bila klausa dasar dipahami paling sedikit terdiri dari subjek (S) dan predikat (P), sebagai konsekuensinya klausa majemuk tentunya harus lebih luas dari klausa dasar. Klausa majemuk dibedakan menjadi klausa majemuk setara (koordinatif) dan klausa majemuk bertingkat (subordinatif). Mees
45
(1957:297-299) telah memperkenalkan istilah
hubungan kalimat
subordinatus untuk anak kalimat yang nilainya tidak sama dengan nilai induk kalimat. Berbicara masalah istilah subordinatus Chaer (2009: 74) menyatakan bahwa terkait hubungan atributif yang ditandai oleh klausa bawahan atas klausa atasannya terdapat konjungsi yang bersifat subordinatif sebagai penandanya, yakni yang bersifat restriktif atau membatasi dan tidak membatasi. Mengenai konjungsi atau kata ganti relatif Badudu (1982 : 145) menjelaskan bahwa ada tiga kata ganti relatif bahasa Inggris yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi yang, tempat, dan teman misalnya dalam kalimat sebagai berikut: (29)
Di sudut terdapat ruangan kecil, tempat Anak itu meletakkan semua peralatannya untuk melakukan kejahatan.
Di sisi lain Ramlan (2001:73) menambahkan bahwa konjungsi yang dalam sebuah klausa relatif memiliki hubungan makna penerang apabila klausa bawahan menerangkan salah satu unsur yang terdapat dalam klausa inti. Ditambahkannya pula bahwa dewasa ini banyak dijumpai klausa relatif yang dihubungkan dengan kata-kata : di mana, yang mana, hal mana, dari mana, dengan siapa. Namun demikian, Ramlan (2001:74) menegaskan bahwa konjungsi di mana dan dari mana dalam sebuah klausa relatif tidak digunakan dalam ragam baku bahasa Indonesia. Selain itu, dalam kaitannya dengan anteseden yang bisa direlatifkan dalam bahasa Indonesia, Moeliono (1996:329) mengatakan
46
bahwa dalam bahasa Indonesia klausa relatif sebagai pewatas merupakan klausa sematan yang menyatakan keadaan atau perbuatan yang dialami atau dilakukan oleh acuan nomina tertentu pada klausa utama. Artinya acuan nomina atau anteseden yang dimaksudkan oleh Verhaar selalu berwujud subjek dalam klausa anakan atau klausa relatif. Subordinator atau perelatif yang digunakan adalah yang. Verhaar (2010:337) menambahkan bahwa yang tidak dapat menjadi penghadir anteseden sebagai objek dalam verbal yang berawalan men-, entah objek itu diulang dalam wujud –nya atau tidak. Misalnya dalam kalimat: (30) Kami harus menabung untuk waktu-waktu liburan di negerinya, di mana kehidupan amat mahal dan di mana kami harus menyewa kamar yang harganya amat tinggi. (Sumber: Ramlan. 2001. Ilmu Bahasa Indonesia: Sintaksis) Adapun contoh lain klausa relatif yang menggunakan perelatif yang adalah berikut bentuk KR BI (Alwi dkk., 2003) (31)
Ibu itu menangisi jasad anak tunggalnya.
(32)
Ibu itu kini hidup sebatang kara.
(33)
Ibu yang kini hidup sebatang kara itu menangisi jasad
anak
tunggalnya. Masih tentang sebuah klausa relatif dalam bahasa Indonesia, Chaer (1998:335) melalui istilah yang sedikit berbeda mendeskripsikan hal tersebut dengan sebutan Kalimat Luas Bersisipan. Penyisipan ini dilakukan dengan bantuan kata penghubung atau konjungsi yang, bahwa,
47
dan tempat. Beliau juga menambahkan bahwa klausa yang disisipkan berfungsi sebagai keterangan atau penjelas dari klausa dasar yang disisipinya. Namun demikian, konjungsi bahwa tidak menjadi subjek penelitian dalam kajian studi gramatika kontrastif klausa relatif bahasa Jerman dan bahasa Indonesia ini karena konjungsi subordinatif jenis ini merupakan konjungsi yang di sebelah kanannya adalah klausa bawahan yang tidak bersifat menerangkan subjek atau objek, tetapi hanya menghubungkan subjek dengan keterangan dan predikat dengan objeknya (Chaer, 1990:100). Moelino (1996:328) juga menambahkan bahwa konjungsi bahwa terdapat pada klausa bawahan yang mempunyai hubungan penjelasan dengan klausa utama. Artinya, klausa sematan menjelaskan apa yang dinyatakan oleh klausa utama. Misalnya dalam kalimat seperti di bawah ini: (34)
Kabar bahwa pemerintah akan menurunkan harga sangat menggembirakan. ()
(35)
Beliau tadi pagi mengatakan bahwa ganti rugi akan segera dibayarkan. Kembali pada klausa relatif yang dihubungkan oleh konjungsi
yang dan tempat, bagian klausa dasar yang biasa diberi keterangan dengan klausa sisipan ini adalah unsur subjek dan objek. a. Klausa Sisipan sebagai Keterangan Subjek Klausa luas bersisipan yang sisipannya berlaku sebagai keterangan subjek dibentuk dengan subjek pada klausa pertama dan klausa
48
kedua merupakan identitas yang sama, sedangkan predikat klausa pertama berupa verba atau frasa kerja dan predikat klausa kedua verba atau ajektiva. Misalnya dalam contoh kalimat sebagai berikut: (36)
Mereka yang tidak memakai helm itu distop polisi. (Sumber: Chaer, Abdul. 1998. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia)
(37)
Gadis yang duduk di depan itu cantik sekali. (Sumber: Chaer, Abdul. 1998. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia)
(38)
Orang yang sedang buron itu tertangkap di Jawa Timur. (Sumber: Chaer, Abdul. 1998. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia)
Kalimat (36) mengandung klausa Mereka tidak memakai helm dan Mereka distop polisi. Kemudian klausa pertama disisipkan pada klausa kedua, sehingga terkonstruksi kalimat tersebut. Adapun kalimat (37) mengandung klausa Gadis itu duduk di depan dan Gadis itu cantik sekali, sehingga akan diperoleh kalimat (37) ketika klausa pertama disisipkan pada klausa kedua, begitu pula pada kalimat (38). Selain itu, klausa sisipan yang berfungsi sebagai keterangan subjek ini juga bisa dibentuk dari subjek pada klausa pertama dan klausa kedua merupakan identitas yang sama, predikat klausa pertama
49
berupa verba atau ajektiva, sedangkan predikat klausa kedua berupa kata benda atau frasa benda (Chaer, 1998:336), misalnya dalam sebuah kalimat: (39)
Anak yang sedang membaca itu bukan kekasih saya.
Kalimat (39) terdiri atas klausa Anak itu sedang membaca dan Anak itu bukan kekasih saya, sehingga akan terbentuk kalimat tersebut ketika dihubungkan oleh konjungsi yang dengan menyisipkan klausa pertama pada klausa kedua. b. Klausa Sisipan Sebagai Keterangan Objek Klausa sisipan yang berfungsi sebagai keterangan objek setidaknya memeiliki beberapa kriteria objek pada klausa pertama merupakan identitas yang sama dengan subjek klausa kedua, dan predikat klausa kedua berupa kata kerja (frasa kerja), dan klausa kedua dibantu konjungsi yang yang disisipkan pada klausa pertama. Misalnya dalam kalimat: (40)
Dia membunuh gadis yang sudah sekarat itu.
Pada kalimat (40) terkandung dua klausa. Klausa pertama adalah Dia membunuh gadis itu dan klausa kedua adalah Gadis itu sekarat. Nomina gadis pada klausa pertama menduduki fungsi objek, sedangkan pada klausa kedua berfungsi sebagai subjek, sehingga terbentuk kalimat majemuk tersebut dengan perangkai yang. Sehubungan dengan klasifikasi yang dicetuskan oleh Chaer di atas, Moeliono (1996:331) menambahkan bahwa terkait konjungsi yang dalam
50
menghubungkan klausa induk dengan klausa bawahan terdapat klausa bawahan yang bersifat atributif posesif dalam sebuah klausa relatif, misalnya dalam kalimat: (41)
Pelamar yang ijazahnya dari Boston itu memenuhi persyaratan kami. (Sumber: Moeliono. 1996. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia)
(42)
Kita perlu memperhatikan guru-guru yang nasibnya sangat malang itu. (Sumber: Moeliono. 1996. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia)
Nomina pelamar pada kalimat (41) menduduki fungsi subjek dalam klausa induk yang memiliki hubungan posesif dengan nomina ijazah pada klausa bawahan, sehingga melalui konjungsi yang kalimat majemuk tersebut memiliki hubungan posesif antara subjek pada klausa induk dan klausa bawahan. Begitu juga nomina guru-guru pada kalimat (42) merupakan nomina yang menduduki fungsi objek pada klausa induk yang memiliki hubungan posesif dengan nomina nasibnya yang menduduki fungsi subjek pada klausa bawahan, sehingga juga akan terbentuk kalimat majemuk yang memiliki hubungan posesif antara klausa induk dengan klausa bawahan.
1.6.6 Analisis Kontrastif Kajian kontrastif bukan lagi merupakan kajian yang baru dalam satuan kajian linguistis edukasional. Pakar linguistik edukasional pun sudah banyak melakukan riset dan teori-teori yang membingkai area kajian
51
kontrastif. Berdasarkan kedudukannya sebagi sebuah pendekatan ilmiah dalam proses belajar mengajar bahasa (mempunyai teori dan aplikasi bersifat ilmiah), maka Analisis Kontrastif akhirnya mendapat tempat sebagai suatu Linguistik Terapan. Kehadiran Analisis Kontrastif ini dalam bidang pendidikan bahasa seperti di Indonesia perlu mendapat tempat yang layak dan perhatian yang serius mengingat kedwibahasaan yang sudah sulit dibendung. Kridalaksana (2001:13) menyatakan bahwa analisis kontrastif adalah metode sinkronis dalam analisis bahasa untuk menunjukkan persamaan dan perbedaan antara bahasa-bahasa atau dialek-dialek untuk mencari prinsip yang dapat diterapkan untuk masalah yang praktis, seperti pengajaran bahasa dan penerjemahan. Analisis kontrastif dikembangkan dan dipraktikkan sebagai suatu aplikasi linguistik struktural pada pengajaran bahasa. Oleh karena itu, analisis kontrastif dapat dipakai untuk mengatasi kesukaran-kesukaran yang utama dalam belajar bahasa asing, dapat memprediksi adanya kesukarankesukaran sehingga efek-efek interferensi dari bahasa pertama dapat dikurangi. Sementara itu,Tarigan (2009:5) mengatakan bahwa analisis kontrastif, berupa prosedur kerja adalah aktivitas atau kegiatan yang mencoba membandingkan struktur B1 dengan struktur B2 untuk mengidentifikasi perbedaan-perbedaan di antara kedua bahasa. Perbedaan-perbedaan antara dua bahasa, yang diperoleh dan dihasilkan melalui anakon, dapat digunakan sebagai landasan dalam meramalkan atau memprediksi kesulitan-kesulitan atau kendala-kendala belajar bahasa yang akan dihadapi oleh siswa di sekolah, dalam belajar B2.
52
Brown (2007:272-273) menyatakan dengan seksama bahwa pembelajaran bahasa kedua atau bahasa asing pada dasarnya melibatkan upaya mengatasi perbedaan-perbedaan antara kedua sistem linguistik itu, yaitu bahasa asli dan bahasa sasaran. Dalam kaitan ini, sebuah analisis struktural ilmiah terhadap dua bahasa yang dibicarakan akan menghasilkan sebuah daftar kontras linguistik di antara keduanya yang pada gilirannya akan memungkikan para linguis dan guru bahasa memperkirakan kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi oleh seorang pembelajar. Analisis semacam ini dikenal dengan Hipotesis Analisis Kontrasttif atau Contrastive Analysis Hypothesis. Pernyataan Brown tersebut juga dikuatkan dengan klaim yang dinyatakan oleh Banathy, Trager, dan Waddle dalam Brown (2007:2007) bahwa perubahan yang harus terjadi dalam perilaku bahasa seorang pembelajar bahasa asing bisa disetarakan dengan perbedaan-perbedaan antara struktur bahasa dan budaya asal murid dan struktur bahasa dan budaya sasaran. Hal itu juga didukung oleh Stockwell, Bowen, dan Martin dalam Brown (2007:274) yang menyatakan bahwa mereka mengendalikan apa yang disebut dengan hierarki kesulitan, yang membuat seorang guru dan linguis bisa meramalkan kesulitan relatif aspek bahasa sasaran.
1.7. Hipotesis Berdasarkan permasalahan dalam penelitiian gramatika kontrastif konstruksi klausa relatif bahasa Jerman dan bahasa Indonesia sebagaimana
53
disebutkan sebelumnya, adapun hipotesis yang dimiliki oleh peneliti terkait hal tersebut addalah sebagai berikut: a. Jenis konjungsi relatif bahasa Jerman memiliki variasi jenis yang lebih banyak daripada bahasa Indonesia terkait proses deklinasi yang berlaku dalam sistem gramatikal penentuan jenisnya. b. Secara distribusional konjungsi relatif bahasa Jerman dan bahasa Indonesia memiliki kesamaan dalam hal relasi semantis yang dimiliki oleh sebuah anteseden dengan nomina yang direlatifkan dalam klausa anakan, tetapi tata urutan konstituen penyusun klausa relatif bahasa Jerman dan bahasa Indonesia memiliki perbedaan dalam sisi fungsi predikatnya. c. Terdapat banyak perbedaan sistem gramatikal konstruksi klausa relatif bahasa Jerman dan bahasa Indonesia terkait keduanya memiliki karakteristik gramatikal yang sangat berbeda, yaitu fleksi dan aglutinasi. d. Hasil penelitian ini memberikan banyak kontribusi dalam pengajaran bahasa Jerman dan bahasa Indonesia sebagai bahasa asing, khususnya terkait sistematika penyajian bahan ajar yang harus dimulai dari tataran gramatikal yang paling sederhana, khususnya dalam pengajaran bahasa Jerman yang memiliki kompleksitas gramatikal lebih tinggi daripada bahasa Indonesia.
1.8.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan kerangka deskriptif kualitatif. Disebut
deskriptif kualitatif karena peneliti menelaah dan melakukan observasi baik
54
dalam studi pustaka maupun media informasi yang lain, yang memberikan banyak inspirasi tentang karakteristik sistem bahasa Jerman dan bahasa Indonesia terkait konstruksi klausa relatif, terutama konjungsi relatif yang menghubungkannya dengan induk kalimat kemudian mendeskripsikannya secara terperinci. Dalam hal ini terdapat beberapa langkah yang dilakukan, yaitu meliputi penentuan objek penelitian, penyediaan data, klasifikasi data, analisis data dan pemaparannya.
1.8.1 Objek Penelitian Penelitian yang berjudul Konstruksi Klausa Relatif Bahasa Jerman dan Padanannya dalam Bahasa Indonesia ini merupakan sebuah kajian kontrastif yang memadankan dua buah bahasa dari rumpun yang berbeda, yaitu bahasa Jerman dari rumpun bahasa Indo-Eropa dan bahasa Indonesia dari rumpun bahasa Austronesia. Bahasa Indonesia bagi penulis dalam penelitian ini adalah sebagai bahasa ibu, sedangkan bahasa Jerman adalah sebagai bahasa asing atau bahasa target para pembelajarnya. Dalam proses penelitian ini, peneliti menggunakan sumber data sekunder, yaitu berupa dokumen tertulis atau kajian pustaka. Subroto dalam Sarifuddin (2009:35) mengatakan bahwa teknik pustaka adalah menggunakan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh data. Menurut hemat penulis, adapun sumber data tertulis dalam hal ini merupakan sumber-sumber tertulis yang mencerminkan pemakaian bahasa yang menjadi subjek penelitian. Adapun sumber data bahasa Jerman dan
55
bahasa Indonesia peneliti menggunakan buku-buku tata bahasa yang dianggap bisa mewakili standar baku tata bahasa Jerman dan bahasa Indonesia, yakni (1) DUDEN Grammatik: Das unentbehrliche Arbeitsmittel für den Sparachunterricht yang ditulis oleh Monika Schoh, (2) Langenscheidts Großwӧrterbuch: Deutsch als Fremdsprache yang ditulis oleh Dieter Gӧtz, Günther Haensch dan Hans Wellmann, (3) German: A Linguistic Introduction yang ditulis oleh Sarah Fagan M.B, (4) Studio D A2 Deutsch als Fremdsprache dan Studio D B1 Deutsch als Fremdsprache yang ditulis oleh Hermann Funk, Christina Kuhn dan Silke Demme, (5) Übungsbuchgrammatik für die Grundstufe yang ditulis oleh Friedrich Clamer Erhard G. Heilmann, (6) Deutschland in Geschichte und Gegenwart ditulis oleh Erich Zettl, (7) Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia yang disunting oleh Anton M. Moeliono dan Soenjono Dardjowidjojo, (8) Ilmu Bahasa Indonesia: Sintaksis yang ditulis oleh Ramlan, (9) Ragam Analisis Kalimat Bahasa Indonesia ditulis oleh Markhamah, (10) Bahasa Indonesia yang Salah dan Benar disusun oleh Ramlan, I Dewa Putu Wijana dan Yohanes Tri Mastoyo S., dan (11) Sintaksis Bahasa Indonesia, Penggunaan Preposisi dan Konjungsi Bahasa Indonesia, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia yang ditulis oleh Abdul Chaer. Banyaknya sumber data yang digunakan dalam penelitian ini bbertujuan untuk memberikan kadar akurasi dan validasi data terhadap standar kebakuan tata bahasa Jerman dan bahasa Indonesia.
56
1.8.2 Penyediaan data Adapun metode penelitian yang digunakan dalam proses penyediaan data ini adalah metode simak dengan teknik catat. Sudaryanto (1993:133134) menyatakan bahwa metode simak merupakan metode penelitian yang dilakukan dengan cara menyimak penggunaan bahasa, yang salah satunya menggunakan teknik catat, yaitu teknik penyediaan data dengan cara mencatat bakal data pada kartu data. Dengan demikian, adapun tahap pertama dalam proses penyediaan data ini peneliti akan memilah secara selektif kalimat-kalimat bahasa Jerman dari sumber data yang telah disebutkan sebelumnya; dan bakal data bahasa Indonesia juga dipilih dari buku-buku tata bahasa Indonesia yang di dalamnya terdapat konstruksi klausa relatif yang dianggap memenuhi standar baku pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kemudian, data yang sudah dipilah-pilah akan dicatat atau diketik pada tabel data masing-masing bahasa di komputer seperti di bawah ini yang akan diklasifikasi berdasarkan jenis-jenis konjungsi relatif, distribusi perelatif, dan jenis konjungsi relatifnya sebagai berikut: No.
Klausa Relatif 1
Tabel 4: Tabel Penyediaan Data
Keterangan
57
Adapun tabel penyediaan dan klasifikasi data ini akan disajikan pada bagian lampiran, sedangkan pada tahap analisis data hanya akan digunakan korpus data yang dianggap mewakili semua jenis konjungsi relatif berdasarkan masing-masing distribusi perelatifnya baik dalam bahasa Jerman, maupun bahasa Indonesia.
1.8.3 Keabsahan Data Dalam rangka menjamin keabsahan dan validasi data yang digunakan dalam penelitian ini, peneliti akan melampirkan data tersebut beserta sumber penyaduran atau sumber penyediaan data tersebut. Lampiran akan disajikan pada bagian akhir laporan hasil penelitian ini.
1.8.4 Analisis Data Data yang telah diklasifikasikan pada tahap sebelumnya akan diolah pada tahap ini yaitu analisis data. Pada tahap ini data akan dianalisis dengan metode distribusional. Subroto (2007:68) menyatakan bahwa metode distribusional merupakan metode penelitian yang didasarkan atas perilaku atau tingkah laku satuan-satuan lingual yang teramati dalam hubungannya dengan satuan lingual yang lain. Dengan demikian, interaksi gramatikal antar unsur penyusun klausa relatif bahasa Jerman dan bahasa Indonesia merupakan objek sasaran pengamatan yang ditempuh melalui metode ini. Adapun teknik yang dipakai dalam tahap ini adalah teknik urai unsur terkecil (Ultimate Constituent analysis). Subroto (2007:69) menjelaskan
58
bahwa teknik ini merupakan sebuah teknik analisis data yang mengurai suatu satuan lingual tertentu atas unsur-unsur terkecilnya. Meskipun morfem merupakan
satuan
gramatikal
terkecil,
maka
Subroto
(2007:71)
menambahkan bahwa kata juga dianggap sebagai satuan terkecil dalam sebuah tataran kalimat dengan mengacu pada para pendapat Uhlenbeck dan Vendreys sebagai aliran “Neo-saussurians” dalam Subroto (2007:71) bahwa morfem bukan merupakan satuan yang otonom, melainkan suatu moment (a dependent fature), yaitu suatu ciri yang adanya atau identitasnya tergantung pada kata. Dengan demikian, menurut hemat penulis, dalam hal ini Subroto, bahwa dengan beracuan pada tataran terkecil morfologi adalah morfem dan tataran terkecil sintaksis adalah kata, maka untuk menganalisis kata dalam kaitannya dengan interaksi satuan gramatikal sintaksis bisa menggunakan teknik ini. Pada tahap ini data akan dianalisis dengan mengurai unsur-unsur terkecil satuan lingual pada tataran sintaksis dari bahasa Jerman dan bahasa Indonesia. Unsur-unsur tersebut akan diurai berdasarkan masing-masing fungsi sintaksis yang didudukinya. Dengan demikian, distribusi nomina “yang dirangkai” oleh perelatif perangkai akan diketahui, sehingga dapat dengan mudah ditentukan jenis-jenis konjungsi relatif yang dipakainya. Misalnya dalam sebuah contoh dua kalimat tunggal yang digabung menjadi kalimat majemuk yang di dalamnya salah satunya sebagai klausa relatifnya sebagai berikut:
59
(43)
Der Schulleiter fliegt nach Malaysia „Kepala sekolah itu sedang berangkat ke Malaysia‟.
(44)
Ich liebe die Tochter von dem Schulleiter „Saya mencintai putri kepala sekolah itu‟.
Kalimat (43) merupakan kalimat yang di dalamnya terdapat nomina yang akan menjadi anteseden yaitu der Schulleiter, sedangkan kalimat (44) adalah kalimat yang di dalamnya terdapat nomina yang akan berkedudukan sebagai “yang dirangkai” oleh sebuah konjungsi perelatif yaitu die Tochter yang dalam kalimat tersebut menduduki fungsi objek dan berdasarkan hirarki kasusnya nomina tersebut menduduki kasus genitif, yaitu kasus yang menyatakan sebuah kepemilikan atau “bagian dari” der Schulleiter dalam tata bahasa kasus bahasa Jerman, sehingga harus digunakan konjungsi relatif yang merupakan bentuk deklinatif artikel maskulin (der) dari kata benda „kepala sekolah‟ dalam kasus genitif, yaitu dessen, terhadap nomina die Tochter „putri‟ pada klausa relatifnya. Dengan demikian, kalimat majemuk dengan klausa relatif tersebut akan menjadi Der Schulleiter, dessen Tochter ich liebe, fliegt nach Malaysia „Kepala sekolah yang putrinya saya cintai sedang berangkat ke Malaysia‟. Adapun metode lanjutan yang digunakan dalam tahap final analisis data adalah metode analisis kontrastif dengan teknik pengontrasan (contrastive
analysis,
differential
analysis,
differential
linguistics).
Kridalaksana dalam Ma‟ruf (2004:24) menjelaskan bahwa metode analisis kontrastif adalah metode sinkronis dalam analisis bahasa untuk menunjukkan
60
perbedaan dan persamaan bahasa-bahasa atau dialek-dialek untuk mencari prinsip yang dapat diterapkan dalam masalah praktis seperti pengajaran bahasa dan penerjemahan. Dengan demikian, deskripsi masing-masing konstruksi klausa relatif bahasa Jerman dan bahasa Indonesia yang telah diperoleh pada analisis tahap awal, dalam tahap ini akan dibandingkan dalam rangka untuk memperoleh kesimpulan tentang perbedaan dan persamaan konstruksi tersebut dalam kedua bahasa.
1.8.5 Penyajian Hasil Analisis Data Adapun tahap akhir dalam pelaksanaan penelitian ini adalah tahap penyajian hasil analisis data. Adapun metode yang dipakai dalam tahap ini adalah metode formal dan informal. Sudaryanto (1993:144) menyatakan bahwa metode penyajian formal adalah perumusan dengan tanda atau lambang-lambang, sedangkan metode informal merupakan metode penyajian hasil analisis data yang perumusannya menggunakan kata-kata biasa, walaupun dengan terminologi dan bersifat teknis. Adapun lambang yang nanti akan dipakai adalah lambang huruf sebagai singkatan nama (S, P, O, K, dan Pel.). Selanjutnya hasil analisis data tersebut akan dipaparkan secara terminologis dan deskriptif dari hasil penyajian sebelumnya.
1.8.6 Ruang Lingkup Penelitian Peneliti memberikan batasan masalah atau ruang lingkup dalam kajian ini untuk menghindari interpretasi yang terlalu luas oleh pembaca.
61
Lingkup pembahasan atau kajian yang dikontraskan dalam penelitian kontratif ini adalah konstruksi klausa relatif bahasa Jerman dan bahasa Indonesia berdasarkan masing-masing jenis konjungsi relatifnya dengan tolok ukur pengontrasan dalam hal ini adalah struktur tata bahasa Jerman. Artinya, jenis dan jumlah data konstruksi klausa relatif bahasa Indonesia akan beradaptasi pada padanannya dalam bahasa Jerman.
1.8.7 Sistematika Penulisan Hasil penelitian ini akan disajikan ke dalam lima bab yaitu: 1. Bab pertama membahas mengenai latar belakang studi yang akan diteliti serta alasan mengapa objek tersebut yang dipilih. Dalam bab ini diuraikan pula rumusan masalah, manfaat dan tujuan penelitian, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. 2. Bab kedua membahas dan menganalisis konstruksi klausa relatif bahasa Jerman. 3. Bab ketiga membahas dan menganalisis konstruksi klausa relatif bahasa Indonesia. 4. Bab keempat membahas tentang persamaan dan perbedaan konstruksi klausa relatif bahasa Jerman dan bahasa Indonesia, serta implikasinya dalam pengajaran bahasa Jerman sebagai bahasa asing. 5. Bab kelima merupakan penutup yang terdiri atas simpulan dan saran.