1
BAB. I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan agama Islam adalah sebagai mata pelajaran yang wajib diajarkan dalam kurikulum sekolah mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi (Hasbulah, 2008: 150). Legalitas tersebut, tercantum dalam UndangUndang dan sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSISDIKNAS) Bab II, Pasal 30 Ayat (1), (2) dan (3) bunyinya adalah: Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya. Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal (Depag RI, 2006: 21-22). Penyelenggaraan pendidikan keagaamaan pada jalur pendidikan formal seperti MTs dan SMP dikonsepsikan sebagai pendidikan dasar wajib 9 tahun, berlangsung sekitar usia 12 sampai 15 tahun. Komisi Pendidikan Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui UNESCO (United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization) telah membentuk sebuah Komisi Internasional tentang Pendidikan untuk Abad XXI (The International Commision on Education for the Twenty-First Century) (Delors, 1966). Lebih lanjut, Komisi menyatakan bahwa pendidikan dasar sebagai “paspor” yang diperlukan untuk hidup dan memilih apa yang mereka lakukan, mengambil bagian dalam pembangunan masyarakat masa depan secara kolektif, dan terus menerus belajar, (Delors dalam Sa’ud dan Sumantri, 2007: 1115).
2
Tujuan pendidikan pada sekolah menengah lebih mengedepankan aspek pembentukan “kepribadian” (personality) siswa. Hal ini disebabkan pada usia antara 12-15 tahun termasuk remaja awal, kondisi sosial, emosional, dan keberagamaanya belum stabil. Pendidikan kepribadian pada siswa Madrasah Tsanawiyah dan Sekolah Menengah Pertama tanpa dibedakan, yaitu keduanya adalah “pengembangan kesalehan individual, transfer ilmu pengetahuan dan pembentukan watak” (Mocthar dalam Rahim, 2006: x; Azra 2006: 96). Kurikulum Sekolah Madrasah Tsanawiyah dan Sekolah Menengah Pertama meliputi pelajaran: (1) Al-Quran-Hadits, (2) Aqidah-Akhlak, (3) Fiqih, dan (4) Sejarah Kebudayaan Islam (Depag, 2007: 5; Depdiknas, 2007:2). Penekanan kurikulum bersifat elementer atau dasar-dasarnya saja yang berorientasi pada pengamalan ibadah praktis. Misalnya hubungan antar manusia dengan Allah (hablumminallah), dan hubungan antar sesama manusia (hablum minannas). Kedua bentuk hubungan ini, disebut Amsyari (1995: 34-35) sebagai ibadah “makhdah” (khas/khusus), dan hubungan dengan sesama manusia dan alam sekitar disebut ibadah “ghairi makhdah” (‘am/umum). Lebih lanjut, Amsyari menjelaskan ibadah makhdah sebagai upaya komunikasi manusia dengan Allah atau sering disebut upaya ritual, suatu upaya manusia yang tidak dapat diterangkan dengan akal dan lebih banyak menekankan dimensi kejiwaan dari manusia. Pada bagian lain Amsyari mengemukakan bahwa dalam Islam ditentukan 4 (empat) ajaran utama untuk berkomunikasi langsung dengan Allah, yakni: shalat, puasa, haji dan doa. Keempat ajaran utama ini, tidak dikenal mereka-reka, atau “improvisasi”; sedangkan bersifat umum diserahkan kepada manusia.
ibadah ghairi makhdah
3
Muhaimin, et. al. (2005: 162-163) mengklasifikasikan bentuk ibadah ke dalam tiga bagian, yaitu: (1). ibadah person, (2). ibadah antarperson, (3). ibadah sosial. Ibadah person, pelaksanaannya tidak perlu melibatkan orang lain, melainkan semata-mata tergantung pada kesediaan yang bersangkutan sebagai makhluk bebas melaksanakan amaliah keagamaan yang bersifat ritus seperti shalat, puasa dan sebagainya. Ibadah antarperson, suatu amaliah yang pelaksanaannya tergantung pada prakarsa pihak yang bersangkutan selaku hamba Allah yang otonom. Misalnya pernikahan. Ibadah sosial, kegiatan interaktif antara seseorang individu dengan pihak lain yang dibarengi dengan kesadaran diri sebagai hamba Allah. Istilah yang senada dengan Rakhmat (1997: 47) mengungkapkan bahwa ibadah makhdah adalah urusan ritual, dan yang kedua ibadah ghairi makhdah adalah urusan sosial menuntut kita untuk kreatif dan inovatif. Kedudukan kedua ibadah itu Nasution (2000: 9) mengungkapkan bahwa ibadah makhdah bersifat “qath’iy” (pasti tidak dapat dirubah), atau “absolut”; sedangkan ibadah ghairi makhdah bersifat “zhanniy” (umum). Ibadah yang sifatnya zhanniy meurut Shihab (2007: 96) merupakan lahan garapan para ulama dan pemikir hingga akhir zaman dan dari sinilah lahir ide perbedaan dan pembaharuan. Kedua ibadah di atas tersirat dalam ruang lingkup pendidikan agama Islam sebagaimana
tercantum
dalam
dokumen
Kurikulum
Tingkat
Satuan
Pendidikan/KTSP (2007: 2) yang menyatakan bahwa: Ruang lingkup Pendidikan Agama Islam menekankan keseimbngan, keselarasan, dan keserasian antara hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan sesama manusia, hubngan manusia dengan diri sendiri, dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya.
4
Ruang lingkup pendidikan agama Islam di atas sebagai esensi kurikulum Pendidikan Agama Islam yang harus diimplementasikan secara terpadu dalam setiap kegiatan pembelajaran untuk mengantarkan siswa memahami dan mengamalkaan ibadah makhdah dan ibadah ghairi makhdah secara integral ucapan, perbuatan dan tindakan. Pembelajaran yang seimbang dan selaras antara hubungan manusia dengan Allah (hablumminallah) memmberi pemahaman ketaatan dan ketundukan kepada siswa bahwa tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya (Q.S. 51: 66). Pendidikan Qurani mengajarkan aktualisasi hubungan manusia dengan Allah yang direalisasikan dalam bentuk ibadah makhdah adalah untuk menekankan ajaran agama yang harus dilaksanakan oleh setiap pelajar Muslim. Misalnya shalat untuk mendidik siswa menjauhi perbuatan keji dan munkar yang dilarang oleh agama (Q.S. 29: 45). Zakat mensucikan diri dari sikap anti sosial (Q.S.9: 103). Puasa mendidik siswa supaya menjadi orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah (Q.S.2: 183). Ibadah Haji mengajarkan kepada siswa persaudaraan umat Islam sedunia (Q.S.49: 10). Selain itu, ibadah ini adalah sebagai “media” untuk membangkitkan “fitrah” bertuhan kepada Allah (Q.S.7: 72), (Q.S.30: 30). Fitrah sebagai potensi baik yang mengarah pada pemilikan semangat beragama atas dasar pengakuan terhadap ke-Esaan Allah yang dibawa oleh anak sejak lahir sebagai prinsip tauhid Rubbubiyah. Pembuktian ibadah makhdah adalah hubungan seorang dengan Tuhannya terlihat dari pengetahuan, sikap, perilaku dan gaya hidup yang dipenuhi dengan kesadaran tauhid kepada Allah, (Assegap, 2005: 115).
5
Nilai-nilai pendidikan Qurani dan Nabawi menekankan pentingnya hubungan dengan sesama manusia tanpa dibatasi ras, warna kulit, perbedaan agama, dan letak geografis, sebab semua manusia adalah satu sebagai hamba Allah (Q.S. 21: 92). Perbedaan ini adalah untuk saling kenal mengenal, saling menghormati dan memulyakan di antara mereka, karena misi Islam lahir sebagaimana Nata (2004: 97) menyatakan bahwa Islam sebagai pembawa rahmat (kasih sayang) bagi semesta alam. Islam tidak mengenal perbedaan ras sebagaimana Rasulallah SAW bersabda yang dikutif Rahmat (1997: 30), ia menjelaskan bahwa;”Tidak ada kelebihan orang kulit putih atas orang hitam, kecuali karena amal saleh.” Kandungan pendidikan Qurani mengajarkan pendidikan sikap hormat termasuk hubungan baik seorang anak kepada kedua orang tua yang telah bersusah payah mendidik, mengasuh dan melindunginya tanpa mengenal lelah, sehingga apabila orang tua menyuruh mengerjakan suatu pekerjaan kemudian anak itu menolak dengan mengatakan kata-kata “ah” (uffin), dan bersikap kasar maka termasuk perbuatan yang dilarang agama (Q.S.17: 23-24). Selain Islam mewajibkan seorang anak menghormati kedua orang tua, juga mengormati dan berbuat baik kepada kaum kerabat atau sudara (Q.S.2: 83); (Q.S.4: 36), dan anak dilarang melakukan permusuhan (Q.S.16l: 90). Penekanan penghormatan selain kepada kedua orang tua dan saudara juga pendidikan Qurani menekankan kepada siswa untuk melakukan hubungan baik dengan orang lain dan diri sendiri. Berbuat baik kepada orang lain seperti kepada sesama teman, yaitu berbuat adil (Q.S.4: 58), pemurah (Q.S.3: 92), penyantun (Q.S.3: 134), pema’af (Q.S.3: 159), menepati janji (Q.S.17: 34), saling berpesan
6
kepada kebaikan (Q.S.110: 3), dan sebagainya. Hubungan baik siswa dengan orang lain menebarkan salam, hormat kepada sesama, bila diberi hormat membalas dengan yang lebih baik (Q.S.4: 84), tolong menolong dalam kebaikan (Q.S.5: 2), toleransi beragama (Q.S.109: 4-5) dan menumbuhkan rasa aman di antara sesama manusia. Sebagaimana Rasulallah menegaskan bahwa” tidak beriman seseorang yang tetangganya tidak merasa aman” (HR. Bukhari, Muslim, dan Akhmad). Berbuat baik kepada diri sendiri yang perlu dilakukan siswa terliput misalnya saja, ikhlash beragama (Q.S.4: 123), berlaku jujur (Q.S.8: 58), memanfaatkan waktu dengan baik (Q.S.103: 1-3), menjaga aurat (Q.S.23:5-6), sabar (Q.S.2: 153), tawadlu (rendah hati, tidak sombong) (Q.S.31: 13) berlaku benar (Q.S.9: 119), mempunyai rasa malu, karena malu sebagian dari iman (HR. Bukhari, Muslim). Hubungan baik siswa dengan alam sekitar sebagai pendidikan lingkungan hidup yang digariskan Islam termasuk “ihsan”. Misalnya berbuat baik terhadap semua ciaptaan Allah yang tergelar di alam semesta ini. Manusia diberi amanat oleh Allah supaya tidak merusak lingkungan (Q.S.30: 41), (Q.S.28: 77), melainkan
ia sebagai
Khalifah
di
muka
bumi
yang bertugas
untuk
memakmurkannya (Q.S.11: 61), dan menjaga kerbersihan diri (Q.S.2: 22). Pembelajaran hubungan siswa dengan Allah, dengan sesama manusia dan dengan alam sekitar yang terliput di dalam ibadah makhdah dan ibadah ghairi makhdah tujuannya adalah untuk meningkatkan perilaku keberagamaan siswa, mencakup pengamalan “ta’abbudi” atau ibadah makhdah, yaitu ibadah kepada Allah secara langsung dalam bentuk ibadah ritual, selain itu siswa terampil
7
melaksanakan ibadah sosial yang direalisasikan dalam bentuk hubungan baik dengan sesama manusia dan alam sekitar agar tercipta kehidupan masyarakat yang tertib, damai, harmonis; tolong menolong dan jauh dari perbuatan tidak terpuji seperti tindakan kekerasan dan anti sosial kemanusiaan yang marak terjadi saat ini di kalangan pelajar. Berdasarkan pemahaman tersebut yang dimaksud perilaku keberagamaan meminjam istilah Turmuddhi (http://dosen.amikom.ac.id.doc,2009) adalah praktik hidup berdasarkan ajaran agama, tanggapan atau bentuk perlakuan terhadap agama yang diyakini dan dianutnya serta dijadikan sebagai pendangan hidup dalam kehidupan dengan tampilan insan religius yang humanis. Dengan kata lain, yang dimaksud perilaku keberagamaan siswa, yaitu siswa di satu sisi terampil menjalan ibadah kepada Allah secara ritual, di sisi lain ia hidup rukun dalam kehidupan sosial misalnya mampu melakukan sikap hormat kepada sesama manusia sebagai makhluk sosial (annas). Kedudukan ini mejadi lebih urgen lagi untuk jenjang pendidikan tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama yang rata-rata berusia 12-15 tahun yang hampir disepakati oleh para ahli ilmu jiwa yang menyatakan bahwa kelompok umur ini ada pada masa remaja awal, dengan situasi dan kondisi sosial dan emosinya belum stabil yang membawa dampak terhadap tingkah laku dan sikap beragama yang ditandai kadang-kadang remaja rajin dan kadang-kadang malas melaksanakan ajaran agama, (Darajat, 1975: 11-12; Jalaluddin, 2001: 78; Yusuf, 2001: 126). Pengamalan kedua ibadah itu (ibadah makhdah dan ibadah ghairi makhdah) dalam praktiknya yang lebih dominan dijalankan oleh umat Islam
8
sebagaimana Rakhmat (1977: 57) menyatakan bahwa umat Islam selama ini cenderung keliru mengartikan ibadah dengan membatasinya pada ibadah ritual. Betapa banyak umat Islam yang disibukan dangan urusan ibadah makhdah, tetapi mengabaikan kemiskinan, penyakit, kelaparan, kesengsaraan, dan kebodohan yang diderita saudara-saudara mereka. Ungkapan ini menunjukkan bahwa kelemahan-kelemahan yang dihadapi umat Islam adalah pada ibadah gahairi makhdah atau ibadah sosial yang selama ini terabaikan, atau kurang perhatian yang membawa kemunduran di segala bidang salah satunya pengelolaan pendidikan di berbagai institusi pendidikan Islam mulai dari pendidikan dasar sampai perguruaan tinggi, saat ini jauh ketinggalan baik secara kualitas maupun kuantitas bila dibandingkan dengan lembaga pendidikan lain (umum). Arifin (2007: vi) menegaskan bahwa:” Perkembangan pendidikan Islam belum menunjukkan hasil yang optimal dibandingkan dengan perkembangan jenis pendidikan lainnya, pendidikan Islam jelas menunjukkan kualitas yang relatif rendah”. Menurutnya faktor yang mempengaruhinya pendirian madrasah (sekolah Islam) pada umumnya didasarkan pada semangat dakwah. Motif ini pada tataran ideal sebenarnya sangat bagus karena akan mendorong semangat bekerja yang lebih tinggi. Namum pada tataran emprik, semangat tersebut pada umumnya dijadikan modal kerja yang serba apa adanya dan serba apa bisanya dengan dalih ikhlas beramal dan lillahi taala, yang penting kewajiban agama, yaitu berdakwah, telah ditunaikan. Pada gilirannya prinsip manajemen modern – seperti perencanaan, perorganisasian, pengawasan, kurikulum dan evaluasi – yang semestinya diterapkan dalam pengelolan pendidikan sedikit dijumpai di kalangan pendidikan madrasah. Selanjutnya Arifin menjelaskan rendahnya sumber daya
9
pendidikan baik yang berupa tenanga kependidikan, dana, sarana dan prasarananya. Rendahnya kualitas tenaga kependidikan hampir dijumpai dikalangan guru-guru agama Islam baik di madrasah maupun di sekolah umum. Berdasarkan ungkapan tersebut di atas salah satu yang paling dominan yang mempengaruhi kualitas hasil belajar agama siswa secara signifikan terletak pada kemampuan guru dalam mendidik dan mengajar siswa. Sebab perilaku guru dipandang sebagai sumber pengaruh sedangkan tingkah laku yang belajar sebagai “efek” dari berbagai proses, tingkah laku dan kegiatan interaktif (Gagne 1964:139). Para pakar kurikulum menyatakan bahwa “betapapun bagusnya kurikulum (official), hasilnya sangat tergantung pada apa yang dilakukan guru di dalam kelas “curriculum actual” (Syaodih, 1997: 194). Sementara itu, Syah (t.t. 157) menjelaskaan patut diduga tingkat kompetensi profesionalisme sebagai guru agama pada sekolah-sekolah lanjutan pertama selama ini hanya berkisar pada kemampuan berceramah di muka kelas belaka. Metode penyajian materi agama yang cenderung monoton seperti ini biasanya akan mendorong para pelajar untuk mengambil pilihan kebiasaan belajar (cognitive preference) yang bermotif ekstrinsik bukan instrinsik. Siswa belajar agama hanya untuk mencapai cita-cita asal lulus belaka. Lebih lanjut, ia menegaskan tingkat kompetensi guru agama seperti contoh di atas, jika dibiarkan terus berlanjut kemungkinan besar akan membawa akibat rendahnya tingkat hasil pendidikan agama. Pada bagin lain Syah mengemukakan bahwa pemahaman guru agama terhadap kurikulum Pendidikan Agama Islam bersifat konvensiaonal, artinya guru agama mengajar materi Pendidikan Agama Islam dengan bermodalkan
10
keterampilan ceramah di depan kelas, alat yang biasa digunakan kapur dan papan tulis, minim menggunakan media, strategi dan metode belajar kurang bervariasi, sehingga pembelajaran tersebut kurang
merangsang aktif dan kreatif
siswa
belajar. Sejalan
dengan
Mangunwijaya
(http://www.tajid.laid.or.id,2010)
menyatakan bahwa, metodologi pembelajaran Agama Islam di sekolah disampaikan guru secara statis-indokrinatif-dokriner dengan fokus utama kognitif sibuk mengajarkan pengetahuan dan peraturan agama, akan tetapi bagaimana menjadi manusia yang baik: penuh kasih sayang, menghormati sesama, peduli pada lingkungan dan sebagainya justru luput dari perhatian. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa pola pendidikan kita saat ini masih mementingkan huruf dari pada ruh, lebih mendahulukan tafsiran harfiah di atas cinta kasih. Pola pembelajaran ini kurang menyentuh terhadap perkembangan intelektual dan pembinaan keberagamaan siswa. Siswa SLTP dilihat dari tingkat intektualnya telah mampu berpikir logis tentang berbagai gagasan yang absrak, karena menurut Sigelman dan Shafer dalam Yusuf (2001: 193) pertumbuhan otak mencapai kesempurnaan dari muali 12-20 tahun. Dengan demikian strategi pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SLTP disajikan untuk memfasilitasi perkembangan
berpikirnya
melalui
penggunaan
metode
mengajar
yang
mendorong siswa untuk aktif bertanya, mengemukakan pendapat, atau menguji coba suatu materi, melakukan dialog, dan diskusi. Sehingga pembelajaran Pendidikan Agama Islam mengandung makna serta fungsi dalam kehidupan mereka. Pembelajaran yang bermakna dan fungsional dalam kehidupan dapat meningkatkan minat belajar dan kesadaran untuk mengaplikasikan hasil
11
belajarnya dalam kehidupan sehari-hari masih dipertanyakan, terutama hubungan baik dengan sesama manusia yang selama ini menampilkan perilaku tidak harmonis atau hidup aman tentram dan bahagia. Menurut beberapa pemerhati pendidikan Islam misalnya Azra (2006: 181) menyatakan kekeliruan ini akibatnya keberagamaan siswa terutama hubungan dengan sesama manusia kurang terbina. Keberhasilan siswa belajar agama di sekolah hanya diukur sebatas ketaatan melaksanakan ritual keagamaan atau kesalehan beragama, sementara nilai-nilai etis keagamaan yang tersirat di dalamnya seperti hidup rukun, damai, saling menghormati, saling menyayangi; sikap ramah dan sopan santun sebagai nilai-nilai ibadah ghairi makhdah kurang dipraktikan dalam kehidupan nyata, sehingga siswa tidak mampu mengontrol diri dan akibatnya mudah marah, melawan norma atau aturan, sulit diatur, dan agresif jika tersingung ketika berteman. Indikasi di atas menunjukkan kemunduran pembelajaran Pendidikan Agama
Islam
di
sekolah,
lebih
dari
itu
menurut
pandangan
Tafsir
(http://www.scrib.com,2009) berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pada aspek kowing dan doing guru agama tidak gagal; mereka banyak gagal pada pembinaan aspek keberagamaan (being)” (internalisasi ajaran Agama Islam dalam kehidupan).
Sependapat
dengan
Thoyyer
(http://www.tajid.laid.or.id,2009)
menyatakan bahwa pendidikan agama selama ini lebih menekankan pada aspek knowing dan doing belum banyak mengarah ke aspek being. Akibatnya anak didik masih jauh menjalani hidup sesuai dengan nilai-nilai agama, Hasil penelitiaan yang relevan menggambarkan hal di atas adalah sebagai berikut. Studi pendahuluan yang dilakukan Sauri (2002: 7) menjelaskan bahwa
12
perilaku santun terlihat dari sikap siswa saat bertemu guru, karyawan, dan dengan siswa sesndiri, seperti jabatan tangan dan menciun tangan. Ucapan yang menggambarkan kesantunan seperti: permisi, terima kasih, insya Allah, alhamdulillah, astaghfirullah. Sikap tidak santun siswa seperti ajing, goblok, maneh, dan aing masih sering dilakukan siswa Temuan Ririn tindakan kekerasan yang dilakukan siswa di sekolah tertentu menjelaskan: Setiap minggu, atau satu dari enam siswa mengalami tindakan kekerasan di sekolah (bulying), contoh bulying, melontarkan kata-kata yang menyakitkan dan tidak enak, menggunakan panggilan yang jelek dan menyakitkan, memisahkan teman dari kelompok karena berbeda, menggunjingkan orang untuk tidak menyukai satu orang, sampai tindakan menendang, memukul, menarik rambut, merupakan bentuk bulying di sekolah (Pikiran Rakyat, Pebruari 2009: 1). Penelitian yang dilakukan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama menjelaskan pendidikan keberagamaan yang seharusnya terbentuk melalui pendidikan agama terbaikan atau gagal diwujudkan. Selanjutnya, Berdasarkan hasil penelitian dari Tim Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Agama dan Keagamaan pada siswa SLTP kelas dua di lima kota besar Indonesia, yaitu Daerah Khsus Ibukota (DKI) Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan Makasar, dalam hal ini Ahmaddudin menjelaskan: Pendidikan Agama dianggap kurang memiliki implikasi terhadap hubungan sosial keagamaan. Fenomena kemorosotan akhlak siswa yang terjadi di kota-kota besar di Indonesia tersebut kemungkinan karena agama kurang dipahami secara fungsional” (http://www.hupelita/baca.php?id,2009) . Penelitian empirik menujukkan kebergamaan siswa yang berkembang saat ini sebagai hasil penelitian Rahim (2000: 37) dalam disertasinya tentang “Keberagamaan Siswa”, ia menjelaskan kenyataan anak didik setelah belajar 12
13
tahun (SD, SMP, dan SMU/K), umumnya tidak mampu membaca al-Qur’an dengan baik, tidak melakukan shalat dengan tertib, tidak melakukan puasa di bulan Ramadhan, dan tidak berakhlak baik. Dalam batas-batas tertentu berdasarkan kajian teori dan penelitian empiris yang dilakukan oleh para pemerhati Pendidikan Islam seperti yang dikemukaan di atas bahwa Pembelajaran Pendidikan Agama Islam menunjukkan kelemahan atau kekurangan, misalnya: 1. Pelaksana Pendidikan Agama Islam di sekolah pemahaman terhadap kurikulum secara sempit, kurikulum dipandang hanya sebagai materi pelajaran yang harus dikuasai siswa untuk mendapat nilai agar siswa naik kelas, dan /atau lulus ujian akhir, 2. Penggunaan media, metode, dan berbagai pendekatan belum dilakukan secara optimal dalam pembelajaran PAI pada akhirnya menimbulkan verbalisme terhadap siswa dalam menggali ajaran agama Islam, 3. Implementasian kurikulum aktual di kelas (Kegiatan Belajar Mengajar) berpusat pada guru (teacher centered), sementara aktivitas belajar siswa hanya mengikuti apa yang diajarkan guru, 4. Penilaian terhadap perilaku keberagamaan siswa parsial (hanya menilai kemampuan menghapal materi pelajaran), 5. Siswa belum mampu menampilkan perilaku keberagamaan sesuai nilai-nilai ajaran Islam yang terliput dalam ucapan, perbuatan, dan tindakan secara Islami. Atas dasar itu, penelitian ini penting dilakukan karena kondisi pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam di MTsN dan SMPN dan implikasinya terhadap perilaku keberagamaan siswa belum sesuai dengan tujuan
14
ideal Pendidikan Agama Islam; secara empirik di lapangan akhir-akhir ini banyak siswa tertentu belum menampilkan perilaku mulia dan terpuji sesuai akhlak Islam. Apabila
fenomena
ini
dibiarkan
oleh
sekolah
khususnya,
akan
lahir
kecenderungan perilaku siswa yang kasar, keras, dan kering dari nilai-nilai etika agama, serta hilangnya rasa kemanusiaan, (Sauri 2002: 8). Dengan diadakannya penelitian ini, diharapkan dapat memberikan solusi alternatif terhadap pemecahan masalah perilaku keberagamaan siswa yang belum konsisten menjalankan ajaran agama Islam. B. Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan di atas pengembangan dan implementasi kurikulum Pendidikan Agama Islam sebagaimana dikemukan oleh para pemerhati pendidikan Islam bahwa keberagamaan di kalangan kaum terpelajar dan para pelajar belum menunjukkan pengamalan ajaran agama sesuai tuntunan Islam, bahkan mereka sebagamana dikemukakan Ali dan Asrori, (2008: 71) menyalahgunaan obat terlarang, minum minuman keras, serta tindak kekerasan dan kriminal. Hasil penelitian Turmudhi (Kedaulatan Rakyat, 4 Juli 2003) yang didasarkan pada teori Glock dan Stark (Religion & Society) menunjukkan perilaku keberagamaan siswa dalam memunculkan perilaku-perilaku positif kepada sesama manusia atau pro-sosial (pro-social behavior) – berbagi, bekerja sama, menyumbang, menolong, berlaku jujur, berbuat dermawan, memelihara, merawat, dan memperhatikan hak orang lain kekuatan pengaruhnya belum signifikan. Hasil studi pendahuluan berdasarkan wawancara dengan beberapa guru agama di MTsN dan SMPN di beberapa sekolah, mereka sependapat bahwa perilaku keberagamaan siswa tertentu masih banyak dijumpai mengalami
15
masalah. Misalnya di antara siswa ditemukan pengamalan ajaran agama, stabilitas emosional, sosial, dan moral belum konsisten. Ketaatan menjalan ajaran agama dijumpai siswa kadang-kadang taat dan kadang-kadang malas atau inkonsisten menjalan ibadah ritual seperti shalat lima waktu, dan puasa ramadlan masih ada siswa yang belum melaksanakannya, termasuk kemauan mereka belajar AlQur’an masih rendah. Berkaitan dengan masalah emosional yang dilakukan siswa tertentu misalnya masalah kecil seperti berbeda pendapat mudah konflik, dan mudah marah, kurang toleran terhadap perbedaan karakter teman, dan sulit diatur. Komunikasi sosial yang ditampilkan siswa tertentu mereka mudah melawan aturan sekolah misalnya membandel, sukar disiplin, berpakian tidak rapih dan bersih, datang ke sekolah sering telambat, membuang sampah tidak pada tempatnya. Keadaan moralitas siswa belum menampilkan perilaku yang baik misalnya di kelas sering terjadi kehilangan alat-alat tulis, berbicara suka mengeluarkan kata-kata yang kotor dan tidak terpuji dari pada mengucapkan kata-kata islami seperti: Ya Allah, bertemu dan berpisah dengan guru dan teman mengucapkan Assalamu’alaikum; membaca Basmallah dan Hamdallah sebelum dan sesudah mengerjakan
pekerjaan,
apabila
melakukan
kesalahan
mengucapkan
Astaghfirullah dan yang lainnya. Tampilan perilaku keberagamaan siswa di atas belum menampilkan ketaatan beragama dan hubungan sosial kegamaan sesuai ajaran Islam sebagai realisasi berhasilnya pengembangan dan implementasi kurikulum Pendidikan Agama Islam di sekolah.
16
Atas dasar ini studi dilakukan untuk mengungkap “Bagaimana pengembangan dan implementasi kurikulum Pendidikan Agama Islam dan implikasinya terhadap perilaku keberagamaan siswa Madrasah Tsanawiyah Negeri dan Sekolah Menengah Pertama Negeri. Siswa sebagai responden dalam penelitian ini dibatasi hanya siswa MTsN (MTsN) dan siswa SMPN (SMPN) yang duduk di Kelas VIII dan Kelas IX semester genap tahun ajaran 2010/2011, dan untuk siswa SMPN dibatasi hanya siswa Muslim. Berdasarkan uraian tentang latar belakang dan problematika sebagaimana di rumuskan di atas sebagai indikator penelitian ini diharapkan dapat muncul jawaban terhadap pertanyaan, adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana mekanisme pengembangan kurikulum di MTsN dan SMPN? Dari rumusan masalah ini muncul pertanyaan penelitian sebagai berikut: a.
Bagaimana prosedur pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam di MTsN dan SMPN ?
b.
Bagaimana
keterlibatan
guru
dan
administrator
lainnya
dalam
pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam di MTsN dan SMPN? 2. Bagaimana dokumen kurikulum yang berlakukan di MTsN dan SMPN? Dari rumusan masalah ini muncul pertanyaan peneltian seperti berikut ini. a. Bagaimana tujuan kurikulum Pendidikan Agama Islam di MTsN dan SMPN? b. Bagaimana materi (isi kurikulum) di MTsN dan SMPN? c. Bagaimana implementasi kurikulum Pendidikan Agama Islam di MTsN dan SMPN?
17
3. Bagaimana implikasi kurikulum Pendidikan Agama Islam di MTs Negri dan SMPN terhadap perilaku keberaganaan siswa dalam menjalankan ibadah? Dari pertanyaan ini muncul indikator pertanyaan sebagai berikut. a. Adakah perbedaan implikasi hasil belajar Pendidikan Agama Islam antara siswa MTsN dan siswa SMPN pada aspek kedisiplinan beribadah sesuai ajaran Islam di keluarga? b. Adakah perbedaan implikasi hasil belajar Pendidikan Agama Islam antara siswa MTs dan siswa SMPN pada aspek perilaku hubungan siswa dengan orang tua di rumah? c. Adakah perbedaan implikasi hasil belajar Pendidikan Agama Islam antara siswa MTsN dan siswa SMPN pada aspek perilaku hubungan siswa dengan guru di sekolah ? d. Adakah perbedaan implikasi hasil belajar Pendidikan Agama Islam antara siswa MTsN dan siswa SMPN pada aspek perilaku hubungan siswa dengan saudara di keluarga? e. Adakah perbedaan implikasi hasil belajar Pendidikan Agama Islam antara siswa MTsN dan siswa SMPN pada aspek perilaku hubungan siswa dengan teman di masyarakat ? f. Adakah perbedaan implikasi hasil belajar Pendidikan Agama Islam antara siswa MTsN dan siswa SMPN pada aspek perilaku hubungan siswa dengan orang lain yang lebih tua usianya dan tidak dikenal di masyarakat ? g. Adakah perbedaan implikasi hasil belajar Pendidikan Agama Islam antara siswa MTsN dan siswa SMPN pada aspek perilaku hubungan siswa dengan yang lebih muda dikenal di masyarakat sekolah ?
18
h. Adakah perbedaan implikasi hasil belajar Pendidikan Agama Islam antara siswa MTsN dan siswa SMPN pada aspek perilaku hubungan siswa dengan yang lebih muda tidak dikenal di masyarakat. i. Adakah perbedaan implikasi hasil belajar Pendidikan Agama Islam antara siswa MTsN dan siswa SMPN pada aspek perilaku hubungan siswa dengan yang berbeda agama di masyarakat sekolah ? j. Terdapat perbedaan implikasi hasil belajar Pendidikan Agama Islam antara siswa MTsN dan siswa SMPN pada aspek perilaku hubungan siswa dengan yang berbeda suku di masyarakat. k. Adakah perbedaan implikasi hasil belajar Pendidikan Agama Islam antara siswa MTsN dan siswa SMPN pada aspek perilaku hubungan siswa dengan yang berbeda ras di masyarakat sekolah ? l. Adakah perbedaan implikasi hasil belajar Pendidikan Agama Islam antara siswa MTsN dan siswa SMPN pada aspek perilaku hubungan siswa dengan lingkungan fisik keluarga, sekolah dan masyarakat ? 4. Bagaimana sistem evaluasi dalam Pendidikan Agama Islam di MTsN dan SMPN ? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini mencakup aspek teoritis dan aspek praktis tentang pengembangan dan implementasi kurikulum Pendidikan Agama Islam serta implikasinya terhadap perilaku keberagamaan siswa.
19
a.
Tujuan Teoritis Tujuan dari peneltian ini secara teoritis untuk mengkaji pengembangan
dan implementasi kurkulum Pendidikan Agama Islam di MTsN dan SMPN dan implikasinya terhadap perilaku keberagamaan siswa. Langkah-langkah tersebut disusun secara praktis yang dapat digunakan oleh Guru Agama Islam (GAI) dalam meningkatkan perilaku keberagamaan siswa di sekolah. b. Tujuan praktis 1) Untuk mengungkap tentang pengembangan dan implementasi kurikulum Pendidikan Agama Islam yang ada di MTsN dan SMPN; 2) Untuk mendeskripsikan tentang perbedaan perilaku keberagamaan siswa MTsN dan SMPN sebagai implikasi dari pengembangan dan implementasi kurikulum Pendidikan Agama Islam di sekolah; 3) Untuk memberi masukan kepada Kepala Sekolah, GAI dan Dinas terkait Departemen / Depag dan Pendidikan Nasional / Diknas Kabupaten / Kota dan Daerah tentang pengembangan dan implementasi kurikulum Pendidikan Agama Islam dalam peningkatan keberagamaan siswa di sekolah. 2. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini mencakup aspek teoritis dan aspek praktis tentang pengembangan dan implementasi kurikulum Pendidikan Agama Islam serta implikasinya terhadap perilaku keberagamaan siswa MTsN dan siswa SMPN. a. Manfaat Teoritis Secara teori penelitian ini mengkaji berbagai teori tentang pengembangan dan impelementasi kurikulum Pendidikan Agama Islam dan implikasinya terhadap perilaku keberagamaan siswa diharapkan dapat memberi kontribusi
20
dalam melengkapi serta mengembangkan teori yang ada atau bahkan menemukan teori baru Pendidikan Agama Islam di MTsN dan SMPN. b. Manfaat Praktis 1) Bagi siswa MTsN dan SMPN diharapkan mereka dapat meningkatkan perilaku keberagamaan sesuai dengan ajaran Islam; 2) Bagi Guru Agama Islam hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pedoman dalam merancang pengembangan dan implementasi kurikulum Pendidikan Agama Islam dalam meningkatkan perilaku keberagamaan siswa di MTsN dan SMPN; 3) Memberikan kontribusi bagi pengambil kebijakan Kementeri Pendidikan Nasional dan Kementerian Departemen Agama Daerah dalam mengembangkan dan implementasi kurkulum Pendidikan Agama Islam terkait dengan peningkatan perilaku kebergamaan siswa MTsN dan SMPN; 4) Memberikan kontribusi bagi para pakar pendidikan dan yang lainnya untuk melakukan penelitian lanjutan mengingat penelitian ini sangat terbatas baik pengambilan sampel, metode, pendekatan, wilayah kajian, dan instrumen penelitian banyak kekurang baik segi valitas maupun reliabilitasnya. D. Definsi Konsep dan Operasional 1. Definisi Konsep Beberapa definisi perilaku keberagamaan siswa dapat dikemukakan sebagai berikut: a.
Perilaku
keberagamaan
menjelaskan
sebagaimana
“mengarahkan
kepada
Tafsir usaha
(http://www.com, pendidikan
agar
2010) murid
melaksanakan apa yang diketahuinya itu dalam kehidupan sehari-hari”.
21
b.
Asrori (http://www. multiplycontent.com, 2010:5) mendefinisikan perilaku keberagamaan adalah “praktek hidup berdasarkan ajaran agamanya, serta dijadikannya sebagai pandangan hidup dalam kehidupan”.
c.
Perilaku
keberagamaan
meminjam
istilah
Turmuddhi
didefinisikan
(http://dosen.amikom.ac.id.doc, 2010:3) adalah “praktik hidup berdasarkan ajaran agama, tanggapan atau bentuk perlakuan terhadap agama yang diyakini dan dianutnya serta dijadikan sebagai pendangan hidup dalam kehidupan dengan tampilan insan religius yang humanis” Dengan kata lain, menurut
Turmuddhi yang dimaksud perilaku keberagamaan siswa, yaitu
siswa di satu sisi terampil menjalan ibadah kepada Allah secara ritual, di sisi lain ia hidup rukun dalam kehidupan sosial misalnya mampu melakukan sikap hormat kepada sesama manusia sebagai makhluk sosial (annas). d.
Menurut Hanifah (2010: 4) perilaku keberagamaan diartikan religiositas yang artinya merupakan kesatuan utuh Iman dan Islam. Maksudnya religiositas jika diamati dari sisi internal adalah Iman dan dari sisi ekternalnya adalah Islam. Sebagai fenomenal sosial rumusan ini sejalan dengan pendapat Wach bahwa pengamalan beragama terdiri atas respon terhadap ajaran agama dalam bentuk pikiran, perbuatan serta pengungkapannya dalam kehidupan kelompok.
e.
Keberagamaan menurut Soikhurojib (2009: 7) merupakan respon manusia terhadap wahyu (merupakan esensi dari Islam). Soikhurojib selanjutnya menjelaskan bahwa, Lingkup keberagamaan dalam Islam meliputi semua aspek kehdupan, yaitu social, ekonomi, politik, budaya, ilmu, teknologi, seni dan lain-lain.
22
Berdasarkan pemahaman di atas dapat ditarik definisi pragmatis bahwa perilaku keberagamaan siswa adalah: “mempelajari siswa mengamalkan ajaran agama Islam berupa ibadah ritual dan ibadah sosial keagamaan secara kasat mata yang ia pahami dan yakini dalam kehidupan sehari-hari”. 2. Pendidikan Agama Islam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1995: 25) mendefinisikan bahwa Pendidikan Agama Islam ialah usaha sadar yang dilakukan guru pendidikan agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan untuk menyiapkan peserta didik meyakini, memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam. Indikator bimbingan, pengajaran, dan latihan yag dilakukan guru agama Islam untuk menyiapkan peserta didik meyakini, memahami, dan mengamalkan ajaran Islam, yakni sebagai berkut. a. Bimbingan dimaksudkan pembinaan yang dilakukan guru agama dalam memibina keyakinan agama siswa; b. Pengajaran adalah transfer ilmu yang dilakukan guru agama Islam terhadap siswa untuk memahami ajaran agama Islam; c. Latihan dimaksudkan langkah-langkan pengamalan ajaran agama yang dilakukan oleh siswa di bawah asuhan guru agama Islam. 2. Definisi Operasional Definisi Operasional perilaku keberagamaan adalah skor siswa yang diperoleh dari respon terhadap kuesioner yang diisi oleh siswa. 3. Dimensi Perilaku Keberagamaan Sasaran perilaku keberagamaan siswa yang dimunculkan dalam kuesioner meliputi dimensi hubungan dengan Allah yang disebut ibadah makhdah
23
(hablumminallah), hubungan dengan sesama, dan hubungan dengan lingkungan fisik rumah, dan sekolah disebut ibadah ghairi makhdah (hablumminannas). Sebagai definisi operasional dari ketiga hubungan di atas adalah sebagai berikut. Dimensi ibadah makhdah adalah mencacup ibadah spiritual, yaitu kecenderungan seseorang (siswa) untuk mendekatkan diri kepada Allah dalam konteks kedisiplinan dalam hubungan transendental (hubungan langsung dengan Allah) yang dilakukan melalui ibadah ritual, dan partisipasi keagamaan. Hubungan transendental yang dimaksudkan dalam dimensi spiritual dan partisipasi keagamaan dapat dijabarkan ke dalam definisi operasional yang lebih sempit, yang mencakup: a. Aspek transendental adalah kecenderungan perilaku seseorang (siswa) dalam menjalankan ibadah ritual seperti: menjalankan shalat wajib (lima waktu), puasa ramadhan, berdoa, membaca Al-Quran. b. Aspek partisipasi keagamaan adalah kecenderungan perilaku sesorang (siswa) adalah untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. c. Aspek dimensi ibadah ghairi makhdah mencakup dimensi kecenderungan seseorang (siswa) untuk melakukan hubungan baik dengan sesama manusia. Kecenderungan siswa melakukan hubungan baik dengan sesama manusia terliput hubungan dengan orang tua, guru, saudara, teman, berhubungan dengan orang lain yang lebih tua usianya dan tidak dikenal, berhubungan dengan orang yang lebih muda dikenal dan tidak dikenal, berhubungan dengan yang berbeda agama, suku dan ras. Hubungan baik siswa dengan sesama dengan sesama manusia dapat dijabarkan ke dalam definisi operasional yang lebih sempit, yang mencakup:
24
Dimensi hubungan baik dengan sesama manusia diartikan sebagai kecenderungan seseorang (siswa) untuk menjalin hubungan baik dengan orang lain yang didasarkan pada sikap menghormati orang lain, ramah terhadap orang lain, persahabatan dan simpatik. Sikap yang dimaksud dalam dimensi hubungan baik dijabarkan ke dalam difinisi operasinal yang lebih sempit, yang mencakup: a.
Aspek penghormatan terhadap orang lain adalah kecenderungan seseorang untuk menaruh rasa hormat kepada orang lain karena kebaikan-kebaikan atas jasa-jasanya yang begitu tak terhingga.
b.
Aspek keramahan adalah kecenderungan seseorang untuk bersikap hubungan yang hangat, hubungan yang intim, terbuka, tidah menaruh perasaan curiga, kebencian, dan diskriminasi.
c.
Aspek persahabatan kecenderungan sesorang untuk melakukan hubungan yang harmonis dengan orang lain tanpa pandang suku, ras, keterunan dan agama.
d.
Aspek simpatik adalah kecenderungan seseorang untuk terkait dengan perasaan orang lain, memiliki kemurahan hati, dan keinginan untuk membantu orang yang lemah. Dimensi hubungan baik siswa dengan lingkungan fisik diartikan sebagai
kecenderungan seseorang (siswa) untuk memelihara lingkungan fisik agar lingkungan tersebut terawat dengan baik sebagai tempat tinggal manusia. Yang dimaksud dimensi hubungan baik dengan lingkungan fisik dijabarkan ke dalam difinisi operasinal yang lebih sempit, yang mencakup:
a. Menjaga kebersihan dan keindahan lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat, b. Merwat taman dan pepohonan.
25
Pertimbangan yang digunakan dalam pembahasan perilaku keberagamaan siswa sebagai “konstrak” penelitian adalah teori perkembangan kepercayaan atau spiritual keagamaan pada anak yang dibangun oleh Fowler dalam Safaria (2007: 62) sebagaimana terlihat pada tabel 1 berikut ini. TABEL. 1 TEORI PERKEMBANGAN KEPERCAYAAN Tabel
Fowler
Awal masa kanak- Pertengahan masa kanak (0-6 tahun) kanak-kanak (6-12 tahun) Primal faith Intuitif-proyektiffaith
Masa awal remaja (12-18) tahun Mythical/literal faith
Usia anak-anak Madrasah Tsanawiyah dan anak-anak Sekolah Menengah Pertama, usia mereka pada umumnya antara 13-15/16 tahun. Tingkat perkembangan spiritual keagamaannya ada pada “Mythical/literal faith”. Fowler lebih lanjut menjelaskan bahwa spiritual keagamaan pada tahap ini anak telah mencapai tarap perkembangan kognitif yang bersifat operasional formal di mana anak mulai mampu mengambil alih pandangan-pandangan orang lain menurut pola pengambilan prespektif antar pribadi secara timbal-balik. Pada tahapan ini anak berupaya menciptakan sintetis identitas secara integral. Namun sintetisidentitas ini terbentuk setelah anak remaja menciptakan sintetis dari seperangkat arti baru dari berbagai nilai-nilai yang ditemuinya dari lingkungannya. Pada masa ini anak remaja juga sudah mulai mampu merefleksikan secara kritis riwayat hidupnya dan mampu menggali makna-makna baru dari sejarah hidupnya. Yang dicari adalah suatu sintesis baru atas berbagai arti dan makna dari pengalamannya dalam hidup. Pada tahap inilah remaja mulai tertarik secara mendalam terhadap ideologi dan agama. Dengan mulai mapannya cara berpikir remaja, membuat mereka
26
memiliki tanggung jawab dalam melaksanakan ibadah kepada Tuhan-Nya dan mampu berkomunikasi/berhubungan baik dengan sesama manusia, berbuat baik kepada dirinya sendiri, dan berlaku baik terhadap lingkungannya berdasarkan kaidah-kaidah agama yang ia yakini. E. Asumsi Penelitian Asumsi penelitian didasarkan pada pertanyaan penelitian, kajian teori dan temuan empiris di lapangan dapat dikemukakan sebagai berikut 1.
Perilaku keberagamaan itu bisa dibentuk melalui proses Pendidikan Agama Islam di sekolah merupakan salah satu cara dalam membangun perilaku keberagamaan siswa.
2.
Kajian perilaku keberagamaan siswa dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam sebagai fondasi pembinaan kepribadian siswa, agar siswa terampil mengaktualisasikan nilai-nilai Agama Islam mencakup: ibadah makhdah dan ibadah ghairi makhdah;
3.
Guru pendidikan agama Islam yang mampu mengitegrasikan materi kurikulum (subjct matter) dengan konteks
kebutuhan siswa maka
pengembangan dan implementasi kurikulum mampu meningkatkan perilaku keberagamaan siswa ke arah yang lebih baik. H. Kerangka Berpikir Kerangka berpikir berdasarkan kajian teori, rumusan masalah dan hipotesis dapat diilustrasikan sebagai berikut ini.
27
Implementasi Kurikulum - Tujuan - Materi - Metode - Evaluasi
Transformasi di dalam dan di luar kelas
Perilaku Keberagamaan - Hubungan dengan Tuhan - Hubungan dengan sesama, lingkungan
Visualisasi
di
atas
Hasil Belajar : - trampil ibadah ritual - trampil ibadah social - trampil memelihara lingkungan
Lingkungan
menunjukkan
keterkaitan
yang
utuh
bahwa
pengembangan dan implementasi kurikulum Pendidikan Agama Islam yang dilakukan guru agama Islam dalam situasi proses belajar mengajar mencakup: perumusan tujuan yang spesifik dan terukur, materi pelajaran, proses, media, metode, pendekatan dan evaluasi. Keempat komponen kurikulum yang dilakukan guru agama Islam mampu memberi implikasi terhadap perilaku keberagamaan siswa dalam menjalankan kedisiplinan ibadah makhdah, dan ibadah ghairi makhdah. Dari ketiga dimensi hubungan di atas antara hubungan siswa dengan Allah, hubungan siswa dengan sesama manusia dan huungan siswa lingkungan mampu menghasilkan keterampilan sebagai berikut: 1. Siswa terampil menjalankan ibadah ritual (shalat lima waktu, puasa ramadhan, berdoa, belajar Al-Quran, partisipasi dalam kegiatan keagamaan); 2. Siswa terampil hubungan baik dengan sesama baik: sopan santun, ramah, saling menghormati, simpati, berlaku adil, toleransi dan yang lainnya; 3. Siswa terampil menjaga kebersihan lingkungan keluarga dan sekolah.
28
G. Hipotesis Berdasarkan kerangka berpikir dapat dijukan hipotesis berikut ini. Hipotesis dibagi dua, yaitu hipotesis umum dan hipotesis khusus. Kedua hipotesis tersebut, yaitu: 1. Hipotesis Umum Hipotesis Umum, Kurikulum Pendidikan Agama Islam di sekolah MTsN dan SMPN memberi implikasi terhadap perilaku keberagamaan siswa. 2. Hipotesis Khusus Dari hipotesis umum di atas dapat dijabarkan ke dalam hipotesis khusus adalah sebagai berikut. a. Terdapat perbedaan implikasi hasil belajar Pendidikan Agama Islam antara siswa MTsN dan siswa SMPN pada aspek kedisiplinan beribadah sesuai ajaran Islam di keluarga, sekolah dan masyarakat. b. Terdapat perbedaan implikasi hasil belajar Pendidikan Agama Islam antara siswa MTs dan siswa SMPN pada aspek perilaku hubungan siswa dengan orang tua di rumah; c. Terdapat perbedaan implikasi hasil belajar Pendidikan Agama Islam antara siswa MTsN dan siswa SMPN pada aspek perilaku hubungan siswa dengan guru di sekolah ? d. Terdapat perbedaan implikasi hasil belajar Pendidikan Agama Islam antara siswa MTsN dan siswa SMPN pada aspek perilaku hubungan siswa dengan saudara di keluarga;
29
e. Terdapat perbedaan implikasi hasil belajar Pendidikan Agama Islam antara siswa MTsN dan siswa SMPN pada aspek perilaku hubungan siswa dengan teman di masyarakat; f. Terdapat perbedaan implikasi hasil belajar Pendidikan Agama Islam antara siswa MTsN dan siswa SMPN pada aspek perilaku hubungan siswa dengan orang lain yang lebih tua usianya dan tidak dikenal di masyarakat. g. Terdapat perbedaan implikasi hasil belajar Pendidikan Agama Islam antara siswa MTsN dan siswa SMPN pada aspek perilaku hubungan siswa dengan yang lebih muda tidak dikenal di masyarakat. h. Terdapat perbedaan implikasi hasil belajar Pendidikan Agama Islam antara siswa MTsN dan siswa SMPN pada aspek perilaku hubungan siswa dengan yang lebih muda dikenal di masyarakat. i. Terdapat perbedaan implikasi hasil belajar Pendidikan Agama Islam antara siswa MTsN dan siswa SMPN pada aspek perilaku hubungan siswa dengan yang berbeda agama di masyarakat sekolah. j. Terdapat perbedaan implikasi hasil belajar Pendidikan Agama Islam antara siswa MTsN dan siswa SMPN pada aspek perilaku hubungan siswa dengan yang berbeda suku di masyarakat. k. Terdapat perbedaan implikasi hasil belajar Pendidikan Agama Islam antara siswa MTsN dan siswa SMPN pada aspek perilaku hubungan siswa dengan yang berbeda ras di masyarakat. l. Terdapat perbedaan implikasi hasil belajar Pendidikan Agama Islam antara siswa MTsN dan siswa SMPN pada aspek perilaku hubungan siswa dengan lingkungan fisik keluarga, sekolah dan masyarakat.