BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan peristiwa penting dalam siklus kehidupan manusia.
Setiap orang berkeinginan untuk membangun sebuah rumah tangga yang bahagia bersama orang yang dicintainya. Duvall dan Miller (1985) mendefinisikan pernikahan sebagai hubungan sosial antara pria dan wanita yang memperbolehkan mereka untuk mengesahkan hubungan seksual, pengasuhan anak, dan menetapkan pembagian tugas kerja di dalam rumah tangga. Individu pada masa dewasa awal beranjak dari masa sekolah yang masih bergantung pada orang tua ke masa mencari pekerjaan dan mandiri secara finansial. Mereka juga mempunyai tugas perkembangan lainnya yaitu membentuk kehidupan sosial. Individu dewasa awal dapat memilih untuk tetap tidak menikah, tinggal dengan pasangan melalui pernikahan yang sah atau pernikahan yang tidak sah (cohabitation), tinggal dan hidup dengan pasangan dari jenis kelamin yang sama (gay dan lesbian), bercerai, menikah lagi setelah perceraian, menjadi orang tua tunggal atau tinggal tanpa anak (Papalia, Olds, & Feldman, 2008). Menurut Hurlock (1980), pernikahan merupakan periode individu belajar hidup bersama dengan suami istri membentuk suatu keluarga, membesarkan anakanak, dan mengelola sebuah rumah tangga. Apabila tugas ini dapat dilalui dan terselesaikan dengan baik maka akan membawa kebahagiaan bagi individu. Akan tetapi, tugas tersebut tidak mudah untuk dilalui oleh pasangan suami istri karena
1
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2
banyak hal yang harus dihadapi setelah menikah seperti pengelolaan keuangan rumah tangga, membina komunikasi yang baik dengan keluarga, mendidik serta menyekolahkan anak, dan lain sebagainya. Contoh kasus yang biasa terjadi pada pasangan suami istri adalah pertengkaran yang disebabkan oleh perbedaan pendapat. Apabila hal itu tidak terselesaikan maka dapat mengakibatkan masalah yang lebih besar dalam pernikahan dan berakhir dengan perceraian. Data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung menunjukan bahwa di Indonesia khususnya DKI Jakarta, angka perceraian mencapai 6.218 kasus pada tahun 2007. Sedangkan pada tahun 2008 sebanyak 5.193 kasus. Walaupun pada tahun 2008 terjadi penurunan kasus perceraian tetapi angka tersebut masih cukup tinggi. Fenomena ketidakpuasan pernikahan berdasarkan data tahun 2009 menunjukan bahwa wilayah Jakarta Selatan cukup tinggi yaitu sebanyak 481 pasangan atau sekitar 45% bercerai. Kemudian wilayah Jakarta Pusat sebanyak 94 pasangan bercerai. Wilayah Jakarta Utara sebanyak 45 pasangan bercerai. Wilayah Jakarta Barat sebanyak 116 pasangan bercerai. Wilayah Jakarta Timur sebanyak 123 pasangan bercerai (Maryadie, 2010). Kasus lain yang dialami oleh pasangan suami istri adalah perbedaan prinsip yang biasa terjadi di dalam pernikahan. Pada kehidupan pasangan beda agama perbedaan prinsip sering menjadi sumber masalah meskipun pada saat keduanya menikah telah menentukan kesepakatan – kesepakatan yang telah disepakati bersama oleh pasangan suami istri. Rusli (2007) mengatakan bahwa pernikahan beda agama merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
3
berbeda agama, menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat – syarat dan tata cara pelaksanaan pernikahan sesuai dengan hukum agamanya masing - masing dengan tujuan untuk mencapai kepuasan didalam pernikahannya. Menurut Majid (2005), jika suami istri menikah beda agama maka akan timbul kesulitan didalam lingkungan keluarga misalnya dalam hal pelaksanaan ibadah, pendidikan agama anak, pengaturan tatakrama makan dan minum dan sebagainya. Jika suami istri yang berbeda keyakinan dapat saling mengerti dan memahami tentang aturan yang terdapat pada masing – masing agama yang dianutnya maka kemungkinan konflik dapat dihindarkan. Selain perbedaan pendapat tentang prinsip masing –masing pasangan, menerapkan pendidikan agama pada anak diantara kedua keyakinan yang berbeda juga dapat memicu timbulnya konflik dalam keluarga, dimana mungkin masing – masing menginginkan sang anak mengikuti agama dari satu pihak saja dan semuanya itu tergantung kepada kesepakatan masing – masing pasangan sebelum memutuskan menikah beda agama. Pasangan yang menikah beda agama sangat perlu memiliki komitmen mengenai iman atau agama anak – anak mereka. Perlu disepakati sedini mungkin kemana akan mengarahkan keimanan agama anakanak mereka. Jangan sampai masalah keagaamaan anak –anak pasangan beda agama menyebabkan kurangnya kepuasan didalam pernikahan mereka. Menurut DeGenova dan Rice (2005), banyak masalah yang terjadi pada pasangan suami istri dalam pernikahannya antara lain konflik mengenai masalah keuangan sebanyak 42,3%, komunikasi sebanyak 21,2%, hubungan seks sebanyak
http://digilib.mercubuana.ac.id/
4
19,8%, hubungan keluarga dan teman sebanyak 16,7%, anak sebanyak 13,2%, rekreasi (menghabiskan waktu bersama) sebanyak 11,3%, dan agama sebanyak 6,3%. Data tersebut menunjukan bahwa adanya tingkat kepuasan pernikahan yang rendah dalam keluarga. Padahal kepuasan pernikahan adalah hal penting dalam sebuah keluarga. Hal itu dikarenakan keluarga merupakan lingkungan pertama dalam membentuk generasi yang berkualitas. Menurut DeGenova dan Rice (2005),
kepuasan
pernikahan
merupakan
perasaan
pasangan
terhadap
pasangannya mengenai hubungan pernikahannya. Hal ini yang berkaitan dengan perasaan bahagia yang dirasakan suami istri dari hubungan pernikahan yang dijalani. Duvall dan Miller (1985) menyebutkan bahwa kepuasan pernikahan dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, faktor sebelum menikah yang terkait dengan latar belakang (background characteristic) terdiri atas kebahagiaan pernikahan orang tua pasangan, kebahagiaan pada masa anak-anak, pembentukan disiplin oleh para orang tua, pendidikan seksual dari orang tua, pendidikan dan masa perkenalan sebelum menikah. Kedua, faktor selama pernikahan yang terkait dengan keadaan saat ini (current characteristic) terdiri atas ekspresi kasih sayang atau afeksi, kepercayaan, tingkat kesetaraan, komunikasi, kehidupan seksual, kehidupan sosial, tempat tinggal, dan pendapatan atau keuangan. Berdasarkan faktor di atas dapat diketahui bahwa penyesuaian pernikahan termasuk ke dalam faktor keadaan saat ini (current characteristic).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
5
Spanier (1976) berpendapat bahwa penyesuaian pernikahan merupakan suatu proses yang harus melalui berbagai tahap seperti komunikasi yang efektif, proses menangani konflik-konflik yang terjadi dan kepuasan dalam berbagai hubungan dengan pasangan. Tahap-tahap ini dilakukan supaya ketidaksesuaian hubungan suami istri dapat segera diantisipasi dan dicarikan jalan keluarnya. Wallerstein dan Blakeslee (1995) melakukan studi dengan mewawancarai 50 pasangan suami-istri perihal pernikahan mereka. Masing-masing partisipan mengaku pernah mengalami saat suka dan duka serta ada dari mereka mengaku pernah mengalami saat-saat ketika mereka ingin pergi dari rumah. Hal itu menunjukan bahwa kebahagiaan dalam pernikahan didasarkan pada sikap saling menghargai, membahagiakan pasangan, menghormati, percaya dan melakukan pemecahan masalah bersama. Hurlock (2006) mengatakan selama pernikahan pasangan suami istri harus melakukan penyesuaian satu sama lain terhadap anggota keluarga masing – masing dan teman – teman. Tujuan penyesuaian pernikahan adalah agar pasangan suami istri mampu menyikapi perbedaan yang terjadi pada kehidupan pernikahannya. Keberhasilan pasangan suami istri dalam hal penyesuaian pernikahan mempunyai pengaruh yang kuat terhadap adanya kepuasan pernikahan, mencegah kekecewaan dan perasaan –perasaaan bingung, sehingga memudahkan seseorang untuk menyesuaikan diri dalam kedudukannya sebagai suami istri dan kehidupannya. Pada tanggal 21 Maret 2015, peneliti melakukan wawancara pada pasangan suami istri mengenai kehidupan pernikahannya. Subjek mengutarakan dalam
http://digilib.mercubuana.ac.id/
6
hubungan pernikahan sangat penting untuk menyelaraskan dirinya dengan pasangannya, tidak sama persis tetapi selaras, seimbang, supaya tidak muncul konflik besar. Misalnya ketika mereka melakukan komunikasi untuk berdiskusi mengenai persepsi negatif dari tempat kerja istri terkait status pernikahan beda agama yang mereka jalani, sehingga suami dan saya memiliki pemahaman yang sama mengenai bagaimana cara memperlakukan teman kita masing – masing ketika mereka berkunjung ke rumah. Menurut subjek setiap manusia dengan kesadaran ataupun tidak sadar akan menyelaraskan dirinya sesuai dengan lingkungan disekitarnya. Studi tentang keberhasilan pernikahan dikonseptualisasikan sebagai penyesuaian dalam pernikahan. Kriteria keberhasilan pernikahan meliputi kepuasan dan kebahagiaan dengan saling pengertian dan penyesuaian satu sama lain (Gunarsa, 2013). Pentingnya penyesuaian sebagai suami atau istri dalam sebuah pernikahan akan berdampak pada keberhasilan hidup berumah tangga. Keberhasilan dalam hal ini mempunyai pengaruh yang kuat terhadap adanya kepuasan pernikahan pasangan tersebut (Rachmawati, 2013). Masalah- masalah diatas adalah masalah yang umumnya timbul dalam suatu pernikahan, tetapi pernikahan beda agama memiliki masalah yang lebih khusus sehubungan dengan adanya perbedaan agama dalam pernikahan mereka. Oleh karena itu, pasangan beda agama membutuhkan penyesuaian pernikahan yang lebih supaya dapat mencapai kepuasan di dalam pernikahannya. Berdasarkan uraian di atas peneliti ingin mengetahui hubungan antara penyesuaian pernikahan dengan kepuasan pernikahan pada pasangan suami istri beda agama.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
7
B.
Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara
penyesuaian pernikahan dengan kepuasan pernikahan pada pasangan suami istri beda agama.
C.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara
penyesuaian pernikahan dengan kepuasan pernikahan pada pasangan suami istri beda agama.
D.
Manfaat Penelitian
1.
Manfaat Teoritis Manfaat teoritis penelitian ini adalah dapat memperkaya pengetahuan
pembaca tentang topik penyesuaian pernikahan dengan kepuasan pernikahan pada pasangan suami istri beda agama. Selain itu, penelitian ini dapat memberikan sumbangan ilmiah pada ilmu bidang psikologi, khususnya psikologi pernikahan. 2.
Manfaat Praktis Manfaat praktis dalam penelitian ini adalah dapat menambah wawasan para
pasangan suami istri akan pentingnya pencapaian kepuasan pernikahan, sehingga mereka dapat melakukan upaya preventif untuk menghindari terjadinya ketidakpuasan dalam suatu pernikahan dan bagi yang sudah menikah maupun akan menikah beda agama diharapkan dapat dijadikan bahan masukan yang bergunna dalam membina keluarga di dalam rumah tangganya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/