BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian ini dikembangkan untuk memahami lebih jauh mengenai pelaksanaan dan praktik penyelenggaraan dari Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) yang masih dipandang sebagai suatu kebijakan yang gagal untuk diterapkan di Indonesia. Fokus penelitian ini adalah mengenai evaluasi dari pelaksanaan dan penyelenggaraan kebijakan yang sebenarnya bisa diimplementasikan atau tidak, mengingat banyaknya jumlah sekolah di Indonesia dengan keadaan yang sangat beragam. Penelitian ini penting untuk dilakukan karena selama ini SBI masih dipandang sebelah mata dari sisi penyelenggaraan yang kurang ramah terhadap masyarakat secara umum pascaputusan dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang membubarkan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional atau Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI/SBI). Pemahaman mengenai apa saja yang telah dilakukan oleh pihak sekolah akan dieksplorasi melalui penelitian yang dilakukan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Karanganyar. Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) merupakan salah satu bentuk dari upaya yang dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Upaya ini merupakan bentuk realisasi dari Permendiknas No. 78 Tahun 2009 Pasal 25 bahwa Pemerintah dapat mendirikan satuan pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional. Pemerintah melalui Kemendiknas juga mengeluarkan kebijakan 1
dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, yang mengikutsertakan kebijakan tentang program Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), yaitu pada pasal 50
ayat
3
yang
berbunyi:
“Pemerintah
dan/atau
pemerintah
daerah
menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan yang bertaraf internasional”. Juga dipertegas oleh PP No. 19 Tahun 2005 pasal 61 ayat 1 yang menekankan keharusan bagi Pemerintah (pusat bersama-sama dengan daerah) untuk mengembangkan SBI sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada setiap jenjang pendidikan yakni SD, SMP, SMA, maupun SMK. Dan dalam implementasinya, program ini telah melibatkan ratusan SMP dan SMA di hampir semua Kabupaten dan Kota di seluruh Indonesia walapun masih dalam proyek rintisan saja. Pendidikan bertaraf internasional adalah pendidikan yang diselenggarakan setelah memenuhi Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan diperkaya dengan standar pendidikan negara maju (dikdas.kemdikbud.go.id). Untuk mencapai pada satuan pendidikan bertaraf internasional atau Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI/SBI), maka Pemerintah telah melaksanakan pembinaan kepala sekolah yang berasal dari sekolah yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai Sekolah Standar Nasional (SSN). Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa untuk mendirikan RSBI/SBI memerlukan biaya yang sangat mahal, sehingga jalan yang ditempuh adalah dengan tidak mendirikan RSBI/SBI baru, akan tetapi diawali dengan SSN.
2
Direktorat
Jenderal
Manajemen
Pendidikan
Dasar
dan
Menengah
Kementrian Pendidikan Nasional dalam dokumen Sekolah Bertaraf Internasional juga secara eksplisit menyampaikan beberapa latar belakang adanya program ini, yaitu: 1. Pada tahun 90-an, banyak sekolah-sekolah yang didirikan oleh suatu yayasan dengan menggunakan identitas internasional tetapi tidak jelas kualitas dan standarnya; 2. Banyak orangtua yang mampu secara ekonomi memilih menyekolahkan anaknya ke Luar Negeri; 3. Belum ada payung hukum yang mengatur penyelenggaraan sekolah internasional; 4. Perlunya membangun sekolah berkualitas sebagai pusat unggulan (center of execellence) pendidikan; 5. Atas fenomena di atas, Pemerintah mulai mengatur dan merintis sekolah bertaraf internasional; 6. Sebagai bangsa yang besar, Indonesia perlu pengakuan secara internasional terhadap kualitas proses, dan hasil pendidikannya. Sejak tahun 2004/2005, Pemerintah mulai merintis sekolah dengan standar internasional ini di beberapa kota/kabupaten dan propinsi di Indonesia. Program baru yang dicanangkan oleh Pemerintah ini nyatanya mampu menyedot animo sekolah di penjuru nusantara. Kemunculan Sekolah Bertaraf Internasional mendapat perhatian khusus dari berbagai pihak, baik melalui media massa maupun dalam perbincangan ilmiah di tingkat akademis. Program ini tidak hanya 3
dilaksanakan di jenjang pendidikan dasar dan menengah, bahkan sudah sampai ke jenjang atas dan sampai perguruan tinggi (program kelas internasional). Syahreal (2009, dalam Hapsari, 2011: 2) dalam artikelnya mengemukakan bahwa: RSBI ditugaskan oleh pemerintah untuk mengadopsi kurikulum dari salah satu negara anggota Organization Economic Cooperation and Development (OECD), yaitu negara-negara yang dianggap sudah maju dan mapan, untuk diterapkan di sekolah tersebut. Hal ini dengan harapan bahwa poin-poin tertentu yang baik dari sistem pendidikan negara maju tersebut dapat diadaptasikan dan diterapkan di sekolah tersebut, untuk selanjutnya dikembangkan ke sekolah lain di lingkungannya. Pada jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Indonesia, untuk pertama kalinya, RSBI ini kemudian mulai terbentuk pada tahun 2007 yang disebut sebagai Angkatan I. Dari total keseluruhan sekolah yang terdaftar sebagai RSBI, baik sekolah negeri maupun swasta, lebih dari seperempatnya tergabung pada Angkatan I. Total keseluruhan sekolah yang terdaftar sebagai RSBI berjumlah 351 dan total yang tergabung pada Angkatan I berjumlah 102 sekolah. terdapat 102 sekolah pada Angkatan II, 94 sekolah pada Anggatan III, dan pada Angkatan IV berjumlah 53 sekolah (Kemendiknas, 2011). Berkembangnya sekolah RSBI di Indonesia berbanding lurus dengan banyaknya isu yang dibawa label ini, baik dalam hal positif maupun negatif. Berbagai isu yang berkembang di ranah publik membuat label RSBI terus menuai kontroversi. Hal positif yang dapat diambil dari sekolah RSBI adalah bahwa RSBI sudah sesuai dengan semangat untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan 4
bernegara. Dengan adanya RSBI, mutu pendidikan di Indonesia akan terus mengalami peningkatan. Kebijakan juga merupakan salah satu bentuk dari inovasi atau terobosan untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia. Dari sisi lain, hal negatif dari sekolah RSBI adalah mengasumsikan bahwa sekolah RSBI merupakan salah satu bentuk komersialisasi dan liberalisasi pendidikan. Hal lain yang juga dijadikan pertimbangan adalah karena sekolah RSBI dinilai menimbulkan diskriminasi dan kesenjangan dalam bidang pendidikan yang berdampak pada psikologis para generasi muda. Kenyataannya, permasalahan sekolah RSBI di setiap daerah memang tidak sama karena kebijakan dari tiap-tiap daerah dan sekolah juga bisa berbeda. Seiring berjalannya waktu, permasalahan akan sekolah ini tidak juga menemukan titik terang. Pro dan kontra terus saja berdatangan di tiap daerah di Indonesia. Pada akhirnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk membubarkan RSBI dan SBI pada Sidang Pleno MK di Jakarta. Hasil dari sidang ini adalah pembatalan Pasal 50 dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), melalui Putusan Nomor: 05/PUU-X/20121. Pascaputusan dari MK tersebut, maka mucul banyak reaksi dan tanggapan dari masyarakat, baik menyambut atau pun menyayangkannya. Di Kota Jambi, sebagian masyarakatnya sangat senang atas putusan MK yang membubarkan RSBI dan SBI karena menurut salah satu warga, RSBI dan SBI dinilainya dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan pendidikan di sekolah tersebut sangat diskriminatif, dan adanya kesenjangan sangat jauh antara RSBI/SBI dengan 1
Dibacakan oleh Ketua Mahkaman Konstitusi pada tanggal 8 Januari 2013.
5
sekolah non-RSBI/SBI. Menurut salah satu pengamat publik di Jambi, penyelenggaraan sistem pendidikan yang berlangsung di sekolah RSBI/SBI sangat bertentangan dengan rasa keadilan di tengah masyarakat, terutama warga miskin yang berprestasi dan ingin bersekolah di RSBI dan SBI sehingga tidak bisa bersekolah yang dikarenakan terbentur biaya yang tidak mungkin terjangkau. Disamping biaya yang sangat mahal dan juga sistem penyelenggaraan pendidikan di sekolah RSBI dan SBI, terjadi kesenjangan yang sangat jauh sekali dengan sekolah non RSBI dan SBI, baik kualitas mutu pendidikannya maupun staf dan tenaga pengajar yang ada antara RSBI/SBI (berita21.com). Keputusan untuk membubarkan sekolah RSBI ternyata disayangkan oleh orangtua siswa di Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Para orangtua kecewa dengan keputusan tersebut karena dianggap tidak adil. Salah satu orangtua siswa mengungkapkan bahwa anak dari keluarga tidak mampu atau miskin masih bisa bersekolah di sekolah bermutu di Pontianak, karena Pemerintah Kota (Pemkot) Pontianak sudah menyediakan kuota 20 persen untuk anak miskin, sehingga anak dari keluarga miskin yang pintar juga bisa bersekolah di sekolah yang bermutu tanda dipungut biaya (kompas.com). Dalam sidang lanjutan permohonan uji materi terhadap Pasal 50 Ayat 3 UU Sisdiknas menyatakan bahwa tidak ada diskriminasi dalam pelaksanaan RSBI. Sekolah RSBI memang dikhususkan bagi para siswa dengan kemampuan di atas rata-rata nasional. Selain itu, RSBI juga
6
diselenggarakan untuk mencetak lulusan-lulusan yang melampaui standar nasional pendidikan2. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menilai bahwa kekurangan yang masih terjadi pada pelaksanaan RSBI adalah sesuatu yang wajar, karenanya, yang harus dilakukan adalah suatu pembenahan, dan bukan menghilangkannya. RSBI yang baru berjalan 5-6 tahun dimaklumi masih memiliki beberapa kekurangan. Namun tidak berarti salah ketika Indonesia sendiri bercita-cita mempunyai suatu sekolah dengan bertaraf internasional (kompas.com). RSBI harus memberikan kesempatan bagi anak dari keluarga tidak mampu untuk tetap bersekolah. Pemerintah juga telah berusaha untuk mengatasi hal tersebut dengan mengharuskan 20 persen dari kuota siswa didik untuk diisi oleh anak dari keluarga tidak mampu tetapi dengan catatan harus memiliki prestasi akademik yang bagus. Demi menjaga mutu, sekolah berusaha untuk mencari kriteria seperti itu tetapi terkadang memang sulit untuk didapat. Dan pada akhirnya, sekolah berinisiatif untuk mengadakan suatu tes pemerimaan khusus bagi anak yang tidak mampu, yang memiliki prestasi dalam bidang akademik. Suatu sekolah boleh saja eksklusif, tetapi eksklusif secara sosial tidak diperbolehkan. Keluhan lain terkait RSBI datang dari para pengajar yang berkaitan dengan mutu dan kompetensi guru yang diupayakan dengan studi lanjut ke strata 2 (S-2) dan strata 3 (S-3). Hingga saat ini pun masih banyak guru yang belum memenuhi kualifikasi pendidikan S-2 mengingat proses studi lanjut yang memang memerlukan waktu yang lama. 2
Dibacakan oleh Dirjen Manjemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Kementrian Pendidikan Nasional yang dilaksanakan pada hari Selasa, 6 Maret 2012.
7
Namun demikian hal tersebut tentu saja bukan menjadi hal yang mutlak, mengingat situasi dan kondisi yang berbeda-beda antar lokasi dan institusi pendidikan
di
seluruh
Indonesia.
Untuk
mengatakan
bahwa
dengan
diaplikasikannya program RSBI/SBI pada suatu institusi pendidikan maka akan berpengaruh secara positif pada kualitas pendidikan dan tenaga pendidik, atau sebaliknya, malah membebani atau menurunkan kualitas, mereka membutuhkan suatu proses pengamatan atau evaluasi secara komprehensif (Kusumah, 2011:6). Memang perlu diadakan suatu penelitian yang mendalam untuk mengetahui apakah pengimplementasian program RSBI dengan strategi-strategi untuk memenuhi kriteria yang harus ada di suatu institusi pendidikan dapat selayaknya berjalan ataukah memang seperti yang masyarakat umum bicarakan selama ini. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengambil salah satu contoh pada institusi pendidikan dalam konteks studi kasus. Untuk merealisasikannya, maka penulis mengambil objek penelitian di sebuah institusi pendidikan tingakat menengah pertama di kota Karanganyar, Jawa Tengah, yaitu SMP Negeri 2 Karanganyar Semenjak tahun pelajaran 2009/2010, SMPN 2 Karanganyar telah memulai program RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional). Dengan adanya program baru ini, SMPN 2 Karanganyar berusaha untuk tetap mengedepankan aksesbilitas sehingga mampu menerima masyarakat dari semua kalangan, dan oleh karenanya tidak hanya kalangan mampu saja yang bisa diterima tetapi juga kalangan tidak mampu pun diberikan kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan di SMP ini. Sekolah ini memiliki suatu inovasi baru untuk tetap diterima oleh masyarakat, sehingga mencerminkan bahwa sekolah dengan label RSBI/SBI tidak 8
semuanya memiliki dampak negatif yang masyarakat ketahui. Usaha-usaha dilakukan telah tercermin mulai dari awal dimana proses penyaringan untuk penerimaan siswa baru dilakukan. Hal ini terlihat ketika sekolah ini berusaha untuk tetap memberikan porsi bagi kalangan tidak mampu sehingga mereka tetap bisa bersekolah di sekolah RSBI. Tidak dapat dipungkiri bahwa mereka yang berasal dari kalangan tidak mampu diharuskan untuk memiliki kemampuan lebih dengan kriteria-kriteria khusus yang telah ditetapkan pihak sekolah sebelumnya. Disadari bahwa sekolah harus tetap mempertahankan mutu anak didiknya, maka keputusan untuk menyaring siswanya juga lebih diperketat dengan kriteria khusus, sehingga murid yang tidak mampu yang juga memiliki kemampuan atau prestasi lebih tetap bisa bersekolah di sekolah yang bertaraf internasional. Pemberian porsi ini juga dilakukan tidak hanya dengan satu jalan saja, tetapi juga disediakan beberapa alternatif jalan lain untuk memberikan kesempatan yang lebih besar bagi mereka yang tidak mampu. Tidak setiap sekolah yang bertaraf internasional mengaplikasikan cara yang sama seperti sekolah ini untuk mendapatkan siswa barunya. Beberapa diantara sekolah internasional lain memang memiliki porsi yang sama dengan sekolah ini untuk menampung siswa tidak mampu karena memang sudah ada ketentuan khusus mengenai hal tersebut. SMPN 2 Karanganyar memiliki cara yang berbeda dengan sekolah lainnya untuk menyaring siswa baru yang tidak hanya memperhatikan siswa tidak mampu saja, tetapi juga memberikan semacam bentuk apresiasi kepada mereka yang memperoleh peringkat tertentu dalam proses
9
penyaringan. Hal ini menandakan bahwa SMPN 2 Karanganyar memang berusaha untuk menyamaratakan siapapun yang masuk menjadi siswa di sekolah ini. Dalam mengimplementasikan program RSBI, khususnya dari aspek aksesibilitas dan pemerataan, suatu institusi haruslah berusaha untuk memenuhi kriteria apakah sebenarnya sekolah RSBI ini seburuk apa yang dianggap masyarakat atau tidak. Untuk mengetahui bagaimana hasil dari ketercapaiannya, maka penulis menyusun Skripsi yang berjudul “Refleksi Pelaksanaan Program Rintisan Bertaraf Internasional di Sekolah Menengah Pertama, Studi Kasus SMPN 2 Karanganyar sebagai RSBI Tahun Pelajaran 2009-2012”.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apa saja refleksi program RSBI di SMPN 2 Karanganyar?”
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui proses pelaksanaan program RSBI di SMPN 2 Karanganyar secara lebih jauh dalam menyelesaikan permasalahan mendasar dari sekolah bertaraf internasional.
10
2. Untuk
mengetahui
kelayakan
SMPN
2
Karanganyar
dalam
mengimplementasikan program sekolah berstandar internasional.
1.4. Manfaat 1. Manfaat Teoritis Memberikan sumbangan informasi, pemikiran, dan kontribusi positif secara akademis bagi kajian manajemen, khususnya mengenai masalah model serta pengetahuan mengenai pengelolaan sekolah yang merintis menuju taraf internasional. 2. Manfaat praktis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dan wawasan penulis dalam bidang riset, serta penerapan ilmu di tengahtengah masyarakat. 3. Bagi peneliti sendiri, hasil penelitian dapat menambah referensi bagi hasil penelitian lainnya.
11