BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ini mengenai bentuk interaksi yang terjadi antara rentenir dan pedagang yang ada di pasar Kolombo, yang difokuskan pada pola keterlekatan yang muncul antara rentenir dan pedagang.Pasar dalam artian ekonomi adalah tempat bertemunya penjual atau pedagang dengan calon pembeli. Dalam situasi di pasar tradisional adalah suatu tempat dimana interaksi dapat terjadi dengan dua belah-pihak atau lebih dalam artian ini interaksi tidak hanya terjadi pada hanya penjual dan calon pembeli saja tetapi juga dengan aktor-aktor yang terdapat di pasar lainnya. Di pasar tradisional aktor-aktor berperan besar dalam menjalankan aktivitas di pasar. Aktor-aktor tersebut antara lain pedagang, pembeli, penjual, tukang parkir, mindrink, rentenir, arisan dan preman pasar. Peneliti memilih rentenir sebagai fokus penelitiaanya dikarenakan rentenir merupakan fenomena klasik yang kemunculannya rentenir ini sudah terjadi sejak lama, akantetapi pekerjaan ini terus berjalan dan bahkan terus berkembang. Sementara itu dalam beberapa pandangan masyarakat pada umumnya rentenir dianggap sebagai suatu masalah, masalah karena rentenir bekerja dengan cara meminjamkan uang kepada para nasabah atau pedagang dengan bunga yang tinggi melebihi bunga bank. Pada umumnya bunga yang ditarik rentenir berkisar antara 10-20% sehingga dapat mencekik kemampuan ekonomi para nasabahnya dan menjadi susah untuk berkembang.Dalam keterpaksaan bagi sebagian nasabah rentenir dianggap sebagai “penolong” tatkala seseorang tidak mempunyai uang dan sedang membutuhkan uang segera , maka rentenir merupakan jalan keluar yang dapat diakses dengan cepat dan tidak melalui prosedur berbelit-belit terutama bagi masyarakat golongan menengah ke bawah. Orangorang yang sudah meminjam uang pada rentenir pada umumnya akan masuk pada “ lingkaran
setan rentenir” karena orang yang sudah terjerat hutang rentenir akan sulit lepas dari aktivitas hutang-piutang ini dapat disebabkan rentenir mendekati calon nasabahnya dengan cara yang halus dan tidak dengan paksaan. Dalam mengatasi permasalahan rentenir ini berbagai pihak telah mencoba melakukan berbagai cara, termasuk diantaranya pemerintah. Beberapa pemerintah daerah di Indonesia telah mengeluarkan perda yang melarang aktivitas rentenir, namun pada kenyataannya rentenir tetap memilki celah untuk terus menjalankan usahanya. Ketiadaan penegakan hukum yang jelas terhadap rentenir juga turut menumbuh suburkan rentenir pada berbagai lapisan masyarakat. Keberadaan rentenir di Indonesia dianggap setengah legal karena transaksi diantara rentenir dan nasabah ada kesepakatan antara peminjam dengan pemilik uang. Tidak ada Undang Undang yang melarang aktivitas pinjam-meminjam uang yang disertai dengan bunga,terlebih lagi peminjaman uangoleh nasabah yang bergerak dibidang usaha kecil. Merujuk pada Keputusan Presiden RI Nomor 99 tahun 1998 tentang usaha kecil, bahwa pengertian usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dengan bidang usaha yang secara mayoritas merupakan kegiatan usaha kecil dan perlu dilindungi untuk mencegah dari persaingan usaha yang tidak sehat, makasalah satu bentuk dari usaha kecil dan menengah yang paling banyak jumlahnya adalah pedagang.Terlebih lagi pedagang di pasar tradisional. Berdasarkan data dari APKASI pada tahun 2012 secara keseluruhan jumlah pasar tradisional yang ada di Indonesia lebih dari 13.540 dan jumlah pedagang yang berjualan di pasar sebesar 12.625.000 orang. Suatu jumlah yang boleh dikata tidak kecil dalam menampung pengangguran. Pada pasar tradisional yang merupakan sebuah tempat bertemunya manusia dari berbagai jenis, dari berbagai ras, suku dan agama dapat bertemu dan berinteraksi di pasar, beragam profesi juga dapat ditemui di pasar. Berbagai macam produk mulai dari hasil bumi, perlengkapan rumah
tangga, barang-barang kerajinan semua dapat ditemui di pasar dan dijual dalam harga yang terjangkau. Namun pada saat ini keberadaan pasar tradisional dari tahun ke tahun sungguh sangat memprihatinkan. Angka pertumbuhannya terus mengalami penurunan, sehubungan dengan munculnya pasar modern yang tumbuh secara subur. Kalahnya saingan pedagang pasar tradisional dapat mengakibatkan hilangnya mata pencaharian bagi sebagian besar orang yang bergerak di sektor informal. Pada kondisi ini keberadaan pedagang pasar tradisional sudah semestinya mendapat perlindungan dan dukungan dari pemerintah baik berupa dana maupun pemberian pelatihan sehingga dapat menambah kualitas dari pedagang itu sendiri. Pada kenyataannya pemerintah masih memandang sebelah mata; dan kalaupun ada dukungan selama ini, paling banter hanya merehab pada penataan bangunan phisik,belum menyentuh pada bantuan modal bagi pedagang-pedagang yang hanya bermodal kecil yang rentan terhadap persaingan yang tidak sehat dan kebangkrutan. Dengan kondisi yang serba kekurangan dan tanpa adanya bantuan pemerintah, para pedagang pasar harus berjuang sendiri untuk usahanya dan salah satu jalan yang ditempuh adalah dengan meminjam modal pada orang lain atau Rentenir untuk membuka usaha karena modalnya sendiri kurang. Beberapa pandangan mengenai rentenir dapat disaksikan melalui media massa yang sebagian besar memberikan tanggapan lebih banyak mengenai sisi negatif rentenir terutama selama aktivitasnya di pasar. Dalam beberapa berita mengatakan bahwa keberadaan rentenir perlu diwaspadai bahkan jika perlu dibasmi oleh pemerintah daerah atau badan khusus. Tidak hanya itu saja bank-bank rakyat juga aktif dalam menanggulangi aktivitas rentenir dengan berbagai cara salah satunya adalah dengan memberikan pengertian dan penjelasan kepada para pedagang di pasar, bahwa meminjam dari rentenir justru akan merugikan pedagang karena bunga yang diberikan oleh rentenir terlalu tinggi. Dalam praktiknya juga ditemukan beberapa rentenir
yang menggunakan strategi tertentu untuk menarik nasabah, salah satunya adalah dengan membentuk koperasi, walaupun begitu aksi rentenir berkedok koperasi ini mulai diawasi oleh pemerintah, bahkan akan ditindak tegas. Keberadaan rentenir dalam masyarakat bagaikan dua sisi mata uang, rentenir bagi sebagian orang dianggap sebagai orang yang jahat karena secara tidak langsung menghisap uang dari rakyat kecil, tetapi bagi sebagian orang yang membutuhkannya seperti para pedagang di pasar keberadaan rentenir justru sangat dibutuhkan karena rentenir dianggap sebagai penyelamat ketika orang-orang membutuhkan dana dengan cepat, walaupun pada akhirnya harus mengembalikan disertai dengan bunganya. Pandangan mengenai rentenir juga beragam walaupun sebagian besar pandangan ,menilai negatif profesi rentenir, dari masyarakat awam sampai ahli mempunyai pandangan tersendiri mengenai rentenir. Bagi sebagian orang keberadaan rentenir banyak memberikan kerugian terutama pada pedagang di pasar karena memberikan kerugian pada pedagang, karena bunga yang diberikan oleh para rentenir kepada pedagang terlalu tinggi, terlebih keuntungan yang dihasilkan pedagang pasar tidak terlalu banyak sehingga membuat usaha pedagang susah mengalami kemajuan. Rentenir bagi sejumlah pedagang pasar bak seperti Dewa Penolong atas keterbatasan modal yang dimiliki pedagang pasar. Hanya bermodalkan trust antara pedagang dan rentenir,dalam waktu tidak berselang lama pinjaman modal sudah ada ditangan pedagang pasar. Dalam penelitian ini yang menjadi Objek penelitian adalah pedagang dan rentenir yang terdapat di pasar tradisional. Lokasi pasar tradisional yang dipilih adalah Pasar Tradisional Kolombo yang terletak di Jalan kaliurang km 7. Pelanggan dari pasar tradisional ini pada umumnya adalah orang-orang yang tinggal di sekitar jalan kaliurang.,meskipun ada sejumlah pembeli yang datang dari Monjali maupun dari sekitar Gejayan. Seorang ibu dari monjali yang sering membeli di
Pasar Kolombo (bu Desy) mengatakan :”Belanja di Pasar Kolombo lebih murah di banding belanja di pasar Kranggan”.Demikian juga pernyataan bu Kasilah dari Gejayan: “Saya sudah kadungpunya pelanggan pedagang di Pasar Kolombo ini,walaupun rumah agak jauh di gejayan,tapi rasanya senang kalau ketemu dengan ibu-ibu atau simbok-simbok langganan saya”. Peneliti memilih Pasar Kolombo yang dipilih sebagai lokasi penelitian dikarenakan dari beberapa pasar tradisional yang telah diamati oleh peneliti sebelumnya, Pasar Kolombo yang terletak di Jalan Kaliurang km 7 ini paling banyak terdapat aktivitas rentenir selain itu rentenir yang ada di Pasar Kolombo lebih beragam karena teradapat etnis Jawa, China dan Batak yang bekerja menjadi rentenir, selain itu rentenir yang ada di Pasar Kolombo lebih kasat mata sehingga menjadi ketertarikan sendiri bagi peneliti dan lebih memudahkan untuk melakukan penelitian selain juga berdasarkan atas lokasinya yang dekat dari rumah peneliti sehingga memudahkan dalam melakukan penelitian. Pada tahun 2012 Pasar Kolombo direnovasi oleh pemerintah daerah Sleman, pasar ini tidak hanya direnovasi fisik, akan tetapi juga dilakukan penataan ruangan/clustering supaya pasar Kolombo semakin tertata dan nyaman untuk ke depannya. Hal ini dilakukan untuk menambah daya saing pasar tradisional tersebut terhadap persaingan yang semakin ketat dengan semakin menjamurnya pasar-pasar modern yang banyak bermunculan di sekitar jalan kaliurang. Saat ini pasar tradisional kolombo menempati lahan seluas 5.413m2 dan pedagang yang berjualan dalam pasar tersebut sebanyak 676 orang termasuk diantaranya yang berjualan di kios maupun los. Pasar Kolombo merupakan salah satu pasar tradisional yang ramai dengan kegiatan jual-beli yang berlangsung antara pedagang dan pembeli bahkan bisa berlangsung sampai siang
hari. Keramaian Pasar Kolombo ini disebabkan oleh letaknya yang strategis yaitu di pinggir jalan besar, Jalan Kaliurang sehingga orang dapat dengan sangat mudah mengaksesnya. Kegiatan yang berlangsung di Pasar Kolombo tidak hanya kegiatan jual-beli antara pedagang dan pembeli, tetapi yang juga menarik perhatian adalah kegiatan yang terjadi antara pedagang dan rentenir. Dalam beberapa kesempatan mengunjungi Pasar Kolombo telihat beberapa interaksi yang terjadi antara rentenir dan pedagang. Pada umumnya persepsi sebagian besar masyarakat menganggap sosok rentenir sebagai Lintah Darat yang mencengkeram nasabahnya,akan tetapi hal ini tidaklah benar sepenuhnya. Performance rentenir-rentenir yang dijumpai di Pasar Kolombo berpenampilan seperti orang biasa pada umumnya, ada yang lelaki paruh baya, ibu-ibu bahkan anak muda ada yang sudah menjadi rentenir. Ciri-ciri rentenir yang paling mencolok yang dapat ditemui di Pasar Kolombo adalah menggunakan tas kecil, menenteng buku catatan kecil yang biasanya diselipkan sejumlah uang, lalu bolpoin untuk mencatat uang dari pedagang yang mengangsur atau meminjam baru. Cara yang digunakan rentenir-rentenir tersebut dalam menarik uang dari para pedagang di pasar juga tidak seperti penggambaran yang dengan kasar apalagi sampai memaksa mengembalikan uang, para rentenir biasanya menghampiri para pedagang lalu bercakap-cakap sebentar kemudian baru setelah itu menarik uang dari pedagang, bahkan dalam beberapa kesempatan beberapa rentenir yang terlihat di pasar kolombo menyapa dengan ramah para pedagang terlebih dahulu.Rentenirpun menampilkan dirinya sebagai sosok yang ramah,bahkan yang belum lunaspun malah sudah ditawari pinjaman lagi (terutama bagi nasabah yang dikenal tertib dalam pembayaran pinjaman).Suatu cara untuk menciptakan ketergantungan pada nasabahnya. Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik kepada kehidupan para rentenir tersebut dalam kesehariannya, ketertarikan tersebut lebih didorong oleh keingintahuan kehidupan
pribadi para rentenir tersebut dan bagaimana persepsi para pedagang tentang keberadaan rentenir di Pasar Kolombo. Walaupun lebih memfokuskan mengenai relasi yang muncul antara rentenir dengan
pedagang
dan
cara
atau
strategi
para
rentenir
dalam
mempertahankan
pelanggan/nasabahnya. Alasan memilih lokasi pasar kolombo karena operasi rentenir di pasar tersebut lebih kasat mata dan banyak (dibanding sewaktu observasi di pasar Kranggan dan PASTY), bahkan di Pasar Kolombo ini ada pengelompokan rentenir (Jawa,batak,dan cina) dengan nasabah binaan masing masing, sehingga menjadikan hal ini tertarik untuk diteliti. Setelah beberapa kali melakukan pengamatan di Pasar Kolombo,dan melakukan wawancara dengan beberapa pedagang dan tukang parkir mengenai rentenir, terdapat tiga jenis rentenir berdasarkan etnisnya yaitu Jawa, Batak dan Cina. Dari hasil wawancara tersebut etnis Jawa yang menjadi rentenir mempunyai pekerjaan sambilan berdagang juga di pasar tersebut, sedangkan etnis China murni hanya bekerja sebagai rentenir, dan rentenir etnis Batak menjadi rentenir tetapi juga memiliki koperasi. Sebagian besar rentenir yang beroperasi di Pasar Kolombo tidak tinggal di wilayah di sekitar Kolombo, kebanyakan tinggal jauh dari pasar, hanya etnis Batak saja yang tinggal di dekat pasar dengan cara kos atau tinggal di rumah kontrakan. Bunga yang diberikan dari rentenir kepada pedagang cukup tinggi sekitar 10-20% dan tidak ada batas waktu pengembalian uang.
Dalam beberapa kasus yang jarang ditemui pernah ada
pedagang yang tidak sanggup membayar karena utangnya sudah terlalu banyak sehingga memilih untuk kabur dan tidak berjualan lagi di Pasar Kolombo. Untuk menganalisa permasalahan tersebut maka peneliti akan menganalisanya dengan menggunakan teori keterlekatan yang dikemukakan oleh Granovetter. Keterlekatan menurut Granovetterdalam Damsar (2009:139-140) merupakan tindakan ekonomi yang disituasikan secara sosial dan melekat (embedded) dalam jaringan personal seseorang yang sedang
berlangsung di antara para aktor. Teori ini dipilih dikarenakan peneliti ingin mengetahui interaksi yang muncul antara rentenir dan pedagang di pasar dan seberapa kuat interaksi tersebut, pertanyaan ini muncul karena selamaini rentenir dianggap sebagai masalah yang tidak kunjung usai, dan berbagai pihak berusaha untuk mengatasinya, tetapi keberadaan rentenir tetap terus ada. Untuk itulah teori ini dipilih karena dapat memahani secara mendalam dan menganalisisnya dengan konsep keterlekatan. Berdasarkan hasil pengamatan ternyata di Pasar Kolombo ada tiga etnis yang bekerja sebagai rentenir, maka teori keterlekatan oleh Granovetter ini digunakan untuk menganalisa hubungan yang terjadi antara pedagang dan rentenir.
B.Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang dan gambaran singkat tersebut maka rumusan masalahnya adalah: Bagaimana keterlekatan yang terbentuk antara rentenir dan pedagang di Pasar Kolombo dikaitkan dengan etnisitas, sosial dan ekonomi ?
C.Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1) Secara langsung melihat hubungan yang terbentuk antara rentenir dan pedagang pasar 2) Untuk menjelaskan pola keterlekatan yang terbentuk antara rentenir dan pedagang di pasar tradisional Kolombo 3) Untuk melihat perubahan keterlekatan antara rentenir dan pedagang dulu dan sekarang
D.Manfaat Penelitian Bagi peneliti, memperluas wawasan lebih mengenai situasi di pasar dan aktor-aktor yang berperan di dalamnya serta mendalami keterlekatan antara rentenir dan pedagang Bagi akademisi, penelitian ini dapat dijadikan sebagai tambahan referensi mengenai rentenir, terutama tentang strategi dan cara yang diterapkan rentenir dalam mempertahankan pelanggan. Bagi masyarakat, untuk menambah wawasan dan persepsi masyarakat bahwa rentenir tidaklah selalu buruk ada sisi positif dari keberadaan rentenir yang dapat berguna bagi masyarakat yang bergerak di bidang usaha kecil.
E.Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai pedagang pasar dan renternir di pasar tradisional bukan pertama kali ini dilakukan. Jauh sebelumnya sudah ada beberapa penelitian berupa skripsi maupun tesis yang dilakukan untuk melihat hubungan yang terbentuk antara rentenir dan pedagang di pasar tradisional. Penelitian-penelitian tersebut berasal dari program studi yang berbeda-beda sehingga membrikan berbagai sudut pandang mengenai hubungan dan aktivitas yang terjadi di pasar tradisional.
Penelitian mengenai rentenir dan pedagang pernah dilakukan sebelumnya oleh Anisa (2013) dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga yang berjudul Rentenir dan Pedagang Muslim yang berlokasi di Pasar Kotagedhe. Penelitian ini memfokuskan pada bagaimana pola interaksi yang terbentuk antara pedagang muslim dan rentenir serta metode- mdetode apa saja yang digunakan oleh para rentenir dalam mempertahankan pelanggannya dimana rentenir sekarang ini harus bersaing dengan pinjaman-pinjaman yang ditawarkan bank-bank konvensional. Hasil dari penelitian ini mengenai interaksi dan strategi rentenir ini adalah rentenir menarik nasabah dengan cara yang menarik yaitu dengan mengobrol dan bersimpati kepada pedagang pasar, sedangkan untuk mempertahankan nasabahnya rentenir memberikan banyak flesibilitas seperti kelonggaran batas waktu pengembalian uang sehingga pedagang tetap merasa nyaman tanpa ada paksaan untuk mengembalikan uang. Studi selanjutnya mengenai rentenir berjudul Profil Praktik Pelepas Uang/Rentenir dalam Masyarakat Transisi yang dilakukan di daerah Kartasura, Kabupaten Sukoharjo olehDimyati (1997) dari Universitas Diponegoro. Fokus penelitian ini adalah mengenai profil rentenir itu sendiri. Hasil dari penelitian ini adalah rentenir dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu rentenir yang melakukan pekerjaannya secara terbuka dan rentenir yang melakukan pekerjannya secara sembunyi-sembunyi. Selain itu penelitian ini juga menemukan tingginya tingkat ketergantungan nasabah terhadap pinjaman sehingga susah untuk lepas dari jeratan rentenir, tingginya tingkat ketergantungan ini disebabkan karena rentenir sudah mempunyai ikatan batin yang kuat terhadap nasabah, sehingga mekanisme pinjam-meminjam uang menjadi luwes dan mudah bagi nasabahnya. Studi berikutnya adalah penelitian mengenai dampak rentenir terhadap pasar tradisional. Penelitian ini dilakukan di pasar tradisonal yang berada di Kecamatan Agam, Sumatera Barat
oleh Juwita (2009) yang berjudul Dampak Pinjaman
Rentenir terhadap Kesejahteraan
Pedagang Pasar Tradisional dalam Tinjauan Ekonomi Islamdari Insititut Agama Islam Negeri Imam Bonjol Padang. Dalam penelitian ini lebih menekankan pada pengaruh yang diberikan rentenir terhadap pasar tradisional yang antara lainnya melihat dampak positif dan negatif terkait keberadaan rentenir terhadap kesejahteraan pedagang di pasar tradisional, penelitian ini juga melihat tingkat kesejahteraan dari para pedagang yang meminjam uang pada rentenir dan yang tidak meminjam uang. Heru Nugroho dalam bukunya yang berjudul Uang, Rentenir dan Hutang Piutang di Jawa (2001:146)sebagian besar pedagang di pasar tradisional yang berhutang masih mengandalkan jasa rentenir walaupun juga sudah ada bank yang memberikan layanan kredit. Hal ini dikarenakan meminjam dari rentenir lebih mudah dan cepat daripada meminjam lewat bank karena prosedur yang sulit dan berbelit-belit. Bunga yang diberikan para rentenir tersebut kepada para nasabahnya juga cukup tinggi antara 10-20 persen.Nasabah dari rentenir juga tidak terbatas hanya pedagang di pasar tradisional, selain pedagang masih ada beragam profesi lain yang menggunakan jasa rentenir seperti pegawai negeri maupun petani yang sebagian besar adalah masyarakat dari kelas bawah. Para nasabah yang meminjam uang dari rentenir memiliki tujuan yang berbeda tergantung dari profesinya, misalnya untuk pedagang di pasar meminjam uang dari rentenir dengan maksud untuk modal usaha atau membeli barang yang akan dijual sedangkan untuk pegawai negeri dan petani meminjam uang untuk keperluan sehari-hari dan konsumsi. Pada umumnya orang-orang yang meminjam uang dari rentenir adalah orang-orang yang merupakan masyarakat kelas bawah dan sebagian besar berpendidikan rendah seperti lulusan SMP atau SMA, sedangkan rentenir sendiri pada umumnya adalah masyarakat kelas menegah ke atas dengan modal yang cukup besar. Dalam buku tersebut juga dijelaskan (2001:137) profesi
sebagai rentenir tidaklah murni sebagai rentenir,ada sebagian besar orang tersebut memang bekerja sebagai rentenir, akan tetapi ada pula profesi rentenir hanyalah sebagai pekerjaan sampingan. Bagi orang-orang yang berprofesi
rentenir sebagai sampingan/samben (karena
pekerjaan utamanya pedagang) hasil yang diperoleh dari meminjamkan uang tersebut hanya sebagai tambahan penghasilan, sedangkan bagi orang-orangyang menjadikan rentenir adalah pekerjaan utama maka hasilnya akan jauh lebih banyak. Bagi sebagian orang yang terjun menjadi rentenir awalnya tidak ada niatan untuk mencari uang dengan menjadi rentenir, tetapi karena banyak orang yang meminjam uang dan mengembalikan dengan tambahan bunga yang besar kepada orang tersebut, maka orang tersebut kemudian tergiur untuk menjadi rentenir karena keuntungan yang ditawarkan dari pekerjaan tersebut cukup besar dan menjanjikan. Berdasarkan beberapa penelitian mengenai rentenir dan pedagang di pasar tradisional belum ada yang secara khusus memfokuskan kepada tindakan ekonomi yang melekat pada hubungan yang terbentuk antara rentenir dan pedagang, selain itu dalam penelitian ini keterlekatan tersebut juga akan dikaitkan dengan etnisitas yang terdapat pada rentenir dan pedagang, apakah etnisitas berpengaruh pada tindakan ekonomi yang dilakukan oleh rentenir dan pedagang atau justru tidak ada pengaruh. Dalam tinjauan pustaka terdapat penelitian-penelitian sebelumnya yang juga mengambil subjek rentenir. Penelitian-penelitian tersebut berupa skripsi dan tesis yang telah dilakukan beberapa tahun sebelumnya dan berlokasi di beberapa daerah di Indonesia. Penelitian tersebut belum berlangsung lama karena sebagian besar dilakukan pada tahun 2000an ke atas sehingga masih relevan digunakan sebagai bahan tinjauan pustaka. Sebagian besar dari penelitian tersebut berfokus pada interaksi dan dampak rentenir terhadap perkembangan ekonomi masyarakat di pasar. Walaupun mempunyai tema yang hampir mirip tetapi ada beberapa perbedaan antara
penelitian yang sedang dilakukan ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Selain berbeda lokasi karena sebagian penelitian tersebut dilakukan di luar Jawa, juga terdapat perbedaan fokus penelitian. Penelitian yang pertama berjudul Rentenir dan Pedagang Muslim (2013) oleh Anisa. Perbedaan dengan penelitian ini adalah penelitian yang tengah dilakukan ini tidak memfokuskan interaksi hanya antara rentenir dan pedagang muslim. Memang di dalamnya juga menjelaskan dorongan pedagang untuk meminjam atau tidak meminjam uang pada rentenir. Pedagang yang tidak meminjam uang kepada rentenir lebih dikarenakan ada larangan agama dan juga larangan oleh keluarga, yang datang dari keluarga muslim. Sedangkan persamaan yang terdapat dalam dua penelitian ini adalah, keduanya sama-sama menjelaskan tentang stratregi yang digunakan oleh para rentenir untuk menarik minat para pedagang pasar, yaitu dengan menggunkana simpati atau mengobrol. Walaupun begitu dalam penelitian Anisa tidak dijelaskan secara lebih mendetail mengenai rentenir dari kelompok atau etnis tertentu yang menggunakan strategi tertentu dalam menciptakan ketergantungan kepada para pedagang pasar. Penelitian selanjutnya berjudul Profil Praktek Pelepas Uang/Rentenir dalam Masyarakat Transisi (1997) oleh Dimyati. Hasil dari penelitian yang dilakukan di daerah Kartasura ini adalah pembagian rentenir menjadi dua jenis yaitu rentenir yang melakukan pekerjaannya secara terbuka dan rentenir yang melakukan pekerjaannya secara sembunyi-sembunyi. Penelitian ini juga menemukan adanya tingkat ketergantungan yang tinggi antara pedagang pasar dengan para rentenir karena adanya ikatan batun yang kuat sehingga kegiatan pinjam-meminjam uang dapat berjalan dengan luwes. Persamaan yang terdapat dalam penelitian yang tengah dilakukan ini adalah sama-sama menemukan adanya tingkat ketergantungan yang kuat antara pedagang dan rentenir, sehingga membuat pedagang sulit untuk tidak meminjam lagi kepada rentenir.
Sedangkan perbedaannya adalah dalam penelitian yang tengah dilakukan ini tidak ditemukan adanya pembagian rentenir menjadi terbuka dan sembunyi-sembunyi, dikarenakan rentenir yang ada di Pasar Kolombo, bekerja secara terbuka, sehingga semua orang di pasar tahu tentang keberadaan rentenir tersebut. Penelitian yang ketiga berjudul Dampak Pinjaman Rentenir terhadap Kesejahteraan Pedagang Pasar Tradisional dalam Tinjauan Ekonomi Islam (2009) oleh Fajar Hari Juwita. Fokus dari penelitian ini lebih menekankan pada ekonomi para pedagang, yang diantara lainnya dampak positif dan negatif terkait keberadaan rentenir terhadap kesejahteraan pedagang di pasar tradisional. Penelitian ini juga melihat tingkat kesejahteraan antara pedagang yang tidak meminjam uang dan pedagang yang meminjam uang kepada rentenir. Perbedaan dalam penelitian ini adalah penelitian yang tengah dilakukan ini tidak memfokuskan pada faktor dan dampak ekonomi tentang keberadaan rentenir terhadap kesejahteraan di pasar. Walaupun memang ada dijelaskan mengenai faktor ekonomi yang membuat pedagang meminjam uang pada rentenir, tetapi tidak dijelaskan dampak rentenir terhadap kesejahteraan pedagang di pasar. Penelitian yang terakhir sebagai tinjauan pustaka berjudul Rentenir, Uang dan Utang Piutang di Jawa (2001) oleh Heru Nugroho. Perbedaan antara penelitian ini adalah dalam penelitian ini dalam penelitian Heru Nugroho ini lebih menjelaskan mengenai arti uang dalam masyarakat yang tidak hanya sekedar alat hitung dan penukaran saja tetapi sebagai symbol kekuasaan yang dapat dimiliki secara personal. Selain itu juga menjelaskan bagaimana rentenir dapat berperan sebagai agen penyedia uang instan bagi masyarakat yang sedang kekurangan uang dan membutuhkannya dengan cepat. Sedangkan dalam penelitian yang tengah dilakukan ini tidak berfokus ada peran rentenir dalam masayarakat Jawa, tetapi lebih kepada keterlekatan antara rentenir dengan pedagang pasar dikaitkan dengan etnisitas. Hal ini dikarenakan rentenir di
Pasar Kolombo lebih beragam, karena selain renteinir Jawa juga terdapat rentenir Batak dan China yang jumlahnya cukup banyak, sehingga turut memberikan warna tertentu terhadap aktivitas di pasar.
F. Kerangka teori Dalam penelitian ini teori yang digunakan adalah teori dalam sosiologi ekonomi yaitu teori keterlekatan (embeddednes) yang di kemukakan oleh Granovetter. Keterlekatan menurut Granovetter( dalam Damsar 2009:139-140) merupakan tindakan ekonomi yang disituasikan secara sosial dan melekat (embedded) dalam jaringan personal seseorang yang sedang berlangsung di antara para aktor.Dalam sosiologi ekonomi, Granovtter kemudian juga membagi dua yaitu oversocialized danundersocialized, dalamoversocializedGranovetter berpendapat bahwa tindakan ekonomi yang berdasarkan kultural pada aturan dari nilai dan norma yang sudah diinternalisasi, sedangkan dalam undersocialized berpendapat bahwa tindakan ekonomi yang rasional hanya berfokuskan kepada keuntungan individual (self-interest). Dalamoversocialized tindakan ekonomi yang dilakukan tidak akan terlepas oleh adanya nilai, norma , aturan , maupun adat-istiadat yang sudah terinternalisasi pada diri individu. Nilai dan norma yang sudah terinternalisasi tersebut akan menjadi pertimbangan bagi individu tersebut dalam melakukan kegiatan ekonomi. Keuntungan tetap diutamakan, tetapi keuntungan yang di dapat tidak terlepas dari nilai dan norma yang dianut individu tersebut. Berbeda dengan oversocialized, dalam pandangan undersocialized menganggap bahwa dalam tindakan ekonomi lebih mengedepankan pada keuntungan individu semata, walaupun itu harus melanggar nilai dan norma yang individu
tersebut sudah lama dianut. Dalam pandangan ini individu akan berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan keuntungan, dan sekecil apapun kerugian harus dihindari. Walaupun begitu Granovetter tidaklah begitu setuju dengan adanya pembagian jenis keterlekatan ini, menurutnya keterlekatan ini tidaklah benar-benar terpisah, karena pada kenyataannya antara oversocialized danundersocialized keduanya saling beririsan.Pada kenyataannya keduanya saling berhubungan, misalnya seorang pedagang yang fokus pada self-interested semata tetap perlu melihat nilai dan norma yang ada di masyarakat, karena jika tindakan ekonomi yang dilakukan terlalujauh dari nilai dan norma yang berlaku di masyarakat, maka banyak pelanggan yang akan meninggalkannya. Sedangkan pedagang yang sudah melekat dengan nilai, norma maupun adat setempat juga perlu memperhitungkan strategi-strategi untuk dapat meraih keuntungan, karena tanpa adanya strategi dalam mencari keuntungan maka usaha pedagang tersebut dapat mengalami stagnasi atau bahkan bangkrut. Teori keterlekatan tidak hanya terkenal dikemukakan oleh Granovetter saja tetapi jika melihat lebih jauh lagi ke belakang, teori keterlekatan sudah lebih dahulu dikenalkan oleh Karl Polanyi (dalam Damsar2009:142-143). Teori keterlekatan yang dikenalkan oleh Karl Polanyi berbeda dengan teori keterlekatan yang dikeluakrkan oleh Granovetter. Menurut Karl Polanyi, keterlekatan yang muncul dalam tindakan ekonomi dibagi menjadi dua, keterlekatan dalam masyarakat pra industri dan ketidaklekatan dalam masyarakat modern. Keterlekatan yang ada pada masyarakat industri muncul karena pasar pada masa itu tidak hanya memfokuskan pada keuntungan semata, hal ini karena tindakan ekonomi yang berlangsung pada saat itu melekat pada masyarakat, dan tindakan ekonomi pada masa itu mendapat banyak pengaruh dari aspek sosial dan politik. Ketidaklekatan yang muncul belakangan muncul pada masa masyarakat modern, ini dikarenakan pada masa itu munculsemacam logika dimana pasar maupun tindakan
ekonomi yang lainnya tidak melekat pada masyarakat. Hal ini disebabkan karena ekonomi yang muncul atas dasar pasar melepaskan diri dari institusi-institusi sosial dan mengatur dirinya sendiri, dimana tindakan ekonomi yang muncul pada masa itu lebih mengutamakan pada keuntungan ekonomi yang maksimum. Dengan seiring perkembangan teori ini, kemudian lahirlah teori-teori keterlekatan yang dikembangkan oleh para ahli, beberapa menyatakan ketidaksetujuannya atas teori keterlekatan yang dikemukakan oleh Karl Polanyi. Beberapa ahli yang tidak setuju dengan teori keterlekatan yang dikeluarkan oleh Karl polanyi adalah Swedberg dan Granovetter. Menurut kedua ahli tersebut, teori keterlekatan Karl Polanyi kurang sesuai dengan keadaan pada kenyataannya. Keduanya menyatakan bahwa ketidaklekatan yang muncul pada masyarakat modern tidak sepenuhnya terlepas dari jaringan dan institusi sosial, hal ini karena pada kenyataannya tindakan ekonomi yang terjadi dalam masyarakat melekat pada berbagai intistusi sosial seperti agama, pendidikan, sosial, keluarga dan politik dengan begitu walaupun masyarakat mengalami perubahan dari tahapan masyarakat praindustri menuju pada tahapan masyarakat modern tetapi tindakan ekonomi yang muncul selalu menunjukan adanya keterlekatan-keterlekatan. Menurut Granovetter dan Swedberg keterlekatan yang muncul pada tindakan ekonomi lebih cocok jika dibagi menjadi keterlekatan lemah dan keterlekatan kuat. Kuat atau lemahnya keterlekatan yang muncul pada tindakan ekonomi, dapat dilihat bergantung darimana pilihan yang diambil oleh pelaku dalam tindakan ekonomi tersebut. Semakin besar interaksi yang muncul pada tindakan ekonomi maka keterlekatan yang muncul akan semakin kuat, sebaliknya jika tindakan ekonomi yang diambil oleh pelaku interaksinya semakin kecil atau bahkan tidak ada interaksi maka keterlekatan yang adalah keterlekatan yang lemah.Sebagai contohnya jika seseorang yang akan membeli minuman kaleng, orang tersebut dapat memilih membeli minuman kaleng di warung
atau mesin penjual. Jika orang tersebut memilih membeli pada mesin penjual maka orang tersebut tidak akan berinteraksi, maka keterlekatan yang muncul lemah, keterlekatan tersebut akan menjadi lebih kuat jika pada saat orang tersebut membeli minuman kaleng di mesin penjual bertemu dengan orang lain yang dikenalnya atau tidak dikenalnya dan kemudian saling berkomunikasi maka akan memunculkan interaksi. Hal sebaliknya jika orang tersebut memilih untuk membeli minuman kaleng di warung maka orang tersebut tentunya akan berinteraksi dengan penjual warung, saling menyapa, menanyakan kabar masing-masing atau jika orang itu sudah mengenal lama penjual warung maka akan terjadi komunikasi yang lebih intens dan dalam, dengan begitu keterlekatan yang muncul akan menjadi kuat. Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan teori hanya pada keterlekatan oversocialized dan undersosialized, dengan begitu peneliti ingin mendalami keterlekatan yang muncul antara rentenir dan pedagang apakah keterlekatan yang muncul lebih pada alasan keuntungan semata atau kah masih ada nilai dan norma yang muncul dalam hubungan rentenir dan pedagang di pasar kolombo.
G. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Menurut Stake ( 2010:11) kualitatif adalah di mana pengalaman pribadi, intuisi, dan bekerja skeptisisme bersama satu sama lain untuk membantu menyempurnakan teori dan eksperimen. Bahkan pemahaman ini kadangkala
menjelaskan adanya model yang
kesemuanya itu tergantung pada pengalaman personal (Stake 2010: 48) Dengan kata lain kualitatif bisa berarti bahwa hal itu bergantung terutama pada persepsi manusia dan pemahaman.
Beberapa ciri –ciri dari penelitian kualitatif adalah lebih mengutamakan proses daripada hasil, oleh sebab itulah metode ini cocok untuk penelitian ini dan diharapkan dengan memakai metode penelitian kualtitatif dapat menjelaskan proses hubungan keterlekatan yang terbentuk antara rentenir dan pedagang. Selain itu penelitian kualitatif merupakan penelitian yang deskriptif, sehingga segala peristiwa yang terjadi direkam dan dicatat oleh peneliti untuk nantinya menjadi informasi yang lengkap, karena semua informasi yang didapat dari informan dapat menjadi kunci untuk menjadi jawaban dari penelitian. Untuk mendapatkan hasil penelitian, peneliti menggunakan metode kualitatif etnografis. Menurut Spradley (2006:13) Etnografi adalah suatu kebudayaan yang mempelajari kebudayaan lain. Etnografi bermakna untuk membangun suatu pengertian yang sistemik mengenai semua kebudayaan manusia dari perspektif orangyang telah mempelajari kebudayaan itu. Sedangkan menurut Emzir ( 2008 : 143) etnografi adalah suatu bentuk penelitian yang berfokus pada makna sosiologi melalui observasi lapangan tertutup dari fenomena sosiokultural. Menurut Frey,et all (dalam Mulyana 2002 :161-162) etnografi digunakan pula untuk meneliti perilaku manusia dalam lingkungan spesifik. Peneliti etnografi berusaha menangkap sepenuh mungkin berdasarkan perspektif orang yang diteliti. Dalam hal ini perspektifnya rentenir dengan pedagang sebagai nasabah.
Kelebihan etnogafi Kelebihan dari etnografi ini salah satunya adalah kedalamannya. Ini dikarenakan peneliti yang menggunakan metode etnografi melakukan penelitian dalam waktu yang lama, intensif dan terlibat langsung dengan kehidupan sehari-hari obyek yang diteliti, sehingga peneliti dapat merekam dan menggambarkan secara dalam obyek yang ditelitinya. Kelebihan lainnya adlaah
data yang dihasilkan sangat valid karena peneliti mendapatkan data dari sumber utama dan terlibat langsung dalam aktivitas masyarakat tersebut. Dengan menggunakan etnografi juga membantu kemampuan berinteraksi peneliti, karena mau tidak mau memerlukan kemampuan bersosialisasi yang tinggi. Kelemahan etnografi Salah satu kelemahan terbesar menggunakan etnografi adalah penelitian ini membutuhkan waktu yang lama, selain lama dalam mengumpulkan data penelitian, etnografi juga memerlukan waktu yang lama dalam melakukan analisis. Kelemahan lainnya adalah peneliti yang menggunakan etnografi memerlukan kemampuan bersosialisasi yang tinggi karena peneliti masuk ke dalam lingkungan dan kebudayaan baru, sehingga perlu adaptasi dan banyak melakukan interaksi dengan masyarakat yang diteliti. Jika kemampuan bersosialisasi peneliti kurang maka sangat susah dalam mendapatkan data dalam penelitian. Peneliti yang menggunakan etnografi juga perlu menguasai betul kebudayaan atau masyarakat yang akan ditelitinya,hal ini supaya peneliti sudah memiliki gambaran mengenai obyek penelitiannya. Selain itu peneliti juga dapat mengalami perubahan kebudayaan karena lama tinggal dan berinteraksi dengan masyarakat lain, sehingga perlu penyesuaian pada saat kembali ke tempat asalnya.
Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif.Hal ini dikarenakan penelitan ini bertujuan untuk menggambarkan fenomena yang terjadi di lapangan dan menggambarkannya secara jelas dan
detail. Penelitian deskriptif bersifat mendeskripsikan proses yang terjadi dalam suatu fenomena di masyarakat dan menjelaskan siapa saja aktor-aktor yang terlibat dalam fenomena tersebut.
Sumber Data Penelitian Untuk mendapatkan informasi yang lengkap tentang data mengenai keterlekatan yang muncul antara pedagang(sebagai nasabah) dan rentenir maka diperlukan data dari sumber data primer dan data sekunder.
Data Primer Dalam pengumpulan datanya sudah menggunakan metode observasi (observation) dan wawancara. Langkah awal yang dilakukan peneliti adalah melakukan pengamatan di pasar Kolombo untuk mencermati pengelompokan rentenir berdasarkan etnisitas.. Pengamatan ini untuk melihat aktor-aktor yang berperan penting dalam keberlangsungan transaksi pinjam meminjam uang pada aktivitas di Pasar Kolombo, selain itu dengan peneliti berinteraksi dengan aktor-aktor pasar memudahkan peneliti untuk membaur dan memahami situasi di pasar. Pada minggu kedua peneliti memulai wawancara dengan informan awalnya adalah tukang parkir, setelah itu masuk ke pedagang lalu ke pedagang yang memiliki hubungan yang erat dengan rentenir. Rentenir menjadi informan terakhir karena pendekatan terhadap rentenir tidaklah mudah , membutuhkan kesabaran untuk melakukan pendekatan terlebih dahulu kepada orangorang yang dekat dengan rentenir,hal ini terkait dengan kata Rentenir itu sendiri.Pelaku
peminjaman uang ini tidak mau berterus terang sebagai rentenir,walau dalam prakteknya pelaku menjalankan praktek meminjami uang.
Data sekunder Data sekunder dalam penelitian ini sudah diperolah dengan cara mengumpulkan sumber-sumber yang berasal dari,hasil penelitian, rekaman maupun media online yang berkaitan dengan penelitian ini. Selain itu peneliti mencari data kepada paguyuban pedagang Pasar Kolombo yang digunakan untuk mempertajam analisis atas kelompok-kelompok rentenir dalam melengkapi data. Demikian juga dokumen-dokumen yang berkaitan dengan Pasar Kolombo didapatkan dari Paguyuban Pedagang Pasar Kolombo atau Dinas Pasar Sleman.
Teknik Pengumpulan Data a. Observasi
Observasi merupakan tahap awal yang dilakukan dalam penelitian ini dengan melakukan pengamatan terlebih dahulu tentang kondisi dan situasi Pasar Kolombo secara langsung, selain itu observasi ini juga digunakan untuk melihat perilaku yang muncul antara rentenir dan pedagang. Observasi merupakan langkah awal dalam mengumpulkan data, dengan menggunakan metode ini peneliti terlibat langsung dalam kegiatan di pasar.
Observasi dilakukan selama dua minggu sehingga dapat membiasakan dengan situasi di pasar dan untuk mengidentifikasi aktor-aktor yang berperan dalam aktivitas yang berlangsung di pasar. Observasi yang telah dilakukan berjalan selama empat bulan. Dalam empat bulan tersebut digunakan oleh peneliti untuk melihat situasi dan kondisi di pasar, termasuk di antaranya interaksi yang terjadi antar penghuni di pasar, jadwal kemunculan rentenir, maupun aktor-aktor yang berperan dalam perkembangan pasar.
b. Wawancara
Wawancara merupakan tahap pengumpulan informasi secara langsung pada aktor-aktor yang terlibat langsung di dalamnya. Wawancara
dilakukan setelah beberapa kali
observasi terhadap kondisi lapangan dan juga perilaku aktor-aktornya. Wawancara ini dilakukan sebagai langkah utama untuk mendapatkan informasi secara langsung untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan
dalam
rumusan
masalah.
Setelah
melakukan
pengamatan, wawancara dilakukan pada minggu kedua. Wawancara awalnya dilakukan dengan tukang parkir, setelah itu mulai masuk ke para pedagang yang ada di dalam pasar, dengan wawancara beberapa kali dengan pedagang akan memudahkan peneliti untuk secara tidak langsung mendekatkan dengan rentenir. Wawancara yang dilakukan bertujuan untuk mendapatkan data lengkap mengenai pedagang ( terutama yang meminjam uang pada rentenir ) dan aktivitas serta ciri-ciri rentenir di Pasar Kolombo. Wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti berhasil mewawancari 10 pedagang, 2 mindrink, 5 rentenir dan seorang pengelola pasar. Dalam
proses wawancara tersebut tidaklah mudah, karena terdapat beberapa kendala, salah satunya adalah informan yang menolak diwawancarai. Informan yang paling susah untuk dilakukan pendekatan adalah rentenir. Para rentenir cenderung menolak jika akan diwawancarai, bahkan ada beberapa yang curiga dan marah dalam pada saat akan diwawancarai.
c. Telaah Dokumen
Langkah ini dilakukan dengan cara menelaah dokumen-dokumen atau arsip yang diperoleh data dari Dinas Pasar Kabupaten Sleman, pengelola Pasar Kolombo, pejabat desa Condongcatur, internet, maupun artikel ataupun hasil penelitian yang terkait dengan kegiatan rentenir dan pedagang di Pasar Kolombo yang dijadikan bahan analisis bersama dengan data primer.
d. Proses Pengamatan dan Wawancara di Pasar Kolombo
Proses pengumpulan data berlangsung selama 4 bulan dari akhir April sampai pada awal Agustus. Pada awalnya peneliti melakukan pengamatan (observation) selama dua minggu untuk melihat dan memahami situasi pasar secara mendalam. Setelah dua minggu tersebut peneliti memulai wawancara. Sasaran wawancara adalah para pedagang pasar dengan target utama adalah pedagang yang sedang atau pernah meminjam uang pada rentenir. Pedagang-pedagang yang diwawancarai adalah pedagang sayur 3 orang, pedagang jajanan pasar 3 orang, pedagang bumbu dapur 2 orang, pedagang kerupuk 1
orang dan pedagang sembako 1 orang. Dalam melakukan wawancara peneliti tidak lantas masuk ke topik utama wawancara tetapi peneliti mencoba mendekati pedagang dengan cara bertanya harga-harga barang dagangan atau bahkan membeli. Setelah membeli peneliti kemudian bertanya mengenai identitas pembeli dan sedikit basa-basi lainnya. Setelah percakapan berlangsung cukup lama dan pedagang pasar mulai menunjukkan keterbukaannya, barulah masuk mengenai topik utama mengenai rentenir. Pertanyaan pertama yang diajukan peneliti adalah mengenai keberadaan rentenir di Pasar Kolombo. Kemudian masuk pada topik yang yang lebih mendalam, dengan tujuan untuk mengetahui detail dan pandangan pedagang mengenai rentenir. Wawancara kepada pedagang bisa dilakukan lebih dari satu kali, satu pedagang dapat diwawancarai dua sampai tiga kali. Ini dikarenakan terkadang wawancara tidak dapat berlangsung lama karena pedagang yang sedang sibuk mengurusi pembeli. Sasaran pedagang yang diwawancarai adalah pedagang yang berada di dalam pasar karena pedagang yang berada di dalam pasar adalah yang paling banyak bersinggungan dengan rentenir, dengan harapan dari sekian banyak pedagang yang diwawancarai ada beberapa yang meminjam uang dari rentenir.
Pada saat awal melakukan pengumpulan data di Pasar Kolombo, peneiti melakukan pengamatan terlebih dahulu mengenai keadaan pasar. Hal ini dilakukan supaya peneiti mendapat gambaran yang lengkap mengenai situasi social yang terjadi di Pasar Kolombo. Pengamatan berlangsung selama kurang lebih 2 minggu. Pada minggu berdua , peneliti melakukan wawancara terhadap pedagang pasar Kolombo. Awalnya peneliti mau mewawancarai pedagang yang ditunjukkan oleh orangtua temanketika
masih sama-sama sekolah di Sekolah Dasar,akantetapi setelah berkeliling pasar ternyata tidak ditemukan. Alkhirnya peneliti mencoba mendekati tukang parkir yang ada di parkiran yang terletak di halamanpasar sebelah barat. Pada saat itu peneliti menyakan mengenai keberadaan rentenir di Pasar Kolombo, kemudian tukang parkir itu mulai menjelaskan mengenai adanya rentenir di Pasar Kolombo, bahkan menurutnya rentenir di pasar tersebut termasuk yang paling banyak yang pernah beliau jumpai daripada pasarpasar lainnya. Ketika ditanya mengenai jumlah rentenir yang terdapat di Pasar Kolombo, tukang parkir tersebut tidak bisa menjawab dengan pasti jumlah rentenir yang ada, hanya saja beliau mengatakan jika jumlah rentenir banyak sampai puluhan. Tidak hanya itu tukang parkir tersebut juga menambahkan bahwa orang yang menjadi rentenir tidak hanya orang Jawa saja karena ada orang Batak dan juga Cina, bahkan menurutnya sekarang ini justru rentenir Bataklah yang jumlahnya paling banyak di pasar,sedangkan rentenir Jawa dan China jumlahnya semakin sedikit. Beberapa hari kemudian, peneliti melakukan pengamatan mengenai perubahan dan situasi yang terdapat di Pasar Kolombo. Pasar Kolombo sendiri sudah memiliki banyak perubahan setelah dilakukan renovasi. Pasar Kolombo sudah menjadi lebih nyaman dan bersih bagi pembeli, lorong-lorong di dalam pasar tidak lagi sempit oleh adanya barang dagangan yang dulu sering memenuhi lorong. Los basah yaitu los yang berisi dagangan ikan dan daging sapi juga sudah dipisahkan dan dibuatkan tempat khusus untuk berjualan yang terletak di pasar bagian utara. Selain mengamati perubahan fisik yang terjadi di Pasar Kolombo, peneliti juga melihat adanya perubahan situasi di pasar. Setelah pasar di renovasi sekarang sudah ada bank konvensional yang sudah masuk ke pasar. Bank konvensional tersebut adalah bank BRI yang membuka cabangnya di Pasar
Kolombo. Peneliti sempat bertanya kepada seorang pedagang toko kelontong yang letaknya tidak jauh dari bank BRI tersebut. Menurutnya pedagang pasar masih sedikit yang meminjam ke banktersebut dikarenakan prosedurnya yang berbelit-belit, selain itu menurutnya sebagian besar orang yang meminjam di bank tersebut adalah pembeli yang tinggal di sekitar Jalan Kaliurang. Peneliti juga sempat menanyakan mengenai keberadaan rentenir yang ada di Pasar Kolombo. Menurutnya jumlah rentenir yang ada di Pasar Kolombo banyak terutama rentenir Batak, tetapi rentenir Jawa dan Cina terus berkurang jumlahnya. Terutama rentenir Jawa berkurang sejak kalah bersaing dengan rentenir Batak dalam menarik calon nasabah. Minggu ketiga, tepatnya pada 12 Mei 2015peneliti mulai lebih intensif dalam mendekati pedagang di Pasar Kolombo. Hal ini dilakukan karena peneliti ingin mengetahui seberapa delat hubungan antara pedagang dan rentenir di pasar. Pada minggu sebelumnya memang sudah mulai mendekati pedagang tetapi belum intensif, hanya satu atau dua oran pedagang yang diwawancarai pada minggu tersebut. Kali ini ini peneliti akan lebih fokus dalam mendekati pedagang. Dalam melakukan pendekatan kepada para pedagang, peneliti tidak langsung bertanya seputar rentenir , tetapi lebih memilih untuk menggunakan pendekatan secara tidak langsung. Pada saat akan mendektai pedagang peneliti terlebih dahulu bertanya seputar barang dagangan yang dijual si pedagang kemudian membelinya. Selama proses terebut peneliti juga basa-basi sepputar kehidupan pedagang. Hal ini dilakukan supaya pedagang menjadi lebih rilkes dan terbuka dalam menjawab pertanyaan, setelah pedagang mulai terbuka dalam percakapan tersebut. Peneliti mulai masuk pada topic utama yaitu tentang keberadaan rentenir di pasar. Pedagang yang sudah mulai terbuka dalam menjawab pertanyaan tersebut kemudian
menceritakan secara cukup detail mengenai kehidupan para rentenir di pasar, seperti jumlah rentenir, besaran bunga yang ditetapkan setiap kelompok rentenir, pedagangpedagang yang sering meminjam uang, berapa lama waktu peminjaman. Walaupun begitu peneliti tidak lantas cukup mewawancarai satu atau dua pedagang, terutama karena pedagang-pedagang yang telah diwawancarai tersebut tidak kenal langsung dengan para rentenir, mereka hanya mendengar rentenir dari para pedagang yang meminjam uang dari rentenir. Di awal minggu ketiga peneliti tidak mengalami sejumlah kesulitan yang berarti, tetapi pada saat sudah memasuki akhir minggu banyak tantangan yang mulai muncul. Tantangan yang dihadapi pada saat itu adalah sulitnya menemukan pedagang yang mau memberikan informasi, terutama pedagang yang sudah pernah meminjam uang pada rentenir. Pada minggu ketiga peneliti sudah menemukan beberapa rentenir yang sering beroperasi di pasar. Walaupun begitu peneliti tidak lantas mewawancarai para rentenir tersebut karena belum memiliki strategi yang tepat dalam mendekati para rentenir tersebut. Peneliti mencoba untuk mengikuiti rentenir di pasar untuk melihat dan mengidentifikasi ciri-ciri rentenir dan kegiatan yang dilakukan rentenir selama di pasar. Peneliti pernah mengikuti dan mencoba mewawancarai seorang rentenir, setelah rentenir tersebut selesai berkeliling pasar dan menarik uang dari beberapa pedagang. Pada saat ditanya mengenai keberadaan rentenir di pasar, orang tersebut mengatakan bahwa dia tahu ada banyak rentenir di pasar, tetapi dia sendiri mengatakan bahwa dia sendiri bukanlah rentenir melainkan seorang mindrink. Orang tersebut tidak mau disebut rentenir karena rentenir dan mindrink menurutnya berbeda jauh. Rentenir adalah orang yang menawarkan pinjaman uang beserta bunga kepada para pedagang, sedangkan mindrink
adalah orang yang memberikan kredit barang yang sebelumnya telah dipesan oleh para pedagang. Setelah menjelaskan perbedaan antara rentenir dan mindrink, orang tersebut segera pergi meninggalkan pasar. Bagi peneliti, mindrink merupakan hal baru, karena sebelumnya belum mengetahui mengenai profesi tersebut di pasar. Kemudian peneliti mulai menempuh cara lain yaitu mendekati pedagang yang tidak pernah meminjam uang dengan rentenir tetapi kenal dekat dengan beberapa rentenir. Salah satunya adalah Bu Bejo yang merupakan pedagang jajanan pasar. Peneliti mendekati Bu Bejo dengan cara sering membeli tahu bakso yang menurutnya paling enak di Pasar Kolombo. Setelah sebulan menjadi pelanggan bakso tahu Bu Bejo, pada saat sedang berbincang-bincang dengan beliau, secara tiba-tiba Bu Bejo mengenalkan dengan seorang rentenir Jawa yang bernama Mbak Nunik. Sebenarnya Bu Bejo tidak pernah meminjam uang dari Mbak Nunik, tetapi sudah kenal sejak lama. Awalnya rentenir tersebut merasa bingung dengan keberadaan peneliti, tetapi setelah dijelaskan oleh Bu Bejo bahwa ada keperluan skripsi, maka Mbak Nunik bersedia untuk diwawancarai. Mbak Nunik merupakan seorang rentenir yang masih muda. Sekitar dua tahun yang lalu Mbak Nunik adalah pedagang sayur dipasar, tetapi karena penghasilannya kurang untuk menghidupi keluarganya beliau memutuskan berhenti menjadi pedagang dan beralih sebagai rentenir. Wawancara dengan Mbak Nunik berlangsung sekitar setengah jam , setelah itu beliau mengundurkan diri karena masih ada beberapa urusan dengan pedagang. Keesokan harinya kemudian peneliti kembali lagi ke pasar untuk mencari tahu mengenai rentenir dan mindrink. Hal ini dilakukan supaya kedepannya peneliti dapat mengenali ciri-ciri rentenir dan mindrink sehingga dapat membedakannya dan tidak
terjadi kekeliruan lagi. Setelah berkeliling pasar dan bertanya kepada beberapa pedagang, di dapati bahwa ciri-ciri antara rentenir dan mindrink hampir sama. Keduanya sama-sama menenteng tas kecil, memegang buku kecil dan uang yang diselipkan di dalamnya, walaupun tidak semua mindrink memegang buku kecil, banyak juga mindrink yang memegang buku besar berisi daftar barang-barang yang telah dipesan oleh para pedagang. Sekilas sulit untuk membedakan antara rentenir dan mindrink, terutama orang yang belum lama mengenal situasi di Pasar Kolombo. Mindrink yang terdapat di Pasar Kolombo cukup banyak, walaupun begitu jumlahnya masih kalah dari rentenir. Menurut pedagang saat ini jumlah mindrink berkurang karena ada yang beralih profesi menjadi rentenir, karena penghasilan dari mindrink ini kecil, dan masih kalah dengan penghasilan para rentenir.
Sekitar satu minggu kemudian pada tanggal 22 Mei 2015 peneliti kembali ke pasar untuk melakukan wawancara, dengan sasaran pedagang yang meminjam uang pada rentenir dan rentenir itu sendiri. Pada hari itu peneliti berhasil mewawancarai dua pedagang dan satu rentenir. Pedagang yang pertama adalah Pak Thamrin yang seorang pedagang jajanan pasar. Sebenarnya wawancara dengan Pak Thamrin sudah pernah dilakukan sebelumnya sebanyak dua kali, di awal Pak Thamrin mengaku tidak pernah meminjam uang pada rentenir, tetapi setelah kenal cukup dekat akhirnya Pak Thamrin mengaku pernah meminjam uang pada rentenir Batak. Dari Pak Thamrin itulah kemudian dikenalkan dengan seorang rentenir Batak. Setelah Pak Thamrin kemudian pedagang lain yang juga berhasil diwawancarai adalah Bu Tari, seorang pedagang bumbu dapur dan sembako. Dalam wawancara tersebut Bu Tari tidak pernah meminjam uang dari rentenir,
tetapi beliau tahu cukup banyak mengenai rentenir karena banyak pedagang di sekitarnya yang meminjam uang dari rentenir. Setelah bertemu dengan Bu Tari , kemudian peneliti mencoba mengikuti seorang rentenir. Rentenir tersebut adalah seorang bapak paruh baya, dan pada saat rentenir itu berhenti untuk menghitung uang, peneliti kemudian mencoba untuk mewawancarainya. Rentenir tersebut bernama Pak Suryani, pada awalnya Pak Suryani menolak untuk diwawancarai tetapi setelah didesak cukup lama akhirnya beliau bersedia meluangkan waktu untuk diwawancarai. Pak Suryani termasuk ke dalam kelompok rentenir Jawa, walaupun begitu berbeda dengan rentenir Jawa lainnya yang biasanya berasal dari Yogyakarta atau Jawa Tengah, Pak Suryani berasal dari Kuningan, Jawa Barat. Wawancara dengan Pak Suryani tidak berlangsung lama hanya sekitar 20 menit, dengan alasan beliau akan menjemput anaknya yang paling kecil. Pada hari berikutnya 23 Mei 2015 peneliti kembali lagi ke pasar dan berbincangbincang dengan pedagang buah. Pedagang buah tersebut tidak memberikan informasi yang banyak karena baru dua tahun berjualan di Pasar Kolombo. Walaupun begitu pedagang tersebut menyarankan jika ingin mendapatkan informasi lengkap mengenai Pasar Kolombo sebaiknya segera bertemu dengan pengelola pasar yang akrab di sapa dengan Pak Ridwan. Pedagang buah tersebut lantas memberitahukan lokasi dimana biasanya Pak Ridwan dapat ditemukan di pasar. Pak Ridwan biasa terlihat di kantornya atau jika tidak sedang berada di kantornya Pak Ridwan dapat ditemukan di kios semabko miliknya yang dikelola bersama dengan istrinya. Kantor Pak Ridwan ada di dalam pasar, hanya berupa sebuah kios kecil sejajar dengan kios lainnya yang ada di dalam pasar. Di dalam kantor tersebut hanya ada dua meja berukuran sedang ,tiga buah kursi kecil, sebuah lemari besi dan sebuah peta denah bagian dalam dan luar Pasar Kolombo yang
menempel di dinding. Menurut pedagang buah tadi, kantor Pak Ridwan biasa buka jam 9 pagi dan tutup jam 12 siang, tetapi pada saat itu keadaan kantor sedang kosong walaupun waktu sudah hamper menunjukkan jam 10 siang. Menurut seorang pedagang sayur yang lapaknya ada di depan kantor sang pengelola pasar, Pak Ridwan lebih sering terlihat di kios sembako miliknya. Pak Ridwan hanya datang sesekali ke kantornya jika ada tamu atau pedagang yang akan mengurus ijin. Pada saat akhirnya dapat bertemu Pak Ridwan di kios sembakonya, beliau sedang sibuk membantu istrinya berjualan karena sedang banyak pembeli, untuk itulah beliau meminta untuk bertemu dengannya keesokan harinya pada pukul 9 pagi. Keesokan harinya 24 Mei 2015 peneliti dapat bertemu dengan Pak Ridwan di kantornya. Pada saat itu Pak Ridwan sebagai pengelola pasar menanyakan maksud kedatangan kami untuk bertemu dengan Pak Ridwan. Peneliti pun menjelaskan bahwa maksud kedatangannya adalah untuk tujuan penelitian skripsi. Setelah itu kami pun mulai berbincang-bincang dengan Pak Ridwan mengenai sejarah dan profil Pasar Kolombo. Selain berbicara tentang Pasar Kolombo, kami juga berbicara mengenai rentenir yang ada di Pasar Kolombo. Pak ridwan juga memberikan indormasi mengenai perbedaan antara rentenir dengan mindrink supaya dikemudian hari kami tidak salah lagi mengira mindrink sebagai rentenir. Tidak terasa sudah lebih dari satu jam kami bertiga berbincang-bincang bersama dengan Pak Ridwan, tepat pada pukul setengah 12 siang Pak Ridwan meminta pamit karena ada tamu yang sudah menunngunya di luar pasar. Jika suatu saat membutuhkannya lagi maka dapat menemuinya di kantor atau di kios sembakonya. Dalam waktu satu setengah jam yang tersebut cukup banyak informasi yang telah kami dapatkan. Dengan berbekal informasi yang telah diberikan oleh Pak Ridwan, langkah
selanjutnya yang akan kami lakukan adalah melakukan wawancara dengan rentenir. Walaupun begitu kami mematangkan rencana wawancara dengan rentenir terlebih dahulu selama seminggu, supaya tidak bertemu dengan kegagalan lagi, seperti yang telah dialami sebelumnya. Pada wawancara sebelumnya kami mencoba wawancara langsung dengan rentenir yang justru banyak berakhir dengan kegagalan. Seminggu kemudian pada tanggal 2 Juni 2015 peneliti kembali ke pasar untuk melakukan wawancara dengan rentenir. Setelah berkeliling pasar cukup lama, akhirnya peneliti dapat menemukan rentenir. Tidak seperti hari-hari sebelumnya yang biasanya terdapat banyak rentenir, hari itu hanya terdapat 2-3 rentenir yang berkeliling pasar. Rentenir pertama yang peneliti temui adalah seorang rentenir wanita paruh baya yang sedang menarik uang dari pedagang di sebuah kios sayuran. Menurut seorang pedagang rentenir wanita itu termasuk yang senior dalam kelompok rentenir batak, sehingga jika ingin menanyakan informasi mengenai rentenir batak disarankan untuk bertanya kepada wanita tersebut. Pada saat
mendatangi rentenir tersebut dan akan bertanya, wanita
tersebut pun melihat dengan tatapan mata curiga dan pada peneliti menanyakan maksud kedatangannya, wanita tersebut menjawab dengan nada yang tinggi seperti sedang akan marah.
Peneliti
kemudian
mencoba
menjelaskan
secara
lebih
jelas
maksud
kedatangannya, tetapi wanita tersebut tetap bersikeras bahwa beliau hanyalah pembeli dan tidak tahu apa-apa mengenai rentenir. Tiba-tiba dari belakang ada suara pria yang meminta supaya segera pergi dan jangan mengganggu wanita tersebut. Pada saat peneliti menengok ke belakang sudah ada dua orang pria dengan muka galak yang meminta supaya segera pergi, walaupun begitu peneliti tidak ingin pergi, dan berusaha menjelaskan situasi supaya dapat tetap mewawancarai rentenir tersebut. Kedua pria
tersebut terlihat tidak mau menerima lasan apapun, dan dengan jelas segera meminta untuk pergi disertai dengan nada mengancam, sehingga akhirnya adu mulut tak terhindarkan. Pada saat menengok ke belakang ternyata wanita tersebut telah pergi, sehingga peneliti memutuskan untuk pergi daripada membuang waktu lebih banyak. Walaupun begitu waktu sudah menunjukkan jam 11 siang lebih dan pasar mulai bertambah sepi, rentenir pun tidak terlihat lagi, sehingga kemudian memutuskan untuk menyudahi penelitian pada hari itu dan akan kembali keesokan harinya. Pada keesokan harinya 3 Juni 2015, peneliti kembali ke pasar dan setelah berkeliling pasar selama 20 menit, peneliti menemukan seorang rentenir Batak yang bernama Ibu Ria. Dalam wawancara kali ini peneliti mencoba strategi lain dalam menghadapi rentenir. Kali ini peneliti mengaku sebagai seorang mahasiswa yang sedang membutuhkan uang untuk membantu temannya yang perantauan untuk membayar uang SPP. Pada awalnya rentenir tersebut melihat dengan tatapan penuh curiga dan menolak untuk membantu, tetapi setelah dijelaskan panjang lebar dan memakan waktu yang tidak sebentar, akhirnya rentenir tersebut bersedia untuk diwawancarai. Percakapan dengan rentenir tersebut berlangsung cukup lama, rentenir yang awalnya tertutup setelah perbincangan yang lama akhirnya mulai terbuka dan memberikan cukup banyak informasi yang dibutuhkan. Perbincangan berlangsung selama kurang lebih 30 menit, sebenarnya masih ada informasi yang diperlukan oleh peneliti, tetapi karena rentenir tersebut mengatakan bahwa masih beliau masih ada pekerjaan untuk menarik uang dari para pedagang akhirnya perbincangan disudahi pada saat itu. Setelah itu peneliti masih berkeliling pasar lagi untuk mencari rentenir, tetapi karena belum menemukan, kemudian mencoba berbincang-bincang dengan seorang pedagang bumbu dapur bernama Bu Supri
yang sudah cukup tua. Percakapan diawali dengan peneliti membeli beberapa tepung goreng dan kecap kemudian diselingi dengan perbincangan dengan sang pedagang. Tidak dikira setelah berbincang-bincang cukup lama, pedagang ini bercerita bahwa dulu sering meminjam uang kepada rentenir untuk modal berdagang, tetapi sekarang sudah tidak lagi karena dilarang oleh suami dan anaknya. Berbeda dengan sebagan besar pedagang di pasar yang hanya mau memberikan sedikit informasi terutama pada saat awal bertemu, Bu Supri dengan ramah mau menjawab berbagai pertanyaan yang peneliti ajukan. Bu Supri mulai menceritakan awal beliau berdagang di Pasar Kolombo yang pada waktu itu hanya sekedar menggunakan lapak, hingga sekarang mendapatkan kios yang tetap. Bu Supri juga menjelaskan mengapa beliau sampai meminjam uang dari rentenir, tetapi karena faktor usia dan juga sudah hamper 5 tahun tidak meminjam uang dari rentenir, maka beliau lupa nama rentenir tersebut. Kemudian peneliti meminta nomer telepon rentenir tersebut pada Bu Supri, tetapi pada saat nomer tersebut dicoba untuk dihubungi tidak bisa tersambung, sehingga akhirnya jalan untuk bertemu dengan rentenir China yang pernah meminjamkan uang pada Bu Supri terhalang karena masalah komunikasi, sementara Bu Supri juga sudah tidak berinteraksi lagi setelah berhenti meminjam uang pada rentenir tersebut. Seminggukemudian 9 Juni 2015, penelitian menjadi lebih sulit dari sebelumnya, proses wawancara banyak terkendala oleh rentenir yang menolak diwawancari. Tidak hanya rentenir tetapi pedagang juga banyak yang tidak terbuka dalam menjawab pertanyaan.Salah satu pedagang yang kami wawancarai pada saat itu adalah Mas Kalip, walaupun bersedia untuk diwawancari beliau hanya memberikan sedikit sekali jawaban dengan alasan sedang sibuk dengan barang dagangannya.Selain itu peneliti juga bertemu
dengan Bu Okta, yang awalnya adalah seorang pedagang baju di pasar tetapi sekarang beralih profesi menjadi mindrink.Kepada kami beliau mengatakan bahwa Bu Okta tidak terlalu mengenal rentenir-rentenir tersebut karena memang sejak awal keberadaannya di pasar beliau tidak dekat dengan para rentenir.Banyak pedagang yang mengatakan tidak pernah meminjam uang dari rentenir walaupun dalam pengamatan dan informasi yang telah didapat sebelumnya, sebenarnya banyak pedagang yang meminjam uang dari rentenir tetapi pada saat didatangi pedagang-pedagang tersebut mengaku tidak pernah berurusan dengan rentenir. Dengan kondisi tersebut, peneliti mencoba rehat sebentar dan memikirkan cara lain untuk mendekati dan mewawancarai rentenir. Setelah hampir seminggu berdiam diri, akhirnya peneliti menemukan cara lain untuk mendekati rentenir. Hari berikutnya peneliti, 18 Juni 2015, peneliti datang ke pasar lebih awal yaitu jam setengah 8 pagi. Menurut beberapa pedagang jika di pagi hari banyak rentenir batak muda yang masih beroperasi di pasar. Biasanya rentenir Batak memulai aktivitas di pasar pada pukul 6 pagi dan berakhir pada pukul 9 pagi. Pada saat sampai di pasar, memang pagi tersebut banyak rentenir batak yang terlihat, tetapi banyak dari rentenir Batak yang sedang sibuk berkeliling kepada pedagang-pedagang pasar.
Untuk itulah peneliti
bersama seorang rekannya menunggu sampai para rentenir selesai berurusan dengan para pedagang. Setelah jam 9 barulah kegiatan para rentenir Batak itu selesai dengan para pedagang, bahkan sebagian besar sudah tidak terlihat lagi berada di dalam pasar. Dengan begitu peneliti pun memulai rencananya, yaitu dengan mengikuti seorang rentenir sampai ke rumah atau kontrakannya, lalu berbincang-bincang dengannya. Pada saat itu ada seorang rentenir Batak wanita yang sudah selesai menarik uang dari para pedagang di pasar dan berjalan keluar pasar dan masuk ke sebuah gang. Peneliti dan rekannya
berusaha mengikuti rentenir wanita yang masih muda tersebut. Pada awalnya rentenir tersebut tidak tahu jika sedang diikuti, tetapi setelah berjalan cukup jauh dari pasar, sekitar 2 blok rentenir tersebut mulai merasa curiga. Rentenir tersebut sempat menengok beberapa kali ke belakang dan mulai berjalan semakin cepat. Peneliti bersama dengan rekannya pun masih tetap mengikuti, tetapi setelah rentenir wanita tersebut berjalan semakin cepat dan semakin jauh, akhirnya memutuskan untuk berhenti dan kembali ke pasar, karena setelah dipikirkan cara ini hanya akan membuat rentenir takut. Sekembalinya ke dalam pasar, pasar sudah tampak semakin sepi, pembeli sudah banyak berkurang dan rentenir sudah tidak kelihatan di bagian mana pun. Pada saat itulah kami bertemu dengan Pak Ridwan dan menceritakan kesulitan yag sedang dihadapi. Pak ridwan kemudian bercerita bahwa beliau sebenarnya sudah pernah meminjam uang pada seorang rentenir China. Kami pun meminta bantuan Pak Ridwan untuk dapat dipertemukan dengan rentenir China tersebut, walaupun awalnya beliau menolak tetapi setelah berdiskusi panjang lebar Pak Ridwan bersedia untuk mempertemukan kami dengan rentenir China tersebut. Beliau sendiri akan berusaha melobi rentenir China tersebut supaya dapat diminta waktunya sebentar untuk diwawancarai. Beliau juga akan mengatur kapan dan dimana kami semua dapat bertemu. Seminggu telah berlalu, pada tanggal 23 Juni 2015 akhirnya Pak Ridwan menghubungi nomer telepon peneliti yang sudah diberikan kepadanya. Beliau mengatakan bahwa rentenir China yang pernah dipinjamkan uangnya, bersedia meluangkan waktunya untuk diwawancarai. Besoknya 24 Juni 2015 peneliti bertemu dengan Pak Ridwan jam setengah 10, di kantornya. Setelah menunggu selama setengah jam akhirnya rentenir China itupun datang. Rentenir China tersebut adalah seorang
wanita paruh baya yang bernama Ibu Lydia. Awalnya Ibu Lydia masih sedikit memberikan tatapan curiga dan tidak banyak memberikan penjelasan, tetapi setelah Pak Ridwan membantu memberikan penjelasan pada Ibu Lydia mengenai maksud dari penelitian ini, akhirnya Ibu Lydia lambat laun mulai tampak rileks dan mulai terbuka terhadap berbagai pertanyaan yang diajukan. Ibu Lydia kemudian mulai bercerita mengenai sedikit tentang sejarah hidupnya, keluarga, latar belakang menjadi rentenir dan interaksinya dengan para pedagang di Pasar Kolombo. Tidak terasa sudah waktu sudah menunjukkan jam 11 sedangkan Ibu Lydia masih harus berkeliling dan mencari pedagang untuk meminta uang yang harus dikembalikan. Untuk itulah kemudian perbincangan dihentikan pada saat itu, walaupun sebenarnya masih ada informasi yang perlu didapatkan dari Ibu Lydia. Kemudian peneliti mencoba meminta nomer telepon Ibu Lydia tetapi beliau menolaknya, peneliti juga bertanya apakah bisa ke rumah beliau, tetapi beliau mengatakan jika ingin bertemu dengannya maka lebih baik bertemu di pasar saja. Setelah wawancara dengan Bu Lydia peneliti kemudian pulang untuk mengolah informasi. Empat hari 28 Juni 2015 kemudian, peneliti kembali lagi ke pasar untuk mencari rentenir dan pedagang yang meminjam uang pada rentenir. Pada saat masuk ke dalam pasar, peneliti bertemu dengan Pak Thamrin, karena memang kios jajanan pasarnya terletak di dekat pintu masuk sebelah barat. Peneliti kemudian berbincang-bincang dengan Pak Thamrin sembari membeli jajanan pasar. Dalam pembicaraan tersebut beliau mengatakan bahwa hari ini beliau bertemu dengan rentenir Batak yang pernah meminjamkan uang kepadanya, untuk itulah beliau berniat untuk mempertemukan kami. Setelah itu Pak Thamrin meninggalkan kiosnya untuk mencari rentenir tersebut, tidak
lama kemudian Pak Thamrin kembali dengan seorang perempuan muda di belakangnya. Perempuan muda tersebut adalah Mbak Erni yang merupakan seorang rentenir Batak. Berbeda dengan rentenir lainnya yang biasanya menolak diwawancarai atau jika mau sekalipun akan menatap dengan tatapan yang tidak ramah. Mbak Erni sebaliknya, beliau terlihat ramah kepada Pak Thamrin maupun pada peneliti walaupun baru pertama kali bertemu. Mbak Erni berbicara dengan bahasa Indonesia dan Jawa , dengan bercampur logat Batak sehingga terkadang justru sulit dimengerti. Walaupun begitu Mbak Erni selalu menjawab pertanyaan yang diajukan dengan jelas dan terbuka. Tetapi karena pada waktu itu masih cukup pagi, sehinnga Mbak Erni masih banyak pedagang yang beliau harus tagih uangnya, maka percakapan tidak bisa berlangsung lama. Dengan begitu wawancara dengan beliau disudahi sampai situ dan berlanjut pada keesokan harinya. Keesokan harinya 29 Juni 2016, peneliti bertemu dengan Mbak Erni jam setengah 11 pagi di pasar, tepat di depan kios Pak Thamrin. Mbak Erni meminta janjian bertemu jam 11 supaya paginya beliau dapat menyelesaikan tugasnya terlebih dahulu untuk menagih uang dari para pedagang. Setelah bertemu kami segera memulai pembicaraan, jika kemarin pembicaraan lebih fokus pada kehidupan pribadi Mbak Erni, sekarang lebih fokus pada motivasinya menjadi rentenir dan bagaimana beliau menanamkan kepercayaan kepada para pedagang pasar untuk meminjam uang kepadanya. Mbak Erni kemudian bercerita banyak mengenai kehidupannya seputar rentenir, diakuinya bahwa setelah menjadi rentenir kehidupannya menjadi lebih baik karena serba berkecukupan. Itulah mengapa beliau merasa enggan untuk keluar dari pekerjaan tersebut. Mbak Erni berbincang-bincang cukup lama, bahkan hampir satu jam. Selain Mbak Erni, pada hari itu peneliti juga mewawancarai seorang pedagang tape ketan yang bernama Bu Isa. Setelah
berbincang-bincang cukup lama ternyata diketahui bahwa Bu Isa pernah meminjam kepada seorang rentenir Batak.Setelah informasi yang dikumpulkan cukup dan pasar yang sudah semakin sepi akhirnya kami menyudahi pembicaraan. Setelah lebih dari empat bulan melakukan pengamatan dan wawancara, akhirnya informasi yang terkumpul sudah cukup. Berdasarkan pengamatan dan wawancara yang telah dilakukan, sudah terkumpul 5 pedagang dan 5 rentenir. Langkah selanjutnya adalah melakukan trsnkrip dan analisis data. Tetapi sebelum melanjutkan ke tahap berikutnya, peneliti masih perlu kembali ke pasar untuk melengkapi informasi, karena ada beberapa infoman yang pada saat diwawancarai kurang terbuka atau waktunya yang terbatas, sehingga beberapa pertanyaan tidak bisa terjawab sepenuhnya. Dua minggu kemudian, peneliti masih sering ke pasar untuk melengkapi data, melakukan wawancara kembali dengan pedagang dan rentenir yang sudah pernah diwawancarai. Walaupun begitu, tidak semua informan dapat diwawancarai, pedagang dapat lebih mudah ditemui karena selalu ada di pasar, sedangkan rentenir tidak mudah untuk ditemui. Rentenir yang sama tidak selalu ada di pasar setiap harinya, dari 5 orang rentenir yang sebelumnya telah berhasil diwawancarai, hanya 2 orang yang bersedia diwawancarai kembali, sedangkan 3 diantaranya menolak untuk diwawancarai kembali.Diantaranya adalah Mbak Erni yang diwawancarai kembali pada tanggal 12 Juli 2015 dan Mbak Nunik 21 Juli 2015.Sedangkan pedagang dari 5 orang yang mau diwawancarai kembali hanya
3 orang yang diantara lainnya adalah Bu Bejo yang
diwawancarai kembali pada tanggal 12 Juli 2016, Pak Thamrin 25 Juli 2016 dan Bu Supri 4 pada 4 Agustus 2015. Selain itu peneliti juga bertemu informan baru secara kebetulan yaitu Bu Ahmad pada 27 Juli 2015 yang ternyata beliau pernah meminjam uang pada
rentenir. Dengan begitu setelah hampir satu bulan melengkapi data di pasar, peneliti memutuskan untuk melanjutkan langkah selanjutnya. Pada awal januari peneliti, tepatnya pada 4 Januari merasa ada data yang dirasa masih kurang, terutama informasi dari petugas Bank. Kemudian peneliti pergi ke ke Bank BRI cabang Pasar Kolombo dan bertemu Mbak Lusi. Mbak Lusi,adalah seorang petugas Bank Rakyat Indonesia/BRI yang bertugas di pasar Kolombo sejak 3 tahun lalu. Mbak Lusi bercerita :”Awal saya masuk ditugaskan di pasar Kolombo ini sempat stress mas,bahkan ketika saya mencoba menawarkan kredit dengan bunga lunak,saya sempat dipeloti oleh seorang rentenir laki-laki yang merasa tidak senang akan kehadiran saya, saya sempat keder juga. Kalau sekarang sudah biasa ya, mau gimana lagi lha wong itu tugas saya sebagai pegawai Bank” Ketika ditanyakan apa kendalanya dalam bersaing dengan rentenir dalam menawarkan kredit Bank. Mbak Lusi menjelaskan , “ Ya,gimana ya mas,kita ini kan Bank yang terikat dengan aturan formal,misal,kalau pedagang pinjam tidak tepat waktu ya aturannya kita denda,beda dengan rentenir ,mereka lebih luwes,kadang rentenir ini kadang bisa memberi kelonggaran waktu.Belum lagi kita minta fotocopi KTP pedagang,direntenir malah lebih sering tidak ada persyaratan fotocopi KTP,rentenir lebih menaruh kepercayaan pada pedagang.” Mbak
Lusi
juga
menceriterakan tentang kendala lainnya begitu ada perkembangan pedagang yang meminjam atau mengangsur,kita harus segera melaporkan ke kantor esuk harinya di kantor BRI cabang Depok ,dan kalau harus pergi kembali ke pasar kolombo sudah agak siang”. Peneliti pernah meminta data pedagang pasar kolombo yang menjadi nasabah BRI. Mbak Lusi dengan halus menjawab ,”Data pedagang pasar Kolombo yang sudah masuk di data base BRI di integrasikan dengan data lainnya, dan tidak di pilah-pilah
perwilayah. Lagi pula kita tidak diizinkan memberikan data nasabah. Jawaban ini sempat pula peneliti tanyakan kepetugas di BRI Depok bahwa,” selama ini data base
nasabah
dijadikan satu, dan diurutkan secara alphabethis,tidak dibedakan perwilayah. Disamping itu kebijakan bank untuk tidak memberikan informasi data nasabah.”