BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pendidikan memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan kebudayaan. Pada prinsipnya, kebudayaan dan pendidikan mempunyai nilai-nilai yang perlu dipahami dan diwariskan1. Pendidikan menjadi sebuah rangkaian proses menyemai benih-benih budaya di masyarakat. Pendidikan mempunyai begitu banyak manfaat bagi manusia, diantaranya adalah untuk menjadikan manusia cerdas dan terampil, menjadikan manusia memiliki budi pekerti yang luhur dan berakhlak mulia, meningkatkan kualitas dan tingkatan hidup manusia. Hal serupa juga tertulis dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Merujuk pada pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa proses pendidikan berupaya mengamalkan keseluruhan budaya bangsa —walaupun praktiknya di lapangan belum tentu seperti itu— sehingga dengan bersekolah
1
Theodore Brameld dalam Supriyoko (Sistem Pendidikan Nasional dan Peran Budaya Dalam Pembangunan Berkelanjutan). Makalah seminar pembangunan nasional VIII.
Denpasar, 2003.
Universitas Sumatera Utara
maka generasi muda bukan hanya dibentuk menjadi manusia berpendidikan tetapi juga manusia berbudaya. Sekolah adalah pranata sosial yang menjadi wujud pendidikan. Banyak pihak yang berperan dan menjadi bagian dari sekolah namun, guru dan murid adalah aktor utamanya. Pendidikan menuntut guru untuk menguasai pengetahuan mengenai bidang studi yang diajarkannya secara menyeluruh dan mendalam. Namun pada kenyataanya masih banyak guru yang kurang kompeten dalam bidangnya. Ada banyak alasan mengapa hal tersebut bisa terjadi. Pertama, sewaktu masa perkuliahan mereka tidak benar-benar menyukai dan menekuni bidang keguruannya —keguruan dan pendidikan hanya menjadi pilihan kedua, ketiga untuk memasuki perguruan tinggi tertentu. Kedua, beberapa guru mengajarkan bidang studi yang bukan menjadi bidangnya semasa perkuliahan. Contohnya, guru Matematika mengajar bidang studi Fisika. Dengan demikian, muncullah guru-guru penceramah yang membacakan ulang materi pelajaran di depan murid dan kegiatan utama murid hanya mencatat atau mendengarkan saja. Bahkan terkadang menjadi pelaku yang karena ketidak-tahuan atau ketidak-mampuannya menjawab pertanyaan yang ada —terutama yang datang dari murid— maka, akan menjadikan persoalan tersebut sebagai PR (pekerjaan rumah/tugas) bagi murid. Dewasa ini, banyak murid yang tidak lagi suka bersekolah dan belajar dianggap sebagai hal yang memusingkan, membebani dan sangat membatasi. Hal tersebut menjadi salah satu faktor yang menghalalkan dan menyuburkan
Universitas Sumatera Utara
praktik main uang2 di lingkungan sekolah. Fenomena itu tidak tercipta spontan begitu saja, permasalahannya muncul dari minimnya minat —bahkan mungkin tidak berminat sama sekali— murid untuk belajar. Hal itu yang sebenarnya menjadi tugas awal dan utama guru yakni memancing serta menumbuhkan minat belajar. Namun, yang sering terjadi guru langsung menyodorkan dan menyuapkan materi pelajaran tanpa murid tahu kenapa mereka perlu belajar itu. Padahal dirasa sangat penting membeberkan alasan-alasan mengapa guru meminta mereka melakukan ini atau itu setiap hari, seperti belajar atau mengerjakan PR contohnya3. Merosotnya minat belajar murid disebabkan oleh ketidak-mengertian dan ketidak-pahaman murid bahwa pelajaran-pelajaran tersebut adalah bagian dari dirinya —atau yang akan menjadi bagian dirinya— yang disebut pengalaman. Guru melalui pengetahuannya, harus bisa menunjukan korelasi itu. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya, guru kurang menguasai bidang studi yang diajarkannya sendiri sehingga guru belum benar-benar siap untuk mengajar apalagi untuk menunjukkan bahwa pelajaran itu penting buat muridnya. Hal tersebutlah yang memunculkan budaya menghapal (bukan memahami) pelajaran. Murid disuruh untuk menghapal saja terus-menerus supaya pelajaran itu terpatri dalam ingatannya, terlepas apakah si murid berminat atau tidak atas pelajaran itu. Lebih mencengangkan lagi apabila si murid tidak berminat tetapi ―dipaksa‖ berminat terhadap bidang studi tersebut. Contohnya, jika tidak 2
Sogokkan, suap, persekongkolan. Rafferty dalam Paul Freire, et.al, Menggugat Pendidikan, alih bahasa Omi Intan Naomi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 67. 3
Universitas Sumatera Utara
menghapal akan kena rotan pak guru, jika tidak mengerjakan PR akan mendapat Surat Panggilan Orangtua (SPO) atau jika tidak ikut les bidang studi tertentu maka tidak naik kelas. Untuk memicu ―minat‖ tadi, digunakan rasa takut, memanfaatkan ketidaksenangan terhadap apapun yang melemahkan baik yang secara fisik maupun mental. Merosotnya minat belajar murid sangat berdampak terhadap reformasi pendidikan. Padahal telah banyak upaya yang dilakukan untuk memperbaruhi kualitas guru sekarang ini, tapi pada kenyataannya banyak guru yang tidak suka perubahan. Inginnya kurikulum dan cara mengajarnya tetap seperti yang sudahsudah. Apabila pendidikan di Indonesia sungguh ingin direformasi, maka harus dimulai dari guru. Pendidikan Indonesia membutuhkan guru yang menghayati pekerjaannya sebagai sebuah panggilan hidup
(bakat). Seseorang bisa
mengatakan bahwa profesi tertentu merupakan panggilan hidupnya, jika ia merasakan profesi itu merupakan bagian dirinya, ia menikmati perannya dan memberi faedah bagi orang lain. Guru yang menjalankan tugasnya sebagai panggilan hidup secara otomatis akan rela menyediakan banyak waktu, tenaga, dan fikiran bagi perkembangan dan keberhasilan anak didik. Namun, masih banyak guru yang menghayati pekerjaannya sebagai profesi yang sebatas untuk mencari uang. Masih banyak guru yang mengerjakan proyek di mana-mana untuk mencari uang tambahan. Padahal perlu diketahui, kalau seseorang ingin
Universitas Sumatera Utara
menjadi kaya dengan menjadi guru, hal itu jelas keliru. Mereka seharusnya menjadi pembisnis saja dan meninggalkan profesi keguruannya4. Bukan hanya permasalahan-permasalahan tersebut. Dewasa ini, antara murid guru telah terjadi krisis kepercayaan. Yang dibutuhkan dalam persekolahan adalah peneladanan. Peneladanan ini disebut pula sebagai pembelajaran sosial (social learning). Bentuk krisis kepercayaan yang terjadi adalah murid tidak lagi menganggap guru sebagai sosok yang disegani, digugu dan ditiru. Banyak guru yang mengajarkan tentang pentingnya kejujuran padahal kenyataannya, beliau merupakan pelaku yang turut melanggengkan praktik main uang tadi. Hal tersebut menyebabkan murid menjadi sepele dengan guru dan tidak mempercayai lagi apa yang dikatakan guru adalah hal baik dan benar untuk dilakukan. Permasalahan pendidikan bukan hanya terjadi dalam hubungan antar murid dan guru, lebih luas dari itu yakni dalam hubungan antar guru dan kurikulum.
Sebagus
apa
pun
kurikulumnya
jika
guru
tak
mampu
memahaminya, maka akan menjadi beban bagi guru. Sebaliknya, sesederhana apa pun kurikulumnya jika benar-benar dipahami guru, maka akan menjadi kompas baginya. Persoalannya, tidak semua guru memahami dan menangkap makna kurikulum secara keseluruhan. Ada guru yang dengan mudah dapat memahami makna seluruh ketentuan yang termuat dalam kurikulum, dan dengan mudah dapat merefleksikannya dalam pengajaran yang menarik.
4
Paul Suparno dalam Widiastono Pendidikan Manusia Indonesia (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2004), hal. 126.
Universitas Sumatera Utara
Namun, ada juga guru-guru yang kemampuan teoritis dan praktiknya terbatas sehingga sulit memahami maksud dan tujuan dalam kurikulum. Bukan sebatas di pihak guru, dari kurikulum sendiri terkadang turut menimbulkan persoalan. Kurikulum seharusnya disusun dengan memberikan ―ruang gerak‖ yang sedikit longgar kepada para guru. Guru tidak perlu terlalu terikat terhadap pakempakem pengajaran yang ditawarkan kurikulum sehingga guru mampu berimprovisasi dalam proses belajar-mengajar. Kurikulum yang diperbarui hendaknya memungkinkan guru mengajarkan suatu materi pada berbagai taraf kecanggihan dan melalui berbagai jenis penyampaian (modes of delivery). Dengan demikian, guru merasa lebih nyaman, percaya diri dan menikmati proses pengajaran. Mengetahui begitu banyaknya permasalahan-permasalahan pendidikan yang tidak terlepas dari peran guru, maka membuat penulis tertatik untuk mengkaji bagaimana pola mengajar para guru di sekolah khususnya di SMPN 10 Medan.
1.2. Tinjauan Pustaka Ralph Linton (1962:29) mendefenisikan kebudayaan adalah seluruh pengetahuan, sikap dan pola perilaku yang merupakan kebiasaan yang dimiliki dan diwariskan oleh anggota suatu kelompok tertentu. Dalam pengertian tersebut ada kata ―diwariskan‖, diwariskan berarti memiliki muatan diteruskan. Dalam prosesnya, pewarisan itu akan dilakukan melalui sosialiasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, disadari maupun tidak disadari.
Universitas Sumatera Utara
Pendidikan merupakan kebudayaan manusia yang ada di setiap kelompok (masyarakat). Pendidikan adalah proses sosial yang dijadikan alat dan sarana mempertahankan keberlangsungan kelompok (masyarakat) tersebut. Pendidikan itu sebagai suatu proses (verb) dan sekaligus suatu hasil (noun)5. Tolstoy (dalam Freire, 2004:491) menyebutkan pada dasarnya pendidikan tidak mempunyai sasaran puncak di luar pendidikan itu sendiri. Tujuannya sematamata hanya berasal dari prosesnya dan istilah terbaik untuk menyebutnya adalah pemahaman. Namun seiring perkembangan zaman masa kini, pendidikan tidak lagi dipandang sebatas untuk memahami, tetapi ada pencapaian lain yang diharapkan dari itu atau bahkan mungkin bukan memahami itu yang menjadi tujuan. Hal tersebut sesuai dengan pandangan Aristoteles (dalam Freire, 2004:491) yang beranggapan bahwa pendidikan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk membantu mencapai kehidupan yang baik, kebahagiaan dan keadaan yang final. Pola fikir seperti inilah yang terbentuk di tengah masyarakat Indonesia kini. Persepsi terhadap pendidikan (bersekolah) telah berubah. Hakikatnya bersekolah itu untuk memperoleh ilmu dengan cara memahami berbagai macam pengetahuan yang diberikan. Namun kini, bersekolah itu bukan sekedar untuk belajar tapi ada nilai-nilai utilitarian lain yang menjadi fokusnya, misalnya untuk mencapai profesi tertentu. Keluarga (khususnya orangtua) turut berperan dalam pembentukan realitas ini. Keluarga merupakan lingkungan belajar 5
H.A.R Tilaar, Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya), hal. 28.
Universitas Sumatera Utara
informal yang pertama dan yang paling utama dalam proses sosialisasi anak. Di dalam keluarga, anak akan diajarkan pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan untuk pertama kalinya. Orangtua akan mulai memberikan motivasi kepada anaknya agar mau mempelajari pola fikir, perilaku atau apa saja yang mereka anggap benar (transmisi kebudayaan). Orangtua ―mengontrol‖ anak harus seperti apa dan bagaimana, sehingga dalam prosesnya diupayakan tidak melenceng dari apa yang diharapkan. Bagi orangtua, ada keinginan yang tidak bisa mereka capai secara langsung. Misalnya, agar si anak menjadi dokter — apabila si anak turut berkeinginan menjadi dokter pula—, orangtua tidak bisa langsung menjadikan anak tersebut menjadi dokter, sebab ada proses yang harus dilalui dan ditamatkan oleh lembaga pendidikan formal yang sah yang disebut sekolah. Dengan kata lain, orangtua memberikan kepercayaan kepada sekolah untuk membentuk anaknya —dan dianggap akan sesuai harapan. Namun, mungkin/bisa saja sekolah merupakan media yang dijadikan orangtua sebagai alat penegasan dan pengukuhan atas apa yang mereka inginkan terhadap anaknya itu adalah benar dan tepat, terutama di hadapan anak itu sendiri —jika seandainya si anak tadi tidak ingin jadi dokter. Sekolah adalah lembaga yang menjadi tempat didikan bagi anak —selain keluarga tentunya. Sekolah merancang pembelajaran anak (murid) di bawah pengawasan guru. Guru merupakan salah satu komponen primer di dunia pendidikan khususnya dalam
proses
belajar
mengajar.
Berdasarkan
Keputusan
Kementrian
Pendayagunaan Aparatur Negara, guru adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, wewenang dan tanggung jawab oleh pejabat yang berwenang untuk
Universitas Sumatera Utara
melaksanakan pendidikan di sekolah. Tugas-tugas pokok guru adalah mencari cara menjadikan bahan pelajaran bermakna bagi murid, memberi motivasi belajar dan menyediakan kepuasan belajar sehingga persekolahan murid akan menyenangkan baginya6. Namun, tugas guru tidak hanya sekedar mengajarkan mata pelajaran (bersifat formal) tetapi guru juga berperan dalam mengajarkan akhlak, moral dan budi pekerti (bersifat informal). Menurut Thomas Lickona (dalam Tilaar, 2002:76), guru haruslah menjadi seorang model dan sekaligus menjadi mentor murid dalam mewujudkan nilai-nilai moral di dalam kehidupan di sekolah. Dengan demikian, seharusnya proses pendidikan di sekolah bukan semata hanya proses belajar-mengajar mata pelajaran dalam kurikulum tetapi lebih merefleksikan segala aspek yang menjadi visi suatu masyarakat yang akan diwujudkan oleh generasi penerusnya7―khususnya dalam hal akhlak, moral dan budi pekerti tadi. Mengingat pentingnya peranan guru terhadap perkembangan peserta didik, terkadang guru mengintervensi terlalu jauh terhadap pembelajaran murid. Proses pendidikan masih berupa proses pembentukan anak menurut konsepsi tentang ―manusia ideal‖ di benak guru maupun orangtua. Apa yang dipelajari di sekolah seharusnya menyiapkan murid untuk menghadapi realitas di dunia. Dirasa terlalu berlebihan jika anak hanya diajarkan dan dipersiapkan untuk
6
Tolstoy dalam Paul Freire, et.al, Menggugat Pendidikan, alih bahasa Omi Intan Naomi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 492. 7
H.A.R Tilaar, Op. Cit., hal. 23.
Universitas Sumatera Utara
memasuki peran atau profesi tertentu untuknya —lagi-lagi berdasarkan keinginan orangtua dan guru. Dengan memahami hal tersebut, seharusnya juga tidak ada lagi bidang-bidang studi yang disakralkan atau tidak ada stigma bidang studi tertentu dianggap lebih penting dibanding yang lain. Bahkan tidak perlu ada persepsi seperti, guru mata pelajaran bahasa Jerman jauh lebih bergengsi daripada guru mata pelajaran bahasa Indonesia, karena pada dasarnya setiap apa pun bidang studinya (basic) memiliki nilai-nilai penting dan keunggulannya masing-masing serta tidak bisa disubstitusi.. Guru sebagai pengajar membantu perkembangan intelektual, afektif dan psikomotorik, melalui cara menyampaikan pengetahuan, pemecahan masalah, latihan-latihan afektif dan keterampilan. Pada waktu guru menyampaikan pengetahuan, memberi nasihat dan motivasi, tidak mungkin terlepas dari upaya mendewasakan muridnya, dan upaya tersebut diwujudkan salah satunya melalui proses mengajar di ruangan kelas8. Upaya pendewasaan itu dilakukan untuk menghasilkan peserta didik yang berkualitas. Hasil Penelitian Pusat Informatika Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan bahwa guru yang berkualitas seharusnya mampu menghasilkan peserta didik yang berkualitas9. Kualitas kerja para guru juga merupakan indikasi dari adanya komitmen guru yang tinggi atas nilai keprofesionalannya sebagai pendidik. Dalam UU nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (pasal 1) disebutkan bahwa guru adalah 8
Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2005), hal. 252. 9
Sumber elektronik: ―pendidikan dan kebudayaan‖ www.kemendiknas.go.id/kemendikbud/sites/files (diakses 1 Febuari 2014)
Universitas Sumatera Utara
pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada jalur pendidikan formal, pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Guru yang profesional akan tercermin dalam penampilan pelaksanaan pengabdian tugas-tugasnya, yang ditandai dengan keahliannya dalam mengajar dan mendidik. Keahlian tersebut juga turut terlihat dari berbagai bentuk apresiasi misalnya, sertifikasi, lisensi atau penghargaan dari pihak lain yang juga berkutat dalam dunia pendidikan. Hal tersebut juga jelas dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 tahun 2008 tentang guru. Di dalamnya disebutkan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademi, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Dalam tugasnya untuk mengajar, guru berarti harus berupaya menyajikan ide, problem atau pengetahuan dalam bentuk yang sederhana sehingga dapat dipahami oleh murid. Mengajar bukan aktivitas yang dilakukan sekali saja, melainkan berulang-ulang dan membentuk pola-pola tertentu. Bukan hanya guru dengan aktivitas mengajarnya saja, sejumlah orang atau pelaku yang berbeda-beda juga melakukan praktik sosialnya di sekolah dari hari ke hari —baik yang secara langsung maupun tidak langsung— dan turut mempengaruhi pengajaran10. Dengan kata lain, guru bukan satu-satunya pihak
10
Fikarwin Zuska, Membangun Kultur Akademis Di Sekolah Dengan Menimbang Relasi Kuasa Antar Murid, Pendidik dan Masyarakat Di Kota Medan (Medan: Universitas Sumatera Utara, 2009), hal.24.
Universitas Sumatera Utara
yang membentuk pola pengajaran itu seperti apa dan bagaimana, tetapi ada intervensi berbagai pihak dengan kepentingannya masing-masing. Baik itu dari pemerintah yang diwakilkan oleh Dinas Pendidikan melalui kurikulum dan kebijakan lainnya, kepala sekolah, orangtua murid, masyarakat di sekitar sekolah bahkan pihak-pihak lain yang terkait dengan persekolahan. Dengan demikian, pola pengajaran itu dikonstruksikan oleh mereka-mereka yang berpartisipasi di dalamnya. Konstruk atau cara individu mempersepsikan, memaknai dan mendefenisikan kehidupan sehari-hari itulah yang akan menentukan format kehidupan nyata di dalam persekolahan. Bagaimana individu yang bergerak dalam dunia pendidikan itu memahami, mengkonstruk, memaknai dan mengkonsepsi realitas di sekitarnya itulah yang akan dikaji. Namun konstruk yang ada tidak terbentuk begitu saja, ada ―struktur‖ yang turut ikut menciptakan. Struktur merupakan seperangkat hubungan yang menjalin keterkaitan individu-individu dalam kelompok11. Keterkaitan itu dihasilkan oleh adanya peranan-peranan yang dimainkan oleh tiap individu dalam hubungan mereka satu sama lain. Struktur itulah yang menjadi acuan sekaligus batasan bagi setiap pelakon. Struktur itu tidak bersifat statis melainkan dinamis, sesuai dengan perubahan-perubahan kepentingan (kekuasan) dari para pelakon dan intervensinya dalam persekolahan tersebut.
11
Radcliffe-Brown dalam Achmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005), hal. 170.
Universitas Sumatera Utara
1.3. Rumusan Masalah Perumusan
masalah
memerlukan
adanya
pembatasan
masalah.
Berdasarkan latar belakang dan tinjauan pustaka yang telah dipaparkan di bab sebelumnya, secara spesifik permasalahan dari penelitian ini adalah pola mengajar yang diterapkan para guru SMPN 10 Medan. Penulis merumuskan masalah ke dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut: Hal-hal apa saja yang menjadi kendala para guru SMPN 10 Medan dalam mengajar dan apa pula solusi yang mereka gunakan.
1.4. Lokasi Penelitian
Pada awalnya saya (penulis) memilih SMPN 3 Medan sebagai lokasi penelitian karena menurut data dari Dinas Badan Akreditasi Sekolah Provinsi Sumut menunjukkan bahwa SMPN 3 Medan merupakan SMP dengan nilai tertinggi berdasarkan tenaga pendidik dan kependidikannya, yakni dengan skor 93,06. Namun pada akhirnya saya harus mengganti lokasi penelitian ke SMPN 10 Medan. Ada pun alasan yang melatarbelakangi saya untuk mengalihkan lokasi penelitian yakni, saya tidak diberikan kepastian tanggal berapa dan kapan waktunya dapat memulai penelitian. Dua minggu sebelum melaksanakan Seminar Proposal, saya datang ke sekolah tersebut bersama beberapa alumnus dari SMPN 3 Medan yang merupakan teman baik saya. Sesampainya disana, saya mengutarakan maksud kedatangan saya untuk meminta izin melaksanakan penelitian di SMPN 3 Medan. Mereka menyetujui dan memberikan izin,
Universitas Sumatera Utara
dengan syarat harus menunjukkan surat izin resmi penelitian dari Fakultas (FISIP). Saya menerima surat izin penelitian sekitar 2 minggu setelah saya Seminar Proposal. Kemudian saya datang kembali ke SMPN 3 Medan untuk memberikan surat tersebut, tetapi mereka mengatakan bahwa saya belum dapat memulai penelitian dikarenakan siswa kelas IX (9) masih melaksanakan UAS dan mereka takut hal itu bisa mengganggu dan menyuruh saya agar datang kembali setelah UAS selesai. Tiga minggu kemudian, saya datang kembali ke SMPN 3 untuk menanyakan kapan saya dapat memulai penelitian saya. Mereka memberikan pernyataan bahwa saya belum dapat memulai penelitian karena siswa kelas IX sedang sibuk persiapan UAN dan saya bisa memulai penelitian setelah UAN selesai. Saya mulai ragu menerima alasan-alasan yang dilontarkan oleh pihak sekolah. Apalagi surat izin penelitian tersebut, urung mereka terima dengan mengatakan, ―kamu pegang saja dulu, nanti diberikan kalau kamu sudah mulai penelitian‖. Jika saya menunggu sampai siswa IX selesai UAN, saya berfikir bahwa itu menyia-nyiakan waktu yang panjang, ditambah lagi jika selesai UAN maka anak kelas IX tidak lagi masuk sekolah. Disamping itu, setelah UAN maka anak kelas VII (7) dan VIII (8) akan mulai ujian semester. Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, saya memilih untuk mengalihkan lokasi penelitian saya ke SMPN 10 Medan. Saya memilih SMPN 10 Medan sebagai lokasi penelitian sebab interval (jarak selisih) skornya yang tidak terlampau jauh dari skor SMPN 3 Medan —tentunya berdasarkan kategori Standar Tenaga Pendidik dan Kependidikan. Selain itu, saya memilih SMPN 10
Universitas Sumatera Utara
Medan juga karena saya merasa lebih mampu dan sudah dekat dengan banyak pihak dari sekolah tersebut. Berdasarkan data dari Badan Akreditasi Sekolah/Madrasah Provinsi Sumatera Utara (website resminya) menunjukkan bahwa Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 10 Medan menjadi salah satu sekolah negeri dengan nilai terbaik dalam kualitas standar tenaga pendidik dan kependidikannya yakni dengan skor 89. Tabel 1 Hasil Penilaian oleh Badan Akreditasi Sekolah atas SMPN 10 Medan
Sumber: http://www.bansm.or.id/provinsi/sumaterautara/akreditasi/ view/18635 (diakses 25 Maret 2014)
1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan utama dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengungkap dan mengetahui pola mengajar para guru di SMPN 10 Medan.
Universitas Sumatera Utara
Adapun manfaat akademis yang hendak diberikan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk menambah wawasan keilmuwan mengenai bagaimana terbentuknya pola-pola mengajar para guru di sekolah terutama di sekolah negeri. Sedangkan secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi pembaca sebagai informasi dalam bidang pendidikan, selain itu hasil penelitian ini dapat menjadi kritik dan saran bagi Sekolah Menengah Pertama Negeri 10 Medan agar selanjutnya dapat berkembang ke arah yang lebih baik lagi.
1.6. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan tipe penelitian yang berbentuk etnografi. Bogdan dan Taylor (1992:21) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah salah satu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif kualitatif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif diharapkan mampu menemukan pola hubungan yang bersifat interaktif. Menurut Spradley (1997:10) metode etnografi adalah sebuah metode khusus atau kumpulan metode-metode yang di dalamnya meliputi, melihat, mendengar dan ikut berpartisipasinya etnografer dengan masyarakat/kelompok yang diteliti. Hal ini dimaksudkan agar dapat memahami sudut pandang mereka. Tidak hanya mempelajari masyarakat/kelompok, lebih dari itu etnografer dituntut untuk belajar dari masyarakat. Dengan demikian, maka saya
Universitas Sumatera Utara
berinteraksi langsung dengan informan untuk mendapatkan segala informasi untuk penelitian ini. Saya datang dan meminta izin untuk melaksanakan penelitian di SMPN 10 Medan pada tanggal 27 Maret 2014 sekitar jam 09.00 Wib. Pada saat itu Wakil Kepala Sekolah sedang tidak berada di tempat sehingga saya disuruh oleh pegawai administrasi untuk langsung saja datang menemui Kepala Sekolah di dalam ruangan. Saat saya masuk dan mengutarakan maksud kedatangan saya, Bapak Rajo (Kepsek) menanyai saya beberapa hal yaitu, seperti apa pola pengajaran yang saya ingin tahu, apa manfaat penelitian saya untuk sekolah, siapa saja yang akan saya tanyai sampai bagaimana cara saya mendapatkan informasi. Ketika saya mengatakan bahwa saya menggunakan teknik wawancara, beliau memberikan saran agar saya membuat angket saja. Menurut beliau, jikalau saya membuat angket maka jangkauan informan saya lebih banyak dan lebih mudah menggeneralisirnya. Awalnya saya menolak, karena penelitian saya kualitatif sehinggga penting bagi saya mengetahui jawaban lebih lanjut atas apapun yang disampaikan informan, melihat langsung bagaimana ekspresi informan ketika menjawab dan saya khawatir kalau informan salah menafsirkan pertanyaan yang saya buat jika menggunakan angket. Namun, bapak itu tetap menyarankan demikian dan menunjukkan beberapa lembar kertas, yang mana ada beberapa kategori seperti penguasaan materi, pengelolaan kelas, pengelolaan waktu, teknik bertanya, pengelolaan papan tulis, dsb. Kemudian beliau mengatakan bahwa saya bisa membuat pertanyaan untuk angket berdasarkan kategori-kategori tersebut dan jikalau
Universitas Sumatera Utara
nanti saya tidak menggunakan angket tersebut, itu bukan masalah, ―hanya sekedar saran dari bapak saja”, kata bapak itu sambil tersenyum. Akhirnya saya pun menerima saran bapak itu. Namun saya tidak menjadikan angket tersebut sebagai patokan, tetapi saya mengakui bahwa itu cukup membantu saya dalam mengetahui gambaran awal seperti apa pemikiran mereka dan dengan itu menolong saya dalam membuat pertanyaan-pertanyaan wawancara yang lebih mendalam untuk mendapatkan informasi yang lebih rinci dan akurat. Saat saya hendak pulang, salah seorang guru bernama Ibu Rotua (guru olahraga) yang merupakan teman dari orangtua saya menanyakan apa tujuan saya datang ke sekolah dan saya pun menceritakan padanya. Kemudian ibu itu menawarkan agar saya menyebar angket di kelas-kelas pada saat jam pelajarannya saja, sambil saya menyebar angket, saya juga bisa sambil mewawancarai murid-murid tiap kelas. Saya pun menerima tawaran ibu itu dengan senang hati. Dua hari kemudian, saya membawa 75 lembar angket untuk disebar ke beberapa kelas. Saya memilih kelas-kelas yang dianggap unggulan secara akademik, yang dianggap murid-muridnya berkelakuan baik —tentunya berdasarkan versi guru— dan kelas-kelas yang berbanding terbalik dengan itu.
Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah: 1. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dan berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi. Pengumpulan data yakni dilakukan dengan cara:
Universitas Sumatera Utara
Observasi
Observasi (pengamatan) merupakan salah satu metode yang digunakan dalam penelitian ini. Observasi yang dilakukan adalah observasi partisipan. Teknik ini saya lakukan dengan cara mengamati semua aktivitas yang dilakukan di sekolah. Saya ikut melibatkan diri secara langsung dalam beberapa kegiatan yang dilakukan, terutama saat proses belajar-mengajar di ruangan kelas. Hal ini dilakukan untuk mendapakan gambaran tentang pola mengajar para guru di SMPN 10 Medan.
Wawancara
Saya menggunakan teknik wawancara terbuka dan wawancara mendalam (indepth interview) untuk mendapatkan data dari informan. Observasi serta wawancara terbuka dan indepth interview terhadap informan bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang lengkap dan valid terhadap permasalahan yang diteliti. Subjek atau pun orang yang akan dijadikan informan diantaranya adalah murid, guru, orangtua dan pihak-pihak lain yang dianggap terkait dengan proses belajar-mengajar di SMPN 10 Medan. Saya juga menggunakan alat bantu dalam wawancara, diantaranya adalah alat rekam suara dan camera.
2. Data Sekunder Data-data sekunder yang saya gunakan bersumber dari buku, majalah, jurnal, artikel (baik di media cetak maupun elektronik), internet dan hasil-hasil
Universitas Sumatera Utara
penelitian sebelumnya yang dapat dianggap sinkron dan relevan dengan pembahasan dalam penelitian ini.
BAB II GAMBARAN UMUM SMPN 10 MEDAN
2.1. Sejarah Pendidikan di Indonesia 2.1.1. Awal Terbentuknya Sekolah
Sistem persekolahan pada zaman pemerintahan Hindia Belanda
Dahulu, Belanda memperkenalkan sistem pendidikan formal bagi penduduk Hindia Belanda —cikal bakal Indonesia— meskipun tentu saja terbatas bagi kalangan tertentu saja. Masyarakat Hindia Belanda dibagi menjadi beberapa golongan, sehingga sekolahnya juga dipisahkan. Secara umum sistem pendidikan khususnya sistem persekolahan didasarkan pada golongan penduduk menurut keturunan atau lapisan (kelas) sosial yang ada dan menurut golongan kebangsaan yang berlaku waktu itu12. Terdapat sekolah untuk orang kulit putih (European), orang Timur asing (Vreemde Oosterlingen, termasuk Cina, Arab dan India) dan orang-orang Bumi Putera (Inheemschen). 12
Prof. Dr. S. Nasution, Sejarah Pendidikan Nasional (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hal. 38
Universitas Sumatera Utara