BAB I PENDAHULUAN Pada bagian ini pertama-tama diuraikan tentang garis besar problem tata kelola ketahanan pangan lokal (local food governance) khususnya implementasi DPM LUEP di Kabupaten Rembang. Kedua, argumentasi mengapa topik penelitian ini penting dan menarik bagi penulis selaku seorang administratur dan sejauh mana relevansi bagi kebutuhan pekerjaan penulis. Ketiga, produksi gagasan atau pengetahuan baru apa yang akan bisa diperoleh dari studi ini. Apa saja yang menjadi kreativitas ide sentral dan tugas penelitian ini. Terakhir, bagaimana penelitian ini dilakukan serta apa saja tantangan pelaksanaanya, dan mengapa penelitian ini dilakukan di Rembang.
1.1
Latar Belakang Masalah Satu dasawarsa lebih, Indonesia menjalankan Orde Reformasi. Selama itu sudah
banyak upaya pembaharuan tata kelola pemerintahan yang dilakukan sesuai dengan gelombang demokratisasi dan prinsip-prinsip good governance. Perubahan besar dimulai dengan dianutnya desentralisasi dan otonomi daerah yang berdampak langsung pada penguatan kemandiran lokal. Jakarta tidak lagi menjadi pusat dari segala sendi tata kelola pemerintahan, pembangunan, kemasyarakatan. Sebaliknya daerah mencoba mencari format diri sebagai self center yang berjati diri. Usaha penguatan kemandiran lokal melalui program-program pemberdayaan dan pembangunan partisipasif menjadi ciri khas kebijakan daerah sekaligus suatu bentuk praktik dan semangat domokratisasi dan pelaksanan prinsip-prinsip good governance yang selaras dan bertumpu kuat pada kearifan lokal1. Sebuah perubahan besar dari suatu pendekatan state promoted ke arah 1
Sugeng Setya Cahyanto dkk., “Penguatan kearifan lokal sebagai solusi permasalahan
1
society promoted telah banyak dipraktekan. Perubahan pada level politik dari sentralitis menuju desentralisasi disertai pula dengan perubahan pada level administrasi kebijakan publik. Perubahan paradigmatik administrasi kebijakan publik dari government ke governance. Perubahan ini merespon sekaligus menyesuaikan atas perubahan besar yang terjadi. 2
ketahanan pangan nasional” dalam Prosiding The 4 th International Conference on Indonesian Studies : Unity, Diversity and Future, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya, Malang. 2
Setidaknya ada 4 hal yang relevan untuk menjelaskan mengapa reorientasi administrasi publik dari government ke governance. Pertama, dinamika politik, ekonomi, dan budaya yang sangat tinggi dalam dekade terakhir ini membuat kemampuan pemerintah untuk menjawab kebutuhan masyarakat menjadi semakin kedodoran. Semakin lama semakin banyak kebutuhan masyarakat yang tidak bisa diselenggarakan oleh pemerintah. Di lain pihak, kapasitas masyarakat sipil (civil society) dan pasar untuk menjawab kebutuhan masyarakat menjadi semakin tinggi. Akibatnya, banyak kebutuhan masyarakat sebagai kolektivitas seperti barang-barang publik dan semi publik, yang kemudian diselenggarakan oleh lembaga non pemerintah. Semakin banyak kegiatan yang dulunya dikelola oleh lembaga pemerintah yang kemudian diselenggarakan oleh lembaga non pemerintah tentu membuat administrasi pemerintahan menjadi semakin kurang relevan. Kedua, globalisasi ekonomi yang semakin kuat juga menciptakan tekanan yang sangat besar kepada studi administrasi publik untuk meredefinisi pemahamannya mengenai apa yang sebaiknya menjadi fokus dan lokus studi administrasi publik. Globalisasi mendorong semua pemerintah di dunia untuk memperbaiki efisiensi nasionalnya. Hal ini mendorong banyak pemerintah di negara dunia ketiga, termasuk Indonesia, untuk mengurangi keterlibatannya dalam berbagai kegiatan pembangunan dan pelayanan publik. Birokrasi pemerintah di Indonesia yang selama ini banyak terlibat dalam kegiatan pembangunan sering justru dinilai menjadi satu sumber inefisiensi. Mengurangi keterlibatan pemerintahdalam berbagai kegiatan yang sebenarnya bisa diselenggarakan oleh asosiasi sukarela dan mekanisme pasar dianggap sebagai salah satu cara untuk memperbaiki efisiensi nasional. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika pemerintah Indonesia selama lebih dari dua dekade ini melakukan serangkaian kebijakan deregulasi dan debirokratisasi. Semua kebijakan tersebut pada dasarnya adalah memberikan ruang yang semakin besar kepada masyarakat dan mekanisme pasar untuk terlibat dalam kegiatanpembangunan dan pelayanan publik. Swastanisasi dan kemitraan antara pemerintah dan swasta menjadi semakin mudah diketemukan dalam berbagai kegiatan pembangunan dan pelayanan publik. Fenomena semacam ini menjadi semakin banyak terjadi. Perspektif teori administrasi publik sebagai administrasi pemerintahan yang berlokus pada lembaga pemerintahan tentu tidak memadai lagi untuk menjelaskan fenomena semacam ini. Ketiga, menguatnya tuntutan demokratisasi juga membuat studi administrasi publik semakin kehilangan fenomenanya. Keinginan masyarakat untuk berperan serta dalam kegiatan pemerintahan dan pembangunan mendorong munculnya banyak lembaga baru dalam masyarakat. Organisasi masyarakat sipil (civil society organization), organisasi sukarela, dan lembaga-lembaga non-pemerintah lainnya banyak bermunculan selama dekade terakhir ini. Banyak peran pemerintah yang kemudian bisa diambil oleh lembaga-lembaga tersebut. Fenomena ini tentu menambah daftar panjang dari penyebab mengapa peran pemerintah di Indonesia cenderung menjadi semakin mengecil selama dekade terakhir ini. Keempat, kenyataan menunjukkan bahwa sekarang ini menjadi semakin sulit untuk membedakan organisasi pemerintah dan non pemerintah. Kriteria yang dulunya dengan mudah dapat digunakan untuk membedakanorganisasi pemerintah dan perusahaan bisnis sekarang tidak lagi dapat dipergunakan (Bozeman 1986). Salah satu sebabnya karena selama dekade terakhir ini di Indonesia terjadi transformasi organisasi dari organisasi pemerintah dan perusahaan bisnis menjadi organisasi
2
Demikian halnya yang terjadi di Pemerintah Kabupaten Rembang, suatu perubahan mendasar dimulai dari paradigmatik, teoritik, konseptual hingga ke persoalan teknik kebijakan sudah banyak dilakukan. Dalam bidang pertanian tidak lagi dijumpai suatu model dari petani-petunjuk ala Orba dengan kelompencapir-nya. Sebaliknya ke arah petani-kreatif dengan take higth risk yang menjadi ciri utamanya. Banyak petani lokal melakukan beberapa eksperimen lokal berbekal kemampuan sederhana dan kekayaan keragaman hayati lokal. Suatu pilihan komoditas lokal tidak lagi berdasarkan arahan dari atas, tetapi petani secara mandiri melakukan suatu pantauan pasar tentang komoditas apa yang baru diminati pasar yang selanjutkan akan mereka pelajari dan diuji coba untuk ditanam. Suatu learning by doing dengan keberanian untuk keluar dari pakem termasuk mencoba suatu komoditas baru yang sama sekali tidak pernah ada sebelumnya. Suatu inovasi lokal dengan keberanian mengambil resiko besar menjadi tradisi baru dari para petani di Rembang pasca Orba. Hal ini sekaligus mematahkan teori James Scote bahwa petani akan bertindak berdasarkan suatu prinsip ’asal selamat’. Ada kemajuan besar para petani lokal untuk berusaha menyesuaikan dengan komoditas pasar dan keinginan untuk senantiasa belajar menghadapi resiko tinggi.3
hybrid(campuran). Dwiyanto, A (2004) Reorientasi Ilmu Administrasi Publik: dari Government ke Governance. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada FISIPOL UGM, Yogyakarta, 21 Agustus. Periksa pula Antun Mardiyanta, “Kebijakan Publik Deliberatif: Relevansi dan Tantangan lmplementasinya”, jurnal Adminitrasi Publik Unair Tahun 2011, Volume 24, Nomor3 Hal: 261-271 3
Hal itu bisa dilihat dari tingginya suatu eksperimen terhadap komoditas yang masih asing, baik dari segi teknik menanam, pilihan iklim maupun pemasaran. Pilihan ini tidak terlepas dari resiko-resiko yang tidak semuanya mampu mereka prediksi. Suatu keberanian dengan minim keahlian banyak dijumpai di daerah-daerah pesisir khususnya Rembang. Sebagai suatu daerah yang lebih banyak mengandalkan sistem pertanian tadah hujan, karena masih belum tersedia dan buruknya kualitas irigasi ini, tidak sebanding dengan keinginan para petani untuk maju dan memilih suatu komoditas secara selektif yang memiliki pangsa pasar dan harga yang bagus. Sebagai contoh dipilihnya budidaya melon, cabe buah, tomat buah, tembakau dan beberapa tanaman dengan preferensi pasar impor banyak dicoba petani untuk dikembangkan di daerah ini.
3
Suatu praktik inovasi dan keberanian mengambil resiko ini didukung juga oleh kemudahan kredit dari bank-bank pemerintah maupun pemodal lokal serta kemudahan untuk mengakes informasi dan teknologi melalui kemajuan internet dan telekomunikasi baik telepon, bbm, sms, maupun media sosial lainnya. Kemajuan dan kemudahan dalam memperoleh permodalan karena menjamurnya lembaga keuangan mikro turut mendukung tewujudnya suatu inovasi komoditas lokal pertanian. Lembaga keuangan mikro dengan suku bunga tinggi atau lebih mendekati renterner telah banyak membantu mereka meskipun tidak sedikit mencekik mereka. Demikian juga kemudahan akses informasi telah memunculkan para mentor dan kolega virtual yang setiap saat bisa dikontak dengan memberikan contoh-contoh praktik bertani secara gamblang. Kemajuan teknologi informasi telah membawa pembelajaran pertanian bukan hanya pada bahasa verbal, gambar dan tekstual tapi juga berupa video amatir dan film-film dokumenter yang dibuat oleh antar petani sendiri melalui jaringan pemberdaan kemitraan dan perdagangan komoditas yang sama. Ini membuat para petani semakin terbuka keberanian untuk mencoba dan melakukan eksperimen-eksperimen produk unggulan tertentu yang belum mereka kenal disamping juga karena semakin terbukanya pasar yang semakin luas. Meski demikian sukses dan gagal adalah kenyataan yang harus mereka hadapi bersama. Kesuksesan bisa saja berbuah manis dengan memperbarui sepeda motor atau memperbaiki rumah tinggal. Namun suatu kegagalan dalam inovasi lokal tidak jarang berakhir dengan minggat atau pergi sorang petani sampai batas waktu tak diketahui, baik mencari pekerjaan ke kota atau ke luar pulau untuk menghindari tagihan atau sekedar melupakan kebangkrutanya. Jumlah ini tidak sedikit meski ada beberapa yang sukses besar atau beberapa yang lain sekedar bertahan untuk hidup. Kenyataan para 4
inovator lokal tidak semuanya bernasib manis dan sayang tidak didukung oleh suatu kebijakan proteksi yang kuat dari pemerintah untuk menyelamatkan mereka. Petani menjadi seorang pejuang sendirian, kehadiran pemerintah untuk terlibat dalam proses penguatan petani senantiasa nihil. Sudah demikian, pemerintah seolah hanya berdiri pada kepentingannya sendiri. Kemajuan pesat petani lokal sebagai hasil positif dari keterbukaan dan sepirit kemandiran lokal tidak sepenuhnya sejalan dengan kebijakan pemerintah Jakarta. Suatu kebijakan pangan pusat justru masih tampak kuat dengan paradigma lama yang tidak lain sukses pertanian adalah tercukupinya beras sebagai satu-satunya ukuran ketahanan pangan nasional.4 Meskipun dalam suatu undang-undang dengan jelas disebutkan bahwa komoditas ketahanan pangan itu mencakup beras, jagung dan kedelai. Namun suatu praktik di lapangan tetap saja hanya beras sebagai komoditas yang mendapat perhatian ekstra. Ini suatu bentuk nyata tantangan terwujudnya local food governance yang berbasis pada potensi kemandiran lokal yang kuat. Mengingat satu-satunya komoditas lokal yang diangap sebagai komoditas ketahanan pangan hanyalah beras. Sehingga di luar beras bukanlah komoditas ketahanan pangan. Ini suatu praktik keliru yang sudah mendarah daging dan membekas kuat bahwa beras satu-satunya komoditas pangan yang penting, bahkan sejak Orba dinobatkan sebagai penjaga keamanan nasional. Klaim komoditas ’penjaga perut lapar’ berarti menjaga kelangsungan suatu pemerintahan telah mendorong pemerintah
4
Kebijakan pangan nasional yang diambil pemerintah saat ini dinilai tidak memberikan perlindungan terhadap petani. Banyak kebijakan pemerintah sangat tidak cerdas dan cenderung untuk kepentingan sesaat dengan melakukan kebijakan pangan murah dan bebas bea masuk pangan impor http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=3648
5
memilih berada pada posisi aman (pencari selamat – dalam istilah Scot) yaitu memberikan suatu perhatian khsusus kepada komoditas satu-satunya beras.5 Suatu kemandiran lokal berhadapan dengan kebijakan Pusat yang menjadikan suatu daerah dikatakan rawan pangan karena kurangnya stok beras. Sementara secara riil praktik kebutuhan pangan sehari-hari masyarakat banyak dicukupi makanan pokok lokal masyarakat selain beras, yaitu jagung, sagu, talas, sukun, ubi jalar, dan singkong. Lebih dalam lagi beras bukan hanya sebagai simbol ketahanan pangan tetapi juga ukuran kemiskinan, masyarakat yang mengonsumsi makanan pokok selain beras, dikategorikan sebagai masyarakat miskin. Suatu cap atau labeliasi kemiskinan yang bertolak dengan suatu ragam kemandiran lokal.6 Begitu kuatnya posisi beras sebagai ikon ketercukupan pangan di Indonesia, maka dengan berbagai upaya pemerintah berusaha menjaga stabilitas pasokan dan 5
Kekawatiran kekurangan pangan sebagai akibat global warming disebabkan oleh berbagai permasalahan yang semakin komplek. Negara-negara lumbung padi gagal panen karena iklim tidak bersahabat, teknologi produksi telah menyebabkan ketergantungan baru dengan pasar dan industri obatobat kimiawi, juga akibat bencana banjir dan kekeringan termasuk tingginya penyakit dan tingkat kerusakan lahan. Ancaman kekurangan pangan terjadi juga disebabkan semakin banyaknya industrialisasi makanan yang menggunakan bahan pangan / padi, jagung, kedelai dll untuk keperluan industri. Di samping juga karena semakin menyempitnya lahan pertanian untuk industri. Di Indonesia setidaknya ada lima penyebab krisis pangan antara lain: (1) pertumbuhan penduduk lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan produk pertanian. Hasil sensus penduduk (2010), jumlah penduduk Indonesia sudah mencapai 237 juta orang. (2) Pemerintah Indonesia lebih suka mengimpor dalam memenuhi kekurangan kebutuhan produk pangan domestik, bukan meningkatkan produksi hasil pertanian. Adalah sebuah ironi, di sebuah negara agraris, berbagai kebutuhan pokok pangan, seperti beras, kedelai, gula, daging sapi, bahkan garam, harus dipenuhi dengan impor. (3) Adanya penurunan luas lahan pertanian produktif akibat perubahan fungsi lahan produktif (agricultural land), tanah yang bisa dipakai bercocok tanam menjadi perumahan, pabrik dan lain-lain. (4) Pilihan diversifikasi pangan di Indonesia juga salah, karena menjadikan mi instan berbahan pokok terigu sebagai produk substitusi pengganti beras, di mana 100 persen kebutuhan terigu domestik adalah impor; dan (5) konsumen di Indonesia tidak pernah diedukasi pemerintah dalam melakukan konsumsi untuk lebih mengutamakan produk pangan lokal. dilihat dari sisi konsumsi, saat ini penduduk Indonesia mencapai 237,6 juta jiwa, dengan pertumbuhan penduduk secara nasional 1,34 persen. Hal ini menyebabkan permintaan konsumsi pangan pun menjadi meningkat dan harus lebih tinggi dari angka tersebut. Tahun 2030 Indonesia memerlukan beras sebanyak 59 juta ton untuk memenuhi kebutuhan penduduk Indonesia yang berjumlah 425 juta jiwa. Lahan sawah yang tersedia sekarang hanya 11,6 juta hektare dan yang beririgasi 7,6 juta hektare. Untuk memenuhi kebutuhan itu, diperlukan lahan baru 11,8 juta hektare. Kondisi ini menjadi salah satu tantangan pemerintah dalam menyiapkan kebutuhan pangan. 6
Jonatan A. Lassa, “Memahami Kebijakan Pangan dan Nutrisi Indonesia: Studi Kasus Nusa Tenggara Timur 1958-2008”, periksa pula “Politik Ketahanan Pangan Indonesia 1950-2005”.
6
harga komoditas beras, karena gejolak harga yang tajam dapat berdampak terhadap usahatani dan kesejahteraan masyarakat, terutama para petani dan buruh tani, serta para konsumen. Apabila kejadian ini berlanjut dari tahun ke tahun, dikhawatirkan akan menjadi disinsentif bagi para petani dalam berusaha tani padi yang dapat menurunkan produktivitas dan produksi secara Nasional. Sebaliknya peningkatan produksi padi, selain untuk menjamin adanya stok pangan (beras) Nasional, juga merupakan salah satu upaya untuk menaikkan pendapatan/ kesejahteraan petani dan keluarganya. Namun `peningkatan produksi yang di capai petani pada panen raya, pada kenyataannya belum membawa petani pada peningkatan pendapatan/kesejahteraan tersebut. Sesuai dengan pola produksi tahunan, produksi gabah pada saat panen raya di daerah sentra produksi selalu melimpah, sedangkan permintaan gabah/beras bulanan relatif stabil, mengikuti hukum ekonomi, dimana penawaran meningkat permintaan akan menurun, maka demikian juga yang dialami petani pada musim panen raya, dimana harga gabah turun sampai dibawah harga dasar bahkan sampai titik terendah, sehingga tidak memberi keuntungan kepada petani. Sebaliknya pada musim paceklik, sering kali produksi yang tersedia tidak mencukupi kebutuhan sehingga harganya meningkat, bahkan sampai tidak terjangkau oleh petani yang pada saat itu justru tidak memiliki lagi produksi gabah. Pada saat panen raya (Maret - April), harga gabah di tingkat petani turun, dengan harga titik terendah pada bulan April. Keadaan berbeda terjadi pada musim panen (Juni-Juli), harga gabah lebih tinggi daripada musim panen raya. Harga akan terus menaik pada bulan berikutnya dengan harga tertinggi terjadi pada bulan Desember – Januari. Mengingat beras masih merupakan komoditi strategis dalam kehidupan sosial ekonomi Nasional, maka pemerintah merasa perlu untuk senatiasa menjaga stabilitas 7
harga karena akan berdampak langsung kepada ekonomi Nasional, bahkan stabilitas Nasional. Oleh karena dianggap perlu pemerintah untuk mengatur harga dasar gabah, yakni melalui Inpres No. 9 Tahun 2002 tentang Penetapan Kebijakan Perberasan Nasional, yang disebut Harga Dasar Pembelian Gabah oleh Pemerintah (HDPP), dimana untuk operasionalisasi kebijakan HDPP tersebut telah dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Badan Bimas Ketahanan Pangan Departemen Pertanian dengan Badan Urusan Logistik (BULOG) No. 02/SKB/BBKP/I/2003. Kep08/UP/01/2003 tanggal 16 Januari 2003 tentang harga pembelian gabah oleh kontraktor pengadaan gabah/beras dalam negeri dari petani/kelompoktani. Namun demikian keadaan di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak petani yang menjual gabahnya dibawah harga dasar. Hal ini disebabkan antara lain kurangnya akses Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP) terhadap desa untuk pengadaan gabah/beras, tidak adanya institusi penghubung antara Dolog dengan Petani/kelompoktani yang menjamin bahwa petani menerima harga sesuai HDPP. Melihat keadaan yang tidak menguntungkan petani ini, maka pada tahun 2003 dikembangkan suatu kegiatan berupa pengembangan modal pemanfaatan Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM-LUEP) untuk pembelian gabah/beras petani. Dengan menggunakan Dana APBN yang dikelola Departemen Pertanian. Adapun tujuan DPM – LUEP untuk pembelian gabah petani adalah : 1) Menjaga stabilitas harga jual di tingkat petani. 2) Meningkatkan pendapatan petani melalui harga jual gabah/beras melalui penerapan HDPP. 3) Menumbuhkembangkan kelembagaan usaha ekonomi di pedesaan. 4) Meningkatkan kerjasama antara LUEP dengan petani/kelompok tani. 8
5) Memperkuat posisi daerah dalam ketahanan pangan wilayah yang berakumulasi pada Ketahanan Pangan Nasional.
"Dana Talangan" kepada LUEP agar kemampuan pembiayaan mereka bertambah untuk membeli gabah petani pada saat panen raya sesuai HDPP. Dana Penguatan Modal LUEP untuk pembelian gabah petani adalah bersifat komplementer dan diharapkan selain memperkuat kegiatan serupa yang telah dilaksanakan oleh daerah serta mendorong daerah mengalokasikan/meningkatkan alokasi APBD untuk kegiatan serupa, dan berfungsi sebagai dana talangan (bridging fund) untuk modal kerja, yang pada jangka waktu tertentu dikembalikan ke rekening kas negara. Kegiatan ini bersinergi dengan kegiatan lainnya seperti Lumbung Pangan Masyarakat Desa (LPMD) Tunda Jual, dan Pengadaan Gabah/Beras oleh Dolog. Semua kebijakan Pusat ini di Pemerintah Kabupaten Rembang ditindaklanjuti dengan Peraturan Bupati Rembang, nomor: 01 tahun 2007, tanggal 27 Januari 2007 yang bersisi Petunjuk Teknis Pelaksanaan Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM-LUEP) untuk Pengendalian Harga Gabah/Beras, Jagung Dan Kedelai di tingkat petani Kabupaten Rembang Tahun 2007.
1.2. Motivasi dan ketertarikan penelitian Pertama, isu tentang ketahanan pangan merupakan isu lama yang selalu diperbaharui dalam setiap pergantian rezim, tetapi substansi dan realitas kebijakan selalu mendudukan petani sebagai ‘korban’ dan obyek kebijakan, hingga kini tidak pernah mendapatkan tempatnya yang cukup adil. Kedua, sektor pertanian selalu mendapatkan kebaruan semangat dan janji-janji perubahan nasib dalam kampanye 9
pemilihan, tetapi tidak mendapatkan perhatian yang serius dalam kontek kebijakan nasional, sebaliknya sektor pertanian dan petani selalu menjadi ‘tumbal’ sekaligus sebagai pihak yang selalu ‘dikalahkan’ dan ‘yang menanggung akibat’ dari kegagalan kebijakan nasional di luar pertanian (industrialisasi non pertanian). Ketiga, dalam banyak kasus, secara konseptual dan programatik kebijakan ketahanan pangan sudah cukup ideal tetapi selalu berjarak dalam praktik dan kenyataan riil kehidupan masyarakat petani pedesaan. Idealitas kebijakan ketahanan pangan dan upaya pemberdayaan sektor pertanian dan petani selalu terjebak dalam ‘lingkaran setan baru’ kompleksitas kemiskinan dan ketakberdayaan petani, baik akses, sumber daya maupun sarana dan parasana untuk mewujudkannya. Keempat, upaya mendudukan petani sebagai pemilik syah kedaulatan pangan seringkali berakhir pada politisasi dan birokratisasi dan tetap saja mendudukan petani dan kebijakan ‘jauh panggang dari api’.7 Petani tetap saja bergulat dengan berbagai bentuk kekerasan dan penindasan kebijakan publik secara by design menghimpitnya, dari negara dipukul dengan kebijakan impor beras justru pada menjelang dan saat panen raya tiba, dari sisi pasar di pukul oleh berbagai kenaikan harga pupuk, obat dan segala biaya produksi, dan secara alam didera berbagai hama dan penyakit, dan secara lokal dipojokan oleh ulah dominasi elit ekonomi lokal lewat mekanisme renternir dan sistem ijon yang mencekik dan kebijakan lokal yang sengaja menguntungkan para pemilik modal kuat di pedesaan. Penelitian ini menurut penulis menarik karena bersamaan dengan pembaharuan semangat Jakarta untuk memperbaiki sistem penguatan petani dalam kontek kebijakan pangan. Kebaruan kebijakan itu ditandai dengan diterapkannya kebijakan Dana
7
Pidato pengukuhan guru besar, Prof. Dr. Ir. Mochammad Maksum Machfoedz, MSc., “Pertanian: Landasan Rekonstruksi Perekonomian Nasional”, Rapat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada pada tanggal 30 Januari 2008, Yogyakarta.
10
Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM-LUEP) untuk mengganti kebijakan sebelumnya. Kebijakan baru ini, kini telah memasuki tahun kedua. Persoalan ini sangat menarik ketika dilihat dari jarak dekat, implementasi kebijakan DPM LUEP di mana pemerintah kabupaten sebagai aktor / agen implementasi kebijakan, telah banyak terjebak oleh aneka ragam kepentingan lokal yang tidak jarang menyimpang dari tujuan utama DPM LUEP. Munculnya banyak kasus yang berbeda-beda dari setiap kabupaten untuk merespon kebijakan ini, menjadi persoalan tersendiri bagi penulis untuk mendalami kasus ini, terlebih dalam kontek politik lokal yang sedang berubah, di mana kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah telah memberikan keluasaan yang cukup bagi daerah untuk melakukan inovasi dan kreativitas kebijakan, ditambah lagi dampak dianutnya sistem pilkada langsung telah memunculkan aktor politik baru yang disebut sabet dan botoh yang merupakan kekuatan di luar partai politik. 8 Studi ini sendiri dilakukakan di kabupaten Rembang yang merupakan salah satu kabupaten yang sudah melaksanakan pilkada langsung tepat dua tahun yang lalu. Studi ini menjadi menarik ketika muncul elit dominan baru, yakni sabet dan botoh (S&B) yang memiliki peran signifikan dalam menguasai ruang kebijakan publik di mana pada fase sebelumnya menjadi kapling partai politik (legislatif) di tengah-tengah amburadul pertanggung-jawaban partai politik dan DPRD dihadapan konstituennya. Peran politik S&B yang dominan itu telah menggeser posisi dua lembaga pemerintahan daerah, DPRD dan Eksekutif. Hal ini dikarenakan kekuatan politik dan birokrasi status quo yang semenjak kampanye pilkada selalu digembar-gemborkan sebagai pihak
8
Wahyudi Kumorotomo, “Melayani Kepentingan Parpol: Masalah Fragmentasi dan Akuntablitas dalam perumusan kebijakan di daerah”, 2010, Analisis CSIS. Periksa pula Lili Romli, “Bosisme Lokal?”suara karya kamis 15 Januari 2009.
11
‘bermasalah’ sehingga tidak mendapatkan dukungan publik dan mengakibatkan kekalahan kekuatan status quo yakni dengan tumbangnya incumbent dan Sekda akibat isu rendahnya kinerja pemerintah daerah dan korupsi berjama’ah. Isu ini telah mendudukan birokrasi dan legislatif lokal sebagai bagian dari, bahkan sumber dari segala masalah sehingga layak tidak dipercaya publik. Kondisi ini dimanfaatkan oleh S&B sebagai kelompok politik baru untuk ‘mengambil’ posisi kebijakan pemerintah daerah. Sehingga mengakibatkan terjadinya politisasi birokrasi oleh sekelompok kecil orang ini menjadi semacam oligarkis ekonomi politik baru di luar birokrasi dan legislatif. Keberadaan S&B yang ad hoc telah menjadi semacam ad hoc government (pemerintahan bayangan) yang mampu menggerakan roda kebijakan negara, termasuk dalam hal implementasi DPM-LUEP ini. Akibatnya kebijakan ini beresiko untuk terjebak dalam bayang-bayang kepentingan wongku-wongmu dalam suatu semangat sabetisme yang pada akhirnya mengakibatkan tingginya tunggakan dan berujung dengan persoalan hukum karena diduga ada praktik tindak pidana korupsi.9 Bahkan program ini berakhir tragis karena adanya desakan kuat dari pihak legislatif Propinsi Jawa Tengah untuk mengehentikan program ini pada tahun 2011.10
1.3. Pentingnya Penelitian
9
Bahkan di Sleman kasus pengemplangan dana talangan oleh kelompok tani sebagai tindak pidana khusus korupsi sudah disidangkan dan divonis. http://www.kejaksaan.go.id/infoperkara.php?sec=sd&det=Mzk4Mw==&idsu=15&bc= Demikian juga di Bojonegoro, DPM-LUEP untuk tahun 2007 telah dilaporkan kepada Kejaksaan setempat dan menjadi target tindak pidana korupsi yang harus dituntaskan. http://blokbojonegoro.com/read/article/20121215/kejari-sempurnakan-berkas-korupsi-dpm-luep.html 10
Bisnis Indonesia – Jateng memuat berita permintaan DPRD Jateng untuk menghentikan DPM-LUEP. http://www.bisnis-jateng.com/index.php/2011/01/dprd-minta-dana-talangan-luepdihentikan/
12
Penelitian ini dianggap penting mengingat dari proses metaformosis kebijakan ketahanan pangan di Indonesia masih menjauhkan petani sebagai pemilik kedaulatan pangan. Apalagi berharap kebiakan ini mampu mengatasi persoalan harga gabah dan beras serta meningkatkan kesejahteraan hidup para petani. Menariknya penelitian dana talangan ini karena kompleksnya dinamika kebijakan di tingkat lokal, khususnya pasca pilkada langsung di mana terjadi perubahan yang sangat mendasar dan progresif dalam pemahaman dan pendekatan tata cara pemerintahan di daerah oleh para pemimpin baru hasil pemiliha langsung. Kehadiran pemimpin baru dengan semangat kedirian dan pembaharuan yang ‘progresif revolusioner’ dan menurut mereka sebagai langkah “out of the box” telah mendudukkan kebijakan DPM-LUEP berada pada posisi yang terlalu bersemangat dan kebablasan. Kreatifitas pempimpin lokal berada di dua sisi, yakni satu sisi dan sulitnya menjauhkan kebijakan dari tarikan kepentingan dirinya akibat beberapa persoalan yang dihadapi para pemimpin baru hasil pilkada langsung (kebutuhan untuk mengembalikan modal secepatnya) dan di sisi lain keinginan untuk melakukan perubaan yang lebih baik secara bersamaan dan dalam waktu sesingkat-singkatnya. Hal ini pada akhirnya banyak menimbulkan persoalan baru, khususnya terkait dengan prinsip-prinsip birokrasi dalam pengambilan keputusan, demokrasitisasi program dan praktik kepemerintahan yang baik dan mengarah ke praktik korupsi kebijakan DPM-LUEP. Dari beberapa hasil penelitian, pelaksanaan program DPM LUEP telah mengarah pada orientasi kepentingan pribadi elit berkuasa, yakni sebagian dana talangan petani tersebut
dibelokan untuk kepentingan pribadi (digunakan sebagai
modal usaha) di luar progam penyaluran.
yang sebenarnya melalui pemotongan pada saat
Meski uang yang ”dipakai” tetap dikembalikan kepada pemerintah 13
bersamaan dengan jadwal pengembalian dari petani, namun demikian telah terjadi praktik dislokasi dan dana ini menjadi bekerja secara maksimal untuk melakukan stabilitas harga di saat panen raya. Karena ketersediaan uang terbatas akibat pemotongan itu, gabah petani tetap diambil oleh para tengkulak dan ijon tetap berjalan. Meski di daerah ini harga saat panen raya tergolong relatif tinggi (di atas harga dasar), namun praktik ijon, tebasan, pengambilan gabah oleh para penebas dan penguyang tetap berjalan dengan leluasa mengakibatkan petani tidak mendapat keuntungan lebih sebagai diharapkan jika petani mampu menjual gabah pada kondisi kering giling apalagi jika mampu melakukan tunda jual pada masa tidak panen raya. Hal ini yang mengakibatkan petani tidak bisa mencapai harga maksimal dan posisi tawar yang kuat. Jumlah alokasi yang dalam praktik berkurang karena ada pemotongan terselubung itu telah menjadikan jumlah dana talangan semakin jauh dari kemampuan untuk menutup ruang gerak para spekulan gabah dan mampu mengambil semua gabah dari petani agar tidak terjebak ijon dan tebasan oleh para tengkulak. Ketidakberdayaan program dana talangan karena dibajak dan disalah gunakan oleh kepentingan elit daerah inilah yang kemudian mendorong penghentian program oleh DPRD Jawa Tengah karena dianggap sudah menyimpang, salah urus dan salah sasaran di lapangan serta mengarah ke pratik korupsi.
1.4. Perumusan masalah Dari beberapa uraian di atas maka dapat kami rumuskan suatu permasalahan pokok dalam penelitian ini sebagai berikut: 1.
Bagaimana implementasi kebijakan DPM-LUEP di Kabupaten Rembang?
14
2.
Mengapa
program
ketahanan
pangan
DPM-LUEP
kurang
mampu
memberdayakan petani?
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proses democratic governance dalam pelaksanaan kebijakan pangan di kabupaten Rembang. Secara praktis diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi upaya pernyempurnaan kebijakan ketahanan pangan di Indonesia dan secara akademis diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi studi implementasi kebijakan publik, khususnya menyangkut proses pengambilan keputusan demokratis dan good governance di tingkat lokal.
15