BAB I
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang ” Kini Kita di hadapkan sebuah fakta paradoksal, bahwa pendidikan menjadi salah satu kendala utama bagi usaha mencapai kecerdasan serta kebebasan berpikir” (Bertrand Russell dalam buku freire, et al 2009: xxviii)
Pendidikan menjadi hal yang penting dalam usaha perkembangan sumberdaya manusia. Pendidikan mengajarkan manusia tentang pengetahuan, nilai baik dan buruk yang berimplikasi pada teraturnya cara bersikap serta tata laku dalam kehidupan bermasyarakat yang pada akhirnya menimbulkan nuansa budaya. Nuansa budaya pada pengertiannya dipandang sebagai suatu sistem pengetahuan, gagasan dan ide yang menjadi sebuah pijakan atau pedoman bagi masyarakat dalam bersikap serta berperilaku di lingkunganya (Berger, 2012:68). Hal ini mengisyaratkan bahwa tata nilai kehidupan sosial bermasyarakat berasal dari seperangkat pengetahuan yang diperoleh dari proses pendidikan 1. Kondisi
saat
ini,
pendidikan
mulai
dipersempit
maknanya
dengan
persekolahan, yakni adanya anggapan bahwa pendidikan hanya berharga bila diperoleh lewat sekolah dan lewat proses berjenjang (SD,SMP,SMA). Derajat keberhasilan manusia didalam kehidupan masyarakat ditentukan dengan seberapa lama dan seberapa tinggi dalam mengkonsumsi dunia persekolahan.
Dunia
1
Kondisi inilah yang dibahas dalam keilmuan sosiologi pengetahuan yakni ketika pengetahuan menjadi konstruksi kehidupan bermasyarakat.
1
persekolahan ini pun dipersempit maknanya dengan menjadikan sekolah formal menjadi satu-satunya persekolahan yang layak menjadi tempat belajar. Kondisi ini mengantarkan sekolah formal dipandang sebagai tempat utama dalam proses mengkontsruksi kehidupan sosial budaya masyarakat melaui transfer pengetahuan dan penanaman nilai dari kegiatan belajar mengajar (KBM). Keyakinan masyarakat yang mengagungkan sekolah formal menjadi satusatunya tempat belajar yang layak, didukung dengan pemerintah yang juga melegitimasi keyakinan tersebut dengan menegakkan “demokrasi persekolahan formal”. Demokrasi persekolahan formal ditunjukkan pemerintah Indonesia melalui pemberian kesempatan belajar di sekolah formal untuk seluruh rakyat Indonesia tanpa memperdulikan kondisi ekonomi maupun status sosial. Pemerintah Indonesia telah mengalokasikan dana sebesar 20% dari APBN untuk menunjukkan keseriusanya dalam mengemban hak untuk bersekolah. Dengan dana
yang
tidak
sedikit
itu,
pemerintah mengajak
masyarakat
untuk
menyekolahkan putra-putrinya di sekolah formal dengan peraturan wajib belajar sembilan tahun. Kondisi ini menjadikan seluruh warga Indonesia wajib menempuh pengajaran di sekolah formal, sehingga persekolahan formal dipandang sebagai lahan paling subur dalam sosialisasi pengetahuan dan penanaman nilai yang ada dalam kehidupan bermasyarakat Indonesia ini. Sayangnya dibalik keberhasilan demokrasi persekolahan formal, justru memberikan hasil yang cukup tragis dalam dunia persekolahan. Dunia persekolahan formal dihiasi dengan tindakan kekerasan pengkerdilan mental, kreatifitas dan spiritual. Bukan itu saja, kondisi masyarakat saat ini juga mengalami semakin parahnya degradasi moral. Masyarakat mulai jauh dari
2
ketentraman batin dan spiritual. Standarisasi kesuksesan hidup diukur dengan materi atau materialisme. Pikiran, rahsa dan intuisi dalam melihat perkembangan konsep diri dianggap hal tabu. Hal ini menyebabkan tidak hanya kehidupan masyarakat mulai bersifat individualis tetapi alienasi (manusia mulai asing dengan dirinya sendiri) dan kekerasan, baik verbal maupun simbolik, merebak sehingga kehidupan terasa hampa tanpa makna. Kondisi ini menyebabkan dipertanyakan kembali seperangkat pengetahuan dan penanaman nilai macam apa yang disosialisasikan melalui pendidikan dengan model sekolah formal. Dibalik carut marutnya dunia persekolahan formal yang berimbas dalam degradasi moral kehidupan bermasyarakat, tetap saja, hal ini tidak bisa menjadikan sekolah formal menjadi kambing hitam dari kondisi kebobrokan mental tersebut. Bagaimanapun juga pemerintah memiliki cita-cita luhur untuk mencerdaskan bangsa. Sekolah formal juga terus berupaya memperbaiki kurikulum dan pengajaran sebagai pertanggungjawaban dari kritik pedas yang dilontarkan para kritikus pendidikan 2 sebagai usaha penggugatan persekolahan formal, sayangnya usaha tersebut justru mengantarkan persekolahan formal dalam kondisi tidak stabil atau “galau”. Bagaimana tidak, persekolahan formal dalam satu dasawarsa ini telah berganti kurikulum sebanyak tiga kali. 3 Kondisi ini, menurut O’neil (2008:8) seorang filsuf pendidikan, persekolahan tidak akan pernah menemukan solusi jika perbaikan dilakukan hanya secara prosedural, karena kesalahan terbesar dari sekolah ialah sekolah tidak mempertanyakan
2
Beberapa kritikan dan gugatan persekolahan formal di lontarkan oleh beberapa tokoh seperti ivan illich, Paulo freire, erich fromm, dan lain-lain. 3 Mulai dari tahun 1994 sampai 2014, pendidikan di Indonesia telah berganti kurikulum sebanyak tiga kali yakni dimulai kurikulum 1994 berubah menjadi kurikulum 1999, pada tahun 2004 berubah menjadi kurikulum KBK, pada tahun 2006 berubah menjadi kurikulum KTSP dan pada akhirnya berubah menjadi kurikulum 2013.
3
ideologi macam apa yang sedang di ajarkan, dibiasakan dan di instalkan terhadap para siswanya, berikut ini tuturan O’neil (2008:8): “Pada dasarnya, para guru, kepala sekolah, dan para pemilik sekolah adalah orang-orang yang baik, cerdas, dan peduli, yang terus mencoba untuk melakukan sebaik mungkin sebisa-bisanya. Andaikan mereka merusak pekerjaan luhur mereka itu, dan sebagian besar dari mereka memang melakukanya, itu karena tidak pernah terpikir oleh mereka kecuali segelintir saja untuk bertanya mengapa mereka melakukan apa yang mereka lakukan itu (segala prosedur, nilai dan materi pelajaran) untuk mempertanyakan secara serius dan sungguh-sungguh tentang tujuan atau konsekuensi pengajaran yang telah dilakukanya.” Paparan O’neil memberikan ide bahwa ketika ingin mengubah sebuah persekolahan usaha yang dilakukan bukanlah hanya mengubah prosedural dan teknis, namun dengan mengubah ideologi di dalam persekolahan tersebut. Ungkapan O’neil dalam kenyataan memang benar terbukti di dunia persekolahan konservatif Indonesia. Perubahan kurikulum di Indonesia seperti yang tengah terjadi saat ini yakni K13, menunjukkan bahwa perubahan kurikulum terjadi hanya di dalam tataran teknis dan prosedural, namun secara ideologis tetaplah sama. Saat ini, sekolah formal menekankan pentingnya keterampilan dan pengetahuan akademis yang empiris sebagai kajian ilmu pengetahuan; pemahaman atas jiwa dan pikiran dipahami sebagai suatu gerakan yang kompleks dalam sistem saraf, otak dan organ-organ; serta perilaku sosial bukan dipahami sebagai olah batin dan spiritual namun merupakan hasil belajar pengetahuan tentang nilai budi pekerti (baik dan buruk, seharusnya dilakukan dengan begini dan begitu) dan pembiasaan tata tertib. Ciri-ciri tersebut menunjukkan bahwa sadar atau tidak sadar, sekolah formal sedang melakukan praktik peng-instalan ideologi materialism pada para generasi bangsa.
4
Model pendidikan material secara konseptual keilmuan filsafat memiliki ciri mengarahkan pada cara berpikir positivisme, menurut Power (dalam buku Sadulloh, 2014: 117-118) menyebutkan bahwa model pendidikan materialisme menghasilkan anak didik yang profesional lagi patuh. Penerapan model pendidikan materialism membawa efek terbentuknya peradaban masyarakat yang berkeyakinan bahwa sekolah yang tinggi setelah lulus akan mendapat pekerjaan yang mapan, mapan diartikan hidup yang serba tercukupnya materi yakni hidup kaya raya. Kepercayaan ini mengantarkan “materi” sebagai standarisasi kesuksesan hidup. Paham inilah yang membawa masyarakat jauh dari nilai-nilai batin dan spiritual. Sementara itu, secara konseptual pendidikan metafisika mengajarkan tentang hakikat yang mengarah kepada pemikiran abstrak dan rasa batin. Analisa konseptual ini berkesuaian dengan fakta yang terjadi yakni gejalagejala kehidupan masyarakat Indonesia saat ini yang jauh dari nilai spiritualitas dan kebobrokan moral. Ini adalah implikasi dari penerapan model pendidikan materialism yang telah diterapkan seperti yang terjadi di sekolah formal. Hegemoni sebuah ideologi bukan terjadi secara tiba-tiba, namun melalui proses transfer, penanaman dan pembiasaan pengetahuan. Proses transfer pengetahuan dan penanaman nilai dapat terjadi di sekolah yang saat ini menjadi lahan paling subur dalam kontruksi pengetahuan. Kondisi masyarakat yang berorientasi kepada material dapat diyakini bahwa masyarakat telah mengeyam model pendidikan material dan mulai jauh dari proses pendidikan metafisika yang mengajarkan tentang spiritual. Kondisi ini tentu menjadi sebuah pertarungan konseptual yang menarik antara model pendidikan material dan metafisika dalam proses
5
perkembangan manusia (Human being). Sayangnya, ideologi pendidikan metafisika sangat jarang sekali diminati oleh kalangan akademisi dalam kajian keilmuan (riset). Hal ini menjadikan penting untuk diadakanya studi etnografi dengan kajian persekolahan berideologi metafisika. Terkait topik penelitian di atas, ditemukan sebuah kabupaten kecil di Jawa timur yakni Kabupaten Tulungagung, di kabupaten ini ditemukan sebuah sekolah metafisika bernama Adiluhung Insan Semesta (ADINSA). Sekolah ini memiliki pandangan metafisika mutakhir di abad 21 yakni pandangan keilmuwan mekanika kuantum. ADINSA muncul sebagai upaya transformatif dari beberapa gelintir orang yang merasa bahwa pendidikan konvensional dianggap menjauhkan manusia dari fitrah-kodrati, hanya berorientasi pada nilai - nilai persaingan dan perbudakan (legal formal IASSC, 2012:13). Sekolah ini mencoba melakukan kolaborasi kajian mind power dan quantum physic. Hal yang menarik dari ADINSA ialah siswa yang bersekolah di ADINSA hampir kesemuanya berasal dari siswa sekolah SMAN favorit di Kabupaten Tulungagung. Kondisi ini diharapkan dapat merekam jejak pengetahuan subyektif pada siswa terhadap pandangan mereka tentang model pendidikan materialisme dan metafisika di arus model pendidikan dan perkembangan manusia saat ini. Pandangan subyektif para siswa yang bersekolah di dua latar ideologi berbeda ini, akan di kaji dalam penulisan etnografi sub dunia persekolahan ADINSA. Kajian penelitian ini juga dilengkapi dengan proses legitimasi dan pelembagaan dalam pendirian rintisan sekolah metafisika ADINSA, serta tanggapan para tokoh pendidikan Kabupaten Tulungagung yang berada diluar sub dunia ADINSA. Tanggapan para tokoh diluar sub dunia ADINSA menjadi penting, disebabkan
6
posisi ADINSA dengan model sekolah metafisika yang diluar arus kewajaran pendidikan saat ini. Gambaran umum dari ADINSA ini diharapkan mampu menjadi referensi program pembinaan nalar, akal dan budi pengembangan potensi manusia (Human Being).
1.2. Rumusan Masalah Penelitian Dengan melihat permasalahan di atas, peneliti memiliki rumusan masalah yang nantinya akan menjadi fokus dari kajian penelitian yaitu: “Bagaimana cara yang dilakukan oleh para founder ADINSA untuk mendapatkan legitimasi? bagaimana outcome dari sekolah metafisika ADINSA? serta bagaimana tanggapan dari kalangan akademisi, guru sekolah formal, budayawan dan pemerintah Kabupaten Tulungagung terhadap keberadaan model sekolah metafisika ADINSA di arus pendidikan saat ini?”.
1.3. Tujuan Penelitian
Mengetahui serta menjelaskan proses pelembagaan dan legitimasi baik itu struktural maupun konseptual di sekolah metafisika ADINSA dalam pandangan ADINSA sebagai kenyataan obyektif.
Mengetahui serta menjelaskan identitas subyektif (outcome) dari sekolah metafisika ADINSA sebagai kenyataan subyektif yakni melalui pengalaman pribadi para siswa ADINSA dalam proses internalisasi pengetahuan dan transformasi diri.
7
Memaparkan berbagai tanggapan dari kalangan akademisi, guru sekolah formal, budayawan dan pemerintah Kabupaten Tulungagung terhadap keberadaan model sekolah metafisika ADINSA di arus pendidikan saat ini.
1.4. Manfaat Penelitian
Sebagai referensi bagi perkembangan kajian sosiologi pendidikan dalam kajian model pendidikan dan tumbuh kembangnya kajian ilmu metafisika (quantum pysic) sebagai alternatif pembelajaran.
Sebagai referensi metodologi dan program pembinaan individu dalam pengembangan nalar, akal dan budi pengembangan potensi manusia.
1.5. Tinjauan Teoritis dan Kerangka Berpikir “Banyak sosiolog yang percaya bahwa perkembangan baru dalam genetika ini membuka peluang inovatif bagi sebuah dialog yang lebih maju antara ilmu sosial dan potensi bawaan (fitrah), dan bahwa terlalu dini untuk menolak perdebatan antara bakat alam (fitrah) dan asuhan(sosial).” (Nicholas Abercrombie, Stephen Hill , dan Bryan S. Turner, 2010: 371)
Topik kajian penelitian ini ialah model pendidikan metafisika yang mengajarkan dan melatih pengolahan metafisika (batin, pikiran, spiritual). Kemampuan metafisika oleh ADINSA diklaim sebagai bakat alam (fitrah) yang diberikan Tuhan YME yang selama ini terabaikan akibat model pendidikan konvensional. Ketika metafisika dianggap sebagai bakat alam yang fitrah maka metafisika merupakan sesuatu keilmuwan yang dapat dipelajari dan di aktivasi oleh semua manusia. Model pendidikan metafisika ini lebih menekankan terhadap pengolahan batin dan spiritual serta menganggap lazim hal abstrak dan yang tidak
8
dapat ditangkap oleh pancaindera. Tentunya, pandangan metafisika pertentangan dengan pandangan pendidikan konvensional yang cenderung materialism. Sebelum menuju ke beberapa konsep teoritis yang digunakan, perlu di tegaskan kembali bahwa penelitian ini menggunakan triangulasi interdisipliner (interdisciplinary triangulation), yakni menggunakan interdisipliner untuk memaparkan satu topik (Denzin, 2009: 271). Dalam penelitian ini, kajian teoritis menggunakan integrasi dari sosiologi, filsafat, psikologi pertumbuhan dan ilmu pengetahuan alam. Sebagai usaha untuk pengintegrasikanya, perlu di kaji terlebih dahulu tentang persoalan human nature kemanusiaan dalam bakat alam dan pengasuhan (nurture debate) Persoalan human nature manusia secara bakat bawaan (dalam penelitian ini disebut sebagai fitrah baik secara psikologi maupun genetika) dan pengasuhan (konteks sosial, hubungan timbal-balik manusia). Potensi manusia secara bakat bawaan di gambarkan dalam perkembangan ontogenetis, yaitu proses penciptaan manusia mulai dari sel ayah dan ibu hingga lahirnya seorang bayi di dunia ini. Secara genetika, perilaku manusia di tentukan oleh warisan gen dari ke dua orang tuanya, sementara itu secara psikologis menuturkan bahwa manusia lahir memiliki naluri atau kecerdasan sebagai anugerah Tuhan YME, kecerdasan naluriah ini yang mendorong manusia memiliki kemampuan intelegensi (IQ), moral (EQ) dan spiritual (SQ). Disisi lain, human nature kemanusiaan dalam pengasuhan memandang manusia sebagai organism secara biologis dari bayi akan terus berkembang, dan sejak bayi dilahirkan di dunia, maka bayi tersebut sudah berhubungan dengan lingkunganya. Hal ini bermaksud bahwa sang bayi telah melakukan hubungan
9
timbal-balik dengan tatanan budaya dan sosial yang berasal dari orang-orang berpengaruh (significant other), yaitu orang dewasa yang merawatnya. Pandangan ini berkeyakinan bahwa pertumbuhan seorang manusia ditentukan oleh kehidupan sosial, sehingga bakat-bakat alam dari manusia atau keinsanan (humannerss) bervariasi dari segi sosio-kultural (Berger, 2012:66). Tidak ada kodrat (nature) insani dalam arti suatu substratum yang telah ditetapkan oleh alam, yang ada hanyalah dalam arti konstanta-konstanta yang memungkinkan bentukan sosio kultural manusia. Secara sederhana dapat dipahami bahwa tidak mungkin bagi manusia berkembang sendiri, meskipun anak telah dibuang di hutan maka anak tetap berinteraksi dengan hewan dan ditemani oleh prosedur-prosedur kehidupan di hutan yang membentuk dunianya. Pemahaman yang berbeda terkait bakat alam (fitrah) dan pengasuhan dalam konteks penelitian ini, akan diintegrasikan dengan pandangan bahwa penemuan genetika, fisika kuantum (metafisika) serta psikologi pertumbuhan yang ada di dalam diri manusia dipandang sebagai sebuah penemuan konstanta sebuah potensi bawaan manusia berdasarkan asal ciptaan (fitrah). Konstanta sebuah potensi bawaan tersebut hanya bisa diaktifasi melalui proses interaksi lingkungan yang berimplikasi pada potensi-potensi
bawaan(fitrah)
tersebut.
Usaha untuk
menumbuhkan ataupun mengubur dalam-dalam potensi bawaan manusia (fitrah) sangat di pengaruhi oleh proses pendidikan. Proses pendidikan yang di dalamnya terdapat kontruksi pengetahuan sebuah transfer nilai-nilai dan pola pengasuhan yang membiasakan, sehingga membentuk sebuah sistem pengetahuan sendiri yang pada akhirnya menjadi sub dunia baru. Oleh sebab itu, konsep teoritis yang dibutuhkan ialah konsep konstanta bakat alam yang dimiliki manusia (fitrah),
10
sosiologi pengetahuan yang memberikan konseptual proses pengasuhan terhadap konstanta bakat bawaan tersebut. Selain itu, juga dibutuhkan studi konseptual tetang konsep ideologis model pendidikan materialism vs metafisika yang menjadi topik khusus dalam penelitian ini. Berikut ini di paparkan kerangka teoritis yang mengkerangkai kajian penelitian ini: 1.5.1 Fitrah kemanusian : Konstanta Bakat Alam ” Semua bayi yang dilahirkan cerdas; 9.999 dari setiap 10.000 bayi itu dengan begitu cepat, dan sembrono, dijadikan tidak cerdas lagi oleh orang-orang dewasa” (Buckminster Fuller dalam buku Covey, 2005: 56)
Manusia di yakini sebagai makhluk yang paling sempurna di muka bumi ini, sehingga secara filsafat kemanusiaan banyak predikat yang disematkan pada manusia, seperti manusia sebagai makhluk sosial, manusia sebagai makhluk individu, manusia sebagai makhluk ekonomi dan sebagainya. Banyaknya predikat ini menyebabkan manusia dianggap sebagai makhluk yang paling sempurna. Dibalik kesempurnaan penciptaan manusia ini diyakini bahwa masih banyak potensi bawaan manusia yang belum di eksplorasi. Potensi bawaan manusia ini yang pada penelitian ini disebut sebagai fitrah, dalam bahasa psikologi disebut sebagai inmate capacity dan dalam kajian self-Help atau kajian pengembangan manusia disebut default factory setting. Konsep tentang fitrah manusia dapat kita rujuk dari pemikiran Murtadha Muthahhari. Kata fitrah berasal dari bahasa arab. Fitrah berasal dari kata fathir dan fathara. Fathir
berarti yang menciptakan
seluruh alam semesta tanpa contoh yang mendahului. Fathara berarti mencipta sesuatu untuk pertama kali tanpa ada contoh sebelumnya, sehingga fitrah diartikan asal muasal secara ciptaan kejadian (Shihab, 2002:208). Keadaan fitrah diartikan
11
bahwa Allah telah menciptakan manusia dengan keadaan tertentu, yang di dalamnya terdapat kekhususan-kekhususan yang ditempatkan Allah dalam diri manusia saat manusia diciptakan (Muthahhari, 2011:7). Manusia secara ciptaan memiliki beragam potensi yang di anugerahkan oleh Sang Pencipta guna mengatur kehidupan di dunia ini, sehingga manusia dalam pandangan ini disebut Khalifatullah, wali Allah dalam mengurus dunia. Ahli psikologi dan management manusia di abad 21, Covey (2005:57-91) menjelaskan bahwa manusia memiliki tiga potensi yang dianugerahkan kepada manusia sejak lahir yakni, Pertama, manusia memiliki kebebasan untuk memilih. Potensi ini menjelaskan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk menalar perihal nilai-nilai yang ada dilingkungannya. Manusia di anugerahi nalar untuk menolak atau mempercayai stigma lingkungan terhadap dirinya. Anugerah bawaan pertama ini, berlawanan dengan pola pikir victinism, suatu pola pikir menjadi korban lingkungan. Budaya victinism ini berkembang begitu kental dalam di masyarakat saat ini (Covey, 2005:60). Inilah budaya yang memendam anugerah potensi kemanusian yang pertama. Potensi kedua ialah manusia memiliki kemampuan untuk secara sadar mengakses hukum alam atau prinsip-prinsip universal yang tidak pernah berubah di dunia ini. Potensi ke dua ini nampaknya menjadi fokus pengembangan potensi para siswa ADINSA dalam model persekolahan metafisika. Anugerah potensi manusia untuk akses hukum alam dan prinsip universal dijelaskan Covey (2005:70-71) dalam dua otoritas yakni otoritas alamiah dan otoritas moral. Otoritas alamiah ialah ranah atau medan berlakunya hukum alam. Otoritas alamiah salah satunya ialah hukum tarik-menarik (Low of Attraction) yakni
12
sebuah hukum yang berkembang dari fisika kuantum yang di cetuskan oleh Einstein. Otoritas alamiah yang esensial ialah kebutuhan manusia dalam berTuhan, sehingga berTuhan dan nilai spiritual ialah kondisi fitrah manusia. Sementara otoritas moral disebutkan Covey (2005:71-73) sebagai pemanfaatan kebebasan dan kemampuan manusia untuk memilih, berdasarkan prinsip, baik itu nilai luhur kemanusiaan dan hukum alam. Muthatahhari (2011:9) juga berpendapat
serupa
dengan
menyebutkan
bahwa
orisinalitas
nilai-nilai
kemanusiaan sudah ada dalam fitrah manusia, artinya manusia telah mengetahui dan bisa merasakan keagungan nilai-nilai yang luhur. Otoritas moral ini ditunjukkan bahwa manusia memiliki kemampuan memilih kesadaran atau perasaan apa yang ingin dimiliki. Anugerah potensi manusia ke tiga ialah empat kecerdasan manusia. Kodrat manusia (Human nature) menurut pandangan Covey (2005:74-85) terbagi ke dalam empat bagian yakni tubuh, pikiran, hati dan jiwa. Bersesuaian dengan empat bagian tersebut memiliki kecerdasan masing-masing yakni fisik (PQ), pikiran (IQ), hati-emosional (EQ), dan jiwa-spiritual (SQ), namun ke empat kecerdasan ini tidaklah seperti yang dipahami oleh para psikolog zaman dulu. Perbedaan paham tersebut misalnya, IQ dulu diartikan sebagai parameter kecerdasan anak yang berhubungan dengan kemampuan anak untuk menghafal, menghitung, dan menalar, namun pada perkembanganya di abad 21 pikiran tidak hanya berakhir dari kecerdasan akademik, tapi juga mind power. Kekuatan pikiran untuk mengaktivasi potensi pikiran bawah sadar seperti hypnosis untuk memprogram diri sendiri, kemampuan intuisi, dan kemampuan imajinasi.
13
Konsep konstanta potensi bawaan manusia mengantarkan penelitian ini memiliki asumsi bahwa seluruh para siswa ADINSA sebagai manusia secara ciptaan memiliki potensi bawaan yang dianugerahkan Tuhan YME seperti kebebasan untuk memilih (nalar), kemampuan untuk secara sadar mengakses hukum alam atau prinsip-prinsip universal yang tidak pernah berubah di dunia ini dan empat kecerdasan manusia (tubuh, pikiran, hati dan jiwa) atau secara sederhana seluruh siswa ADINSA memiliki potensi metafisika yang belum dibangkitkan potensinya. Segala potensi bawaan manusia ini sayangnya hanya dapat dikembangkan melalui sebuah proses yang kompleks, yakni melalui proses pendidikan. Usaha untuk menumbuhkan potensi bawaan manusia (fitrah) tentunya mengantarkan kepada sebuah model pendidikan tertentu yang mampu menunjang potensi bawaan tersebut. 1.5.2 Model Pendidikan Materialisme VS Metafisika “ Tidak ada cara lain yang lebih baik untuk menyadari tentang tujuan filosofi (pendidikan) kecuali dengan menanyakan pada diri kita sendiri tentang kriteria apa, sasaran apa, pola panutan apa, yang harus mengendalikan kebijakankebijakan pendidikan beserta pelaksanaannya”. (Dewey, dalam O’neil 2008:11)
Model pendidikan memberikan spesialisasi kriteria, sasaran, pola panutan dan mengendalikan kebijakan ataupun aturan dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran selalu di dalamnya terjadi transfer pengetahuan, sementara itu tidak ada pengetahuan yang bersifat netral dan selalu berkiblat pada paradigm tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa dalam setiap pengetahuan selalu ada tujuan, seperangkat nilai yang akan mengatur cara berpikir, sudut pandang, dan tindakan sosial, inilah yang disebut ideologi. Di dalam kajian filsafat pendidikan mengakui
14
ada beberapa ideologi yang menjadi kiblat dalam proses pendidikan misalnya seperti konservatif, materialism, metafisika, liberal, fundamental dan lain-lainya. Penelitian ini mengambil fokus tentang ideologi dasar yang saling berseberangan yakni ideologi materialism dan ideologi metafisika. Filsafat materialisme dikenalkan oleh demokratos serta Lucretius Carus pada waktu masa pencerahan (abad ke-18). Materialisme mengajarkan teori yang berasumsi bahwa atom materi merupakan unsur-unsur yang membentuk alam, dalam segala proses pisikal yang dapat disederhanakan menjadi unsur-unsur fisik. Pengaruh pandangan materialism mengantarkan pendidikan Positivisme. Materialisme mengarahkan pendidikan positivisme yakni ilmu pengetahuan cenderung dianalisa berdasarkan faktor-faktor proses dan hasil secara faktual. Paham ini beranggapan bahwa yang dapat dipelajari hanyalah yang berdasarkan fakta-fakta dan data-data yang berwujud materi bukan abstrak atau yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera. Ideologi ini nampaknya telah diadopsi oleh persekolahan formal. Arus persekolahan formal lebih menekankan pentingnya keterampilan dan pengetahuan akademis yang empiris sebagai kajian ilmu pengetahuan. Pemahaman atas jiwa dan pikiran dipahami sebagai dalam sistem saraf dan organ. Kalaupun para siswa diajarkan tentang budi pekerti, pendekatan yang dilakukan oleh model ideologi ini bukanlah pendekatan dengan pengolahan rasa atau batin, namun budi pekerti merupakan hasil belajar pengetahuan tentang hafalan nilai baik dan buruk, kemudian dilanjutkan dengan pembiasaan melalui tata tertib. Model pendidikan ini, mengantarkan pengembangan potensi bawaan siswa berupa dominasi pikiran terutama otak kiri. Power dalam buku Sadulloh (2014: 117-118)
15
mengemukakan
beberapa
implikasi
paham
materialism
terhadap
dunia
pendidikan: a) Tema Manusia yang baik efisien dihasilkan dengan proses pendidikan terkontrol secara ilmiah. b) Tujuan Pendidikan Perubahan perilaku, mempersiapkan manusia sesuai dengan kapasitasnya untuk tanggung jawab hidup sosial dan pribadi yang kompleks. c) Kurikulum Isi pendidikan mencakup pengetahuan yang dapat dipercaya (handal) dan organisasi, selalu berhubungan dengan sasaran perilaku. d) Metode Semua
pelajaran
dihasilkan
dengan
kondisionisasi
(SR
conditioning)
operantconditioning, reinforcement, pelajaran berprogram dan kompetensi. e) Kedudukan Siswa Tidak ada kebebasan. Perilaku ditentukan oleh kekuatan dari luar. Pelajaran sudah dirancang. Siswa dipersiapkan untuk hidup. Mereka dituntut belajar. f) Peranan Guru Guru memiliki kekuasaan untuk merancang dan mengontrol proses pendidikan. Guru dapat mengukur kualitas dan karakter hasil belajar siswa. Power (dalam buku Sadulloh, 2014: 117-118) menyebutkan bahwa model pendidikan materialisme menghasilkan anak didik yang profesional lagi patuh. Penerapan model pendidikan materialism membawa efek terbentuknya peradaban masyarakat yang berkeyakinan bahwa sekolah yang tinggi setelah lulus akan
16
mendapat pekerjaan yang mapan, mapan diartikan hidup yang serba tercukupnya materi yakni hidup kaya raya. Kepercayaan ini mengantarkan “materi” sebagai standarisasi kesuksesan hidup. Paham inilah yang membawa masyarakat jauh dari nilai-nilai batin dan spiritual. Pendidikan
metafisika
berkebalikan
dengan
pendidikan
materialism.
Metafisika berorientasi terhadap yang abstrak. Metafisika beranggapan bahwa yang mewujud materi berasal dari metafisika atau tidak tampak. Lahirnya positivistik dalam dunia pendidikan menyebabkan, banyak orang menjadi awam dengan metafisika bahkan pemahaman metafisika mulai dipersempit maknanya dengan pengetahuan persoalan magis, mitos dan mistik (jin, setan dan sebangsanya). Padahal, filsafat metafisika dalam pendidikan manusia ialah mempelajari tentang hakikat. Hakikat yang diajarkan dalam pendidikan metafisika yakni ( Sadulloh, 2014:77-85) : a) Teologi Teologi mengajarkan tentang Tuhan. Beberapa pembahasan yang diutarakan ialah Bagaimana hubungan Tuhan dengan manusia dan kosmologi? Siapa Tuhan? Bagaimana sifat-sifatNya? Untuk apa berTuhan?. b) Kosmologi Kosmologi membahas realitas jagat raya, yakni keseluruhan alam semesta. Siswa di ajarkan tentang mengenal lingkunganya, hukum alam dan kausal. c) Manusia Pendidikan metafisika mengajarkan tentang hakikat manusia seperti siapa manusia? potensi apa yang dimiliki manusia? dari mana asal manusia? untuk apa
17
manusia hidup? dan untuk apa manusia hidup? mau kemana manusia setelah mati?. Model Pendidikan berideologi metafisika menurut Sadulloh (2014:118) akan menghasilkan anak didik yang mampu mengetahui tentang hakikat kehidupan mengenai lima pembahasan pokok tentang manusia yakni manusia sebagai makhluk berTuhan, manusia sebagai bagian dari alam semesta (kosmos), manusia sebagai makhluk individu, manusia sebagai makhluk sosial, dan manusia sebagai makhluk susila. Model pendidikan ini akan mengaktifkan potensi bawaan yaitu hati-emosional(EQ), dan jiwa-spiritual (SQ), dan manusia memiliki kemampuan untuk secara sadar mengakses hukum alam atau prinsip-prinsip universal yang tidak pernah berubah di dunia ini. Hampir kesemua siswa ADINSA merupakan siswa yang bersekolah di sekolah formal (hanya satu siswa ADINSA yang tidak berasal dari sekolah formal, melainkan dari pondok pesantren) artinya kebanyakan dari para siswa ADINSA telah mengeyam model pendidikan material dan pendidikan metafisika merupakan pengetahuan yang baru bagi para siswa. Konseptual tentang model persekolahan dengan pandangan ideologi materialism dan metafisika di dalam dunia pendidikan hanya berakhir menjadi sebuah kajian filsafat. Konsep ini belum mampu menjelaskan
proses
kontruksi
pengetahuan
yang
pada
akhirnya
akan
mempengaruhi identitas dan tindakan seorang manusia yang menjadi outcome sebuah sekolah, selain itu bertemunya ideologi materialisme dan metafisika yang berlawanan ini, tentunya hal yang menarik untuk mengamati proses pertarungan kedua paham ini di dalam pikiran dan kesadaran subyektif para siswa ADINSA. Hal inilah yang menyebabkan perlu adanya kajian konseptual tentang sosiologi
18
pengetahuan yang akan menjelaskan secara konseptual proses konstruksi ideologi ke dalam pikiran dan tindakan manusia. 1.5.3 Sosiologi Pengetahuan Kajian pendidikan kemanusiaan mengakui bahwa perkembangan manusia secara kodrat bawaan alam hanya dapat diaktifasi dengan model pendidikan tertentu yang berkesuaian dengan bakat bawaan yang akan dikembangkan, misalnya kemampuan mefisika maka butuh model pendidikan metafisika. Proses pendidikan tidak sesederhana itu, dalam proses pendidikan tentu dilakukan pembentukan sistem pengetahuan. Di dalam teori sosiologi pengetahuan mengakui bahwa segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia (tindakan sosial) serta apa yang dipikirkan oleh manusia yang pada akhirnya menjadi sebuah keyakinan (belief) berasal dari sosialisasi pengetahuan yang berasal dari proses pendidikan. Proses pendidikan pada dasarnya ialah melalui relasi sosial yang di dalamnya selalu terjadi transfer nilai atau pengetahuan. Di dalam penelitian ini, proses transfer pengetahuan hanya dibatasi dalam lingkup relasi sosial yang terjadi di sekolah. Teori sosiologi pengetahuan Berger dan Luckmann di kenalkan melalui buku “The Sosial Construction of Reality: A Treatise in the Sociological of Knowledge”. Buku ini menggambarkan transfer pengetahuan terjadi melalui tindakan dan proses interaksi. Teori ini memberikan gagasan mengenai “pengetahuan dan realitas” yang disebut sosiologi pengetahuan. Proses transfer pengetahuan yang pada akhirnya menjadi sistem pengetahuan mulai dari proses sosialisasi sampai menjadi sebuah keyakinan yang mendasari sebuah tindakan individu terjadi di dalam proses tiga moment dialektika yakni eksternalisasi,
19
obyektivasi dan internalisasi. Ketiga moment ini terjadi bukan berdasarkan urutan waktu, namun bisa terjadi secara bersamaan (Berger, 2012:176), selain itu konsep sosiologi pengetahuan Berger ini memiliki asumsi dasar yaitu manusia adalah pencipta kenyataan sosial yang obyektif, sebagaimana kenyataan obyektif mempengaruhi manusia melalui proses internalisasi yang berakhir menjadi kenyataan subyektif (Berger, 2012: xix-xx), sehingga penjelasan sistematis tentang dunia sosial terbagi menjadi dua dunia yakni dunia dalam pandangan obyektif dan subyektif. Setiap individu diasumsikan memiliki pengetahuan yang diyakini dan dimaknai menurut individu masing-masing. Pengetahuan yang berkecokol di pikiran menjadi cara pandang individu dalam memaknai realitas. Berger(2012) menyatakan pengetahuan ialah “the certainly that phenomena are real and that they possess specific characteristic”. Pengetahuan dipandang sebagai kenyataan yang hadir dalam kesadaran individu yang disebut sebagai “realitas subyektif”. Realitas yang bersifat eksternal, umum dan mempunyai kemampuan memaksa kesadaran individu disebut sebagai “realitas obyektif”. Masyarakat sebagai realitas objektif ini terjadi karena pelembagaan dan legitimasi. Berger dan Luckman memandang masyarakat sebagai realitas subjektif sekaligus objektif. Subjektif karena individu berada di dalam masyarakat sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan, dan objektif karena individu berada di luar diri manusia, saling berhadap-hadapan. Kedua dunia obyektif dan subyektif terdapat tiga momentum yaitu Internalisasi, objektivasi dan eksternalisasi. Internalisasi adalah peresapan nilainilai dari struktur dunia obyektif ke dalam struktur-struktur kesadaran subyektif.
20
Eksternalisasi adalah suatu pencurahan diri manusia secara terus menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisik maupun mentalnya. Objektivasi adalah hasil yang dicapai dari proses eksternalisasi manusia dengan disandangnya produk-produk aktifitas itu (baik fisik maupun mental). Masyarakat menjadi suatu realitas sui generis (unik) melalui proses internalisasi (kenyataan subyektif), disisi lain manusia merupakan produk masyarakat melalui proses obyektivasi (kenyataan obyektif), sehingga masyarakat berada sebagai kenyataan obyektif maupun subyektif. Berger (2012:176) menyebutkan bahwa Individu tidak dilahirkan sebagai anggota
masyarakat,
melainkan
dilahirkan
dengan
suatu
pradisposisi
(kecenderungan ruangan) kearah sosialitas, untuk itu perlu di pahami perihal sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Sosialisasi primer ialah sosialisasi yang di lakukan setelah bayi terlahir di dunia, dan menerima sosialisasi tersebut sebagai dunia satu-satunya. Manusia sebagai makhluk sosial akan terus berupaya untuk memperluas relasi sosialnya, sehingga terjadilah sosialisasi lanjutan yang disebut sosialisasi sekunder, pada fase ini terjadi internalisasi sejumlah sub dunia kelembagaan (Berger, 2012:188). Keberadaan sosialisasi sekunder dalam proses kontruksi pengetahuan akan menyebabkan terjadinya an-konsistensi
antara
internalisasi yang pertama dan internalisasi baru dari sosialisasi sekunder. Hal ini pun dapat terjadi antara pertarungan ideologi para siswa ADINSA yang di dapat saat bersekolah di sekolah material dengan pengetahuan baru tentang metafisika. Sosialisasi sekunder mengimplikasikan kemungkinan bahwa
kenyataan
subyektif bisa di transformasikan. Hidup di dalam masyarakat berarti melibatkan diri dalam proses yang terus menerus untuk memodifikasi kenyataan subyektif.
21
Proses ini dapat menyebabkan terjadinya transformasi sebagian ataupun transformasi radikal yaitu transformasi total yang di namakan penyelingan (alternation). Proses transformasi melibatkan suatu penafsiran kembali masa lampau, yakni ”dulu saya berpikir...sekarang saya tahu...”(Berger, 2012:217). Konsep transformasi pengetahuan ini akan membantu sebagai pisau bedah dalam menganalisa proses transformasi siswa ADINSA. Proses transformasi yang dimaksud ialah proses transformasi pengetahuan yang akan berimbas kepada perubahan identitas diri dan tindakan para siswa ADINSA. Identitas dan tindakan baru para siswa ini merupakan hasil atau outcome dari proses pendidikan di sekolah metafisika ADINSA. Pemaparan kajian teoritis penelitian ini mengantarkan beberapa asumsi penelitian yaitu pertama, setiap manusia dilahirkan memiliki potensi bawaan yang dianugerahkan oleh Tuhan YME. Kedua, potensi bawaan tersebut hanya bisa dikembangkan melalui proses pendidikan. Ketiga, ketika manusia menginginkan outcome manusia yang bermoral dan spiritual maka manusia membutuhkan model pendidikan yang mampu mengaktivasi potensi moral dan spiritual dalam diri manusia. Terakhir, usaha untuk mengaktivasi potensi daya energi, moral dan rasa batin (spiritual) dalam diri manusia dapat dilakukan dengan model pendidikan metafisika. Asumsi dari latar penelitian ini, mengantarkan penelitian ini untuk memberikan gambaran umum (dunia sosial) terkait sekolah metafisika. Gambaran umum (dunia sosial) ADINSA akan dijelaskan secara sistematis dengan bantuan teori sosiologi pengetahuan. Gambaran umum (dunia sosial) akan dianalisa berdasarkan teori sosiologi pengetahuan. Dunia sekolah metafisika ADINSA akan
22
dipaparkan secara sistematis ke dalam dua bab yakni ADINSA sebagai kenyataan obyektif dan kenyataan subyektif. ADINSA sebagai kenyataan obyektif, akan menjawab pertanyaan penelitian, “Bagaimana proses pelembagaan dan legitimasi yang dilakukan oleh para founder ADINSA dalam usaha membangun rintisan sekolah metafisika?“. Pada pemaparan kenyataan obyektif dunia ADINSA akan dipaparkan tentang posisi ADINSA di dalam pengetahuan akal sehat masyarakat Tulungagung; kiblat pengetahuan ADINSA; Kemudian, akan dilanjutkan dengan strategi ADINSA sebagai lembaga sosialisasi sekunder, pada fase ini akan dipaparkan terjadinya proses sosialisasi pengetahuan yang dilakukan oleh ADINSA; Berikutnya ialah proses pelembagaan yang dilakukan ADINSA tampak dari proses pengendapan dan tradisi; Berikutnya akan dipaparkan proses tahapan legitimasi yang dilakukan sekolah ADINSA baik secara struktural maupun konseptual. Pada pandangan ADINSA sebagai kenyataan obyektif, juga diselingi pemaparan dari kegiatan Eksternalisasi yang dilakukan secara kelembagaan misalnya kegiatan rutin KBM yang ada di sekolah ADINSA. ADINSA sebagai kenyataan subyektif berisi moment Internalisasi menjelaskan tentang identitas subyektifitas siswa sebagai outcome dari sekolah ADINSA. Pengetahuan subyektif ini pada akhirnya akan dieksternalisasi oleh para siswa ketika para siswa mulai menerapkan pemahaman pengetahuan subyektif tersebut di dalam kehidupan sehari-hari, selain itu dalam pembahasan ADINSA sebagai kenyataan subyektif juga akan di paparkan pandangan subyektif pemaknaan sekolah metafisika bagi para founder dan siswa ADINSA. Guna menjadikan penelitian etnografi dari kisah dunia sosial sekolah metafisika ADINSA semakin
23
lengkap, maka juga akan dilengkapi dengan beberapa tanggapan subyektif dari beberapa tokoh yang berada diluar dunia sosial ADINSA yakni pelaku sekolah formal, budayawan dan pemerintah Kabupaten Tulungagung. Berikut ini skema kerangka berpikir dalam penelitian ini:
Teori Pendukung Teoritis
Potensi Bawaan Manusia=Psikologi pertumbuhan
Teori Pendukung
Asuhan= Sosiologi Pengetahuan
Ideologi Pendidikan: Materialisme vs Metafisika= Filsafat
ADINSA: Sekolah Metafisika
Analisa data
Teori Utama
Kenyataan Obyektif:
Pelembagaan Legitimasi
Kenyataan Subyektif: Identitas Subyektif
Respons sub dunia luar ADINSA: Akademisi, guru sekolah formal, budayawan dan pemerintah Kabupaten
Gambar I.1. Kerangka Berpikir (Sumber: Peneliti)
Penelitian ini berfokus pada pengetahuan yang ditemukan dalam gejala-gejala sosial sehari-hari dari pengalaman bermasyarakat sebagai sebuah realitas yang menampilkan diri sebagai kenyataan yang ditafsirkan oleh manusia. Gejala-gejala sosial ditemukan dari pengalaman bermasyarakat yang terus menerus berproses, maka perhatian terarah pada bentuk-bentuk penghayatan (erlebniss) kehidupan 24
secara menyeluruh dengan segala aspeknya (kognitif, psiko-motoris, emosional, dan intuitif). Dengan kata lain, pengetahuan yang didapatkan dari pergaulan sosial seperti berkomunikasi lewat bahasa, bekerjasama lewat bentuk-bentuk organisasi sosial digunakan untuk menafsirkan sebuah kenyataan sosial. Pengetahuan tersebut tersirat dalam penghayatan, pemaknaan dan penafsiran dari pengalaman kehidupan sehari-hari, untuk itulah dalam penerapan teori sosiologi pengetahuan sebagai pisau analisis dibutuhkan metode penelitian etnografi.
1.6. Metodologi Penelitian Penelitian ini berkehendak untuk mengkaji dunia sosial persekolahan metafisika ADINSA baik dalam struktural, pengetahuan, dan pemaknaan para warga ADINSA, sehingga penelitian kualitatif dirasa paling cocok untuk mampu memberikan data-data yang bersifat pemaparan perihal pengetahuan dan pemaknaan yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan pendekatan dan metodologi etnografi, pendekatan ini dipilih disebabkan etnografi merupakan pendekatan yang memiliki cara untuk memahami suatu pengetahuan, kebiasaan, norma adat istiadat atau oleh paradigma sosiologi pengetahuan disebut sebagai pengetahuan akal sehat yang berbasis sekelompok individu atau komunitas.
1.6.1 Pendekatan Etnografi : Kajian Konseptual Etnografi adalah sebuah pendekatan untuk mempelajari tentang kehidupan sosial dan budaya dari suatu komunitas. Hal ini di dukung oleh pernyataan Margaret Mead (dalam Spradley, 2006:vii) bahwa “Anthropology as a science is
25
entirely dependent upon field work records made by individuals within living societies”. Pendefinisian tersebut dilengkapi dengan Lecompte dan Schensul (dalam Setyobudi, 2009:112) yang mendefinisikan etnografi sebagai: The content of an ethnography can address some or all of the following beliefs; attitudes; percepsions; emotions; verbal and nonverbal means of the group of individuals with friends, family, associates fellow workers, and colleagues; use of tools; technology and manufactures of materials and artifacts; and paternal use of space and time. Oleh karena itu, penelitian etnografi membutuhkan waktu cenderung lama yakni berbulan-bulan hingga bertahun-tahun, disebabkan penelitian etnografi harus berada langsung di dekat peristiwa yang terjadi, sehingga seorang etnografer merupakan First hand dalam proses penelitian. Terdapat tujuh ciri yang menjadi syarat untuk sebuah studi dapat dikatakan sebagai studi etnografi yakni (LeCompte and Schensul, 1999:9 dalam 112) : a) ethnographic studies are conducted on natural setting, b)ethnography involves intimate – face to face interaction with participants-and reciprocal involvement with community members. Ethnography must become intimately involved with members of the community or participants in the natural setting where they do research. c) it presents an accurate reflection of participants perspectives and behaviors; d)it uses inductive, interactive, and recursive data collection and analytic strategies to build local cultural theories; e) it uses multiple data sources, including both guantitative data; f) if frames all human behavior and belief within a socio-political and historical context; g) it uses the concept of culture as a lens through which to interpret results. Pernyataan diatas menyampaikan bahwa etnografi dapat dipahami sebagai aktivitas menulis laporan penelitian tentang kebudayaan suatu komunitas berdasarkan pengalaman langsung dan interpretasi seorang etnografer. Etnografi menjadi sebuah usaha untuk menafsirkan makna dari perilaku sehari-hari dengan mengacu kepada adanya kategori-kategori kebudayaan yang direproduksi, dirasa oleh subyek yang diteliti. Etnografer mengkonstuksikan berdasarkan atas
26
interpretasinya atas kebiasaan orang-orang yang berasal dari wacana kehidupan sehari-hari, singkatnya etnografer mengkontruksikan kenyataan yang berasal dari kontruksi sekelompok orang yang menjadi subyek penelitian. Ketika etnografer mampu menginterpretasikan kenyataan yang pada dasarnya ialah sebuah kontruksi pengetahuan baru, menurut Setyobudi (2009: 117) pada dasarnya sang etnografer bisa memberikan argumen dan pandangan dalam menelaah fenomena tersebut, maka studi etnografi bisa menjadi area pembebasan yang mampu mengaktualisasi potensi-potensi pandangan atau definisi baru terkait kebudayaan yang tengah mapan (pengetahuan akal sehat), sehingga studi etnografi bukan hanya mendeskripsikan kebudayaan, namun juga proses interpretasi dan analisa kebudayaan.
1.6.2 Etnografi sebagai Metodologi Penelitian Metodologi etnografi lahir pada abad ke 19, dengan tokoh utama seperti E.B. Teylor, James Frazer dan L.H Morgan. Pada fase itu etnografi dipahami sebagai metodologi yang tidak harus terjun langsung terlibat dalam kehidupan kebudayaan obyek penelitian. Menjelang akhir abad ke 19 muncul pandnagan baru dalam ilmu antroologi bahwa antropolog harus melihat sendiri kelompok masyarakat yang menjadi obyek penelitian. Seorang etnografer di era itu ialah W.H.R Rivers dan Rranz Boas. Di era tersebut terjadi perkembangan bahwa etnografer terjun ke lapangan dengan penekanan pada teknik wawancara yang panjang. Metodologi etnografi senantiasa berkembang, hingga muncul pengkelompokan etnografi modern dan etnografi baru. Etnografi Modern merupakan jenis etnografi yang muncul pada tahun 1915-1925 di pelopori oleh A.R Radcliffe-Brown dan
27
Bronislaw Malinowski. Model Etnografi Modern ini memunculkan inovasi gagasan dengan teknik observasi partisipatoris. Gagasan Etnografi Modern mengalami perkembangan gagasan pada tahun 1960-an yang disebut sebagai Etnografi Baru yang sering disebut sebagai cognitive anthropology atau ethnoscience. Tokoh etnografi baru ialah Ward Goodenough dan James P. Spradley. Inovasi gagasan dari etnografi baru ialah perkembangan cara mengoreksi dan mendeskripsikan pola yang ada dalam pikiran manusia yang disebut folk taxonomy. Metodologi etnografi yang memiliki beberapa variasi model, maka penelitian ini menggunakan metodologi etnografi baru ala Spradley. Pertimbangan memilih model metodologi tersebut ialah Spradley memiliki gagasan pendefinisian budaya sebagai sistem pengetahuan yang diperoleh manusia melalui proses belajar (Spradley, 2006:xiv). Pendefinisian tersebut menyebabkan etnografi bukan hanya metode penelitian hanya untuk studi antropologi namun sosiologi pun dapat menggunakanya, selain itu pendefinisian budaya tersebut sesuai dengan kajian tentang sosiologi pengetahuan yang menjadi kerangka konseptual dalam penelitian ini. Spradley menyedian teknik metodologi etnografi yang disebut “The Developmental Research Sequence” atau Alur penelitian Maju bertahap.
1.6.3 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian berada di sebuah kota kabupaten yakni Kota Tulungagung, Propinsi Jawa Timur. Obyek penelitian ini ialah sebuah yayasan yang bergerak di dunia pendidikan bernama Adiluhung Insan Semesta (ADINSA). Yayasan ini menaungi beberapa lembaga pembelajaran metafisika yang pada akhirnya pada 28
penelitian ini disebut sebagai sekolah metafisika. Sekolah ini berkantor pusat di Yasandalem: Jl. P. Diponegoro V Kabupaten Tulungagung. Sekolah metafisika ini memiliki beberapa kelas pembelajaran yaitu Cmiring For berjumlah 75 siswa, forsimata berjumlah 116 siswa dan IASSC berjumlah 5 siswa . Pemilihan lokasi penelitian merupakan pilihan dari beberapa lokasi penelitian dengan topik serupa seperti di Jakarta, Kediri dan Tulungagung, namun pada akhirnya setelah peneliti melakukan studi kelayakan, peneliti memilih ADINSA. Alasan pemilihan lokasi penelitian ini disebabkan beberapa pertimbangan. Pertama, ADINSA satu-satunya yayasan yang memberikan mengajaran metafisika dan kuantum yang bergerak dikalangan para pelajar. Kebanyakan yang ditemui di Indonesia, lembaga yang bergerak di model pengajaran metafisika kuantum dan mental ini bergerak untuk kalangan umum dengan beragam kegiatan berjenis workshop. Kedua, ADINSA memiliki keunikan yakni menggabungkan nilai-nilai budaya dan mekanika kuantum (metafisik) yang berlandaskan pemikiran ilmiah. Ketiga, ADINSA didirikan oleh para pemuda Tulungagung sebagai perjuangan transformasi pendidikan. Keempat, lokasi mudah ditemui dan di jangkau peneliti. Kelima, peneliti sudah melakukan penelitian perintis (pilot study) sejak tahun 2012 di lembaga ADINSA. Keenam, peneliti menjalin hubungan baik dengan founder ADINSA dan beliau merespon positif penelitian ini yang di harapkan sebagai penelitian evaluasi untuk ADINSA. Terakhir, mempertimbangkan kesediaan sumber dana (Funding) dan tanggungjawab penelitian; Penelitian ini di danai oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada sebagai hibah penelitian fakultas; sebagai pertanggungjawaban penelitian, peneliti perlu melakukan bimbingan penelitian dengan pembina-pembimbing penelitian
29
yang berada di Jogyakarta; Lokasi kota Tulungagung dianggap mudah diakses ketika nantinya peneliti harus bolak-balik dari Jogyakarta ke Tulungagung. Setelah mempertimbangkan beberapa hal yang telah disebutkan di atas, ADINSA yang berlokasi di kota Tulungagung dianggap paling mumpuni sebagai lokasi obyek penelitian. Peneliti mulai melakukan penelitian perintis (pilot study) di ADINSA sejak pertengahan tahun 2012. Pada bulan Oktober tahun 2013, peneliti mulai memfokuskan penelitian ADINSA dengan tujuan melakukan pelaporan ilmiah berupa naskah skripsi. Pada bulan Maret sampai Desember 2014, peneliti hampir kesemua harinya di habiskan untuk belajar di sekolah metafisika ADINSA, tinggal di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Jadi, kurang lebih peneliti melakukan penelitian di ADINSA selama 2 tahun, dan melakukan studi etnografi di ADINSA selama 10 bulan di lapangan. Waktu penelitian yang telah peneliti lakukan sudah mencukupi sebagai syarat penulisan laporan etnografi.
1.6.4. Prosedur Pengumpulan Data Sumber data yang dipakai dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer berasal dari data yang langsung diambil melalui kegiatan lapangan penelitian seperti wawancara mendalam (indept interview) dan observasi partisipasif. Sementara data sekunder berasal dari dokumentasi lapangan dan studi pustaka. Berikut ini beberapa teknik pengumpulan data untuk mendapatkan sumber data primer dan sekunder yang digunakan dalam penelitian:
30
a. Observasi Partisipasif Observasi partisipasif merupakan pengamatan dan pencatatan dengan cara peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari para informan (Sugiyono, 2011:310). Observasi partisipasif dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data yang lebih mendalam perihal makna dari setiap perilaku yang tampak. Jenis observasi parsipasif yang dilakukan peneliti ialah partisipasi moderat
(moderate
participation) yakni dalam observasi ini terdapat keseimbangan antara peneliti menjadi orang dalam dan orang luar (Sugiyono, 2011:312), artinya ada kalanya peneliti melakukan observasi naturalist (naturalistic observation) dan ada kalanya peneliti terlibat dalam pengumpulan data dengan ikut berpartisipasi dalam beberapa kegiatan informan. Kondisi ini mengantarkan peneliti bukan sekedar pengamatan langsung maupun diam-diam tetapi juga melakukan observasi yang bersifat partisipasi dalam rangkaian kegiatan belajar mengajar di sekolah metafisika ADINSA. Dalam rangka memahami kondisi budaya dan situasi di lapangan, peneliti ikut terlibat langsung mengikuti beberapa kelas pembelajaran yang disediakan sekolah metafisika ADINSA yakni minds code, qiqong, EFT, akhsadaya khalifatullah, bahkan peneliti juga mengikuti kegiatan attument adi reiki. Dalam keseharian, peneliti juga turut mengikuti beberapa kegiatan yang menjadi rutinitas warga ADINSA seperti latihan Qigong, self healing, EC, EFT, pengolahan energi akhsadaya dan inner power. Hal ini bertujuan agar meneliti terlibat langsung dalam keseharian kehidupan warga ADINSA dan peneliti lebih bisa memahami dunia metafisika yang selama ini awam bagi kehidupan akademik sang peneliti. Peneliti juga mengamati aktivitas sehari-hari di kelas ADINSA, suasana kelas dan
31
interkasi
yang
dilakukan
oleh
masing-masing
individu.
Peneliti
juga
mendokumentasikan kondisi atau suasana ADINSA melalui foto dan video sebagai fakta objektif yang dapat mendukung interpretasi peneliti. b. Wawancara Etnografi Metode wawancara merupakan etnografis merupakan jenis percakapan yang khusus yakni percakapan persahabatan yang memasukan tiga unsur etnografis. Percakapan persahabatan ialah percakapan yang mengalir sehingga seolah informan merasa sedang melakukan percakapan biasa, namun dibalik percakapan yang mengalir itu memasukan unsur etnografis yakni tujuan penelitian yang eksplisit, penjelasan etnografis kepada informan terkait projek penelitan dan ijin untuk melakukan pencatatan lapangan, serta pertanyaan etnografis. Pada fase ini yang terpenting ialah membangun kedekatan dan keterbukaan informan pada etnografer. Ketika keterlibatan, emosional, kepercayaan, serta keterbukaan antara informan dan peneliti mulai terjalin, peneliti berlanjut menggunakan metode wawancara mendalam (Indept Interview). Hal ini berguna untuk memperoleh data berdasarkan pemaknaan personal dan pengalaman kehidupan sehari-hari yang tidak dapat diungkapkan melalui metode observasi. Peneliti melakukan wawancara langsung ke subyek penelitian ini, yakni siswa, guru ADINSA, dewan founder ADINSA, wali siswa dan para tokoh di luar sub dunia ADINSA. Peneliti melakukan proses perekaman dan transkip wawancara sebagai fakta objektif yang dapat mendukung interpretasi peneliti atas yang telah disampaikan informan. Bentuk
wawancara
yang
dipilih
ialah
wawancara
tidak
terstruktur
(unstructured interview), yakni peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara 32
yang telah tersusun sistematis, namun peneliti tetap menggunakan pedoman wawancara berupa garis besar permasalahan yang akan ditanyakan (Sugiyono, 2011:320). Garis besar pertanyaan ialah berkaitan dengan latarbelakang atau demografi, pengalaman, pendapat, perasaan, pengetahuan dan berkenaan dengan indera. c. Studi Dokumen Studi dokumen merupakan pelengkap dari proses pengumpulan data observasi dan wawancara. Dokumen dapat berupa jurnal, buku, dan e-book.
1.6.5. Pemilihan Informan Data yang diperoleh dari penelitian sangat dipengaruhi oleh informan penelitian, untuk itulah perlu kiranya menetapkan informan yang baik. Spradley (2006:68) menyebutkan syarat mejadi informan baik dalam penelitian etnografi yaitu Pertama, enkulturasi penuh, informan yang baik akan mengetahui budaya dengan baik tanpa harus memikirkanya serta mereka melakukan berbagai hal secara otomatis dari tahun-ke tahun; Kedua, keterlibatan langsung, informan terlibat langsung dalam budaya tersebut; Ketiga, suasana budaya yang tidak dikenal, informan menganggap etnografer benar-benar tidak tahu tentang budaya mereka; Keempat, waktu yang cukup, informan memiliki waktu yang cukup untuk wawancara; Terakhir, non–analitik, infoman menggunakan bahasa mereka untuk menggambarkan sebagai kejadian dan tindakan tanpa analisis mengenai arti atau signifikansi dari kejadian itu .
33
Dari terpenuhinya informan baik maka dengan mempertimbangan pendapat Spradley (dalam Sugiono, 2011:303) mengemukaan bahwa dalam pemilihan informan awal sangat disarankan untuk adanya kriteria yang dapat dijadikan informan, Kriteria informan dari siswa ADINSA:
Minimal telah mengikuti 1 kelas pembelajaran di sekolah ADINSA
Berusia 16- 23 tahun (seumuran dengan siswa SMA dan mahasiswa) Guna memperoleh data tentang bagaimana pengetahuan terlembagakan serta
proses belajar mengajar di kelas ADINSA, dari kesekian pengelola sekolah ADINSA, peneliti memilih tiga pengelola yang dianggap tepat menjadi informan awal, yaitu:
Para Founder ADINSA
Staff pengajar atau guru di ADINSA
Ketua dan pengurus masing-masing lembaga pengajaran yang ada di ADINSA
Guna mengetahui pengaruh keberadaan ADINSA di masyarakat Kabupaten Tulungagung, informan awal yang dipilih yaitu guru sekolah formal negeri, guru sekolah formal swasta, akademisi, budayawan dan pemerintah Kabupaten Tulungagung.
1.6.6. Analisa Data Penelitian ini menggunakan analisa data milik Spradley, analisis data dilaksanakan di lapangan bersama-sama dengan pengumpulan data. Proses
34
penelitian digambarkan sebagai berikut: Gambar I.2. Proses Analisa Data Etnografi (Sumber: Rosidi, 2014:507) 7. Analisis Kompone n
1. Pengamatan Deskriptif
6.
2.
Analisis Komponen
Analisis Domain
5. Pengamatan Terpilih
3. Pengamatan Terfokus 4. Analisis Taksonomi
Tahap pertama yaitu pengamatan deskriptif, proses ini dimulai sejak observasi berpartisipasi dilaksanakan, dan juga mengajukan beberapa pertanyaan deskriptif. Data-data dari proses tersebut di transkipkan menjadi catatan lapangan. Langkah Kedua, yaitu analisa domain, mencari hubungan semantik sebagai sebuah titik awal, kemudian mencari beberapa istilah tercakup dan istilah pencakup. Dari proses tersebut maka akan diketahui beberapa data yang perlu di dalami melalui proses wawancara berikutnya, pertanyaan tersebut ialah pertanyaan struktural. Tahap ketiga yaitu pengamatan terfokus, pengamatan terfokus ialah proses pencarian data lebih dalam dengan cara mengajukan beberapa pertanyaan struktural untuk melengkapi pertanyaan deskriptif yang sudah diajukan sebelumnya. Pertanyaan struktural yang diajukan ialah pertanyaan pembuktian, pertanyaan istilah pencakup, pertanyaan istilah tercakup, pertanyaan kerangka
35
substitusi. Tahap keempat, analisa taksonomik ialah mengelompokkan berbagai istilah bahasa asli, cara-cara melakukan kebiasaan, dikelompokkan dan dihubungkan dengan domain sebagai suatu kerangka keseluruhan yaitu kerangka kebudayaan atas pengetahuan yang warga ADINSA anut. Tahap kelima yaitu pengamatan terpilih, setelah terbentuknya peta keseluruhan, maka peneliti mulai memilih titiktitik fokus tema yang akan di gali lebih dalam. Pada fase ini, peneliti juga menyusun strategi agar mampu memahami makna secara komprehensif di dalam kesadaran subyektif para siswa ADINSA. Strateginya ialah dengan mengajukan pertanyaan kontras. Dengan mengajukan pertanyaan kontras pada saat itu, maka secara otomatis informan akan memberikan argumen-argumen yang menjadi dasar dari keyakinanya tersebut, menceritakan makna yang diyakini dengan lebih dalam. Tahap ke-enam adalah analisis komponen yakni menyusun dan menemukan komponen makna dari pertanyaan kontras yang telah diajukan sebelumnya, kemudian mengelompokkan dan memasukan komponen tersebut di dalam sebuah paradigma. Paradigma tersbut ialah sebuah analisis tema budaya, yakni mendefinisikan budaya dari pengetahuan warga ADINSA berdasarkan interpretasi penulis serta peneliti menyajikan fakta-fakta lapangan dengan dokumentasi.
36