BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan Pemberantasan Perusakan Hutan, Lembaran Negara RI Tahun 2013 Nomor 130, dalam penjelasan umumnya menyebutkan bahwa hutan Indonesia sebagai karunia dan anugrah Tuhan Yang Maha Esa yang diamanatkan kepada bangsa Indonesia merupakan unsur utama sistem penyangga kehidupan manusia dan merupakan modal dasar pembangunan nasional yang memiliki manfaat nyata, baik manfaat ekologi, sosial budaya, maupun ekonomi agar kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia berkembang secara seimbang dan dinamis. Hutan harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Kedudukannya sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan (life support system), hutan telah memberikan manfaat yang besar bagi umat manusia, oleh karena itu harus dijaga kelestariannya. Hutan juga mempunyai peranan sebagai penyerasi dan penyeimbang lingkungan global, sehingga keterkaitannya dengan dunia internasional menjadi sangat penting, dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional. Hutan sebagai sumber daya alam hayati memiliki arti dan nilai strategis. Nilai strategis hutan sebagai salah satu sumber daya alam yang dapat
1
2
memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan manusia. Manfaat ekologi, sosial dan manfaat ekonomi merupakan tiga pilar manfaat yang dapat diperoleh dari hutan.1 Nilai strategis hutan dapat pula didefinisikan dalam artian ekonomis, sebagai masukan sumber daya untuk meningkatkan pembangunan ekonomi dan sosial. Berarti tidak dapat dipungkiri bahwa hutan menyediakan basis sumber daya yang vital bagi perekonomian indonesia. 2 Hutan Indonesia merupakan salah satu hutan tropis terluas di dunia sehingga keberadaannya menjadi tumpuan keberlangsungan kehidupan bangsabangsa di dunia, khususnya dalam mengurangi dampak perubahan iklim global. Pemanfaataan dan penggunaannya harus dilakukan secara terencana, rasional, optimal, dan bertanggung jawab sesuai dengan kemampuan daya dukung serta memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup guna mendukung pengelolaan hutan dan pembangunan kehutanan yang berkelanjutan bagi kemakmuran rakyat. Hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian, hutan sebagai salah satu sumber kekayaan alam bangsa Indonesia dikuasai oleh negara. Sumber daya hutan di Indonesia memiliki kandungan potensi yang sangat besar untuk dikembangkan sebagai sumber pendanaan pembangunan. Potensi yang sangat besar tersebut, dilandasi suatu fakta bahwa indonesia dikenal sebagai 1
Bambang Eko Supriyadi, 2013, Hukum Agraria Kehutanan, Aspek Hukum Pertanahan dalam Pengelolaan Hutan Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 1. 2 Ibid.
3
sebuah negara yang memiliki hutan tropis dataran rendah terluas ketiga di dunia, setelah Saire dan Brasil.3 Hutan di Indonesia memiliki ekosistem yang beragam mulai dari hutan tropis dataran rendah dan dataran tinggi sampai dengan hutan rawa gambut, rawa air tawar, dan hutan bakau (mangrove), selain itu negara Indonesia merupakan 10 (sepuluh) negara pemilik hutan terluas di dunia. Adapun kesepuluh negara yang terluas hutannya tersebut, di antaranya: (1) federasi Rusia luas wilayah 1.688,9 juta hektar, dengan luas hutan 809 juta hektar; (2) Brasil luas wilayah 845,9 juta hektar, dengan luas hutan 478 juta hektar; (3) Kanada luas wilayah 922,9 juta hektar, dengan luas hutan 310 juta hektar; (4) Amerika Serikat luas wilayah 915,9 juta hektar, dengan luas hutan 303 juta hektar, (5) Cina luas wilayah 932,7 juta hektar, dengan luas hutan 197 juta hektar, (6) Australia luas wilayah 768,2 juta hektar, dengan luas hutan 164 juta hektar, (7) Republik Demokrat Kongo luas wilayah 226,7 juta hektar, dengan luas hutan 134 juta hektar, (8) Indonesia luas wilayah 181,2 juta hektar, dengan luas hutan 88 juta hektar, (9) Peru luas wilayah 128 juta hektar, dengan luas hutan 69 juta hektar, dan (10) India luas wilayah 297,3 juta hektar, dengan luas hutan 68 juta hektar.4 Sektor kehutanan juga berperan dalam upaya pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di berbagai wilayah pedalaman yang terpencil. Kegiatan pengusahaan hutan dan industrialisasi kehutanan telah mendorong sektor kehutanan menjelma menjadi tulang punggung ekonomi regional. Fakta paling aktual atas fenomena tersebut adalah besarnya kontribusi sektor kehutanan terhadap angka Produk Domestik Bruto (PDB). 5 Sebagai contoh sektor kehutanan telah menyumbangkan 22,23% bagi PDB di Provinsi Kalimantan Barat, sementara Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur masing-masing kontribusi sektor kehutanan terhadap PDB mencapai 38% dan 44%. Tidak kalah signifikan, sumbangan sektor kehutanan dalam 3
Bambang Pamulardi, 1995, Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 94. 4 Harian Kompas, Sabtu, 6 Januari 2007, Bencana Akibat Susutnya Hutan, h. 35. 5 Agung Nugraha, 2004, Menyongsong Perubahan Menuju Evitalisasi Sektor Kehutanan, Wirna Aksara, Jakarta, h. 58-59.
4
pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi regional daerah pedalaman terpencil antara lain tercermin dari sumbangan terhadap infrastruktur di daerah, antara lain sarana transportasi yang telah mencapai panjang jalan trans sepanjang 46.000 km dengan investasi sekitar Rp 1,9 triliun. Tersedianya 6.750 buah sekolah, rumah ibadah dan balai desa masing-masing sebanyak lebih kurang 1.800 buah.6 Peran dan kontribusi dalam pembangunan ekonomi tersebut, sektor kehutanan secara langsung maupun tidak juga telah membantu terwujudnya proses integrasi sosial kultural berbagai komunitas. Penguasaan sumber daya hutan oleh negara memberi wewenang kepada pemerintah untuk (i) mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; (ii) menetapkan kawasan hutan dan/atau mengubah status kawasan hutan; (iii) mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan; serta (iv) mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan. 7 Selanjutnya, pemerintah sesuai dengan kewenangannya dapat memberikan izin kepada pihak lain yang memenuhi persyaratan untuk melakukan kegiatan di bidang kehutanan. Hal-hal tertentu yang sangat penting, berskala dan berdampak luas, serta bernilai strategis, pemerintah harus memperhatikan aspirasi rakyat melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Pembangunan hutan berkelanjutan memerlukan upaya yang sungguh-sungguh karena masih terjadi berbagai tindak kejahatan kehutanan, seperti pembalakan liar, penambangan tanpa izin, dan perkebunan tanpa izin. 6
Ibid. Suriansyah Murhaini, 2011, Hukum Kehutanan Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan di Bidang Kehutanan, Laksbang Grafika, Yogyakarta, h. 16. 7
5
Tindak pidana penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa izin pemanfaatan hutan itu telah menimbulkan kerugian negara dan kerusakan kehidupan sosial budaya dan lingkungan hidup yang sangat besar serta telah meningkatkan pemanasan global yang telah menjadi isu nasional, regional, dan internasional. Akhir-akhir ini kerusakan hutan semakin meluas dan kompleks. Perusakan itu terjadi tidak hanya di hutan produksi, tetapi juga telah merambah ke hutan lindung ataupun hutan konservasi.8 Upaya menangani perusakan hutan sesungguhnya telah lama dilakukan, tetapi belum berjalan secara efektif dan belum menunjukkan hasil yang optimal. Hal itu antara lain disebabkan oleh peraturan perundang-undangan yang ada belum secara tegas mengatur sanksi pidana yang dapat memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana kehutanan. Penjatuhan pidana uang pengganti sebagaimana diatur dalam Pasal 108 Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 penting dilakukan karena kerusakan hutan akibat penebangan liar tanpa ijin serta perdagangan kayu hasil illegal logging yang merambah luar negeri dengan harga jual yang tinggi membuat siapapun tergiur untuk melakukannya. 9 Data Kementerian Kehutanan 2011 seperti dipaparkan dalam Kompas.com pada 17 Juni 2013 menunjukkan perkiraan kerugian negara akibat pembukaan hutan untuk kebun dan tambang di 7 provinsi sangatlah besar yakni Rp. 273. 924 triliun. Riset Indonesia Corruption Watch (ICW) memperkirakan kerugian negara dari sektor non pajak kawasan hutan mencapai Rp. 169, 791 triliun selama 2004-2007. Sementara itu Human Rights Watch (HRW) dalam laporannya tahun 2013 menyebutkan kesalahan tata kelola kehutanan Indonesia diperkirakan merugikan negara 8 Supriadi, 2009, Hukum Kehutanan & Hukum Perkebunan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, h. 45. 9 Mohammad Taufik Makarao dan Abdul Muis Yusuf, 2011, Hukum Kehutanan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, h. 3.
6
sebesar Rp. 70 triliun sepanjang 2008-2013. Besarnya angka di atas tentu belum termasuk nilai kehilangan sumber daya hayati yang ikut musnah bersama rusaknya hutan. Kawasan hutan masih rentan terhadap penebangan liar. Dalam periode waktu 2007-2012, diperkirakan penebangan kayu secara ilegal mencapai 23,323 juta meter kubik per tahun dan kerugian negara mencapai Rp. 27 trilyun per tahun. Setiap tahun, diperkirakan antara 50% - 70% pasokan kayu untuk industri diperoleh dari kayu yang ditebang secara ilegal (Future Forest Working Group, 2004). Berdasarkan kebutuhan industri pada tahun 2007 menunjukkan, dari total 53 juta m3 kayu bulat untuk kebutuhan industri, justru 36 juta m3 dipasok dari illegal logging.10 Perlu ada upaya terhadap perlindungan hutan agar mengurangi dampak berupa bencana alam yang akan terjadi jika hutan terus dieksplorasi guna kepentingan komersial seseorang maupun kelompok. Perlindungan hutan adalah usaha untuk mencegah terjadinya kerusakan hutan agar kelestarian fungsi hutan dapat tetap terjaga.11 Upaya perlindungan terhadap hutan, hutan harus dipandang sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan lingkungan atau ekosistem secara global. Lingkungan global menurut Soemarwato adalah lingkungan hidup sebagai suatu keseluruhan, yaitu wadah kehidupan yang didalamnya berlangsung hubungan saling mempengaruhi (interaksi) antara makhluk hidup (komponen hayati) dengan lingkungan tempat hidupnya (komponen non hayati).12 Kabupaten Jembrana merupakan daerah di Bali yang mempunyai kawasan hutan lindung yang luas sehingga perlu dijaga kelestariannya. Data dari Polres Jembrana kasus penebangan hutan tanpa izin yang ditangani tahun 2009 hingga 10 Deni Anto, Juta Hektar Hutan Nasional Rusak Akibat Pembalakan Liar, http://www.rmol.co/read/2012/11/24/86712/41, diakses tanggal 28 Januari 2015. 11 Rahmi Hidayati D, dkk, 2006, Pemberantasan Illegal Logging dan Penyelundupan Kayu: Melalui Kelestarian Hutan dan Peningkatan Kinerja Sektor Kehutanan, Wana Aksara, Tangerang, h.128. 12 Soemarwato, O, 1992, Indonesia Dalam Kancah Isu Lingkungan Global, Cet.II, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 20.
7
awal bulan november mencapai 19 kasus dengan total jumlah kayu yang diamankan
sebanyak 1900.
Akibatnya
kerugian
negara
mencapai Rp.
32.120.000.13 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undangundang No. 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan belum mampu mengurangi terjadinya perusakan hutan karena dari tahun ke tahun jumlah kerugian negara akibat perusakan hutan makin meningkat sehingga upaya untuk menyelamatkan hutan dari bahaya kerusakan belum sepenuhnya efektif. Ancaman sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 108 Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan menyatakan “selain penjatuhan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82, Pasal 84, Pasal 94, Pasal 96, Pasal 97 huruf a, Pasal 97 huruf b, Pasal 104, Pasal 105, atau Pasal 106 dikenakan juga uang pengganti, dan apabila tidak terpenuhi, terdakwa dikenai hukuman penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokok sesuai dengan ketentuan dalam Undangundang ini dan lama pidana sudah ditentukan dalam putusan pengadilan”. Artinya sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 108 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 bersifat kumulatif yaitu jika ada beberapa jenis pidana pokok yang diancamkan dalam suatu ketentuan hukum pidana, maka hakim harus menjatuhkan keseluruhannya. Sanksi pidana uang pengganti tersebut dalam putusan PN Negara tidak diimplementasikan. Putusan-putusan hakim PN Negara itu antara lain Putusan 13
Suhanda, 2013, Studi Kasus Illegal Logging di Jembrana Makin Marak Hutan DikaplingKapling, www.balipost.co.id, diakses tanggal 15 Oktober 2015.
8
Pengadilan Negeri Negara Nomor : 91 / Pid.Sus / 2014 / PN. Nga, Putusan Pengadilan Negeri Negara Nomor : 154 / Pid.Sus / 2014 / PN. Nga, Putusan Pengadilan Negeri Negara Nomor : 50 /Pid.Sus / 2014/ PN.NGR, Serta Putusan PN Negara No: 51 / Pid.Sus / 2014 / PN.NGR. Keempat Putusan Hakim Pengadilan Negara tersebut menjatuhkan pidana sesuai Pasal 82 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 yang berkaitan dengan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, tanpa diikuti dengan penjatuhan sanksi pidana uang pengganti yang termuat dalam Pasal 108 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013, sehingga berarti adanya kesenjangan antara das sollen dan das sein yaitu kesenjangan antara teori dan kenyataan di lapangan. Barda Nawawi Arief, perlindungan terhadap korban kejahatan pada dasarnya merupakan bagian integral dari hak asasi korban kejahatan. 14 Sebenarnya tuntutan untuk memberikan perlindungan bagi korban kejahatan dalam bentuk pembayaran uang pengganti dimaksudkan untuk mengambil seluruh keuntungan yang diperoleh dari hasil tindak pidana kehutanan dan dipergunakan untuk penanaman kembali hutan yang telah ditebang. Konteks pelaksanaan tugas hakim yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan diatur dalam Pasal 24 UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kebebasan hakim dalam memutus suatu perkara tentunya berpegangan pada aturan-aturan yang ada dan peradilan yang independen sangat penting untuk menegakkan supremasi hukum 14
Barda Nawawi Arief, 2008, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Prenada Media Group, Jakarta (Selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief I), h. 62.
9
melalui eksplorisasi lebih lanjut terhadap berbagai aspek yang ada, seperti pendapat Nils A. Engstad menyatakan bahwa: “Independence does not mean that the judge is entitled to act in an arbitrary manne, An independent judiciary is crucial for upholding the rule of law and for the protection of human rights in a democratic society. The Independence of Judges is an anthology, illustrating that there is still a need for further exploration and reflection on various aspects of the principle of judicial independence”15. (Kebebasan tidak berarti bahwa hakim berhak untuk bertindak sewenang-wenang, sebuah peradilan yang independen sangat penting untuk menegakkan supremasi hukum dan perlindungan hak asasi manusia dalam masyarakat demokratis. Independensi Hakim adalah sebuah antologi, menggambarkan bahwa masih ada kebutuhan untuk eksplorasi lebih lanjut dan refleksi tentang berbagai aspek prinsip independensi peradilan). Kebebasan dalam menentukan pidana inilah hakim sebagai manusia dapat menggunakan daya tafsirnya untuk menentukan pidana yang sesuai dijatuhkan untuk terdakwa. Berkaitan dengan pelaksanaan tugas hakim, I Nyoman Nurjaya menjelaskan bahwa hakim harus melakukan penalaran deduktif (deductive reasioning) dengan bekal pola pikir yang disebut silogisme, menetapkan kesimpulan dari adanya dua premis, yaitu premis mayor berupa peristiwanya, dan premis minor berupa dasar hukumnya. 16 Menurut Alfred Dening, bahwa kegiatan hakim tersebut bukan semata-mata menerapkan silogisme belaka, tetapi spirit hakim ikut menentukan keadilan. Bertitik tolak dari latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk tesis dengan mengambil judul :
15
Nils A. Engstad, 2014, The Independence of Judges, International Publishing, London, h.
15. 16
Nurjaya, 2009, Dalam Makalah Soedarmadji: Redaksi Putusan Pengadilan dalam Penjatuhan Pidana Penjara Sebagai Pengganti “Pembayaran Uang Pengganti” dalam Tindak Pidana Korupsi, Tanjungkarang, h.11.
10
“Implementasi Sanksi Pidana Uang Pengganti Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan di Pengadilan Negeri Negara”.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan pokok permasalahan sebagai berikut : 1.
Apa dasar pertimbangan hakim tidak menjatuhkan pidana uang pengganti dalam tindak pidana kehutanan?
2.
Apa yang menjadi kendala bagi hakim tidak dapat menjatuhkan pidana uang pengganti?
1.3. Ruang Lingkup Masalah Ruang
lingkup
penelitian
merupakan
bingkai
penelitian,
yang
menggambarkan batas penelitian, mempersempit permasalahan, dan membatasi areal penelitian.17 Penelitian ini, untuk memudahkan dalam menelaah dan tidak melebar ke permasalahan lain, maka perlu diadakan pembatasan masalah. Penulisan penelitian ini meliputi masalah-masalah antara lain dasar pertimbangan hakim tidak menjatuhkan pidana uang pengganti dalam tindak pidana kehutanan, dan kendala bagi hakim tidak dapat menjatuhkan pidana uang pengganti.
17
Bambang Sunggono, 2005, Metodelogi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 111.
11
1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum Tujuan umum berupa upaya penelili untuk pengembangan ilmu hukum terkait dengan paradigma science as a process (ilmu sebagai proses). Dengan paradigma ini ilmu tidak akan pernah mandek (final) dalam penggaliannya atas kebenaran di bidang dasar pertimbangan hakim tidak menjatuhkan pidana uang pengganti dalam tindak pidana kehutanan sebagai bentuk perlindungan terhadap lingkungan hidup yang termasuk didalamnya ada hutan, sehingga perbuatan yang dapat merusak hutan tidak terjadi kembali di masa yang akan datang. 1.4.2 Tujuan Khusus 1.
Untuk mendiskripsikan dan melakukan analisis terhadap dasar pertimbangan hakim tidak menjatuhkan pidana uang pengganti dalam tindak pidana kehutanan sesuai ketentuan Undang-Undang No 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
2.
Untuk mendiskripsikan dan melakukan analisis secara mendalam tentang kendala bagi hakim tidak dapat menjatuhkan pidana uang pengganti.
1.5 Manfaat Penulisan Adapun manfaat yang dapat diperoleh dengan adanya penulisan tesis ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu : 1.5.1 Manfaat Teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi teoritik dalam pengembangan teori, konsep, asas hukum pidana khususnya bidang hukum kehutanan khususnya dasar pertimbangan hakim tidak menjatuhkan pidana
12
uang pengganti, sekaligus sebagai acuan bagi pihak-pihak yang ingin melakukan penelitian lebih mendalam tentang kendala bagi hakim tidak dapat menjatuhkan pidana uang pengganti. 1.5.2
Manfaat Praktis 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bukan hanya bagi penulis sendiri tetapi juga bagi institusi penegak hukum guna memberikan sumbangan pemikiran dan pengembangan studi di bidang hukum pidana khususnya terkait dasar pertimbangan hakim tidak menjatuhkan sanksi pidana uang pengganti. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat serta masukan pengetahuan bagi masyarakat, yang berkaitan dengan kendala bagi hakim tidak dapat menjatuhkan pidana uang pengganti.
1.6 Orisinalitas Penelitian Penelitian ini merupakan hasil karya tulis asli yang penulis kerjakan sendiri dengan tidak ada unsur plagiasi dari hasil karya tulis manapun. Adapun hasil karya tulis lainnya yang dapat menunjukkan perbedaan yang signifikan antara hasil karya tulis ini dengan karya tulis lainnya dapat diperhatikan mulai dari judul, masalah yang dikaji, dan hasil penelitiannya. Lebih lanjut diuraikan sebagai berikut : 1.
Penelitian yang dilakukan oleh Steven Makaruku, SH, tesis tahun 2013, Universitas Udayana Denpasar, judul "Kebijakan Kriminal Terhadap Penanggulangan Illegal Logging Di Indonesia" dimana rumusan masalahnya meliputi :
13
1) Bagaimanakah
pendekatan
penanggulangan
illegal
logging
dari
persepektif kebijakan kriminal? 2) Bagaimanakah kebijakan pemerintah menanggulangi peredaran kayu ilegal antar negara? Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti dan mengkaji kaedah-kaedah hukum yang berlaku dan menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatif 2. Penelitian yang dilakukan oleh I Gusti Ngurah Yoga Antara, SH, tesis tahun 2013, Universitas Udayana Denpasar dengan judul "Implementasi Prinsip Perlindungan Hutan Dalam Penanggulangan Illegal Ocupation Di Kawasan Hutan (Studi Kasus Pada Illegal Ocupation Di Tahura Ngurah Rai)” dimana rumusan masalah meliputi : 1) Bagaimanakah bentuk dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya illegal ocupation di Tahura Ngurah Rai? 2) Bagaimanakah implementasi prinsip perlindungan hutan dalam upaya penanggulangan illegal ocupation di Tahura Ngurah Rai? Penelitian ini adalah penelitian hukum empiris yang mengkaji bekerjanya hukum di masyarakat, yakni dengan mengkaji mengenai illegal occupation di Tahura Ngurah Rai. Penelitian ini dilakukan di Tahura Ngurah Rai yang berlokasi di Kota Denpasar.
14
3.
Gandhi Susila, SH, tesis tahun 2011, Universitas Diponegoro Semarang dengan judul "Upaya Non Penal Dalam Penanggulangan Illegal Logging Di Wilayah Kabupaten Grobongan” dimana rumusan masalah meliputi: 1) Faktor-faktor apa saja yang menjadi latar belakang timbulnya illegal logging di Kabupaten Grobongan? 2) Usaha-usaha apa saja yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Grobongan dalam penanggulangan masalah illegal logging tersebut? Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris yang khusus meneliti
mengenai efektivitas hukum yang membahas mengenai bagaimana hukum beroperasi dalam masyarakat. Penelitian ini berlokasi di Kabupaten Grobongan. Dari ketiga tesis tersebut belum ada yang menyentuh secara khusus mengenai permasalahan yang akan penulis bahas dalam penelitian ini, dimana penulis lebih menekankan pada dasar pertimbangan hakim tidak menjatuhkan pidana uang pengganti dalam tindak pidana kehutanan serta kendala bagi hakim tidak dapat menjatuhkan pidana uang pengganti.
1.7 Landasan Teoritis Setiap penelitian selalu disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis. “Landasan
teoritis
adalah
upaya
untuk
mengidentifikasi
teori
hukum
umum/khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, dan lain-lain, yang akan dipakai landasan pembahasan permasalahan penelitian”.18 Penelitian ini
18
PS. Magister ilmu Hukum Program Pascasarjana Unud, 2013, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, PS. Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Unud, Denpasar, h. 44.
15
menggunakan asas-asas hukum dan teori-teori hukum sebagai landasan analisis terhadap permasalahan yang ada, yaitu: 1. Asas Independensi Hakim Kehakiman di Indonesia dijamin dalam konstitusi Indonesia yaitu UndangUndang Dasar 1945, yang selanjutnya diimplementasikan dalam Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970
tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman,
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Independensi diartikan sebagai bebas dari pengaruh eksekutif maupun segala Kekuasaan Negara lainnya dan kebebasan dari paksaan yang datang dari pihakpihak di luar kekuasaan kehakiman, kecuali dalam hal-hal yang diijinkan oleh Undang-Undang. Demikian juga meliputi kebebasan dari pengaruh-pengaruh internal kekuasaan kehakiman didalam menjatuhkan putusan. Kekuasaan kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah merupakan kehendak dari UUD NRI Tahun 1945 yakni Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini adalah esensi demokrasi yang dicita-citakan oleh indonesia. Pengakuan bahwa seharusnya kekuasaan kehakiman itu mereka lepas dari pengaruh cabang kekuasaan yang lain. Independensi hakim untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, untuk terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia, menuntut hakim memiliki integritas dan komitmen yang didasarkan pada kemampuan dan kecerdasan intelektual dan kecerdasan spritual.
16
Independensi
kekuasaan
kehakiman
atau
badan-badan
kehakiman/peradilan merupakan salah satu dasar untuk terselenggaranya pemerintahan yang demokratis dibawah Rule of Law sebagaimana pemikiran mengenai Negara Hukum modern yang pernah dicetuskan dalam konferensi oleh International Commission of Jurists di Bangkok pada tahun 1965. Demikian jelas bahwa secara nasional maupun internasional atau universal, independensi badanbadan peradilan dijamin.19 Batasan atau rambu-rambu yang harus diingat dan diperhatikan dalam implementasi kebebasan itu adalah terutama aturan-aturan hukum itu sendiri. Ketentuan-ketentuan hukum, baik segi prosedural maupun substansial/materiil, itu sendiri sudah merupakan batasan bagi Kekuasaan Kehakiman agar dalam melakukan independensinya tidak melanggar hukum, dan bertindak sewenangwenang. 20 2. Asas Primum Remidium Sanksi pidana merupakan “obat terakhir” (ultimum remedium) dari rangkaian tahapan penegakan suatu aturan hukum. “Obat terakhir” ini merupakan jurus pamungkas jika mekanisme penegakan pada bidang hukum lain tidak bekerja efektif. Perkembangan hukum pidana di Indonesia, sanksi pidana dalam beberapa kasus tertentu bergeser kedudukannya. Tidak lagi sebagai ultimum remedium melainkan sebagai primum remedium (obat yang utama).21
19
Lotulung, Paulus Efendi, 2003, Kebebasan Hakim Dalam Sistem Penegakan Hukum, Makalah Disampaikan Pada : Seminar Pembangunan Hukum Nasional VI, h. 12. 20 Busthanul Arifin, 2007, Masa Lampau yang Belum Selesai (Percikan Pikiran Tentang Hukum dan Pelaksanaan Hukum), Sinar Grafika, Jakarta, h. 23. 21 Adami Chazawi, 2005, Pelajaran Hukum Pidana. Cetakan I, PT Rajagrafindo, Jakarta, h. 98.
17
Posisi primum remedium dalam konteks hukuman bukan lagi menjadi obat terkahir melainkan menjadi obat pertama untuk membuat jera orang yang melakukan pelanggaran yang bersifat pidana. Hukuman pidana dijadikan hal yang paling penting untuk menghukum pelaku yang dapat merugikan ataupun mengganggu ketentraman umum.22 Ketentuan pengaturan mengenai sanksi pidana sebagai primum remedium ini dapat dilihat dalam UU mengenai terorisme dan tindak pidana korupsi. Dari perspektif sosiologis hal ini dikarenakan perbuatan yang diatur dalam dua UU tersebut merupakan tindakan yang “luar biasa” dan besar dampaknya bagi masyarakat, sehingga dalam hal ini tidak lagi mempertimbangkan penggunaan sanksi lain, karena mungkin dirasa sudah tepat apabila langsung menggunakan atau menjatuhkan sanksi pidana terhadap para pelaku tindak pidana tersebut.23 Kini faktanya sanksi pidana itu bukan merupakan “obat terakhir” (ultimum remedium) lagi, banyak perbuatan – perbuatan yang bertentangan dengan aturan UU yang berlaku dan masyarakat merasa dirugikan, maka yang diberlakukan adalah sanksi pidana sebagai pilihan utama (premium remedium). Perkembangannya penerapan dalil ultimum remedium ini sulit diterapkan karena masih banyak mengalami kendala, dan faktor-faktor lain salah satunya adalah karena KUHP yang mengatur setiap tindak pidana dan pelanggaran menerapkan sanksi pidana yang tidak mengenal kompromi.
22 23
Ibid. Ibid, h.71.
18
3. Teori Pemidanaan Pemidanaan berasal dari kata “pidana” yang diartikan juga sebagai hukuman sehingga pemidanaan dapat diartikan sebagai penghukuman. Menurut Sudarto, bahwa istilah penghukuman dapat disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana yang kerap kali sinonim dengan “pemidanaan” atau “pemberian/penjatuhan pidana” oleh hakim. 24 Menurut Muladi tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan baik individual maupun sosial yang disebabkan karena adanya tindak pidana. Konsepsi ini bertolak dari asumsi dasar, bahwa tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan yang mengakibatkan kerusakan individual dan sosial. Berdasarkan hal tersebut, Muladi mengemukakan bahwa seperangkat tujuan yang bersifat integratif meliputi; 1. pencegahan (baik umum maupun khusus); 2. perlindungan masyarakat; 3. memelihara solidaritas masyarakat; 4. pengimbalan/ pengimbangan.25 Pemidanaan yang mempunyai arti sama dengan penjatuhan pidana oleh negara, berwujud sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan atau dibebankan oleh negara kepada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. Menurut Steven H. Gifts26, dalam Law Dictionary yang dimaksud dengan Punishment adalah : Punishment, is sanctions impose on a person because that person has been found to have comite some act. Dalam Black’s Law Dictionary, punishment is any fine, penalty, or confinement inflicted upon a person by the authority of law and the judgement and sentence of a court, for some
24
Sudarto, 2006, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Alumni, Bandung, (selanjutnya disebut Sudarto I), h.72 25 Muladi, 1985, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, (selanjutnya disebut Muladi I), h.39. 26 Steven H. Gifis, 1991, Law Dictionary, Barrons Educational Series Inc, New York, h.101.
19
crime or offense commited by him or for his ommission of a duty enjoined by law.27 Hal tersebut dapat dikatakan bahwa pemidanaan adalah suatu proses pemberian/penjatuhan pidana oleh hakim dan mengenai proses menjalankan pidana sebagai akibat adanya gangguan mengakibatkan kerusakan baik individual maupun sosial. Pemidanaan pada umumnya dikenal dengan 3 teori yang sering digunakan dalam mengkaji tentang tujuan pemidanaan yaitu : a.
b.
c.
Teori Pembalasan (absolute/vergeldingstheorie) Menurut teori ini, dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri karena kejahatan telah menimbulkan penderitaan bagi orang lain, sebagai imbalannya (vergelding) si pelaku juga harus diberi penderitaan. Teori maksud dan tujuan (relatieve doeltheorie) Menurut teori ini, hukuman dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman itu yakni memperbaiki ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman harus dipandang secara ideal. selain itu tujuan hukuman adalah untuk mencegah (prevensi) kejahatan. Teori gabungan (verenigingstheorie) Pada dasarnya teori gabungan adalah gabungan kedua teori antara teori pembalasan dan teori maksud dan tujuan. Gabungan kedua teori itu mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman adalah untuk mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan memperbaiki pribadi si penjahat.28
4. Teori Kemanfaatan Teori ini dikemukakan oleh Jeremy Bentham yang secara garis besar teori ini mengacu pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan hukum dalam masyarakat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan, sehingga tata tertib masyarakat tetap terpelihara. Tujuan pidana menurut teori utilitarian ialah tata tertib masyarakat, dan untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana. Pidana 27 Henry Campbell Black, 1991, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., St. Paul Minn, h.23. 28 Ledeng Marpaung, 2003, Azas Teori Praktek Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, h.105.
20
adalah untuk mencegah timbulnya tindak pidana dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara. Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat, maka pidana memiliki tiga macam sifat, yaitu : bersifat menakut-nakuti, bersifat memperbaiki dan bersifat membinasakan. Dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak supaya orang jangan melakukan kejahatan.29 Menurut kaum utilitarianisme, tujuan perbuatan sekurang-kurangnya mengurangi atau menghindari kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan yang dilakukan oleh diri sendiri ataupun orang lain, menurut pendapat Bentham : “In Bentham's theory, an action conforming to the principle of utility is right or at least not wrong; it ought to be done, or at least it is not the case that it ought not be done”.30 (Dalam teori Bentham, tindakan sesuai dengan prinsip utilitas yang benar atau setidaknya tidak salah, itu harus dilakukan, atau setidaknya tidak terjadi bahwa hal itu tidak seharusnya dilakukan). Adapun maksimalnya adalah dengan memperluas kegunaan, manfaat, dan keuntungan yang dihasilkan oleh perbuatan yang akan dilakukan. Jadi tindakan itu harus memberi manfaat sesuai dengan prinsip utilitas yang tepat atau setidaknya tidak salah, itu harus dilakukan, atau setidaknya tidak terjadi bahwa hal itu tidak seharusnya dilakukan. 5. Teori Efektivitas Hukum Terkait dengan efektivitas hukum yang dihubungkan dengan tipe-tipe penyelewengan yang terjadi dalam masyarakat, perlu dicermati bahwa berlakunya
29 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2010, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung (Selanjutnya disebut Muladi dan Barda Nawawi Arief I), h. 16. 30 Daniel & Garret Thomson, 2006, The Longman Standard History of Philosophy, New York, h. 123.
21
hukum dapat dilihat dari berbagai perspektif, seperti perspektif filosofis, yuridis normatif dan sosiologis. Perspektif filosofis, berlakunya hukum jika sesuai dengan cita-cita hukum. Perspektif yuridis normatif, berlakunya hukum jika sesuai dengan kaedah yang lebih tinggi atau terbentuknya sesuai dengan cara-cara yang ditetapkan. Teori efektivitas hukum atau bekerjanya hukum dalam masyarakat menurut William. J. Chambliss dan Robert B. Seidmen yang berpendapat tentang pengaruh hukum. Salah satu fungsi hukum baik sebagai kaidah maupun sebagai sikap tindak atau perilaku teratur adalah membimbing perilaku manusia. Efektivitas hukum merupakan proses yang bertujuan agar semua hukum berlaku efektif, keadaan tersebut dapat ditinjau atas dasar beberapa tolak ukur diantaranya hukumnya sendiri, perilaku masyarakat, sarana dan fasilitas.31 Menurut Chambliss dan Robert B. Seidmen setiap konsep hukum sangat mempengaruhi agar suatu perilaku dilakukan oleh lembaga pembuat dan lembaga kekuasaan negara, kemudian oleh kekuasaan negara diselenggarakan dengan mempergunakan hukum sebagai sarana untuk mendorong perilaku yang lebih baik.32 Lembaga pembuat hukum bekerja dengan membuat peraturan yang ditujukan untuk mengatur masyarakat, demikian pula dengan lembaga penegak hukum bertugas menjalankan peraturan yang ditujukan untuk mengatur masyarakat sehingga hukum menjadi efektif.
31
Soerjono Soekanto, 2007, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penagakan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto I), h. 8. 32 Ibid, h.9.
22
Efektivitas berfungsinya hukum dalam masyarakat, erat kaitannya dengan kesadaran hukum dari warga masyarakat itu sendiri. Ide tentang kesadaran warga –warga masyarakat sebagai dasar sahnya hukum positif tertulis yang dapat diketahui dari ajaran-ajaran tentang Rechysgeful atau Rechtsbewustzijn, dimana intinya adalah tidak ada hukum yang mengikat warga-warga masyarakat kecuali atas dasar kesadaran hukum. Hal tersebut merupakan suatu aspek dari kesadaran hukum, aspek lainnya adalah bahwa kesadaran hukum seringkali dikaitkan dengan penataan hukum, pembentukan hukum, dan efektivitas hukum. aspek-aspek ini erat kaitannya dengan anggapan bahwa hukum itu tumbuh bersama-sama dengan tumbuhnya masyarakat, dan akhirnya berangsur-angsur lenyap manakala suatu bangsa kehilangan kepribadian nasionalnya. 6. Teori Berlakunya Hukum Teori keberlakuan kaidah hukum : 1. Kaedah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaedah yang lebih tinggi tingkatannya (Hans Kelsen), atau berbentuk menurut cara yang telah ditetapkan, atau apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibat. 2. Kaedah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaedah tersebut efektif, artinya, kaedah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (Teori kekuasaan), atau kaedah tadi berlaku karena diterima dan diakui oleh masyarakat (teori pengakuan). Berlakunya kaidah hukum secara sosiologis menurut teori pengakuan adalah apabila kaidah hukum tersebut diterima dan diakui
23
masyarakat. Sedangkan menurut teori paksaan berlakunya kaidah hukum apabila kaidah hukum tersebut dipaksakan oleh penguasa. 3. Kaedah hukum tersebut berlaku secara filosofis, artinya, sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi. 33 Suatu kaidah hukum sebaiknya mengandung 3 aspek tersebut, yaitu jika kaidah hukum berlaku secara yuridis saja maka hanya merupakan hukum mati sedang apabila hanya berlaku dari aspek sosiologis saja dalam artian paksaan maka kaidah hukum tersebut tidak lebih dari sekedar alat pemaksa. Apabila kaidah hukum hanya memenuhi syarat filosofis saja, maka kaidah hukum tersebut tidak lebih dari kaidah hukum yang dicita-citakan. Kalau ditelaah secara lebih mendalam, supaya berfungsi maka suatu kaedah hukum harus memenuhi ketiga macam unsur tersebut ditas. Jika tidak terpenuhinya salah satu unsur tidak akan berfungsi seperti yang dikehendaki oleh hukum itu sendiri. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 7 dan 8 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, menyatakan bahwa pencegahan perusakan hutan adalah segala upaya yang dilakukan untuk menghilangkan kesempatan terjadinya perusakan hutan dan pemberantasan perusakan hutan adalah segala upaya yang dilakukan untuk menindak secara hukum terhadap perusakan hutan baik langsung, tidak langsung, maupun yang terkait lainnya. Kemudian dalam rangka pencegahan perusakan hutan, pemerintah membuat kebijakan berupa : 33
Soerjono Soekanto, 1988, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto II), h. 45.
24
a. Kordinasi lintas sektor dalam pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. b. Pemenuhan kebutuhan sumber daya aparatur pengamanan hutan. c. Insentif bagi para pihak yang berjasa dalam menjaga kelestarian hutan. d. Peta penunjukkan kawasan hutan dan/atau koordinat geografis sebagai dasar yuridis batas kawasan hutan. e. Pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Upaya pemberantasan perusakan hutan dilakukan dengan cara menindak secara hukum pelaku perusakan hutan, baik langsung, tidak langsung, maupun yang terkait lainnya melalui penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan.
25
1.8 Kerangka Berpikir Implementasi sanksi pidana uang pengganti menurut Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan di PN Negara
Latar Belakang Masalah - Putusan-Putusan PN Negara No. 91 / Pid.Sus / 2014 /
PN. Nga, 154 / Pid.Sus / 2014 / PN. Nga, tidak menjatuhkan sanksi uang pengganti - Padahal ketentuan pasal 108 UU No. 18 Tahun 2013 menegaskan ancaman sanksi pidana uang pengganti terhadap pelaku penebangan pohon tanpa ijin sesuai pasal 82 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 18 Tahun 2013
- - Asas Independensi Hakim - -Asas Primum Remidium - Teori Pemidanaan - Teori Kemanfaatan - Teori Efektivitas Hukum - Teori Berlakunya Hukum
Rumusan Masalah - Pertimbangan hakim tidak menjatuhkan pidana uang pengganti - Faktor-faktor kendala bagi hakim tidak dapat menjatuhkan pidana uang pengganti
Simpulan - Dalam surat tuntutan jaksa tidak dituntut pengenaan sanksi pidana uang pengganti. - Kendala bagi hakim dalam menjatuhkan pidana uang pengganti, karena belum jelas pengaturan besaran uang pengganti yang harus dibayarkan.
1.9 Metode Penelitian 1.9.1 Jenis Penelitian Penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian yuridis empiris. Pendekatan ini bertujuan untuk memahami bahwa hukum itu tidak semata-mata sebagai suatu perangkat aturan perundang-undangan yang bersifat normatif belaka, akan tetapi hukum dipahami sebagai perilaku masyarakat yang menggejala dalam kehidupan masyarakat, selalu berinteraksi dan berhubungan dengan aspek kemasyarakatan, seperti aspek ekonomi, sosial, dan budaya. Metode
26
pendekatan yuridis empiris, yaitu dengan melakukan penelitian secara timbal balik antara hukum dengan lembaga non doktrinal yang bersifat empiris dalam menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku di masyarakat. Penelitian ini dititikberatkan pada langkah-langkah pengamatan dan analisis yang bersifat empiris dari kesenjangan yang terdapat dari peraturan-peraturan yang tertulis yaitu peraturan perundang-undangan yang khususnya
mengatur tentang dasar
pertimbangan hakim tidak menjatuhkan uang pengganti dalam tindak pidana kehutanan dengan kenyataan yang terjadi di lapangan.34 Lokasi yang dipilih untuk melakukan penelitian adalah Pengadilan Negeri Negara. 1.9.2. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif dengan tujuan “menggambarkan berbagai kondisi, berbagai situasi atau berbagai variable yang timbul di masyarakat yang menjadi obyek penelitian itu”.35 Penelitian ini penulis menggambarkan secara rinci dan mengkaji secara kritis fakta hukum terkait dengan dasar pertimbangan hakim tidak menjatuhkan pidana uang pengganti, serta kendala bagi hakim tidak dapat menjatuhkan pidana uang pengganti. 1.9.3 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui hasil penelitian lapangan (field research), sedangkan data sekunder diperoleh melalui hasil penelitian kepustakaan (library research). Data primer didapat langsung dari responden
34 Kasiram. M., 2008, Metodelogi Penelitian Kualitatif-Kuantitatif, UIN Malang Press, Malang, h. 23. 35 Soerjono Soekanto, 2012, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto III), h. 34.
27
maupun informan, dan data sekunder diperoleh tidak secara langsung dari sumber pertamanya melainkan bersumber dari penelitian kepustakaan yaitu dari data yang sudah terdokumenkan dalam bentuk bahan-bahan hukum. adapun bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan yang terkait dengan dasar pertimbangan hakim tidak menjatuhkan pidana uang pengganti, sedangkan bahan hukum sekunder berupa hasil-hasil penelitian hukum dan buku-buku hukum. 1.9.4 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik studi dokumen dan teknik wawancara. Teknik studi dilakukan dengan mempergunakan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian kemudian teknik wawancara yang dilakukan dengan memberi pertanyaan-pertanyaan kepada responden maupun informan untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah yang diteliti yaitu dasar pertimbangan hakim tidak menjatuhkan pidana uang pengganti dalam tindak pidana kehutanan, kendala bagi hakim tidak dapat menjatuhkan pidana uang pengganti. 1.9.5 Teknik Penentuan Sampel Penelitian Teknik penentuan sampel yang digunakan adalah teknik non probability sampling yaitu tidak semua subyek atau individu mendapat kemungkinan yang sama untuk dijadikan sampel. 36 Jenis teknik non probability sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah Purposive Sampling. Teknik Purposive Sampling, pengambilan sampel dilakukan berdasarkan tujuan tertentu yaitu 36
156.
Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, h.
28
sampel dipilih atau ditentukan sendiri oleh si peneliti, yang mana penunjukkan dan pemilihan sampel didasarkan pertimbangan bahwa sampel telah memenuhi kriteria dan sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama dari populasinya. Penelitian ini mengambil sampel yakni hakim pada Pengadilan Negeri Negara. 1.9.6 Pengolahan dan Analisis Data Setelah data terkumpul, maka tahap selanjutnya adalah melakukan pengolahan data dan menganalisisnya agar data tersebut memiliki kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif. Pendekatan kualitatif sebenarnya merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan, dan perilaku nyata37. Semua data dari hasil penelitian yang terkumpul baik dari data primer maupun data sekunder, diolah dan dianalisis dengan cara menyusun data secara sistematis. Data yang telah tersusun tersebut, dihubungkan dengan data yang satu dengan data yang lainnya, kemudian dilakukan interpretasi untuk memahami makna dari keseluruhan data. Setelah melakukan penafsiran terhadap keseluruhan data dari perspektif peneliti, langkah selanjutnya adalah penyajian data hasil penelitian yang dilakukan secara deskriptif kualitatif dan sistematis.38
37 38
Soerjono Soekanto III, Op.Cit, h. 32. PS. Magister ilmu Hukum Program Pascasarjana Unud, Op.Cit, h. 76.