1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dunia perdagangan dan industri tumbuh dan berkembang semakin komplek akhir-akhir ini melibatkan masyarakat, pelaku usaha dan pemerintah. Pengangkutan adalah salah satu bidang kegiatan yang sangat vital dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Pengangkutan dapat menunjang pembangunan nasional dalam berbagai sektor, misalnya sektor perhubungan, pengangkutan memperlancar arus manusia, barang, jasa dan informasi keseluruh penjuru tanah air; sektor pariwisata, pengangkutan mempercepat penyebaran perdagangan barang kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan pembangunan sampai kepelosok tanah air1. Menurut E. E Mangindaan, pelayanan jasa transportasi merupakan urat nadi perekonomian, dan peranannya vital dalam pengembangan perekonomian nasional. Oleh karena itu, peranan Kementerian Perhubungan dituntut untuk terus
meningkatkan
kinerjanya
baik
di
bidang
transportasi
darat,
perkeretaapian, laut dan udara dengan diimbangi SDM yang semakin kompeten dan profesional dan didukung oleh tatakelola yang efektif, efisien,
1
Abdulkadir Muhammad, 1994, Hukum Pengangkutan Darat, Laut dan Udara, Citra Aditya Bakti, Bandung, halaman 1.
2
dan akuntabel serta sesuai dengan kebutuhan pelayanan yang berkembang di masyarakat.2 “Ada dua kementerian yang sangat penting dalam menunjang perekonomian nasional, yaitu Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Pekerjaan Umum (PU). Jika Kementerian Perhubungan mampu memberikan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat, kita akan melihat gerak ekonomi nasional akan meningkat, kesejahteraan akan tercipta karena akan terbuka cukup banyak lapangan kerja”.3
Oleh sebab itu kepastian hukum di bidang pengangkutan harus dijamin oleh pemerintah yang di dukung oleh para pelaku usaha dan masyarakat. Pemerintah bertanggung jawab dalam penyelenggaraan angkutan yang menjamin keselamatan, keamanan, kenyamanan dan terjangkau. Sebagaimana telah termaktub dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan berikut: - Pasal 138: (1). Angkutan umum diselenggarakan dalam upaya memenuhi kebutuhan angkutan yang selamat, aman, nyaman, dan terjangkau; (2). Pemerintah bertanggung jawab atas penyelenggaraan angkutan umum; (3). Angkutan umum dan/atau barang hanya dilakukan dengan kendaraan bermotor umum; - Pasal 139: (4) Penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau badan hukum lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. - Pasal 173: (1) Perusahaan angkutan umum yang menyelenggarakan angkutan orang dan/atau barang wajib memiliki izin penyelenggaraan angkutan. 2
Kementerian Perhubungan, 2012, ”Kinerja Kementrian Perhubungan Tahun 2012”, Trans media Majalah Kementerian Perhubungan Edisi 12/2012, halaman 47 yang diunduh dari http://dephub.go.id/files/media/newsletter/transmedia%20edisi%2012.pdf , Tanggal 2 Mei 2013, Pukul 15.00 WIB. 3 Ibid.
3
Pemerintah memiliki kekuasaan dalam penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan. Hal ini sesuai dengan amanat UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) Pasal 5 dinyatakan bahwa negara bertanggung jawab atas lalu lintas dan angkutan jalan dan pembinaannya dilaksanakan oleh pemerintah, yang meliputi perencanaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan. Dalam hal penyediaan dan penyelenggaraan jasa layanan angkutan orang dalam trayek, pemerintah mengendalikannya dengan menerbitkan izin. Dalam Pasal 2 Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 10 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Usaha Angkutan Umum, Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor dan Retribusi Izin Trayek menyatakan bahwa: (1) Kegiatan usaha angkutan penumpang umum atau angkutan barang dapat dilakukan oleh perorangan atau badan usaha. (2) Untuk dapat melakukan kegiatan usaha angkutan sebagaimana dimaksud ayat (1) setiap pengusaha angkutan kendaraan bermotor di daerah wajib memiliki izin usaha angkutan, izin trayek dan uji kendaraan bermotor. (3) Izin usaha angkutan ditetapkan berdasarkan azas domisili perusahaan atau pool (fasilitas penyimpanan kendaraan) dan perbengkelan di wilayah Kota Bekasi. Hakekat diterbitkannya izin oleh pemerintah adalah dalam rangka untuk: 1. Memberikan jaminan bagi pengguna jasa angkutan untuk mendapatkan jasa angkutan sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya. Untuk mewujudkan kepastian pelayanan jasa angkutan umum tersebut maka setiap operator harus dapat melaksanakan kewajiban yang telah ditetapkan. 2. Memberikan perlindungan kepada penyedia jasa/operator dengan menjaga keseimbangan antara penyediaan angkutan (supply) dan
4
permintaan angkutan (demand), agar perusahaan dapat menjaga dan mengembangkan usahanya.4 Dalam
praktek
yang
terjadi,
pemerintah
yang
seharusnya
berkedudukan sebagai perencana, pengatur, pengendali dan pengawas bidang pengangkutan masih banyak pejabat yang berwenang melakukan perilaku koruptif. Misalnya, perilaku koruptif yang dilakukan oleh Dishub saat pengurusan izin penyelenggaraan usaha angkutan atau saat di jalan raya (polisi, Dishub dan premanisme)5 yang sangat mengganggu perekonomian. Perilaku koruptif memiliki kaitan erat dengan kekuasaan, hal ini sesuai dengan ungkapan yang dikemukakan oleh Lord Acton (John Emerich Edward Dalberg-Acton) dalam suratnya kepada Bishop Mandell Creighton yang menyatakan bahwa “power tends to corrupt, and absolut power corrupts absolutely” atau “ kekuasaan cenderung untuk korupsi dan kekuasaan yang absolut cenderung korupsi absolut”.6 Dalam alinea kedua Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 4
Direktorat Jendral Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, ”Pelayanan Publik di Sektor Perhubungan Darat”, yang diunduh dari http://hubdat.dephub.go.id/pelayanan-publik, Tanggal 29 Agustus 2013, Pukul 14. 36 WIB. 5 The Asia Foundation, ”Biaya transportasi barang angkutan, regulasi dan pungutan jalan di Indonesia”, Cetakan April 2008, halaman 48, yang diunduh dari http://asiafoundation.org/resources/pdfs/movinggoodslightbahasa.pdf, Tanggal 28 November 2013 Pukul 20.19 WIB. Oknum polisi biasanya meminta bayaran dengan berbagai cara yang terselubung. Kadang-kadang mereka melakukan pemeriksaan dokumen semua kendaraan yang melintasi pos polisi atau wilayah perbatasan kabupaten. Lebih sulit bagi oknum polisi untuk mendapatkan uang suap dari kendaraan pribadi yang memiliki surat-surat lengkap. Sementara itu, supir truk tidak canggung-canggung untuk menyelipkan Rp.3.000,- sampai Rp.5.000,- walaupun mereka memiliki surat-surat yang lengkap dan tidak memiliki kelebihan muatan. Akan tetapi, karena setengah dari truk yang disurvei memiliki kelebihan beban muatan, supir menyadari bahwa mereka harus melakukan pembayaran kepada polisi. Dalam beberapa hal, polisi memeriksa kelengkapan kendaraan untuk mencari kemungkinan pelanggaran. Bagi supir truk, pungutan seperti ini menjadi hal yang biasa. 6 Ermansjah Djaja, 2008, Memberantas Korupsi Bersama KPK-Komisi Pemberantasan KPK, Sinar Grafika, Jakarta, halaman 1.
5
disebutkan bahwa meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, oleh karena itu maka tindak pidana korupsi tidak dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan menjadi suatu kejahatan yang luar biasa. Tingginya tingkat korupsi akan menyebabkan biaya ekonomi jadi tinggi akibat pemilik barang (pelaku usaha) membebankan semua pungutan, biaya entertain, dan biaya lain-lain masuk ke dalam komponen harga jual barang dan jasa yang akan diderita oleh konsumen yang dalam hal ini adalah masyarakat. Masyarakat merupakan korban ekonomi antara pemerintah dengan pelaku usaha sebagaimana yang disebut oleh Prof. J. E. Sahetapy. ” Biaya angkutan barang dalam negeri yang begitu tinggi merupakan hambatan besar bagi tingkat pertumbuhan di Indonesia. Biaya logistik dalam negeri di Indonesia lebih tinggi daripada di Vietnam, Thailand, Malaysia dan Cina. Studi ini menemukan bahwa secara keseluruhan biaya operasional kendaraan untuk truk angkutan barang sebesar Rp. 3.093,- per kilometer, atau sekitar USD 34 sen per kilometer. Angka ini lebih tinggi daripada biaya rata-rata untuk Asia, yang sebesar USD 22 sen per kilometer. Bukti yang ada menunjukkan bahwa biaya transportasi dalam negeri secara signifikan merupakan hambatan bagi daya saing perdagangan Indonesia di tingkat Internasional.”7 Pungli ini merupakan gejala sosial yang telah ada di Indonesia, sejak Indonesia masih dalam penjajahan8 dan dalam perkembangannya muncul
7
The Asia Foundation, op.cit, halaman 58. Terdapat pada salah satu pasal dalam Bab XXVIII KUHP, dari delik yang dilakukan oleh pejabat. 8
6
istilah ‘salam tempel/meel’ yang dikenal oleh masyarakat9. Silaban10, pengemudi bus PPD di Jakarta mengungkapkan “lebih baik kasih duit ’Cepek’ (seratus ribu) kepada polisi daripada bus dikandangkan. Kalau sudah begitu mau makan apa kita Bang. Sekarang ini polisi yang tidak mau terima uang cuma polisi tidur di jalan dan patung polisi. Semua teman-teman wajib setoran ke petugas DLLAJ, polisi dan preman” Ada cukup banyak contoh dari pungli dalam keseharian kita misalnya11: 1) Oknum petugas/calo yang mengenakan ’harga tidak resmi’ atau pungli
pada
saat
pelaku
usaha
melakukan
pengajuan
permohonan ataupun memperpanjang izin usaha angkutan, izin trayek, atau uji kendaraan bermotor; 2) Oknum petugas Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya (DLLAJR) yang meminta uang/memungut pungli kepada supirsupir truk barang yang lewat di jalan tertentu; 3) Oknum pegawai pelabuhan yang menarik pungli untuk barang yang masuk dalam pelabuhan; 4) Oknum petugas jembatan timbang yang menarik pungli setiap kendaraan yang ditimbang. Dalam kamus bahasa cina dapat ditemukan arti dari kata pungli, Li yang berarti keuntungan dan Pung yang berarti persembahan. Jadi, Puuuung 9 Perkembangan dalam masyarakat bidang angkutan dikenal istilah salam tempel/meel yang oleh penulis didefinisikan sebagai pemberian keuntungan oleh masyarakat/pelaku usaha kepada pejabat dengan maksud atau tujuan tertentu, yang dikenal oleh masyarakat umum sebagai tindakan suap. 10 Pudi Rahardi, 2007, Hukum Kepolisian: Profesionalisme dan Reformasi Polri, Cetakan ke-1 Laksbang Mediatama, Surabaya, halaman 188. 11 bumidoc.blogspot.com, salam-tempel-sepanjang-jalan.html, yang diakses tanggal 12 Juli 2013, Pukul 12.30 WIB.
7
Li berarti mempersembahkan keuntungan.12 Pungli adalah pungutan yang dilakukan oleh dan untuk kepentingan pribadi oknum petugas dan atau bertujuan kepentingan tertentu individu masyarakat, terhadap uang negara dan atau anggota masyarakat, yang dipungut secara tidak syah (tidak memenuhi persyaratan formil maupun materiil) dan atau melawan hukum (tindak pidana). Pungli dapat juga diartikan sebagai biaya administrasi yang tidak resmi biasanya dikaitkan dengan perizinan untuk kepentingan pribadi pelaku, terutama kalangan pegawai negeri (birokrat). Pungutan liar pada hakekatnya adalah interaksi antara petugas dan masyarakat yang didorong oleh pelbagai kepentingan pribadi (vested interest). Motivasi kepentingan pribadi tersebut berbeda-beda ditinjau dari: a. Sisi pejabat yang menerima, dapat dibagi dalam 2 kelompok ialah “Survival”/terpaksa dan untuk memperkaya diri/sadar dan sengaja; b. Sisi masyarakat yang memberi, dapat dibagi dalam 2 kelompok ialah yang memberikan karena pejabat yang memaksa (peraturan tidak tertulis) dan yang memberikan karena maksud/tujuan tertentu (vested interest).13 Sebagian ahli mengkatagorisir pungutan liar sebagai perbuatan korupsi14 atau kolusi. Menurut Dadang Solihin pungutan liar dimasukkan kedalam perbuatan korupsi15: 12
Soedjono Dirdjosisworo, 1983, Pungli: Analisa Hukum & Kriminologi, Cetakan ke-2, Sinar Baru, Bandung, halaman 35. 13 Ibid, halaman 36-37. 14 Berdasarkan hal ini maka penulis membuat batasan bahwa pungutan liar merupakan salah satu bentuk korupsi, dan salam tempel/meel merupakan nama lain dari Suap yang merupakan salah satu bentuk korupsi. 15 Bambang Widjojanto, Problem, Kritik dan Perdebatan penegakan hukum, 2009, halaman 43-44, yang di unduh dari http://www.kemitraan.or.id/uploads_file/20101104194017.%5BBeres%5D%204.%20PROBLEM,
8
Menurut Scheifer dan Vishny (1993) korupsi adalah penjualan barangbarang milik pemerintah oleh pegawai negeri untuk keuntungan pribadi. Sebagai contoh: pegawai negeri yang sering menarik pungutan liar dari perizinan, lisensi, bea cukai, atau pelanggaran masuk bagi pesaing, para pegawai negeri itu memungut bayaran untuk tugas pokoknya atau untuk pemakaian barang-barang milik pemerintah untuk kepentingan pribadinya. Untuk kasus seperti ini, karena korupsi menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan korupsi memiliki pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan. Pote Sarasin yang pernah menjabat Sekretaris Jenderal Persekutuan Militer SEATO berpendapat bahwa menurut perhitungannya jika korupsi masih dapat dibatasi dan berada di tingkat 20 persen kebawah dari anggaran pembangunan,
maka
itu
masih
memungkinkan
pembangunan
dapat
berlangsung terus.16 Gejala-gejala korupsi yang terjadi (termasuk pungli dan suap) belakangan ini menunjukan kenyataannya yang terjadi perilaku koruptif yang terjadi sudah melebihi batas 20 persen khususnya dibidang pengangkutan barang atau orang yang dilakukan oleh oknum-oknum. Sebagaimana dilansir dalam berita www.hukumonline.com dan dikutip oleh penulis sebagai berikut: Bahwa Kapolri Jenderal Timur Pradopo mengaku tak menutup mata terhadap masih adanya oknum polisi lalu lintas yang melakukan pungutan liar di jalan raya. Kapolri tak menampik anggotanya yang melakukan perbuatan tercela itu. "Di jalan raya masih ada pungli oleh oknum. Kami tidak menutupi itu," ujarnya, Senin (27/2). Untuk mencegahnya, Kapolri berharap selain pengawasan internal, masyarakat berperan aktif melakukan pengawasan terhadap ulah oknum aparat polisi lalu lintas di jalan raya. Dalam sambutan Rapat Kerja Teknis (Rakernis) Polri, jenderal polisi bintang empat itu menegaskan agar polantas melakukan teguran simpatik kepada pengguna jalan yang melanggar lalu lintas, bukan sebaliknya melakukan pungli. Polantas perlu melakukan pengawasan intensif terhadap pelanggar disiplin yang berpotensi menimbulkan kemacetan %20KRITIK%20DAN%20PERDEBATAN%20PENEGAKAN%20HUKUM%204.pdf, 24 Oktober 2013, Pukul 11. 24 WIB. 16 Mochtar Lubis & James Scoot, Bunga Rampai Korupsi, LP3ES, Jakarta, halaman ix.
Tanggal
9
lantas dan kecelakaan. Lebih jauh, Timur mengatakan Polantas harus mampu menanggulangi dan mengurai kemacetan lantas yang makin parah. Timur juga berharap aparat kepolisian mengubah mindset dan kultur ke arah tugas yang lebih profesional. "Ubah mindset dan cultureset anggota Polantas ke arah pelaksanaan tugas yang profesional, cerdas, bermoral, humanis dan modern melalui peningkatan kompetensi pembinaan moral dan agama," pungkas mantan Kapolda Metro Jaya itu.17 Pungli yang dimaksud dalam kutipan diatas adalah pungli yang dilakukan oleh oknum polisi. Selain oleh oknum polisi, di dalam penelitian ini pungli juga dapat dilakukan oleh oknum DLLAJR (DISHUB). Pungli akan menyebabkan masalah ketidakpastian dan keengganan bagi para pelaku usaha untuk berbisnis dimana pelaku usaha menuntut adanya kepastian. Menurut Sukardi (1997)18 kalau korupsi sudah bersifat endemik, maka yang dijadikan komoditas adalah perizinan, dimana korupsi ini akan semakin banyak manakala birokrasi kita semakin besar dan membengkak, karena pemerintah akan membuat banyak sekali bentuk perizinan dan dapat berubah setiap saat. Permasalahan yang muncul tentang pungli dan suap dalam bidang bisnis angkutan darat sendiri sangat banyak, dan penulis menyadari tidak dapat membahas semuanya dalam tulisan ini, oleh karena itu penulis menetapkan batasan penelitian pada pungli dan suap yang terjadi dalam administrasi dan jalan raya tidak termasuk pungli pelabuhan, dan jembatan timbang.
17
www.hukumonline.com, kapolri-akui-ada-pungli-di-jalan-raya, diakses tanggal 22 Mei 2013, Pukul 13.30 WIB. 18 Dadang Solihin, Agustus, 2000, Anti Corruption and Good Governance, Jakarta, hal. 31 yang diakses dari www.slideshare.net/DadangSolihin/anti-corruption-and-good-governance, Tanggal 13 Januari 2014, Pukul 18.10 WIB.
10
Perilaku menyimpang pungli dan suap (meel) yang tidak lain adalah bentuk dari korupsi sendiri beserta sanksinya sudah diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap atau Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun perilaku menyimpang pungli dan suap (meel) masih terjadi di banyak kota seluruh Indonesia, tanpa terkecuali Kota Bekasi yang berslogan
’BEKASI
IMAN’
yang
memiliki
kepanjangan
Indah,
Menyenangkan, Aman dan Nyaman.
B. Perumusan Masalah Berkaitan
dengan
uraian
diatas
maka
akan
menimbulkan
permasalahan-permasalahan hukum yang harus dipecahkan berikut ini: 1. Mengapa pelaku usaha lebih memilih menyelesaikan persoalan yang muncul dalam bidang pengangkutan barang dan/atau orang melalui perilaku menyimpang suap/meel dibandingkan dengan menyelesaikan di badan peradilan? 2. Apakah faktor penyebab perilaku pungli yang dilakukan oleh oknum pejabat dalam bidang bisnis angkutan barang dan/atau orang di Kota Bekasi? 3. Bagaimana
upaya
penanggulangan
menyimpang meel dan pungli?
terhadap
masalah
perilaku
11
C. Tujuan Penelitian Tujuan diadakannya penelitian ini adalah: 1. Mengetahui alasan pelaku usaha lebih memilih menyelesaikan persoalanpersoalan yang muncul dalam bidang pengangkutan barang dan/atau orang di Kota Bekasi melalui perilaku menyimpang suap/meel dibandingkan dengan menyelesaikan sesuai dengan prosedur; 2. Mengetahui faktor penyebab perilaku pungli yang dilakukan oleh oknum pejabat dalam bidang bisnis angkutan barang dan/ atau orang di Kota Bekasi; 3. Mengetahui
upaya
penanggulangan
terhadap
masalah
perilaku
menyimpang tersebut.
D. Kegunaan Penelitian Kegunaan yang dapat diperoleh dari penelitian ini, adalah: 1. Secara teoritis Mengembangkan ilmu hukum yang terkait tentang perilaku menyimpang berupa suap dan pungli yang terjadi dalam bisnis pengangkutan barang dan/atau orang Kota Bekasi. 2. Secara praktis Dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mengetahui bentuk, modus, faktor penyebab dari perilaku menyimpang berupa suap/pungli yang terjadi dalam penyelenggaraan usaha angkutan barang dan/atau orang Kota
12
Bekasi dan kedepannya dapat melakukan tindakan penanggulangan represif maupun preventif.
E. Keaslian Penelitian Di perpustakaan Fakultas Hukum UGM tidak ditemukan penulisan hukum yang membahas mengenai topik yang spesifik mengenai pungli dan meel/suap di bidang pengangkutan barang dan/atau orang di Kota Bekasi. Terdapat beberapa penelitian tesis maupun skripsi yang membahas mengenai korupsi pada umumnya dalam Perpustakaan Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, diantaranya yaitu : 1. Penulisan hukum yang berjudul ”Tinjauan yuridis sosiologis tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri” yang dilakukan oleh Rendy Indro Nursasongko pada tahun 2011 yang memfokuskan pada penelitian secara empiris/sosiologis terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri secara umum. Sedangkan dalam penelitian ini penulis memfokuskan pada penelitian empiris terhadap tindak pidana korupsi yang lebih khusus yaitu pungli dan suap yang dilakukan oleh pihak-pihak yang spesifik terkait dalam bisnis angkutan barang dan/atau orang di Kota Bekasi. 2. Penulisan hukum yang berjudul ”Faktor-faktor penyebab terjadinya pidana korupsi” yang dilakukan oleh Gardini Purnaningdyah pada tahun 2003 yang membahas alasan-alasan/faktor-faktor yang secara umum dapat menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana korupsi. Sedangkan
13
dalam penelitian ini penulis akan membahas alasan-alasan yang didapat dengan penelitian empiris terhadap tindak pidana korupsi yang lebih khusus yaitu pungli dan suap yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait dalam angkutan barang dan/atau orang di Kota Bekasi. 3. Penulisan hukum yang berjudul ”Dampak sosiologis dari tindak pidana korupsi yang dilakukan golongan menengah keatas ditinjau dari segi sosiologi hukum” yang dilakukan oleh Yovita Palupi Setyo Rini pada tahun 1997 yang memfokuskan pada dampak-dampak dari tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh golongan penguasa yang terjadi di masyarakat secara empiris. Sedangkan dalam penelitian ini penulis memfokuskan pada penelitian empiris terhadap dampak tindak pidana korupsi yang lebih khusus yaitu pungli dan suap yang dilakukan oleh pihak-pihak yang spesifik terkait dalam bisnis angkutan barang dan/atau orang di Kota Bekasi. 4. Penulisan hukum yang berjudul ”Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi berupa gratifikasi yang melibatkan pejabat negara” yang dilakukan oleh Puspita Jatiningrum pada tahun 2012 yang memfokuskan pada penegakan hukum terhadap salah satu bentuk tindak pidana korupsi yaitu gratifikasi yang melibatkan para pejabat negara secara umum. Sedangkan dalam penelitian ini penulis memfokuskan pada penelitian empiris terhadap tindak pidana korupsi dalam arti khusus yaitu pungli dan suap (dapat termasuk gratifikasi) yang dilakukan oleh pihak-pihak yang
14
spesifik terkait dalam bisnis angkutan barang dan/atau orang di Kota Bekasi. Dengan ini penulis menyatakan dengan penuh kejujuran dan dengan kesungguhan hati dan pikiran, bahwa karya ilmiah/karya penulisan hukum yang berjudul: ”PRAKTEK
SUAP/PUNGLI
DI
BIDANG
BISNIS
PENGANGKUTAN BARANG DAN/ATAU ORANG DI KOTA BEKASI (STUDY TENTANG PERILAKU MENYIMPANG PADA BISNIS ANGKUTAN DARAT) ” adalah sungguh-sungguh merupakan karya ilmiah/karya penulisan hukum yang telah saya susun dan selesaikan atas dasar upaya, kemampuan dan pengetahuan akademik penulis pribadi, dan sekurang-kurangnya tidak dibuat melalui dan atau mengandung hasil dari tindakan-tindakan yang: a. Secara tidak jujur dan secara langsung atau tidak langsung melanggar hak-hak atas kekayaan intelektual orang lain, dan atau b. Dari segi akademik dapat dianggap tidak jujur dan melanggar nilainilai integritas akademik dan itikad baik. Seandainya di kemudian hari ternyata bahwa penulis telah menyalahi dan atau melanggar pernyataan penulis diatas, maka penulis sanggup untuk menerima akibat-akibat dan atau sanksi-sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku di lingkungan Universitas Gadjah Mada dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.