1 Bab I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sebagai suatu kenyataan sosiologis bahwa peranan korporasi dalam aktifitas ekonomi sudah tak perlu dipertanyakan lagi. Sejalan dengan dinamika ekonomi, sepak terjang korporasi yang saat ini lazim dikenal dengan sebutan perusahaanperusahaan multinasional (MNC:Multinational Corporation), pada awal tahun 1960-an mulai menjadi perhatian para ahli sosiologi ekonomi. Fenomena dan sepak terjang korporasi itu berlangsung sebelum Perang Dunia kedua, namun studi yang sistematis dan mendalam baru dimulai pada awal tahun 1960 dimaksud.1. Sementara itu oleh kalangan kriminolog, studi kritis terhadap peranan korporasi sudah dimulai setidaknya pada tahun 1939, melalui suatu pidato bersejarah Edwin H. Sutherland di depan
The
American
Sociological
Association
yang
mengemukakan konsep White Collar Crime (WCC) yang didefinisikan sebagai a crime comitted by a person of 1
Sjahrir, Dalam Peter Kuin (ed) Perusahaan Transnasional (diterjemahkan oleh S. Maimun), Yayasan Obor Indonesia dan Gramedia, Jakarta: 1987, hal. 105
2 spectability and high social status in the course of his occupation.2 Perkembangan aktifitas ekonomi tanpa kendali hukum yang memadai mendorong tampilnya berbagai bentuk pidana kejahatan korporasi, seperti penggelapan pajak, pembobolan bank melalui komputer atau automatic teller machine (ATM), penyalahgunaan ijin perdagangan untuk beroperasi sebagai lembaga keuangan, praktik insider trading di pasar modal, penjualan obat-obatan yang berbahaya atau tidak berfaedah bagi konsumen, pencemaran lingkungan dan lain-lain.3 Sementara itu, kelambanan, ketertinggalan bahkan ketidakberdayaan
hukum
dalam
mengimbangi
kemajuan
pembangunan di bidang ekonomi menempatkan para korban kejahatan korporasi pada ketidakadilan. Konsumen sebagai subyek hukum pelaku ekonomi sebagai mata rantai akhir aktifitas ekonomi, berada pada posisi yang tak berdaya atas segala bentuk kejahatan korporasi yang dimaksud. Di lain pihak deteksi dini sistem peradilan pidana pun dirasakan belum memadai bagi konsumen (calon konsumen). 2
Frank E. Hagen, , Introduction to Criminology, Theories, Methods and Criminal Behaviour, Chicago: Nelson Hill, 1989. hal. 98 3 Mardjono Reksodipuro, 1994, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum d/h Lembaga Krimonologi Universitas Indonesia, hal. 13
3 Situasi dan kondisi para korban pun juga dapat merangsang
pihak
pelaku
untuk
melakukan
kejahatan.
Ketidaktahuan korban terhadap apa yang menimpanya makin menambah daftar panjang angka gelap kejahatan (dark numbers). Klasifikasi korban yang dibuat oleh Benjamin Mendelson (1937) akan dapat memberikan penjelasan dari optik konsumen sebagai korban kejahatan korporasi, perhatian dunia internasional terhadap korban kembali terangkat ke permukaan di dalam kongres ke-7 PBB tahun 1985 yang meminta perhatian masyarakat
internasional
terhadap
masalah-masalah
yang
berhubungan dengan antara lain kesehatan dan kesejahteraan masyarakat (public WEALTH) serta pelanggaran terhadap ketentuan/persyaratan barang dan jasa bagi para konsumen (offences against the provisions of goods and services to consumers)4 Perhatian dan keprihatinan terhadap konsumen sebagai korban, juga sudah dinyatakan dalam Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 39/248 tanggal 16 April 1985 tentang Perlindungan Konsumen. Kepentingan-kepentingan konsumen
4
Barda Nawawi Arif, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya Bhakti, hal. 15
4 yang seyogyanya dilindungi menurut resolusi itu adalah sebagai berikut : 1. Perlindungan
konsumen
dari
bahaya-bahaya
terhadap
kesehatan dan keamanannya; 2. Promosi dan perlindungan kepentingan sosial ekonomi konsumen; 3. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak kebutuhan pribadi; 4. Pendidikan konsumen; 5. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif; 6. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka. Semestinya perhatian dan keprihatinan pada pihak korban diikuti dengan sikap proaktif dari berbagai instrumen hukum yang ada termasuk pula di sini instrumen hukum pidana. Sudah tidak pada saatnya lagi instrumen hukum pidana sebagai instrumen hukum terakhir yang digunakan manakala instrumen-
5 instrumen hukum lainnya sudah tidak sanggup memberikan pemecahan hukum. Instrumen hukum pidana semestinya dapat digunakan sebagai sarana pencegahan (deterent) kejahatan korporasi dan sarana pemulihan kerugian korban5. Perubahan ‘wajah’ pelaku kejahatan di Indonesia dari pelaku kejahatan konvensional ke pelaku inkonvensional termasuk yang dilakukan oleh korporasi merupakan hal baru. Kecanggihan mengakibatkan
dalam
perencanaan
kejahatan
korporasi
dan tidak
pelaksanaannya nampak
oleh
masyarakat, meskipun kerugian yang ditimbulkan karena kejahatan korporasi jauh lebih besar dibanding akibat kejahatan konvensional.6 Perkembangan korporasi di Indonesia juga terjadi, dan semakin luar biasa ketika pemerintah juga berperan di dalamnya melalui berbagai kebijakan peraturan pemerintah yang memberi kemudahan bagi para pelaku bisnis untuk melakukan kegiatan bisnisnya
melalui
kendaraan
yang
dinamakan
korporasi.
Implikasinya, sifat korporasi yang cenderung kapitalis dan ekspansif menjadi betul-betul tidak terbendung.
5
Yusuf Shofie, 2002, Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi, Jakarta: Ghalia, hal. 15 6 Setiyono, 2003, Kejahatan Korporasi, Malang: Bayumedia, hal. 21-22
6 Kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh pemerintah dilakukan antara lain dengan argumen untuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan ekonomi bangsa yang pada beberapa tahun ini pernah mengalami krisis. Atas kemudahan ini berbagai korporasi yang berbasis pada berbagai sektor yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat akhirnya memang tumbuh dengan pesatnya antara lain meliputi bidang pertanian, makanan, minuman, farmasi, perbankan, elektronika, automotif, perumahan,
konstruksi
juga
transportasi,
hiburan,
telekomunikasi, rumah sakit, pendidikan dan sebagainya. Atas banyaknya korporasi yang bergerak pada berbagai bidang yang bersinggungan dengan kebutuhan masyarakat maka dikatakan oleh IS Susanto bahwa sejak dalam kandungan hingga liang kubur kita di bawah kekuasaan korporasi.7 Tindakan korporasi yang telah menimbulkan korban secara massal antara lain kasus obat THALIDOMIDE atau dikenal pula dengan istilah THALIDOMIDE Affair yang menyebabkan ribuan bayi lahir cacat tanpa tangan, kaki atau anggota tubuh lainnya sebagai akibat penggunaan obat tersebut oleh perempuanperempuan yang sedang hamil, yang melanda beberapa negara
7
Susanto IS, Op Cit, hal. 1
7 Eropa dan Amerika Selatan pada tahun 1960-an. Bahkan kasus tersebut seakan-akan ditutupi oleh pemerintah Inggris dan baru dibongkar setelah hampir sepuluh tahun kemudian karena jasa seorang anggota parlemen (Maurice Goldsmith). Begitu pula kasus Minamata, yakni sebagai akibat pencemaran industri yang membuang limbahnya di teluk Minamata Jepang yang telah mengakibatkan ribuan orang cacat dan lumpuh. Kasus yang lain adalah bocornya pabrik Union Carbide di Bhoppal India pada tahun 1984 yang menewaskan lebih dari tiga ribu orang, ratusan ribu yang sakit dan cacat, bahkan ribuan di antaranya cacat seumur hidupnya dan belum lagi ditambah dengan kerugian materi dan rusaknya lingkungan hidup yang bernilai ratusan juta dolar. Risiko kematian dan cacat yang disebabkan oleh korporasi dapat diakibatkan oleh produk yang dihasilkan korporasi maupun dalam proses produksi sehingga yang menjadi korban korporasi adalah masyarakat luas, khususnya konsumen dan mereka yang bekerja pada korporasi terhadap buruh (mereka yang bekerja kepada korporasi). Perbandingan kerugian yang diakibatkan oleh kejahatan korporasi dengan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan konvensional melalui data statistik
8 kriminal yang dibuat FBI dan data dari The President’s Report on Occupational Safety and Health tahun 1973, oleh Reiman disimpulkan bahwa kematian maupun kerugian fisik yang diakibatkan
oleh
kejahatan
konvensional
yaitu
100.000
dibandingkan dengan 9.235 untuk kematian dan 390.000 berbanding dengan 218.385 untuk kerugian fisik.8 Di Indonesia, kasus semacam ini juga terjadi walaupun korban jiwa tidak begitu banyak namun ratusan orang menderita luka fisik dan berdampak pula pada pencemaran lingkungan. Kasus yang dimaksud adalah meledaknya pabrik PT Petrowidada di Gresik Jawa Timur pada Selasa, 29 Januari 2004. Kerugian di bidang sosial dan moral akibat kejahatan korporasi ternyata tidak kalah seriusnya. Dampak yang ditimbulkan
oleh
kejahatan
kepercayaan masyarakat
korporasi
adalah
terhadap perilaku
bisnis
merusak seperti
pernyataan dari President’s Commission on Law Enforcement and Administration of Justice bahwa kejahatan korporasi merupakan kejahatan yang paling mencemaskan, bukan saja karena kerugiannya yang sangat besar, akan tetapi karena akibat yang merusak terhadap ukuran-ukuran moral perilaku bisnis 8
Jeffrey H. Reiman, 1979, The Rich Get Richer and The Poor Get Prison, John Waley New York, hal. 63
9 orang Amerika. Kejahatan bisnis (korporasi) merongrong kepercayaan publik terhadap sistem bisnis, sebab kejahatan demikian diintegrasikan ke dalam struktur bisnis yang sah (the structure of legitimate business).9 Selain daripada itu, meskipun sebagaimana dikatakan di atas bahwa kerugian dan atau penderitaan yang besar akibat kejahatan korporasi namun tampaknya belum diimbangi oleh perangkat hukum yang mampu memberikan suatu perlindungan terhadap para korbannya. Perangkat hukum yang ada saat ini tampaknya masih lebih berorientasi pada perlindungan hukum terhadap calon korban dan korban kejahatan konvensional sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Hal ini memang dapat dimengerti karena kejahatan korporasi dapat digolongkan sebagai salah satu perluasan
pengertian
kejahatan
tentang
penyalahgunaan
kekuasaan ekonomi yang secara melawan hukum (illegal abuse of economic power) atas rekomendasi badan PBB pada bulan September 1975 di Jenewa hasil Kongres ke-5 tentang The Prevention of Crime and the Treatment Offence)
9
Susanto, IS, 1995, Op Cit, hal. 24
10 Meskipun Undang-undang memperlakukan korporasi sebagai subyek hukum namun dalam ujud tujuannya berbeda dengan subyek hukum yang berupa tujuan tertentu yang bergerak dalam bidang ekonomi dan bisnis. Oleh karena itu, untuk memahami kejahatan korporasi maka pertama-tama harus melihat kejahatan korporasi sebagai kejahatan yang bersifat organisatoris, yaitu suatu kejahatan yang terdiri dalam konteks hubungan-hubungan yang kompleks dan harapan-harapan di antara dewan direksi, eksekutif dan manajer di satu sisi dan di antara kantor pusat, bagian-bagian dan cabang-cabang di sisi yang lain. Dengan cara pandang demikian maka teori-teori mengenai organisasi diperoleh suatu wawasan, yakni seberapa jauh sifat dan luasnya organisasi dapat berpengaruh dalam pelanggaran hukum yang dilakukan korporasi. Begitu pula luasnya penyebaran tanggung jawabnya, serta struktur hierarkis dari korporasi besar dapat membantu berkembangnya kondisikondisi yang kondusif bagi perbuatan yang menyimpang atau melanggar hukum yang dilakukan oleh organisasi.10
10
Ibid, hal. 27
11 B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini: 1. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi konsumen korban kejahatan korporasi berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ? 2. Bagaimanakah kejahatan korporasi diatur di dalam hukum positif di Indonesia? C. Keaslian Penelitian Ada beberapa tulisan yang berbentuk buku mengenai kejahatan korporasi seperti Yusuf Sojad dengan judul buku pelaku usaha konsumen dan tindak pidana korporasi penuntut hukum tahun 2002. Namun sejauh ini, belum ada (sejauh pemahaman penulis) penelitian secara akademis bersifat ilmiah yang dihasilkan dalam upaya memberikan penjelasan mengenai perlindungan hukum terhadap kejahatan korporasi berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia dan menjelaskan pengaturan kejahatan korporasi di dalam hukum positif di Indonesia D. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian dalam penulisan tesis ini adalah
12 1. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi konsumen korban kejahatan korporasi berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 2. Untuk mengetahui pengaturan kejahatan korporasi dalam hukum positif di Indonesia. E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian ini dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan hukum pidana dan viktimologi. 2. Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini dapat memberikan pemecahan masalah perlindungan terhadap korban khususnya konsumen korban kejahatan korporasi secara proporsional.
F. Kerangka Teori Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (1) UU No. 8 tahun 1999 Tentang Undang Undang Perlindungan Konsumen , dinyatakan, Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin
adanya
kepastian
hukum
untuk
memberikan
perlindungan kepada konsumen. Rumusan di atas merupakan
13 upaya pembentuk undang-undang untuk membentengi atau untuk melindungi konsumen dari tindakan sewenang-wenang para pelaku usaha. Menurut Yusuf Shofie undang-undang perlindungan konsumen di Indonesia mengelompokan normanorma perlindungan konsumen ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu; a. perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha b. ketentuan tentang pencantuman klausula baku. Dengan adanya pengelompokan tersebut ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen dari atau akibat perbuatan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Berkenaan dengan perlindungan
konsumen
dapat
dirinci
bidang-bidang
perlindungan konsumen, yaitu sebagai berikut: 1. keselamatan fisik; 2. peningkatan serta perlindungan kepentingan ekonomis konsumen; 3. standard untuk keselamatan dan kualitas barang serta jasa; 4. pemerataan fasilitas kebutuhan pokok; 5. upaya-upaya untuk memungkinkan konsumen melaksanakan tuntutan ganti kerugian; 6. program pendidikan dan penyebarluasan informasi;
14 7. pengaturan masalah-masalah khusus seperti makanan, minuman, obat-obatan, dan kosmetik. Didalam Pasal 2 Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, juga memuat asas-asas yang memberikan hak bagi para konsumen yang seimbang dengan para pelaku usaha maupun dengan pemerintah, asas-asas dimaksud yaitu; 1. Asas manfaat, yang berarti mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Asas ini intinya bahwa perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk menempatkan pihak yang satu lebih tinggi dari pihak lain, melainkan adanya kesejajaran sesuai dengan apa yang menjadi haknya atau dengan kata lain penyelenggaraan secara proporsional; 2. Asas keadilan, asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil, sehingga dalam penegakan hukum tidak boleh adanya
15 pandang bulu, tetapi harus melaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku; 3. Asas keseimbangan, asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materil dan sprituil. Selain itu asas ini menghendaki agar konsumen, pelaku usaha atau produsen, pemerintah memperoleh manfaat yang seimbang dari pengaturan dan penegakan hukum perlindungan hukum konsumen. Kepentingan antara konsumen, produsen, dan pemerintah diatur dan harus diwujudkan secara seimbang sesuai dengan hak dan kewajibannya masing-masing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak ada salah satu pihak yang mendapat perlindungan atas kepentingannya yang lebih besar dari pihak lain sebagai komponen bangsa dan negara; 4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas ini menghendaki adanya jaminan hukum bahwa konsumen akan memperoleh manfaat dari produk
16 yang dikonsumsi/dipakainya, dan sebaliknya bahwa produk itu tidak akan mengancam ketentraman dan keselamatan jiwa dan harta bendanya; 5. Asas kepastian hukum, dimaksudkan agar, baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Artinya, undangundang mengharapakan bahwa aturan-aturan tentang hak dan kewajiban yang terkandung di dalam undang-undang perlindungan konsumen harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga masing-masing pihak memperoleh keadilan. G. Metode Penelitian 1. Metode Pendekatan Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif merujuk pada peraturanperaturan tertulis atau bahan-bahan hukum lainnya. Penelitian normatif
juga
disebut
sebagai
penelitian
hukum
kepustakaan11 atau studi dokumentasi, karena didasarkan pada data sekunder. Penelitian hukum normatif juga disebut 11
Ronny Hanitijo Soemitro. 1990, Metodologi Penelitian Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta.: 1990, hal. 1
17 juga penelitian terhadap kaidah hukum atau hukumnya itu sendiri (peraturan perundang-undangan, yurisprudensi) dan asas-asas hukum.12 Sedangkan pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis. Pendekatan yuridis adalah pendekatan berdasarkan pada norma-norma hukum atau kaidah-kaidah hukum yang berlaku. 2. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif analistis, yaitu penelitian yang menggambarkan fakta-fakta yang diteliti yang kemudian menganalisa dan mengevaluasi persoalan-persoalan yang ada dalam
fakta-fakta
persoalan
tersebut
yang terdapat
menggambarkan
dalam
peraturan
beberapa perundang-
undangan yang berlaku khususnya mengenai perlindungan hukum
bagi
konsumen
korban
kejahatan
korporasi
berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang selanjutnya akan dianalisis dengan menggunakan konsep-konsep yang terdapat dalam tinjauan pustaka.
12
Bagir Manan, 1990, Penelitian di Bidang Hukum Nomor Perdana 1-1999. Puslitbangkum Universitas Padjajaran Bandung
18 3. Sumber Hukum Dalam penelitian ini yang dipergunakan adalah sumber hukum dimana berasal dari sumber hukum sekunder sebagai sumber hukum utama dan sumber hukum primer sebagai bahan pendukung. a.
Sumber hukum sekunder : 1) Bahan Hukum Primer a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. b) Undang-Undang Dasar 1945 c) Tap MPR-RI 1999 tentang GBHN d) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen e) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban 2) Bahan Hukum Sekunder Adalah bahan hukum yang berupa buku-buku, literature, hasil penelitian majalah, makalah seminar dan lainnya yang terkait erat dengan obyek penelitian. 3) Bahan Hukum Tertier a) Kamus Hukum
19 b) Kamus Bahasa Indonesia c) Kamus bahasa Inggris Indonesia13 b.
Sumber Hukum Primer Data primer bersumber dari keterangan para konsumen korban kejahatan korporasi. Data primer ini bersifat sebagai pendukung data sekunder.
4. Metode Pengumpulan Sumber Hukum Penelitian ini menggunakan sumber hukum sekunder dan primer yang diperoleh melalui metode pengumpulan bahan hukum dengan cara sebagai berikut : a.
Studi kepustakaan Studi kepustakaan ini digunakan untuk mencari landasan
teoritis
berupa
pendapat-pendapat
atau
tulisan-tulisan para ahli atau pihak-pihak lain yang berwenang dan juga untuk memperoleh informasi baik dalam bentuk-bentuk ketentuan formal maupun bahan hukum melalui naskah resmi yang ada.
13
. Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji. 1985, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat. CV. Rajawali. Jakarta, hal. 39
20 b.
Studi Lapangan Studi lapangan dilakukan dengan mengadakan wawancara
bebas
terpimpin
yaitu
dengan
mempersiapkan terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan sebagai pedoman tetapi masih dimungkinkan adanya variasi-variasi pertanyaan yang disesuaikan dengan situasi ketika wawancara untuk memperoleh informasi langsung
dari
narasumber
atau
subyek-subyek
penelitian dan juga arsip-arsip atau dokumen-dokumen di perusahaan yang terlibat kejahatan korporasi sebagai informasi pendukung data sekunder. 5. Metode Penyajian Sumber Hukum Penelitian ini menggunakan teks naratif yang tersusun secara sistematis. Bahan-bahan hukum yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis. 6. Metode Analisis Sumber Hukum Sumber-sumber
hukum
yang
terkumpul
akan
dianalisis secara normatif-kualitatif. Analisis normatif karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan perundangundangan yang ada sebagai hukum positif, sedangkan analisis kualitatif
yaitu menggunakan tahapan berpikir
21 sistematis guna menemukan jawaban atas permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini. 7. Unit Analisis dan Unit Amatan Dalam penelitian ini yang dianalisis adalah bahanbahan hukum dengan kasus yang ada yaitu data yang telah dikumpulkan, dikelompokkan, diseleksi dan selanjutnya dianalisis dengan metode normative kualitatif dengan cara menginterprestasikan data berdasarkan teori-teori hukum peraturan per undang-undangan dan pengertian hukum. Sebelum melakukan analisis juga menggunakan observasi pengamatan sebagai pendukung data.