BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Zaman modern, menurut para ahli ditandai oleh dua hal, yaitu: (1) penggunaan teknologi dalam berbagai aspek kehidupan, dan (2) berkembangnya ilmu pengetahuan sebagai wujud dari kemajuan intelektual manusia (Mubarok: 2000:3). Dua tanda kehidupan zaman modern di atas memperlihatkan betapa dengan penggunaan teknologi dalam berbagai aspek kehidupan manusia, membuat kehidupan tersebut menjadi lebih nyaman, menyenangkan dan disertai dengan berbagai kemudahan. Setiap orang tidak merasa kesulitan lagi untuk mencapai jarak yang sangat jauh, cukup dengan mempergunakan pesawat terbang super sonik. Untuk mengetahui peristiwa yang terjadi di belahan bumi yang lain, manusia tidak perlu datang ke tempat tersebut, cukup dengan menekan tombol TV atau layar monitor lainnya untuk mengetahui peristiwa tersebut. Bumi, terasa bertambah lama bertambah mengecil, jarak yang jauh semakin diperdekat oleh kemajuan teknologi komunikasi. Penggunaan teknologi di atas mengakibatkan berbagai ragam dalam kehidupan, yang secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua bagian. Pertama: dampak positif yang berupa munculnya penemuan produk teknologi baru yang semakin canggih dalam segala bidang serta semakin berkembangnya ilmu pengetahuan yang kesemuanya dapat mempermudah realisasi setiap kebutuhan manusia. Kedua : dampak negatif yang merupakan imbas dari modernitas yang
1
2
memunculkan permasalahan sosial dan identitas serta kemanusiaan. Dalam perspektif John Neisbitt fenomena di atas disebut dengan Zona Mabuk Teknologi (Neisbitt, 2001: 7). Ujung dari kesemuanya itu adalah munculnya manusia-manusia bebas dengan berbagai kemudahan dan kenyamanan yang sudah diberikan teknologi modern kepadanya, akan tetapi dampak yang positif tersebut ternyata juga diikuti oleh dampak negatif yang oleh Rollo May disebut “manusia yang terkerangkeng” (The Hollow Man). Akibat berbagai kemudahan yang telah di apat dalam kehidupan yang disajikan oleh kemajuan sains dan teknologi tersebut, manusia modern akhirnya terlena dalam kesibukan mencari materi tanpa akhir. Hal ini telah melahirkan fenomena manusia modern yang bersifat matrealistik dan hedonis. Mereka lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan hidup yang bersifat nisbi dan mengabaikan tuntutan kebutuhan rohani spiritualnya, sehingga banyak sekali dari mereka yang tertimpa kehampaan spiritual. Hal ini menurut Yunan Yusuf, sebagai akibat dari sikap hipokrit manusia modern yang berkepunyaan. Sikap hipokrit tersebut juga menyebabkan lahirnya berbagai macam gangguan kejiwaan pada manusia modern, seperti kecemasan tanpa adanya alasan yang jelas, kesepian, kebosanan dan berbagai gangguan psikosomatis lainnya (Yusuf : 2005, 4). Manusia menjadi kehilangan keseimbangan dan menjadi bingung. Tiap orang, meminjam istilah Aldous Huxley, telah menjadi pulau dalam dirinya dan tidak mempunyai hubungan dengan pulau-pulau yang lain yang terpencar di samudera kehidupan masyarakat. Kondisi tersebut menurut Haidar Nasir, disebut sebagai anomi yaitu suatu keadaan dimana setiap individu kehilangan ikatan yang memberikan perasaan aman dan kemantapan dengan sesama manusia lainnya, sehingga tujuan dan arti kehidupan
3
yang dimiliki menjadi hilang (Nasir, 1997:3). Dalam bagian lain, Haidar Nasir dalam telaahnya tentang kehiduapn modern mengatakan bahwa : Apa yang patut dibanggakan dalam kehidupan modern saat ini jika manusia saling memangsa sesama dengan penuh kesadaran, sehingga hidup nyaris tanpa pencerahan dan kehormatan. Kehormatan apa saja yang diraih dalam kehidupan yang disebut modern apabila manusia modern itu sendiri saling menjatuhkan diri pada budaya materi, rasio dan teknologi yang mematikan manusia. Humanisme apa lagi yang masih kokoh dijadikan sandaran manusia modern manakala pada saat yang sama krisis demi krisis kemanusiaan tumbuh dengan mekar dan menjadi panorama keseharian di setiap sudut kehidupan, sehingga jati diri. Rasionalisme apalagi yang patut dijadikan acuan hidup ketika kemodernan itu manusia kehilangan makna hidup yang membuat manusia rentan terhadap penyakit kehidupan. Bagaimanakah manusia modern dengan kemodernan yang diciptakannya sendiri dengan penuh keyakinan keangkuhan?. (Nasir : 1997, 9)
Perkataan haidar Nasir ini merupapan relfeksi terhadap modernitas yang dia nilai sebagai sebuah tahap kehidupan yang telah kehilangan makna. Dengan kata lain, modernitas yang sangat dibanggakan dan diagungkan oleh peradaban Barat sama sekali tidak memberikan makna yang hakiki bagi kemanusiaan. Pendapat senada diungkapkan oleh Hanna Djumhanna Bastaman, bahwa : satu hal pokok kekurangan dari kehidupan modern adalah hilangnya makna hidup itu sendiri yang mengakibatkan hilangnya orientasi, tujuan hidup, moralitas serta terciptanya kesemrawutan pola kehidupan (Bastaman, 1995:91). Akibat lebih lanjut dari situasi seperti itu adalah merebaknya gangguan kejiwaan yang semakin komplek. Secara sosiologis, ekses yang ditimbulkan dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut sangat luar biasa yakni terjadinya beberapa indikator, yaitu : meningkatnya kebutuhan hidup, rasa individualistis, sikap egois, cemas dan fenomena persaingan dalam hidup (Darajat, 1992:12). Perubahan sosial
4
yang sangat drastis tersebut telah melahirkan berbagai ketimpangan dalam kehidupan masyarakat modern. Kondisi seperti ini mendorong mereka untuk kembali mencari makna intrinsic bagi kehidupannya, agar berbagai gangguan yang mereka alami bisa teratasi. Menghadapi fenomena modern seperti di atas para ahli telah berusaha mengembangkan berbagai terapi seperti terapi tingkah lagu dan latihan relaksasi. Latihan relaksasi dilakukan guna menimbulkan rasa tentang melalui teknik pengencangan dan pengendoran otot-otot tubuh, sedangkan terapi tingkah laku dilakukan guna menghilangkan berbagai bentuk dan gejala gangguan kejiwaan dengan jalan melatih diri menghadapinya baik sedikit demi sedikit (systematic desensitization) maupun secara langsung dan frontal menghadapinya (flooding) (Bastaman : 1997, 157). Selain itu para ahli juga mengembangkan berbagai terapi lain yang didasarkan pada penerapan teori psikologis seperti terapi yang didasarkan pada psikoanalisis, terapi yang didasarkan pada psikologi humanistic serta berbagai terapi yang didasarkan pada pendekatan agama. Salah satu terapi yang menggunakan pendekatan agama adalah terapi religius yang dikemukakan oleh Ustman Najati. Terapi religius yang dikemukakan Ustman Najati ini sangat menarik untuk dikaji karena dia mengklaim bahwa peringkat kesembuhan di antara pasien penderita penyakit jiwa yang disembuhkan dengan psikoterapi hingga kini belum sampai pada peringkat yang memuaskan. Dia menyebutkan dari data penelitian yang ada disebutkan bahwa peringkat kesembuhan pasien penderita penyakit jiwa yang menggunakan psikoterapi baru berkisar 60%-69%. Peringkat ini menurutnya adalah tidak memuaskan apabila dikomparasikan dengan data peringkat pasien kejiwaan yang berhasil melepaskan diri dari penyakit mereka
5
tanpa pemakai layanan psikoterapi yang berkisar antara 44%-60%. Selain itu fakta juga menunjukkan bahwa sebagian pasien justru menjadi semakin buruk kondisinya setelah menjalankan psikoterapi (Najati : 1997, 284). Atas dasar kenyataan tersebut, Ustman Najati menawarkan idenya bahwa manusia harus kembali pada Qur’an dan sunnah nabi. Menurutnya al-Qur’an dan sunnah nabi telah berhasil merubah kepribadian, moral, perilaku dan sistem kehidupan manusia muslim pada era awal perkembangan Islam. Al-Qur’an dan sunnah telah memberi kekuatan yang luar biasa bagi mereka untuk mengorganisir dan mempersatukan oleh seluruh elemen masyarakat yang ada serta menggugah kesadaran berfikir mereka di bawah bimbingan nilai-nilai moralitas yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah nabi. Pendapat Najati seperti ini, didasarkan pada :
ﻦ ﺍﹾﻟ ﹸﻘﻠﹸﻮﺏ ﻤِﺌ ﺗ ﹾﻄ ﻢ ِﺑ ِﺬ ﹾﻛ ِﺮ ﺍﻟ ﹼﻠ ِﻪ ﹶﺃ ﹶﻻ ِﺑ ِﺬ ﹾﻛ ِﺮ ﺍﻟ ﹼﻠ ِﻪﺑﻬﻦ ﹸﻗﻠﹸﻮ ﻤِﺌ ﺗ ﹾﻄﻭ ﻮﹾﺍﻣﻨ ﻦ ﺁ ﺍﱠﻟﺬِﻳ Artinya: “(Yaitu), orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram” (QS. 13 : 28), (Depag : 1989, 89) Dengan demikian bila pengembangan dan bimbingan terhadap manusia dewasa ini dilakukan dengan berada di bawah bimbingan al-Qur’an dan sunnah, maka akan melahirkan manusia baru dan memiliki kepribadian serta moralitas yang utuh. Kualitas manusia seperti ini akan terhindar dari berbagai penyakit yang menimpa manusia modern seperti rasa sedih, cemas, stress, depresi dan gangguan jiwa yang lain. Atas dasar pemikiran seperti inilah penulis tertarik untuk mengkaji lebih mendalam pemikiran Ustman Najati tentang kecerdasan spiritual sebagai pencerahan gangguan kejiwaan : tinjauan Bimbingan Konseling Islam. Di sisi lain kegiatan berdakwah apabila dipahami dalam bingkai historisitas melalui penjelasan Qur’an dan rangkaian sejarah kehadiran para nabi dan rasul,
6
nampak jelas bahwa mereka hadir pada kondisi sosial manusia yang sedang mengalami degradasi moral dan dehumanisasi, (PP. Muhammadiyah : 2004, 3), sehingga pantas apabila Murtadha Muthahari mengatakan bahwa pesan mendasar para nabi adalah berjuang menentang kediktatoran, penindasan dan memerangi orang-orang yang memberontak terhadap perintah Tuhan serta banyak berbuat kerusakan sebagaimana al-Qur’an juga memberi penekanan mengenai hal ini (Kusnawan : 2004, 9). Berdasarkan penggambaran al-Qur’an dan untaian sejarah tersebut jelaslah bahwa kehadiran para nabi bukan hanya terkait dengan pengingkaran terhadap dzat yang dipertuhankan melainkan erat pula kaitannya dengan permasalahan kemanusiaan
yang
dikarenakan
para
nabi
diutus
dalam kondisi
untuk
menyelamatkan mereka.
Jika dihubungkan dengan tujuan kehadiran Islam sebagai risalah yang dibawa nabi, didalamnya berisi seperangkat doktrin tentang pembebasan manusia dari segala belenggu dan hambatan perealisasian potensi fitrah manusia serta binaan untuk menjadi rahmat lil ‘ālam i n. Oleh karena itu perbuatan dakwah harus pula membawa perubahan bagi individu dan masyarakat untuk terwujudnya kondisi yang ideal. Dengan kata lain secara teologis kehadiran Islam dan para nabi bukan sekedar untuk pemenuhan dan pemuasan supranatural belaka melainkan sebagai usaha bagi manusia untuk memahami keberadaannya dimuka bumi ini yaitu sebagai ‘ābid dan khalifah di bumi. Dengan demikian misi dakwah pun harus dipahami sebagai suatu proses sistematis untuk memerdekakan manusia dari dominasi sosial yang telah memalingkan dan memalsukan fitrah kemanusiaan. Singkatnya sebagai pemerdeka dan penyelamat manusia. (Kusnawa : 2004, 10)
Melalui pengertian dakwah semacam ini, dakwah sama sekali bukan hanya kegiatan mimbar untuk mengindoktrinasi sesama tentang kandungan ajaran suci, melainkan mentransformasi (secara individual dan masyarakat) dari realitas yang memalingkan diri dari fitrahnya (Suparta : 2003, 4). Dalam perspektif inilah
7
bimbingan konseling Islam menjadi varian penting dalam dakwah kontemporer untuk menyelamatkan manusia modern dari keterbelengguan rutinitas kehidupan kapitalis hedonis yang memicu iri hati, dengki, munafik, sombong dan penyakit hati lainnya yang dapat memicu pembinasaan antar sesama manusia dan peradaban (Husain : 1997, 15).
1.2. Pokok Permasalahan Dari deskripsi di atas dapat dipahami bahwa pokok permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut: Bagaimanakah karakteristik pemikiran Ustman Najati tentang Kecerdasan Spiritual sebagai upaya pencegahan terhadap gangguan kejiwaan dalam tinjauan Bimbingan Konseling Islam?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Skripsi 1.3.1. Tujuan Penelitian Skripsi Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut untuk menjelaskan karakteristik pemikiran Ustman Najati tentang Kecerdasan Spiritual sebagai upaya pencegahan terhadap gangguan kejiwaan dalam tinjauan Bimbingan Konseling Islam. 1.3.2. Manfaat Penelitian Skripsi 1.3.2.1. Secara Teoritis 1.3.2.1.1. Penelitian ini diharapkan mampu menambah khasanah pengetahuan yang berkaitan dengan kecerdasan spiritual sebagai pencegah gangguan kejiwaan.
8
1.3.2.1.2. Memperluas cakrawala pengetahuan tentang kecerdasan spiritual sebagai pencegah gangguan kejiwaan bagi peneliti secara khusus dan mahasiswa Fakultas Dakwah secara umum. 1.3.2.1.3. Memberikan sumbangan pemikiran tentang dialog antara konsep Islam tentang kecerdasan spiritual dan konsep kecerdasan spiritual secara umum yang untuk sementara waktu lebih banyak didominasi pemikiran Barat 1.3.2.2. Secara Praktis Menunjukkan bahwa kecerdasan spiritual sebagai pencegah gangguan kejiwaan mempunyai signifikasi yang sangat penting jika dikaji secara mendalam validitas konsep yang dapat berakselerasi dengan realitas masyarakat. 1.4. Tinjauan Kepustakaan Berdasarkan penelusuran kepustakaan di Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang, kajian yang mengambil obyek penelitian tentang kecerdasan spiritual sudah dilakukan oleh beberapa orang. Pertama, penelitian saudara Sri Haryanto tahun 2004 yang berjudul Konsep Spritual Intelegence Danah Zohar dan Ian Marshall sebagai Pencegah Stress (Tinjauan Bimbingan Konseling Islam). Penelitian ini membahas tentang fungsi SQ (Spiritual Quotient) sebagai pencegahan stress dengan menggunakan pendekatan Bimbingan Konseling Islam dengan hasil kesimpulan bahwa salah satu faktor penyebab penyakit stress adalah akibat rendahnya SQ (Spiritual Quetient).
9 Kedua, penelitian saudara Afif Erma Fitriani tahun 2004 yang berjudul peran Orang Tua dalam menumbuhkan Kecerdasan Spiritual Anak dalam Perspektif Pendidikan Islam (Studi Analisis Pemikiran Suharsono). Penelitian ini membahas mengenai peran penting orang tua dalam menumbuhkan kecerdasan spiritual pada diri anak. Hasil kesimpulan dalam penelitian ini adalah kecerdasan spiritual berfungsi sebagai metode untuk membentuk akhlaqul karimah pada jiwa anak. Dengan demikian, kecerdasan spiritual dapat memberikan pengaruh terhadap jiwa anak, yakni mengarahkan anak untuk cinta pada bidang keagamaan, sehingga anak pada saat tumbuh dewasa akan mampu mengisi kehidupannya secara lebih bermakna. Adapun faktor terpenting dalam mengajarkan kecerdasan spiritual pada jiwa anak yaitu melalui faktor keluarga, lingkungan pendidikan dan lingkungan sosial. Dalam hal ini, fungsi kecerdasan spiritual adalah sebagai materi pendidikan yang harus ditanamkan pada jiwa anak melalui bentuk sikap dan suri tauladan yang baik. Dari deskripsi di atas dapat dipahami bahwa kajian penelitian dengan obyek kecerdasan spiritual dengan fokus pada pemikiran Ustman Najati, di Fakultas Dakwah IAIN Walisongo, belum dilakukan. Dalam riset di internet dan di Undip serta Unnes sejauh yang penulis ketahui juga belum diketemukan. Oleh sebab itu penelitian ini mencoba mengisi hal tersebut.
1.5. Kerangka Teori Menurut Jalaludin Rakhmat, pada tahun 1969, ketika Journal of transpersonal Psychology terbit untuk pertama kalinya, psikologi mulai mengarahkan perhatiannya pada dimensi spiritual manusia. Penelitian dilakukan untuk memahami gejala-gejala ruhaniah, seperti peak experience, pengalaman
10
mistis, ekstasi, kesadaran ruhaniah, kesadaran kosmis, aktualisasi transpersonal, pengalaman spiritual, dan akhirnya kecerdasan spiritual. Dalam kerangka inilah Zohar mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai “kecerdasan yang bertumpu pada bagian dalam diri kita yang berhubungan dengan kearifan di luar ego, atau jiwa sadar. Inilah kecerdasan yang kita pergunakan bukan hanya untuk mengetahui nilai-nilai yang ada, melainkan juga untuk secara kreatif menemukan nilai-nilai baru”. Sayangnya, Danah Zohar masih terikat dalam pemikiran psikologis dari angkatan-angkatan sebelum psikologi transpersonal (Rakhmat : 2001,xi) Marsha Sinetar dan Khalil Khavari menyampaikan definisi kecerdasan spiritual yang lebih tinggi sesuai dengan perkembangan psikologi mutakhir. Menurut Sinetar, “Kecerdasan spiritual adalah pikiran yang mendapat inspirasi, dorongan dan efektifitas yang terinspirasi, theisness atau penghayatan ketuhanan yang didalamnya kita semua menjadi bagian” (Rakhmat : 2001, xi). Menurut Khalil Kavari, “kecerdasan spiritual adalah fakultas dari dimensi non material kita-ruh manusia. Inilah intan yang belum terarah yang kita semua memilikinya. Kita harus mengenalinya seperti apa adanya, menggosoknya sehingga berkilap dengan tekad yang besar dan menggunakannya untuk memperoleh kebahagiaan abadi. Seperti dua bentuk kecerdasan lainnya, kecerdasan spiritual dapat ditingkatkan dan juga diturunkan. Akan tetapi, kemampuannya untuk ditingkatkan tampaknya tidak terbatas” (Rakhmat : 2001, xii) Kecerdasan spiritual (SQ), yang merupakan temuan terkini secara ilmiah, pertama kali digagas oleh Danar Zohar dan Ian Marshall, masing-masing dari Hervard
University
dan
Oxford
University
melalui
riset
yang
sangat
komprehenshif. Pembuktian ilmiah tentang kecerdasan spiritual yang dipaparkan
11 Zohar danMarshall dalam SW, Spiritual Quotient, The Ultimate Intelligence, dua di antaranya adalah : Pertama, riset ahli psikologi/syaraf, Michael Persinger pada awal tahun 1990-an, dan lebih mutakhir lagi tahun 1997 oleh ahli syaraf V.S Ramachandran dan timnya dari California University, yang menemukan eksistensi God-Spot dalam otak manusia. Ini sudah Built in sebagai pusat spiritual (spiritual center) yang terletak di antara jaringan syaraf dan otak (Agustian : 2001, xxxix), sedangkan bukti kedua, adalah ahli syaraf Austria, Wolf Singer pada era 1990-an atas The Binding Problem, yang menunjukkan ada proses syaraf dalam otak manusia yang terkonsentrasi pada usaha yang mempersatukan dan memberi makna dalam hidup kita. Suatu jaringan syaraf yang secara literal “mengikat” pengalaman kita secara berasma untuk “hidup lebih bermakna”. Pada got-Spot inilah sebenarnya terdapat fitrah manusia yang terdalam (Agustian : 2001, xxxix), akan tetapi SQ dari Barat itu, atau Spiritual Intellegent belum atau bahkan tidak menjangkau ketuhanan. Pembahasannya baru sebatas tataran biologi atau psikologi semata, tidak bersifat transcendental. Akibatnya manusia masih merasakan masih adanya kehampaan. Dalam posisi inilah Ustman Najati berpendapat bahwa kecerdasan spiritual yang ada harus dipadukan dengan al-Qur’an dan Hadits untuk dapat memberikan ruh dan makna dalam kehidupan modern, sehingga memahami konsep “kecerdasan spiritual” dalam perspektif Islam menurut Ustman Najati menjadi hal menarik dan sangat membantu dalam proses Bimbingan Konseling Islam, terutama dalam menangani klien yang mengalami gangguan kejiwaan. Di sisi lain, gangguan jiwa adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik maupun dengan mental. Keabnormalan tersebut tidak disebabkan oleh sakit atau rusaknya bagian-bagian
12
badan, meskipun kadang-kadang gejala terlihat pada fisik. Keabnormalan itu dapat dibagi atas dua golongan yaitu gangguan jiwa (neurose) dan sakit jiwa (psikose) (Daradjat : 2001, 26). Psikoneurotik adalah manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin (konfrik). Psikoneurotik itu mempunyai segi yang disadari seperti rasa takut, terkejut, tidak berdaya, rasa berdosa atau bersalah, terancam dan lain sebagainya. Juga ada segi-segi yang terjadi di luar kesadaran yang tidak bisa dihindari perasan yang tidak menyenangkan itu. Gangguan psikoneurotik menciptakan kepuasan substitutif pada gejala-gejalanya bagi si penderita, dan hal ini akan menyebabkan penderita bagi dirinya atau menjadi sumber-sumber penderitaan baginya dengan meningkatkan taraf kesulitan dalam pergaulan dengan lingkungan dan masyarakat tempat ia berasal. Dengan memahami bahwa gangguan kejiwaan akan berdampak negatif bagi eksistensi individu maka dengan menghayati kecerdasan spiritual secara maksimal, diharapkan seseorang mampu untuk menata hati dan jiwa secara dewasa berdasarkan nilai-nilai agama sehingga mampu meminimalisir gejala gangguan kejiwaan. Proses meminimalisir inilah yang menjadi penting untuk dikaji lebih lanjut karena merupakan sentral pokok. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal maka diperlukan seorang konselor yang mampu membimbing individu untuk mempraktekkan kecerdasan spiritual secara tepat dan efisien. Pada posisi inilah BKI menjadi penting untuk menawarkan gagasan kecerdasan spiritual menurut Ustman Najati sebagai salah satu solusi dalam meminimalisir gejala gangguan kejiwaan.
13
Di sisi lain, menurut Ainur Rahim Faqih, Bimbingan Konseling Islam adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar mampu hidup selaras dengan ketentuan Allah, sehingga dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat (Faqih : 2001, 4), sedangkan menurut Hallen, Bimbingan dan Konseling Islam adalah suatu usaha membantu individu dalam menanggulangi penyimpangan perkembangan fitrah beragama yang dimilikinya, sehingga ia kembali menyadari peranannya sebagai khalifah di bumi dan berfungsi untuk mengabdi kepada Allah sehingga akhirnya tercipta kembali hubungan yang baik dengan Allah, dengan manusia dan alam semesta (Hallen : 1996, 8). Adapun menurut Hamdani Bakran, Bimbingan dan Konseling Islam adalah suatu aktivitas memberikan bimbingan, pelajaran dan pedoman kepada individu yang meminta bimbingan (klien) dalam hal bagaimana sehingga seorang klien dapat mengembangkan potensi akal pikirannya, kepribadiannya, keimanan dan keyakinannya sehingga dapat menanggulangi problematika hidup dengan baik dan benar secara mandiri yang berpandangan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah Rasulullah SAW (Bakran : 2001, 137). Apabila ketiga definisi konseling di atas dianalisis dengan menggunakan konsep unsur-unsur konseling milik Pietrofesa, dimana unsur konseling itu meliputi (Mappiare : 1992, 16-17): suatu proses, adanya seseorang yang dipersiapkan secara profesional membantu orang lain, untuk pemahaman diri, pembuatan keputusan dan pemecahan masalah, pertemuan dari hati ke hati dan hasilnya sangat bergantung pada kualitas hubungan, maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa tidak satupun dari ketiganya yang mampu memenuhi keenam unsur tersebut. Rata-rata kegiatannya hanya mampu memenuhi unsur pertama, ketiga dan keempat. Sementara itu unsur-unsur kedua, kelima dan keenam tercover. Oleh sebab itu,
14
definisi Bimbingna dan Konseling Islam yang penulis rumuskan dibawah ini diharapkan mampu memenuhi keenam unsur tersebut. Menurut penulis Bimbingan dan Konseling Islam adalah suatu proses hubungan pribadi yang terprogram, antara seorang konselor dengan satu atau lebih klien dimana konselor dengan bekal pengetahuan profesional dalam bidang ketrampilan dan pengetahuan psikologis yang dikombinasikan dengan pengetahuan keislamannya membantu klien dalam upaya membantu kesehatan mental, sehingga dari hubungan tersebut klien dapat menanggulangi problematika hidup dengan baik dan benar secara mandiri yang berpandangan al-Qur’an dan as-Sunnah”. Dalam pelaksanaannya Bimbingan Konseling Islam, tidak bisa berjalan sendiri tetapi ia membutuhkan alat bantu lain yang salah satunya adalah psikologi. Psikologi ini penting dalam konteks bimbingan konseling untuk memberikan kajian yang menyeluruh tentang manusia kepada konselor supaya dalam proses bimbingannya dapat berjalan secara efektif. Dalam perkembangannya, psikologi mengalami varian yang menarik untuk dicermati, mulai dari psikologi perilaku sampai yang terbaru tentang psikologi transpersonal yang lebih berorientasi pada spiritual-religius, yakni membenahi kehidupan pribadi sesuai dengan tuntunan syari’at Islam. Salah satu bentuk penerapan cara ini adalah mengintensifkan dan meningkatkan kualitas ibadah. Konsep inilah yang kemudian dikenal sebagai “kecerdasan spiritual”.
15
1.6. Metode Penelitian Metode yang dipergunakan dalam penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut: 1.6.1. Definisi Konseptual Operasional Definisi konseptual menjelaskan tiga kata yaitu Kecerdasan Spiritual, Gangguan Kejiwaan dan BKI. Kecerdasan spiritual adalah pikiran yang mendapat inspirasi, dorongan, dan efektifitas yang terinspirasi, theisness
atau penghayatan ketuhanan yang di dalamnya kita semua
menjadi bagian (Rakhmat: 2001, xi). Gangguan kejiwaan adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik maupun dengan mental, sedangkan BKI adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar mampu hidup selaras dengan ketentuan Allah, sehingga dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat (Faqih : 2001, 4). Dari definisi konseptual ini secara operasional dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan penelitian ini adalah mendeskripsikan bahwa pemikiran yang terinspirasi oleh nilai-nilai ketuhanan untuk mencegah gangguan mental dengan cara dan metode pemberian bantuan terhadap individu agar mampu selaras dengan ketentuan Allah, sehingga dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. 1.6.2. Jenis, Pendekatan dan Spesifikasi Penelitian Penelitian skripsi ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan (Moleong : 2001, 6), sedangkan pendekatan yang digunakan
16
adalah filosofis, psikologis dan sosiologis. Pendekatan filosofis digunakan dalam konteks bahwa manusia diciptakan dalam kondisi fitrah. Pendekatan psikologis digunakan untuk mengetahui potensi-potensi yang ada dalam diri manusia dan karakteristiknya, sedangkan pendekatan sosiologis digunakan untuk memahami manusia secara utuh dan relasinya dengan lingkungannya. Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif dengan maksud untuk menganalisis data, kemudian menyajikan fakta secara sistematis agar mudah dipahami (Azwar : 1998, 6) 1.6.3. Data Penelitian Data penelitian adalah segala fakta yang dapat dijadikan bahana untuk menyusun suatu informasi (Arikunto : 2002, 96). Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah: -
Biografi dan pemikiran Najati
-
Kecerdasan Spiritual menurut Utsman Najati sebagai terapi gangguan kejiwaan.
1.6.4. Sumber Data Dikarenakan penelitian ini bersifat kepustakaan (Library Research). Oleh karena itu guna mendapatkan data-data yang dibutuhkan, penulis menelaah buku-buku kepustakaan yang relevan dengan pembahasan dalam skripsi ini. Data-data yang berasal dari kepustakaan ini pada dasarnya dapat diklasifikasikan ke dalam dua sumber, yaitu primer dan sekunder. 1.6.4.1. Sumber Primer Data ini merupakan sumber pokok yang diperoleh melalui buku-buku asing maupun hasil terjemahan yang merupakan hasil
17
Ustman Najati. Buku primernya adalah karangan asli Ustman Najati, dengan judul: a. Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa. Buku ini diterbitkan oleh Pustaka Bandung tahun 1997 yang merupakan terjemahan Ahmad Rafi Ustmani dari edisi aslinya yang berbahasa Arab Al Qur’an wa ilmu al Nafs yang diterbitkan Dar al Syuruq, Beirut tahun 1982. b. Belajar EQ dan SQ dari Sumber Nabi, buku ini diterbitkan oleh hikmah Jakarta tahun 2004 yang merupakan terjemahan Irfan Salim dari edisi aslinya yang berjudul al Hadits al Nabawi wa Ilmu al nafs, yang diterbitkan Dar al Syuruq Beirut tahun 1993. 1.6.4.2. Sumber Sekunder Data ini merupakan data penunjang yang dijadikan alat untuk membantu dalam penelitian ini, yang berupa buku-buku atau sumber-sumber dari penulis lain yang bicara tentang kecerdasan spiritual. Data penunjang tersebut adalah: a. Danah Zohar and Ian Marshall, SQ: Memanfaatkan kecerdasan Spiritual Dalam Berfikir Integralistik dan Holistik Untuk Memaknai Kehidupan, terj. Rahmani Astuti, Mizan, Bandung, 2003. b. Steven J. Stein, Ledakan EQ: 15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional Untuk Meraih Sukses, terj. Trinanda Rainy, Kaifa, Bandung, 2003.
18 c. Tony Buzan, Kekuatan WSQ: 10 Langkah Meningkatkan Kecerdasan Emosional Spiritual, terj. Ana Budi Kuswandani, Pustaka Delapratasa, Jakarta, 2003. d. Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan emosional Spiritual ESQ, Arga, Jakarta, 2001. 1.6.5. Metode Pengumpulan Data Untuk mendapat data yang diperlukan penulis menggunakan metode dokumentasi yaitu metode yang digunakan untuk mencari data mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan, buku, surat kabar dan sebagainya (Arikunto : 1998, 206) 1.6.6. Metode Analisis Metode analisis adalah jalan yang ditempuh untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan mengadakan pemerincian terhadap objek yang diteliti atau cara penanganan terhadap suatu objek ilmiah tertentu dengan jalan memilah-milah antara pengertian yang satu dengan pengertian yang lain guna sekedar memperoleh kejelasan mengenai halnya (Sudarto : 1997, 59), setelah itu, perlu dilakukan telaah lebih lanjut guna mengkaji secara sistematis dan objektif. Untuk mendukung hal tersebut, maka penulis dalam menganalisa menggunakan, pertama : Metode deskriptif, metode ini mencoba memberikan gambaran secara umum serta memformulasikan pemikiran Ustman Najati tentang kecerdasan spiritual sebagai upaya pencegahan terhadap gangguan kejiwaan dan kedua : metode analisis isi yang digunakan
19
untuk melihat sejauh mana gagasan tersebut memberikan wacana baru dalam wilayah keilmuan.
1.7. Sistematika Penelitian Skripsi Sistematika penulisan skripsi merupakan hal yang sangat penting karena mempunyai fungsi untuk menyatakan garis-garis besar dari masing-masing bab yang saling berkaitan. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kekeliruan dalam penyusunan, sehingga terhindar dari kesalahan ketika penyajian pembahasan masalah. Bab pertama, sebagai pintu gerbang pembuka dalam pembahasan skripsi ini, sekaligus sebagai pendahuluan, di sini akan diuraikan tentang latar belakang masalah, pokok dari permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kepustakaan dan kerangka teori dilanjutkan dengan metode dan sistematika penelitian skripsi. Bab kedua, merupakan landasan teori yang mendasari penelitian dalam pembahasan skripsi. Bab ini terdiri dari dua bahasan pokok yaitu pemetaan paradigma kecerdasan yang terdiri dari : Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosional, dan Kecerdasan Spiritual: pengantar kecerdasan,. Pemetaan tiga paradigma kecerdasan, eksplorasi SQ dalam buku-buku terbaru dan SQ, sebuah konsep umum. Bab ini juga mendeskripsikan tentang penyakit jiwa yang terdiri dari depresi, cemas, kebosanan, perilaku menyimpang dan psikosomatis dan juga pembahasan tentang Bimbingan Konseling Islam yang terdiri dari pengertian, landasan dan fungsi serta asas. Bab ketiga, adalah bab penyajian data yaitu data-data dari biografi dan kharakteristik (ciri) pemikiran Ustman Najati yang menggambarkan atau
20
mendeskripsikan ide-ide pemikiranya tentang gagasan mencerdaskan ruhani dengan psikoterapi Qur’an dan sunnah yang terdiri dari Iman, Shalat, Puasa, Haji, Doa, Dzikir dll. Bab keempat, merupakan bab pembahasan skripsi dari pokok masalah yang diajukan. Dalam hal ini merupakan analisis data yang ada di bab tiga yang akan menghasilkan telaah dari pemikiran Ustman Najati. Dalam hal ini ada dua pokok yaitu wacana baru SQ, kelebihan dan kekurangan dan adanya fenomena untuk kembali pada normativitas Qur’an dan sunnah dalam merumuskan SQ yang islami. Bab kelima, sebagai penutup dari keseluruhan skripsi ini, dan penulis berusaha menyimpulkan hasil yang diperoleh dari analisa dalam bab empat.